You are on page 1of 6

Sosiologi pendidikan

Sosiologi pendidikan ialah kajian tentang bagaimana insititusi awam dan pengalaman individu
mempengaruhi pendidikan dan hasilnya. Ia menumpukan sistem persekolahan awam bagi
masyarakat perindustrian moden, termasuk perluasan pendidikan tinggi, pendidikan lanjutan, dan
pendidikan dewasa. [1]

Pada dasarnya, pendidikan dilihatkan sebagai suatu usaha manusia yang optimistik yang
dicirikan oleh cita-cita untuk mencapai kemajuan dan kebaikan.[2] Banyak orang memahaminya
sebagai cara untuk mengatasi hambatan dan merapatkan jurang ketaksamaan,[3] serta juga untuk
memperoleh kekayaan dan status.[3] Pendidikan juga dilihatkan sebagai tempat di mana kanak-
kanak dapat berkembang mengikut keperluan dan potensi sendiri.[2] Pendidikan harus bertujuan
untuk mengembangkan setiap individu sehingga potensinya yang penuh dan memberikan mereka
peluang untuk mencapai sebanyak yang boleh dalam kehidupan mereka, sejajar dengan
keupayaan sejadi mereka. Bagaimanapun, visi ini tidak menjadi kenyataan. Sebaliknya, menurut
banyak ahli sosiologi, kenyataannya adalah bahawa pendidikan memiliki matlamat yang lebih
besar daripada peringkat individu dan bertujuan untuk mengekalkan kestabilan sosial menerusi
pengeluaran semula sosial terhadap ketaksamaan. Apakah matlamat kestabilan in berbeza-beza,
bergantung kepada sudut pandangan sosiologi yang digunakan untuk menghadapi persoalan
tersebut.

Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi
khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi
khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio
kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota,
sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan
merupakan salah satu sosiologi khusus.

Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:

1. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya
menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian
teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan
kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan
kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses
pendidikan.
2. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa
sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-
masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.

3. Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha


untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan
kepribadian individu agar lebih baik.

4. Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan
dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk
mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari
kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.

5. Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala
aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.

6. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang
berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan
sosiologis.

Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang
mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah
pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan
sosiologis

FEELING IS BELIEVING. MULANYA teori baru diserang dikatakan tidak masuk akal.
Kemudian teori tersebut itu diakui benar, tetapi dianggap remeh. Akhirnya, ketika teori
itu sangat penting, para penentang akan segera mengklaim merekalah yang
menemukannya (William James).

KETIKA Dr Heidi Prozesky – sekretaris South African Sociological Association (SASA)


meminta TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium
III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000) sebagai materi sesi Higher
Education and Science Studies pada Konferensi SASA medio 2008 ini, saya tidak
terkejut. Paradigma baru The (R)Evolution of Social Science – The New Paradigm
Scientific System of Science ini, memang sudah tersebar pada ribuan ilmuwan pada
banyak universitas besar di benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa dan Australia.
Pembicaraan dan pengakuan pentingnya penemuan juga hangat dan mengalir dari mana-
mana.

Contoh, dari sekian banyak masalah telah dipecahkan paradigma ini adalah menjawab
debat sengit hingga kini keraguan ilmuwan sosial akan cabang sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan di berbagai belahan dunia. Tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar
The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008 di
Australia, dengan tema Re-imagining Sociology. (Judul tema Re-Imagining Sociology,
diambil dari judul yang sama buku Steve Fuller (2004), seorang profesor sosiologi dari
Universitas Warwick, Inggris).

Lalu, apa bukti (dan pemecahan re-imagining sociology dalam paradigma TQZ) masalah
sosiologi sampai ilmuwan sosial sendiri meragukannya?

PARADIGMA (ilmu) sosial masih dalam tahap pre-paradigmatik, sebab pengetahuan


mengenai manusia tidaklah semudah dalam ilmu alam (Thomas S. Kuhn).

