You are on page 1of 162

ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP

INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA


NASKAH PUBLIKASI

TESIS

OLEH

AGUNG YURIANDI
087005039/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
HALAMAN PENGESAHAN
(NASKAH PUBLIKASI)

JUDUL : ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI


TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI
SUMATERA UTARA
NAMA MAHASISWA : Agung Yuriandi
NOMOR POKOK : 087005039
PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., M.Li)


Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum)
ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI
HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **)
Runtung Sitepu **)
Mahmul Siregar **)

ABSTRAK

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.


Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di
Indonesia. Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau di seluruh dunia.
Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Dari
sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga
memegang peranan yang cukup penting. Industri Hasil Tembakau memiliki
sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja juga sebagai salah satu
objek yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang
berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Namun, ada tekanan dari luar untuk meratifikasi Framework Convention on
Tobacco Control yang tidak lain adalah untuk mengendalikan dampak negatif dari
rokok ditinjau dari segi kesehatannya. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan
Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 dengan visi untuk mewujudkan
Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan
global dengan tidak mengenyampingkan aspek kesehatan. Disamping Roadmap
Industri Hasil Tembakau 2007-2020 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan
Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau
untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk cukai.
Kebijakan pemerintah tersebut dinamakan kebijakan tarif tunggal (single tariff
policy) yang memberatkan industri hasil tembakau sedangkan penerimaan negara
dapat ditingkatkan. Kebijakan single tariff tersebut menyulitkan Industri Hasil
Tembakau yang ada di Sumatera Utara karena merupakan industri skala kecil dan
menengah. Sudah pasti tidak adil bagi daerah Sumatera Utara yang industrinya
merupakan skala kecil dan menengah yang rentan terhadap perubahan harga. Dengan
adanya perubahan harga maka konsumen rokok pada industri kecil dan menengah
akan mencari substitusi produk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : perlu adanya kajian terhadap
penerapan single tariff dan kebijakan yang berdasarkan pada pendapatan negara.
Dengan cara mengimbangi antara tujuan meningkatkan pendapatan negara dengan
kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri;
sebaiknya pemerintah daerah melakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk
memperbaiki iklim usaha dengan cara mengurangi transaction cost yang ditimbulkan

*
) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
oleh peraturan daerah dan memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara; dan
melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau yang diterima oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan
dampak yang diterima oleh lingkungan daerah Industri Hasil Tembakau itu berdiri,
juga diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran atau porsi yang baik
dalam menentukan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang lebih adil bagi
daerah Sumatera Utara.

Kata Kunci : - Kebijakan Tarif Tunggal


- Industri Hasil Tembakau
- Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
LEGAL ANALYSIS OF INDUSTRIAL POLICY RATES EXCISE OF
TOBACCO PRODUCTS INDUSTRY IN NORTH SUMATRA

Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **)
Runtung Sitepu **)
Mahmul Siregar **)

ABSTRACT

Tobacco is the kind of commodities subject to excise duty by the government.


The application of excise duty on tobacco has been conducted in the days of empire
in Indonesia. Indonesia accounted for 2,1% of the woldwide supply of tobacco. The
tobacco industry is contribute to the government revenue through excise. In terms of
state revenue in the form of foreign exchange, export value of tobacco and tobacco
result also holds an important role. The tobacco has a large contribution to labor
absorption also as one of the objects that can be used as source of Revenue for
Regional Real Income associated with the Fund For The Tobacco Excise Results.
However, there is pressure from outside to ratify the Framework Convention
on Tobacco Control which is none other than to control the negative impacts of
smoking in terms of health. Therefore, the government issued a Tobacco Product
Industries Roadmap 2007-2020 with the vision to realize the Tobacco Industry,
strong and competitive in the domestic and global markets with no waive the health
aspects. Besides Roadmap 2007-2020 of Tobacco Product Industries Government
also issued a Regulation of the Minister of Finance No. 181/PMK.011/2009 about
Tobacco Excise Tariff to Boost Government Revenues In The Form of Excise Duty.
The government policy is called single tariff policy that hold the tobacco
industry can be enhanced while government take the revenue. Single Tariff Policy is
complicated for Tobacco Product Industries in North Sumatra due to the Small and
medium scale of industries. It is certainly not fair to the industrial region of North
Sumatra is a small scale and medium enterprises that are vulnerable of price changes.
With the change in the consumer price of cigarettes in small and medium industries
will find the substitution products.
The results showed that : the need for study of a single application of tariff
rates and policies based on government revenue. By the way of balance between the
goal of increasing government revenues with the interests of the community, local
government, and the tobacco industriy itself; local government should make efforts
that aim to improve the business climate by reducing the transaction costs incurred by
the local regulations and improving infrastructure investments in North Sumatra; and
conduct a review of the allocation of Profit Sharing Fund Tobacco Excise results
received by the Local Government to consider the environmental impact received by
the region’s standing Tobacco Industry Results, further studies are also required to

*
) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
**
) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
obtain quantity or a good portion in determining the Sharing Fund Tobacco Excise a
fairer results for the region of North Sumatra.

Key Words : - Single Tariff Policy


- Tobacco Product Industry
- Profit Sharing Fund Tobacco Excise
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur yang penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW

atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta

kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.

Penulisan tesis ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar

Magister Humaniora di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam

penulisan tesis ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh

masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan

menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan tesis ini,

penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu

penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.),

sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan mengenai sejarah hukum dalam penyelesaian tesis

ini.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program

Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister

(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., sebagai Dosen

Pembimbing I yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan semangat

pantang menyerah kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III

yang telah memberikan dukungan moral dan sistem pengajaran yang sangat

baik sehingga penulis mengerti apa maksud dan tujuan dari menulis.

7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah

memberikan masukan dalam hal pengajaran di dalam kelas.

8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I

dan sebagai Penguji II yang telah memberikan kemudahan dalam urusan

birokrasi, juga masukan dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menjelaskan proses

administrasi di bagian keuangan.

10. Bapak Ir. Yusuf Husni, sebagai Pembantu Rektor V yang telah banyak

memberikan nasihat-nasihat positif dan pandangan hidup serta cara berusaha

kepada penulis.
11. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., sebagai Dosen pada saat penulis menjalani

studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.

12. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara, Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Buk Ganti, Buk Niar, Bang

Udin, Bang Hendra, Bang Herman, yang telah memberikan informasi dan

membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Juga saya ucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua

penulis yang telah sabar dan mencurahkan segenap kasih sayangnya dan

segala pengorbanannya serta doanya sehingga penulis dapat memperoleh

pendidikan tinggi ini, kepada orang tua Ayahanda Yuri Subandi dan Ibunda

Dewi Lastina, BA., dengan doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan

tesis ini.

14. Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

untuk adik penulis, Wenny Subandi, SE., yang telah memberikan dukungan,

dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.

15. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kelvina Sefialora, SH., yang telah

memberikan perhatian dan semangat serta doa kepada penulis ketika

mengalami kejenuhan dan penat selama menyelesaikan studi di Sekolah Pasca

Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

16. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku Radian Alfin, SH.,

M. Fadli Habibie, SH., M.Hum., Sudirman Simamora, SH, M.Hum., Ya’ti


Syahri, SH., Tri Murti Lubis, SH., Muhammad Suhandi, SH., Muhammad

Hanafi Matondang, Dyah Ayunda Utami Putri, S.Kom., Subandi, Amd., Eko

Neilamzulsyah, Amd., Dolly Tirta, Amd., Riadi, Syaiful Bahri, Asnan, Melfa,

yang sangat membantu selama penyelesaian tesis, yang selama ini bersama-

sama dalam suka maupun duka dan teman-teman tidak dapat penulis sebutkan

namanya satu-persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak

yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di

Indonesia.

Wassalamualaikum wr. wb.

Medan, September 2010

Penulis

Agung Yuriandi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Agung Yuriandi

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 07 Juli 1985

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pendidikan :

- Lulusan SD Percobaan Negeri Medan, tahun 1997;

- Lulusan SLTP Negeri 3 Medan, tahun 2000;

- Lulusan SMU Negeri 6 Medan, tahun 2003;

- Lulusan S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007;

- Lulusan S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, tahun 2010.


DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan ii

Abstrak iii

Kata Pengantar vii

Daftar Riwayat Hidup xi

Daftar Isi xii

Daftar Tabel xv

Daftar Gambar xvi

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 19

C. Tujuan Penelitian 19

D. Manfaat Penelitian 20

E. Keaslian Penelitian 20

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi 21

G. Metode Penelitian 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian 30

2. Sumber Bahan Hukum 31

3. Teknik Pengumpulan Data 33

4. Analisis Data 34
BAB II : KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA 37

A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 37

1. Masa Sebelum Kemerdekaan 42

2. Masa Sesudah Kemerdekaan 43

3. Masa Orde Baru & Reformasi 46

4. Masa Pasca Reformasi 47

B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 49

1. Departemen Keuangan 51

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan 59

3. Departemen Pertanian 62

C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari 64

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Peruntukannya

BAB III : PENGARUH KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI 71


HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 71

1. Industri Rokok 71

a. Perusahaan Besar Tembakau 72

b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera 74

Utara

2. Masyarakat 78

3. Pendapatan Negara 82

B. Hambatan yang Dihadapi Perusahaan-Perusahaan Rokok Nasional 83


1. Peredaran Rokok Illegal dan Pita Cukai Palsu 83

2. Kebijakan yang Kurang Mendukung 85

3. Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok 91

C. Pengaruh Eksternal 93

1. Liberalisasi Perdagangan Dunia 93

2. Framework Convention on Tobacco Control 102

3. Trend Akuisisi Perusahaan Rokok Nasional oleh Investor Asing 117

BAB IV : KETENTUAN PEMBAGIAN CUKAI HASIL TEMBAKAU 119


DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN BAGI SUMATERA UTARA
SEBAGAI DAERAH PENGHASIL TEMBAKAU DAN LOKASI
INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DALAM KERANGKA
KEBIJAKAN TARIF

A. Cukai Tembakau dan Retribusi Daerah 119

B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff 124

C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 127

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 134

A. Kesimpulan 134

B. Saran 137

DAFTAR PUSTAKA 139


DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 41

Tabel 2 Golongan Pengusaha Hasil Tembakau 52

Tabel 3 Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan


Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan PMK No.
181/PMK.011/2009 53

Tabel 4 Target dan Realisasi Penerimaan Cukai APBN 2005 – 2010 59

Tabel 5 Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009 61

Tabel 6 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil


Tembakau Tahun Anggaran 2009 65

Tabel 7 Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999 73

Tabel 8 Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2008 – 2009 119
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008 40


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia

termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun

tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,

sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian

nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan

pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani

dan pengolahan rokok).1

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.

Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di

Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus

membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya

(barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula

barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang

membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai

1
Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2.
2
Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara
menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan
tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang
masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum
Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.

Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan,

dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya

agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah,

termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus

membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu).3

Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih

berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima

tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada

tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 4 Pengutipan cukai tembakau

tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-

undangan.

Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar

di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri

Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu

besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak

jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6

3
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written
in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited
Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.
4
Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis
Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas
Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
5
Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”,
http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada
26 Mei 2010.
6
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 2.
Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia.

Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik

dan produk-produk tembakau lainnya. 7 Penerimaan negara melalui Industri Hasil

Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau

yang dihasilkan setiap perusahaan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada

Masyarakat Universitas Jember (LPM UNEJ) pada tahun 2008 menggambarkan

peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai

berikut :

“Dibanding sektor-sektor pertanian yang lain baik tanaman pangan,


perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan, sektor tembakau memiliki
nilai keterkaitan ke belakang untuk output tertinggi setelah sektor unggas dan
hasilnya. Sumbangan untuk sektor tembakau (Sektor 11) dan industri rokok
(Sektor 34) terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp.
46,195 triliun. Nilai ini adalah didasarkan dari data I-O Indonesia tahun 2005.
Namun, berdasarkan data Dirjenbun, sumbangan sektor tembakau berbagai
jenis terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2005 bernilai Rp. 17,72544
triliun.

Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O


perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa
industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk
Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong industri
yang memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang tidak terlalu
tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan sektor industri rokok terhadap
Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun.

Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan
industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp.
46,195 triliun”.8
7
”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com
/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei
2010.
8
LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku
Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember :
LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.
Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.

Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata

13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9

Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah

penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai

hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan

penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan

gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil

Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan

peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.

Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil

tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit

perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor

tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor

tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan

9
Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83.
10
Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,
31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-
153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
11
Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04
November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424,
id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
12
“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19
November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view=
article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses
pada 26 Mei 2010.
rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004

– tahun 2008.13

Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap

penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung

maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang,

petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang,

pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan,

periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.14

Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di

Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan

Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai

Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan

kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan

Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan

bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk

mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan

ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

13
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68.
14
“Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,
diakses pada 13 Juni 2010.
Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39

Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau

dialokasikan 2% kepada daerah penghasil tembakau.15

Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, diperkirakan sebanyak

Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan

dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Utara.16

Dengan demikian, dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap Pendapatan

Daerah Sumatera Utara adalah meningkatkan pendapatan daerah selama Industri

Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun

harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap

perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang

berbanding terbalik dengan pengembangan Industri Hasil Tembakau. Semakin tinggi

tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri

Hasil Tembakau.17

Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya

dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah

untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan.

Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang

15
Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,
(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat
dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”,
http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-
tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.
16
Loc.cit., hal. 86.
17
Ibid., hal. 86-87.
mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam

mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau telah menyebabkan kondisi

industri ini berada dalam kesulitan yang sangat nyata.18

Meskipun Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi positif bagi

ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi

sejumlah masalah (termasuk Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara), yaitu :

ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau

masih sangat kecil; semakin tingginya kampanye anti merokok; Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC) mengenai pengendalian dampak tembakau;

iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok

illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.

Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak

menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa

dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa

peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti

dengan meningkatnya produksi perkebunan tembakau di Indonesia dari tahun 2005 –

tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006,

164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai

172.701 ton. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan lahan

18
Ibid., hal. 87.
perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun

2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19

Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah

melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun

pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada

tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp.

3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008

mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak

yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan

dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah

baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20

Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan

maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari

Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang

bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan tembakau terjadi pengurangan

lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang

dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut

19
“Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-
10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni
2010.
20
Loc.cit., hal. 37-38.
mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270

bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali

menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil

lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan

rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770

bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun

2009.21

Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara

sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian

menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,

Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti

rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan

mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis”.22

Dalam lingkungan internasional, Industri Hasil Tembakau dihambat oleh

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Framework Convention on

Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health

Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di

Genewa. Diberlakukan tanggal 27 Februari 2005 serta sudah ditandatangani dan

diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention

21
“Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com
/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.
22
“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal
17 Maret 2010).
on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut

sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu

negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi

tersebut.23

Hal-hal pokok yang diatur dalam Framework Convention on Tobacco Control

antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan,

pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan

penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi

terhadap produk tembakau akan berdampak terhadap penurunan produksi dan

konsumsi tembakau disamping itu akan mendorong peningkatan produksi dan

peredaran rokok tanpa cukai (rokok ilegal).24

Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on

Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai

infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal,

semakin banyak peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu.

Mengenai infrastruktur yang menjadi penghambat dalam perkembangan

Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya

tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga

bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang

masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah

23
“Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net
/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni
2010.
24
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 97.
keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil

Tembakau untuk berkembang.

Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-

retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti

pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada

harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat

Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke

Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan

yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang

dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan

juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat.

Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok

yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.

6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Menurut Thomas Sugijata sebagai

Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa :

“...fatwa haram terhadap rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, akan


mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Mengenai
seberapa besar pengaruhnya, baru bisa dihitung satu atau dua bulan setelah
fatwa tersebut diberlakukan”.25

Biaya lainnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau yang dikutip sebelum rokok

dipasarkan (dibayar didepan). Dengan peraturan inilah pemerintah menetapkan harga

setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan

25
“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Op.cit.
terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan

harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan

dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan

menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan

dan pasokan barang. Apabila penjualan mengalami penurunan, maka pendapatan

perusahaan rokok akan menurun pula.26

Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri

Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila

dibandingkan dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk

mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam

negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh

Departemen Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan

Republik Indonesia mengatakan bahwa :

”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang
nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil
tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai
tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada
tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan
tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran.
Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga
jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat
tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung
melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara
keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup
bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk
mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau.
Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam
rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret
Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah
Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar

26
Loc.cit., hal. 162.
Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar
Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II
sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27

Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada

kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan

tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil

Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret

Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat

memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.

Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau

yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan

Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang

Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak

diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan

beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007.

Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang

dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk

mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.28

27
Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan
Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik
Indonesia, tanggal 18 November 2009).
28
Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan

Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia (menjabat pada waktu itu)

menyatakan bahwa :

“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek
Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan
pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap
melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan
menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin.
Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat
dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29

Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok

putih, muncul dugaan adanya keterlibatan perusahaan multinasional dalam regulasi

Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau

nasional dengan menggunakan instrumen regulasi cukai dan Framework Convention

on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak

dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil

Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai

rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat

bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli

rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan

ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.

Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan

menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil

29
Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak
Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05
Juni 2010.
Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual

perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,

seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain.

Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil

Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih

kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT.

British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai

bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30

Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah

ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding

Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan

perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran

adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.

Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita

baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan

kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan

Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri

Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama

2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek.

Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan

menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,

30
Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.
Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco
Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.
seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai

lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran

maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang

harus hidup diantara para raksasa rokok.31

Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa

untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh

perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company

dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau

dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup

dan tidak beroperasi lagi.

Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau

sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap

pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam

kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.32

Kebijakan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau cenderung terus

meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi

setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau

untuk menetapkan penerimaan negara. Jadi, konsumsi rokok diperkecil dengan

31
“Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya
Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100.
32
”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,
www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.
penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff

yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat

naik.

Setelah cukai dipungut dari Industri Hasil Tembakau, pemerintah

berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

CHT) dengan diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009

tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut

digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, lingkungan sosial,

sosialisasi ketentuan di bidang cukai illegal khususnya di Sumatera Utara yang

kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT) tersebut disalurkan.

Menurut Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009

tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar

Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan

digunakan sebagai pengendalian dampak tembakau, seperti pembangunan sarana dan

prasarana kesehatan berupa perlengkapan alat-alat kesehatan, pembangunan tempat-

tempat merokok di daerah umum, dan lain sebagainya.

Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Kedua atas

33
Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar

dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri

Hasil Tembakau skala menengah-bawah dan Industri Hasil Tembakau skala

menengah-atas. Beberapa tarif yang dibebankan berdasarkan jenis dan golongan

justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala

menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34

Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat

dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi

Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada

Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri

Hasil Tembakau di Sumatera Utara membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil

Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar.

Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau

sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik

dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau,

yakni : peningkatan pendapatan negara melalui cukai tembakau, pengendalian

dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada

perekonomian nasional seperti penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan

rakyat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan Industri Hasil Tembakau.35

34
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53.
35
Ibid., hal. 100.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di

Sumatera Utara?

3. Bagaimana ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek

keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi

Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum

dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara terkait dengan Industri Hasil

Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara

lain :

1. Untuk menganalisis kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau

di Sumatera Utara.

3. Untuk menganalisis ketentuan pembagian cukai hasil tembakau yang ditinjau

dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau

dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif.


D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Industri Hasil Tembakau dalam

mengambil langkah yang ditempuh untuk membela industri

menengah-kecil agar menghindari kerugian perusahaan akibat

kebijakan single tariff.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) agar

terbentuk peraturan atau kebijakan yang mampu menciptakan

kestabilan, keterprediksian, dan keadilan bagi seluruh anggota

masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada

lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa

penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil

Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait,

et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian
yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi.

Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai

tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan

masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya

ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi,

permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

Penelitian tesis ini menggunakan teori hukum mengenai “peranan hukum

dalam kegiatan ekonomi“ (rule of law in economic development), teori analisis

ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).

Dalam analisis hukum mengenai peranan hukum dalam kegiatan ekonomi

digunakan teori Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa :

”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan


ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability,
predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim
ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah
potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-
kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan
(predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil
khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali
memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang
tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar
pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar
dan mencegah birokrasi yang berlebihan”.36

36
Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al.,
Op.cit., hal. 106-107.
Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan

ekonomi, apabila peraturan hukum yang dihasilkan memenuhi unsur stabilitas

(stability), keterprediksian (predictability) dan berkeadilan (fairness).

Peraturan hukum dapat menciptakan stabilitas jika peraturan hukum tersebut

memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh

budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan

tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan

para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan

kebijakan tarif cukai.

Prediktabilitas dari peraturan hukum akan membantu para pelaku ekonomi

dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasi kegiatan ekonomi yang lebih

efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian

hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial,

dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat

memprediksi seluruh ketentuan yang berlaku.

Keadilan hukum akan memberikan hak dan kewajiban secara berimbang

kepada setiap orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, akomodatif terhadap

berbagai kepentingan dan melindungi pihak-pihak yang kurang beruntung. Peraturan

berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya

mementingkan penerimaan negara tetapi juga harus memperhatikan dampak

kesehatan dan lebih berpihak kepada Industri Hasil Tembakau.

Mengenai keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya

dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai
kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya.

Hukum di bidang ekonomi dengan demikian harus berimbang dalam mengatur

kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan

implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan

negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk

menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui

hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih

menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.37

Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang

menyatakan bahwa :

”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi
di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum
berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun
dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-
ketentuan dalam hukum perbankan”.38

Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum

berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang

melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,

contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum

berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun

tidak terlepas dari pengendalian kesehatan masyarakat oleh pemerintah.

37
Ibid., hal. 108.
38
Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan

pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu

meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan

legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39

Hukum ekonomi di Indonesia menjamin kepastian hak setiap orang untuk

mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi,

peluang-peluang ekonomi yang ada untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya.

Oleh karena itu, hukum di Indonesia tidak menghendaki adanya konsentrasi

penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi

ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi.

Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai

Tembakau adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi kepentingan nasional

tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil

Tembakau.

Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan

fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan

Pemerintah. Banyak pandangan yang mengisyaratkan bahwa kebijakan cukai yang

ditetapkan oleh pemerintah tidak konsisten dengan Roadmap Industri Hasil

Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri

Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja

yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten

dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara

39
Ibid.
seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek

penerimaan negara. Kebijakan yang demikian sangat dikhawatirkan akan menekan

Industri Hasil Tembakau Indonesia, khususnya Industri Hasil Tembakau yang

berskala kecil dan menengah. Kebijakan yang demikian diprediksikan akan

menimbulkan kecenderungan semakin menyempitnya ruang kesempatan berusaha

bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil

Menengah. Produktifitas Industri Hasil Tembakau akan menurun, rasionalisasi tenaga

kerja, kehilangan pendapatan dan penurunan tingkat kesejahteraan adalah peluang-

peluang yang sangat mungkin terjadi.40

Keadaan ini akan diperburuk oleh sejumlah permasalahan domestik yang

dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang

kurang kondusif, infrastruktur yang kurang mendukung, masalah bahan baku,

ekonomi biaya tinggi dan semakin maraknya produk rokok ilegal.41

Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil

Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing,

dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan

perusahaannya melalui restrukturisasi perusahaan, baik dengan menggunakan metode

merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) atau menyerahkan perusahaan untuk

diakuisisi (pengambilalihan) oleh perusahaan-perusahaan yang lebih kuat. Praktik

monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena

keadaan-keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, akan menyisakan beberapa

40
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109.
41
Ibid., hal. 110.
pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat,

tidak tertutup kemungkinan adalah Industri Hasil Tembakau asing.42

Tidak disangkal bahwa hasil Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok,

memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan

masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat

luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan

akomodatif terhadap berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Tidak

dikehendaki adanya kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan secara

proporsional dampak yang mungkin timbul dari regulasi yang dikeluarkan.43

Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan

bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak.

Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi,

untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana

Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di

Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah

pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep

yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi

operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :

42
Ibid.
43
Ibid., hal. 111.
1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau

mendistribusikan atau memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan dari

pengolahan tembakau.44

2. Manfaat ekonomi adalah berkaitan dengan penerimaan negara untuk

meningkatkan pendapatan negara melalui cukai yang digunakan untuk

kepentingan masyarakat dan pemerintah.

3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil

tembakau, Framework Convention on Tobacco Control, Fatwa Majelis Ulama

Indonesia, peraturan daerah yang melarang merokok pada tempat-tempat

tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak

mendukung, dan ketersediaan bahan baku.

4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan

oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi

Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009

atau penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang diterapkan di

Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil tembakau sebesar 2%.

6. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang

tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam

undang-undang.45 Dalam tulisan ini adalah cukai hasil tembakau.

44
Ibid.
45
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, Op.cit.
7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti

Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain

sebagainya.

8. Hukum adalah setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang

terkait dengan pengaturan industri hasil tembakau.46

9. Industri Rokok adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau

memasarkan atau menjual hasil olahan tembakau berupa rokok.47

10. Roadmap Industri Hasil Tembakau adalah program pemerintah yang

dicanangkan sejak tahun 2007 – 2020 untuk mengembangkan Industri Hasil

Tembakau.

11. Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan

tembakau/produk keluaran dikenakan cukai dengan tarif yang sama.

12. Transaction Cost adalah biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung

oleh Industri Hasil Tembakau untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.48

G. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-

hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan

46
Loc.cit., hal. 112.
47
Ibid.
48
Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.

Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian

termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49

Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat

dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan

pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun

masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan

penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh

semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian

termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode

etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :

1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar,


kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang
lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat;
3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan;
4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca;
5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya;
6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting;
7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri;
8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 51

49
Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2.
50
Ibid.
51
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan juridis normatif. 52 Dengan demikian objek penelitian adalah norma

hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh

pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang

terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di

Sumatera Utara.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam

melakukan pengkajian kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera

Utara. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan

menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada

bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri

pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini

menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi

Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id


/perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
52
Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum
dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-
standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan

batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.53

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi terhadap kebijakan tarif

dalam Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan

dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : Undang-

Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-Undang No. 16 Tahun

1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau

(Staatsblad 1932 No. 517) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan diubah kembali dengan Undang-

Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11

Tahun 1995 tentang Cukai dan peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

53
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet.
III, 2007).
Tidak Sehat, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang

No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; juga

sejumlah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait Penetapan

Tarif Cukai Hasil Tembakau, seperti Peraturan Menteri Keuangan No.

43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil

Tembakau, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.

118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri

Keuangan No. 43/PMK.04/2005, diubah kembali dengan Peraturan Menteri

Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga, dan Peraturan

Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil

Tembakau.

2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai

konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer

dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik

jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang

relevan seperti Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 yang

dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian.

3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum

primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.


3. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi

kepustakaan 54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang

dipandang relevan, antara lain instansi terkait dan pelaku usaha Industri Hasil

Tembakau. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara.

Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain

bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan

sejumlah informan yang dipandang relevan yaitu : pengelola/pengurus perusahaan

rokok dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara di Medan, dengan

metode wawancara mendalam (in-depth interview)55. Informan yang dipilih adalah

yang terlibat langsung dalam penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT) yaitu Dinas Pendapatan Daerah pada tingkat Pemerintah Provinsi

maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

54
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti
lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
55
Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.
Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
4. Analisis Data

Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka

ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis

proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang

tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik

informasi, data, dan proses suatu fenomena.56

Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan

sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya

terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan

prediktabilitas hukum, mencari keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.57

Analisis dilakukan secara holistik58 dan integral untuk menemukan hubungan

logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan

kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya

antara lain meliputi hubungan antara kebijakan tarif cukai hasil tembakau,

penerimaan negara, peran ekonomi Industri Hasil Tembakau dalam hal Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil

56
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153.
57
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Op.cit., hal. 144-145.
58
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada
13 Agustus 2010.
Menengah, dampak negatif hasil tembakau, dan lain-lain yang ditemukan dalam

penelitian.

Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat

menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan

tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi

perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya

akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita

dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.59

Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi

seluruh bagian dari Industri Hasil Tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau

agar menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.60

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak

langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah

dalam kebijakan tarif cukai hasil tembakau terhadap industri hasil tembakau di

Sumatera Utara. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan

melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama

sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka
59
Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2),
hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses
pada 13 Agustus 2010.
60
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.
deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang

digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan

pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori

tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2) apakah teori

dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan

karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah

berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; 3) apakah

membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka

semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan

fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau

direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan

menggunakan teori baru.61

61
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.
BAB II

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA

A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau

Pengaturan cukai tembakau di Indonesia di pengaruhi oleh Politik Hukum

yang terjadi, yaitu perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan. Politik

adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara

lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negari. Dunia politik

tidak terlepas dari kekuasaan dan wewenang penguasa.

Menurut C.F. Strong, politik hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang

negara. Negara merupakan organisasi kekuasaan karena di dalam negara selalu

dijumpai pusat-pusat kekuasaan, baik dalam suprastruktur (terjelma dalam lembaga

politik dan lembaga negara) dan infrastruktur yang meliputi :

1. ”Partai Politik, yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus;
2. Golongan kepentingan, yaitu sekelompok manusia yang bersatu atau
mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu
baik merupakan kepentingan umum atau masyarakat umum;
3. Golongan penekan, yaitu sekelompok manusia yang bergabung menjadi satu
anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak ke luar
sebagai golongan yang sering mempunyai keinginan untuk memaksakan
kepada pihak penguasa;
4. Alat komunikasi politik, yaitu media komunikasi, komunikasi kontak
langsung, dan jaringan-jaringan infrastruktur; dan
5. Tokoh politik, yaitu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik itu sendiri,
lebih kepada yang terlibat pada suatu negara dalam hal
penyelenggaraannya”.62

62
C.F. Strong dalam Satya Arinanto, “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, (Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 1.
Menurut Mahfud M.D., politik hukum adalah legal policy yang akan atau

telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi :

1. ”Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap


materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum”.63

Dari kedua pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mencakup proses

pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana

hukum akan dibangun dan ditegakkan. Politik dan hukum sangat berhubungan karena

ada intervensi politik terhadap hukum, politik kerapkali melakukan intervensi

terhadap pembentukan dan pelaksanaan hukum. Hukum dalam arti peraturan

merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan

bersaing.64

Dalam hal pengaturan cukai hasil tembakau juga dipengaruhi oleh penguasa.

Pada zaman kerajaan Indonesia dahulu sudah tentu yang mempengaruhi

pengaturannya adalah penguasa setempat dimana tembakau tersebut diperjualbelikan.

Pada masa sebelum kemerdekaan, tepatnya masa pemerintahan Hindia-Belanda

pengaturan cukai tembakau dipengaruhi oleh Belanda pada masa itu demi keuntungan

mereka semata. Seluruh keuntungan (masa sekarang disebut Dana Bagi Hasil Cukai

Hasil Tembakau (DBH CHT)) dari penjualan tembakau dibawa ke negeri Belanda

63
Mahfud M.D. dalam Ibid.
64
Ibid., hal. 4-16.
untuk membangun negara tersebut. Perubahan terjadi setelah kemerdekaan tercapai,

sepenuhnya pengaturan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Sebelum berbicara mengenai pengaturan cukai tembakau, akan dilihat

kemajemukan hukum di Indonesia pada sebelum abad VII – 2008 pada gambar di

bawah ini :
Gambar 1
Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008

Terjadi revolusi
Eropa dan - Dalam periode sekitar 130 tahun (1819 – 1949), pemerintah Belanda memberlakukan ± 7.000 peraturan di
Belanda wilayah Hindia Belanda;
memberlakukan - Menurut penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada sekitar tahun 1992 masih tersisa
Grundwet baru sekitar 400 peraturan kolonial yang masih berlaku; dan
- Pada saat ini jumlah tersebut semakin berkurang.

HK. ADAT
ASLI + HK.. Masa Reformasi –
HINDU + Pasca Reformasi
HK. ISLAM (1998 - ...)

Pra 1900 Pasca 1900


Masa Kekuasaan Kelompok Universalis Ms. Kekuasaan Klp.
Liberal Partikuler

Abad XIV 1819 1848 1855 1890 1940 1949 1998

Abad VII Abad XVII 1840 1854 1870 1900 1945 1990 2008

Pasal II Aturan Peralihan


HK. ADAT UUD ’45 (sebelum perubahan) :
ASLI - Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama
HK. ADAT Masa Masa Politik Masa belum diadakan yang baru
HK. ADAT ASLI Liberalisme Etis Dekolonisasi & menurut UUD ini;
ASLI + HK. + HK. HINDU +
HINDU (1840 – 1890) (1890 – 1840) Orde Baru - Untuk mengisi kekurangan
HK. ISLAM + hukum.
HK. KRISTEN +
HK. KATOLIK + Pemberlakuan Pemberlakuan Pemberlakuan
HK. EROPA RR IS Agrarische
Wet Proklamasi :
Pemberlakuan
UUD ’45

Sumber : Satya Arinanto, ”Modul Perkuliahan Politik Hukum : Kemajemukan Hukum di Indonesia”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
2008)
Berdasarkan pembagian masa-masa kemajemukan hukum di atas maka dapat

dibagi menjadi perkembangan pengaturan cukai tembakau pada 4 (empat) masa

pengaturan cukai tembakau, yaitu : 1) sebelum kemerdekaan; 2) sesudah

kemerdekaan; 3) orde baru & reformasi; dan 4) Masa Pasca Reformasi. Adapun

pembagian tersebut diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1
Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau

No. Masa Nama, Nomor, dan Tahun Tentang


Peraturan
Staatsblad No. 517 Tahun 1932
1. Sebelum Staatsblad No. 560 Tahun 1932 Tabaksaccijns-verordening
Kemerdekaan Staatsblad No. 234 Tahun 1949
UU Darurat No. 22 Tahun 1950 Penurunan Cukai Tembakau
PP No. 8 Tahun 1951 Perubahan "Tabaks-Accijnsverordening”
2. Sesudah (Staatsblad 1932 No. 560)
Kemerdekaan Pengubahan dan Penambahan Ordonansi
UU No. 16 Tahun 1956 Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No.
517)
Perhitungan Untuk Pemungutan Cukai
Perpres No. 189 Tahun 1967 Atas Hasil Tembakau yang Berasal Dari
Luar Negeri
Pencabutan Keppres No. 63 Tahun 1968
dan Pembebanan Bea Masuk/Cukai &
Perpres No. 38 Tahun 1969 Pungutan-Pungutan Lainnya Atas
Pemasukan Hasil Tembakau Buatan
3. Orde Baru & Luar Negeri
Reformasi UU No. 11 Tahun 1995 Cukai
PP No. 24 Tahun 1996 Pengenaan Sanksi Administrasi di
Bidang Cukai
PP No. 25 Tahun 1996 Izin Pengusaha Barang Kena Cukai
PP No. 55 Tahun 1996 Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Kepabeanan dan Cukai
UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995
tentang Cukai
PP No. 72 Tahun 2008 Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai
Peraturan Menteri Keuangan Penetapan Harga Dasar & Tarif Cukai
No. 43/PMK.04/2005 Hasil Tembakau
Perubahan Kedua Atas Peraturan
Peraturan Menteri Keuangan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005
No. 118/PMK.04/2006 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif
Cukai Hasil Tembakau
4. Pasca Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Reformasi Peraturan Menteri Keuangan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005
No. 134/PMK.04/2007 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif
Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan Tarif Cukai Hasil Tembakau
No. 203/PMK.011/2008
Peraturan Menteri Keuangan Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau
No. 60/PMK.07/2008 Tahun Anggaran 2008
Peraturan Menteri Keuangan Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai
No. 84/PMK.07/2008 Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi
Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT)
Peraturan Menteri Keuangan Tarif Cukai Hasil Tembakau
No. 181/PMK.011/2009
Alokasi Dana Sementara Dana Bagi
Peraturan Menteri Keuangan Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun
No. 85/PMK.07/2009 Anggaran 2009
Peraturan Menteri Keuangan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil
No. 66/PMK.07/2010 Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2010
Peraturan Menteri Keuangan Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
No. 126/PMK.07/2010 Anggaran Transfer ke Daerah
Sumber : Website resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional, www.bphn.go.id., diakses pada
08 September 2010

1. Masa Sebelum Kemerdekaan

Cukai tembakau pada masa ini diatur dengan yang disebut Staatsblad No. 517

Tahun 1932, Staatsblad No. 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad No. 234

Tahun 1949 tentang ”Tabaksaccijns-Ordonnantie”. Peraturan tersebut memakai teks

asli berbahasa Belanda.

Peraturan-peraturan tersebut diatas mengatur tentang pita cukai, eksportir dan

importir (dalam hal bea masuk). Juga mengenai besaran jumlah yang diterima

pemerintah dalam pengutipan cukai tersebut.


2. Sesudah Kemerdekaan

Sesudah kemerdekaan cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang Darurat

No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Penetapan dalam peraturan

ini mengatur tentang Harga Jual Eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan,

dan penetapan golongan-golongan pengusaha.

Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai

Tembakau pada Pasal 10 menyebutkan bahwa :

(1) ”Cukainya berjumlah :


a. Untuk rokok-rokok sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris
lima puluh persen dari harga eceran;
b. Untuk rokok-rokok sigaret lain dari pada yang dibuat dengan mesin empat
puluh persen dari harga eceran;
c. Untuk hasil-hasil lain yang dikenai cukai tiga puluh persen dari harga
eceran.
(2) Dalam hal keragu-raguan atau perbedaan pendapat apa hasil-hasil tembakau
yang dikenakan cukai termasuk di bawah a. dari ayat di muka ini, atau di
bawah b. atau c. dari ayat itu, diputuskan oleh Menteri Keuangan.
(3) Jikalau menurut Pasal 31 penjualan diizinkan dengan harga yang lebih tinggi
dari harga eceran yang tersebut di pita yang dilekatkan menurut Pasal 12,
maka dengan tidak memperhatikan perbedaan pada ayat (1) harus dibayar
cukai sebanyak lima puluh persen dari jumlah yang melampaui harga itu”.65

Penetapan cukai dengan persentase yang ditetapkan dihitung dari Harga Jual

Eceran setiap bungkus rokok. Misalnya satu bungkus rokok dijual dengan harga Rp.

5.000,- maka cukai tembakau tersebut adalah 50% dari Harga Jual Eceran yaitu Rp.

2.500,- jadi, total jualnya adalah Rp. 7.500,-.

Untuk pita cukainya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun

1951 yang ditetapkan pada 20 Januari 1951. Peraturan ini mengatur tentang warna-

65
Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau,
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
21.
warna pita yang ditempelkan pada setiap bungkus rokok tersebut. Hal ini diatur dalam

Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa :

(3) ”Pita-pita itu, yang diperuntukkan guna memenuhi cukai dari barang-barang
tembakau yang bersama-sama disebut sebagai berikut, dikeluarkan dengan
jenis-jenis sebagai berikut :
dengan warna hijau :
seri A : serutu, yang dipitai satu demi satu;
seri B : rokok-rokok daun dan tembakau senggruk, begitu pula serutu-serutu
dalam bungkusan eceran berisi kurang dari 50 batang;
seri D : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
seri E : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
dengan warna hitam :
seri B : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri C : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri E : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
dengan warna blau :
seri B : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;
seri C : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;
seri E : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;”

Pada masa pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan sudah diatur

penetapan cukai dan warna-warna pita cukai untuk produk tembakau, yaitu warna

hijau, hitam, dan blau (sekarang biru). Penentuan warna ini digunakan untuk

penggolongan hasil tembakau yang diproduksi, yaitu : cerutu, rokok yang dibuat

dengan mesin (disebut Sigaret Kretek Mesin pada masa sekarang).

Pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang

Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Peraturan ini dikeluarkan

dengan maksud untuk mengurangi dampak banyaknya perusahaan-perusahaan rokok

yang tutup akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, juga peraturan-peraturan

yang tidak tersusun secara rapi mengenai rokok. Dalam hal ini pemerintah
memberikan tunjangan kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa penurunan cukai

tembakau pada jumlah tertentu dan cukai yang tidak dikutip dari pengusaha-

pengusaha rokok selama satu tahun.

Pada memori penjelasan peraturan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956

tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Dijelaskan

bahwa : ”a. sigaret-kretek, kelembakmenyan 40% dari 5 (lima) sen sebatang; dan b.

rokok daun (strootjes) 30% dari 21/2 sen sebatang”.66

Penetapan tersebut diatas tidak lagi berdasarkan Harga Jual Eceran melainkan

dikenakan atas jumlah batang rokok pada setiap bungkusnya. Jadi, yang tadinya

dihitung berdasarkan Harga Jual Eceran, pada peraturan ini dikurangin dengan

menerapkan cukai pada setiap batang rokok.

Pengawasan dan pemungutan dengan jalan pita cukai tidak dapat diterapkan

dengan baik karena sumber daya manusia yang tidak memadai untuk melakukan hal

tersebut. Jadi, cara yang ditempuh oleh peraturan ini adalah menetapkan isi per

bungkus rokok tersebut bahwa bungkusan harus berisi 2, 5, atau 10 batang saja

dengan cara melekatkan pita cukai dengan harga eceran masing-masing dari 10, 25

dan 50 sen untuk batang-batang rokok tersebut.67

Kebaikan peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga

penjualan rokok tersebut dengan cara menghitung jumlah cukai yang ditetapkan dan

66
Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi
Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 38, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1043.
67
Memori Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan
Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Ibid.
harga penjualan rokok dapat diubah sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga

bahan baku berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya.68

3. Orde Baru & Reformasi

Pada masa Orde Baru & Reformasi ditetapkanlah Undang-Undang No. 11

Tahun 1995 tentang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang

Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan Peraturan Pemerintah No. 55

Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Mengenai persentase cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang No. 11

Tahun 1995 tentang Cukai, pada Pasal 5 menyebutkan bahwa :

(1) “Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif
setinggi-tingginya :
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar
yang digunakan adalah Harga Jual Pabrik; atau
b. lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang
digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(2) Barang Kena Cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-
tingginya :
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah
dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan
Barang Kena Cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis Barang Kena Cukai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri”.69

68
Ibid.
69
Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan

Harga Jual Eceran (HJE). Namun, dapat juga ditetapkan per batangnya apabila diatur

dalam peraturan menteri keuangan. Apabila dihitung-hitung cukai tembakau jika

dikenakan berdasarkan Harga Jual Eceran dan per batang rokok, maka hasil yang

didapat adalah sama atau tidak jauh berbeda.

4. Pasca Reformasi

Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada

saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang

mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan

bahwa :

(1) “Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif
paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2) Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah harga jual eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah harga jual eceran.
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah
dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan
barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan
Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan
memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri,
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-
Republik Indonesia) untuk mendapat persetujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan menteri”. 70

Ketentuan cukai tersebut di atas digunakan sebagai pungutan negara yang

digunakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik

sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan

kesejahteraan bangsa. Hal tersebut adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan

serta menggali potensi penerimaan cukai.

Untuk penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau ditetapkan

dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005, pada peraturan ini

dilakukan pembagian jenis-jenis hasil tembakau, penggolongan pengusaha pabrik

hasil tembakau, nilai tarif cukai dan batasan harga jual eceran hasil tembakau buatan

dalam negeri dan luar negeri, batasan harga jual eceran dan tarif cukai hasil tembakau

yang diimpor maupun tidak. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Menteri

70
Pasal 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 105, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4755.
Keuangan No. 118/PMK.04/2006 pada tahun 2006, diubah kembali pada tahun 2007

dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007.

Pada tahun 2008 dikeluarkan peraturan baru yang mengatur tentang tarif cukai

hasil tembakau dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan

diubah kembali pada tahun 2009 dengan Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009. Perubahan yang dilakukan berulang-ulang ini dimaksudkan

untuk mengikuti perubahan perekonomian negara mengikuti inflasi dan kenaikan

harga yang terjadi. Hal-hal yang diubah adalah mengenai tarif dasarnya. Mengenai

pengaturan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) diatur dengan

Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tata urutan pelaksanaan

pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ke daerah diatur

dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai tanggapan setiap

departemen pemerintahan yang berbeda-beda mengenai perubahan atau kenaikan

cukai hasil tembakau yang diterapkan.

B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Setelah mengetahui sejarah bea cukai dan Industri Hasil Tembakau,

selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai

pihak terhadap kebijakan tarif cukai hasil tembakau.

Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang

sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang

mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi

realita itu.71

Paradigma hukum adalah pandangan terhadap positivisme hukum yang

berlaku berkaitan dengan cukai hasil tembakau. Adapun yang berkaitan dengan

paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau, antara lain : 1) Departemen

Keuangan; 2) Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan 3) Departemen

Pertanian.

Ditekankan lagi disini bahwa paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil

tembakau adalah pandangan hukum setiap departemen yang ada bagi kebijakan tarif

cukai hasil tembakau di Indonesia. Pada departemen keuangan, sudah pasti berbicara

mengenai penerimaan negara dalam bentuk cukai yang dapat membantu

meningkatkan pendapatan negara. Pada departemen perdagangan, mengenai

penjualan daun tembakau yang digunakan untuk pembungkusan cerutu di dunia. Pada

departemen pertanian adalah mengenai lahan-lahan yang digunakan untuk menanam

tembakau apakah berkurang atau bertambah. Pada departemen perindustrian,

berkaitan dengan industri rokok itu sendiri. Pada departemen kesehatan, berbicara

mengenai dampak rokok bagi kesehatan. Pandangan departemen tenaga kerja dan

71
Pengertian paradigma menurut Thomas Kuhn, The Structure of scientific Revolution, 2nd
Ed., (Chicago & London : University of Chicago Press, 1970), dalam Herry Tjahyono, The XO Way : 3
Giants 6 Liliputs, (Jakarta : Grasindo, 2007), hal. 61-67.
transmigrasi adalah berkaitan dengan industri rokok yang dapat menampung banyak

tenaga kerja yang ada. Pandangan sosial adalah mengenai dampak dari industri rokok

menampung banyak tenaga kerja yang sudah pasti akan mengurangi pengangguran di

suatu negara. Pada akhirnya, departemen agama berbicara mengenai haramnya

merokok. Selanjutnya akan dipaparkan pada sub-sub bagian di bawah ini.

