Professional Documents
Culture Documents
( PERNIKAHAN )
Oleh :
ZAENAL ARIFIN A ( 2072009 )
ZAENAL ARIFIN B ( 2072010 )
MUHAMMAD MAHFUDIN ( )
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat
tersusun.
Rasa hormat dan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kami ucapkan kepada
Bapak Bahrul Ilmi, M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia dan Semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya
Tanpa adanya izin, bimbingan, bantuan dan informasi beliau kami tidak dapat
Kami berharap semoga Makalah ini berguna bagi para pembaca pada
Penyusun
PEMBAHASAN
Arti Nikah Menurut bahasa adalah : berkumpul. Adapun menurut istilah Ahli
Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah
setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama
Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak
memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk
penikmatan sebagai tujuan utama
B. Kedudukan Pernikahan
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan
Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan
sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah
bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku
akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari
kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah
diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang
berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain
berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya ….
Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya
bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku
berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan
dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain
Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan
gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang
hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar
egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung
jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan
melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun
pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman
dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah
kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka
mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka
itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan
bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari
karunia Allah.
C. Tujuan Pernikahan
E. Prinsip-Prinsip Perkawinan
1
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan
Malaysia,1991,Remaja Rosdariya,Bandung hal 1
2. Dalam undang-undang inidinytakan bahwa perkawqinana adalah sah apabila
dilakukan menurut hokum masng- amsing agamanya dankepercayaanya itu
dan, disamping itu ,tiap – tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan
perundang – undangan yang berlaku . pencatatan tiap –tiap perkawinan sama
dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang . kematiian yang di nyatakan dalam surat – surat keterangan , suatu
fakta resmi juga dimuat dalam daftar percatatan .
3. undang – undang itu menganut asas monogami . Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan krena hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkanya , seorang suamudapat beristri lebih dari seorang . Namun
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isrti , meskipun itu
dikehendaki oleh pihak – pihak bersangkutan , hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi sebagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan .
4. Undang –undang ini mengganut prinsis bahwa calon suami- istri itu harus
telah masak jiwa- raganya untuk dapat melangsunngkan perkawinan agar
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berahir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat . untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara suami- isrti yang masih dibawah umur .
Disamping itu ,perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kepedudukan .Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah seorang wanita
kawin mengakibatkan laju kelahirn lebih tinggi jik dibandingkan dengan batas
umur yang lebih inggi .Berhubung dengan itu, undang – undang ini
menemukan batas untuk kawin, baik bagi pria maupun wanita ,yaitu sembilan
belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita .
5. karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia ,
kekal , dan sejahtera , maka undang – undang inimenganut prinsip untuk
menper sukar terjadinya perceraian . untuk memungkinkan perceraian harus
ada alas an – alas an tertentu dilakukan di depan siding pengadilan .
6. Hak dan kedudukan isrti seimbang dengn hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan rumah tngga maupun dalam kehidupan masyarakat,sehingga
dengan demikian segala sesuatu didlalm keluarga dapat dirundingkan da
diputuska bersama oleh suami istri.
Sejalan dengan asas dan prinsip perkawinan tersebut diatas,Undang-undang
Perkawinan meletakan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan.Bab II pasal 6 hingga 12 memuat syarat-syarat
perkawinan itu sebagai berikut:
1. Persetujuan kedua belah pihak
2. izin orang tua wali
3. batas umur untuk kawintidak terdapat larangan kawin
4. tidak terikat oleh suatu perkawianan yang lain
5. tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan
dikawini
6. bagi janda te;lah lewat masa tunggu (tenggang idah)
7. memenuhi tata cara perkawinan2
2
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian…..hal 72-73
F. Ketentuan Umum Pernikahan
a) Perempuan yang haram di kawini
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan
puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu,
manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum
sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan
suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum
bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab
hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian;
saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Hal.570
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan
semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung,
haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada
orang lain haram kawin dengan:
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan.
Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat)
ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram.
Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian
dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452,
’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625
no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu
berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah
menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi
haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara
dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi
II:311 no:1162).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari
ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621
no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang
lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si
suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga
tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina,
terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat
nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini
kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang
berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
(An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi
Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan
di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman
baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan
kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau
diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau
memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda,
”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027,
’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
b) Perkawinan/Pernikahan telarang
Nikah mut’ah Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu
tertentu, jika waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri
dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak menerima mut'ah
dari suaminya.
Nikah Shigor Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar
menukar anak perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas
kawin, seperti seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain :
"Nikahkanlah aku dengan anakmu dan nanti aku nikahkan kamu dengan
anakku"
Nikah Muhallil Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah
dithalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali
pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh
suaminya yang kedua.
Nikah Badal Suatu pernikahan dengan tukar menukar istri misalnya seorang
yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah
sesuatu sesuai dengan kesepakatan dengan kedua belah pihak.
c) Peminangan / Petunangan
Dari Mughirah bin Syu’bah baerkata “Aku pernah melamar seorang wanita.
Lalu Nabi SAW
bersabda, ‘Lihatlah ia, kerana yang demikian itu akan menimbulkan kasih sayang
antara kalian
berdua.”
(HR Nasa’I, Ibn Majah dan Tirmidzi).
3. Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, wajah dan dua
telapak tangan
d) Kafa’ah
A. Definisi Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau
setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat
dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah
dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak
suatupun yang sama dengan-Nya.
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan
harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang
terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan
harus ada pada laki-laki yang mengawininya.
B. Hukum Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak
membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafa’ah
menjadi pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya
dengan jelas dan spesifik, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda pendapat tentang
hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab Zahiriyah yang
dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam
perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh
kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan
pezina.
Bertolak nbelakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari
Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan.
Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-
kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis
riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis
itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa
min al-auliya’.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi
kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi
pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan
atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan
perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar,
orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh
kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak
boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi
tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila
perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
C. Dasar-Dasar Kafa’ah
1. Diyanah
1. Nasab
2. Diyanah
3. Kemerdekaan dirinya.
4. Hirfah.
1. Diyanah
2. Hirfah
3. Kekayaan
4. Kemerdekaan diri
5. Nasab
almanaar.wordpress.com/.../tujuan-dan-hukum-pernikahan/ -
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
2007.
Hassan, Drs. H.M Ali dan Drs. H. Syafi’i. Pendidikan Pengamalan Ibadah. Jakarta :
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka. 1996
http://koswara.wordpress.com/2007/07/01/konsep-pernikahan-dalam-islam/
tanbihun.com/fikih/definisihukum-dan-pelaksanaan-nikah/ - Tembolok - Mirip
Prof.DR.Lili Rasjidi,S.H.,L,LM,Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan
Malaysia, 1991, Remaja Rosdariya.
http://alislamu.com/content/view/398/6/
http://www.scribd.com/doc/17473259/Khitbah-PertunanganPeminangan-dalam-Islam