You are on page 1of 9

Perda Retribusi Terminal Direvisi

SIDOARJO - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo akhirnya merevisi Perda Retribusi


Terminal. Perda itu terakhir disahkan pada 2001. Saat ini, raperda tersebut berada di tangan
banleg. ''Kami sudah mengkaji revisi perda retribusi terminal tersebut,'' ujar Ketua Banleg DPRD
Sidoarjo Suhariyono. Perda revisi tentang retribusi terminal itu masuk dalam 24 raperda yang
sedang dibahas, namun belum diparipurnakan.

Dia menjelaskan bahwa eksekutif atau pemkab sudah menyerahkan draf revisi untuk perda
retribusi terminal tersebut. Nah, setelah masuk ke banleg dan dikaji, baru dibentuk panita khusus
(pansus) untuk raperda. Pansus itulah yang bertugas menyelidiki dan mengkaji lebih dalam,
apakah revisi perda dan raperda baru layak diteruskan dan didok.

Pembentukan pansus baru akan dilakukan akhir Mei atau awal Juni. Satu pansus bisa mengurusi
dua hingga tiga raperda. Untuk menyelesaikan seluruh perda, satu pansus membutuhkan waktu
kurang lebih tiga bulan.

''Tapi, untuk perda yang tinggal merevisi, biasanya waktunya lebih cepat,'' ujar anggota komisi C
itu. Salah satu poin yang diubah dalam perda tersebut adalah retribusi masuk peron yang semula
Rp 200 menjadi Rp 500. ''Tapi, ini belum final, belum digedok dan belum tentu disetujui,''
tegasnya.

Subbang TU Terminal Purabaya atau Bungurasih Teguh Santoso menyatakan bahwa biaya
retribusi itu sangat berpengaruh pada pemasukan terminal. Pasalnya, biaya retribusi saat ini
dinilai tidak relevan lagi. Apalagi jumlah penumpang yang menyusut membuat pemasukan
terminal kian kecil.

''Saat ini, mendapatkan Rp 5 miliar saja susah, padahal untuk operasional saja Rp 4 miliar lebih,''
ujarnya. Biaya operasioanal tersebut dipakai untuk perbaikan jalan di area terminal,
pemeliharaan kebersihan, dan beberapa hal lainnya. Luas terminal Bungurasih mencapai 12
hektare.

Teguh menjelaskan bahwa ada banyak faktor penyebab turunnya pendapatan terminal. Yang
pertama tentu saja penyusutan penumpang. Sebab, saat ini orang lebih banyak menggunakan
sepeda motor daripada angkutan umum, seperti bus.

Selain itu, penyebab terbesar kedua adalah retribusi. Kenaikan retribusi yang pernah dia usulkan
kepada Pemkab Sidoarjo tidak banyak. Namun, itu bisa mendongkrak pemasukan terminal.
''Sekarang Rp 200 (biaya peron, Red) itu uang apa, pengamen saja tidak mau diberi segitu. Kalau
naik Rp 500, kan tidak akan ada yang keberatan," ujarnya. (sha/c6/ib)
TERMINAL 

Mengapa orang tidak mau masuk Terminal? Apakah karena bagi sebagian orang Terminal tidak
menyenangkan? Pertanyaan ini selalu datang ke benak kita. Banyak sekali contoh Terminal yang
tidak populer bahkan tidak terpakai di Pulau Sumatera ini.

Terminal seharusnya dapat menjadi tempat konsentrasi penumpang yang maksimal, dimana
penumpang dapat berkumpul dan mendapatkan dengan mudah apa yang mereka inginkan disana.
Hal ini akan terwujud bila semuanya diusahakan secara profesional dan “independent“. Ada tiga
hal yang harus dijamin oleh Terminal yaitu:

1. Adanya “concentration”  atau konsentrasi penumpang.


2. Adanya “connection” atau hubungan dari tempat asal ke Terminal
3. Adanya “distribution” atau sebaran perjalanan dari Terminal ke tempat yang akan dituju
oleh penumpang.