1. Departemen Keuangan

Dari paradigma Departemen Keuangan mengenai kebijakan tarif cukai hasil

tembakau di Indonesia yang berbicara mengenai pendapatan negara melalui

penerimaan negara. Negara mendapat pemasukan dari pengutipan cukai yang

dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Departemen

Keuangan.

Pengutipan cukai ini dilakukan Pemerintah melalui Departemen Keuangan,

Direktorat Bea dan Cukai adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kuangan

No. 181/PMK.011/2009, tanggal 16 November 2009 tentang Tarif Cukai Hasil

Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut dan menyatakan tidak belaku

lagi Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai hasil tembakau sebelum-

sebelumnya, yaitu : 1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005; 2)

Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006; 3) Peraturan Menteri Keuangan

No. 134/PMK.04/2007; dan 4) Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008.

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau adalah mengenai Golongan


Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau, Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai per

Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, dan Tarif Cukai dan Harga

Jual Eceran Minimum Hasil Tembakau yang Diimpor.

Adapun pengaturan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau yang

diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif

Cukai Hasil Tembakau di atas dapat dilihat pada tabel yang tertera sebagai lampiran

pada peraturan tersebut, yaitu :

Tabel 2
Golongan Pengusaha Hasil Tembakau

No. Golongan Pengusaha Pabrik Batasan Jumlah Produksi


Urut Hasil Tembakau
Jenis Golongan
I Lebih dari 2 milyar batang
1. Sigaret Kretek
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang

I Lebih dari 2 milyar batang


2. Sigaret Putih
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang
3. Sigaret Kretek I Lebih dari 2 milyar batang
Tangan atau
II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar
Sigaret Putih
batang
Tangan
III Tidak lebih dari 500 juta batang
I Lebih dari 2 milyar batang
4. Sigaret Kretek
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
Tangan Filter
atau Sigaret
Putih Tangan
Filter
5. Tembakau Iris Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi
Golongan
6. KLM atau Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi
Klobot Golongan
8. Cerutu Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi
Golongan
9. Hasil Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi
Pengelolaan Golongan
Tembakau
Lainnya
Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau.
Jika dibandingkan dengan tarif cukai hasil tembakau sebelumnya yang

ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 tentang

Tarif Cukai Hasil Tembakau, maka Peraturan Menteri Keuangan 181/PMK.011/2009

tersebut telah menaikkan tarif cukai tembakau hasil seluruh jenis dan golongan,

kecuali TIS (Tembakau Iris), KLB (Rokok Daun atau Klobot), CRT (cerutu) dan

HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) tidak mengalami peningkatan tarif

cukai.

Apabila diperbandingkan, maka kenaikan cukai rokok berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan No.181/PMK.011/2009 adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel

3 dibawah ini :

Tabel 3
Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan
181/PMK.011/2009
[dalam Rupiah]

Golongan Pengusaha
Pabrik Hasil Nilai Cukai
No. Tembakau Batasan Harga Jual Eceran
Urut Per Batang atau Gram
Jenis Golongan Peraturan Peraturan Kenaikan
Menteri Menteri
Keuangan Keuangan
203/2008 181/2009
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
(6.89%)
I Lebih dari Rp 630 sampai 280 300 20
dengan Rp 660 (7.14%)
Paling rendah Rp 600 sampai 260 280 20
1. Sigaret dengan Rp 630 (7.69%)
Kretek Lebih dari Rp 430 210 230 20
Mesin (9.52%)
II Lebih dari Rp 380 sampai 175 195 20
dengan Rp 430 (11.42%)
Paling rendah Rp 374 sampai 135 155 20
dengan Rp 380 (14.81%)
Lebih dari Rp 600 290 310 20
(6.89%)
Lebih dari Rp 450 sampai 230 275 45
I dengan Rp 600 (19.56%)
Paling rendah Rp 375 sampai 185 225 40
2. Sigaret dengan Rp 450 (21.62%)
Putih Mesin Lebih dari Rp 300 170 200 30
II (17.64%)
Lebih dari Rp 254 sampai 135 165 30
dengan Rp 300 (22.22%)
Paling rendah Rp 217 sampai 80 105 25
dengan Rp 254 (31.25%)
Lebih dari Rp 590 200 215 15
(7.50%)
I Lebih dari Rp 550 sampai 150 165 15
dengan Rp 590 (10 %)
Paling rendah Rp 520 sampai 130 145 15
3. Sigaret dengan Rp 550 (11.53%)
Kretek Lebih dari Rp 379 90 105 15
Tangan (16.67%)
atau SPT II Lebih dari Rp 349 sampai 80 95 15
dengan Rp 379 (18.75%)
Paling rendah Rp 336 sampai 75 90 15
dengan Rp 349 (20%)
III Paling rendah Rp 234 40 65 25
(62.5%)
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
I (6.89%)
Lebih dari Rp 630 sampai 280 300 20
dengan Rp 660 (7.14%)
Paling rendah Rp 600 sampai 260 280 20
Sigaret dengan Rp 630 (7.69%)
4. Kretek Lebih dari Rp 430 210 230 20
Tangan (9.52%)
Filter atau II Lebih dari Rp 380 sampai 175 195 20
Sigaret dengan Rp 430 (11.42%)
Putih Paling rendah Rp 374 sampai 135 155 20
Tangan dengan Rp 380 (14.81%)
Filter
Lebih dari Rp 250 21 21 0
Tanpa (0.00%)
5. Tembakau Golongan Lebih dari 149 sampai 19 19 0
Iris dengan Rp 259 (0.00%)
Paling rendah Rp 40 sampai 5 5 0
dengan Rp 149 (0.00%)
Lebih dari Rp 250 25 25 0
6. Klobot Tanpa (0.00%)
Golongan Paling rendah Rp 180 sampai 18 18 0
dengan Rp 250 (0.00%)
7. KLM Tanpa Paling rendah Rp 180 17 17 0
Golongan (0.00%)
Lebih dari Rp 100.000 100.000 100.000 0
(0.00%)
Lebih dari Rp 50.000 sampai 20.000 20.000 0
Tanpa dengan Rp 100.000 (0.00%)
8. Cerutu Golongan Lebih dari Rp 20.000 sampai 10.000 10.000 0
dengan Rp 50.000 (0.00%)
Lebih dari Rp 5.000 sampai 1.200 1.200 0
dengan Rp 20.000 (0.00%)
Paling rendah Rp 275 sampai 250 250 0
dengan Rp 5.000 (0.00%)
9. Hasil Tanpa Paling rendah Rp 275 100 100 0
Pengelolaan Golongan (0.00%)
Tembakau
Lainnya
Sumber : Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau; Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; dan Tabel 6, Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai
Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, Ningrum Natasya Sirait, et.al.,
Analisis Hukum Kebijakan Tarif Terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara,
(Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.

Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diberikan beberapa catatan terhadap

Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil

Tembakau, sebagai berikut72 :

1. Seluruh tarif cukai pada industri yang menghasilkan sigaret (rokok), baik yang

menggunakan mesin ataupun tangan, baik yang menggunakan filter maupun

tanpa filter mengalami kenaikan tarif cukai.

2. Hasil tembakau berupa Tembakau Iris, Klobot, KLM, Cerutu dan Hasil

Pengelolaan Tembakau Lainnya tidak mengalami kenaikan tarif cukai.

3. Kenaikan tarif cukai terbesar adalah pada jenis industri sigaret putih mesin

golongan I dengan batasan harga jual eceran paling rendah Rp. 450,-/batang

sampai dengan Rp. 600,-/batang, dengan besaran kenaikan tarif Rp. 45,-

/batang.

72
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Loc.cit., hal. 216-217.
4. Persentase kenaikan cukai terbesar adalah pada industri jenis Sigaret Kretek

Tangan dan SPT Golongan III dengan batasan harga jual eceran paling rendah

Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5%.

5. Tarif cukai pada industri sigaret kretek mesin untuk golongan I dan Golongan

II naik seluruhnya sama sebesar Rp. 20,- per batang. Persentase kenaikan

terendah ada pada Sigaret Kretek Mesin Golongan I dengan harga jual eceran

lebih dari Rp. 660,-/perbatang, yakni sebesar 6,89% dan tertinggi pada Sigaret

Kretek Mesin Golongan II dengan harga eceran terendah Rp. 374,- sampai

dengan Rp. 380,-, yakni sebesar 14,81%.

6. Tarif cukai pada industri sigaret putih mesin naik secara bervariasi. Jumlah

kenaikan tarif terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan

harga jual eceran lebih dari Rp. 450,- sampai dengan Rp. 600,-, dengan

kenaikan tarif cukai sebesar Rp. 45,- per batang. Sedangkan terendah pada

Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan harga juel eceran lebih dari Rp. 660,-

/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin

Golongan II dengan harga eceran paling rendah Rp. 217,- sampai dengan Rp.

254,-/batang, yakni sebesar 31,25 % dan persentase terenedah pada Sigaret

Putih Mesin Golongan I dengan batasan harga jual eceran lebih dari Rp. 600,-

/batang yakni sebesar 6,89%.

7. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tangan dan sigaret putih tangan

mengalami kenaikan yang sama yakni sebesar Rp. 15,-/batang, kecuali untuk

golongan III dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang naik sebesar

Rp. 25,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Golongan III


dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5% dan

persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan atau SPT Golongan I dengan

batasan harga jual eceran Rp. 590,-/batang yakni sebesar 7,20%.

8. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tanpa filter dan sigaret putih tanpa

filter mengalami kenaikan tarif yang sama untuk semua golongan, yakni

sebesar Rp. 20,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret

Kretek Tangan Filter dan Sigaret Putih Tangan Filter Golongan II dengan

harga eceran paling rendah Rp. 374,- sampai dengan Rp. 380,-/batang, yakni

sebesar 14.81% dan persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan Filter

atau Sigaret Putih Tangan Filter Golongan I dengan batasan harga jual eceran

Rp. 660,-/batang yakni sebesar 6,89%.

9. Terdapat perbedaan besaran persentase kenaikan berdasarkan Harga Jual

Eceran untuk golongan yang sama antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret

Putih Mesin, misalnya untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan Harga

Jual Eceran lebih dari Rp 660,- besarnya cukai adalah Rp 310,- dengan %

sebesar 46.97% sedangkan untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan

Harga Jual Eceran lebih dari Rp 600,- besarnya cukai Rp 310,- dengan %

kenaikan sebesar 51.67 %. Artinya lebih besar beban persentase kenaikan

pada Sigaret Putih Mesin dibandingkan Sigaret Kretek Mesin.

Kebijakan seperti yang disebutkan di atas lebih berorientasi pada aspek

penerimaan negara. Apabila cukai dinaikkan, produksi rokok akan dikurangi tapi

penerimaan negara harus ditingkatkan. Kebijakan seperti inilah yang disebut

kebijakan simplifikasi tarif atau single tariff.


Pemerintah memutuskan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 7% yang

dilaksanakan pada 1 Februari 2009 untuk mengendalikan konsumsi rokok dan

mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri

Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai

target tersebut, pemerintah akan menekan pertumbuhan konsumsi rokok di level 5%

dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas

juga mengatur penyederhanaan jumlah golongan pabrik, dari tiga golongan menjadi

dua golongan untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin

(SPM). Untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap terdiri dari tiga golongan.

Pemerintah dari waktu ke waktu akan terus melakkukan penyederhanaan golongan

pabrik menjadi dua jenis, yakni Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Kretek Tangan.

Untuk Sigaret Putih Mesin, akan dimasukkan dalam kategori Sigaret Kretek Mesin.73

Inilah yang disebut simplifikasi tarif atau sama dengan single tariff. Jadi, Industri

Hasil Tembakau kecil dipaksa untuk bersaing melawan raksasa Industri Hasil

Tembakau.

Berikutnya dapat dilihat penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau dari

tahun 2005 sampai 2009, sebagai berikut :

73
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok
Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-
view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.
Tabel 4
Target dan Realisasi Penerimaan Cukai
Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005-2010

Tahun Target Realisasi Rasio Cukai


(Rp. Triliun) (Rp. Triliun) (Persen)
2005 32.24 33.26 103.16
2006 38.52 37.80 98.13
2007 42.03 44.70 106.35
2008 45.72 51.25 112.10
2009 53.30 - -
Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2010.

Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai

sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja

dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa

disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil

Tembakau untuk bertahan.

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam hal kebijakan tarif cukai

hasil tembakau berperan dalam hal merumuskan Roadmap Industri Hasil Tembakau

yang merupakan aplikasi dari prioritas atas aspek tenaga kerja, penerimaan dan

kesehatan, diantaranya dengan menghilangkan rokok ilegal dan pita cukai palsu.

Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu berarti tidak ada penerimaan negara dari

sektor cukai tembakau.

Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu yang merupakan hambatan dari

penerimaan negara pasti membuat gerah pemerintah, maka Pemerintah melalui

Departemen Perindustrian dan Perdangangan mengeluarkan rencana kerja di dalam


Roadmap Industri Hasil Tembakau tersebut yang terbagi dalam beberapa jangka

waktu, yaitu74 :

a. Tahun 2007-2010 yang merupakan jangka pendek, urutan prioritas pada

aspek : tenaga kerja – penerimaan negara – kesehatan.

b. Tahun 2010-2015 atau jangka menengah, urutan prioritas pada aspek :

penerimaan negara – kesehatan – tenaga kerja.

c. Tahun 2015-2020 atau jangka panjang, prioritas pada aspek kesehatan

melebihi aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.

Disamping penerimaan negara menjadi berkurang, persaingan bisnis hasil

tembakau juga menjadi tidak sehat karena produk tembakau ilegal bisa menjual

dengan harga lebih murah dari yang legal. Bila hal ini terjadi maka jumlah produk

hasil tembakau di pasaran meningkat, dan masyarakat dapat memperoleh dengan

mudah akibatnya berdampak pada kesehatan masyarakat karena konsumsi tembakau

yang meningkat.75

Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani

Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut

adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh

wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke

tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita

74
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, “Roadmap Industri Pengolahan Tembakau”,
(Jakarta : Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait,
et.al., Op.cit., hal. 203.
75
Ibid., hal. 204.
cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup

dengan kedok kegiatan penjualan.76

Tabel 5
Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009

Tahun Jumlah Kasus yang Ditangani


2006 31
2007 146
2008 750
2009 415
Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia, 2010.

Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam

menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat

pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh

Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia)

dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.

Setiap departemen pemerintahan mempunyai pandangan yang berbeda-beda

dalam hal cukai hasil tembakau tersebut dikarenakan ada tugas yang berbeda pula

pada setiap departemennya. Perbedaan persepsi yang ada ini tidak mungkin untuk

disatukan melihat perbedaan tanggung jawab dan wewenang dari setiap departemen.

3. Departemen Pertanian

Pada Departemen Pertanian dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau

adalah melalui perkembangan dari jumlah lahan yang digunakan dalam pertanian

tembakau dan penelitian-penelitian untuk mencari substitusi produk. Departemen

76
Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009,
http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-negara-rp1-5-triliun., diakses
pada 30 Agustus 2010.
Pertanian mendukung sepenuhnya perkembangan lahan dan penelitian mengenai

pengembangan tembakau tersebut.

Isu strategis untuk komoditas tembakau adalah ditetapkannya rokok sebagai

salah satu industri prioritas. Industri rokok di Indonesia menggunakan 80% bahan

baku tembakau lokal. Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor yang sudah

terkenal sejak lama. Areal pertanaman tembakau setiap tahun mencapai 220.000 ha,

sekitar 60% di Jawa Timur, selebihnya tersebar di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya tembakau diusahakan oleh

petani berskala kecil, hanya sebagian yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik

Negara dan Perusahaan Swasta.77

Sumbangan tembakau terhadap pendapatan petani dan negara cukup besar.

Usaha tani dan industri tembakau dapat menghidupi 10 juta jiwa yang meliputi 4 juta

petani, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik-pabrik rokok, 4,5 juta orang yang terlibat

dalam perdagangan, dan 900.000 orang terlibat dalam transportasi dan periklanan.

Tembakau memberikan sumbangan pendapatan negara dalam bentuk cukai dan

devisa dari ekspor tembakau. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan

tembakau adalah rendahnya produktivitas dan beragamnya mutu yang dihasilkan,

serta tekanan masyarakat internasional terkait isu kesehatan.78

Oleh karena itu Departemen Pertanian menggalakkan penelitian yang

diarahkan pada peningkatan produktivitas dan mutu tembakau serta mengurangi

77
Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian,
http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=category&id=56&Itemid
=60., diakses pada 30 Agustus 2010.
78
Ibid.
senyawa-senyawa yang mempengaruhi kesehatan perokok misalnya kandungan

nikotin yang lebih rendah.79

Apabila dilihat dari sisi petani tembakau, tembakau sebagai tanaman industri

yang merupakan pilihan oleh petani dalam berusaha tani. Pilihan yang dipilih petani

tersebut didasarkan pada pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan

menguntungkan. Petani pada prinsipnya tidak memilih menanam komoditas

tembakau apabila tanaman tersebut tidak memberikan keuntungan.80 Pemilihan petani

berusaha tani tembakau mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang No. 12

Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam Pasal 6 Ayat (1)

menyebutkan bahwa : ”Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis

tanaman dan pembudidayaannya”.81

Berdasarkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem

Budidaya Tanaman, hak-hak petani sebagai seorang warga negara mendapat

perlindungan hukum. Seperti diketahui bahwa berbagai jenis tanaman memiliki sifat

lokal dan spesifik, misalnya kelapa sawit kurang sesuai ditanam di Pulau Jawa.

Demikian juga dengan tembakau memiliki sifat dan lokalisasi dan spesifik. Artinya,

tanaman ini sangat sesuai apabila ditanam pada wilayah-wilayah tertentu, seperti

Madura, Bojonegoro, Besuki, Sleman, Temanggung, Deli, Lombok, dan lainnya.

Sifat yang lokal dan spesifik tersebut sangat sesuai dengan pola tanam yang telah

79
Ibid.
80
Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar
Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=6
2., diakses pada 30 Agustus 2010.
81
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.
dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau. Oleh

karena itu, sangat naif sekali apabila petani diminta untuk mengurangi atau

mengendalikan tanaman tembakau. Apabila hal ini dilakukan maka perusahaan-

perusahaan rokok akan mengalami kesulitan dalam bahan baku untuk membuat rokok.

Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun

tembakau, yang pada akhirnya dapat mengurangi devisa negara.82

Jika sudah mengancam pengurangan devisa negara, pastilah pemerintah sudah

mulai mengambil sikap untuk mempertahankan penerimaan negara tersebut.

Pengurangan devisa berasal dari masuknya barang impor ke dalam negeri. Berbagai

upaya ditempuh untuk menggalakkan kembali pertanian tembakau, salah satunya

adalah dengan mengembangkan penelitian terhadap tembakau rendah nikotin dan tar

untuk mengurangi dampak rokok terhadap kesehatan.

C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan Peruntukannya

Setelah dana cukai hasil tembakau dikutip selanjutnya akan dikumpulkan oleh

pemerintah untuk dikembalikan kembali kepada masyarakat, disebut Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)).

Semua peraturan yang diterapkan dalam pembagian ini ditetapkan oleh Peraturan

Menteri Keuangan. Dimulai dari cukai hasil tembakau dan dasar pembagian kepada

daerah. Sedangkan untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

82
Direktorat Jenderal Perkebunan, Loc.cit.
CHT) hanya diketahui oleh daerah masing-masing karena penggunaannya

menggunakan metode block grant.83

Pada tahun 2009 anggaran yang ditetapkan pemerintah dalam alokasi dana

bagi hasil cukai hasil tembakau adalah sebesar Rp. 964 miliar lebih, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009

tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran

2009.

Tabel 6
Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Tahun Anggaran 2009

No. Daerah Jumlah No. Daerah Jumlah


I Provinsi Sumatera Utara 1.193.498.600 14. Kab. Klaten 5.208.380.679
1. Kab. Asahan 41.155.200 15. Kab. Kudus 70.825.701.253
2. Kab. Dairi 41.155.200 16. Kab. Magelang 3.343.769.279
3. Kab. Deli Serdang 41.155.200 17. Kab. Pati 4.574.257.602
4. Kab. Karo 41.155.200 18. Kab. Pekalongan 2.551.070.667
5. Kab. Labuhan Batu 41.155.200 19. Kab. Pemalang 2.538.495.874
6. Kab. Langkat 41.155.200 20. Kab. Purbalingga 3.376.486.400
7. Kab. Mandailing Natal 41.155.200 21. Kab. Purworejo 2.555.339.464
8. Kab. Nias 41.155.200 22. Kab. Rembang 2.491.600.180
9. Kab. Simalungun 41.155.200 23. Kab. Semarang 2.909.634.764
10. Kab. Tapanuli Selatan 41.155.200 24. Kab. Sragen 2.640.937.713
11. Kab. Tapanuli Tengah 41.155.200 25. Kab. Sukoharjo 2.772.201.919
12. Kab. Tapanuli Utara 41.155.200 26. Kab. Tegal 3.084.378.575
13. Kab. Toba Samosir 41.155.200 27. Kab. Temanggung 8.589.695.352
14. Kota Binjai 41.155.200 28. Kab. Wonogiri 2.483.494.026
15. Kota Medan 426.078.400 29. Kab. Wonosobo 3.776.362.073
16. Kota Pematang Siantar 1.208.660.600 30. Kota Magelang 2.468.701.775
17. Kota Sibolga 41.155.200 31. Kota Pekalongan 3.294.158.494
18. Kota Tanjung Balai 41.155.200 32. Kota Salatiga 3.354.690.119
19. Kota Tebing Tinggi 41.155.200 33. Kota Semarang 8.204.835.400
20. Kota Padang Sidempuan 41.155.200 34. Kota Surakarta 2.764.989.068
21. Kab. Pakpak Bharat 41.155.200 35. Kota Tegal 2.551.471.647
22. Kab. Nias Selatan 41.155.200 Total Prov. JATENG 282.458.370.000
23. Kab. Humbang Hasundutan 41.155.200 IV. Provinsi D.I. Yogjakarta 2.534.358.000