Ada cara sederhana untuk menjadi ilmuwan menemukan (masalah) penemuan (dan
memecahkannya) di bidang apa pun, yaitu meneliti seluruh informasi yang ada di bidang
itu sebelumnya dari lama hingga terbaru. (Sebuah cara yang mudah tetapi sangat susah
bagi mereka yang tidak berminat atau malas). Mengenai informasi dari buku, menurut
Isadore Gilbert Mudge, dari penggunaan buku dibagi dua, yaitu buku dimaksudkan untuk
dibaca seluruhnya guna keterangan, dan buku yang dimaksudkan untuk ditengok atau
dirujuk guna suatu butir keterangan pasti. Keduanya punya kelebihan masing-masing.
Yang pertama luas menyeluruh, yang kedua dalam terbatas hal tertentu.

Berkaitan menonjolkan kelebihan pertama, Dadang Supardan (2008: 3-4), menyusun


buku Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), cetakan pertama,
Januari 2008, yang mendapat inspirasi pemikiran ilmuwan sosial Jerome S. Bruner,
bahwa mata pelajaran apa pun lebih mudah diajarkan (dan dipahami) secara efektif bila
struktur (fakta, konsep, generalisasi, dan teori) disiplin ilmu seluruhnya dipelajari lebih
dahulu, yaitu lebih komprehensif, mudah mengingat, mengajarkan, dan
mengembangkannya.

KLAIM sah paling umum dan efektif mengajukan paradigma baru adalah memecahkan
masalah yang menyebabkan paradigma lama mengalami krisis (Thomas S. Kuhn).

Lalu, apa hubungannya buku pengangan universitas yang baik ini dengan debat keraguan
sosiologi?

Dadang Supardan (2008:98), mengutip David Popenoe, menjelaskan jika ilmu sosiologi
ingin tetap merupakan sebuah ilmu pengetahuan maka harus merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang jelas nyata (obvious). Dadang mengungkap, ahli sosiologi sering
menyatakan bahwa mereka banyak menghabiskan uang untuk menemukan apa yang
sebenarnya hampir semua orang telah mengetahuinya. Sosiologi dihadapkan dengan
dunia masyarakat yang sebenarnya tidak begitu aneh, di mana orang-orang yang secara
umum sudah akrab ataupun mengenal konsep-konsep yang diperkenalkan dalam bidang
sosiologi. Sebaliknya, sebagai pembanding, dalam pokok kajian pada kelompok ilmu
kealaman adalah sering berada di luar dunia dari pengalaman sehari-hari. Dalam
menjawab permasalahan ilmu pengetahuan alam, temuan kajiannya memberikan
ungkapan dalam bahasa dan simbol-simbol di mana kebanyakan orang hampir tidak
memahaminya atau benar-benar dibawa dalam pengenalan konsep yang benar-benar
baru.

Lalu, inikah bukti kekurangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan? Ya (salah satunya).

Sebenarnya sangat jelas lagi, masalah sosiologi ini sudah diungkap Dadang Supardan
(2008: 4) sendiri di awal dengan mengutip Bruner pula. Menurut Bruner, terdapat tiga
tahapan berpikir seorang pembelajar, yaitu enactive, iconic dan symbolic. Enactive
terfokus pada ingatan, lalu iconic pola pikir tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi
seluruh informasi tertangkap karena adanya stimulan, kemudian tingkat symbolic, dapat
dianalogikan masa operasi formal menurut Piaget. Dalam tahapan terakhir, siswa (dan
siapapun – QZ) sudah mampu berpikir abstrak secara keilmuan pada tingkat yang dapat
diandalkan, mengingat sudah mampu berpikir analisis, sintesis dan evaluatif.

MENOLAK satu paradigma tanpa sekaligus menggantikannya dengan yang lain adalah
menolak ilmu pengetahuan itu sendiri (Thomas S. Kuhn).

