Professional Documents
Culture Documents
TESIS
OLEH
AGUNG YURIANDI
087005039/HK
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)
Anggota Anggota
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum)
ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI
HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **)
Runtung Sitepu **)
Mahmul Siregar **)
ABSTRAK
*
) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
oleh peraturan daerah dan memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara; dan
melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau yang diterima oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan
dampak yang diterima oleh lingkungan daerah Industri Hasil Tembakau itu berdiri,
juga diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran atau porsi yang baik
dalam menentukan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang lebih adil bagi
daerah Sumatera Utara.
Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **)
Runtung Sitepu **)
Mahmul Siregar **)
ABSTRACT
*
) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
**
) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
obtain quantity or a good portion in determining the Sharing Fund Tobacco Excise a
fairer results for the region of North Sumatra.
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur yang penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW
atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta
Penulisan tesis ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar
penulisan tesis ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan
Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan tesis ini,
penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program
Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister
5. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., sebagai Dosen
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III
yang telah memberikan dukungan moral dan sistem pengajaran yang sangat
baik sehingga penulis mengerti apa maksud dan tujuan dari menulis.
7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah
8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I
10. Bapak Ir. Yusuf Husni, sebagai Pembantu Rektor V yang telah banyak
kepada penulis.
11. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., sebagai Dosen pada saat penulis menjalani
12. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara, Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Buk Ganti, Buk Niar, Bang
Udin, Bang Hendra, Bang Herman, yang telah memberikan informasi dan
13. Juga saya ucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua
penulis yang telah sabar dan mencurahkan segenap kasih sayangnya dan
pendidikan tinggi ini, kepada orang tua Ayahanda Yuri Subandi dan Ibunda
Dewi Lastina, BA., dengan doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
14. Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
untuk adik penulis, Wenny Subandi, SE., yang telah memberikan dukungan,
15. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kelvina Sefialora, SH., yang telah
16. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku Radian Alfin, SH.,
Hanafi Matondang, Dyah Ayunda Utami Putri, S.Kom., Subandi, Amd., Eko
Neilamzulsyah, Amd., Dolly Tirta, Amd., Riadi, Syaiful Bahri, Asnan, Melfa,
yang sangat membantu selama penyelesaian tesis, yang selama ini bersama-
sama dalam suka maupun duka dan teman-teman tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu-persatu.
Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak
Indonesia.
Penulis
Agung Yuriandi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Agama : Islam
Pendidikan :
Halaman
Lembar Persetujuan ii
Abstrak iii
Daftar Tabel xv
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 19
C. Tujuan Penelitian 19
D. Manfaat Penelitian 20
E. Keaslian Penelitian 20
G. Metode Penelitian 28
4. Analisis Data 34
BAB II : KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA 37
1. Departemen Keuangan 51
3. Departemen Pertanian 62
1. Industri Rokok 71
Utara
2. Masyarakat 78
3. Pendapatan Negara 82
C. Pengaruh Eksternal 93
A. Kesimpulan 134
B. Saran 137
Halaman
Tabel 5 Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009 61
Tabel 8 Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2008 – 2009 119
DAFTAR GAMBAR
Halaman
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,
nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan
pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani
(barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula
1
Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2.
2
Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara
menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan
tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang
masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum
Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.
Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan,
agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah,
termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus
berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima
tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada
tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 4 Pengutipan cukai tembakau
tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-
undangan.
di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri
Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu
besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak
jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6
3
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written
in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited
Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.
4
Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis
Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas
Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
5
Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”,
http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada
26 Mei 2010.
6
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 2.
Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia.
Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik
Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau
peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai
berikut :
Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan
industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp.
46,195 triliun”.8
7
”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com
/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei
2010.
8
LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku
Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember :
LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.
Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.
13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9
Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah
penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai
hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan
penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan
gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil
Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan
Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil
tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit
perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor
tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor
tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan
9
Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83.
10
Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,
31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-
153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
11
Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04
November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424,
id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
12
“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19
November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view=
article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses
pada 26 Mei 2010.
rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004
– tahun 2008.13
penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung
maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang,
petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang,
pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan,
Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli
Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk
Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan
bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk
ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
13
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68.
14
“Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,
diakses pada 13 Juni 2010.
Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39
Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau
Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan
dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa
Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun
harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap
perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang
tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri
Hasil Tembakau.17
Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya
dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah
untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan.
Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang
15
Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,
(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat
dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”,
http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-
tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.
16
Loc.cit., hal. 86.
17
Ibid., hal. 86-87.
mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam
ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi
ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau
iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok
illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.
Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak
menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa
dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa
peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti
tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006,
164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai
18
Ibid., hal. 87.
perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun
2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19
Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah
melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun
pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada
tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp.
3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008
mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak
yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan
dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah
baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20
maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari
Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang
lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang
dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut
19
“Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-
10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni
2010.
20
Loc.cit., hal. 37-38.
mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270
bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali
menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil
lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan
rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770
bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun
2009.21
sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian
Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti
Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health
Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di
diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention
21
“Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com
/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.
22
“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal
17 Maret 2010).
on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut
sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu
negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi
tersebut.23
antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan,
pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan
penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi
Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya
tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga
bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang
23
“Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net
/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni
2010.
24
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 97.
keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil
Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-
pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada
harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat
Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan
yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang
dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan
Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok
yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.
setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan
25
“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Op.cit.
terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan
harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan
dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan
menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan
mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam
negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh
”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang
nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil
tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai
tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada
tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan
tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran.
Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga
jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat
tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung
melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara
keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup
bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk
mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau.
Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam
rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret
Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah
Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar
26
Loc.cit., hal. 162.
Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar
Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II
sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27
kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan
tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil
Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret
Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat
Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang
27
Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan
Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik
Indonesia, tanggal 18 November 2009).
28
Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan
menyatakan bahwa :
“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek
Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan
pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap
melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan
menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin.
Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat
dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29
dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai
rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat
bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli
ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.
Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan
menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil
29
Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak
Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05
Juni 2010.
Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual
seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain.
Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil
Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih
kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT.
British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai
bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30
ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding
perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran
adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.
Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita
baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan
Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri
2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek.
Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan
menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,
30
Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.
Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco
Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.
seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai
lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran
maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang
Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa
perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company
dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau
dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup
Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau
kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan
meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi
setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau
31
“Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya
Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100.
32
”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,
www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.
penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff
yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat
naik.
berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar
Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan
Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan
33
Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar
dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri
justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala
menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34
Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat
dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi
Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada
Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri
sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik
dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau,
dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada
34
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53.
35
Ibid., hal. 100.
B. Rumusan Masalah
Sumatera Utara?
keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi
C. Tujuan Penelitian
Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara
lain :
di Sumatera Utara.
dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil
Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait,
et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian
yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi.
Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai
tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan
masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya
ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi,
36
Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al.,
Op.cit., hal. 106-107.
Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan
memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh
budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan
tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan
para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan
efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian
hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial,
dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat
berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya
dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai
kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya.
kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan
negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk
hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih
Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang
menyatakan bahwa :
”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi
di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum
berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun
dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-
ketentuan dalam hukum perbankan”.38
berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang
melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,
contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum
berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun
37
Ibid., hal. 108.
38
Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan
meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan
legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39
penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi
ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi.
tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil
Tembakau.
fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan
Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri
Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja
yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten
dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara
39
Ibid.
seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek
bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil
dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang
Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil
Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing,
dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan
monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena
40
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109.
41
Ibid., hal. 110.
pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat,
memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan
masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat
luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan
Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan
bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak.
Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi,
untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di
Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah
pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.
yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi
42
Ibid.
43
Ibid., hal. 111.
1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau
pengolahan tembakau.44
3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil
tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak
4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.
5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
44
Ibid.
45
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, Op.cit.
7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti
Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain
sebagainya.
pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang
Tembakau.
11. Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan
G. Metode Penelitian
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
46
Loc.cit., hal. 112.
47
Ibid.
48
Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
49
Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2.
50
Ibid.
51
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara.
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.53
dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi terhadap kebijakan tarif
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan
No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan diubah kembali dengan Undang-
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
53
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet.
III, 2007).
Tidak Sehat, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; juga
Tembakau.
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
kepustakaan 54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dipandang relevan, antara lain instansi terkait dan pelaku usaha Industri Hasil
Utara.
rokok dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara di Medan, dengan
yang terlibat langsung dalam penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) yaitu Dinas Pendapatan Daerah pada tingkat Pemerintah Provinsi
54
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti
lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
55
Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.
Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
4. Analisis Data
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka
ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis
proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi hubungan antara kebijakan tarif cukai hasil tembakau,
penerimaan negara, peran ekonomi Industri Hasil Tembakau dalam hal Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil
56
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153.
57
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Op.cit., hal. 144-145.
58
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada
13 Agustus 2010.
Menengah, dampak negatif hasil tembakau, dan lain-lain yang ditemukan dalam
penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.59
seluruh bagian dari Industri Hasil Tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam kebijakan tarif cukai hasil tembakau terhadap industri hasil tembakau di
Sumatera Utara. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan
melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama
sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka
59
Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2),
hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses
pada 13 Agustus 2010.
60
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.
deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang
digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan
tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2) apakah teori
karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah
berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; 3) apakah
membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka
semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan
fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau
direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan
61
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.
BAB II
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negari. Dunia politik
Menurut C.F. Strong, politik hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang
1. ”Partai Politik, yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus;
2. Golongan kepentingan, yaitu sekelompok manusia yang bersatu atau
mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu
baik merupakan kepentingan umum atau masyarakat umum;
3. Golongan penekan, yaitu sekelompok manusia yang bergabung menjadi satu
anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak ke luar
sebagai golongan yang sering mempunyai keinginan untuk memaksakan
kepada pihak penguasa;
4. Alat komunikasi politik, yaitu media komunikasi, komunikasi kontak
langsung, dan jaringan-jaringan infrastruktur; dan
5. Tokoh politik, yaitu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik itu sendiri,
lebih kepada yang terlibat pada suatu negara dalam hal
penyelenggaraannya”.62
62
C.F. Strong dalam Satya Arinanto, “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, (Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 1.
Menurut Mahfud M.D., politik hukum adalah legal policy yang akan atau
Dari kedua pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan. Politik dan hukum sangat berhubungan karena
bersaing.64
Dalam hal pengaturan cukai hasil tembakau juga dipengaruhi oleh penguasa.
pengaturan cukai tembakau dipengaruhi oleh Belanda pada masa itu demi keuntungan
mereka semata. Seluruh keuntungan (masa sekarang disebut Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT)) dari penjualan tembakau dibawa ke negeri Belanda
63
Mahfud M.D. dalam Ibid.
64
Ibid., hal. 4-16.
untuk membangun negara tersebut. Perubahan terjadi setelah kemerdekaan tercapai,
kemajemukan hukum di Indonesia pada sebelum abad VII – 2008 pada gambar di
bawah ini :
Gambar 1
Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008
Terjadi revolusi
Eropa dan - Dalam periode sekitar 130 tahun (1819 – 1949), pemerintah Belanda memberlakukan ± 7.000 peraturan di
Belanda wilayah Hindia Belanda;
memberlakukan - Menurut penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada sekitar tahun 1992 masih tersisa
Grundwet baru sekitar 400 peraturan kolonial yang masih berlaku; dan
- Pada saat ini jumlah tersebut semakin berkurang.
HK. ADAT
ASLI + HK.. Masa Reformasi –
HINDU + Pasca Reformasi
HK. ISLAM (1998 - ...)
Abad VII Abad XVII 1840 1854 1870 1900 1945 1990 2008
Sumber : Satya Arinanto, ”Modul Perkuliahan Politik Hukum : Kemajemukan Hukum di Indonesia”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
2008)
Berdasarkan pembagian masa-masa kemajemukan hukum di atas maka dapat
kemerdekaan; 3) orde baru & reformasi; dan 4) Masa Pasca Reformasi. Adapun
Tabel 1
Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau
Cukai tembakau pada masa ini diatur dengan yang disebut Staatsblad No. 517
Tahun 1932, Staatsblad No. 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad No. 234
importir (dalam hal bea masuk). Juga mengenai besaran jumlah yang diterima
No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Penetapan dalam peraturan
ini mengatur tentang Harga Jual Eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan,
Penetapan cukai dengan persentase yang ditetapkan dihitung dari Harga Jual
Eceran setiap bungkus rokok. Misalnya satu bungkus rokok dijual dengan harga Rp.