83
Block Grant adalah sejumlah dana berupa uang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dengan memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk menggunakan uang
tersebut. Dalam kajian ini block grant dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan
0,5% dari jumlah yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat harus digunakan untuk sektor pendidikan.
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Medan, 25 Agustus 2010 di Kantor Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
24. Kab. Serdang Bedagai 41.155.200 1. Kab. Bantul 1.689.572.000
25. Kab. Samosir 41.155.200 2. Kab. Gunung Kidul 844.786.000
26. Kab. Batu Bara 41.155.200 3. Kab. Kulon Progo 1.267.179.000
27. Kab. Labuhan Batu Utara 41.155.200 4. Kab. Sleman 1.182.700.400
28. Kab. Labuhan Batu Selatan 41.155.200 5. Kota Yogjakarta 929.264.600
29. Kab. Padang Lawas Utara 41.155.200 Total Prov. D.I. YOGJA 8.447.860.000
30. Kab. Padang Lawas 41.155.200 V. Provinsi Jawa Timur 179.807.154.000
Total Prov. SUMUT 3.978.330.000 1. Kab. Bangkalan 4.827.991.000
II. Provinsi Jawa Barat 21.168.078.000 2. Kab. Banyuwangi 5.077.844.000
1. Kab. Bandung 827.398.867 3. Kab. Blitar 8.147.131.000
2. Kab. Bekasi 17.527.734.661 4. Kab. Bojonegoro 16.180.107.000
3. Kab. Bogor 814.156.846 5. Kab. Bondowoso 8.310.589.000
4. Kab. Ciamis 815.416.522 6. Kab. Gresik 4.931.230.000
5. Kab. Cianjur 815.900.699 7. Kab. Jember 8.881.538.000
6. Kab. Cirebon 1.762.779.429 8. Kab. Jombang 8.665.564.000
7. Kab. Garut 823.344.814 9. Kab. Kediri 40.439.736.000
8. Kab. Indramayu 814.156.846 10. Kab. Lamongan 7.471.848.000
9. Kab. Karawang 5.535.032.242 11. Kab. Lumajang 5.767.563.000
10. Kab. Kuningan 814.597.634 12. Kab. Madiun 5.868.054.000
11. Kab. Majalengka 815.260.916 13. Kab. Magetan 5.409.331.000
12. Kab. Purwakarta 814.156.846 14. Kab. Malang 26.309.449.000
13. Kab. Subang 814.156.846 15. Kab. Mojokerto 6.279.890.000
14. Kab. Sukabumi 814.156.846 16. Kab. Nganjuk 8.693.462.000
15. Kab. Sumedang 819.525.517 17. Kab. Ngawi 7.625.025.000
16. Kab. Tasikmalaya 819.095.531 18. Kab. Pacitan 5.491.580.000
17. Kota Bandung 814.717.067 19. Kab. Pamekasan 18.505.921.000
18. Kota Bekasi 814.156.846 20. Kab. Pasuruan 39.087.881.000
19. Kota Bogor 814.174.038 21. Kab. Ponorogo 5.828.686.000
20. Kota Cirebon 6.582.136.601 22. Kab. Probolinggo 10.549.339.000
21. Kota Depok 814.156.846 23. Kab. Sampang 6.288.888.000
22. Kota Sukabumi 814.156.846 24. Kab. Sidoarjo 9.579.298.000
23. Kota Cimahi 814.156.846 25. Kab. Situbondo 5.541.379.000
24. Kota Tasikmalaya 815.182.169 26. Kab. Sumenep 13.321.702.000
25. Kota Banjar 818.011.052 27. Kab. Trenggalek 5.548.492.000
26. Kab. Bandung Barat 814.462.627 28. Kab. Tuban 6.190.436.000
Total Prov. JABAR 70.560.260.000 29. Kab. Tulungagung 10.765.363.000
III. Provinsi Jawa Tengah 84.737.511.000 30. Kota Blitar 5.476.281.000
1. Kab. Banjarnegara 2.457.318.751 31. Kota Kediri 41.053.938.000
2. Kab. Banyumas 2.511.354.331 32. Kota Madiun 4.918.193.000
3. Kab. Batang 3.223.109.285 33. Kota Malang 17.628.730.000
4. Kab. Blora 3.467.162.799 34. Kota Mojokerto 5.468.411.000
5. Kab. Boyolali 3.425.770.857 35. Kota Pasuruan 5.605.436.000
6. Kab. Brebes 2.498.146.883 36. Kota Probolinggo 4.840.917.000
7. Kab. Cilacap 2.639.202.510 37. Kota Surabaya 13.877.089.000
8. Kab. Demak 6.026.330.489 35. Kota Batu 5.077.714.000
9. Kab. Grobogan 5.035.985.688 Total Prov. JATENG 599.357.180.000
10. Kab. Jepara 2.693.632.118
11. Kab. Karanganyar 5.662.862.425
12. Kab. Kebumen 2.576.797.667 TOTAL 964.802.000.000
13. Kab. Kendal 9.142.532.869
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tetang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pemerataan pembagian Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah tercapai (di mata pemerintah), jika

memandang dari perspektif petani tembakau ataupun Industri Hasil Tembakau maka

pembagian seperti itu adalah tidak adil bagi daerah penghasil tembakau. Keadaan

inilah yang membuat situasi dan kondisi Industri Hasil Tembakau di Indonesia saling

tarik menarik antara kebijakan pemerintah dengan Industri Hasil Tembakau.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut di atas

diberikan melalui transfer ke rekening masing-masing daerah melalui Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan yang dibawah Departemen Keuangan yang

dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan dasar Peraturan Menteri Keuangan No.

126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer


84
ke Daerah. Pada Pasal 21 ketentuan ini menyebutkan bahwa pelaksanaan

84
Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 343,
Pasal 21 menyebutkan bahwa :
(1) Penyaluran DBH CHT dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut :
a. Triwulan I dilaksanakan bulan Maret sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi
sementara;
b. Triwulan II dilaksanakan bulan Juni sebesar 30% (tiga puluh persen) dari alokasi
sementara;
c. Triwulan III dilaksanakan bulan September sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
alokasi dana sementara; dan
d. Triwulan IV dilaksanakan bulan Desember sebesar selisih antara alokasi definitif
dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan
III.
(2) Penyaluran triwulan I dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
semester II tahun anggaran sebelumnya dari Gubernur;
(3) Penyaluran triwulan III dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
semester I tahun berjalan dari Gubernur.
(4) Dalam hal laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menunjukkan tidak adanya realisasi
penggunaan, penyaluran DBH CHT ditunda sampai dengan disampaikannya laporan
konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT.
penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dilakukan

triwulanan. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut

akan dilakukan apabila telah disampaikannya laporan konsolidasi, yaitu laporan

penggunaan dana yang tandatanganin oleh Gubernur.

Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut

dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang

Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas

Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, pada Pasal 2

peraturan ini menyebutkan bahwa :

1. “Penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 66A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007, digunakan untuk mendanai kegiatan :
a. Peningkatan kualitas bahan baku;
b. Pembinaan industri;
c. Pembinaan lingkungan sosial;
d. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau
e. Pemberantasan barang kena cukai ilegal.
2. Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan,
mendorong, dan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing”.

Dalam peraturan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

CHT) seluruhnya digunakan untuk menanggulangi permasalahan yang timbul dari

tembakau tersebut, seperti para petani yang kesulitan bibit dan pupuk harus diberikan

jalan keluar dengan cara memberikan bibit dan pupuk gratis melalui Dinas Pertanian

masing-masing daerahnya. Cara yang lebih real lagi adalah dengan memberikan para

petani tembakau tersebut informasi mengenai daftar harga pasaran dari tembakau
agar petani tidak menjual dengan harga yang sudah ditentukan oleh Industri Hasil

Tembakau tersebut (tengkulak).

Dalam hal penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

untuk pembinaan Industri Hasil Tembakau dilakukan dengan cara memberikan

kemudahan dalam pengurusan izin-izin terkait usaha industri rokok tersebut. Apabila

Industri Hasil Tembakau ingin mengekspor produksinya banyak sekali tahapan-

tahapan yang harus dilaluinya, seperti pembuatan Nomor Registrasi Produk (NRP).

Pembuatan Nomor Registrasi Produk tersebut harus menggunakan Tanda Daftar

Perusahaan (TDP) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan oleh Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi. Pengurusan izin terkait ekspor tersebut

memiliki hambatan dalam hal pungutan liar yang dilakukan oleh para pegawai-

pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi (Depperindag). Setelah izin-

izin tersebut selesai dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, belum

bisa digunakan untuk mengekspor masih ada lagi pengurusan Nomor Registrasi

Produk di pusat. Hal ini yang membuat para pengusaha Industri Hasil Tembakau

kesulitan dalam mengekspor produk mereka.

Dalam pembahasan bab ini ditemukan bahwa ada pandangan yang berbeda-

beda dari setiap departemen pemerintah terkait dengan kebijakan tarif cukai hasil

tembakau. Namun keadaan seperti ini diluruskan kembali oleh pemerintah dengan

mengeluarkan Roadmap Tembakau 2007 – 2020 dengan pembangunan bertahapnya.


BAB III

PENGARUH KEBIJAKAN TARIF TERHADAP INDUSTRI HASIL

TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Kebijakan tarif cukai tembakau yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan

Menteri Keuangan berpengaruh kepada industri rokok itu sendiri, masyarakat, dan

negara. Pada industri rokok terbagi 2 (dua) yaitu : a) Perusahaan besar tembakau; dan

b) Perusahaan tembakau dalam negeri. Pengaruhnya terhadap masyarakat berkaitan

dengan tenaga kerja dan efek yang ditimbulkan dari hilangnya lapangan pekerjaan.

Pengaruh terhadap pendapatan negara adalah bahwa kebijakan tarif tersebut

meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pendapatan melalui cukai. Adapun

pengaruh tersebut di atas, antara lain :

1. Industri Rokok

Industri Hasil Tembakau adalah sama dengan industri rokok yang artinya

adalah kumpulan perusahaan yang sangat berbeda ukuran dan makna atau

pengaruhnya. Ada yang bersifat lokal atau nasional, ada yang dimiliki pemerintah,

namun yang paling besar dan berkuasa adalah beberapa perusahaan multinasional

yang memiliki usaha pada skala global. Seperti perusahaan lain, mereka berjuang

meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan untuk kepentingan para pemegang


sahamnya. Tidak heran, industri rokok sangat kuat menentang semua upaya yang

dirancang untuk mengurangi konsumsi tembakau. Penolakan mereka bisa terbuka dan

diketahui oleh masyarakat luas. Namun, seringkali akan lebih berbahaya bila bersifat

tidak langsung dan tersembunyi.85

a. Perusahaan Besar Tembakau

Di samping China, yang menyerap sepertiga lebih konsumsi rokok dunia,

perdagangan tembakau dunia selebihnya didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan

tembakau multi nasional. Perusahaan multi nasional yang terbesar adalah Philip

Morris International, British American Tobacco (BAT), dan Japan Tobacco

International.86

Phillip Morris International mencakup kegiatan internasional perusahaan

Philip Morris asli, si pembuat merek rokok yang paling besar penjualannya di dunia

yaitu Marlboro. Perusahaan induk Philip Morris adalah Altria yang masih menjadi

pemilik perusahaan yang berada di Amerika yakni Philip Morris Amerika Serikat.

Hasil penjualan rokok Philip Morris International yang merek utamanya adalah

Marlboro dan L&M, mencapai 63 miliar dollar AS pada tahun 2008. Pendapatan

tersebut lebih besar daripada seluruh kegiatan ekonomi di banyak negara

berpendapatan rendah.87

85
John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh
Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009), hal. 135.
86
Ibid., hal. 137.
87
Ibid., hal. 138.
Dua perusahaan internasional raksasa lainnya adalah British American

Tobacco (BAT) yang merek dunianya mencakup Dunhill, Lucky Strike, dan Pall

Mall; dan Japan Tobacco International (JTI) dengan merek Winston, Camel, Mild

Seven, Benson & Hedges.88

China memiliki sekitar seperempat perokok dunia, yang menghisap sekitar

sepertiga dari rokok dunia. Pangsa pasarnya begitu besar hingga seorang eksekutif

tembakau di Barat mencoba memikirkan statistik merokok orang China seperti

memikirkan batas ruang angkasa. Sejauh ini, perusahaan tembakau paling besar

adalah Chinese National Tobacco Corporation, namun beberapa perusahaan patungan

dengan perusahaan asing telah terbentuk pada tahun-tahun terakhir.89

Tabel 7
Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999

No. Nama Perusahaan Pusat Jumlah Produksi


(miliar batang rokok)
1. Perusahaan Nasional Tembakau China Cina > 1.600
2. Philip Morris Amerika Serikat > 800
3. British American Tobacco (BAT) Inggris < 400
4. Japan Tobacco Jepang < 100
5. Tabakprom Rusia < 100
6. Altadis Prancis/Spanyol < 100
7. RJ Reynolds Amerika Serikat < 100
8. KT & G Korea Selatan < 100
9. Tekel Turkey < 100
10. Reemtsma Jerman < 100
11. Gudang Garam Indonesia < 100
12. ITC India < 100
13. AAMS Italia < 100
14. Imperial Tobacco Inggris < 100
15. Lorillard Amerika Serikat < 100
16. TTM Thailand < 100
17. Gallaher Inggris < 100
18. Fortune Tobacco Filipina < 100
19. HM Sampoerna Indonesia < 100
20. Austria Tobacco Austria < 100
21. Taiwan Monopoly Taiwan < 100

88
Ibid.
89
Ibid.
Sumber : Goldman Sachs Global Equity Reasearch, dalam John Crofton dan David Simpson,
Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta :
Elex Media Komputindo, 2009), hal. 138.

Dalam 50 tahun terakhir, upaya aktivis kampanye anti tembakau telah

menghasilkan penurunan pasar tembakau di Amerika Utara, Eropa (khususnya Eropa

Selatan) dan Australia. Sebagai jawabannya, perusahaan multinasional telah beralih

membangun pasarnya di negara sedang berkembang dan di pasar yang baru dibuka di

Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni Soviet. Berkembangnya ekonomi di

beberapa negara Asia begitu menarik. Angka merokok yang rendah di kalangan

perempuan di banyak negara sedang berkembang dipandang sebagai peluang besar

untuk perluasan pasar, menggunakan iklan dan taktik promosi lainnya.90

b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera Utara

Di Indonesia industri rokok dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar seperti

PT. Bentoel Internasional Investama, Tbk., PT. HM. Sampoerna, Tbk., Gudang

Garam, dan lain sebagainya. Sedangkan di Sumatera Utara, perusahaan rokok yang

tersisa saat sekarang ini, antara lain : PT. Stabat Industri; PT. Pagi Tobacco

Company; PT. Sumatera Tobacco Trading Company; PT. Senang Jaya; PT. Wongso

Prawiro; dan PT. Permona.

Setelah cukai tembakau dinaikkan rata-rata 7%, perusahaan-perusahaan rokok

yang ada di Sumatera Utara mengalami dampak yang berbeda antara satu dengan

90
Ibid., hal. 139.
yang lain. Namun, tetap memiliki satu esensi yaitu takut kehilangan konsumen

mereka.

Pada rokok kelas menengah bawah atau Golongan III sangat sensitif terhadap

perubahan harga. Disini berlaku teori ekonomi bahwa apabila harga naik maka akan

terjadi substitusi produk. Enam perusahaan yang ada di Sumatera Utara adalah

termasuk ke dalam Golongan III. Jika dibandingkan dengan Golongan I dan

Golongan II, konsumennya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap produk tersebut.

Persaingan pasar rokok pada Golongan III sangat ketat karena terlalu banyak

perusahaan rokok yang berkembang tanpa terdaftar dan diketahui oleh pemerintah.

Belum lagi disebabkan oleh peredaran cukai palsu yang merugikan negara.

Perusahaan rokok yang tidak terdaftar tadi menggunakan cukai palsu tersebut untuk

mengedarkan dan menjual produknya. Dengan begitu produk tersebut sudah pasti

murah dan menjadi substitusi produk.91

Saat ini produsen Golongan III (segmentasi bawah), kondisi kenaikan cukai

membuat sulit untuk berusaha. Saat ini harga produk mereka dijual paling murah Rp.

2.500,- per bungkus. Dengan adanya Harga Jual Eceran (HJE) yang baru, akan

memaksa mereka untuk menaikkan harga rokok jualannya. Padahal, dalam hal ini

rokok ilegal dijual dengan kisaran harga Rp. 2.000,- s/d Rp. 2.500,- per bungkusnya.

Dapat dikatakan permintaan rokok kelas bawah lebih elastis terhadap perubahan

harga, berubah saja harga maka akan direspon dengan penurunan permintaan.

Konsumen juga akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang substitusinya.92

91
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 157.
92
Ibid.
Kondisi tersebut berbeda dengan kelas menengah dan kelas atas. Pada

konsumen level ini, mereka lebih memiliki loyalitas terhadap produk. Merokok jenis

tertentu adalah merupakan hal yang tidak bisa dicari substitusinya. Hal yang

demikian membuat produsen rokok Golongan I dan Golongan II dapat membebankan

cukainya kepada konsumen.93

Pada kondisi tersebut di atas posisi produsen rokok Golongan III menaikkan

harga jual akan ditinggal konsumen, sedangkan menurunkan harga jual akan dapat

membuat perusahaan tidak mampu menutup biaya produksi dan akhirnya bangkrut

atau mati dengan sendirinya.

Selain dari beban cukai yang menyulitkan industri rokok di Sumatera Utara,

Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara juga dipersulit lagi dengan kelangkaan

bahan baku atau tembakau lokal. Tingginya biaya produksi akibat bahan baku harus

dipasok dari Pulau Jawa dapat mengancam keberadaan industri rokok di daerah ini.94

Target produksi rokok Sumatera Utara pada 2009 mencapai 1,8 miliar batang

atau turun dari tahun sebelumnya sebesar 2 miliar batang. Selain itu, industri rokok

juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi rokok juga harus menghadapi

kenaikan harga biaya produksi hingga mencapai 10% dari tahun lalu. Padahal harga

produk tidak mungkin disesuaikan karena pertimbangan daya beli masyarakat, serta

persaingan ketat rokok asal luar negeri, baik legal maupun ilegal. Gencarnya anjuran

93
Ibid.
94
Eva Simanjuntak, “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global, http://www.harian-
global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri-rokok-sumut-
terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.
pemerintah akan bahaya rokok terhadap kesehatan, berpengaruh besar pada

permintaannya.95

Ironisnya, pemerintah setempat belum memberikan perhatian serius sehingga

kalangan industri rokok di daerah menjadi resah. Sementara, dukungan pemerintah

sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi industri padat karya. Dapat dikatakan

peran pemerintah tidak ada. Padahal, ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT) yang harus dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan industri

rokok.96

Adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk

mendorong pertumbuhan industri rokok tersebut seharusnya dialokasikan sebenar-

benarnya untuk meningkatkan sektor pertanian tembakau. Memang, benar adanya

bahwa dana yang dialokasikan ke Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp.

1.558.056.950,- untuk Bulan Juli 2010 pada pembagian tahun 2010.

Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut

masih tidak jelas keberadaannya apakah digunakan dengan metode block grant

ataukah untuk kegiatan sosialisasi, pemberantasan cukai ilegal, pembinaan bahan

baku dan pembinaan industri rokok seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri

Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau.

95
Ibid.
96
Ibid.
Belum lagi masalah pekerja yang teranjam menganggur karena kenaikan

cukai yang menyulitkan industri rokok. Bila pemerintah memberlakukan Roadmap

Industri Hasil Tembakau 2007-2020 maka sudah pasti para pekerja rokok yang

jumlahnya ribuan bahkan jutaan orang pada jangka waktu 2015-2020 akan habis dan

industri rokok akan tutup. Hal ini karena pemerintah lebih mementingkan aspek

kesehatan daripada aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.

Dalam hal kenaikan cukai yang baru sudah mulai terjadi gejolak seperti aksi

unjukrasa di Jawa. Bisa saja aksi serupa turut terjadi di daerah-daerah lainnya yang

ada pabrik rokok. Pada tahun 2008, ada satu perusahaan rokok yang tutup akibat dari

kenaikan cukai tembakau. Sedangkan pada tahun 2010 akan terancam dua perusahaan

rokok akan menyusul bankrut. Dengan demikian, ribuan pekerja rokok di Sumatera

Utara pasti akan kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.97

2. Masyarakat

Dengan tutupnya perusahaan rokok tadi, maka jumlah pengangguran juga

akan meningkat mengikuti ketersediaan pekerjaan yang ada. Berbicara mengenai

industri rokok maka akan selalu ada kelompok yang pro dan kontra karena industri

rokok adalah industri yang kontroversial. Di satu pihak industri rokok menyerap

banyak tenaga kerja, memberikan pemasukan cukai terbesar (sekitar 95%) kepada

pemerintah Indonesia sebagai pendapatan negara, namun industri rokok juga

97
“Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”,
http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-terancam-jadi-
pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.
menimbulkan beberapa kerugian seperti penyakit yang ditimbulkan baik untuk

perokok aktif maupun perokok pasif, sampah puntung rokok yang semakin banyak

akan mengotori lingkungan, dan rokok dapat mengantarkan rakyat miskin ke jurang

kehancuran. Oleh karena itu, tentunya social cost yang ditimbulkan dari rokok

tidaklah murah.98

Walaupun industri tembakau mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi

pengangguran, tetapi kualitas kesejahteraan pekerja industri rokok tergolong buruh,

upah yang diterima oleh para pekerja hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidup

sehari-hari, tidak termasuk untuk menabung dan membiayai pendidikan anak-

anaknya. Tetapi tidak banyak para pekerja yang mengeluhkan baik upah maupun

tingkat kesejahteraan mereka, karena lebih memilih bekerja dengan upah yang kecil

tetapi memiliki kontinuitas yang tetap ketimbang menjadi pengangguran atau bekerja

yang memiliki kelanjutan yang jelas dan tetap.99

Salah satu kerugian yang ditimbulkan oleh rokok terhadap masyarakat adalah

membuat rakyat miskin menjadi lebih miskin lagi. Karena harus mengeluarkan biaya

untuk mengobati kesehatan yang diperburuk akibat merokok. Orang yang sakit harus

ke dokter, setelah menemui dokter harus membeli obat, jika penyakit bertambah

parah maka pengobatan berlangsung ke rumah sakit setempat atau di daerahnya.

Dalam kata-kata merokok dapat ”mengantar rakyat miskin ke dalam jurang

kehancuran” mengandung maksud bahwa rokok memakan atau menghabiskan cukup

98
Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”,
http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010.
99
Ibid.
banyak biaya dari anggaran rumah tangga setiap keluarga yang anggota keluarganya

ada yang menjadi perokok aktif.

Dapat dibayangkan apabila salah satu anggota keluarga merokok 5 batang per

harinya. Jika dalam satu keluarga yang merokok terdapat 2 – 3 orang, maka tambahan

total pengeluaran untuk rokok menjadi 2 – 3 kali lipatnya. Sedangkan pada faktanya

dan didukung dengan Survei yang dilakukan oleh World Trade Organization

menunjukkan bahwa pria yang tidak sekolah atau tidak tamat SD merupakan jumlah

perokok terbanyak. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih

mudah orang tersebut untuk memahami dan mengerti dampak dari merokok.100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 70% perokok Indonesia mulai

merokok sebelum berumur 19 tahun. Banyaknya perokok pemula di kalangan anak-

anak dan remaja mungkin karena mereka belum mampu menimbang bahaya merokok

bagi kesehatan dan dampak adiktif yang ditimbulkan nikotin. Perokok mungkin

beranggapan bahwa diri sendirilah yang menanggung semua bahaya dan resiko akibat

kebiasaan merokok, tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka juga memberikan

beban fisik dan ekonomi pada orang lain di sekitarnya sebagai perokok pasif.101

Tapi terkadang bagi orang yang tidak merokok merasa seperti dikucilkan oleh

teman-teman yang merokok dan dikatakan ”banci” oleh orang yang merokok atau

dikatakan ”kurang gaul”. Orang perokok itu pada awalnya hanya coba-coba saja,

hanya ingin menghormati teman yang memberikan rokok karena semua teman dalam

kelompok itu merokok, karena stress banyak masalah, karena agar dianggap gaya,

100
Ibid.
101
S. Riyanto, “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-
today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus 2010.
dan lain sebagainya. Orang yang menghisap benda beracun tersebut bukan saja orang

dewasa yang sudah bekerja tetapi anak-anak usia sekolah juga menikmatinya.