Artinya, sosiologi yang dipelajari di sekolah dan universitas tanpa perangkat simbolik
selama ini kadaluarsa dan hanya dapat disebut pengetahuan saja. Dan, untuk
membuktikan kekurangan sosiologi tak perlu jauh-jauh (meski boleh agar nampak jelas)
dengan ilmu kealaman, cukup dengan ilmu pengetahuan mantap masih golongan (ilmu)
pengetahuan sosial juga yaitu ilmu ekonomi. Bukankah ilmu ekonomi dianggap ilmu
(ratunya golongan ini) karena mencapai tingkat analogi simbolik bahasa ekonomi?
(Karena itulah definisi ilmu pengetahuan dalam paradigma baru TQZ bukan kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara teratur (sistematis), tetapi kumpulan pengetahuan yang
tersusun secara teratur (sistematis), membentuk kaitan terpadu dari kode (symbolic),
satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu. Untuk ilmu
pengetahuan sosial paradigma milenium ketiga telah saya tetapkan International Code of
Nomenclature TQO Employee fungsinya Operation dengan kode O, TQC Supervisor
(Control-C), TQS Manager (Service – S), TQI Senior Manager (Information – I) dan
Director (Touch – T)).

Jadi, para ilmuwan sosial, sebenarnya sudah tahu sosiologi yang dipegang selama ini
tidak layak disebut sebagai ilmu pengetahuan, meski belum tahu pemecahannya. Lantas,
apa pentingnya solusi re-imagining sociology sekarang? Sangat pasti, salah satu cara
memahami masyarakat untuk mengatasi krisis dunia (negara, bangsa, daerah, organisasi,
usaha dan pribadi) yang semakin kompleks dan buntu selama ini. Dan, bagi lembaga
penelitian dan pendidikan baik organisasi dan pribadi harus proaktif berbenah. Adalah
fatal dan picik mengajarkan (ilmu) pengetahuan yang (kalau) sudah diketahui kadaluarsa
dan salah, di berbagai universitas dan sekolah. Dunia (di berbagai belahan) sudah
berubah.

KALAU teori saya terbukti benar, Jerman akan mengakui saya sebagai seorang Jerman
dan Prancis menyatakan saya sebagai warga negara dunia. Tetapi kalau salah, Prancis
akan menyebut saya seorang Jerman, dan Jerman menyatakan saya seorang Yahudi
(Albert Einstein).

SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat Eropa pada
sekitar awal abad ke-20 menyebabkan manfaat sosiologi menjadi
penting dalam mendampingi proses-proses pendidikan di Eropa.
Perkembangan tersebut merupakan efek dari revolusi sosial di berbagai
penjuru wilayah Eropa yang memicu akselerasi perubahan
arah perkembangan masyarakat Eropa. Era transisi perubahan
sosial tersebut menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis yang
tak terduga-duga kedatangannya, antara lain merebaknya keraguraguan
akan nilai dan tatanan normatif yang telah mapan
mengalami erosi jika tidak dilakukan penguatan orientasi. Bantuan
ilmu sosiologi dengan segala komponen konsepsionalnya mendapat
sambutan positif dari kalangan praktisi pendidikan, sebagai wujud
alternatif untuk memperkuat ketahanan sosial melalui pendidikan.
Manifestasi tersebut ditandai dengan kelahiran sosiologi pendidikan
sebagai produk keilmuan baru.
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat
sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan
dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan
ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan
memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan
pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan
sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan
adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan
yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok
ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu
sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan,
psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan
sosiologi dan ilmu pendidikan.
Gambar 1
Sosiologi pendidikan dalam Kelompok Ilmu-Ilmu Sosial
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan
penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan
yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan
kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat,
kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan
pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip
mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan
pribadi.
Objek penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku
sosial, yaitu tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait
dengan pendidikan. Tingkah laku itu hanya dapat dimengerti dari
tujuan, cita-cita atau nilai-nilai yang dikejar. Sebagaimana dalam
terminologi sosiologi, sosiologi pendidikan berbicara tentang pandangan
tentang kelas, sekolah, keluarga, masyarakat desa, kelompok-
kelompok masyarakat dan sebagainya, masing-masing
terangkum dalam wilayah suatu sistem sosial. Tiap-tiap sistem
sosial merupakan kesatuan integral yang mendapat pengaruh dari
(1) sistem sosial yang lain, (2) lingkungan alam, (3) sifat-sifat fisik
manusia dan (4) karakter mental penghuninya.
Sosiologi pendidikan telah memiliki lapangan penyelidikan,
sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas.
Menurut Dodson (dalam Faisal dan Yasik, 1985) sosiologi pendidikan
mempersoalkan pertemuan dan percampuran dari ling

You might also like