5.000,- maka cukai tembakau tersebut adalah 50% dari Harga Jual Eceran yaitu Rp.
1951 yang ditetapkan pada 20 Januari 1951. Peraturan ini mengatur tentang warna-
65
Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau,
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
21.
warna pita yang ditempelkan pada setiap bungkus rokok tersebut. Hal ini diatur dalam
(3) ”Pita-pita itu, yang diperuntukkan guna memenuhi cukai dari barang-barang
tembakau yang bersama-sama disebut sebagai berikut, dikeluarkan dengan
jenis-jenis sebagai berikut :
dengan warna hijau :
seri A : serutu, yang dipitai satu demi satu;
seri B : rokok-rokok daun dan tembakau senggruk, begitu pula serutu-serutu
dalam bungkusan eceran berisi kurang dari 50 batang;
seri D : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
seri E : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
dengan warna hitam :
seri B : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri C : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri E : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
dengan warna blau :
seri B : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;
seri C : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;
seri E : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;”
penetapan cukai dan warna-warna pita cukai untuk produk tembakau, yaitu warna
hijau, hitam, dan blau (sekarang biru). Penentuan warna ini digunakan untuk
penggolongan hasil tembakau yang diproduksi, yaitu : cerutu, rokok yang dibuat
yang tidak tersusun secara rapi mengenai rokok. Dalam hal ini pemerintah
memberikan tunjangan kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa penurunan cukai
tembakau pada jumlah tertentu dan cukai yang tidak dikutip dari pengusaha-
bahwa : ”a. sigaret-kretek, kelembakmenyan 40% dari 5 (lima) sen sebatang; dan b.
Penetapan tersebut diatas tidak lagi berdasarkan Harga Jual Eceran melainkan
dikenakan atas jumlah batang rokok pada setiap bungkusnya. Jadi, yang tadinya
dihitung berdasarkan Harga Jual Eceran, pada peraturan ini dikurangin dengan
Pengawasan dan pemungutan dengan jalan pita cukai tidak dapat diterapkan
dengan baik karena sumber daya manusia yang tidak memadai untuk melakukan hal
tersebut. Jadi, cara yang ditempuh oleh peraturan ini adalah menetapkan isi per
bungkus rokok tersebut bahwa bungkusan harus berisi 2, 5, atau 10 batang saja
dengan cara melekatkan pita cukai dengan harga eceran masing-masing dari 10, 25
penjualan rokok tersebut dengan cara menghitung jumlah cukai yang ditetapkan dan
66
Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi
Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 38, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1043.
67
Memori Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan
Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Ibid.
harga penjualan rokok dapat diubah sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga
Tahun 1995 tentang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang
1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan Peraturan Pemerintah No. 55
Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
(1) “Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif
setinggi-tingginya :
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar
yang digunakan adalah Harga Jual Pabrik; atau
b. lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang
digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(2) Barang Kena Cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-
tingginya :
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah
dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan
Barang Kena Cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis Barang Kena Cukai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri”.69
68
Ibid.
69
Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan
Harga Jual Eceran (HJE). Namun, dapat juga ditetapkan per batangnya apabila diatur
dikenakan berdasarkan Harga Jual Eceran dan per batang rokok, maka hasil yang
4. Pasca Reformasi
Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada
saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang
mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan
bahwa :
(1) “Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif
paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2) Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah harga jual eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah harga jual eceran.
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah
dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan
barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan
Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan
memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri,
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-
Republik Indonesia) untuk mendapat persetujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan menteri”. 70
kesejahteraan bangsa. Hal tersebut adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan
Untuk penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau ditetapkan
hasil tembakau, nilai tarif cukai dan batasan harga jual eceran hasil tembakau buatan
dalam negeri dan luar negeri, batasan harga jual eceran dan tarif cukai hasil tembakau
yang diimpor maupun tidak. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Menteri
70
Pasal 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 105, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4755.
Keuangan No. 118/PMK.04/2006 pada tahun 2006, diubah kembali pada tahun 2007
Pada tahun 2008 dikeluarkan peraturan baru yang mengatur tentang tarif cukai
diubah kembali pada tahun 2009 dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
harga yang terjadi. Hal-hal yang diubah adalah mengenai tarif dasarnya. Mengenai
pengaturan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) diatur dengan
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tata urutan pelaksanaan
pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ke daerah diatur
selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang
sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang
realita itu.71
berlaku berkaitan dengan cukai hasil tembakau. Adapun yang berkaitan dengan
paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau, antara lain : 1) Departemen
Pertanian.
Ditekankan lagi disini bahwa paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil
tembakau adalah pandangan hukum setiap departemen yang ada bagi kebijakan tarif
cukai hasil tembakau di Indonesia. Pada departemen keuangan, sudah pasti berbicara
penjualan daun tembakau yang digunakan untuk pembungkusan cerutu di dunia. Pada
berkaitan dengan industri rokok itu sendiri. Pada departemen kesehatan, berbicara
mengenai dampak rokok bagi kesehatan. Pandangan departemen tenaga kerja dan
71
Pengertian paradigma menurut Thomas Kuhn, The Structure of scientific Revolution, 2nd
Ed., (Chicago & London : University of Chicago Press, 1970), dalam Herry Tjahyono, The XO Way : 3
Giants 6 Liliputs, (Jakarta : Grasindo, 2007), hal. 61-67.
transmigrasi adalah berkaitan dengan industri rokok yang dapat menampung banyak
tenaga kerja yang ada. Pandangan sosial adalah mengenai dampak dari industri rokok
menampung banyak tenaga kerja yang sudah pasti akan mengurangi pengangguran di
1. Departemen Keuangan
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Departemen
Keuangan.
Direktorat Bea dan Cukai adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kuangan
Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut dan menyatakan tidak belaku
lagi Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai hasil tembakau sebelum-
Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, dan Tarif Cukai dan Harga
Cukai Hasil Tembakau di atas dapat dilihat pada tabel yang tertera sebagai lampiran
Tabel 2
Golongan Pengusaha Hasil Tembakau
tersebut telah menaikkan tarif cukai tembakau hasil seluruh jenis dan golongan,
kecuali TIS (Tembakau Iris), KLB (Rokok Daun atau Klobot), CRT (cerutu) dan
cukai.
3 dibawah ini :
Tabel 3
Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan
181/PMK.011/2009
[dalam Rupiah]
Golongan Pengusaha
Pabrik Hasil Nilai Cukai
No. Tembakau Batasan Harga Jual Eceran
Urut Per Batang atau Gram
Jenis Golongan Peraturan Peraturan Kenaikan
Menteri Menteri
Keuangan Keuangan
203/2008 181/2009
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
(6.89%)
I Lebih dari Rp 630 sampai 280 300 20
dengan Rp 660 (7.14%)
Paling rendah Rp 600 sampai 260 280 20
1. Sigaret dengan Rp 630 (7.69%)
Kretek Lebih dari Rp 430 210 230 20
Mesin (9.52%)
II Lebih dari Rp 380 sampai 175 195 20
dengan Rp 430 (11.42%)
Paling rendah Rp 374 sampai 135 155 20
dengan Rp 380 (14.81%)
Lebih dari Rp 600 290 310 20
(6.89%)
Lebih dari Rp 450 sampai 230 275 45
I dengan Rp 600 (19.56%)
Paling rendah Rp 375 sampai 185 225 40
2. Sigaret dengan Rp 450 (21.62%)
Putih Mesin Lebih dari Rp 300 170 200 30
II (17.64%)
Lebih dari Rp 254 sampai 135 165 30
dengan Rp 300 (22.22%)
Paling rendah Rp 217 sampai 80 105 25
dengan Rp 254 (31.25%)
Lebih dari Rp 590 200 215 15
(7.50%)
I Lebih dari Rp 550 sampai 150 165 15
dengan Rp 590 (10 %)
Paling rendah Rp 520 sampai 130 145 15
3. Sigaret dengan Rp 550 (11.53%)
Kretek Lebih dari Rp 379 90 105 15
Tangan (16.67%)
atau SPT II Lebih dari Rp 349 sampai 80 95 15
dengan Rp 379 (18.75%)
Paling rendah Rp 336 sampai 75 90 15
dengan Rp 349 (20%)
III Paling rendah Rp 234 40 65 25
(62.5%)
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
I (6.89%)
Lebih dari Rp 630 sampai 280 300 20
dengan Rp 660 (7.14%)
Paling rendah Rp 600 sampai 260 280 20
Sigaret dengan Rp 630 (7.69%)
4. Kretek Lebih dari Rp 430 210 230 20
Tangan (9.52%)
Filter atau II Lebih dari Rp 380 sampai 175 195 20
Sigaret dengan Rp 430 (11.42%)
Putih Paling rendah Rp 374 sampai 135 155 20
Tangan dengan Rp 380 (14.81%)
Filter
Lebih dari Rp 250 21 21 0
Tanpa (0.00%)
5. Tembakau Golongan Lebih dari 149 sampai 19 19 0
Iris dengan Rp 259 (0.00%)
Paling rendah Rp 40 sampai 5 5 0
dengan Rp 149 (0.00%)
Lebih dari Rp 250 25 25 0
6. Klobot Tanpa (0.00%)
Golongan Paling rendah Rp 180 sampai 18 18 0
dengan Rp 250 (0.00%)
7. KLM Tanpa Paling rendah Rp 180 17 17 0
Golongan (0.00%)
Lebih dari Rp 100.000 100.000 100.000 0
(0.00%)
Lebih dari Rp 50.000 sampai 20.000 20.000 0
Tanpa dengan Rp 100.000 (0.00%)
8. Cerutu Golongan Lebih dari Rp 20.000 sampai 10.000 10.000 0
dengan Rp 50.000 (0.00%)
Lebih dari Rp 5.000 sampai 1.200 1.200 0
dengan Rp 20.000 (0.00%)
Paling rendah Rp 275 sampai 250 250 0
dengan Rp 5.000 (0.00%)
9. Hasil Tanpa Paling rendah Rp 275 100 100 0
Pengelolaan Golongan (0.00%)
Tembakau
Lainnya
Sumber : Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau; Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; dan Tabel 6, Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai
Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, Ningrum Natasya Sirait, et.al.,
Analisis Hukum Kebijakan Tarif Terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara,
(Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
1. Seluruh tarif cukai pada industri yang menghasilkan sigaret (rokok), baik yang
2. Hasil tembakau berupa Tembakau Iris, Klobot, KLM, Cerutu dan Hasil
3. Kenaikan tarif cukai terbesar adalah pada jenis industri sigaret putih mesin
golongan I dengan batasan harga jual eceran paling rendah Rp. 450,-/batang
sampai dengan Rp. 600,-/batang, dengan besaran kenaikan tarif Rp. 45,-
/batang.
72
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Loc.cit., hal. 216-217.
4. Persentase kenaikan cukai terbesar adalah pada industri jenis Sigaret Kretek
Tangan dan SPT Golongan III dengan batasan harga jual eceran paling rendah
5. Tarif cukai pada industri sigaret kretek mesin untuk golongan I dan Golongan
II naik seluruhnya sama sebesar Rp. 20,- per batang. Persentase kenaikan
terendah ada pada Sigaret Kretek Mesin Golongan I dengan harga jual eceran
lebih dari Rp. 660,-/perbatang, yakni sebesar 6,89% dan tertinggi pada Sigaret
Kretek Mesin Golongan II dengan harga eceran terendah Rp. 374,- sampai
6. Tarif cukai pada industri sigaret putih mesin naik secara bervariasi. Jumlah
kenaikan tarif terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan
harga jual eceran lebih dari Rp. 450,- sampai dengan Rp. 600,-, dengan
kenaikan tarif cukai sebesar Rp. 45,- per batang. Sedangkan terendah pada
Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan harga juel eceran lebih dari Rp. 660,-
Golongan II dengan harga eceran paling rendah Rp. 217,- sampai dengan Rp.