Terkadang di sekolah diterapkan peraturan bagi siswanya dilarang merokok di dalam

kelas maupun di lingkungan sekolah, tetapi gurunya sendiri terkadang memberi

contoh dengan merokok di depan kelas ketika mengajar. Padahal seorang guru itu

adalah orang yang harus dicontoh dan ditiru setiap perkataan dan tindakannya.

Karena seorang guru itu merupakan panutan bagi setiap siswa di sekolahnya.102

Terkadang orang tua melarang anaknya merokok, tapi orang tuanya sendiri

merupakan perokok berat. Tidak mudah untuk bisa berhenti merokok bagi seorang

perkokok, apa lagi bagi seorang pecandu rokok berat. Lingkungan yang tidak

mendukung seseorang ingin berhenti merokok di antaranya pada saat main kartu atau

catur, sedang menunggu, stress, minum kopi, habis makan, dan jumpa teman lama

yang perokok. Oleh karena itu, untuk berhenti merokok itu tidak bisa karena hanya

orang lain melainkan karena dirinya sendiri dengan niat dari hati dan dibantu oleh

lingkungan yang mendukung.103

Jadi, pengaruh kenaikan cukai tembakau bagi masyarakat adalah karena

naiknya harga rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat. Kenaikan cukai tembakau

membuat masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli rokok

guna pemenuhan kebutuhan. Bagi sebagian orang merokok sudah termasuk ke dalam

kehidupan sehari-hari jadi masuk ke dalam biaya pengeluaran kebutuhan hidup.

102
Ibid.
103
Ibid.
3. Pendapatan Negara

Pengaruh kenaikan cukai tembakau terhadap pendapatan negara sangat bagus

karena menjadi pemasukan negara yang meningkatkan cadangan devisa negara.

Pemasukan negara berimbas kepada naiknya anggaran Anggaran Pendapatan Belanja

Negara tiap tahun. Pendapatan negara disini maksudnya adalah pendapatan Dana

Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dari pusat ke daerah, dalam hal ini

adalah daerah provinsi Sumatera Utara.

Pada tahun 2009, pemerintah provinsi Sumatera Utara mendapatkan

Rp. 1.193.498.600,- 104 meningkat terus sampai pada saat sekarang ini tahun 2010

provinsi Sumatera Utara mendapatkan Rp. 10.387.046.342,-. 105 Dengan kenaikan

cukai tembakau tersebut kelihatan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam hal

dana bagi hasilnya.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dapat dipakai

daerah untuk membangun sektor yang berkaitan dengan tembakau. Hal ini tentu akan

sangat berarti untuk meningkatkan alokasi anggaran pembangunan di daerah. Hanya

saja perlu diperhatikan bahwa pemerintah provinsi Sumatera Utara juga harus dapat

memberikan kontribusi dari pada pajak daerah kepada pemerintah kabupaten dan kota

yang ada. Sehingga, perolehan pajak daerah tersebut dapat dirasakan oleh semua

104
Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 No. 493, namun diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
215/PMK.07/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang
DBH CHT T.A. 2009 yang menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Utara mendapatkan DBH CHT
sebesar Rp. 2.049.939.000,-.
105
Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 No. 142.
pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Besaran

pembagiannya disesuaikan dengan peraturan yang ditetapkan.

Diyakini bahwa pengenaan pajak daerah terhadap rokok akan sangat

membantu pemerintah daerah dalam menambah sumber Pendapatan Asli Derah

(PAD). Dana yang masuk dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di

berbagai bidang. Untuk jangka panjang, pelaksanaan program pembangunan yang

masih terhambat masalah dana akan teratasi dengan baik.106

B. Hambatan yang Dihadapi Perusahaan-Perusahaan Rokok Nasional

Disamping masalah kenaikan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, justru

Industri Hasil Tembakau (IHT) atau Industri Rokok yang menghadapi permasalahan

yang menyebabkan daya saing industri pada sektor ini semakin menurun. Hambatan-

hambatan yang dihadapi perusahaan-perusahaan rokok nasional, antara lain : 1)

Peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu; 2) Kebijakan yang kurang mendukung;

dan 3) Peraturan daerah tentang larangan merokok.

1. Peredaran Rokok Illegal dan Pita Cukai Palsu

Peredaran rokok ilegal masih mengkhawatirkan karena penegakan hukum

yang dilakukan hingga kini dinilai belum menimbulkan efek jera karena pelaku hanya

mendapat sanksi pidana ringan. Selama tahun 2004 baru 34 kasus yang digelar oleh

106
Hisar Hasibuan, “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian Medan
Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008, http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211.,
diakses pada 31 Agustus 2010.
Pengadilan kendati kerugian negara diperkirakan mencapai Rp. 150 miliar.

Keseluruhan kasus yang masuk hanya kategori Tindak Pidana Ringan (TIPIRING),

kondisi ini jelas tidak akan menimbulkan efek jera bagi pengedar rokok ilegal.

Tingginya pengedaran rokok ilegal juga dipicu oleh mudahnya pengurusan izin usaha

perindustrian rokok. Gampang sekali menanamkan investasi di sektor ini karena

hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 3 juta, selain itu ada aturan-aturan yang perlu

disempurnakan karena turut menyebabkan maraknya peredaran cukai palsu.107

Aturan pendirian yang mudah didapat dengan cara “membayar pengurusan” di

Sumatera Utara khususnya berakibat pada maraknya industri rokok kecil dimana

selama kurun waktu tiga tahun terjadi penambahan hingga 2.200 unit padahal 2001

baru 600 industri rokok kecil yang beroperasi di Indonesia.108

Modus pelanggaran yang banyak dilakukan, antara lain : mempertahankan

tarif cukai yang kecil dengan tidak meningkatkan level usaha namun mendirikan

cabang-cabang baru dengan skala kecil dan menggunakan tarif cukai yang lebih

rendah dari ketentuan yang sebenarnya.109

Pemerintah telah menetapkan bahwa rokok ilegal yaitu rokok yang

menggunakan pita cukai palsu, rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai bekas

pakai, rokok dengan pita cukai bukan haknya dan rokok yang menggunakan pita

cukai bukan seharusnya.110 Ditjen Bea Cukai telah melangsungkan operasi intelijen

107
“Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”,
http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses pada 01 September 2010.
108
Ibid.
109
Ibid.
110
Ibid.
yang dilakukan hingga ke pabrik-pabrik rokok serta distributor rokok namun hanya

mampu menjaring pelaku-pelaku pelanggaran ringan atau Tindak Pidana Ringan.111

Namun, langkah ini sangat sulit dilakukan karena masih sedikitnya personil

pengawasan yang tersedia sehingga tidak menjangkau seluruh wilayah hukum dari

Ditjen Bea Cukai. Sudah dilakukan kerja sama dengan Asosiasi industri terkait, dan

dinas-dinas tingkat provinsi untuk melakukan pengawasan yang lebih melekat di

daerah, tetap saja tidak jalan karena dana yang disalurkan ke situ tidak ada.

2. Kebijakan yang Kurang Mendukung

Setiap tahun pemerintah menggenjot pemasukan Anggaran Pendapatan

Belanja Negara melalui pajak bea cukai dari Industri Hasil Tembakau. Kebijakan atau

”Policy” yang dibuat tiga departemen Pemerintah SBY pada tahun 2007, Depkeu,

Depnaker dan Deptan mengagendakan ‘Roadmap Industri Hasil Tembakau dan

Kebijakan Cukai tahun 2007 hingga 2020″, dimana produksi rokok yang pada 2007 –

2010 mencapai 240 miliar batang akan digenjot sampai 260 miliar batang pada tahun

2015 – 2020.112

Meski menjadi sektor penyumbang pemasukan cukai terbesar, Industri Hasil

Tembakau menilai bahwa kebijakan pemerintah masih kontraproduktif dalam

mendukung perkembangan industri hasil tembakau tersebut. Hingga saat ini beberapa

kebijakan antar departemen kurang mendukung dalam mendorong pertumbuhan

industri rokok. Misalnya, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian,

111
Ibid.
112
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 170.
Departemen Pertanian, dan Departemen Keuangan memberi dukungan karena

pendapatan cukai rokok sangat besar. Tetapi, Departemen Kesehatan justru

mengeluarkan kebijakan yang berlawanan.113

Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara menilai bahwa kebijakan

pemerintah memang masih mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau di

tengah desakan dunia. Akan tetapi masih tetap terfokus pada pendapatan negara tanpa

memperdulikan kemampuan Industri Hasil Tembakau. Hal ini dapat terlihat dari hasil

wawancara sebagai berikut :

“Selaku Pihak Pembina dan Pengawas, pada prinsipnya sebagian besar


kebijakan Pemerintah memang masih mendukung pengembangan Industri
Hasil Tembakau ditengah desakan dunia, Depkes dan berbagai lembaga
swadaya masyarakat dalam pengamanan dampak hasil tembakau. Hal ini
antara lain, hingga saat ini Pemerintah (Menteri Perdagangan, Menko
Perekonomian dan Menko Kesera) telah memiliki kesepakatan belum akan
mengaksesi FCTC (Frame Work Convention On Tobacco Control) dalam
waktu dekat, karena berbagai pertimbangan terutama segi ekonomi”.

”Namun, terhadap pungutan-pungutan baik Pusat maupun daerah, Pemerintah


masih terfokus pada peningkatan pendapatan tanpa memperdulikan
kemampuan Industri. Ada beberapa pungutan-pungutan baik Pusat maupun
daerah yang tumpang tindih (overlapping) sifatnya. Khusus untuk Industri
Rokok, rencana pengenaan Pajak Rokok yang telah diatur pada Undang-
Undang No. 34 tahun 2009 jelas-jelas merupakan pajak ganda karena
dikenakan Cukai, PPN dan PPH. Apabila tujuan pengenaan pajak untuk
pengendalian konsumsi pada prinsipnya telah diakomodir oleh pengenaan
Cukai. Sehingga landasan pengenaan pajak terhadap obyek rokok pada
prinsipnya lemah dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi”.114

Salah satu kebijakan pemerintah yang memberatkan dan tidak memperdulikan

kemampuan Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok putih di Sumatera Utara

113
Ibid.
114
Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, sebagaimana dijelaskan

dalam petikan wawancara berikut :

“Kebijakan Pemerintah saat ini kurang mendukung Industri Hasil Tembakau


terutama golongan kecil, hal ini terlihat oleh kebijakan yang diambil
Pemerintah selalu merugikan golongan kecil. Istilahnya belum bisa bangkit,
kami sudah ditimpa lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 yang jauh-jauh lebih memberatkan. Kenaikan tarif Cukai
SKM (Sigaret Kretek Mesin) Rp. 20,- perbatang sehingga Sigaret Kretek
Mesin hanya dibebani kenaikan tarif cukai Rp. 240,- perbungkus (untuk yang
isinya 12 batang). Sedangkan sebagian besar jenis produksi kami yaitu Sigaret
Putih Mesin (SPM), naik Rp. 30,- perbatang sehingga untuk setiap bungkus
Sigaret Putih Mesin yang sesuai kebijakan Pemerintah hanya diperkenankan
isi 20 batang perbungkus, terpaksa tarif cukainya naik Rp. 600,- perbungkus.

Disamping ketidakadilan kenaikan beban cukai untuk jenis Sigaret Kretek


Mesin dan Sigaret Putih Mesin, apabila kita pelajari Peraturan Menteri
Keuangan No. 181/PMK.011/2009, malah rata-rata kenaikan beban cukai
perbatang perusahaan kami yaitu Rp. 25,- perbatang lebih besar dari kenaikan
Pabrikan Golongan I strata I dimana merek-merek Pabrikan raksasa besar
berada yaitu hanya Rp. 20,- perbatang. Dimana logikanya? Karena, dengan
kebijaksanaan cukai sedemikian rupa justru penerimaan negara menjadi lebih
kecil, kog Perusahaan raksasa dengan pangsa pasar yang jauh lebih besar
(lebih dari 75% pangsa pasar Sigaret Putih Mesin Indonesia) dibebani
kenaikan yang amat kecil, sedangkan disisi lain konsumennya tidak elastis
dengan kenaikan harga. Kenapa kami yang pangsa pasarnya sangat kecil
dengan konsumen yang amat sangat elastis terhadap kenaikan harga justru
dibebani cukai yang tinggi?

Kebijakan Tarif Cukai saat ini sudah diluar kemampuan kami, dengan
diterapkannya peraturan baru ini. Harga Jual juga akan mengalami kenaikan
yang cukup signifikan sehingga kami pesimis dengan prospek kedepannya.
Disamping itu, sesuai dengan pasal 15 A dan Pasal 15 B, apabila terjadi
kenaikan produksi yang berakibat kenaikan golongan Pengusaha diberi
tenggang waktu 6 bulan untuk penyesuaian tarif cukainya. Padahal pada
Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, apabila terjadi kenaikan produksi
hingga mengakibatkan kenaikan golongan pengusaha wajib menyesuai
langsung pada saat itu”.115

115
Wawancara dengan pengelola PT. Wongso Pawiro, di Medan, tanggal 1 Desember 2009,
sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Menteri Keuangan ini membebankan kenaikan tarif cukai bagi

industri rokok skala kecil dan menengah dengan rata-rata kenaikan sebesar Rp. 30,-

perbatang, beban kenaikan ini lebih besar dibandingkan rata-rata kenaikan tarif cukai

bagi pabrikan Golongan I strata I dimana merek-merek pabrikan raksasa besar berada,

yaitu hanya Rp. 20,- perbatang. Dengan kenaikan tarif cukai tersebut, maka industri

rokok skala kecil akan mengalami peningkatan biaya produksi, sehingga seharusnya

diimbangi dengan kenaikan harga jual. Masalahnya adalah konsumen daya beli dan

elastisitas dari konsumen produk rokok Industri Hasil Tembakau skala kecil berbeda

dengan konsumen industri rokok skala besar. Konsumen Industri Hasil Tembakau

skala kecil adalah masyarakat bawah yang daya belinya rendah dan elastisitasnya

terhadap perubahan harga jual sangat tinggi. Apabila Industri Hasil Tembakau skala

kecil menaikkan harga jual maka dengan daya beli yang rendah tersebut, dipastikan

konsumen akan sangat terpengaruh dan berpindah pada rokok dengan harga yang

lebih murah. Pilihan yang sangat mungkin adalah rokok kretek yang bebannya lebih

kecil atau rokok ilegal yang harganya lebih murah.116

“Kenaikan tarif cukai rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.


181/PMK.011/2009 sudah menyimpang dari rasa keadilan bagi industri rokok
skala kecil dengan konsumen yang daya belinya rendah dan sangat elastis
terhadap perubahan harga jual. Hal ini berbeda terhadap Sigaret Putih Mesin
berskala besar, khususnya perusahaan rokok putih multinasional, seperti PT.
British American Tobacco atau Philip Morris. Kenaikan harga mereka lebih
rendah sementara daya beli konsumen mereka lebih baik dan umumnya
konsumen rokok putih merek yang diproduksi perusahaan rokok
multinasional adalah konsumen yang tidak elastis terhadap perubahan harga.
Jadi, prinsipnya mereka kurang terpengaruh dengan kebijakan tersebut
dibandingkan dengan industri rokok putih skala kecil.”

116
Ibid., hal. 172.
Nampaknya Pemerintah menyamaratakan seluruh industri rokok putih
(Sigaret Putih Mesin) seperti perusahaan rokok putih multinasional. Padahal
masih banyak industri rokok Sigaret Putih Mesin adalah industri skala kecil
dengan kemampuan permodalan dan teknologi yang terbatas. Kebijakan yang
seperti ini jelas tidak adil dan adanya perbedaan perlakuan yang lebih
menguntungkan industri rokok kretek dan industri rokok putih multinasional.
Atau dengan kata lain cara pandang yang mendasari kebijakan pemerintah
tersebut semata-mata untuk meningkatkan pendapatan negara, meskipun
dengan membuat kebijakan yang menyulitkan berkembangnya industri
nasional, khususnya industri skala menengah dan kecil.117

Bagi industri rokok skala kecil, keberlanjutan usaha tetap harus dipertahankan,

mengingat tidak sedikit tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada

keberadaan industri tersebut. Untuk menghadapi kenaikan tarif cukai yang tinggi

tersebut, menaikkan harga secara proporsional dengan kenaikan tarif cukai bukanlah

pilihan yang bijaksana, mengingat daya beli konsumen produk mereka adalah rendah

dan elastisitas keterpengaruhan konsumen terhadap kenaikan harga sangat tinggi. Jika

harga dinaikkan sebanding dengan kenaikan tarif cukai, maka konsumen akan

berpindah, dan perusahaan akan mengalami penurunan pangsa pasar secara terus

menerus. Untuk menghindari hal ini, maka kebijakan yang banyak ditempuh adalah

dengan cara mensubsidi konsumen dengan tetap menjaga harga yang terjangkau

konsumen meskipun biaya produksi semakin tinggi karena kewajiban tarif cukai yang

naik cukup signifikan. Namun, permasalahannya adalah sampai berapa lama industri

skala kecil tersebut akan mampu memberikan dukungan subsidi pada konsumen.

Lambat laun dipastikan perusahaan rokok skala kecil ini akan mati. Salah satu upaya

Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara dalam menghadapi kendala-kendala

tersebut adalah dengan tetap mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap

117
Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 173.
produk mereka. Berikut ini petikan hasil wawancara dengan pengelola Industri Hasil

Tembakau di Sumatera Utara :

”Yang paling utama adalah upaya mempertahankan konsumen agar tetap loyal
terhadap produk kami, namun hal ini perlu pengorbanan yang sangat besar
berupa mempertahankan harga eceran tidak naik secara drastis, walaupun
beban cukai yang dipungut naik cukup tinggi. Kata subsidi adalah kata yang
tepat dan tidak terelakkan, namun daya tahan Perusahaan sangat terbatas dan
pada titik temunya secara jangka panjang, Perusahaan akan mengalami
kolaps”.118

Penjelasan yang senada juga dikemukakan oleh pengelola PT. Sumatera

Tobacco Trading Company sebagai berikut :

“Untuk mencegah peralihan konsumen PT. Sumatera Tobacco Trading


Company yang berada pada segmen menengah bawah ke SKT (Sigaret Kretek
Tangan) dan Rokok Ilegal, PT. Sumatera Tobacco Trading Company telah
berusaha mengsubsidi beban konsumen tersebut sehingga harga jual rokok
hanya berkisar 90% harga bagi agen. Tetapi ditengah tingginya beban-beban
industri dan kenaikan beban cukai yang terus menerus, untuk jangka panjang
PT. Sumatera Tobacco Trading Company tidak akan mampu mengsubsidi
konsumen lagi”.119

Masalah lain terkait dengan kebijakan adalah pengenaan pajak rokok dan

pungutan-pungutan lainnya oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ada beberapa

pungutan-pungutan baik Pusat maupun daerah yang tumpang tindih (overlapping)

sifatnya. Khusus untuk Industri Rokok, rencana pengenaan Pajak Rokok yang telah

diatur pada Undang-Undang No. 34 tahun 2009 jelas-jelas merupakan pajak ganda

karena dikenakan Cukai, PPN dan PPH. Apabila tujuan pengenaan pajak untuk

pengendalian konsumsi pada prinsipnya telah diakomodir oleh pengenaan cukai.

118
Wawancara dengan pengelola PT. Permona, Medan, 2 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 174.
119
Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Sehingga landasan pengenaan pajak terhadap obyek rokok pada prinsipnya lemah dan

mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.120

Jelas bahwa industri rokok nasional di Indonesia sangat terbebani dengan

pungutan-pungutan yang lahir dari kebijakan yang demikian, belum lagi adanya

pungutan-pungutan yang sifatnya tidak resmi yang secara keseluruhan sangat

mempengaruhi kinerja industri rokok di Sumatera Utara yang berskala kecil, karena

munculnya ekonomi biaya tinggi. Keadaan semacam ini sangat tidak kondusif bagi

perkembangan industri di Sumatera Utara dan secara nasional pada umumnya.

Kebijakan yang kurang tepat dan terarah justru muncul sebagai hambatan bagi

industri nasional sendiri.121

3. Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok

Provinsi DKI Jakarta ada Perda/Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun

2005 yang melarang merokok di tempat umum dengan sanksi yang cukup berat,

yakni kurungan/penjara badan selama 6 (enam) bulan di penjara atau denda uang

sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Kenyataan yang terjadi di lapangan

adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang

merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan dilarang merokok.

Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih

120
Ibid., hal. 174-175.
121
Ibid., hal. 175.
banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan

kesehatan orang lain.122

Merokok sangat merugikan kesehatan baik manusia maupun hewan karena

mengandung racun yang sangat berbahaya. Orang yang merokok biasanya memilki

paru-paru yang busuk dan berwarna gelap, sangat berbeda dengan orang yang tidak

menghisap batang rokok. Merokok adalah haram hukumnya dalam agama karena

tidak ada dampak positif dari rokok, yang ada hanya efek negatifnya saja, sehingga

merokok itu adalah perbuatan dosa. Perokok juga termasuk dalam kegiatan yang

boros, karena seseorang bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah per

bulan untuk membeli berbungkus-bungkus rokok. Kasihan dan menyedihkan sekali

bagi pecandu rokok yang memiliki penghasilan kecil, karena dipaksa untuk membeli

rokok akibat kecanduan. Anak dan istri pun jadi tekena imbas karena untuk makan,

sekolah, rumah, bayar tagihan listrik, dan sebagainya kurang mencukupi.123

Seharusnya dibuat suatu mekanisme yang mengubah sanksi perda tersebut

menjadi alat untuk mengeruk pendapatan asli daerah. Dengan mendapatkan lima

puluh juta per orang kaya yang merokok maka dalam setahun mungkin bisa

didapatkan masukan sebesar milyaran sampai trilyunan rupiah. Untuk orang yang

ekonomi menengah kebawah dapat disiasati dengan potongan masa tahanan dengan

pembayaran sebagian denda. Contohnya apabila seseorang bayar hanya 25 juta, maka

hukuman penjaranya dikurangi jadi hanya 3 bulan penjara.124

122
Ibid.
123
Ibid., hal. 176.
124
Ibid.
Penegakan hukum sanksi merokok di tempat umum harus ketat dan

melibatkan partisipasi masyarakat dengan hadiah. Misal warga bisa merekam orang

yang merokok di tempat umum untuk diadukan ke pihak yang berwajib dengan

imbalan tertentu yang menggiurkan. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat

shock therapy agar takut untuk merokok di kawasan umum. Namun hal ini belum

tentu disukai banyak orang. Banyak oknum politisi yang suka merokok sembarangan

di tempat umum sehingga pelaksanaan pemungutan denda tersebut bisa dihambat

total.125

C. Pengaruh Eksternal

Pengaruh eksternal yang berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau ataupun

Industri Rokok, antara lain : 1) Liberalisasi perdagangan dunia; 2) Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC); dan 3) Trend akuisisi perusahaan rokok

nasional oleh investor asing.

