You are on page 1of 133

Ahmad fajar sholahuddin

2010
BUNDEL BIMBINGAN MENIKAH

... Jikalau
ikalau sikap menawarkan dilakukan dengan ketinggian
sopan-
sopan-santun, maka tidak menimbulkan akibat kecuali
kemaslahat
kemaslahatan
maslahatan..
an...
...

..Seorang
..Seorang laki-
laki-laki yang memiliki pengetahuan mendalam pasti
meninggikan penghormatan terhadap mujahadah saudaranya…
saudaranya….

“Tiga orang yang selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah


seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah
Ta’ala., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan
seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.”
(HR. Thabrani)
Bismillahirrohmanirrahim

Puji syukur ALHAMDULILLAH hanyalah milik ALLOH Ta’ala yang Maha Menciptakan, Yang Maha
Luas Ilmunya melebihi luasnya lautan nusantara, dan Yang Maha Menentukan. Sungguh tiada
ilmu yang tersampaikan, kecuali telah sampainya sepatah ayat Al-Quran ”Yauma alkmaltu
lakum diinakum...”, yang menunjukkan sempurnanya Diin Islam dan tersampainya ilmu kepada
umat Islam.

Sholawat serta salam hanyalah milik Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam sebagai ustawun
hasanah dan pembimbing akhlaq mulia berdasarkan Al-Quran. Sungguh, tiada yang turun
kepada beliau kecuali wahyu yang diwahyukan oleh Alloh.

”Balligu ’Annii (Muhammad) walau ayat..” kata ini yang mewakili saya untuk menyusun Bundel
Bimbingan Menikah ini. Bundel ini saya susun dari beberapa artikel yang berasal dari
www.almanhaj.or.id di bagian Bab tentang Munakahat (sungguh saya sangat berterima kasih,
jazakallahu khoiron katsiro kepada perilis artikel-artikel yang sangat bermanfaat). Saya hanya
bermaksud mengumpulkan materi ini...(tentunya prioritasnya sebagai referensi dan penunjang
saya pribadi sebelum menikah_pent) sekaligus (mudah-mudahan) bundel yang terangkum
dalam 1 buku ini lebih mudah dimengerti oleh para pembaca. Sekali lagi, kepada
www.almanhaj.or.id terima kasih telah menyuguhkan artikel yang sangat bermanfaat.

Harapan saya, mudah-mudahan bundel ini bisa dijadikan salah satu referensi (yang tentunya
masih mengacu ke alamat website di atas---tanpa mengurangi penjelasan) bagi yang akan-
sedang-sudah menikah sekaligus menjadi bimbingan dan pembelajaran kita semua.

Akhirnya..hanya kepadamulah kami memohon petunjuk dan Ridho-Mu. Sungguh tiada daya dan
upaya kecuali atas kehendak-Mu.

Pekanbaru, 15 Juli 2010

Ahmad Fajar Sholahuddin.