Seringkali ketiga hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pengelola Terminal. karena ada beberapa
masalah, antara lain:

1. Infrastruktur jalan dan tempat parkir di Terminal dalam keadaan rusak.


2. Letak Terminal tersembunyi dibalikpasar.
3. Lahan Terminal terpakai untuk Pedagang Kaki Lima.
4. Penumpang sulit mendapatkan rute penghubung yang diinginkan (terlalu banyak
pergantian angkutan umum)
5. Pintu Terminal tertutup oleh kendaraan yang berhenti, menurun naikkan penumpang
dipintu Terminal. Akibatnya kendaraan dan penumpang tidak mau masuk Terminal yang
sudah semrawut dari pintu masukknya.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengetahui minat penumpang dan bagaimana cara


memenuhinya agar Terminal menjadi populer dan disukai banyak penumpang maupun operator
kendaraan.

Terminal sesungguhnya dapat dijadikan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang lebih
besar dari sekedar pungutan retribusi biasa yang tanpa target. Pemasukan dan Pengeluaran Uang
dapat jelas dilihat dan dinterpretasikan sebagaimana gambar 1, dibawah ini yang menunjukkan
arus sumber uang masuk dan keluar. Untuk sumber pemasukan dapat dibuat dengan jelas dan
transparan, dapat diketahui dari hasil survey perhitungan kendaraan jumlah angkutan yang
masuk ke Terminal,  jumlah orang/pengantar yang menggunakan peron dan ruang VIP,  jumlah
pengguna parkir khusus dan penyewa loket dan ruang ruang di Terminal.

Transparansi ini akan lebih jelas lagi bila telah ada “detector”, yaitu alat penghitung kendaraan,
yang ditempatkan dipintu masuk. Alat mekanik dapat ditanamkan di perkerasan jalan pintu
masuk atau dapat juga menggunakan alat CCTV yang lebih modern dapat merekam jelas semua
jenis kendaraan dan dapat diterjemahkan langsung kedalam komputer berupa angka jumlah
kendaraan. Sistem informasi bagi kendaraan di terminal akan sangat mempermudah pelanggan
dan menguntungkan Pengusaha Terminal. Angka yang mengagetkan diperoleh dari hitungan
secara kasar pemasukan Terminal Keramasan Palembang, tanpa memperhitungkan
kebocoran, memperoleh 25 hingga 30 juta rupiah perhari. Jadi betapa pentingnya alat detector
yang dapat menghitung kendaraan secara terus menerus guna menghindari kebocoran
pemasukan. Kalau dikelola lebih intensif lagi, dengan investasi disana sini, penghasilan dapat
ditingkatkan menjadi 50 juta rupiah perhari. Alat inipun dapat dengan mudah dibeli dari uang
pemasukan Terminal tersebut. Maka jumlah dan jenis kendaraan yang tidak mau masuk ke
Terminal pun dapat terdeteksi dengan jelas dan dapat dikenakan sangsi hukum dan sangsi sosial
(karena dapat ditayangkan di televisi lokal).

Selain itu, pengeluaran dapat ditekan semaksimal mungkin sehingga pengeluaran menjadi efisien
dan efektif. Uang untuk biaya keamanan dan lingkungan selayaknya diperhitungkan dengan
jelas. Bila memakai tenaga mantan preman sebagai penjaga keamanan di lingkungan tersebut,
hendaknya mereka diperhitungkan dengan gaji yang sesuai, bukan berdasarkan “bagi hasil” dari
pendapatan yang mereka peroleh dengan “melindungi dan mengawasi” kendaraan di Terminal.
Sistem bagi hasil ini tidak efisien dan tidak terukur. Lagipula mereka tidak memiliki saham atas
adanya Terminal dan lahan Terminal ini adalah milik negara bukan milik preman yang bertempat
tinggal disekitarnya. Jumlah kendaraan yang masuk ke Terminal selama 24 Jam selalu terukur
dan tidak dapat termanipulasi dengan sistem dagang atau bagi hasil, atau sistem yang selama ini
selalu membuat kebocoran disana sini, termasuk akibat kendaraan yang membangkan tidak mau
masuk ke Terminal.