Putih Mesin Golongan I dengan batasan harga jual eceran lebih dari Rp. 600,-
7. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tangan dan sigaret putih tangan
mengalami kenaikan yang sama yakni sebesar Rp. 15,-/batang, kecuali untuk
golongan III dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang naik sebesar
persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan atau SPT Golongan I dengan
8. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tanpa filter dan sigaret putih tanpa
filter mengalami kenaikan tarif yang sama untuk semua golongan, yakni
Kretek Tangan Filter dan Sigaret Putih Tangan Filter Golongan II dengan
harga eceran paling rendah Rp. 374,- sampai dengan Rp. 380,-/batang, yakni
sebesar 14.81% dan persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan Filter
atau Sigaret Putih Tangan Filter Golongan I dengan batasan harga jual eceran
Eceran untuk golongan yang sama antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret
Putih Mesin, misalnya untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan Harga
Jual Eceran lebih dari Rp 660,- besarnya cukai adalah Rp 310,- dengan %
Harga Jual Eceran lebih dari Rp 600,- besarnya cukai Rp 310,- dengan %
penerimaan negara. Apabila cukai dinaikkan, produksi rokok akan dikurangi tapi
mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri
Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai
dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas
juga mengatur penyederhanaan jumlah golongan pabrik, dari tiga golongan menjadi
dua golongan untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin
(SPM). Untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap terdiri dari tiga golongan.
pabrik menjadi dua jenis, yakni Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Kretek Tangan.
Untuk Sigaret Putih Mesin, akan dimasukkan dalam kategori Sigaret Kretek Mesin.73
Inilah yang disebut simplifikasi tarif atau sama dengan single tariff. Jadi, Industri
Hasil Tembakau kecil dipaksa untuk bersaing melawan raksasa Industri Hasil
Tembakau.
Berikutnya dapat dilihat penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau dari
73
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok
Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-
view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.
Tabel 4
Target dan Realisasi Penerimaan Cukai
Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005-2010
Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai
sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja
dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa
hasil tembakau berperan dalam hal merumuskan Roadmap Industri Hasil Tembakau
yang merupakan aplikasi dari prioritas atas aspek tenaga kerja, penerimaan dan
kesehatan, diantaranya dengan menghilangkan rokok ilegal dan pita cukai palsu.
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu berarti tidak ada penerimaan negara dari
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu yang merupakan hambatan dari
waktu, yaitu74 :
tembakau juga menjadi tidak sehat karena produk tembakau ilegal bisa menjual
dengan harga lebih murah dari yang legal. Bila hal ini terjadi maka jumlah produk
yang meningkat.75
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani
Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut
adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke
tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita
74
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, “Roadmap Industri Pengolahan Tembakau”,
(Jakarta : Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait,
et.al., Op.cit., hal. 203.
75
Ibid., hal. 204.
cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup
Tabel 5
Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009
menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat
pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh
Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia)
dalam hal cukai hasil tembakau tersebut dikarenakan ada tugas yang berbeda pula
pada setiap departemennya. Perbedaan persepsi yang ada ini tidak mungkin untuk
disatukan melihat perbedaan tanggung jawab dan wewenang dari setiap departemen.
3. Departemen Pertanian
Pada Departemen Pertanian dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau
adalah melalui perkembangan dari jumlah lahan yang digunakan dalam pertanian
76
Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009,
http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-negara-rp1-5-triliun., diakses
pada 30 Agustus 2010.
Pertanian mendukung sepenuhnya perkembangan lahan dan penelitian mengenai
salah satu industri prioritas. Industri rokok di Indonesia menggunakan 80% bahan
baku tembakau lokal. Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor yang sudah
terkenal sejak lama. Areal pertanaman tembakau setiap tahun mencapai 220.000 ha,
sekitar 60% di Jawa Timur, selebihnya tersebar di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya tembakau diusahakan oleh
petani berskala kecil, hanya sebagian yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik
Usaha tani dan industri tembakau dapat menghidupi 10 juta jiwa yang meliputi 4 juta
petani, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik-pabrik rokok, 4,5 juta orang yang terlibat
dalam perdagangan, dan 900.000 orang terlibat dalam transportasi dan periklanan.
77
Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian,
http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=category&id=56&Itemid
=60., diakses pada 30 Agustus 2010.
78
Ibid.
senyawa-senyawa yang mempengaruhi kesehatan perokok misalnya kandungan
Apabila dilihat dari sisi petani tembakau, tembakau sebagai tanaman industri
yang merupakan pilihan oleh petani dalam berusaha tani. Pilihan yang dipilih petani
tersebut didasarkan pada pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam Pasal 6 Ayat (1)
perlindungan hukum. Seperti diketahui bahwa berbagai jenis tanaman memiliki sifat
lokal dan spesifik, misalnya kelapa sawit kurang sesuai ditanam di Pulau Jawa.
Demikian juga dengan tembakau memiliki sifat dan lokalisasi dan spesifik. Artinya,
tanaman ini sangat sesuai apabila ditanam pada wilayah-wilayah tertentu, seperti
Sifat yang lokal dan spesifik tersebut sangat sesuai dengan pola tanam yang telah
79
Ibid.
80
Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar
Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=6
2., diakses pada 30 Agustus 2010.
81
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.
dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau. Oleh
karena itu, sangat naif sekali apabila petani diminta untuk mengurangi atau
perusahaan rokok akan mengalami kesulitan dalam bahan baku untuk membuat rokok.
Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun
Pengurangan devisa berasal dari masuknya barang impor ke dalam negeri. Berbagai
adalah dengan mengembangkan penelitian terhadap tembakau rendah nikotin dan tar
C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari Dana Bagi
Setelah dana cukai hasil tembakau dikutip selanjutnya akan dikumpulkan oleh
pemerintah untuk dikembalikan kembali kepada masyarakat, disebut Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)).
Semua peraturan yang diterapkan dalam pembagian ini ditetapkan oleh Peraturan
Menteri Keuangan. Dimulai dari cukai hasil tembakau dan dasar pembagian kepada
daerah. Sedangkan untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
82
Direktorat Jenderal Perkebunan, Loc.cit.
CHT) hanya diketahui oleh daerah masing-masing karena penggunaannya
Pada tahun 2009 anggaran yang ditetapkan pemerintah dalam alokasi dana
bagi hasil cukai hasil tembakau adalah sebesar Rp. 964 miliar lebih, untuk lebih
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran
2009.
Tabel 6
Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Tahun Anggaran 2009
83
Block Grant adalah sejumlah dana berupa uang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dengan memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk menggunakan uang
tersebut. Dalam kajian ini block grant dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan
0,5% dari jumlah yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat harus digunakan untuk sektor pendidikan.
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Medan, 25 Agustus 2010 di Kantor Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
24. Kab. Serdang Bedagai 41.155.200 1. Kab. Bantul 1.689.572.000
25. Kab. Samosir 41.155.200 2. Kab. Gunung Kidul 844.786.000
26. Kab. Batu Bara 41.155.200 3. Kab. Kulon Progo 1.267.179.000
27. Kab. Labuhan Batu Utara 41.155.200 4. Kab. Sleman 1.182.700.400
28. Kab. Labuhan Batu Selatan 41.155.200 5. Kota Yogjakarta 929.264.600
29. Kab. Padang Lawas Utara 41.155.200 Total Prov. D.I. YOGJA 8.447.860.000
30. Kab. Padang Lawas 41.155.200 V. Provinsi Jawa Timur 179.807.154.000
Total Prov. SUMUT 3.978.330.000 1. Kab. Bangkalan 4.827.991.000
II. Provinsi Jawa Barat 21.168.078.000 2. Kab. Banyuwangi 5.077.844.000
1. Kab. Bandung 827.398.867 3. Kab. Blitar 8.147.131.000
2. Kab. Bekasi 17.527.734.661 4. Kab. Bojonegoro 16.180.107.000
3. Kab. Bogor 814.156.846 5. Kab. Bondowoso 8.310.589.000
4. Kab. Ciamis 815.416.522 6. Kab. Gresik 4.931.230.000
5. Kab. Cianjur 815.900.699 7. Kab. Jember 8.881.538.000
6. Kab. Cirebon 1.762.779.429 8. Kab. Jombang 8.665.564.000
7. Kab. Garut 823.344.814 9. Kab. Kediri 40.439.736.000
8. Kab. Indramayu 814.156.846 10. Kab. Lamongan 7.471.848.000
9. Kab. Karawang 5.535.032.242 11. Kab. Lumajang 5.767.563.000
10. Kab. Kuningan 814.597.634 12. Kab. Madiun 5.868.054.000
11. Kab. Majalengka 815.260.916 13. Kab. Magetan 5.409.331.000
12. Kab. Purwakarta 814.156.846 14. Kab. Malang 26.309.449.000
13. Kab. Subang 814.156.846 15. Kab. Mojokerto 6.279.890.000
14. Kab. Sukabumi 814.156.846 16. Kab. Nganjuk 8.693.462.000
15. Kab. Sumedang 819.525.517 17. Kab. Ngawi 7.625.025.000
16. Kab. Tasikmalaya 819.095.531 18. Kab. Pacitan 5.491.580.000
17. Kota Bandung 814.717.067 19. Kab. Pamekasan 18.505.921.000
18. Kota Bekasi 814.156.846 20. Kab. Pasuruan 39.087.881.000
19. Kota Bogor 814.174.038 21. Kab. Ponorogo 5.828.686.000
20. Kota Cirebon 6.582.136.601 22. Kab. Probolinggo 10.549.339.000
21. Kota Depok 814.156.846 23. Kab. Sampang 6.288.888.000
22. Kota Sukabumi 814.156.846 24. Kab. Sidoarjo 9.579.298.000
23. Kota Cimahi 814.156.846 25. Kab. Situbondo 5.541.379.000
24. Kota Tasikmalaya 815.182.169 26. Kab. Sumenep 13.321.702.000
25. Kota Banjar 818.011.052 27. Kab. Trenggalek 5.548.492.000
26. Kab. Bandung Barat 814.462.627 28. Kab. Tuban 6.190.436.000
Total Prov. JABAR 70.560.260.000 29. Kab. Tulungagung 10.765.363.000
III. Provinsi Jawa Tengah 84.737.511.000 30. Kota Blitar 5.476.281.000
1. Kab. Banjarnegara 2.457.318.751 31. Kota Kediri 41.053.938.000
2. Kab. Banyumas 2.511.354.331 32. Kota Madiun 4.918.193.000
3. Kab. Batang 3.223.109.285 33. Kota Malang 17.628.730.000
4. Kab. Blora 3.467.162.799 34. Kota Mojokerto 5.468.411.000
5. Kab. Boyolali 3.425.770.857 35. Kota Pasuruan 5.605.436.000
6. Kab. Brebes 2.498.146.883 36. Kota Probolinggo 4.840.917.000
7. Kab. Cilacap 2.639.202.510 37. Kota Surabaya 13.877.089.000
8. Kab. Demak 6.026.330.489 35. Kota Batu 5.077.714.000
9. Kab. Grobogan 5.035.985.688 Total Prov. JATENG 599.357.180.000
10. Kab. Jepara 2.693.632.118
11. Kab. Karanganyar 5.662.862.425
12. Kab. Kebumen 2.576.797.667 TOTAL 964.802.000.000
13. Kab. Kendal 9.142.532.869
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tetang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pemerataan pembagian Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah tercapai (di mata pemerintah), jika
memandang dari perspektif petani tembakau ataupun Industri Hasil Tembakau maka
pembagian seperti itu adalah tidak adil bagi daerah penghasil tembakau. Keadaan
inilah yang membuat situasi dan kondisi Industri Hasil Tembakau di Indonesia saling
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut di atas
dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan dasar Peraturan Menteri Keuangan No.
84
Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 343,
Pasal 21 menyebutkan bahwa :
(1) Penyaluran DBH CHT dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut :
a. Triwulan I dilaksanakan bulan Maret sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi
sementara;
b. Triwulan II dilaksanakan bulan Juni sebesar 30% (tiga puluh persen) dari alokasi
sementara;
c. Triwulan III dilaksanakan bulan September sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
alokasi dana sementara; dan
d. Triwulan IV dilaksanakan bulan Desember sebesar selisih antara alokasi definitif
dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan
III.
(2) Penyaluran triwulan I dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
semester II tahun anggaran sebelumnya dari Gubernur;
(3) Penyaluran triwulan III dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
semester I tahun berjalan dari Gubernur.