Bundel Bimbingan Menikah Page 2


DAFTAR ISI

4 KONSEP ISLAM TENTANG PERKAWINAN


7 PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA
12 UTAMAKAN MENIKAH
13 USIA IDEAL MENIKAH
14 SIAPAKAH ORANG-
ORANG-ORANG YANG KUFU’
KUFU’ (SMA DAN SEDERAJAT) ITU
16 ANAK PEREMPUAN JANGAN DIPAKSA ATAS PERNIKAHAN YANG TIDAK IA SUKA
17 SHALAT ISTIKHARAH
20 PERNIKAHAN DAN MASA DEPAN ANAK
21 WANITA-
WANITA-WANITA YANG DILARANG DINIKAHI
25 TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM:ISLAM: KHITBAH (PEMINANGAN)
28 MELIHAT PEREMPUAN YANG DILAMAR
29 BATASAN MELIHAT CALON ISTRI
30 TIDAK BOLEH PEREMPUAN BEHIAS DIHADAPAN PELAMARNYA
31 MAHAR BERLEBIH-
BERLEBIH-LEBIHAN
33 TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM: AQAD NIKAH
39 TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM: WALIMAH
43 BERLEBIH-
TABDZIR DAN BERLEBIH -LEBIHAN DALAM PESTA PERNIKAHAN
45 TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM: MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA
51 AL-
AL -‘AZL
53 DIHARAMKAN MENGGAULI ISTRI YANG SEDANG HAIDH
58 HAK SUAMI YANG HARUS DIPENUHI
DIPENUHI ISTRI
67 HAK ISTRI YANG HARUS DIPENUHI SUAMI
72 HUKUM DAN PERMASALAHN SEPUTAR PENIKAHAN
74 MENIKAHNYA GADIS REMAJA ITU LEBIH PENTING DARIPDA MELANJUTKAN STUDI
75 PANDANGAN HUKUM AGAMA TERHADAP PARA AYAH YANG ENGGAN MENIKAHKAN PUTRI PUTRI-PUTRINYA
-PUTRINY A KARENA
MEREKA INGIN TETAP MEMPEROLEH GAJI PUTRI PUTRI--PUTRINYA
76 PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARI SYARI’’AT ISLAM
80 NASEHAT BAGI WANITA YANG TERLAMBAT MENIKAH
81 AYAH MEMAKSA PUTRANYA MENIKAH
82 SESEORANG DILARANG MEMINANG PINANGAN SAUDARANYA
85 HUKUM MENYANDINGKAN KEDUA MEMPELAI DI HADAPAN KAUM PEREMPUAN
87 WANITA
WA NITA TIDAK BOLEH MENIKAHKAN DIRINYA SENDIRI
89 MENIKAH DENGAN NIAT TALAK
91 HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI ORANG KAFIR YANG TIDAK MEMILIKI KITAB
95 HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
99 PERNIKAHAN SEORANG MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB DI GEREJA
100 PERNIKAHAN SESAMA ORANG KAFIR:KAFIR: DAMPAK DARI SUAMI-
SUAMI-ISTRI ATAU SALAH SATUNYA MASUK ISLAM
ISLAM TERHADAP
STATUS PERNIKAHAN
104 DAMPAK NEGATIF MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
106 DAMPAK DARI SEORANG SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD TERHADAP STATUS PERNIKAHAN SEBELUM DAN SESUDAH SESUDAH
BERSETUBUH
109 NIKAH DI PENGADILAN INGGRIS YANG DISAKSIKAN SATU ORANG MUSLIM DAN SATU ORANG DARI AHLI KITAB
110 MUT’’AH
NIKAH MUT
113 SYARAT NIKAH DENGAN MENCERAIKAN ISTRI PERTAMA
115 SUAMI PERGI SELAMA DUA TAHUN
116 SUAMI PERGI MENINGGALKAN ISTRI
117 HUKUM ASALNYA ADALAH POLIGAMI
118 APAKAH POLIGAMI DIANJURKAN
121 POLIGAMI ITU SUNNAH
123 TIDAK ADA KONTRADIKSI DI DALAM AYAT POLI POLIGAMI
GAMI
125 MENEPIS KEKELIRUAN PA PANDANGAN
NDANGAN TERHADAP POLIGAMI
128 MENYELESAIKAN PERSELISIHAN ANTARA ISTRI
131 TIDAK ADA KEWAJIBAN BAGI SEORANG SUAMI UNTUK MENYAMARATAKAN DALAM HAL CINTA DAN HUBUNGAN
BADAN
134 BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK YATIM

Bundel Bimbingan Menikah Page 3


BUNDEL NIKAH

KONSEP ISLAM TENTANG PERKAWINAN

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

MUQADIMAH

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini
bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga
yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan
martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai
peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah yang
memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah
Ta'ala.

"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui". [Al-Baqarah : 30].

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah
(perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Allah
Ta'ala.

"Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". [An-Nisaa' :
21].

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya
secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran
menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta
memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris,
semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-
Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan rujukan ini kita akan
dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan
yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu
dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan
Dalam Perkawinan.

Bundel Bimbingan Menikah Page 4


PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah
Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.

Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan
gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan,
maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui". [Ar-Ruum : 30].

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya
sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang
Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding
dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam :

"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]

B. Islam Tidak Menyukai Membujang

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak
mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :

"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya
umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah
seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan
menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau keluar seraya bersabda :

"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling
takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku
juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golongannku". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup
membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan
gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan
insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari
semua tanggung jawab".

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu
yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam
pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi

Bundel Bimbingan Menikah Page 5


secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan
akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang
yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik
kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap
itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina
rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah
sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia
berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan
membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah,
dalam firman-Nya :

"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". [An-Nur : 32].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang
hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara
kehormatannya". [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160
dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu].

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama
hidup sendiri.

Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka
menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". [Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal.
20].

Bundel Bimbingan Menikah Page 6


PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena
itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan
gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu
pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum (30): 30]

A. Definisi Nikah

An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau
persetubuhan.

Adapun menurut syari’at, Ibnu Qudamah rahima-hullaah berkata, “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan.
Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian selagi tidak ada satu pun dalil yang
memalingkan darinya.” [1]

Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip kami bahwa pernikahan pada hakikatnya
berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada
masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).” [An-Nisaa' (4): 22] [2]

B. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya
sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang
Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding
dengan separuh agama.

Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

‘Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa ke-pada Allah dalam
memelihara yang separuhnya lagi." [3]

Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang shalihah, maka sungguh Allah telah
membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga
separuhnya lagi.” [4]

Bundel Bimbingan Menikah Page 7


C. Islam Tidak Menyukai Hidup Membujang

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang
tidak mau menikah. Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras.”