Peraturan Daerah mengenai Terminal hendaknya bukan hanya memuat pasal pasal pembinaan
dan retribusi saja. DPRD dan pemerintah harus bekerja lebih keras lagi membuat peraturan
peraturan yang berkembang dari kasus kasus yang ada Terminal yang ada.  Jangan sampai terjadi
DPRD merasa “berkuasa” atas pemerintah, dan setiap ada kehendak membuat Peraturan Daerah,
maka pihak eksekutif dicukur habis dengan minta dikirim study banding untuk belajar membuat
Perda dari kota lain. Study banding untuk DPRD dalam hal pembuatan Perda bukanlah hal yang
penting, kalau memamng mau mendapatkan ilmu tentang Terminal atau perencanaan lainnya
mengapa tidak diadakan kursus saja yang intensif. Atau sesuai dengan UU No.22 tahun 1999
yang direvisi menjadi UU No. 32 (sayangnya pada produk revisi ini hal tersebut tidak dibahas)
legislatif dapat merekrut ahli Transportasi lokal atau dari luar untuk membantu mereka dalam
menimbang dan mengkaji soal Perda Terminal ataupun Perda perda lain yang dibutuhkan. 
Seyogyanya makin banyak masalah, makin banyak pula mata pasal peraturan yang diciptakan
untuk mengatasi masalah bersama. Diharapkan kedepan pengelolaan Terminal dapat
dikembangkan sebagai berikut:

1. Pengelolaan Terminal dipimpin oleh Direktur Perusahaan Daerah, BUMD atau Swasta
Penuh, yang independen dan profesional.
2. Dilakukan kerjasama registrasi kendaraan antar kota, kabupaten dan propinsi.
3. Perlu dilengkapi dengan alat detector untuk merekam jumlah kendaraan yang masuk ke
Terminal setiap waktu, sehingga jumlah uang masuk dari retribusi dapat diaudit setiap
saat. Demikian juga dengan uang keluarnya.
4. Membuat sistem informasi Online untuk kepentingan PO Bus yang berkantor di
Terminal, dilengkapi dengan sambungan telepon dan internet. Hal ini untuk
meningkatkan minat penyewa loket.
5. Memperhatikan sambungan hubungan kendaraan ketempat yang dituju penumpang,
untuk itu diperlukan pengaturan rute yang tepat.
6. Membuat “Time Schedule” atau jadwal untuk terminal dalam setiap Rute.
7. Memberikan kemudahan kepada penumpang untuk beralih angkutan dari dan keluar kota
dengan angkutan carter terminal yang murah dan non komersial, guna peningkatan minat
PO Bus dan penumpang terhadap keberadaan bus.
8. Perlu fleksibel dalam menetapkan tariff kepada PO untuk mengantisipasi pesaing PO
BUS (angkutan VAN WISATA), serta angkutan udara yang bertarif murah.
9. Mengembangkan aturan antara pihak Terminal dengan Kaki Lima, pemberi izin kepada
Pedagang Kaki Lima, sopir, penumpang, pengusaha, petugas, aparat penegak hukum dan
stakeholder lainnya agar semua pelanggaran dapat dijerat hukum. (Tidak ada pelanggar
yang kebal hukum)