(4) Dalam hal laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menunjukkan tidak adanya realisasi
penggunaan, penyaluran DBH CHT ditunda sampai dengan disampaikannya laporan
konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT.
penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dilakukan
triwulanan. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas
Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, pada Pasal 2
Dalam peraturan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
tembakau tersebut, seperti para petani yang kesulitan bibit dan pupuk harus diberikan
jalan keluar dengan cara memberikan bibit dan pupuk gratis melalui Dinas Pertanian
masing-masing daerahnya. Cara yang lebih real lagi adalah dengan memberikan para
petani tembakau tersebut informasi mengenai daftar harga pasaran dari tembakau
agar petani tidak menjual dengan harga yang sudah ditentukan oleh Industri Hasil
Dalam hal penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
kemudahan dalam pengurusan izin-izin terkait usaha industri rokok tersebut. Apabila
tahapan yang harus dilaluinya, seperti pembuatan Nomor Registrasi Produk (NRP).
Perusahaan (TDP) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan oleh Dinas
memiliki hambatan dalam hal pungutan liar yang dilakukan oleh para pegawai-
izin tersebut selesai dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, belum
bisa digunakan untuk mengekspor masih ada lagi pengurusan Nomor Registrasi
Produk di pusat. Hal ini yang membuat para pengusaha Industri Hasil Tembakau
Dalam pembahasan bab ini ditemukan bahwa ada pandangan yang berbeda-
beda dari setiap departemen pemerintah terkait dengan kebijakan tarif cukai hasil
tembakau. Namun keadaan seperti ini diluruskan kembali oleh pemerintah dengan
Menteri Keuangan berpengaruh kepada industri rokok itu sendiri, masyarakat, dan
negara. Pada industri rokok terbagi 2 (dua) yaitu : a) Perusahaan besar tembakau; dan
dengan tenaga kerja dan efek yang ditimbulkan dari hilangnya lapangan pekerjaan.
1. Industri Rokok
Industri Hasil Tembakau adalah sama dengan industri rokok yang artinya
adalah kumpulan perusahaan yang sangat berbeda ukuran dan makna atau
pengaruhnya. Ada yang bersifat lokal atau nasional, ada yang dimiliki pemerintah,
namun yang paling besar dan berkuasa adalah beberapa perusahaan multinasional
yang memiliki usaha pada skala global. Seperti perusahaan lain, mereka berjuang
dirancang untuk mengurangi konsumsi tembakau. Penolakan mereka bisa terbuka dan
diketahui oleh masyarakat luas. Namun, seringkali akan lebih berbahaya bila bersifat
tembakau multi nasional. Perusahaan multi nasional yang terbesar adalah Philip
International.86
Philip Morris asli, si pembuat merek rokok yang paling besar penjualannya di dunia
yaitu Marlboro. Perusahaan induk Philip Morris adalah Altria yang masih menjadi
pemilik perusahaan yang berada di Amerika yakni Philip Morris Amerika Serikat.
Hasil penjualan rokok Philip Morris International yang merek utamanya adalah
Marlboro dan L&M, mencapai 63 miliar dollar AS pada tahun 2008. Pendapatan
berpendapatan rendah.87
85
John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh
Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009), hal. 135.
86
Ibid., hal. 137.
87
Ibid., hal. 138.
Dua perusahaan internasional raksasa lainnya adalah British American
Tobacco (BAT) yang merek dunianya mencakup Dunhill, Lucky Strike, dan Pall
Mall; dan Japan Tobacco International (JTI) dengan merek Winston, Camel, Mild
sepertiga dari rokok dunia. Pangsa pasarnya begitu besar hingga seorang eksekutif
memikirkan batas ruang angkasa. Sejauh ini, perusahaan tembakau paling besar
Tabel 7
Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999
88
Ibid.
89
Ibid.
Sumber : Goldman Sachs Global Equity Reasearch, dalam John Crofton dan David Simpson,
Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta :
Elex Media Komputindo, 2009), hal. 138.
membangun pasarnya di negara sedang berkembang dan di pasar yang baru dibuka di
Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni Soviet. Berkembangnya ekonomi di
beberapa negara Asia begitu menarik. Angka merokok yang rendah di kalangan
PT. Bentoel Internasional Investama, Tbk., PT. HM. Sampoerna, Tbk., Gudang
Garam, dan lain sebagainya. Sedangkan di Sumatera Utara, perusahaan rokok yang
tersisa saat sekarang ini, antara lain : PT. Stabat Industri; PT. Pagi Tobacco
Company; PT. Sumatera Tobacco Trading Company; PT. Senang Jaya; PT. Wongso
yang ada di Sumatera Utara mengalami dampak yang berbeda antara satu dengan
90
Ibid., hal. 139.
yang lain. Namun, tetap memiliki satu esensi yaitu takut kehilangan konsumen
mereka.
Pada rokok kelas menengah bawah atau Golongan III sangat sensitif terhadap
perubahan harga. Disini berlaku teori ekonomi bahwa apabila harga naik maka akan
terjadi substitusi produk. Enam perusahaan yang ada di Sumatera Utara adalah
Golongan II, konsumennya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap produk tersebut.
Persaingan pasar rokok pada Golongan III sangat ketat karena terlalu banyak
perusahaan rokok yang berkembang tanpa terdaftar dan diketahui oleh pemerintah.
Belum lagi disebabkan oleh peredaran cukai palsu yang merugikan negara.
Perusahaan rokok yang tidak terdaftar tadi menggunakan cukai palsu tersebut untuk
mengedarkan dan menjual produknya. Dengan begitu produk tersebut sudah pasti
Saat ini produsen Golongan III (segmentasi bawah), kondisi kenaikan cukai
membuat sulit untuk berusaha. Saat ini harga produk mereka dijual paling murah Rp.
2.500,- per bungkus. Dengan adanya Harga Jual Eceran (HJE) yang baru, akan
memaksa mereka untuk menaikkan harga rokok jualannya. Padahal, dalam hal ini
rokok ilegal dijual dengan kisaran harga Rp. 2.000,- s/d Rp. 2.500,- per bungkusnya.
Dapat dikatakan permintaan rokok kelas bawah lebih elastis terhadap perubahan
harga, berubah saja harga maka akan direspon dengan penurunan permintaan.
Konsumen juga akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang substitusinya.92
91
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 157.
92
Ibid.
Kondisi tersebut berbeda dengan kelas menengah dan kelas atas. Pada
konsumen level ini, mereka lebih memiliki loyalitas terhadap produk. Merokok jenis
tertentu adalah merupakan hal yang tidak bisa dicari substitusinya. Hal yang
Pada kondisi tersebut di atas posisi produsen rokok Golongan III menaikkan
harga jual akan ditinggal konsumen, sedangkan menurunkan harga jual akan dapat
membuat perusahaan tidak mampu menutup biaya produksi dan akhirnya bangkrut
Selain dari beban cukai yang menyulitkan industri rokok di Sumatera Utara,
Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara juga dipersulit lagi dengan kelangkaan
bahan baku atau tembakau lokal. Tingginya biaya produksi akibat bahan baku harus
dipasok dari Pulau Jawa dapat mengancam keberadaan industri rokok di daerah ini.94
Target produksi rokok Sumatera Utara pada 2009 mencapai 1,8 miliar batang
atau turun dari tahun sebelumnya sebesar 2 miliar batang. Selain itu, industri rokok
juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi rokok juga harus menghadapi
kenaikan harga biaya produksi hingga mencapai 10% dari tahun lalu. Padahal harga
produk tidak mungkin disesuaikan karena pertimbangan daya beli masyarakat, serta
persaingan ketat rokok asal luar negeri, baik legal maupun ilegal. Gencarnya anjuran
93
Ibid.
94
Eva Simanjuntak, “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global, http://www.harian-
global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri-rokok-sumut-
terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.
pemerintah akan bahaya rokok terhadap kesehatan, berpengaruh besar pada
permintaannya.95
sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi industri padat karya. Dapat dikatakan
peran pemerintah tidak ada. Padahal, ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
rokok.96
Adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
masih tidak jelas keberadaannya apakah digunakan dengan metode block grant
baku dan pembinaan industri rokok seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau.
95
Ibid.
96
Ibid.
Belum lagi masalah pekerja yang teranjam menganggur karena kenaikan
Industri Hasil Tembakau 2007-2020 maka sudah pasti para pekerja rokok yang
jumlahnya ribuan bahkan jutaan orang pada jangka waktu 2015-2020 akan habis dan
industri rokok akan tutup. Hal ini karena pemerintah lebih mementingkan aspek
Dalam hal kenaikan cukai yang baru sudah mulai terjadi gejolak seperti aksi
unjukrasa di Jawa. Bisa saja aksi serupa turut terjadi di daerah-daerah lainnya yang
ada pabrik rokok. Pada tahun 2008, ada satu perusahaan rokok yang tutup akibat dari
kenaikan cukai tembakau. Sedangkan pada tahun 2010 akan terancam dua perusahaan
rokok akan menyusul bankrut. Dengan demikian, ribuan pekerja rokok di Sumatera
2. Masyarakat
industri rokok maka akan selalu ada kelompok yang pro dan kontra karena industri
rokok adalah industri yang kontroversial. Di satu pihak industri rokok menyerap
banyak tenaga kerja, memberikan pemasukan cukai terbesar (sekitar 95%) kepada
97
“Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”,
http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-terancam-jadi-
pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.
menimbulkan beberapa kerugian seperti penyakit yang ditimbulkan baik untuk
perokok aktif maupun perokok pasif, sampah puntung rokok yang semakin banyak
akan mengotori lingkungan, dan rokok dapat mengantarkan rakyat miskin ke jurang
kehancuran. Oleh karena itu, tentunya social cost yang ditimbulkan dari rokok
tidaklah murah.98
upah yang diterima oleh para pekerja hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidup
anaknya. Tetapi tidak banyak para pekerja yang mengeluhkan baik upah maupun
tingkat kesejahteraan mereka, karena lebih memilih bekerja dengan upah yang kecil
tetapi memiliki kontinuitas yang tetap ketimbang menjadi pengangguran atau bekerja
Salah satu kerugian yang ditimbulkan oleh rokok terhadap masyarakat adalah
membuat rakyat miskin menjadi lebih miskin lagi. Karena harus mengeluarkan biaya
untuk mengobati kesehatan yang diperburuk akibat merokok. Orang yang sakit harus
ke dokter, setelah menemui dokter harus membeli obat, jika penyakit bertambah
98
Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”,
http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010.
99
Ibid.
banyak biaya dari anggaran rumah tangga setiap keluarga yang anggota keluarganya
Dapat dibayangkan apabila salah satu anggota keluarga merokok 5 batang per
harinya. Jika dalam satu keluarga yang merokok terdapat 2 – 3 orang, maka tambahan
total pengeluaran untuk rokok menjadi 2 – 3 kali lipatnya. Sedangkan pada faktanya
dan didukung dengan Survei yang dilakukan oleh World Trade Organization
menunjukkan bahwa pria yang tidak sekolah atau tidak tamat SD merupakan jumlah
perokok terbanyak. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih
mudah orang tersebut untuk memahami dan mengerti dampak dari merokok.100
anak dan remaja mungkin karena mereka belum mampu menimbang bahaya merokok
bagi kesehatan dan dampak adiktif yang ditimbulkan nikotin. Perokok mungkin
beranggapan bahwa diri sendirilah yang menanggung semua bahaya dan resiko akibat
beban fisik dan ekonomi pada orang lain di sekitarnya sebagai perokok pasif.101
Tapi terkadang bagi orang yang tidak merokok merasa seperti dikucilkan oleh
teman-teman yang merokok dan dikatakan ”banci” oleh orang yang merokok atau
dikatakan ”kurang gaul”. Orang perokok itu pada awalnya hanya coba-coba saja,
hanya ingin menghormati teman yang memberikan rokok karena semua teman dalam
kelompok itu merokok, karena stress banyak masalah, karena agar dianggap gaya,
100
Ibid.
101
S. Riyanto, “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-
today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus 2010.
dan lain sebagainya. Orang yang menghisap benda beracun tersebut bukan saja orang
dewasa yang sudah bekerja tetapi anak-anak usia sekolah juga menikmatinya.
contoh dengan merokok di depan kelas ketika mengajar. Padahal seorang guru itu
adalah orang yang harus dicontoh dan ditiru setiap perkataan dan tindakannya.