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya ummatku di hadapan
para Nabi pada hari Kiamat.” [5]

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi shal-lallaahu
‘alaihi wa sallam tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan
ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa
tanpa putus.” Shahabat yang lain berkata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain
berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya... dst” Ketika hal itu didengar
oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda.

"Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah
dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku pun
tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyu-kai Sunnahku, ia tidak termasuk
golonganku.” [6]

Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.
Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh
ummat. Barang-siapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum
mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” [7]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Menikahlah, karena sungguh aku akan membang-gakan jumlah kalian kepada ummat-ummat lainnya pada hari
Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.” [8]

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup
membujang. Sesungguhnya, hidup mem-bujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak
memiliki makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya
ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu
yang selalu bergelora hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu berada
dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati pun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang
terjadi secara terus menerus lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan
dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka sebenarnya tergolong orang yang paling
sengsara dalam hidup ini. Mereka adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan
bersifat biologis maupun spiritual. Bisa jadi mereka bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia
Allah ‘Azza wa Jalla.

Islam menolak sistem kerahiban (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan,
sikap itu berarti melawan Sunnah dan kodrat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya. Sikap

Bundel Bimbingan Menikah Page 8


enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rizki
telah diatur oleh Allah Ta’ala sejak manusia berada di alam rahim.

Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah ‘Azza wa Jalla, misalnya ia mengatakan: “Jika
saya hidup sendiri gaji saya cukup, akan tetapi kalau nanti punya isteri gaji saya tidak akan cukup!”

Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka
fakir niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan membantu dengan memberi rizki kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan
suatu pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [An-Nuur (24): 32]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah ‘Azza wa Jalla tersebut melalui sabda beliau.

"Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad
di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin
memelihara kehor-matannya.” [9]

Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang, serta tidak suka berlama-
lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi,
sungguh aku lebih suka menikah. Aku ingin pada malam-malam yang tersisa bersama seorang isteri yang tidak
berpisah dariku.” [10]

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab,
‘Belum.’ Beliau kembali berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak
isterinya.’” [11]

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan
kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah
kecuali kelemahan atau kejahatan (banyak-nya dosa)."[12] Thawus juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang
pemuda sampai ia menikah.” [13] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note

[1]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/1130).

[2]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/113). Lihat ‘Isyratun Nisaa' minal Aliif ilal Yaa (hal. 12) dan al-Jaami'
liahkaamin Nisaa' (III/7).

[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789). Syaikh al-Albani
rahimahullaah menghasankan hadits ini, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 625).

[4]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 976) dan al-Hakim dalam al-
Mustadrak (II/161) dan dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib
(II/404, no. 1916)

Bundel Bimbingan Menikah Page 9


[5]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/158, 245), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 4017,
Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dan Mawaariduzh Zham’aan (no. 1228), ath-Thabrani dalam Mu’jamul
Ausath (no. 5095), Sa’id bin Manshur dalam Sunannya (no. 490) dan al-Baihaqi (VII/81-82) dan adh-Dhiyaa' dalam
al-Ahaadiits al-Mukhtarah (no. 1888, 1889, 1890), dari Sha-habat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini ada
syawahid (penguat)nya dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2050),
an-Nasa-i (VI/65-66), al-Baihaqi (VII/81), al-Hakim (II/ 162) dan dishahihkan olehnya. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullaah. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1784).

[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-
i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.

[7]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846) dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2383)

[8]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/78) dari Shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini
memiliki beberapa syawahid (penguat). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1782).

Bundel Bimbingan Menikah Page 10


[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251, 437), an-Nasa'i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no.
2518), Ibnul Jarud (no. 979), Ibnu Hibban (no. 4030, at-Ta’liiqatul Hisaan no. 4029) dan al-Hakim (II/160, 161), dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

[10]. Lihat Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10382), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16144) dan
Majma’uz Zawaa'id (IV/251).

[11]. Sanadnya shahih: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 5069) dan al-Hakim (II/160).

[12]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10384), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/6, no. 16142), Siyar
A’lamin Nubala (V/48).

[13]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16143) dan Siyar A’lamin Nubala’ (V/47).

Bundel Bimbingan Menikah Page 11


UTAMAKAN MENIKAH

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada suatu kebiasaan yang sudah meyebar, yaitu adanya gadis
remaja atau orang tuanya menolak orang yang melamarnya, dengan alasan madih hendak menyelesaikan studinya di
SMU atau di Perguruan Tinggi, atau sampai karena untuk mengajar dalam beberapa tahun. Apa hukumnya ? Apa
nasihat Syaikh bagi orang-orang yang melakukannya, bahkan ada wanita yang sudah mencapai usia 30 tahun atau
lebih belum menikah

Jawaban.
Nasehat saya kepada semua pemuda dan pemudi agar segera menikah jika ada kemudahan, karena Nabi Shallallau
'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah,
karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang
tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya". [Muttafaq 'Alaih]

Sabda beliau juga.