Mulai sekarang sebaiknya dihentikan kebiasaan kita mencari uang ditempat yang salah. Contoh: Terminal
adalah tempat konsentrasi penumpang. Pedagang kaki lima “diizinkan” berdagang di terminal dengan
pungutan uang tertentu dan perlindungan pihak tertentu. Kendaraan umum menurun dan menaikkan
penumpang di pintu Terminal, untuk perlindungan kesalahan ini preman menerima uang, dan oknum
aparat menerima uang setoran dari preman tersebut. Uang yang salah demikian tidak cukup untuk
membuat pelakunya kaya dengan layak dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah maupun kepada
masyarakat.
            Mengapa tidak membuat bisnis lebih banyak di Terminal? Kalau di lihat mengapa sopir truk
banyak istirahat di sepanjang jalan di warung warung kecil? Karena disana ada penginapan murah.
Mengapa tidak membuat penginapan murah dan tempat hiburan di Terminal? Mengapa tidak di buat
pusat perbelanjaan Carrefour atau Matahari atau investor apa saja di dekat Terminal? Dari pada
menyambung bus/oplet setelah dari terminal, penduduk kabupaten sekitar Palembang pasti senang
untuk berbelanja di tempat yang dapat ditempuh jalan kaki dari terminal. Orang sekitar dapat
menyediakan jasa angkutan trolley atau kereta dorong langsung menuju terminal ke angkutan umum
yang diinginkan. Mengapa tidak berbisnis dan mencari uang besar yang halal, ketimbang mengeroyok
dan mengais rejeki di tempat yang salah?
”Perda parkir di Terminal Tirtonadi salahi
aturan”
Banjarsari (Espos)   Pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr Jamal Wiwoho, SH
MHum, menilai pemberlakuan Perda No 6 Tahun 2004 tentang Parkir Jalan Umum di Terminal
Tirtonadi menyalahi Perda No 2 Tahun 2002 tentang Terminal Penumpang.

Jamal mengungkapkan seharusnya Perda 6/2004 tak diberlakukan di Terminal Tirtonadi.


Lantaran Terminal Tirtonadi sudah dipayungi oleh Perda 2/2002 tentang Terminal Penumpang.
Keberadaan Perda Terminal Penumpang itu antara lain meng-cover, fasilitas MCK, retribusi bus
masuk, kendaraan bermotor, fasilitas ruang tunggu.

Pantauan Espos, UPTD Terminal Tirtonadi memasang sejumlah papan berisi Perda Parkir No 6
Tahun 2004. Disebutkan dalam papan yang dipasang di bagian timur serta barat terminal
tersebut, tarif parkir untuk sepeda motor senilai Rp 500 sementara untuk tarif parkir mobil senilai
Rp 1.000.

Ditemui di kediamannya, pekan lalu, Jamal menjelaskan, keberadaan Terminal Tirtonadi di


bawah naungan Perda No 2 Tahun 2002. Itu artinya, tarif parkir juga termasuk di dalamnya.

”Kalau dalam Perda No 2 Tahun 2002 disebutkan tarif parkir sepeda motor hanya Rp 200, ya
berarti tarifnya memang segitu. Bukan Rp 500 dengan alasan disesuaikan dengan tarif parkir
jalan umum karena mengacu Perda No 6,” ujar dia.

Diadopsinya Perda tentang parkir jalan umum di terminal, jelas Jamal, mungkin karena
pertimbangan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Namun demikian, praktik tersebut
tidak bisa dibenarkan karena menyalahi Perda Terminal yang sudah lebih dulu ada.

”Yang kami sayangkan adalah, Pemkot saat ini cenderung memfungsikan Perda sebagai
budgeter. Penyimpangan di terminal akhirnya dianggap biasa oleh masyarakat. Itu karena tarif
yang diterapkan petugas terminal kepada pengunjung sudah sesuai dengan kondisi sekarang.”

Untuk memperbaiki kondisi terminal, Jamal menambahkan, sudah saatnya Pemkot mulai
mengevaluasi Perda yang ada. Sehingga, aturan-aturan di dalamnya bisa membuat kondisi
Terminal Tirtonadi yang sekarang semrawut bisa lebih tertata. - Oleh : aps