Karena seorang guru itu merupakan panutan bagi setiap siswa di sekolahnya.102
Terkadang orang tua melarang anaknya merokok, tapi orang tuanya sendiri
merupakan perokok berat. Tidak mudah untuk bisa berhenti merokok bagi seorang
perkokok, apa lagi bagi seorang pecandu rokok berat. Lingkungan yang tidak
mendukung seseorang ingin berhenti merokok di antaranya pada saat main kartu atau
catur, sedang menunggu, stress, minum kopi, habis makan, dan jumpa teman lama
yang perokok. Oleh karena itu, untuk berhenti merokok itu tidak bisa karena hanya
orang lain melainkan karena dirinya sendiri dengan niat dari hati dan dibantu oleh
naiknya harga rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat. Kenaikan cukai tembakau
membuat masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli rokok
guna pemenuhan kebutuhan. Bagi sebagian orang merokok sudah termasuk ke dalam
102
Ibid.
103
Ibid.
3. Pendapatan Negara
Negara tiap tahun. Pendapatan negara disini maksudnya adalah pendapatan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dari pusat ke daerah, dalam hal ini
Rp. 1.193.498.600,- 104 meningkat terus sampai pada saat sekarang ini tahun 2010
cukai tembakau tersebut kelihatan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam hal
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dapat dipakai
daerah untuk membangun sektor yang berkaitan dengan tembakau. Hal ini tentu akan
saja perlu diperhatikan bahwa pemerintah provinsi Sumatera Utara juga harus dapat
memberikan kontribusi dari pada pajak daerah kepada pemerintah kabupaten dan kota
yang ada. Sehingga, perolehan pajak daerah tersebut dapat dirasakan oleh semua
104
Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 No. 493, namun diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
215/PMK.07/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang
DBH CHT T.A. 2009 yang menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Utara mendapatkan DBH CHT
sebesar Rp. 2.049.939.000,-.
105
Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 No. 142.
pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Besaran
Industri Hasil Tembakau (IHT) atau Industri Rokok yang menghadapi permasalahan
yang menyebabkan daya saing industri pada sektor ini semakin menurun. Hambatan-
Peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu; 2) Kebijakan yang kurang mendukung;
yang dilakukan hingga kini dinilai belum menimbulkan efek jera karena pelaku hanya
mendapat sanksi pidana ringan. Selama tahun 2004 baru 34 kasus yang digelar oleh
106
Hisar Hasibuan, “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian Medan
Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008, http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211.,
diakses pada 31 Agustus 2010.
Pengadilan kendati kerugian negara diperkirakan mencapai Rp. 150 miliar.
Keseluruhan kasus yang masuk hanya kategori Tindak Pidana Ringan (TIPIRING),
kondisi ini jelas tidak akan menimbulkan efek jera bagi pengedar rokok ilegal.
Tingginya pengedaran rokok ilegal juga dipicu oleh mudahnya pengurusan izin usaha
hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 3 juta, selain itu ada aturan-aturan yang perlu
Sumatera Utara khususnya berakibat pada maraknya industri rokok kecil dimana
selama kurun waktu tiga tahun terjadi penambahan hingga 2.200 unit padahal 2001
tarif cukai yang kecil dengan tidak meningkatkan level usaha namun mendirikan
cabang-cabang baru dengan skala kecil dan menggunakan tarif cukai yang lebih
menggunakan pita cukai palsu, rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai bekas
pakai, rokok dengan pita cukai bukan haknya dan rokok yang menggunakan pita
cukai bukan seharusnya.110 Ditjen Bea Cukai telah melangsungkan operasi intelijen
107
“Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”,
http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses pada 01 September 2010.
108
Ibid.
109
Ibid.
110
Ibid.
yang dilakukan hingga ke pabrik-pabrik rokok serta distributor rokok namun hanya
Namun, langkah ini sangat sulit dilakukan karena masih sedikitnya personil
pengawasan yang tersedia sehingga tidak menjangkau seluruh wilayah hukum dari
Ditjen Bea Cukai. Sudah dilakukan kerja sama dengan Asosiasi industri terkait, dan
daerah, tetap saja tidak jalan karena dana yang disalurkan ke situ tidak ada.
Belanja Negara melalui pajak bea cukai dari Industri Hasil Tembakau. Kebijakan atau
”Policy” yang dibuat tiga departemen Pemerintah SBY pada tahun 2007, Depkeu,
Kebijakan Cukai tahun 2007 hingga 2020″, dimana produksi rokok yang pada 2007 –
2010 mencapai 240 miliar batang akan digenjot sampai 260 miliar batang pada tahun
2015 – 2020.112
mendukung perkembangan industri hasil tembakau tersebut. Hingga saat ini beberapa
111
Ibid.
112
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 170.
Departemen Pertanian, dan Departemen Keuangan memberi dukungan karena
tengah desakan dunia. Akan tetapi masih tetap terfokus pada pendapatan negara tanpa
memperdulikan kemampuan Industri Hasil Tembakau. Hal ini dapat terlihat dari hasil
113
Ibid.
114
Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, sebagaimana dijelaskan
Kebijakan Tarif Cukai saat ini sudah diluar kemampuan kami, dengan
diterapkannya peraturan baru ini. Harga Jual juga akan mengalami kenaikan
yang cukup signifikan sehingga kami pesimis dengan prospek kedepannya.
Disamping itu, sesuai dengan pasal 15 A dan Pasal 15 B, apabila terjadi
kenaikan produksi yang berakibat kenaikan golongan Pengusaha diberi
tenggang waktu 6 bulan untuk penyesuaian tarif cukainya. Padahal pada
Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, apabila terjadi kenaikan produksi
hingga mengakibatkan kenaikan golongan pengusaha wajib menyesuai
langsung pada saat itu”.115
115
Wawancara dengan pengelola PT. Wongso Pawiro, di Medan, tanggal 1 Desember 2009,
sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Menteri Keuangan ini membebankan kenaikan tarif cukai bagi
industri rokok skala kecil dan menengah dengan rata-rata kenaikan sebesar Rp. 30,-
perbatang, beban kenaikan ini lebih besar dibandingkan rata-rata kenaikan tarif cukai
bagi pabrikan Golongan I strata I dimana merek-merek pabrikan raksasa besar berada,
yaitu hanya Rp. 20,- perbatang. Dengan kenaikan tarif cukai tersebut, maka industri
rokok skala kecil akan mengalami peningkatan biaya produksi, sehingga seharusnya
diimbangi dengan kenaikan harga jual. Masalahnya adalah konsumen daya beli dan
elastisitas dari konsumen produk rokok Industri Hasil Tembakau skala kecil berbeda
dengan konsumen industri rokok skala besar. Konsumen Industri Hasil Tembakau
skala kecil adalah masyarakat bawah yang daya belinya rendah dan elastisitasnya
terhadap perubahan harga jual sangat tinggi. Apabila Industri Hasil Tembakau skala
kecil menaikkan harga jual maka dengan daya beli yang rendah tersebut, dipastikan
konsumen akan sangat terpengaruh dan berpindah pada rokok dengan harga yang
lebih murah. Pilihan yang sangat mungkin adalah rokok kretek yang bebannya lebih
116
Ibid., hal. 172.
Nampaknya Pemerintah menyamaratakan seluruh industri rokok putih
(Sigaret Putih Mesin) seperti perusahaan rokok putih multinasional. Padahal
masih banyak industri rokok Sigaret Putih Mesin adalah industri skala kecil
dengan kemampuan permodalan dan teknologi yang terbatas. Kebijakan yang
seperti ini jelas tidak adil dan adanya perbedaan perlakuan yang lebih
menguntungkan industri rokok kretek dan industri rokok putih multinasional.
Atau dengan kata lain cara pandang yang mendasari kebijakan pemerintah
tersebut semata-mata untuk meningkatkan pendapatan negara, meskipun
dengan membuat kebijakan yang menyulitkan berkembangnya industri
nasional, khususnya industri skala menengah dan kecil.117
Bagi industri rokok skala kecil, keberlanjutan usaha tetap harus dipertahankan,
keberadaan industri tersebut. Untuk menghadapi kenaikan tarif cukai yang tinggi
tersebut, menaikkan harga secara proporsional dengan kenaikan tarif cukai bukanlah
pilihan yang bijaksana, mengingat daya beli konsumen produk mereka adalah rendah
dan elastisitas keterpengaruhan konsumen terhadap kenaikan harga sangat tinggi. Jika
harga dinaikkan sebanding dengan kenaikan tarif cukai, maka konsumen akan
berpindah, dan perusahaan akan mengalami penurunan pangsa pasar secara terus
menerus. Untuk menghindari hal ini, maka kebijakan yang banyak ditempuh adalah
dengan cara mensubsidi konsumen dengan tetap menjaga harga yang terjangkau
konsumen meskipun biaya produksi semakin tinggi karena kewajiban tarif cukai yang
naik cukup signifikan. Namun, permasalahannya adalah sampai berapa lama industri
skala kecil tersebut akan mampu memberikan dukungan subsidi pada konsumen.
Lambat laun dipastikan perusahaan rokok skala kecil ini akan mati. Salah satu upaya
tersebut adalah dengan tetap mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap
117
Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 173.
produk mereka. Berikut ini petikan hasil wawancara dengan pengelola Industri Hasil
”Yang paling utama adalah upaya mempertahankan konsumen agar tetap loyal
terhadap produk kami, namun hal ini perlu pengorbanan yang sangat besar
berupa mempertahankan harga eceran tidak naik secara drastis, walaupun
beban cukai yang dipungut naik cukup tinggi. Kata subsidi adalah kata yang
tepat dan tidak terelakkan, namun daya tahan Perusahaan sangat terbatas dan
pada titik temunya secara jangka panjang, Perusahaan akan mengalami
kolaps”.118
Masalah lain terkait dengan kebijakan adalah pengenaan pajak rokok dan
sifatnya. Khusus untuk Industri Rokok, rencana pengenaan Pajak Rokok yang telah
diatur pada Undang-Undang No. 34 tahun 2009 jelas-jelas merupakan pajak ganda
karena dikenakan Cukai, PPN dan PPH. Apabila tujuan pengenaan pajak untuk
118
Wawancara dengan pengelola PT. Permona, Medan, 2 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 174.
119
Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Sehingga landasan pengenaan pajak terhadap obyek rokok pada prinsipnya lemah dan
pungutan-pungutan yang lahir dari kebijakan yang demikian, belum lagi adanya
mempengaruhi kinerja industri rokok di Sumatera Utara yang berskala kecil, karena
munculnya ekonomi biaya tinggi. Keadaan semacam ini sangat tidak kondusif bagi
Kebijakan yang kurang tepat dan terarah justru muncul sebagai hambatan bagi
Provinsi DKI Jakarta ada Perda/Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun
2005 yang melarang merokok di tempat umum dengan sanksi yang cukup berat,
yakni kurungan/penjara badan selama 6 (enam) bulan di penjara atau denda uang
sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Kenyataan yang terjadi di lapangan
adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang
Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih
120
Ibid., hal. 174-175.
121
Ibid., hal. 175.
banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan
mengandung racun yang sangat berbahaya. Orang yang merokok biasanya memilki
paru-paru yang busuk dan berwarna gelap, sangat berbeda dengan orang yang tidak
menghisap batang rokok. Merokok adalah haram hukumnya dalam agama karena
tidak ada dampak positif dari rokok, yang ada hanya efek negatifnya saja, sehingga
merokok itu adalah perbuatan dosa. Perokok juga termasuk dalam kegiatan yang
boros, karena seseorang bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah per
bagi pecandu rokok yang memiliki penghasilan kecil, karena dipaksa untuk membeli
rokok akibat kecanduan. Anak dan istri pun jadi tekena imbas karena untuk makan,
menjadi alat untuk mengeruk pendapatan asli daerah. Dengan mendapatkan lima
puluh juta per orang kaya yang merokok maka dalam setahun mungkin bisa
didapatkan masukan sebesar milyaran sampai trilyunan rupiah. Untuk orang yang
ekonomi menengah kebawah dapat disiasati dengan potongan masa tahanan dengan
pembayaran sebagian denda. Contohnya apabila seseorang bayar hanya 25 juta, maka
122
Ibid.
123
Ibid., hal. 176.
124
Ibid.