1. Liberalisasi Perdagangan Dunia

Proses globalisasi ekonomi wujud nyatanya adalah liberalisasi pasar yang

terbuka dan bebas. Liberalisasi ini adalah sebuah upaya besar (grand design) yang

sulit dihindari, karena kuatnya pengaruh negara-negara pro-globalisasi dan

liberalisasi yang secara ekonomi dan politik amat kuat dan berpengaruh. Saat ini,

hampir seluruh negara-negara di dunia sedemikian tingginya tingkat saling


125
Ibid., hal. 176-177.
ketergantungan. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih terasa lagi setelah

dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah

diupayakan dan didukung secara bersama-sama oleh seluruh negara di dunia dalam

berbagai macam kesepakatan dan perjanjian antar negara, baik dalam tingkat bilateral,

regional dan multilateral seperti kesepakatan negara-negara NAFTA (North American

Free Trade Area), EU (European Union), AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC

(Asia Pacific Economic Cooperation), GATT (General Agreement on Trade and

Tariffs), dan WTO (World Trade Organization). Menolak tren globalisasi dan

perdagangan dunia tampaknya jauh lebih menyulitkan ketimbang mengikutinya.

Namun, bukan berarti desain besar ini diterima dengan tangan terbuka di seluruh

dunia. Ada beberapa kalangan masyarakat di beberapa negara seperti Perancis,

Meksiko, secara keras menolak liberalisasi ekonomi dan perdagangan, karena

mengacaukan usaha pertanian domestik.126

Ide dasar liberalisasi adalah untuk mengahapuskan semua hambatan dalam

perdagangan dan ekonomi, sehingga semua pelaku bisnis dari berbagai negara bisa

melakukan perdagangan di dunia ini tanpa ada diskriminasi. Pemerintah setiap negara

hanya bertugas sebagai pembuat kebijakan untuk memperlancar perdagangan bebas,

tetapi liberalisasi ekonomi menimbulkan dampak, yaitu kian ketatnya persaingan dan

efisiensi di bidang ekonomi dan perdagangan.127

126
M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Aspek Hukum Pasal Modal
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait,
et.al., Op.cit., hal. 177.
127
Ibid., hal. 178.
Persoalan besar dari liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan ekonomi

adalah tidak adanya tingkat kesetaraan dari segi ekonomi dan politik di antara negara-

negara di dunia. Negara-negara kaya dan maju masih jauh lebih sedikit daripada

negara-negara berkembang atau miskin. Negara maju yang berjumlah sedikit tersebut

mempunyai kekuatan dan dominasi perdagangan dan ekonomi yang lebih kuat yang

pada akhirnya lebih kuat secara politik. Sementara negara-negara berkembang dan

miskin berada dalam pengaruh negara-negara kaya dan tidak mempunyai kekuatan

tawar menawar yang setara serta sekuat negara-negara maju, sehingga negara-negara

berkembang lebih banyak dipaksa untuk mengikuti tren ini.128

Bagi Indonesia, perdagangan dunia atau pasar bebas merupakan tantangan

berat sekaligus peluang untuk mengefisienkan dan mengefektifkan perekonomiannya.

Momentum liberalisasi harus dijadikan titik masuk menuju perekonomian Indonesia

yang lebih baik daripada menentang gelombang besar sejarah dan mengkhawatirkan

kemampuan diri untuk bertahan dan berjaya. Pada tahun 2003 Indonesia sudah masuk

dan menerapkan era perdagangan bebas untuk lingkungan ASEAN (AFTA), tahun

2010 yang tinggal beberapa hari lagi Indonesia sudah harus menerapkan dan

memasuki pasar negara industri maju anggota APEC, dan pada tahun 2020 siap

membuka pasar dalam negeri bagi seluruh negara-negara APEC. Tampaknya

persiapan Indonesia memasuki pasar negara industri menghadapi kendala yang cukup

berat akibat hantaman krisis multidimensi dan faktor situasi politik dan keamanan

yang belum dapat dikendalikan sepenuhnya.129

128
Ibid., hal. 178-179.
129
Ibid., hal. 179.
Walaupun situasi dan kondisi yang berat di segala bidang, dengan penuh rasa

optimis dan bekerja sekuat tenaga, Indonesia harus tetap melaju dan bersaing di pasar

bebas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat ini, seolah-olah

batas suatu negara sudah tidak ada, Teknologi Informasi (TI) telah mengglobal.

Seluruh aspek kehidupan manusia mengalami perubahan dan perkembangan serba

cepat di pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali sektor Industri Hasil Tembakau

khususnya di Sumatera Utara.130

Proses liberalisasi kompetitif mendorong banyak negara terlepas dari apapun

filosofi yang dianut, untuk kemudian berkompetisi secara agresif. Liberalisasi

perdagangan dan investasi mempengaruhi perubahan hukum di banyak negara.

Negara-negara melakukan sejumlah deregulasi dan debirokratisasi untuk menarik

aliran modal global guna mengintegrasikan ekonominya pada sistem ekonomi global.

Tujuannya untuk mengambil manfaat dari aliran bebas barang, jasa dan modal global

guna mendukung percepatan pembangunan ekonominya. Pada sisi lain, Multinational

Corporation (MNCs) memandang perubahan ini sebagai peluang untuk memperkuat

pengaruh mereka pada perekonomian global karena terbukanya akses pasar yang

cukup luas.131

Industri Hasil Tembakau atau industri rokok domestik Indonesia khususnya

Sumatera Utara (Usaha Mikro Kecil Menengah, swasta besar dan Badan Usaha Milik

Negara) dalam sistim yang sangat kompetitif ini mau tidak mau harus berhadapan

dengan perusahaan-perusahaan asing, hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan

130
Ibid.
131
Ibid., hal. 180.
hambatan bagi perusahan-perusahan Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara,

apakah mampu bersaing dan bertahan hidup di era liberalisasi ini. Namun, persaingan

ini justru harus dihadapi dengan sejumlah persoalan yang sangat krusial, seperti iklim

usaha yang tidak kondusif, persaingan yang tidak sehat, infrastruktur yang kurang

mendukung, ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum dan regulasi yang kurang

terencana dan tidak konsisten yang justru banyak menimbulkan beban bagi Industri

Hasil Tembakau di Sumatera Utara.132

Kecenderungan yang akan terjadi adalah perusahaan rokok besar memperluas

pasar-pasar baru terutama di negara yang belum berkembang karena di negara

tersebut belum kuat gerakan anti merokok baik oleh pemerintah maupun organisasai

non pemerintah. Perusahaan rokok besar mempunyai kecenderungan untuk membeli

perusahaan rokok kecil yang tidak dapat bersaing dengan perusahaan besar yang

mempunyai fasilitas modern. Kondisi ini menjadikan pasar global rokok hanya

dikuasai oleh beberapa industri besar seperti Phillip Morris, Japan Tobacco

International, Reemmstma.133

Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok

putih, muncul dugaan adanya keterilbatan perusahaan multinasional dalam regulasi

Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau

nasional dengan menggunakan instrument regulasi cukai dan Framework Convention

on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak

dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil

132
Ibid.
133
Ibid., hal. 180-181.
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai

rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat

bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli

rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan

ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.

Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan

menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil

Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelematan menjual

perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,

seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dll. Dengan

cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau

multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestic lebih kurang 80%

dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT. British American

Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai bukan tidak mungkin

selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.134

Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah

ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding

Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan kepanjangan tangan

perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran

adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.

Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita

baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan

134
M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Op.cit.
kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan penetapan

Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri

Keuangan 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama 2 tahun, sementara

ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek. Kebijakan yang

demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan menengah. Masalahnya

ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal, seperti Wismilak dan

Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai lebih tinggi akibat

harga produk mereka yang melewati batas harga eceran maksimum untuk pabrik

sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang harus hidup diantara para

raksasa rokok.135

Sepertinya, tekanan pada industri hasil tembakau akan bertambah berat,

mengingat desakan agar pemerintah Republik Indonesia segera membuat Undang-

undang tentang dampak tembakau sebagai realisasi akan diratifikasi Framework

Convention Tobacco Control (FCTC) kian hari kian kencang. Oleh karena itu,

sebelum terlambat, sebaiknya para pengambil kebijakan mencari jalan keluar agar

para pelaku industri hasil tembakau tidak terpuruk (terutama yang kelas Usaha Mikro

Kecil Menengah). Begitu pun halnya petani tembakau sebaiknya dibantu agar tidak

menjadi pengangguran dengan terbitnya kebijakan tarif.136

Pada tanggal 19 Agustus 2009. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian

Mutu Barang Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan

mengadakan pertemuan pengurus Lembaga Tembakau (LT), di ruang rapat

135
“Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum
Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 182-183.
136
Ibid., hal. 183.
auditorium III gedung utama Departemen Perdagangan. Pertemuan Pengurus

Lembaga Tembakau dibuka oleh Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu

Barang selaku Ketua Lembaga Tembakau, dan dihadiri oleh anggota pengurus

Lembaga Tembakau yang merupakan pejabat eselon 2 di beberapa instansi terkait,

Lembaga Tembakau Surabaya, Jember, Surakarta dan Medan, serta asosiasi pabrikan

rokok (GAPPRI dan GAPRINDO), asosiasi petani tembakau dan wakil dari pabrikan

rokok. Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Tembakau sesuai Surat Keputusan

Menteri Perindustrian Perdagangan No.433/MPP/Kep/7/2004 tanggal 8 Juli 2004

tentang Pembebasan dan Pengangkatan Keanggotaan Pengurus Lembaga Tembakau

Pusat.137

Dalam Pertemuan Lembaga Tembakau dibahas isu utama pertembakauan dan

pengusahaan hasil tembakau nasional antara lain antisipasi terhadap FCTC

(Framework Convention on Tobacco Control), issue pelarangan impor rokok di

Amerika (US Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, pelarangan

impor rokok yang mengandung cita rasa di Canada serta Rancangan Undang-Undang

tentang pengendalian produk tembakau serta Roadmap pengusahaan tembakau dan

hasil tembakau nasional.138

Penyusunan Draft Undang-undang Pertembakauan yang sudah disepakati

dapat ditindak lanjuti mengingat dasar-dasar penyusunannya sudah mengadop dari

137
Ibid., hal. 183-184.
138
Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang, Departemen Perdagangan
Republik Indonesia, Agustus 2009, sebagaimana dikutp Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi

kesehatan dan sudah dilengkapi dengan hasil kajian akademis.139

Rancangan Undang-Undang Pertembakauan diharapkan dapat mengakomodir

isu-isu yang terus berkembang seperti isu tentang dampak kebijakan tarif industri

hasil tembakau terhadap persaingan usaha di bidang industri hasil tembakau, isu

tentang iklim usaha di bidang industri hasil tembakau dengan diberlakukannya

kebijakan tariff, isu tentang terciptanya pengangguran, tentang single tariff yang

berdampak terpuruknya industri hasil tembakau, dan yang menjadi kekhawatiran

semua pihak khususnya pengusaha industri hasil tembakau adalah Rancangan

Undang-Undang tentang dampak tembakau dan kebijakan single tariff tersebut

dibentuk karena adanya indikator global perusahaan asing mengambil alih industri

hasil tembakau di Republik Indonesia.140

Keputusan terakhir untuk mengatasi dilema ini tentu berada di tangan

pemerintah Republik Indonesia. Sekarang pemerintah hanya tinggal memilih pihak

mana yang akan dibela kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita,

anak-anak dan kaum miskin, terutama yang bukan perokok namun terancam

kesehatan dan masa depannya, atau industri yang pada dasarnya tidak dirugikan

secara signifikan eksistensinya, atau perusahaan asing yang siap memangsa industri

hasil tembakau Indonesia.141

139
Ibid., hal. 184.
140
Ibid.
141
Ibid.
2. Framework Convention on Tobacco Control

Ketika sebuah lembaga bernama Forum Parlemen Indonesia (Indonesian

Parliament Forum) menelurkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan

Dampak Tembakau (sebut saja Rancangan Undang-Undang Tembakau) bagi

Kesehatan, banyak pihak kebakaran jenggot, terutama kalangan industri rokok. Bak

gaya sepak bola, industri rokok menggunakan jurus total football untuk menganulir

Rancangan Undang-Undang ini, termasuk "membeli" ilmuwan dari universitas

termasyhur di negeri ini. Rancangan Undang-Undang ini telah mengantongi

dukungan 224 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (40,7%) dan kini sedang

didesakkan untuk menembus Program Legislasi Nasional (Prolegnas) melalui pintu

masuk Badan Legislasi DPR.142

Layak dipertanyakan, atas pertimbangan yang digunakan sehingga Rancangan

Undang-Undang ini urgent untuk segera dibahas dan disahkan. Tidak terlalu sulit

membeberkan pembenarannya. Pertama, kepentingan kesehatan dan sosial. Ekses

eksternalitas tembakau dengan segala turunannya sudah final. Sebatang rokok

mengandung 4.000 racun kimia berbahaya, 10 di antaranya bersifat karsinogenik.

Ekses negatif itu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekses sosial,

ekonomi, moral, dan budaya. Disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia, 2006) membuktikan perilaku merokok

berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti

penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS. Sergapan asap rokok

terhadap pelajar kini pun amat merisaukan, setidaknya menurut Global Youth
142
Ibid., hal. 185-186.
Tobacco Survey 2006 versi World Trade Organization, yaitu 37,3% pelajar laki-laki

dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5% pelajar laki-laki

bahkan telah menjadi perokok aktif.143

Sementara itu, menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan

Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit

yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability

adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun

pada 2005 sebesar US$. 900, total biaya yang hilang US$. 4.870.713.600.144

Kedua, ketika dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan akibat rokok begitu

menggawat, ironisnya hingga detik ini kita belum mempunyai produk hukum yang

secara komprehensif mengatur industri rokok. Bagaimanapun industri rokok adalah

industri yang memproduksi dan memasarkan "barang bermasalah". Saat ini masalah

bahaya rokok hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Penanggulangan Bahaya Rokok bagi Kesehatan, yang merupakan turunan dari Pasal

44 Undang-Undang tentang Kesehatan. Namun, faktanya, Peraturan Pemerintah ini

nyaris tidak bisa "mematuk" siapa pun yang melanggarnya, termasuk pelanggaran

jam tayang iklan rokok oleh media massa. Secara historis-politis, proses pembahasan

Peraturan Pemerintah ini justru didikte oleh industri rokok.145

Ketiga, konstelasi politik internasional. Rancangan Undang-Undang

Penanggulangan Dampak Tembakau menjadi urgen mengingat saat ini pemerintah

Indonesia telah menjadi obyek cemoohan komunitas internasional, terutama oleh

143
Ibid., hal. 186.
144
Ibid., hal. 186-187.
145
Ibid., hal. 187.
negara anggota World Trade Organization dan komunitas lembaga swadaya

masyarakat. Bahkan pemerintah Indonesia diberi award bernama ashtray award, alias

negara keranjang sampah nikotin. Itu semua terjadi karena pemerintah Indonesia

tidak menandatangani/meratifikasi konvensi yang bernama Framework Convention

on Tobacco Control (FCTC). Penolakan pemerintah Indonesia terhadap Framework

Convention on Tobacco Control merupakan pengingkaran terhadap komitmen

internasional, karena delegasi Indonesia justru terlibat aktif dalam pembahasan draf

Framework Convention on Tobacco Control (sebagai drafting committee members).

Delegasi Indonesia juga menerima secara bulat substansi Framework Convention on

Tobacco Control dalam Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di Jenewa,

Swiss, Mei 2003. Kini Framework Convention on Tobacco Control telah menjadi

hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Lalu mengapa industri

rokok dan kroni-kroni dekatnya begitu serius "menaklukkan" Badan Legislasi DPR

agar tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang ini ke dalam Program Legislatif

Nasional (Prolegnas). Menurut industri rokok, jika DPR berhasil menggunakan hak

inisiatifnya untuk menggolkan Rancangan Undang-Undang, mereka akan kolaps

seketika. Ribuan petani kehilangan lahan, ratusan ribu tenaga kerja kena pemutusan

hubungan kerja, dan pemerintah pun akan kehilangan triliunan rupiah dari cukai

rokok.146

Saat ini negara penghasil tembakau terbesar di dunia, seperti Cina (38%),

Brasil (10,3%), dan India (9,1%), kendati telah meratifikasi Framework Convention

on Tobacco Control, industri rokoknya masih sehat walafiat. Jika ketiga negara itu,

146
Ibid., hal. 187-188.
yang notabene lebih besar penghasilan tembakaunya ketimbang Indonesia, berani

meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control, mengapa Indonesia yang

hanya berkontribusi 2,3% dari tembakau dunia tidak berani.147

Minimal ada dua poin yang menjadi puncak ketakutan industri rokok terhadap

Framework Convention on Tobacco Control dan Rancangan Undang-Undang

Penanggulangan Dampak Tembakau ini, yaitu soal kebijakan cukai tinggi (tax

increasing) dan larangan menyeluruh terhadap promosi rokok (total ban promotion).

Menurut mereka, ketentuan ini akan menggusur industri rokok. Padahal, di dunia

mana pun, cukai rokok pasti tinggi. Contoh terdekat Thailand, cukai rokoknya

mencapai 75% dari harga rokok. Indonesia masih sangat rendah, maksimal hanya

30%. Itu pun hanya beberapa merek rokok. Harga rokoknya pun masih amat murah.

Akibatnya, rokok dapat diakses oleh anak-anak dan orang miskin, yang notabene

belum/tidak layak mengkonsumsi rokok. Cukai rokok tinggi justru akan mengatrol

pendapatan pemerintah dan akan memotong akses masyarakat miskin dan anak-anak

untuk membeli rokok. Biarkan yang merokok itu orang dewasa, dan berkantong tebal

pula.148

Total ban terhadap promosi rokok juga tidak akan berpengaruh signifikan

terhadap penjualan rokok. Rokok adalah produk in-inelastis, sebagaimana narkotik.

Narkotik yang jelas-jelas terlarang dan tidak pernah dipromosikan, toh laku keras bak

kacang goreng. Barang in-inelastis adalah barang yang menimbulkan efek

ketergantungan akut, ke mana pun akan diburu kendati harganya selangit. Sungguh

147
Ibid., hal. 188.
148
Ibid., hal. 188-189.
keterlaluan jika rokok yang merupakan produk bermasalah (in-inelastis) ini masih

juga dipromosikan.149

Secara minimalis, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang

Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan akan menutup malu pemerintah

Indonesia di dunia internasional, yang bergeming dengan Framework Convention on

Tobacco Control. Industri rokok juga tidak perlu mendramatisasi situasi, apalagi

mempolitisasinya. Sebab, sekuat apa pun pengawasan dan pembatasan produk rokok,

maksimal hanya akan mampu mengurangi pasokan rokok 1%. Bandingkan dengan

rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1,32% per tahun (artinya

tidak akan kehilangan pangsa pasar).150

Framework Convention on Tobacco Control menjadi isu kritis terhadap

kesehatan masyarakat dan pertanggungjawaban perusahaan karena hampir 5 juta

orang mati setiap tahun yang disebabkan oleh berbagai penyakit terkait dengan

tembakau, jauh lebih besar dibandingkan dengan korban malaria yang hanya

memakan korban 3 juta orang pertahunnya di dunia. Wabah penyakit yang terkait

dengan tembakau tersebut disebarluaaskan oleh korporasi tembakau transnational

seperti Philip Morris/Altria, PT. British American Tobacco dan JTI. Jika tidak ada

penanganan yang serius maka tembakau akan menjadi penyebab kematian tertinggi di

dunia pada 2030, dengan 70% kematian itu terjadi di Negara-negara berkembang

termasuk Indonesia. Perusahaan tembakau internasional adalah salah satu contoh dari

149
Ibid., hal. 189.
150
Ibid.
korporasi raksasa yang paling bertanggungjawab atas melambungnya biaya kesehatan

dan ancaman kematian masyarakat dunia.151

Framework Convention on Tobacco Control menetapkan sesuatu yang dapat

dijadikan teladan penting untuk peraturan korporasi internasional dan lokal yang

mengambil keuntungan atas meningkatnya biaya-biaya kesehatan kita, lingkungan

kita dan hak asasi manusia; seperti pada industri-industri riskan lainnya di bidang

pertanian, minyak, farmasi, air dan senjata.152

Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik

yang baru saja menandatangai Framework Convention on Tobacco Control, sejak

awal (selama kurun waktu 2000-2003) Indonesia termasuk negara yang membidani

dan menjadi kontributor yang aktif bagi lahirnya dokumen tersebut. Dalam

pertemuan-pertemuan Intergovermental Negotiating Body (INB) delegasi Indonesia

selalu hadir dengan timnya yang kuat dalam 6 kali pertemuan INB tersebut.153

Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah alasan

klasik seperti : tingginya tingkat konsumsi rokok kita; Indonesia termasuk dari lima

Negara produsen tembakau terbesar di dunia; cukai dari rokok mencapai 50 trilyun

rupiah; dan Indonesia memiliki 2000 perusahaan industri rokok dengan jumlah

pekerjanya mencapai ratusan ribu orang. Sehingga perdebatannya justru

didikotomikan antara para petani tembakau dan kesehatan masyarakat. Padahal secara

faktual, para petani dan buruh pabrik rokok juga adalah korban dari penghisapan

keuntungan industri rokok kita dan internasional. Social cost yang diderita anak-anak,

151
Ibid., hal. 190.
152
Ibid.
153
Ibid., hal. 190.191.
remaja, pemuda, kaum perempuan dan warga miskin sangat besar. Belum lagi

maraknya kasus narkoba saat ini justru pintu masuknya dari kebiasaan merokok yang

akut karena cirri dan modus operandinya adalah sama yaitu adiksi (kecanduan).154

Sebagai bangsa saat kini kita seolah-olah bangga; padahal kita sedang

dilecehkan oleh raksasa industri rokok. Untuk itulah Indonesian Tobacco Control

Network (ITCN) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menandatangai

Framework Convention on Tobacco Control tersebut demi menyelamatkan generasi

mendatang dari wabah penyakit yang disebarluaskan oleh industri rokok.155

Indonesian Tobacco Control Network adalah jaringan masyarakat sipil

Indonesia baik Non-Governmental Organization, maupun individu yang peduli

terhadap kerja-kerja advokasi demi melindungi generasi sekarang dan mendatang dari

kerusakan kesehatan, kerusakan sosial, kerusakan lingkungan dan konsekuensi

ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau. Untuk saat

ini Indonesian Tobacco Control Network beranggotakan: Forum Warga Kota Jakarta

(FAKTA), Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Jakarta, Kaukus Lingkungan

Hidup Jakarta, Perguruan Karate Gojuryu Karatedo Shinbukan Indonesia Jakarta,

Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Yayasan Kanker Indonesia,

Yayasan jantung Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen ndonesia (YLKI),

Perkumpulan Keluarga Berencana Jawa Barat, Komisi Nasional Perlindungan Anak

(KOMNAS PA), Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), Ikatan Ahli Kesehatan

Masyarakat Indonesia (IAKMI), Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat

154
Ibid., hal. 191.
155
Ibid., hal. 191.
Universitas Indonesia, Gerakan Pramuka Institut Pertanian Bogor, Universitas

Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Esa Unggul, dan seterusnya. Indonesian

Tobacco Control Network bersifat egaliter dan dikoordinasi oleh anggota secara

bergiliran sesuai dengan kebutuhan lembaga dan jaringan. Tembakau membunuh

lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, diproyeksikan akan

membunuh 10 juta orang sampai tahun 2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara

berkembang. Tembakau juga memakan biaya yang sangat besar dalam pelayanan

kesehatan, kehilangan produktifitas, dan tentunya biaya yang tidak terlihat dari

kesakitan dan penderitaan yang timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga

mereka.156

Dalam rangka mengatasi epidemi tembakau ini, Sidang Majelis Kesehatan

Dunia (WHO) ke 56 pada bulan Mei 2003, 192 negara anggota World Trade

Organization dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi

Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC).