 
UMBULHARJO -- Anggota Fraksi PDIP DPRD Kota Jogja Suharyanto "Bento" minta pembahasan
rancangan peraturan daerah (Raperda) Terminal Giwangan untuk dihentikan. Hal tersebut dilakukan
sambil menunggu perubahan Perda Terminal.
     Pernyataan tersebut disampaikan Suharyanto ketika ditemui Bernas Jogja di ruang kerjanya, Sabtu
(19/11). Menurut Suharyanto, kepindahan terminal dari Umbulharjo ke Giwangan tidak hanya sekadar
kepindahan tempat. Melainkan kepindahan ini juga telah menaikkan tipe terminal dari B menjadi
terminal tipe A.
     Pergantian tipe ini, ungkapnya, seharusnya juga diikuti revisi Perda. Sebab klasifikasi terminal tipe B
tidak sama dengan terminal tipe A. Sehingga sebelum Perda Terminal ini direvisi, Suharyanto
memandang tidak sepantasnya dilakukan perubahan Perda Terminal Penumpang. "Perubahan Perda
Terminal Penumpang intinya adalah untuk menaikkan retribusi. Kalau memang mau dinaikkan, Perda
Terminal harus diubah dulu," katanya.
     Di sisi lain, Suharyanto juga minta agar ada perubahan mekanisme pemungutan retribusi. Sebab
pemungutan yang selama ini dilakukan di terminal Giwangan dianggap tidak tepat.
     Mengapa, karena pemungutan retribusi selama ini bukan dilakukan oleh Pemkot. Melainkankan
pelaksana pemungutan retribusi tersebut adalah PT Perwita Karya.
     Menurutnya, halnya menyalahi MoU antara Pemkot dan PT Perwita Karya. Sebab dalam MoU secara
jelas tertuang bahwa pemungutan retribusi dilakukan oleh Pemkot. Sedangkan PT Perwita Karya hanya
bertugas membantu. Hal ini juga didukung dengan surat tugas yang diterbitkan Kepala Dinas
Perhubungan Kota Jogja Wido Risnomo SH No. 800/3746A yang ditujukan ke PT Perwita Karya. 
     "Kalau yang memungut reterbusi pihak lain, berarti Pemkot hanya menerima laporan. Bila seperti ini,
bagaimana Pemkot akan mengetahui secara akurat hasil retribusi terminal?" tandasnya.
     Lebih lanjut, Suharyanto juga sempat mempertanyakan mengenai retribusi kios di terminal
Giwangan. Pasalnya, pemilik kios di lokasi ini tidak hanya dikenakan retribusi dari Pemkot. Melainkan
mereka juga dikenakan service charge dari PT Perwita Karya.
     "Misalnya, untuk kios D di terminal Giwangan. Untuk ukuran 9 meter, pemiliknya dikenakan retribusi
dari Pemkot sebesar Rp 2.700 per hari. Selain itu juga ditarik lagi service charge Rp 3.780 per hari. Saya
tidak tahu, mengapa bisa rangkap?" ujarnya.
     Sementara itu Asisten I Pemkot Jogja Ir Hadi Prabowo ketika dikonfirmasi Bernas Jogja mengatakan
bahwa Perda Terminal sampai saat ini relevan. Sekalipun tipe terminal di Jogja telah berubah dari tipe B
menjadi A. Sehingga Perda Terminal tidak perlu untuk dirubah.
     Sedangkan ketika ditanya mengenai mekanisme pemungutan retribusi terminal, menurutnya, saat ini
yang melakukan adalah para PNS dari Pemkot. Sedangkan PT Perwita Karya hanya bertugas untuk
membantu.
ANALISIS PERDA KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG
RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI PRODUK HUKUM DAERAH

PENGERTIAN RETRIBUSI

Menurut Suparmoko, pengertian retribusi secara umum adalah suatu pembayaran dari rakyat
kepada negara di mana dapat terlihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung diterima
dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Kemudian Rochmat memberikan pengertian
bahwa retribusi itu adalah pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka
yang menggunakan jasa-jasa negara (Rochmat Soemitro dalam Kaho 1991 : 151). Selanjutnya
menurut Syamsi, retribusi adalah iuran dari masyarakat tertentu (orang-orang tertentu)
berdasarkan peraturan pemerintah yang prestasinya ditujukan secara langsung, tetapi
pelaksanaannya dapat dipaksakan meskipun tidak mutlak (Syamsi : 1988:87). Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap orang yang menggunakan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan
adanya kontra prestasi secara langsung yang diterima masyarakat pengguna jasa dimaksud.

 PENYELENGGARAAN RETRIBUSI DAERAH

UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan
UU No. 34 Tahun 2000 yang kemudian dispesifikasikan ke dalam PP No. 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah, merupakan salah satu intrumen di dalam era otonomi dewasa ini.
Menurut PP tersebut, yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentuyang khusus disediakan dan / diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi Daerah sebagai salah
satu sumber pendapatan daerah merupakan unsure yang penting dalam memberikan
kontribusinya pendapatan asli daerah setelah pajak daerah. Adapun jenis retribusi daerah yang
diberikan oleh pemerintah daerah dapat digolongkan antara lain retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, retribusi perijinan tertentu.