"Artinya : Apabila seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu untuk melamar, maka
kawinkanlah ia ( dengan putrimu), jika tidak niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi ini".
[Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dengan sanad Hasan]

Sabda beliau lagi.

"Artinya : Kawinkanlah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku
akan menyaingi ummat-umat lain dengan jumlah kalian pada hari kiamat kelak".

Menikah juga banyak mengandung maslahat yang sebagiannya telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, seperti terpalingnya pandangan mata (dari pandangan yang tidak halal), menjaga kesucian kehormatan,
memperbanyak jumlah ummat Islam serta selamat dari kerusakan besar dan akibat buruk yang membinasakan.

Semoga Allah memberi taufiqNya kepada segenap kaum Muslimin menuju kemaslahatan urusan agama dan dunia
mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Dekat

[Fatwa Syaikh Bin Baz di dalam Majalah Al-Da'wah, edisi 117]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 12


USIA IDEAL MENIKAH

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Berapa usia ideal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki,
karena ada sebagian remaja putri yang menolak dinikahi oleh lelaki yang lebih tua darinya ? Dan demikian pula
banyak laki-laki yang tidak mau menikahi perempuan yang lebih tua daripada mereka. Kami memohon jawabannya.
Jazakumullahu khairan

Jawaban.
Saya berpesan kepada para remaja putri agar tidak menolak lelaki karena usianya yang lebih tua dari dia, seperti
lebih tua 10,20 atau 30 tahun. Sebab hal itu bukan alasan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menikahi
Aisyah Radhiyallahu 'anha, ketika beliau berusia 53 tahun, sedangkan Aisyah baru berusia 9 tahun. Jadi usia lebih
tua itu tidak berbahaya, maka tidak apa-apa perempuannya yang lebih tua dan tidak apa-apa pula kalau laki-lakinya
yang lebih tua.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menikahi Khadijah Radhiyallahu 'anha yang pada saat itu berumur 40
tahun, sedangkan Rasulullah masih berusia 25 tahun sebelum beliau menerima wahyu. Itu artinya Khadijah lebih
tua 15 tahun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian menikahi Aisyah Radhiyallahu 'anha sedang
umurnya baru enam tahun atau tujuh tahun dan beliau menggaulinya ketika dia berumur sembilan tahun sedang
beliau lima puluh tiga tahun.

Banyak sekali mereka yang berbicara di radio-radio atau di televisi menakut-nakuti orang karena kesenjangan usia
antara suami dan istri. Ini adalah keliru besar ! Mereka tidak boleh berbicara demikian ! Kewajiban setiap perempuan
adalah melihat dan memperhatikan laki-laki yang akan menikahinya, lalu jika dia seorang yang shalih dan cocok,
maka hendaknya ia menerima lamarannya, sekalipun lebih tua darinya.

Demikian pula bagi laki-laki, hendaknya lebih memperhatikan perempuan yang shalihah yang komit dalam beragama,
sekalipun lebih tua darinya selagi perempuan itu masih dalam batas usia remaja dan produktif. Walhasil, bahwa
masalah usia itu tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan tidak boleh dijadikan sebagai cela, selagi laki-laki atau
perempuan itu adalah sosok lelaki shalih dan sosok perempuan shalihah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita
semua.

[Fatawa Mar'ah, hal.54 oleh Syaikh Bin Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 13


SIAPAKAH ORANG-ORANG YANG KUFU' (SAMA DAN SEDERAJAT) ITU?

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah

Allah Ta’ala berfirman

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari se-orang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." [Al-Hujuraat : 13]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat mulia ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama yang
berpendapat bahwa kafa'ah (sama dan sederajat) di dalam nikah itu tidak dipersyaratkan dan tidak ada yang
dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.’” [1]. Disampaikan secara ringkas.

Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab di dalam kitab Shahiihnya, bab Al-Akiiffaa’ fid Diin dan firman-Nya:

"Artinya : Dan Dia (pula) Yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan
kerabat dan ada-lah Rabbmu Maha Kuasa." [Al-Furqaan : 54]

Abul Yaman memberitahu kami, ia berkata, Syu’aib memberitahu kami dari Az-Zuhri, dia berkata, ‘Urwah bin az-
Zubair Radhiyallahu anhu memberitahu kami dari ‘Aisyah Radhyallahu anha bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin
Rabi’ah bin ‘Abdi Syams dan dia termasuk yang mati syahid di perang Badar ketika berperang bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Salim sebagai anak angkat dan menikahkannya dengan anak perempuan
saudaranya, yaitu Hindun binti Al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah dan Salim adalah mantan budak dari seorang wanita
kaum Anshar sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid sebagai anak angkat. Dan orang yang
mengangkat seorang anak pada masa Jahiliyyah, orang-orang memanggilnya dengan tambahan nama orang yang
mengangkatnya dan diberikan warisan dari harta orang tua angkatnya, sehingga Allah menurunkan ayat:

“Artinya : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih
adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan mantan-mantan budakmu.” [Al-Ahzaab : 5)]

Kemudian mereka menisbatkan kepada ayah-ayah mereka. Dan orang yang tidak mengetahui ayahnya, maka ia
menisbatkan diri kepada mantan budak dan saudara seagama. Lalu Sahlah binti Suhail bin ‘Amr Al-Qurasyi Al-‘Amiri -
ia adalah isteri Abu Hudzaifah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami pernah melihat Salim seorang anak sementara Allah telah menurunkan padanya apa yang telah
engkau ketahui.” Lalu dia menyebutkan hadits.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Abu Hindun pernah membekam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
ubun-ubun, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hindun dan nikahkanlah ia kepada (keturunan) Bani Bayadhah…”
[Hadits Riwayat. Abu Dawud dengan sanad yang hasan]

Al-Khaththabi di dalam kitab Ma’aalimus Sunan (XIII/177) mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat hujjah bagi
Malik dan orang yang berpegang pada pendapatnya bahwa kafa-ah itu pada agama saja dan tidak yang lainnya. Abu
Hindun adalah budak yang dimerdekakan Bani Bayadhah dan bukan dari kalangan mereka.”

Bundel Bimbingan Menikah Page 14


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang
paling mulia?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling bertakwa di antara mereka.’” [Muttafaq ‘alaih]

Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada seseorang berjalan melewati Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, ‘Bagaimana pendapatmu mengenai
orang ini?’ Dia menjawab, ‘Dia dari kalangan orang-orang terhormat (kaya). Orang ini, demi Allah, sangat pantas jika
dia melamar, maka tidak akan ditolak dan jika minta syafa’at, maka akan diberi.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diam. Kemudian ada orang lain lagi yang lewat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, ‘Lalu bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, orang ini adalah
termasuk golongan kaum muslimin yang fakir. Orang ini jika melamar, maka tidak akan diterima dan jika (ingin)
menjadi suami, maka tidak akan diberi serta jika berbicara, maka tidak di-dengarkan ucapannya.’ Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada seisi bumi seperti orang itu (yang kaya).’” [Hadits Riwyat Al-
Bukhari]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis
Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Bundel Bimbingan Menikah Page 15


ANAK PEREMPUAN JANGAN DIPAKSA ATAS PERNIKAHAN YANG TIDAK IA SUKA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi seorang ayah memaksa putrinya menikah dengan
lelaki yang tidak ia suka ?

Jawaban.
Tidak ada hak bagi seorang ayah ataupun yang lain memaksa putrinya menikah dengan lelaki yang tidak disukainya,
melainkan harus berdasarkan izin darinya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihin wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pendapat, dan wanita gadis tidak boleh dinikahkan
sebelum dimintai izin darinya. Para sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, bagaimana izinnya ?'Beliau menjawab : 'Ia
diam". [Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Di dalam redaksi lain beliau bersabda : "Dan izinnya adalah diamnya"

Redaksi lain menyebutkan.


"Artinya : Dan perempuan gadis itu dimintai izin oleh ayahnya mengenai dirinya, dan izinnya adalah diamnya".

Adalah kewajiban seorang bapak meminta izin kepada putrinya apabila ia telah berusia sembilan tahun ke atas.
Demikian pula para wali tidak boleh menikahkan putri-putrinya kecuali dengan izin dari mereka. Inilah yang menjadi
kewajiban semua pihak; barangsiapa yang menikahkan putrinya tanpa seizin dari dia, maka nikahnya tidak sah,
sebab diantara syarat nikah adalah kesukaan (keridhaan) dari keduanya (laki-laki dan perempuan).
Maka apabila ia dinikahkan tanpa keridhaan darinya, namun dipaksa di bawah ancaman berat atau hukuman pisik,
maka nikahnya tidak sah; kecuali pemaksaan ayah terhadap putrinya yang berusia kurang dari sembilan tahun, maka
itu boleh, dengan alasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi Aisyah tanpa izin darinya yang pada saat
itu masih berumur kurang dari sembilan tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim.

Adapun jika ia telah berusia sembilan tahun ke atas maka tidak boleh dinikahkan kecuali berdasarkan izin dari dia,
sekalipun yang akan menikahkannya itu adalah bapaknya sendiri. Dan kepada pihak laki-laki (calon suami) jika
mengetahui bahwa perempuan yang ia inginkan tidak menyukai dirinya, maka hendaknya jangan maju terus untuk
menikahinya sekalipun bapaknya bersikap penuh toleran kepadanya.

