You are on page 1of 23

FIQIH TENTANG MUNAKAHAT

( PERNIKAHAN )

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Fiqih

Dosen Pengampu : Bahrul Ilmi, M. Hum

Oleh :
ZAENAL ARIFIN A ( 2072009 )
ZAENAL ARIFIN B ( 2072010 )
MUHAMMAD MAHFUDIN ( )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLHATUL ULAMA


( STAINU )KEBUMEN
2010

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat

serta taufik-Nya sehingga Makalah yang berjudul “Fiqih Munakahat” dapat

tersusun.

Penyusunan Makalah yang berjudul “ Fiqih Munakahat”. Guna memenuhi

tugas mata kuliah “ Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” .

Rasa hormat dan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kami ucapkan kepada

Bapak Bahrul Ilmi, M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pendidikan

Islam di Indonesia dan Semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya

dalam menyelesaikan tugas ini.

Tanpa adanya izin, bimbingan, bantuan dan informasi beliau kami tidak dapat

menyelesaikan Makalah ini dengan baik

Kami berharap semoga Makalah ini berguna bagi para pembaca pada

umumnya dan bagi kami pada khususnya. Amin.

Kebuman, Juli 2010

Penyusun
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan ( Nikah )

Arti Nikah Menurut bahasa adalah : berkumpul. Adapun menurut istilah Ahli
Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah
setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama
Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak
memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk
penikmatan sebagai tujuan utama

Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 , pernikahan /


perkawinan didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.

B. Kedudukan Pernikahan

Perkawinan / Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam


menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu
perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke
lembah hitam. Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan
Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan
sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah
bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari


agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan


melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu
‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau
bersabda :

“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku
akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari
kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah
diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang
berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain
berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya ….
Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya
bersabda :

“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku
berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan
dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain
Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan
gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang
hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar
egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung
jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan
melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun
pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman
dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah
kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka
mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka
itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan
bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari
karunia Allah.

C. Tujuan Pernikahan

Menurut ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan


Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama,
2001 tentang tujuan pernikahan adalah bab II tentang dasar-dasar perkawinan pasal 3
yakni : Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah
Dalam al-qur’an tujuan pernikahan / perkawinan adalah sebagaimana yang telah
di sebutkan dalam surat Ar- Rum (Q.S. 30-An Ruum : 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu


pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

D. Hukum Pernikahan ( Nikah )


1. Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang
itu : Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada
keluarganya. Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam
kezinaan. Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memada. Puasa
sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya. Hal ini
bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal yang
wajib, dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka
dengan sendirinya menikah itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal
dengan nama : “ maa lam yatimma al-wajib illa bihi fahuwa wajib “.
2. Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan
pengalaman dan dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi
istrinya. Salah satu contohnya yaitu : jelas-jelas tidak mampu memberikan
nafkah finansial pada istrinya. Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan
kewajibannya kepada suami/istrinya nanti, semisal : tidak punya kemampuan
dalam hubungan suami istri.
Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-
kondisi tersebut telah diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya
adalah : Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi yang berbahaya
mengarah pada zina, dan pada saat yang sama dia belum mempunyai
kemampuan finansial yang cukup ? . Maka solusi ‘sementara’ untuk hal ini
adalah menjaga diri dengan berpuasa. Karena jika bertemunya wajib dengan
haram, maka yang haramlah yang harus dijauhi terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya. “ (QS An- Nuur ayat 33)
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda,
barang siapa diantara kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka
hendaklah segera menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan, dan
menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (memberi nafkah) maka
hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi perisai baginya “ (HR Jamaah)
3. Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan
dipastikan) akan menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya,
misalnya karena beberapa faktor sebagai berikut : karena ketidakmampuannya
dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau mempunyai penghasilan
tetapi sangat belum layak. Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang
belum stabil, seperti emosional dan ringan tangan Atau ada kecenderungan tidak
mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga dikhawatirkan nanti akan
menyia-nyiakan istrinya
4. Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi ‘pertengahan’ maka hukum
menikah kembali kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan.
Yaitu jika seseorang dalam kondisi : Mempunyai daya dukung finansial yang
mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik
serta kualitas keshalihan yang terjaga.
Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya
adalah yang diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat
menanyakan pada istri-istri nabi tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka
bersemangat ingin menirunya hingga masing-masing mendeklarasikan program
ibadah andalannya :
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera
bereaksi keras dan memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut.
Beliau bersabda : Demi Allah .. sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah
di antara kamu sekalian, aku juga yang paling bertakwa pada-Nya, tetapi aku
shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga
menikahi wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka
bukanlah bagian dariku “ (HR Bukhori)