Jika melihat ketiga penggolongan jenis retribusi tadi, maka sesuai dengan PP tersebut, maka
Retribusi Terminal dapat dikategorikan ke dalam jenis retribusi jasa usaha. Adapun pengertian
retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
 IMPLEMENTASI DARI PERDA BANYUMAS TENTANG RETRIBUSI TERMINAL SERTA DAMPAK
SOSIAL BAGI MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUNANYA

Implikasi dari Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2005 Kabupaten Banyumas tentang Retribusi
Terminal memang secara konseptual  bisa memberikan kontribusi langsung baik pemerintah
maupun masyarakat yang menggunakan jasa tersebut. Dari substansi-substansinya, di situ
dijelaskan secara gamblang mengenai proses penyelenggaraannya dari mulai pengertian-
pengertian retribusi secara khusus, siapa subyek/obyek wajib retribusi, hal-hal yang prinsipiil,
proses administrasinya, adanya sanksi-sanksi baik yang bersifat administratif maupun ketentuan
pidananya, serta bagaimana pelaksanan dan pengawasan dari Perda ini.

Memang bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas, sektor Retribusi Terminal termasuk salah satu
omzet penerimaan yang cukup lumayan untuk dapat ditingkatkan bagi pemasukan pendapatan
asli daerah. Dari segi penerapannya, adanya aturan ini memberikan kemudahan bagi masyarakat
pengguna jasa terminal untuk mengembangkan usahanya di samping fungsi terminal sebagai
sarana prasarana transportasi bagi kendaraan umum. Adanya berbagai fasilitas-fasilitas sebagai
unsur penunjang tentunya semakin memudahkan masyarakat di dalam penggunaannya. Di sini
akan coba disinggung mengenai peranan dari Perda ini dalam masyarakat yang dilihat dari dua
sisi yaitu secara konseptual dan bagaimana dampak sosialnya.

Secara subtansial, di dalam Perda ini ternyata masih bisa dilihat ada dualisme istilah, seperti apa
yang dimaksud wajib retribusi dalam Bab I Pasal 1 ayat 16 (Ketentuan Umum) dengan arti
wajib retribusi yang terletak dalam Pasal 4 (Bab II). Secara sekilas, tidak ada perbedaan
mendasar tapi yang bisa digarisbawahi adalah penempatan kedua arti tadi. Jadi apakah perlu
diartikan lagi dan dirumuskan secara gamblang padahal dalam Ketentuan Umumnya sudah ada
pengistilahan dengan jelas?Selain itu juga penempatan istilah-istilah lainnya juag perlu
diperhatikan mengingat sesungguhnya fungsi daripada Ketentuan Umum ditinjau dari konsep
dan teori perundang-undangan menurut Prof. Soehino.Seperti misalnya, setelah istilah mengenai
retribusi jasa usaha tidak berurutan dan kemudian malah dilanjutkan dengan istilah terminal.
Seharusnya selepas pengartian tadi, maka yang dapat digolongkan dalam retribusi jasa usaha
apakah termasuk retribusi terminal. Memang dalam bab berikutnya di situ dijelaskan tentang
penggolongan tersebut (Bab III, pasal 5) akan tetapi karena perda ini sifatnya spesifik jadi
kenapa tidak diletakkan di dalam Ketentuan Umum tadi? Ini merupakan retorika demokrasi
entah itu benar/salah, bagaimana seharusnya ketika konsep perundangan yang baku coba
diterapkan terutama dalam pembuatan peraturan daerah.