Hendaklah selalu bertaqwa kepada Allah dan tidak maju untuk menikahi perempuan yang tidak menyukai dirinya,
sekalipun mengaku bahwa bapaknya tidak melakukan pemaksaan. Ia wajib waspada terhadap hal-hal yang
diharamkan oleh Allah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar meminta izin
(terlebih dahulu kepada si perempuan yang dimaksud). Dan kami berpesan kepada perempuan yang dilamar agar
selalu bertaqwa kepada Allah dan menyetujui keinginan bapaknya untuk menikahkannya jika lelaki yang melamarnya
adalah lelaki ta'at beragama dan baik akhlaknya, karena pernikahan itu menyimpan banyak kebaikan dan maslahat
yang sangat besar, sedangkan hidup membujang itu banyak mengandung bahaya. Maka yang kami pesankan
kepada semua remaja putri adalah menyetujui lamaran lelaki yang sepadan (dengan dirinya) dan tidak membuat
alasan 'masih ingin belajar' atau 'ingin mengajar' atau alasan-alasan lainnya.
[Ibnu Baz, Fatawa Mar'ah, hal 55-56

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 16


SHALAT ISTIKHARAH

Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka
memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi
apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat
peruntungan.

Shalat ini adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita ; ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-
Qur’an. Beliau bersabda.

َ‫ك‬kُ fِ}Tَ Vْ َ‫ أ‬XYZِ‫^ إ‬ ]`ُ a] b‫ ا‬d ْ e ُ fَ bِ ^


] gُ ِhi َ jِkl َ bْ ‫ ا‬kِ fْ m
َ n ْ o ِ ِnfْ Tَ pَ ‫ َر ْآ‬sْ ‫ َآ‬kْ fَ aْ tَ kِ o
ْ َubْ vِw ^
ْ ‫ ُآ‬xُy َ َ‫^ أ‬ ]‫ه‬ َ ‫إِذَا‬
^
ُ aَ ‚ْ َ‫ أ‬vَb‫^ َو‬ُ aَ pْ €َ‫ِ ُر َو‬xƒْ َ‫ أ‬vَb‫ِ ُر َو‬xeْ €َ َ~Z]ِ„tَ ^ ِ fِ…pَ bْ ‫~َ ا‬aِ i ْ tَ n ْ oِ َ~bُ َuV ْ َ‫ َرِ€~َ َوأ‬x ْeُ wِ َ‫ِ ُرك‬xe ْ Tَ V
ْ َ‫~َ َوأ‬ ِ aْ pِ wِ
XِT† َ fِpo َ ‫ َو‬Xِ‡jِ‫ د‬Xِt Xِb kٌ fْ Š َ kَ o ْ َubْ ‫ه‹َا ا‬ َ ]‫^ أَن‬ ُ aَ pْ €َ َ‡ْ ‫ن ُآ‬ ْ ِ‫^ إ‬ ]` ُ a] b‫ُبِ ا‬fُ bْ ‫م ا‬ ُ v]a‚ َ َZْ َ‫َوأ‬
^
ُ aَ pْ €َ َ‡ْ ‫ن ُآ‬ ْ ِ‫“ِ َوإ‬fِt Xِb ‫ك‬ ْ ‫ ِر‬vَw ^ ] gُ Xِb ™ُ kْ ’ Y fَ tَ ِ“aِ ” ِ •َ‫ِي و‬ko ْ َ‫ِ أ‬d” ِ vَ‚ Xِt َ‫ل‬vَƒ ‫ِي أَ ْو‬ko ْ َ‫ِ أ‬h˜َ ƒِ vَ‚‫َو‬
ِ“aِ ”
ِ •َ‫ِي و‬ko ْ َ‫ِ أ‬d” ِ vَ‚ Xِt َ‫ل‬vَƒ ‫ِي أَ ْو‬ko ْ َ‫ أ‬h
ِ ˜َ ƒِ vَ‚‫ َو‬XِT† َ fِpo َ ‫ َو‬Xِ‡jِ‫ د‬Xِt Xِb kš › َ kَ o ْ َubْ ‫ه‹َا ا‬َ ]‫أَن‬
XY’ َ jُ ‫لَ َو‬vَƒ ِ“wِ Xِ‡ž ِ ‫^ أَ ْر‬ ] gُ َ‫ن‬vَ‫œ آ‬ ُ fْ y َ kَ fْ } َ bْ ‫ ا‬Xِb ‫ ْر‬x ُ ƒْ ‫“ وَا‬
ُ ‡ْ ‚
َ Xِ‡tْ kِ  ْ ‫ وَا‬XY‡‚ َ “ ُ tْ kِ 
ْ vَt
“َT” َ vَy
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan
shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu
yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau
mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui
bahwa urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama,
kehidupan, dan akhir urusanku” –atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka
tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan
jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau
mengucapkan: “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan
aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang
yang ridha dengan ketetapan tersebut), Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari [1].