Penegakan hukum sanksi merokok di tempat umum harus ketat dan
melibatkan partisipasi masyarakat dengan hadiah. Misal warga bisa merekam orang
yang merokok di tempat umum untuk diadukan ke pihak yang berwajib dengan
imbalan tertentu yang menggiurkan. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat
shock therapy agar takut untuk merokok di kawasan umum. Namun hal ini belum
tentu disukai banyak orang. Banyak oknum politisi yang suka merokok sembarangan
total.125
C. Pengaruh Eksternal
terbuka dan bebas. Liberalisasi ini adalah sebuah upaya besar (grand design) yang
liberalisasi yang secara ekonomi dan politik amat kuat dan berpengaruh. Saat ini,
diupayakan dan didukung secara bersama-sama oleh seluruh negara di dunia dalam
berbagai macam kesepakatan dan perjanjian antar negara, baik dalam tingkat bilateral,
Free Trade Area), EU (European Union), AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC
Tariffs), dan WTO (World Trade Organization). Menolak tren globalisasi dan
Namun, bukan berarti desain besar ini diterima dengan tangan terbuka di seluruh
perdagangan dan ekonomi, sehingga semua pelaku bisnis dari berbagai negara bisa
melakukan perdagangan di dunia ini tanpa ada diskriminasi. Pemerintah setiap negara
tetapi liberalisasi ekonomi menimbulkan dampak, yaitu kian ketatnya persaingan dan
126
M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Aspek Hukum Pasal Modal
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait,
et.al., Op.cit., hal. 177.
127
Ibid., hal. 178.
Persoalan besar dari liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan ekonomi
adalah tidak adanya tingkat kesetaraan dari segi ekonomi dan politik di antara negara-
negara di dunia. Negara-negara kaya dan maju masih jauh lebih sedikit daripada
negara-negara berkembang atau miskin. Negara maju yang berjumlah sedikit tersebut
mempunyai kekuatan dan dominasi perdagangan dan ekonomi yang lebih kuat yang
pada akhirnya lebih kuat secara politik. Sementara negara-negara berkembang dan
miskin berada dalam pengaruh negara-negara kaya dan tidak mempunyai kekuatan
tawar menawar yang setara serta sekuat negara-negara maju, sehingga negara-negara
yang lebih baik daripada menentang gelombang besar sejarah dan mengkhawatirkan
kemampuan diri untuk bertahan dan berjaya. Pada tahun 2003 Indonesia sudah masuk
dan menerapkan era perdagangan bebas untuk lingkungan ASEAN (AFTA), tahun
2010 yang tinggal beberapa hari lagi Indonesia sudah harus menerapkan dan
memasuki pasar negara industri maju anggota APEC, dan pada tahun 2020 siap
persiapan Indonesia memasuki pasar negara industri menghadapi kendala yang cukup
berat akibat hantaman krisis multidimensi dan faktor situasi politik dan keamanan
128
Ibid., hal. 178-179.
129
Ibid., hal. 179.
Walaupun situasi dan kondisi yang berat di segala bidang, dengan penuh rasa
optimis dan bekerja sekuat tenaga, Indonesia harus tetap melaju dan bersaing di pasar
bebas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat ini, seolah-olah
batas suatu negara sudah tidak ada, Teknologi Informasi (TI) telah mengglobal.
cepat di pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali sektor Industri Hasil Tembakau
aliran modal global guna mengintegrasikan ekonominya pada sistem ekonomi global.
Tujuannya untuk mengambil manfaat dari aliran bebas barang, jasa dan modal global
pengaruh mereka pada perekonomian global karena terbukanya akses pasar yang
cukup luas.131
Sumatera Utara (Usaha Mikro Kecil Menengah, swasta besar dan Badan Usaha Milik
Negara) dalam sistim yang sangat kompetitif ini mau tidak mau harus berhadapan
130
Ibid.
131
Ibid., hal. 180.
hambatan bagi perusahan-perusahan Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara,
apakah mampu bersaing dan bertahan hidup di era liberalisasi ini. Namun, persaingan
ini justru harus dihadapi dengan sejumlah persoalan yang sangat krusial, seperti iklim
usaha yang tidak kondusif, persaingan yang tidak sehat, infrastruktur yang kurang
mendukung, ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum dan regulasi yang kurang
terencana dan tidak konsisten yang justru banyak menimbulkan beban bagi Industri
tersebut belum kuat gerakan anti merokok baik oleh pemerintah maupun organisasai
perusahaan rokok kecil yang tidak dapat bersaing dengan perusahaan besar yang
mempunyai fasilitas modern. Kondisi ini menjadikan pasar global rokok hanya
dikuasai oleh beberapa industri besar seperti Phillip Morris, Japan Tobacco
International, Reemmstma.133
dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil
132
Ibid.
133
Ibid., hal. 180-181.
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai
rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat
bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli
ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.
Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan
menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil
seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dll. Dengan
cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau
multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestic lebih kurang 80%
dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT. British American
Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai bukan tidak mungkin
ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding
perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran
adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.
Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita
baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan
134
M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Op.cit.
kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan penetapan
Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri
ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek. Kebijakan yang
demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan menengah. Masalahnya
ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal, seperti Wismilak dan
Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai lebih tinggi akibat
harga produk mereka yang melewati batas harga eceran maksimum untuk pabrik
sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang harus hidup diantara para
raksasa rokok.135
Convention Tobacco Control (FCTC) kian hari kian kencang. Oleh karena itu,
sebelum terlambat, sebaiknya para pengambil kebijakan mencari jalan keluar agar
para pelaku industri hasil tembakau tidak terpuruk (terutama yang kelas Usaha Mikro
Kecil Menengah). Begitu pun halnya petani tembakau sebaiknya dibantu agar tidak
135
“Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum
Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 182-183.
136
Ibid., hal. 183.
auditorium III gedung utama Departemen Perdagangan. Pertemuan Pengurus
Barang selaku Ketua Lembaga Tembakau, dan dihadiri oleh anggota pengurus
Lembaga Tembakau Surabaya, Jember, Surakarta dan Medan, serta asosiasi pabrikan
rokok (GAPPRI dan GAPRINDO), asosiasi petani tembakau dan wakil dari pabrikan
Pusat.137
Amerika (US Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, pelarangan
impor rokok yang mengandung cita rasa di Canada serta Rancangan Undang-Undang
137
Ibid., hal. 183-184.
138
Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang, Departemen Perdagangan
Republik Indonesia, Agustus 2009, sebagaimana dikutp Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi
isu-isu yang terus berkembang seperti isu tentang dampak kebijakan tarif industri
hasil tembakau terhadap persaingan usaha di bidang industri hasil tembakau, isu
kebijakan tariff, isu tentang terciptanya pengangguran, tentang single tariff yang
dibentuk karena adanya indikator global perusahaan asing mengambil alih industri
mana yang akan dibela kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita,
anak-anak dan kaum miskin, terutama yang bukan perokok namun terancam
kesehatan dan masa depannya, atau industri yang pada dasarnya tidak dirugikan
secara signifikan eksistensinya, atau perusahaan asing yang siap memangsa industri
139
Ibid., hal. 184.
140
Ibid.
141
Ibid.
2. Framework Convention on Tobacco Control
Kesehatan, banyak pihak kebakaran jenggot, terutama kalangan industri rokok. Bak
gaya sepak bola, industri rokok menggunakan jurus total football untuk menganulir
dukungan 224 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (40,7%) dan kini sedang
Undang-Undang ini urgent untuk segera dibahas dan disahkan. Tidak terlalu sulit
Ekses negatif itu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekses sosial,
ekonomi, moral, dan budaya. Disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan
terhadap pelajar kini pun amat merisaukan, setidaknya menurut Global Youth
142
Ibid., hal. 185-186.
Tobacco Survey 2006 versi World Trade Organization, yaitu 37,3% pelajar laki-laki
dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5% pelajar laki-laki
Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit
yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability
adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun
pada 2005 sebesar US$. 900, total biaya yang hilang US$. 4.870.713.600.144
Kedua, ketika dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan akibat rokok begitu
menggawat, ironisnya hingga detik ini kita belum mempunyai produk hukum yang
industri yang memproduksi dan memasarkan "barang bermasalah". Saat ini masalah
bahaya rokok hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Penanggulangan Bahaya Rokok bagi Kesehatan, yang merupakan turunan dari Pasal
nyaris tidak bisa "mematuk" siapa pun yang melanggarnya, termasuk pelanggaran
jam tayang iklan rokok oleh media massa. Secara historis-politis, proses pembahasan
143
Ibid., hal. 186.
144
Ibid., hal. 186-187.
145
Ibid., hal. 187.
negara anggota World Trade Organization dan komunitas lembaga swadaya
masyarakat. Bahkan pemerintah Indonesia diberi award bernama ashtray award, alias
negara keranjang sampah nikotin. Itu semua terjadi karena pemerintah Indonesia
internasional, karena delegasi Indonesia justru terlibat aktif dalam pembahasan draf
Tobacco Control dalam Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di Jenewa,
Swiss, Mei 2003. Kini Framework Convention on Tobacco Control telah menjadi
hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Lalu mengapa industri
rokok dan kroni-kroni dekatnya begitu serius "menaklukkan" Badan Legislasi DPR
Nasional (Prolegnas). Menurut industri rokok, jika DPR berhasil menggunakan hak
seketika. Ribuan petani kehilangan lahan, ratusan ribu tenaga kerja kena pemutusan
hubungan kerja, dan pemerintah pun akan kehilangan triliunan rupiah dari cukai
rokok.146
Saat ini negara penghasil tembakau terbesar di dunia, seperti Cina (38%),
Brasil (10,3%), dan India (9,1%), kendati telah meratifikasi Framework Convention
on Tobacco Control, industri rokoknya masih sehat walafiat. Jika ketiga negara itu,
146
Ibid., hal. 187-188.
yang notabene lebih besar penghasilan tembakaunya ketimbang Indonesia, berani
Minimal ada dua poin yang menjadi puncak ketakutan industri rokok terhadap
Penanggulangan Dampak Tembakau ini, yaitu soal kebijakan cukai tinggi (tax
increasing) dan larangan menyeluruh terhadap promosi rokok (total ban promotion).
Menurut mereka, ketentuan ini akan menggusur industri rokok. Padahal, di dunia
mana pun, cukai rokok pasti tinggi. Contoh terdekat Thailand, cukai rokoknya
mencapai 75% dari harga rokok. Indonesia masih sangat rendah, maksimal hanya
30%. Itu pun hanya beberapa merek rokok. Harga rokoknya pun masih amat murah.
Akibatnya, rokok dapat diakses oleh anak-anak dan orang miskin, yang notabene
belum/tidak layak mengkonsumsi rokok. Cukai rokok tinggi justru akan mengatrol
pendapatan pemerintah dan akan memotong akses masyarakat miskin dan anak-anak
untuk membeli rokok. Biarkan yang merokok itu orang dewasa, dan berkantong tebal
pula.148
Total ban terhadap promosi rokok juga tidak akan berpengaruh signifikan
Narkotik yang jelas-jelas terlarang dan tidak pernah dipromosikan, toh laku keras bak
ketergantungan akut, ke mana pun akan diburu kendati harganya selangit. Sungguh
147
Ibid., hal. 188.
148
Ibid., hal. 188-189.
keterlaluan jika rokok yang merupakan produk bermasalah (in-inelastis) ini masih
juga dipromosikan.149
Tobacco Control. Industri rokok juga tidak perlu mendramatisasi situasi, apalagi
mempolitisasinya. Sebab, sekuat apa pun pengawasan dan pembatasan produk rokok,
maksimal hanya akan mampu mengurangi pasokan rokok 1%. Bandingkan dengan
rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1,32% per tahun (artinya
orang mati setiap tahun yang disebabkan oleh berbagai penyakit terkait dengan
tembakau, jauh lebih besar dibandingkan dengan korban malaria yang hanya
memakan korban 3 juta orang pertahunnya di dunia. Wabah penyakit yang terkait
seperti Philip Morris/Altria, PT. British American Tobacco dan JTI. Jika tidak ada
penanganan yang serius maka tembakau akan menjadi penyebab kematian tertinggi di
dunia pada 2030, dengan 70% kematian itu terjadi di Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Perusahaan tembakau internasional adalah salah satu contoh dari
149
Ibid., hal. 189.