Mengenai dampak sosial yang ditimbulkan, ada suatu pertanyaan, sejauh mana efektivitas dari
Perda ini ketika ia berperan di dalam masyarakat sebagai penggunanya?Jika melihat fungsi
terminal secara keseluruhan terutama merujuk di dalam pengertian terminal itu sendiri sesuai
dengan pasal 1 ayat 8 adalah “Terminal adalah Prasarana transportasi jalan untuk keperluan
menaikkan san menurunkan orang dan/atau barang serta mengatur kedatangan dan
pemberangkatan kendaraan umum, beserta segala fasilitas perlengkapannya yang merupakan
salah satu wujud simpul jaringan trasportasi“, ini akan jelas bahwa fungsinya sebagai
jaringan/penghubung transportasi antar daerah baik yang ada di dalam kota/kabupaten maupun
untuk luar daerah itu. Menariknya, di sini ada suatu anggapan negatif dari masyarakat tentang
arti penting dari fungsi terminal. Persepsi ini bukan tanpa alasan. Realitanya, pernah terjadi
beberapa kasus khususnya kejahatan yang terjadi di terminal. Seolah bahwa terminal adalah
tempat di mana adanya kejahatan dengan model dan modus yang beragam karena aktivitas
terminal yang merupakan salah satu jantung lalu lintas di darat yang dilalui oleh setengah
masyarakat daerah yang bersangkutan baik yang bepergian maupun yang datang. Terutama
apabila menjelang musim lebaran tiba, arus mudik penumpang yang terjadi cenderung signifikan
dan membludak tanpa hentinya. Selain itu, sebagian masyarakat juga dipusingkan dengan adanya
tarif liar yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah khususnya mengenai fasilitas-fasilitas
penunjang yang ada di terminal. Salah satu contoh adalah misalnya, mengenai tarif penggunaan
WC/kamar mandi oleh pihak ketiga. Biaya yang ditarik pengelola melebihi ketentuan Perda No
14 Tahun 2005. Ketentuan tentang hal itu tercantum dalam Bab II tentang Nama, Objek dan
Subjek Retribusi, Pasal 3 ayat 2 huruf b poin 4. Disebutkan dalam lampiran Perda, tarif retribusi
buang air kecil Rp 500,- mandi/buang air besar Rp 1.000,-. Tetapi kenyataannya, malah oleh
pihak ketiga tadi malah memungut tarif melebihi apa yang menjadi ketentuan tadi. Jelas ini
sebuah pelanggaran dan juga kinerja dari para pengelola terminal yang kurang maksimal.
Persoalan ini terkait lagi bagaimana sebenarnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak
pengelola jasa dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti contoh-contoh tadi.

Pakar transportasi dari ITB Bandung, Achtiar Budi (2004) dalam Transportasi Publik dan
Layanan Terminal menyebutkan bahwa terminal di negara miskin dan berkembang, termasuk di
Indonesia, belum dikelola secara profesional. Dari 2633 terminal berbagai skala yang tersebar di
seluruh Indonesia, hanya 3%-nya yang masuk kategori terminal dengan kinerja pelayanan
standar nasional dan belum satu pun (alias 0%) terminal di Indonesia yang berstandar
internasional. Karena realitas itu, wajar ketika Badan Otonom Perdagangan dan Transportasi
Amerika (OTTB), di samping menilai kualitas terburuk pelabuhan di Indonesia, juga
memasukkan Indonesia sebagai negara dengan kualitas pengelolaan terminal paling buruk di
dunia, (Herald Tribune, 2 September 2007).

Dari data-data tadi, kembali lagi ke permasalahan semula, bagaimana sebenarnya upaya-upaya
yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memaksimalkan peranannya di dalam
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat secara kompherensif dengan Perda
sebagai payung atau instrumennya. Kembali lagi ke pengertian retribusi  yang menghendaki
adanya korelasi langsung antara pihak pengelola jasa dengan masyarakat sebagai pengguna dari
jasa tadi. Indikatornya adalah pelayanan yang baik dan maksimal dari pihak pengelola jasa serta
masyarakat juga berkewajiban untuk memenuhi dengan membayar biaya retribusi sesuai aturan
sebagai bentuk pelayanan tadi. Semoga.

*Artikel ini dipublikasikan di MAJALAH CAKRAWALA HUKUM Vol. 4 Fakultas Hukum


Universitas Wijayakusuma Purwokerto tahun 2008

You might also like