Dapat saya katakan, di dalam hadits tersebut terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik, yaitu.

Pertama : Di dalam hadits ini, shalat istikharah disyariatkan. Dan di dalamnya juga, shalat istikharah terkesan wajib.
[2]

Kedua ; Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyariatkan dalam segala urusan, baik
urusan itu besar maupun kecil, penting maupun tidak

Bundel Bimbingan Menikah Page 17


Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : ”Shalat istikharah itu disunnatkan dalam segala urusan, sebagaimana
yang secara jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini [3].

Juga perlu saya katakan, bahwa mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta
menunaikan semua yang disunatkan dan meninggalkan yang makruh tidak perlu shalat istikharah

Memang benar, shalat istikharah ini mencakup yang wajib dan yang sunnat yang harus dipilih serta hal-hal yang
waktunya cukup luas. [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil.
Berapa banyak masalah kecil menjadi sumber masalah besar?” [5]

Ketiga : Di dalamnya juga terdapat pengertian bahwa shalat istikharah itu dua rakaat di luar shalat wajib

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :”Yang tampak bahwa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua
rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyatul masjid, dan shalat-shalat sunnat lainnya. [6]

Perlu saya katakan, maksudnya –wallahu a’lam- jika ada keinginan untuk melakukan suatu hal, maka hendaklah
segera mengerjakan shalat istikharah ini. Dan menurut lahiriyah ungkapan Imam An-Nawawi rahimahullah, sama
saja shalat itu diniati dengan niatkan istikharah maupun tidak. Dan itu juga yang tampak pada lahiriyah hadits.

Al-Iraqi mengemukakan : jika keinginan melakukan sesuai itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnat rawatib
atau yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat dengan tidak berniat untuk beristikharah, kemudian setelah shalat
muncul keinginan untuk memanjatkan do’a istikharah, maka secara lahir, hal tersebut sudah mencukupi. [7]

Keempat : Di dalamnya disebutkan : “Istikharah itu tidak bisa dilakukan pada saat ragu-argu, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Jika salah seorang di antara kalian mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan, karena semua do’a
menunjukkan kepada hal tersebut”.

Dan jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, maka hendaklah dia memilih salah satu dari kedua hal
tersebut dan memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut. dan setelah istikharah, dia biarkan semua
berjalan apa adanya. Jika baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah
kepadanya dalam hal tersebut. Dan jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta
memudahkan kepada yang lebih baik dengan seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.

Kelima : Selain itu, di dalamnya juga terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau beberapa ayat
tertentu pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah. [8]

Keenam : Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa pemilihan itu terlihat dengan dimudahkannya urusan itu
dan diberikannya berkah padanya. Dan jika tidak demikian, maka orang yang beristikharah itu akan dipalingkan
darinya dan diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan dimana pun kabaikan itu berada.

Ketujuh : Selain itu, jika seorang muslim mengerjakan shalat istikharah, maka akan terlihat apa yang dia inginkan,
baik dadanya lapang atau tidak. [9]

Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka
hendaklah setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena
padanya kebaikan itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits
tersebut tidak ada syarat adanya kesenangan diri’ [10]

Kedelapan : Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bundel Bimbingan Menikah Page 18


“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan
shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..”

Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam. [11]

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-
Syafi’i]
__________

Foote Note

[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat yang di antaranya adalah di dalam Kitaabut
Tahajjud, bab Maa Jaa-a fi Tathawwu Matsna Matsna (no 1162). Dan lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/250-251)
[2]. Nailul Authaar (III/88) dan juga kitab, Tuhfatudz Dzaakiriin (hal. 134)
[3]. Al-Adzkaar (III/355 –dengan syarah Ibnu Allan)
[4]. Fathul Baari (XI/184)
[5]. Idem
[6]. Al-Adzkaar (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan)

[7]. Beliau nukil dalam kitab Nailul Authar (III/88). Namun, pendapat tersebut ditentang oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di
dalam kitab, Fathul Bari (XI/185), di mana dia mengatakan, ‘Dapat dikatakan, jika dia berniat mengerjakan shalat
tersebut dan shalat istikharah secara bersamaan, maka hal tersebut dibolehkan. Berbeda jika dia tidak berniat
sebelumnya dan terpisah dari shalat tahiyatul masjid misalnya. Sebab, yang dimaksudkan dengan shalat istikharah di
sini adalah pemanfaatan kesempatan untuk berdo’a. Dan yang dimaksud dengan shalat istikharah adalah
dikerjakannya shalat yang disertai dengan bacaan do’a setelahnya atau pada saat shalat itu dikerjakan. Dan terlalu
jauh untuk dipenuhi bagi orang yang mengajukan permintaan setelah shalat. Karena lahiriyah hadits tersebut,
hendaknya shalat dan do’a itu dilakukan setelah adanya keinginan. Dapat saya katakan, bahwa lahiriyah khabar ini
tidak terdapat pensyaratan tentang penetapan dua rakaat. Yang jelas, kedua rakaat itu bukan shalat fardhu.
Jika seorang muslim menginginkan sesuatu, lalu dia mengerjakan dua rakaat shalat rawatib Zhuhur misalnya, lalu
setelahnya dia membaca do’a istilkharah, maka telah tercapai apa yang dikerjakannya itu, dan itu lahiriyah yang
tampak, sebagaimana yang telah dikupas oleh Imam An-Nawawi dan Al-Iraqi terdahulu. Wallahu ‘alam.