150
Ibid.
korporasi raksasa yang paling bertanggungjawab atas melambungnya biaya kesehatan
dijadikan teladan penting untuk peraturan korporasi internasional dan lokal yang
kita dan hak asasi manusia; seperti pada industri-industri riskan lainnya di bidang
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik
awal (selama kurun waktu 2000-2003) Indonesia termasuk negara yang membidani
dan menjadi kontributor yang aktif bagi lahirnya dokumen tersebut. Dalam
selalu hadir dengan timnya yang kuat dalam 6 kali pertemuan INB tersebut.153
Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah alasan
klasik seperti : tingginya tingkat konsumsi rokok kita; Indonesia termasuk dari lima
Negara produsen tembakau terbesar di dunia; cukai dari rokok mencapai 50 trilyun
rupiah; dan Indonesia memiliki 2000 perusahaan industri rokok dengan jumlah
didikotomikan antara para petani tembakau dan kesehatan masyarakat. Padahal secara
faktual, para petani dan buruh pabrik rokok juga adalah korban dari penghisapan
keuntungan industri rokok kita dan internasional. Social cost yang diderita anak-anak,
151
Ibid., hal. 190.
152
Ibid.
153
Ibid., hal. 190.191.
remaja, pemuda, kaum perempuan dan warga miskin sangat besar. Belum lagi
maraknya kasus narkoba saat ini justru pintu masuknya dari kebiasaan merokok yang
akut karena cirri dan modus operandinya adalah sama yaitu adiksi (kecanduan).154
Sebagai bangsa saat kini kita seolah-olah bangga; padahal kita sedang
dilecehkan oleh raksasa industri rokok. Untuk itulah Indonesian Tobacco Control
terhadap kerja-kerja advokasi demi melindungi generasi sekarang dan mendatang dari
ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau. Untuk saat
ini Indonesian Tobacco Control Network beranggotakan: Forum Warga Kota Jakarta
(KOMNAS PA), Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), Ikatan Ahli Kesehatan
154
Ibid., hal. 191.
155
Ibid., hal. 191.
Universitas Indonesia, Gerakan Pramuka Institut Pertanian Bogor, Universitas
Tobacco Control Network bersifat egaliter dan dikoordinasi oleh anggota secara
lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, diproyeksikan akan
membunuh 10 juta orang sampai tahun 2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara
berkembang. Tembakau juga memakan biaya yang sangat besar dalam pelayanan
kesehatan, kehilangan produktifitas, dan tentunya biaya yang tidak terlihat dari
kesakitan dan penderitaan yang timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga
mereka.156
Dunia (WHO) ke 56 pada bulan Mei 2003, 192 negara anggota World Trade
Control adalah untuk “melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan
serta paparan terhadap asap tembakau.” Sampai 31 Mei 2005, 168 negara telah
2005.157
156
Ibid., hal. 191-192.
157
Ibid., hal. 192-193.
Ketentuan Pokok Framework Convention on Tobacco Control
negara peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari
untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor,
dan promosi produk-produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam
kurun waktu 5 tahun setelah meratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk iklan
lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negara-negara yang
tersebut.159
158
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kerangka Kerja Konvensi Tentang Pengendalian
Tembakau, Jenewa, 21 Mei 2003, diterjemahkan oleh Sularno Popomaruto, dalam Ningrum Natasya
Sirait, Op.cit., hal. 193.
159
Ibid.
kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan di tempat publik lainnya. Telah
terbukti bahwa langkah yang efektif dalam melindungi bukan perokok adalah dengan
sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk digunakan untuk label peringatan
Tobacco Control. Pasal ini juga mengharuskan pesan tersebut diganti-ganti, dan dapat
menggunakan gambar.161
“light”, ”mild,” dan “rendah tar” dilarang. Penelitan membuktikan rokok yang
berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada umumnya.
Tobacco Control.162
160
Ibid., hal. 193-194.
161
Ibid., hal. 194.
162
Ibid., hal. 194.
kemasan tembakau. Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan
Penjualan tembakau bebas bea juga sebaiknya dilarang. Kenaikan harga tembakau
kepada pemerintah.165
163
Ibid.
164
Ibid., hal. 194-195.
165
Ibid., hal. 195.
hukum dalam mencapai tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerjasama
akan diselenggarakan pada tahun 2006. Conference of the Parties diberdayakan untuk
Tobacco Control. Selain itu juga untuk membentuk badan subsider untuk menjalani
tugas-tugas tertentu.167
mengerahkan bantuan keuangan dari sumber dana yang ada untuk pengendalian
maupun internasional.168
166
Ibid.
167
Ibid.
168
Ibid., hal. 196.
Adapun komitmen penting lainnya, adalah bahwa169 :
nasional atau focal point untuk pengendalian dampak tembakau (Pasal 5).
yag dibawah umur menurut hukum nasional mereka, atau 18 tahun (Pasal 16).
adalah obsesi negara maju yang dipaksakan terhadap negara berkembang. Mereka
169
Ibid.
tembakau nasional. Selain itu, mereka secara terus menerus menakut-nakuti
Industri tembakau berpegang pada alasan bahwa tidak ada hasil bumi atau
pilihan pengganti lainnya. Sangatlah logis untuk berpikir bahwa konsumen yang
pelayanan ekonomi yang lain. Oleh karena itu, penurunan pekerjaan dalam industri
Bagaimanapun juga, dalam masa pertengahan, untuk Negara yang sangat bergantung
pada ekspor tembakau (contoh : ekonomi berasal dari ekspor bersih tembakau),
kerugian pekerjaan.171
sistem internasional legal pengendalian tembakau, sehingga seluruh isu tidak perlu
dikemukakan pada saat yang bersamaan. Lebih jauh lagi, kebutuhan dana multilateral
170
Ibid., hal. 197.
171
Ibid.
172
Ibid., hal. 197-198.
Framework Convention on Tobacco Control mungkin akan menjadi alat
pertama pencarian dukungan dunia untuk para petani tembakau. Dan catatan penting
jika prevalensi penggunaan tembakau masih sama, saat ini sebanyak 1,1 milyar
perokok di dunia, pada tahun 2025 diprediksikan meningkat menjadi 1,64 milyar,
sesuai dengan peningkatan penduduk di Negara berkembang. Oleh karena itu, Negara
sukses, di tahun 2030, dunia mungkin akan memiliki pengguna tembakau sebanyak 1
mengubah persepsi publik mengenai tembakau dan dan perlunya memiliki Undang-
Undang dan peraturan yang kuat untuk mngontrol penggunaan tembakau. Framework
173
Ibid., hal. 198.
174
Ibid., hal. 198-199.
c. Memobilisasi LSM dan masyarakat sipil untuk menguatkan upaya
Akuisisi atau pengambilalihan industri hasil tembakau oleh investor asing saat
sekarang cukup diminati . Seperti diketahui, bulan Juni 2009 lalu British American
Tobacco, Plc (BAT) mengakuisisi 85% saham PT. Bentoel Internasional Investama
Tbk., senilai lebih dari Rp. 5 triliun. Perusahaan yang berkantor pusat di London itu
membeli 56% saham Rajawali Group dan pemegang saham lainnya di Bentoel.
Perusahaan rokok asal Amerika Serikat, Philip Morris International Inc., sebelumnya
mengakuisisi 98% saham PT. HM Sampoerna, Tbk. melalui PT. Philip Morris
Frame Convention Tobacco Control (FCTC). Cina dan India sudah meratifikasi
aturan itu. Indonesia, yang pasarnya jauh lebih besar ketimbang kedua negara tersebut,
175
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199.
pengendalian tembakau itu, asing berpeluang menyerbu. "Secara ekonomi pasar
Sebelumnya Philip Morris dan PT. British American Tobacco mengincar Cina.
regulasi perlindungan kesehatan dari rokok sangat lemah dan konsumsi rokok di
ini177 :
”Hal ini menunjukkan menariknya Pasar Rokok Indonesia bagi Pihak Asing
sehingga mengundang mereka untuk mengakuisisi pabrikan-pabrikan besar
Rokok di Indonesia. Jumlah konsumsi rokok Indonesia pada tahun 2007
mencapai 215 miliar batang merupakan negara ke-5 terbesar setelah Cina
(1,643 miliar batang), Amerika Serikat (460 miliar), Rusia (330 miliar) dan
Jepang (260 miliar batang).
Perkiraan pangsa pasar Rokok Indonesia yang telah dikuasai pabrikan yang
terafiliasi dengan Pihak Asing adalah sebagai berikut :
176
Ibid.
177
Ibid., hal. 200.
178
Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan, 2
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199-200.
BAB IV
yang juga pendapatan daerah melalui ketentuan pembagian cukai hasil tembakau atau
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) di Sumatera Utara dapat yang
Tabel 8
Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2008 – 2009
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi
Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008, Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, dan Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010
Total tersebut di atas adalah pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) setiap tahun dari 2008 – 2010 yang disalurkan ke
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut disalurkan dengan cara transfer
rekening kas daerah dan password 4 digit angka terakhir nomor rekening kas daerah
Sumatera Utara.
Pada tahun 2009 dan 2010 masih didapat dana alokasi sementara, maksudnya
adalah bahwa dana tersebut akan naik lagi apabila kepala daerah menyampaikan
Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila disampaikan dengan baik maka Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut akan ditambahkan lagi ke
provinsi sendiri tidak tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa, padahal sudah
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi
179
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 25
Agustus 2010 di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Kendati demikian, pemerintah provinsi Sumatera Utara menginginkan untuk
(PAD) hingga mencapai Rp. 100 miliar. Pemerintah provinsi Sumatera Utara
meminta agar asosiasi pengusaha pada Industri Hasil Tembakau tidak memperlambat
penerimaan dari penerapan pajak rokok, yang bisa mencapai Rp. 100 miliar per
tahunnya. Hasil wawancara mengenai pajak rokok di daerah adalah sebagai berikut :
Pajak rokok yang wewenang pungutnya ada pada pemerintah provinsi jika
Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di sahkan. Dalam hal
ini tetap saja industri rokok lokal yang akan menerima imbasnya. Ada dua kali
pengenaan pungutan disini yaitu cukai tembakau dengan ketentuan peraturan menteri
keuangan mengenai tarif cukai tembakau dan pajak daerah atau retribusi daerah.
180
Ibid.
181
Ibid.
Untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
dalam hal penggunaannya. Semua itu terdapat pada Dinas Perindustrian dan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) masuk ke rek
disalahgunakan maka peraturan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan No.
84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
(1) Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat
diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran
dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.
(2) Termasuk dalam kategori menyalahgunakan alokasi dana bagi hasil cukai
hasil tembakau adalah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
menyalahgunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang
ditangguhkan disini adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)-nya
yang tidak ditransfer ke daerah. Tidak ditransfernya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) tersebut karena menunggu laporan konsolidasi dari kepala
daerah. Jika yang dituduhkan kepada kepala daerah tidak terbukti maka penangguhan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan dicabut dan Dana Bagi
182
Ibid.
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan disalurkan kembali, hal ini disebut
dalam Pasal 16 ayat (1). Dana yang ditangguhkan akan disalurkan kembali mengikuti
menyebutkan bahwa akan dihentikan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) apabila kesalahan dari kepala daerah yang tidak menyalurkan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) sebagaimana semestinya
dilakukan 2 (dua) kali. 184 Tidak adanya sanksi yang dapat menimbulkan efek jera
Setiap peraturan pastinya ada struktur yang mengawasi atau yang disebut
badan pengawas ketentuan tersebut.185 Dalam hal penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT) ini, yang menjadi pengawas adalah Direktorat Jenderal
mengawasi penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
tersebut.
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Provinsi
Sumatera Utara digunakan untuk keperluan kantor setempat yaitu dimana uang
tersebut disalurkan. Setiap dana yang keluar dari Setdaprovsu diserahkan 10% kepada
183
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau.
184
Ibid.
185
Seperti yang dikatakan Lawrence M. Friedman, jika hukum ingin berjalan dengan baik
maka harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu : 1. substance (substansi hukum); 2. structure (struktur
hukum); dan 3. culture (budaya hukum). Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Sistem
Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008).
pejabat terkait dengan cara membuat proyek fiktif, alasannya jelas adalah untuk biaya
Utara, sisanya hanya digunakan untuk proyek-proyek pembangunan dan tidak jelas
kemana tujuan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dialokasikan.
Hal ini tidak seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.
84/PMK.07/2008.186
Mengenai tarif cukai yang mengarah kepada single spesifik tarif atau
kebijakan single tariff, akan membuka peluang bagi industri rokok untuk melakukan
multinasional dengan begitu suatu negara yang tidak punya daun tembakau satu
pabrik produksi di Indonesia, dan dipasarkan di Indonesia tapi hasil penjualan produk
rokok tersebut lari ke luar negeri. Hasil yang didapat Indonesia adalah hanya penyakit
186
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Op.cit.