Sebagaimana tertulis dalam pembukaan, tujuan Framework Convention on Tobacco

Control adalah untuk “melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan

kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau

serta paparan terhadap asap tembakau.” Sampai 31 Mei 2005, 168 negara telah

menandatangani Framework Convention on Tobacco Control dan 66 negara

meratifikasi. Konvensi ini menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari

2005.157

156
Ibid., hal. 191-192.
157
Ibid., hal. 192-193.
Ketentuan Pokok Framework Convention on Tobacco Control

Pasal 2.1 Framework Convention on Tobacco Control mendorong seluruh

negara peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari

standar minimal yang ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan-ketentuan signifikan

yang diatur dalam Konvensi termasuk158 :

Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor (Pasal 13)

Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan negara anggota

untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor,

dan promosi produk-produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam

kurun waktu 5 tahun setelah meratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk iklan

lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negara-negara yang

memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan, pemberian sponsor dan

promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara

tersebut.159

Asap Rokok Bekas/Secondhand Smoke (Pasal 8)

Paparan asap rokok telah terbukti secara ilmiah menyebabkan kematian,

penyakit dan cacat. Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan

seluruh negara peserta untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi

bukan perokok dari asap rokok di tempat-tempat publik, termasuk di tempat-tempat

158
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kerangka Kerja Konvensi Tentang Pengendalian
Tembakau, Jenewa, 21 Mei 2003, diterjemahkan oleh Sularno Popomaruto, dalam Ningrum Natasya
Sirait, Op.cit., hal. 193.
159
Ibid.
kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan di tempat publik lainnya. Telah

terbukti bahwa langkah yang efektif dalam melindungi bukan perokok adalah dengan

larangan total merokok.160

Pengemasan dan Pelabelan (Pasal 11)

Pasal 11 Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan agar

sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk digunakan untuk label peringatan

kesehatan dalam kurun waktu 3 tahun setelah meratifikasi Framework Convention on

Tobacco Control. Pasal ini juga mengharuskan pesan tersebut diganti-ganti, dan dapat

menggunakan gambar.161

Peringatan yang mengandung kata-kata yang menyesatkan seperti

“light”, ”mild,” dan “rendah tar” dilarang. Penelitan membuktikan rokok yang

berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada umumnya.

Negara-negara peserta sepakat untuk melarang segala kata-kata yang menyesatkan

dalam kurun waktu 3 tahun setelah menjadi anggota Framework Convention on

Tobacco Control.162

Penyelundupan (Pasal 15)

Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan dilakukan suatu

tindakan dalam rangka mengatasi penyelundupan tembakau. Tindakan tersebut

termasuk menuliskan asal pengiriman serta tempat tujuan pengiriman di semua

160
Ibid., hal. 193-194.
161
Ibid., hal. 194.
162
Ibid., hal. 194.
kemasan tembakau. Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan

kerjasama penegakan hukum dalam penyelundupan tembakau lintas negara.163

Pajak dan Penjualan Bebas Bea (Pasal 6)

Framework Convention on Tobacco Control menghimbau negara-negara

peserta untuk menaikkan pajak tembakau dan mempertimbangkan tujuan kesehatan

masyarakat dalam menetapkan kebijakan cukai dan harga produk tembakau.

Penjualan tembakau bebas bea juga sebaiknya dilarang. Kenaikan harga tembakau

terbukti langkah yang efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau, terutama di

kalangan anak-anak dan remaja.164

Pengungkapan dan Pengaturan Kandungan Produk (Pasal 9 dan 10)

Produk tembakau perlu diatur. Negara-negara peserta sepakat untuk

membentuk suatu acuan yang dapat digunakan seluruh negara-negara dalam

mengatur kandungan produk tembakau. Negara-negara peserta juga harus

mewajibkan pengusaha tembakau untuk mengungkapkan kandungan produk tembaku

kepada pemerintah.165

Pertanggungjawaban (Pasal 4.5 dan 19)

Tindakan hukum perlu dilakukan sebagai strategi pengendalian dampak

tembakau. Framework Convention on Tobacco Control melihat bahwa

pertanggungjawaban merupakan program yang penting dalam pengendalian dampak

tembakau. Negara-negara peserta sepakat untuk melakukan pendekatan legislatif dan

163
Ibid.
164
Ibid., hal. 194-195.
165
Ibid., hal. 195.
hukum dalam mencapai tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerjasama

dalam pengadilan yang terkait dengan masalah tembakau.166

Treaty Oversight (Pasal 23)

Konferensi dari negara-negara peserta akan mengawasi Framework

Convention on Tobacco Control. Framework Convention on Tobacco Control

membentuk Konferensi negara-negara peserta/Conference of the Parties (COP) yang

akan diselenggarakan pada tahun 2006. Conference of the Parties diberdayakan untuk

mengawasi implementasi Framework Convention on Tobacco Control serta

mengadopsi protokol, tambahan (annex) dan perubahan Framework Convention on

Tobacco Control. Selain itu juga untuk membentuk badan subsider untuk menjalani

tugas-tugas tertentu.167

Pendanaan (Pasal 26)

Negara-negara peserta telah berkomitmen untuk memberikan dana untuk

pengendalian dampak tembakau secara global. Negara-negara peserta sepakat untuk

mengerahkan bantuan keuangan dari sumber dana yang ada untuk pengendalian

dampak tembakau di negara-negara berkembang dan di negara-negara yang

mengalami transisi ekonomi, termasuk juga organisasi interpemerintah baik regional

maupun internasional.168

Komitmen Penting Lainnya

166
Ibid.
167
Ibid.
168
Ibid., hal. 196.
Adapun komitmen penting lainnya, adalah bahwa169 :

a. Setiap negara peserta membentuk suatu mekanisme koordinasi keuangan

nasional atau focal point untuk pengendalian dampak tembakau (Pasal 5).

b. Negara-negara peserta berusaha untuk menyertakan usaha berhenti merokok

dalam program kesehatan nasional mereka (Pasal 14).

c. Negara-negara peserta melarang atau mempromosikan larangan pembagian

produk tembakau secara gratis (Pasal 16).

d. Negara-negara peserta mempromosikan partisipasi LSM-LSM dalam program

pengendalian dampak tembakau nasional (Pasal 12).

e. Negara-negara peserta melarang penjualan produk tembakau kepada mereka

yag dibawah umur menurut hukum nasional mereka, atau 18 tahun (Pasal 16).

f. Negara-negara yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control

tidak dapat melakukan reservasi (mengecualikan) salah satu pasal dari

Framework Convention on Tobacco Control (Pasal 30).

Reaksi Industri Tembakau

Framework Convention on Tobacco Control jelas ditentang oleh industri

tembakau. Mereka menyatakan bahwa Framework Convention on Tobacco Control

adalah obsesi negara maju yang dipaksakan terhadap negara berkembang. Mereka

menyangkal bahwa Framework Convention on Tobacco Control adalah hasil

negosiasi dari banyak negara, tidak hanya negara-negara berkembang. Mereka

menyatakan bahwa Framework Convention on Tobacco Control hanya akan

merampas hak pemerintah dalam menentukan kebijakan pengendalian dampak

169
Ibid.
tembakau nasional. Selain itu, mereka secara terus menerus menakut-nakuti

pemerintah bahwa Framework Convention on Tobacco Control akan merusak tatanan

ekonomi, tanpa mengindahkan penemuan Bank Dunia yang menyatakan bahwa

pengendalian dampak tembakau baik untuk kesehatan masyarakat dan ekonomi.170

Industri tembakau berpegang pada alasan bahwa tidak ada hasil bumi atau

pilihan pengganti lainnya. Sangatlah logis untuk berpikir bahwa konsumen yang

berhenti merokok akan mengalokasikan pengeluaran tembakau mereka ke barang dan

pelayanan ekonomi yang lain. Oleh karena itu, penurunan pekerjaan dalam industri

tembakau akan seimbang dengan meningkatnya pekerjaan di industri lain.

Bagaimanapun juga, dalam masa pertengahan, untuk Negara yang sangat bergantung

pada ekspor tembakau (contoh : ekonomi berasal dari ekspor bersih tembakau),

penggolongan dalam bidang ekonomi/pertanian sepertinya akan menyebabkan

kerugian pekerjaan.171

Framework Convention on Tobacco Control mempunyai pandangan jangka

panjang dari penggolongan bidang pertanian. Pendekatan panduan kerangka kerja

disediakan sebagai pendekatan yang evolusioner untuk mengembangkan sebuah

sistem internasional legal pengendalian tembakau, sehingga seluruh isu tidak perlu

dikemukakan pada saat yang bersamaan. Lebih jauh lagi, kebutuhan dana multilateral

untuk membantu negara-negara tersebut akan sangat mendukung perubahan

kebutuhan biaya yang tinggi telah terbukti.172

170
Ibid., hal. 197.
171
Ibid.
172
Ibid., hal. 197-198.
Framework Convention on Tobacco Control mungkin akan menjadi alat

pertama pencarian dukungan dunia untuk para petani tembakau. Dan catatan penting

jika prevalensi penggunaan tembakau masih sama, saat ini sebanyak 1,1 milyar

perokok di dunia, pada tahun 2025 diprediksikan meningkat menjadi 1,64 milyar,

sesuai dengan peningkatan penduduk di Negara berkembang. Oleh karena itu, Negara

penanam tembakau sangatlah tidak mungkin (lewat beberapa dekade) menderita

secara ekonomi dari aksi pengendalian tembakau seperti Framework Convention on

Tobacco Control. Sekalipun usaha pengendalian tembakau secara keseluruhan sangat

sukses, di tahun 2030, dunia mungkin akan memiliki pengguna tembakau sebanyak 1

sampai 1,2 milyar.173

Potensi Framework Convention on Tobacco Control

Framework Convention on Tobacco Control telah berkontribusi banyak dalam

mengubah persepsi publik mengenai tembakau dan dan perlunya memiliki Undang-

Undang dan peraturan yang kuat untuk mngontrol penggunaan tembakau. Framework

Convention on Tobacco Control sampai saat ini telah174 :

a. Memberikan dorongan baru untuk membuat legislasi nasional serta tindakan

untuk mengontrol dampak tembakau.

b. Memberikan bantuan secara teknis dan finansial untuk pengendalian dampak

tembakau baik nasional maupun global.

173
Ibid., hal. 198.
174
Ibid., hal. 198-199.
c. Memobilisasi LSM dan masyarakat sipil untuk menguatkan upaya

pengendalian dampak tembakau.

d. Meningkatkan kesadaran publik mengenai taktik pemasaran yang digunakan

perusahan tembakau multinasional.

3. Trend Akuisisi Perusahaan Rokok Nasional oleh Investor Asing

Akuisisi atau pengambilalihan industri hasil tembakau oleh investor asing saat

sekarang cukup diminati . Seperti diketahui, bulan Juni 2009 lalu British American

Tobacco, Plc (BAT) mengakuisisi 85% saham PT. Bentoel Internasional Investama

Tbk., senilai lebih dari Rp. 5 triliun. Perusahaan yang berkantor pusat di London itu

membeli 56% saham Rajawali Group dan pemegang saham lainnya di Bentoel.

Perusahaan rokok asal Amerika Serikat, Philip Morris International Inc., sebelumnya

mengakuisisi 98% saham PT. HM Sampoerna, Tbk. melalui PT. Philip Morris

Indonesia pada 2005.175

Indonesia menjadi target industri rokok asing karena lemahnya regulasi

pengendalian tembakau. Indonesia, misalnya, sampai sekarang belum meratifikasi

Frame Convention Tobacco Control (FCTC). Cina dan India sudah meratifikasi

aturan itu. Indonesia, yang pasarnya jauh lebih besar ketimbang kedua negara tersebut,

sampai sekarang belum melakukannya. Indonesia menjadi negara kelima terbesar

konsumen pasar rokok dunia. Lantaran Indonesia belum meratifikasi aturan

175
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199.
pengendalian tembakau itu, asing berpeluang menyerbu. "Secara ekonomi pasar

Indonesia memang menggiurkan".176

Sebelumnya Philip Morris dan PT. British American Tobacco mengincar Cina.

Namun, Cina keburu meratifikasi aturan pengendalian tembakau internasional

sehingga mereka berpaling ke Indonesia. Investor asing memilih Indonesia karena

regulasi perlindungan kesehatan dari rokok sangat lemah dan konsumsi rokok di

Indonesia cukup besar, sebagaimana disebutkan dalam kutipan wawancara di bawah

ini177 :

”Hal ini menunjukkan menariknya Pasar Rokok Indonesia bagi Pihak Asing
sehingga mengundang mereka untuk mengakuisisi pabrikan-pabrikan besar
Rokok di Indonesia. Jumlah konsumsi rokok Indonesia pada tahun 2007
mencapai 215 miliar batang merupakan negara ke-5 terbesar setelah Cina
(1,643 miliar batang), Amerika Serikat (460 miliar), Rusia (330 miliar) dan
Jepang (260 miliar batang).
Perkiraan pangsa pasar Rokok Indonesia yang telah dikuasai pabrikan yang
terafiliasi dengan Pihak Asing adalah sebagai berikut :

Pasar Sigaret Putih Mesin


Sebagaimana kami kemukakan di atas, diperkirakan ± 80% pangsa pasar
Sigaret Putih Mesin Indonesia dikuasai PT. PMI dan PT. British American
Tobacco. Padahal pada tahun 1984, Sumatera Tobacco Trading Company
pernah meraih kejayaannya menguasai ± 48% pangsa pasar Sigaret Putih
Mesin Indonesia.

Pasar Sigaret Kretek Mesin


Dengan diakuisisinya PT. Sampoerna oleh PT. PMI dan PT. Bentoel oleh PT.
British American Tobacco maka kepemilikan asing diperkirakan telah
mencapai ± 70% pangsa pasar Sigaret Kretek Mesin Indonesia”.178

176
Ibid.
177
Ibid., hal. 200.
178
Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan, 2
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199-200.
BAB IV

KETENTUAN PEMBAGIAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DITINJAU DARI

ASPEK KEADILAN BAGI SUMATERA UTARA SEBAGAI DAERAH

PENGHASIL TEMBAKAU DAN LOKASI INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

DALAM KERANGKA KEBIJAKAN TARIF

A. Cukai Tembakau dan Retribusi Daerah

Berbicara mengenai cukai tembakau tidak terlepas dari pendapatan negara

yang juga pendapatan daerah melalui ketentuan pembagian cukai hasil tembakau atau

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) di Sumatera Utara dapat yang

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 8
Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2008 – 2009

Peraturan Menteri Peraturan Menteri Peraturan Menteri


Keuangan No. Keuangan No. Keuangan No.
60/PMK.07/2008 85/PMK.07/2009 66/PMK.07/2010

Rp. 428.097.200,- Rp. 1.193.498.600,- Rp. 10.387.046.342,-

Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi
Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008, Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, dan Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010
Total tersebut di atas adalah pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) setiap tahun dari 2008 – 2010 yang disalurkan ke

provinsi Sumatera Utara oleh Kementerian Keuangan yang membawahi Departemen

Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dengan

menggunakan Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang

Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut disalurkan dengan cara transfer

melalui rekening kas daerah Sumatera Utara. Dengan menggunakan username

rekening kas daerah dan password 4 digit angka terakhir nomor rekening kas daerah

Sumatera Utara.

Pada tahun 2009 dan 2010 masih didapat dana alokasi sementara, maksudnya

adalah bahwa dana tersebut akan naik lagi apabila kepala daerah menyampaikan

laporan konsolidasi (penggunaan dana) kepada pemerintah pusat oleh Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila disampaikan dengan baik maka Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut akan ditambahkan lagi ke

rekening daerah Sumatera Utara.

Segitu banyaknya dana yang ditransfer ke rekening daerah tapi pemerintah

provinsi sendiri tidak tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa, padahal sudah

dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.179

179
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 25
Agustus 2010 di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Kendati demikian, pemerintah provinsi Sumatera Utara menginginkan untuk

menerapkan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah (jika Rencana Pengesahan

Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disahkan), yang

antara lain akan memperbolehkan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara untuk

memberlakukan pajak rokok, berpotensi menghasilkan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) hingga mencapai Rp. 100 miliar. Pemerintah provinsi Sumatera Utara

meminta agar asosiasi pengusaha pada Industri Hasil Tembakau tidak memperlambat

penerapan pajak rokok tersebut.180

Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara telah menghitung potensi

penerimaan dari penerapan pajak rokok, yang bisa mencapai Rp. 100 miliar per

tahunnya. Hasil wawancara mengenai pajak rokok di daerah adalah sebagai berikut :

“Kami memang pernah menghitung volume penjualan rokok di seluruh Sumut.


Dengan menghitung nilai pajak sebesar 15% dari harga jual, Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara bisa mendapatkan Rp. 100 miliar per tahun. Meski
nilai tersebut didistribusikan ke kabupaten/kota dengan proporsi 20% untuk
provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota.

Saat ini Dinas Pendapatan juga tengah memikirkan formulasi pemberlakuan


pajak rokok, Apakah menumpang dengan pemberlakuan cukai tembakau atau
dengan cara lain”.181

Pajak rokok yang wewenang pungutnya ada pada pemerintah provinsi jika

Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di sahkan. Dalam hal

ini tetap saja industri rokok lokal yang akan menerima imbasnya. Ada dua kali

pengenaan pungutan disini yaitu cukai tembakau dengan ketentuan peraturan menteri

keuangan mengenai tarif cukai tembakau dan pajak daerah atau retribusi daerah.

180
Ibid.
181
Ibid.
Untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

tersebut Dinas Pendapatan Daerah sama sekali tidak memiliki otoritas/kewenangan

dalam hal penggunaannya. Semua itu terdapat pada Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Sumatera Utara.182

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) masuk ke rek

Setdaprovsu untuk selanjutnya diserahkan kepada dinas yang bertanggung jawab

untuk mendayagunakannya/mengalokasikannya. Apabila dana tersebut

disalahgunakan maka peraturan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan No.

84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

CHT) dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH CHT) pada Pasal 14 yang menyebutkan bahwa :

(1) Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat
diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran
dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.
(2) Termasuk dalam kategori menyalahgunakan alokasi dana bagi hasil cukai
hasil tembakau adalah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

Dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa sanksi berupa penangguhan apabila

menyalahgunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang

ditangguhkan disini adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)-nya

yang tidak ditransfer ke daerah. Tidak ditransfernya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH CHT) tersebut karena menunggu laporan konsolidasi dari kepala

daerah. Jika yang dituduhkan kepada kepala daerah tidak terbukti maka penangguhan

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan dicabut dan Dana Bagi

182
Ibid.
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan disalurkan kembali, hal ini disebut

dalam Pasal 16 ayat (1). Dana yang ditangguhkan akan disalurkan kembali mengikuti

transfer triwulan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.183

Pada Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008

menyebutkan bahwa akan dihentikan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH CHT) apabila kesalahan dari kepala daerah yang tidak menyalurkan

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) sebagaimana semestinya

dilakukan 2 (dua) kali. 184 Tidak adanya sanksi yang dapat menimbulkan efek jera

bagi kepala daerah pada peraturan ini, dapat mengakibatkan penyalahgunaan

wewenang kepala daerah.

Setiap peraturan pastinya ada struktur yang mengawasi atau yang disebut

badan pengawas ketentuan tersebut.185 Dalam hal penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai

Hasil Tembakau (DBH CHT) ini, yang menjadi pengawas adalah Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai beserta Kepolisian. Keduanya bekerja bersama-sama dalam

mengawasi penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

tersebut.

Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Provinsi

Sumatera Utara digunakan untuk keperluan kantor setempat yaitu dimana uang

tersebut disalurkan. Setiap dana yang keluar dari Setdaprovsu diserahkan 10% kepada

183
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau.
184
Ibid.
185
Seperti yang dikatakan Lawrence M. Friedman, jika hukum ingin berjalan dengan baik
maka harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu : 1. substance (substansi hukum); 2. structure (struktur
hukum); dan 3. culture (budaya hukum). Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Sistem
Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008).
pejabat terkait dengan cara membuat proyek fiktif, alasannya jelas adalah untuk biaya

administrasi. Setelah dana masuk ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera

Utara, sisanya hanya digunakan untuk proyek-proyek pembangunan dan tidak jelas

kemana tujuan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dialokasikan.

Hal ini tidak seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.

84/PMK.07/2008.186

B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff

Mengenai tarif cukai yang mengarah kepada single spesifik tarif atau

kebijakan single tariff, akan membuka peluang bagi industri rokok untuk melakukan

monopoli. Jika perusahaan rokok di Indonesia diakuisisi oleh perusahaan asing,

termasuk perusahaan di Sumatera Utara. Maka akan terjadi monopoli rokok,

perusahaan-perusahaan lokal akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan

multinasional dengan begitu suatu negara yang tidak punya daun tembakau satu

lembar pun akan dapat mengendalikan peredaran rokok di Indonesia karena

konsumen terbesar adalah Indonesia.

Tembakaunya ditanam di Indonesia, dibuat oleh orang Indonesia, pabrik-

pabrik produksi di Indonesia, dan dipasarkan di Indonesia tapi hasil penjualan produk

rokok tersebut lari ke luar negeri. Hasil yang didapat Indonesia adalah hanya penyakit

saja yang diderita akibat merokok.

186
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Op.cit.
Hal ini disebut dengan monopoli karena yang mengendalikan harga adalah

perusahaan rokok multinasional tadi. Bisa saja satu bungkus rokok dijual dengan

harga mencapai Rp. 50.000,- yang biasanya dapat dibeli dengan harga Rp. 10.000,-.

Bagi konsumen Golongan I dan Golongan II, hal ini tidak jadi masalah karena

loyalitas mereka terhadap suatu produk tinggi.

Monopoli yang dilakukan adalah dengan cara kartel yaitu perjanjian antara

perusahaan-perusahaan rokok yang ada dengan menentukan harga rokok di atas harga

pasaran. Disebut monopoli karena hanya beberapa perusahaan yang menguasainya.

Namun, kartel dapat tidak terjadi apabila ada salah satu perusahaan yang ingkar janji

dengan cara menurunkan Harga Jual Ecerannya (HJE) demi mendapatkan konsumen

yang lebih banyak dari pesaingnya.187

Namun dalam teori ekonomi industri, kartel dalam industri beragam

bentuknya, tetapi umumnya terjadi dalam 2 (dua) cara yaitu : dengan penetapan

harga; dan penetapan output. Mengacu pada teori tersebut, dapat dipastikan bahwa

industri rokok tidak akan membentuk kartel melalui penetapan harga karena harga

jugal produk rokok diatur oleh pemerintah melalui Harga Jual Eceran dan penetapan

cukai yang sejatinya sebagai alat untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya.