E. Prinsip-Prinsip Perkawinan

Dibab 1 telah kita bahas tentang penngertian perkawinan serta


kedudukan,tujuan dan hukum pernikahan/perkawinan.Ternyata kita ketahui masalah
perkawinan tiadak hanya dibahas dalam hokum-hukum agama islam saja numun juga
dalam agama lain.Menurut filsuf yunani,Aristoteles bahwa manusia adalah zoom
politikom yaitu selalu mencari manusia lainya untuk hidup bersama dan
berorganisasi.1Disni jelas bahwa masalah pernikahan tidak hanya masalah satu agama
saja namun masalah general(umum) sehingga perlu adanya peran serta pemerintah
dalam mengatasinya.
Dalam undang-yndang nomor 1 tahun 1974 termuat beberapa asas dan prinsip
penting yang berkenaain dengan perkawinan.Asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
melengkkaapi agar masing-masimng dapat mengembangkan
kepribadianyamembantu dan mecapai kesejahteranan sepiritual.

1
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan
Malaysia,1991,Remaja Rosdariya,Bandung hal 1
2. Dalam undang-undang inidinytakan bahwa perkawqinana adalah sah apabila
dilakukan menurut hokum masng- amsing agamanya dankepercayaanya itu
dan, disamping itu ,tiap – tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan
perundang – undangan yang berlaku . pencatatan tiap –tiap perkawinan sama
dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang . kematiian yang di nyatakan dalam surat – surat keterangan , suatu
fakta resmi juga dimuat dalam daftar percatatan .
3. undang – undang itu menganut asas monogami . Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan krena hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkanya , seorang suamudapat beristri lebih dari seorang . Namun
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isrti , meskipun itu
dikehendaki oleh pihak – pihak bersangkutan , hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi sebagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan .
4. Undang –undang ini mengganut prinsis bahwa calon suami- istri itu harus
telah masak jiwa- raganya untuk dapat melangsunngkan perkawinan agar
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berahir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat . untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara suami- isrti yang masih dibawah umur .
Disamping itu ,perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kepedudukan .Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah seorang wanita
kawin mengakibatkan laju kelahirn lebih tinggi jik dibandingkan dengan batas
umur yang lebih inggi .Berhubung dengan itu, undang – undang ini
menemukan batas untuk kawin, baik bagi pria maupun wanita ,yaitu sembilan
belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita .
5. karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia ,
kekal , dan sejahtera , maka undang – undang inimenganut prinsip untuk
menper sukar terjadinya perceraian . untuk memungkinkan perceraian harus
ada alas an – alas an tertentu dilakukan di depan siding pengadilan .
6. Hak dan kedudukan isrti seimbang dengn hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan rumah tngga maupun dalam kehidupan masyarakat,sehingga
dengan demikian segala sesuatu didlalm keluarga dapat dirundingkan da
diputuska bersama oleh suami istri.
Sejalan dengan asas dan prinsip perkawinan tersebut diatas,Undang-undang
Perkawinan meletakan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan.Bab II pasal 6 hingga 12 memuat syarat-syarat
perkawinan itu sebagai berikut:
1. Persetujuan kedua belah pihak
2. izin orang tua wali
3. batas umur untuk kawintidak terdapat larangan kawin
4. tidak terikat oleh suatu perkawianan yang lain
5. tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan
dikawini
6. bagi janda te;lah lewat masa tunggu (tenggang idah)
7. memenuhi tata cara perkawinan2

Dalam agama islam perkawinan sangatlah diperintahkan,perkawian memiliki tujuan


yang mulia bukan hanya untuk menyalurkan hasrat birahi manusia saja,namun dalam
pandangan islam perkawinan memilki banyak

2
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian…..hal 72-73
F. Ketentuan Umum Pernikahan
a) Perempuan yang haram di kawini

Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang


telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai.
Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya
jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi
(campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).

  Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :

1. Ibu

2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan

4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)

5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)

6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)

7. Anak perempuan saudara perempuan).

Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :

1.  Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan
puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.

2.   Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu,
manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum
sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan
suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum
bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).

3.  Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar


dilangsungkannya akad nikah.

4.   Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab
hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.

 
Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.

Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian;
saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).

Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang


menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139
no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53
no:2041 dan Nasa’i VI:99).

Hal.570

Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan
semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung,
haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada
orang lain haram kawin dengan:

1. Ibu susu (nenek)

2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)

3. Ibu Bapak susu (kakek)

4. Saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)

5. Saudara perempuan bapak susu

6. Cucu perempuan dari Ibu susu

7.  Saudara perempuan  sepersusuan


Persusuan Yang Menjadikan Haram

Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda,  ”Tidak bisa


menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI:
69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).

Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan.
Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat)
ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram.
Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian
dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452,
’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625
no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu
berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah
menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)

Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi
haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara
dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi
II:311 no:1162).

Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu

1.      Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara

Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan


yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).

2.      Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari
ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621
no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98).

3.      Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).

Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus


sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia
halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia
masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id
bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka
berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil
menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan.
Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk
mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang
musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan
(diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-
budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai
menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079
no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190
no:2141).