Hal ini disebut dengan monopoli karena yang mengendalikan harga adalah
perusahaan rokok multinasional tadi. Bisa saja satu bungkus rokok dijual dengan
harga mencapai Rp. 50.000,- yang biasanya dapat dibeli dengan harga Rp. 10.000,-.
Bagi konsumen Golongan I dan Golongan II, hal ini tidak jadi masalah karena
Monopoli yang dilakukan adalah dengan cara kartel yaitu perjanjian antara
perusahaan-perusahaan rokok yang ada dengan menentukan harga rokok di atas harga
Namun, kartel dapat tidak terjadi apabila ada salah satu perusahaan yang ingkar janji
dengan cara menurunkan Harga Jual Ecerannya (HJE) demi mendapatkan konsumen
bentuknya, tetapi umumnya terjadi dalam 2 (dua) cara yaitu : dengan penetapan
harga; dan penetapan output. Mengacu pada teori tersebut, dapat dipastikan bahwa
industri rokok tidak akan membentuk kartel melalui penetapan harga karena harga
jugal produk rokok diatur oleh pemerintah melalui Harga Jual Eceran dan penetapan
cukai yang sejatinya sebagai alat untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya.
Industri rokok juga tidak akan membentuk kartel melalui penetapan output, karena
187
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan : Pustaka
Bangsa Press, 2004), hal. 57-71.
pada prinsipnya setiap perusahaan berkeinginan untuk memaksimalkan
keuntungan.188
Bentuk kartel yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk lobi yang
sampai saat ini dipraktekkan. Lobi yang telah dilakukan salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan sebenarnya tidak terdapat pengaruh antara kenaikan cukai
dan penetapan kebijakan terhadap pertumbuhan tenaga kerja, namun lobi semacam
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di masa lalu, dan berlaku sampai saat
ini. Seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46 butir 3,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59 dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 44, Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok, setelah diubah sebanyak
2 (dua) kali dan justru menjadi lebih lemah dibandingkan peraturan sebelumnya. Lobi
188
Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup
Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010.
Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan untuk dimasukkan ke
tersebut. Sekarang pemerintah hanya memilih pihak mana yang akan dibela
kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita, anak-anak dan kaum
miskin, terutama bukan perokok namun terancam kesehatan dan masa depannya, atau
sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau maka akan
digunakan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1873) yang disebut Utility
baik buruknya atau adilnya tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum
189
Ibid.
190
Ibid.
191
Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009).
192
Teori utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan
seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di
balik tindakan ataupun kebenaran dan kesalahan yang fundamental dari tindakan yang dilakukan,
hanya sebagai konsekuensi. Pendekatan ini sangat pragmatis terhadap pembuatan keputusan etis.
Kebahagiaan yang disebut dalam teori ini seharusnya dapat dirasakan oleh
setiap individu. Tetapi hal tersebut tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin),
diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam
pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.193 Setelah
mendapatkan mana yang menjadi manfaat terbesarnya maka itulah yang dinamakan
keadilan.
Dengan begitu dapat diterapkan dalam menentukan kegunaan dari cukai hasil
tembakau yang digunakan apakah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Sebagaimana
telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa kebijakan pengendalian rokok melalui
memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi industri skala kecil. Semakin tinggi Harga
Jual Eceran produk hasil tembakau, maka semakin rendah rasio kenaikan tarif cukai
yang wajib dibayar kepada negara. Produk-produk Industri Hasil Tembakau skala
kecil umumnya adalah produk pada kisaran Harga Jual Eceran rendah, sehingga rasio
pengenaan tarif dari Harga Jual Eceran lebih besar dari produk-produk merek terkenal
yang sudah mapan dan umumnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan
Semacam estimasi rasional dari hasil dibuat dan tindakan untuk memaksimalkan manfaat terbesar bagi
mayoritas orang. Tentu saja, dalam pemikiran sebagian orang, pendekatan ini sering berujung pada
“tujuan membenarkan cara”. Jeremy Bentham dalam Bryan Magee, The Story of Philosophy : Kisah
Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogjakarta :
Kanisius, 2008), hal. 182-185.
193
Loc.cit.
multinasional. Kenaikan tarif yang lebih tinggi tersebut membuat Industri Hasil
Tembakau skala kecil semakin termarginalkan dari pasar Industri Hasil Tembakau.
Sementara itu, konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil sangat rentan dengan
kenaikan harga. Apabila harga jual ke konsumen dinaikkan, maka dengan daya beli
yang terbatas, maka konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil akan
tersebut diketahui ilegal. Keadaan ini diperburuk oleh banyak peredaran rokok ilegal
yang harganya lebih murah dari produk Industri Hasil Tembakau skala kecil. Berbada
dipengaruhi oleh kenaikan tarif dan harga jual, karena daya beli yang tinggi.194
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Industri Hasil Tembakau skala
kecil memandang kebijakan tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK
Industri Hasil Tembakau skala besar dan Industri Hasil Tembakau multinasional,
“Apresiasi Pemerintah Pusat kepada Pengusaha lokal atas peran mereka dalam
membantu menekan angka pengangguran dan meningkatkan taraf kehidupan
194
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 256-257.
masyarakat di sekitarnya sangat kecil kalau tidak bisa dikatakan tidak ada
sama sekali. Nuansa keberpihakan kepada Pengusaha bermodal besar dan
PMA sangat kentara”.
konteks penerapan tarif cukai, pemerintah cenderung lebih berpihak pada pengusaha
Sigaret Kretek Mesin dibandingkan pelaku usaha Sigaret Putih Mesin lokal karena
penerapan tarif cukai yang tidak memperhitungkan daya beli dan kemampuan
195
Wawancara dengan pengelola PT. Stabat Industri, Medan, 5 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 257.
rokok Sigaret Putih Mesin modal Nasional dan seolah-olah para pelaku
industri di jenis Sigaret Putih Mesin seluruhnya Perusahaan Multinasional.
Sehingga Perusahaan Sigaret Putih Mesin Modal Nasional dengan
keterbatasan Modal dipaksa berhadapan langsung dengan Perusahaan Raksasa
Multinasional tanpa perlindungan wajar Pemerintah”.
“Sehingga ditengah daya beli sebagian besar konsumen melemah dan elastis
maka kebijaksanaan kemasan tersebut lebih berpihak dan menguntungkan
Rokok Kretek”.196
keadilan. Aturan dan kebijakan dibuat sedemikian rupa, agar tidak menutup mata
Aturan dan kebijakan harus memberikan jaminan adanya kesempatan dan perlakuan
dan sosial. Dalam banyak hal, terkadang aturan menjadi diskriminatif positip untuk
Tembakau, khususnya berskala kecil saat ini menghadapi permasalahan yang sangat
kompleks dan rumit dalam upaya mempertahankan keberadaan usaha, yang meliputi
iklim usaha dan iklim persaingan yang tidak kondusif, modal, bahan baku,
Tobacco Control, infrastruktur, dan sebagainya. Justru pada saat yang bersamaan
196
Ibid.
197
Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 269.
peraturan membebankan tarif cukai yang menurut mereka tidak adil dan tidak
proporsional.198
bagi Industri Hasil Tembakau skala kecil, karena pengaruh kemampuan beli
konsumen, elastisitas konsumen dan peredaran rokok ilegal yang secara umum lebih
murah dari yang mereka hasilkan. Aturan dan kebijakan semestinya merespon fakta
yang demikian, sehingga output kebijakan tidak menimbulkan rasa ketidakadilan bagi
sekelompok pelaku usaha (Industri Hasil Tembakau skala kecil). Dengan pola rasio
kenaikan cukai yang lebih besar bagi Harga Jual Eceran yang semakin rendah, maka
produk Industri Hasil Tembakau skala kecil akan menanggung rasio kenaikan cukai
yang lebih besar, mengingat secara umum Harga Jual Eceran produk mereka lebih
murah. Demikian pula perbedaan kenaikan antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret
Putih Mesin juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi Sigaret Putih Mesin karena
kenaikan cukai pada jenis Industri Hasil Tembakau ini lebih tinggi dibandingkan
dengan Sigaret Kretek Mesin. Hal yang demikian menyebabkan aturan atau kebijakan
Dari sisi penerimaan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menginginkan Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dibagikan secara lebih banyak kepada
daerah penghasil. Pembagian tersebut agar dapat digunakan seperti yang diamanatkan
oleh peraturan menteri keuangan tentang pengalokasian dana bagi hasil cukai hasil
198
Ibid.
199
Ibid., hal. 269-270.
tembakau. Ketentuan pembagian yang 2% oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai tidak
berdasar. Pembagian tersebut dinilai tidak adil karena pemerintah pusat mendapatkan
semestinya tidak menyimpang dari prinsip proporsionalitas dan rasa keadilan dengan
kemampuan Industri Hasil Tembakau (khususnya skala kecil) terhadap beban yang
ditetapkan.200
200
Ibid., hal. 270.
BAB V
A. Kesimpulan
1. Kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia mengarah pada dua hal
pokok, yaitu : tarif cukai hasil tembakau yang cenderung terus meningkat
(naik); dan kebijakan tarif tunggal (single tariff policy) yang menyamaratakan
tingkat tarif antara seluruh golongan industri hasil tembakau. Kebijakan yang
tembakau dan menjadikan sistem tarif menjadi lebih sederhana, akan tetapi
ke dalam golongan industri menengah dan industri kecil. Hal ini dikarenakan
tingkat tarif cukai yang terus meningkat menyebabkan beban biaya bagi
industri hasil tembakau. Beban ini lebih dirasakan oleh industri hasil
tarif cukai hasil tembakau oleh industri hasil tembakau akan dialihkan
menjadi beban konsumen melalui harga jual eceran rokok. Industri hasil
tembakau golongan besar pada umumnya memproduksi rokok bermerek
dengan karakter konsumen yang tidak dipengaruhi oleh harga jual rokok
sehingga beban tarif cukai yang tinggi dapat dialihkan kepada konsumen
yang sangat dipengaruhi oleh harga jual rokok. Beban tarif cukai yang tinggi
dan menimbulkan beban biaya (transaction cost) bagi industri hasil tembakau
meningkat (naik) dan mengarah pada kebijakan tarif tunggal (single tariff
harus dihadapkan pada beban kenaikan cukai hasil tembakau yang tinggi dan
jumlah perusahaan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara; dan
tidak jelasnya pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
3. Ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek keadilan bagi
Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dapat dilihat dari persentasi yang
dibagi-bagi lagi dengan daerah lain yang bukan penghasil tembakau. Dari
menerima dampak negatif dari industri hasil tembakau seperti : limbah yang
mengurangi kesuburan tanah; dan dampak negatif dari rokok itu sendiri; serta
jika terjadi gejolak dalam industri rokok misalnya : demonstrasi buruh maka
disalahgunakannya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang
tidak teralokasikan dengan baik dan benar. Untuk penyaluran Dana Bagi Hasil
program kegiatan yang efektif dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
B. Saran
sebagai berikut :
1. Dalam hal kebijakan single tariff yang diterapkan pemerintah sebaiknya perlu
ditinjau kembali penerapan kebijakan single tariff dan kebijakan yang hanya
2. Untuk mengurangi dampak kenaikan tarif yang tinggi bagi industri hasil
Utara yang kurang berpihak kepada Industri Hasil Tembakau atau Industri
diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang lebih adil bagi daerah Sumatera
Utara.
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Press, 2010.
Arinanto, Satya., “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, Jakarta : Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Aulia, Emil W., Berjuta-juta Dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Magee, Bryan., The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia,
diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, Yogjakarta : Kanisius,
2008.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
Rachmat, Muchjidin., dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Sirait, Ningrum Natasya., et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri
Hasil Tembakau di Sumatera Utara, Medan : Universitas Sumatera Utara,
2009.
Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009,
http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-
negara-rp1-5-triliun., diakses pada 30 Agustus 2010.
Gatra, “Tembakau Deli Manikam nan Nyaris Pudar”, Tanggal 22 Agustus 2007.
“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta
Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id
/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-
tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26
Mei 2010.
Junaidy. Ronny K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Baranag Kena
Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 40, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3630.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4917.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4866.