Industri rokok juga tidak akan membentuk kartel melalui penetapan output, karena

187
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan : Pustaka
Bangsa Press, 2004), hal. 57-71.
pada prinsipnya setiap perusahaan berkeinginan untuk memaksimalkan

keuntungan.188

Bentuk kartel yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk lobi yang

sampai saat ini dipraktekkan. Lobi yang telah dilakukan salah satunya adalah

ancaman bahwa perusahaan rokok akan beralih ke mekanisasi apabila pemerintah

Republik Indonesia memberlakukan cukai spesifik, dan tentunya lagi-lagi akan

tercipta pengangguran tambahan akibat pengalihan tersebut. Meskipun menurut

penelitian yang dilakukan sebenarnya tidak terdapat pengaruh antara kenaikan cukai

dan penetapan kebijakan terhadap pertumbuhan tenaga kerja, namun lobi semacam

ini ternyata terbukti efektif mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah,

karena telah berhasil melemahkan, membuat ambigu dan/atau tidak implementatifnya

peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di masa lalu, dan berlaku sampai saat

ini. Seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46 butir 3,

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59 dan

89 ayat (2). Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 44, Peraturan

Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok, setelah diubah sebanyak

2 (dua) kali dan justru menjadi lebih lemah dibandingkan peraturan sebelumnya. Lobi

semacam itu juga telah berhasil menggagalkan Rancangan Undang-Undang

188
Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup
Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010.
Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan untuk dimasukkan ke

dalam Prolegnas pada masa pemerintahan berjalan.189

Keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk mengatasi dilema

tersebut. Sekarang pemerintah hanya memilih pihak mana yang akan dibela

kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita, anak-anak dan kaum

miskin, terutama bukan perokok namun terancam kesehatan dan masa depannya, atau

industri yang pada dasarnya tidak dirugikan secara signifikan eksistensinya.190

C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Untuk memecahkan permasalahan yang timbul mengenai ketentuan

pembagian cukai hasil tembakau di Indonesia dan khususnya di Sumatera Utara

sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau maka akan

digunakan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1873) yang disebut Utility

Theory (the greatest happines for the greatest number of people).191

Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan

utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi,

baik buruknya atau adilnya tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum

itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.192

189
Ibid.
190
Ibid.
191
Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009).
192
Teori utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan
seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di
balik tindakan ataupun kebenaran dan kesalahan yang fundamental dari tindakan yang dilakukan,
hanya sebagai konsekuensi. Pendekatan ini sangat pragmatis terhadap pembuatan keputusan etis.
Kebahagiaan yang disebut dalam teori ini seharusnya dapat dirasakan oleh

setiap individu. Tetapi hal tersebut tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin),

diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam

masyarakat (bangsa) tersebut. Tujuan hukum pada teori utilitarianisme adalah

menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat sebesar-

besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Berarti hukum merupakan

pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.193 Setelah

mendapatkan mana yang menjadi manfaat terbesarnya maka itulah yang dinamakan

keadilan.

Dengan begitu dapat diterapkan dalam menentukan kegunaan dari cukai hasil

tembakau yang digunakan apakah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Sebagaimana

telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa kebijakan pengendalian rokok melalui

instrumen kebijakan cukai dengan menaikkan cukai yang tinggi, sebagaimana

diterapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK 011/2009 tidak

memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi industri skala kecil. Semakin tinggi Harga

Jual Eceran produk hasil tembakau, maka semakin rendah rasio kenaikan tarif cukai

yang wajib dibayar kepada negara. Produk-produk Industri Hasil Tembakau skala

kecil umumnya adalah produk pada kisaran Harga Jual Eceran rendah, sehingga rasio

pengenaan tarif dari Harga Jual Eceran lebih besar dari produk-produk merek terkenal

yang sudah mapan dan umumnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan

Semacam estimasi rasional dari hasil dibuat dan tindakan untuk memaksimalkan manfaat terbesar bagi
mayoritas orang. Tentu saja, dalam pemikiran sebagian orang, pendekatan ini sering berujung pada
“tujuan membenarkan cara”. Jeremy Bentham dalam Bryan Magee, The Story of Philosophy : Kisah
Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogjakarta :
Kanisius, 2008), hal. 182-185.
193
Loc.cit.
multinasional. Kenaikan tarif yang lebih tinggi tersebut membuat Industri Hasil

Tembakau skala kecil semakin termarginalkan dari pasar Industri Hasil Tembakau.

Sementara itu, konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil sangat rentan dengan

kenaikan harga. Apabila harga jual ke konsumen dinaikkan, maka dengan daya beli

yang terbatas, maka konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil akan

mengalihkan konsumsinya kepada produk yang lebih murah, meskipun produk

tersebut diketahui ilegal. Keadaan ini diperburuk oleh banyak peredaran rokok ilegal

yang harganya lebih murah dari produk Industri Hasil Tembakau skala kecil. Berbada

dengan konsumen merek-merek terkenal dan produk Industri Hasil Tembakau

multinasional yang secara umumnya adalah konsumen inelastis yang tidak

dipengaruhi oleh kenaikan tarif dan harga jual, karena daya beli yang tinggi.194

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Industri Hasil Tembakau skala

kecil memandang kebijakan tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK

011/2009 tidak memenuhi rasa keadilan karena hanya mengakomodir kepentingan

Industri Hasil Tembakau skala besar dan Industri Hasil Tembakau multinasional,

sebagaimana disebutkan dibawah ini :

“Perusahaan kami bergerak di produk segmen menengah bawah dan sangat


rentan terhadap setiap perubahan kebijakan yang dterapkan oleh Pemerintah.
Perubahan Kebijakan Pemerintah atas Barang Kena Cukai dirasakan semakin
memberatkan kami sebagai pengusaha lokal. Sebagai perusahaan lokal dengan
jumlah produksi yang relatif kecil, kami merasa terlalu dijauhkan dari rasa
keadilan. Aspirasi yang disampaikan tidak relevan dengan
kebijakan/penetapan tarif yang berlaku. Pada akhirnya, Pengusaha lokal
bermodal kecil hanya akan menjadi penonton di negeri sendirinya”.

“Apresiasi Pemerintah Pusat kepada Pengusaha lokal atas peran mereka dalam
membantu menekan angka pengangguran dan meningkatkan taraf kehidupan

194
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 256-257.
masyarakat di sekitarnya sangat kecil kalau tidak bisa dikatakan tidak ada
sama sekali. Nuansa keberpihakan kepada Pengusaha bermodal besar dan
PMA sangat kentara”.

“Penetapan Single Tariff hanya akan mematikan para pengusaha lokal


bermodal kecil dan memperbesar peluang dari Perusahaan besar dan PMA
dalam menguasai pasar di Indonesia. Dengan pemberlakuan single tarif,
merek-merek lokal dengan skala produksi terbatas akan semakin sulit bersaing
dan bertahan”.195

Muncul anggapan bahwa kebijakan pemerintah berpihak pada kelompok

masyarakat tertentu dan menyampingkan kelompok masyarakat lainnya. Dalam

konteks penerapan tarif cukai, pemerintah cenderung lebih berpihak pada pengusaha

Sigaret Kretek Mesin dibandingkan pelaku usaha Sigaret Putih Mesin lokal karena

penerapan tarif cukai yang tidak memperhitungkan daya beli dan kemampuan

Industri Hasil Tembakau, sebagaimana dikemukakan pengelola PT. Sumatera

Tobacco Trading Company berikut :

“Ketidakadilan dan ketidakseimbangan bagi Konsumen Rokok segmen


menengah bawah karena dengan penerapan sistem spesifik murni dan rencana
Pemerintah menuju unifikasi (single rate), tidak menutup kemungkinan beban
cukai konsumen akan disamakan tanpa memperdulikan kemampuan daya beli
konsumen”.

“Untuk mencegah peralihan konsumen PT. Sumatera Tobacco Trading


Company yang berada pada segmen menengah bawah ke SKT (Sigaret Kretek
Tangan) dan Rokok Ilegal, PT. Sumatera Tobacco Trading Company telah
berusaha mengsubsidi beban konsumen tersebut sehingga harga jual rokok
hanya berkisar 90% harga bagi agen. Tetapi ditengah tingginya beban-beban
industri dan kenaikan beban cukai yang terus menerus, untuk jangka panjang
PT. Sumatera Tobacco Trading Company tidak akan mampu mengsubsidi
konsumen lagi”.

“Pemerintah telah memberikan keringanan-keringanan bagi Sigaret Kretek


Tangan (SKT) dengan beban cukai yang jauh lebih rendah dari jenis rokok
lainnya. Namun, Pemerintah belum memperhatikan perusahaan-perusahaan

195
Wawancara dengan pengelola PT. Stabat Industri, Medan, 5 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 257.
rokok Sigaret Putih Mesin modal Nasional dan seolah-olah para pelaku
industri di jenis Sigaret Putih Mesin seluruhnya Perusahaan Multinasional.
Sehingga Perusahaan Sigaret Putih Mesin Modal Nasional dengan
keterbatasan Modal dipaksa berhadapan langsung dengan Perusahaan Raksasa
Multinasional tanpa perlindungan wajar Pemerintah”.

“Ada perbedaaan perlakuan kemasan Rokok Putih dengan Rokok Kretek.


Untuk Rokok Putih diwajibkan 20 batang perbungkus, sedang untuk Rokok
Kretek diperbolehkan 10 batang, 12, 16 dan 20 batang perbungkus”.

“Sehingga ditengah daya beli sebagian besar konsumen melemah dan elastis
maka kebijaksanaan kemasan tersebut lebih berpihak dan menguntungkan
Rokok Kretek”.196

Aturan-aturan dan kebijakan terkait bidang ekonomi harus berdimensi

keadilan. Aturan dan kebijakan dibuat sedemikian rupa, agar tidak menutup mata

terhadap fakta adanya ketidakmerataan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

Aturan dan kebijakan harus memberikan jaminan adanya kesempatan dan perlakuan

yang sama bagi pihak-pihak yang memiliki kelemahan/kekurangan secara ekonomi

dan sosial. Dalam banyak hal, terkadang aturan menjadi diskriminatif positip untuk

melindungi mereka yang lemah.197

Telah dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu, bahwa Industri Hasil

Tembakau, khususnya berskala kecil saat ini menghadapi permasalahan yang sangat

kompleks dan rumit dalam upaya mempertahankan keberadaan usaha, yang meliputi

iklim usaha dan iklim persaingan yang tidak kondusif, modal, bahan baku,

pemasaran, tekanan rokok ilegal, kemampuan beli konsumen, peraturan-peraturan

larangan merokok di tempat-tempat tertentu, pengaruh Framework Convention on

Tobacco Control, infrastruktur, dan sebagainya. Justru pada saat yang bersamaan

196
Ibid.
197
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 269.
peraturan membebankan tarif cukai yang menurut mereka tidak adil dan tidak

proporsional.198

Kebijakan cukai yang tinggi dan tidak proporsional menimbulkan kesulitan

bagi Industri Hasil Tembakau skala kecil, karena pengaruh kemampuan beli

konsumen, elastisitas konsumen dan peredaran rokok ilegal yang secara umum lebih

murah dari yang mereka hasilkan. Aturan dan kebijakan semestinya merespon fakta

yang demikian, sehingga output kebijakan tidak menimbulkan rasa ketidakadilan bagi

sekelompok pelaku usaha (Industri Hasil Tembakau skala kecil). Dengan pola rasio

kenaikan cukai yang lebih besar bagi Harga Jual Eceran yang semakin rendah, maka

produk Industri Hasil Tembakau skala kecil akan menanggung rasio kenaikan cukai

yang lebih besar, mengingat secara umum Harga Jual Eceran produk mereka lebih

murah. Demikian pula perbedaan kenaikan antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret

Putih Mesin juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi Sigaret Putih Mesin karena

kenaikan cukai pada jenis Industri Hasil Tembakau ini lebih tinggi dibandingkan

dengan Sigaret Kretek Mesin. Hal yang demikian menyebabkan aturan atau kebijakan

menimbulkan suasana yang tidak stabil, dan penolakan.199

Dari sisi penerimaan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menginginkan Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dibagikan secara lebih banyak kepada

daerah penghasil. Pembagian tersebut agar dapat digunakan seperti yang diamanatkan

oleh peraturan menteri keuangan tentang pengalokasian dana bagi hasil cukai hasil

198
Ibid.
199
Ibid., hal. 269-270.
tembakau. Ketentuan pembagian yang 2% oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 2007

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai tidak

berdasar. Pembagian tersebut dinilai tidak adil karena pemerintah pusat mendapatkan

porsi yang lebih besar.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka format kebijakan cukai

semestinya tidak menyimpang dari prinsip proporsionalitas dan rasa keadilan dengan

mempertimbangkan fakta-fakta konkrit berupa kemampuan daya beli konsumen dan

kemampuan Industri Hasil Tembakau (khususnya skala kecil) terhadap beban yang

ditetapkan.200

200
Ibid., hal. 270.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan wawancara dengan pihak terkait mengenai

Analisis Hukum Kebijakan Tarif Cukai Terhadap Industri Hasil Tembakau di

Sumatera Utara, didapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia mengarah pada dua hal

pokok, yaitu : tarif cukai hasil tembakau yang cenderung terus meningkat

(naik); dan kebijakan tarif tunggal (single tariff policy) yang menyamaratakan

tingkat tarif antara seluruh golongan industri hasil tembakau. Kebijakan yang

demikian mendorong peningkatan pendapatan negara dari cukai hasil

tembakau dan menjadikan sistem tarif menjadi lebih sederhana, akan tetapi

kurang mempertimbangkan daya dukung industri hasil tembakau yang masuk

ke dalam golongan industri menengah dan industri kecil. Hal ini dikarenakan

tingkat tarif cukai yang terus meningkat menyebabkan beban biaya bagi

industri hasil tembakau. Beban ini lebih dirasakan oleh industri hasil

tembakau yang masuk dalam golongan industri menengah dan kecil

dibandingkan dengan industri hasil tembakau berskala besar. Umumnya beban

tarif cukai hasil tembakau oleh industri hasil tembakau akan dialihkan

menjadi beban konsumen melalui harga jual eceran rokok. Industri hasil
tembakau golongan besar pada umumnya memproduksi rokok bermerek

dengan karakter konsumen yang tidak dipengaruhi oleh harga jual rokok

sehingga beban tarif cukai yang tinggi dapat dialihkan kepada konsumen

dengan menaikkan harga jual. Kondisi berbeda dengan industri hasil

tembakau berskala menengah dan kecil yang umumnya memiliki konsumen

yang sangat dipengaruhi oleh harga jual rokok. Beban tarif cukai yang tinggi

apabila dialihkan kepada konsumen, maka akan terjadi penurunan penjualan

akibat konsumen industri hasil tembakau berskala menengah dan kecil

tersebut mengalihkan konsumsinya pada rokok yang harganya sesuai dengan

kemampuan keuangannya. Pada konteks ini indistri hasil tembakau berskala

menengah dan kecil tersebut berpotensi kehilangan konsumen.

Dengan demikian, kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang lebih

dipengaruhi oleh upaya meningkatkan pendapatan negara dan penyederhanaan

sistem ke arah single tariff tersebut menyebabkan dampak yang diskriminatif

dan menimbulkan beban biaya (transaction cost) bagi industri hasil tembakau

skala menengah dan skala kecil.

2. Kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang cenderung terus menerus

meningkat (naik) dan mengarah pada kebijakan tarif tunggal (single tariff

policy) berpengaruh terhadap industri hasil tembakau di Sumatera Utara.

Pengaruh tersebut terutama dikarenakan industri hasil tembakau yang ada di

Sumatera Utara selama ini telah menghadapi masalah-masalah yang

menghambat perkembangan usaha mereka, antara lain : peredaran cukai rokok

palsu; peredaran rokok palsu; dan kebijakan yang kurang mendukung.


Masalah ini belum seluruhnya terselesaikan, justru industri-industri tersebut

harus dihadapkan pada beban kenaikan cukai hasil tembakau yang tinggi dan

sangat berpengaruh terhadap kemampuan produksi dan penjualan dari

industri-industri tersebut. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari : menurunnya

jumlah perusahaan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara; dan

tidak jelasnya pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

CHT) yang sudah ditransfer oleh pemerintah pusat.

3. Ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek keadilan bagi

Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil

Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif kurang berpihak kepada daerah

penghasil tembakau. Kurang keberpihakan tersebut ditinjau dari Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dapat dilihat dari persentasi yang

diterima oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan persentase yang

diterima oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menerima 2% dari

keseluruhan penerimaan negara melalui cukai, persentasi itu juga masih

dibagi-bagi lagi dengan daerah lain yang bukan penghasil tembakau. Dari

provinsi Sumatera Utara dengan alokasi penerimaan 2%, pemerintah daerah

menerima dampak negatif dari industri hasil tembakau seperti : limbah yang

dihasilkan industri hasil tembakau; penggunaan tanah/lahan pertanian yang

mengurangi kesuburan tanah; dan dampak negatif dari rokok itu sendiri; serta

jika terjadi gejolak dalam industri rokok misalnya : demonstrasi buruh maka

pemerintah daerahlah yang menghadapinya. Apalagi dengan

disalahgunakannya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang
tidak teralokasikan dengan baik dan benar. Untuk penyaluran Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut sebaiknya diawasi dan

dikendalikan agar dapat menjamin penggunaan dana serta pelaksanaan

program kegiatan yang efektif dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah

ditetapkan.

B. Saran

Berdasarkan analisis dan kesimpulan, selanjutnya akan disarankan hal-hal

sebagai berikut :

1. Dalam hal kebijakan single tariff yang diterapkan pemerintah sebaiknya perlu

ditinjau kembali penerapan kebijakan single tariff dan kebijakan yang hanya

berdasarkan pada pendapatan negara. Dengan mengimbangi antara tujuan

meningkatkan pendapatan negara dengan kepentingan masyarakat, pemerintah

daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri.

2. Untuk mengurangi dampak kenaikan tarif yang tinggi bagi industri hasil

tembakau di Sumatera Utara disarankan agar pemerintah daerah melakukan

upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki iklim usaha, antara lain : dengan

mengurangi transaction cost yang ditimbulkan oleh peraturan daerah dan

memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara.

3. Mengenai kebijakan single tariff bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera

Utara yang kurang berpihak kepada Industri Hasil Tembakau atau Industri

Rokok sebaiknya melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi


Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang diterima oleh daerah yang

mempertimbangkan dampak yang diterima oleh daerah. Oleh karena itu,

diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang lebih adil bagi daerah Sumatera

Utara.

Demikianlah saran yang diajukan agar kiranya dapat menjadi pertimbangan di

kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Press, 2010.

Arinanto, Satya., “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, Jakarta : Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Aulia, Emil W., Berjuta-juta Dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan


Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009.

Crofton, John., dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan


oleh Angela N. Abidin, et.al., Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009.

Devi, T. Keizerina., Peonale Sanctie : Studi tentang Globalisasi Ekonomi dan


Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan : Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004.

Diah, Marwah M., Restrukturisasi BUMN di Indonesia : Privatisasi atau


Korporatisasi, Jakarta : Literata, 2003.

Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,


diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong,
Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007.

Magee, Bryan., The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia,
diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, Yogjakarta : Kanisius,
2008.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.

Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional


Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Vol. 3, 1992.

Rachmat, Muchjidin., dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.

Rajagukguk, Erman., ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,


Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”,
Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003.

Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020, Departemen Perindustrian Republik


Indonesia : Dirjend Bea dan Cukai, 2009.

Sirait, Ningrum Natasya., et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri
Hasil Tembakau di Sumatera Utara, Medan : Universitas Sumatera Utara,
2009.

Sirait, Ningrum Natasya., Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5


Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004.
Siregar, Mahmul., “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”,
Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.

-------- ., “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, Medan: Sekolah Pasca Sarjana


Universitas Sumatera Utara, 2009.

-------- ., “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Sistem Hukum”, Medan : Sekolah


Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta :


Pradnya Paramita, 1979.
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.

Tjahyono, Herry., The XO Way : 3 Giants 6 Liliputs, Jakarta : Grasindo, 2007.

WHO Indonesia, “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)”,


Switzerland : World Health Organization Document Production Services,
2003.

ARTIKEL DAN MAJALAH

Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009,
http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-
negara-rp1-5-triliun., diakses pada 30 Agustus 2010.

Aprianto, Anton., “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah


Tempo, 31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com
/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei
2010.

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok


Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-
view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.

Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian,


http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=
category&id=56&Itemid=60., diakses pada 30 Agustus 2010.

“Daftar Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa”, http://id.wikipedia.org/wiki/


Daftar_anggota Perserikatan_Bangsa-Bangsa., diakses pada 31 Mei 2010.

Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,


http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-
antropologi.html., diakses pada 13 Agustus 2010.
Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan
Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009,
(Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).

Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,


http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus
2010.

Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin &


Tar Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=
view&id=303&Itemid=62., diakses pada 30 Agustus 2010.

Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel


Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang
diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis :
Butir-Butir”, www.unissula.ac.id/perpustakaan/.../Munandir%20 (kode%
20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.

Gatra, “Tembakau Deli Manikam nan Nyaris Pudar”, Tanggal 22 Agustus 2007.

“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta
Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id
/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-
tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26
Mei 2010.

Gibbons, Zeynita., ”Bursa Tembakau Bremen, Apa Perlu Dipertahankan”,


http://www.antara.co.id/berita/1246836766/bursa-tembakau-bremen-apa-
perlu-dipertahankan., diakses pada 13 November 2009.

“Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,


http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i
d=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-
indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.
Hasibuan, Hisar., “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian
Medan Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008,
http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211., diakses pada
31 Agustus 2010.

Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup


Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD,
Rabu 26 Mei 2010.

Junaidy. Ronny K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.

“Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com


/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.

”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,


www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.

”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www.


antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-
cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.

“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Jakarta : Suara Pembaruan, tanggal 17


Maret 2010.

“Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net


/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-
fctc., diakses pada 15 Juni 2010.

“Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”,


http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses
pada 01 September 2010.
Rahmadi, Anton., ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri
Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com content& task=
view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.

Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”,


http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010.

Riyanto, S., “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-


today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus
2010.

Sigit, Darmawan., “Sejarah Bea Cukai”, http://sipetualang.com/?p=8., diakses pada


07 September 2010.

Simanjuntak, Eva., “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global,


http://www.harian-
global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri
-rokok-sumut-terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31
Agustus 2010.

“Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-


hargarokok.com/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/Ekonomic
TobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 10 April 2010.

Susanto, Heri., “Dari Kudus Jadi Bos Superblok Grand Indonesia”,


http://bisnis.vivanews.com/news/read/136634-dari_kudus_jadi_bos_
superblok_grand_indonesia., diakses pada 10 April 2010.

“Tanah Apanage di Jawa”, http://fms.ormawa.uns.ac.id/2008/10/20/tanah-apanage-di-


jawa/., diakses pada 11 November 2009.

“Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”,


http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-
terancam-jadi-pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.
Wijaya, Agoeng., “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04
November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis
/2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

Wikipedia, ”Kretek”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek., diakses pada 13 November


2009.

Wikipedia, “Sejarah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek#Sejarah., diakses pada 13


November 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar


dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua Atas


Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga
Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas


Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga
Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi


Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 dan Lampiran tentang Alokasi


Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009.

Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil


Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau,
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 437.

Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan


Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 343.

Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana


Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 142.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1951 tentang Perubahan Tabaks-Accijns-


Verordening (Staatsblad 1932 No. 560), Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1951.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di


Bidang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3629.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Baranag Kena
Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 40, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3630.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di


Bidang Kepabeanan dan Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3651.

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4917.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen.

Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau,


Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 21.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 3274.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik


Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran


Negara Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3478.

Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan


Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4866.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11


Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
No. 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4755.

You might also like