4.  Wanita yang dijatuhi talak tiga

Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang
lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si
suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).

5.   Kawin dengan wanita pezina

Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga
tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina,
terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat
nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini
kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang
berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
(An-Nuur : 3).

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi
Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan
di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman
baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan
kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau
diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau
memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda,
”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027,
’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227). 

"Khitbah" bererti "peminangan". Tafsiran lafaz atau perkataan "peminangan" ini


juga dapat di kaitkan dalam adat istilah melayu iaitu “pertunangan”. Pertunangan
berbeza mengikut tempat, kawasan, adat dan suasana masyarakat masing-masing.
Berbeza di antara negara-negara di semenanjung Asia Tenggara.

b) Perkawinan/Pernikahan telarang

Nikah mut’ah Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu
tertentu, jika waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri
dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak menerima mut'ah
dari suaminya.

Nikah Shigor Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar
menukar anak perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas
kawin, seperti seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain :

"Nikahkanlah aku dengan anakmu dan nanti aku nikahkan kamu dengan
anakku"

Nikah Muhallil Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah
dithalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali
pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh
suaminya yang kedua.

Nikah Badal Suatu pernikahan dengan tukar menukar istri misalnya seorang
yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah
sesuatu sesuai dengan kesepakatan dengan kedua belah pihak.

Nikah Righoth Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan beberapa lakisecara


bergantian menyetubuhi seorang wanita, setelah wanita tersebut hamil dan
melahirkan maka wanita tersebut menunjuk satu diantara laki-laki yang turut
menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan kemudian
antara keduannya berlaku kehidupan pernikahan sebagai suami istri.

Nikah Baghoya Artinya pernikahan yang ditandai dengan adanya hubungan


seksual antara beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila,
setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggilah seorang
dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya
berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili ibu
dari anak yang lahir tersebut

c) Peminangan / Petunangan

Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antara pasangan untuk


saling mengenal
sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah sebelum bernikah atau
berkahwin

Dari Mughirah bin Syu’bah baerkata “Aku pernah melamar seorang wanita.
Lalu Nabi SAW
bersabda, ‘Lihatlah ia, kerana yang demikian itu akan menimbulkan kasih sayang
antara kalian
berdua.”
(HR Nasa’I, Ibn Majah dan Tirmidzi).

1. Jumhur Ulama’ berpandangan: boleh melihat wajah dan kedua telapak


tangan, kerana melihat wajah dan kedua telapak tangan akan dapat diketahui
kecantikan wanita itu.
2. Ibnu Daud mengatakan: boleh melihat seluruh anggota.

3. Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, wajah dan dua
telapak tangan
d) Kafa’ah

A. Definisi Kafa’ah

Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau
setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat
dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah
dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak
suatupun yang sama dengan-Nya.

Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan
harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang
terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan
harus ada pada laki-laki yang mengawininya.

Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian


keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami
seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya.
Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang
sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan
oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.

B. Hukum Kafa’ah

Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak
membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafa’ah
menjadi pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya
dengan jelas dan spesifik, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda pendapat tentang
hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab Zahiriyah yang
dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam
perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh
kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan
pezina.

Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya berefek


domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah dalam pernikahan sendiri,
ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam
menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.

Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat


dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat
pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap
dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya
merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna
akromakum ‘inda Allahi atqookum”

Bertolak nbelakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari
Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan.
Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-
kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis
riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis
itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa
min al-auliya’.

Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi
kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi
pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan
atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan
perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar,
orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh
kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak
boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi
tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila
perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.

Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah..


Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan
nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan
salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.

C. Dasar-Dasar Kafa’ah

Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang


digunakan dalam kafa’ah. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar
kafa’ah adalah:

1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.


2. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
4. Kemerdekaan dirinya.
5. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
6. Kekayaan.

Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

1. Diyanah

2. Terbebas dari cacat fisik.


Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

1. Nasab

2. Diyanah

3. Kemerdekaan dirinya.

4. Hirfah.

Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

1. Diyanah

2. Hirfah

3. Kekayaan

4. Kemerdekaan diri

5. Nasab

Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria


kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana
mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan
mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
DAFTAR PUSTAKA

almanaar.wordpress.com/.../tujuan-dan-hukum-pernikahan/ -
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
2007.
Hassan, Drs. H.M Ali dan Drs. H. Syafi’i. Pendidikan Pengamalan Ibadah. Jakarta :
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka. 1996
http://koswara.wordpress.com/2007/07/01/konsep-pernikahan-dalam-islam/
tanbihun.com/fikih/definisihukum-dan-pelaksanaan-nikah/ - Tembolok - Mirip
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan
Malaysia, 1991, Remaja Rosdariya.
http://alislamu.com/content/view/398/6/
http://www.scribd.com/doc/17473259/Khitbah-PertunanganPeminangan-dalam-Islam

You might also like