[8]. Di dalam kitab Al-Adzkaar, (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan), Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa di dalam
kedua rakaat tersebut dibaca surat Al-Kaafiruun dan surat Al-Ikhlas.

Al-Iraqi mengatakan : “Saya tidak mendapatkan satu pun dari beberapa jalan hadits ini tentang penetapan bacaan
dalam kedua rakaat shalat istikharah, tetapi apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi sudah tepat ..’ Syarh Al-
Adzkaar, Ibnu Allan(III/345). Dapat saya katakan, ketetapan tersebut tidak disebutkan pada pensyariatan dan
penetapan. Wabillahit taufiq

[9]. Hal ini jelas berbeda dengan Imam An-Nawawi saat dia mengatakan :”Dan jika dia mengerjakan shalat
istikharah, maka setelahnya, dadanya akan terbuka lebar untuknya”. Al-Adzkaar (III/355-356 –dengan syarah Ibnu
Allan-). Dan dia telah bersandar pada hadits dhaif jiddan dalam hal tersebut. Fathul Baari (XI/187).
Dan Al-Izz bin Abdis Salam telah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh An-
Nawawi, bahwa orang yang beristikharah itu akan berjalan kepada apa yang dikehendaki, baik dirinya terbuka untuk
itu atau tidak. Al-Iraqi menarjih fatwa tersebut dan menolak pendapat Imam An-Nawawi. Dan dia disetujui oleh Ibnu
Hajar. Syarh Al-Adzkaar li Ibni Allan III/357.

[10]. Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah, At-Taaj Ibnus Subki (IX/206)

Bundel Bimbingan Menikah Page 19


PERNIKAHAN DAN MASA DEPAN ANAK

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang lelaki masih ada hubungan kerabat dengan saya datang
melamar saya, tetapi saya mendengar bahwa menikah dengan orang jauh yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan lebih baik. Bagaimana pendapat syaikh dalam masalah ini ?.

Jawaban.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hubungan kekerabatan mempengaruhi dalam bentuk ciptaan dan karakter,
oleh sebab itu tatkala seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya :

"Wahai Rasulullah, istri saya melahirkan anak berkulit hitam padahal kedua orang tuanya berkulit putih", maka beliau
menjawab : "Apakah kamu mempunyai onta ?, Ia menjawab : "Ya". Beliau bersabda : "Apa saja warnanya". Ia
berkata : "Ada yang merah". Beliau bersabda : "Apakah ada yang berwarna abu-abu ?". Ia berkata : "Ya". Beliau
bersabda : "Dari manakah demikian itu ?" Ia berkata : "Mungkin itu pengaruh keturunan". Maka Rasulullah bersabda
: "Anakmu itu mungkin juga karena pengaruh keturunan".

Hadits diatas menunjukkan bahwa keturunan memiliki pengaruh dalam pernikahan, tetapi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Wanita dinikahi empat ; hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Dan pilihlah karena agamanya,
jika tidak, maka kamu akan menemukan kecelakaan".

Yang menjadi ukuran utama dalam memilih wanita adalah agama, semakin bagus agamanya, maka semakin berkah
untuk dinikahi baik ada hubungan kerabat atau orang lain, karena agama akan membuat wanita bertanggung jawab
dalam menjaga rumah, harta dan mendidik anak serta melindungi pandangannya dari yang diharamkan Allah

[Fatawa Al-Mar'ah, hal.57]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun
Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 20


WANITA-WANITA YANG DILARANG DINIKAHI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-lamanya, dan wanita
yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada tujuh orang karena hubungan nasab,
yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas

[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah

[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah

[4]. Anak wanita istri (anak tiri)

[5]. Anak wanita saudara

[6]. Bibi dari garis ayah

[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah.

"Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan kepada sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas

[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.

[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas

[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri kalian".[An-
Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri, bibinya dari garis
ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita pezina yang sudah bertaubat,
wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan
ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak
boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]

Bundel Bimbingan Menikah Page 21


Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah,
nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab,
"Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam
kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu
tidak diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu
Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia bukan anak tiriku
yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku
dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku
putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian".

Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya,
"Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja
aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

MAKNA SECARA UMUM

Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah salah seorang Ummahatul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Dia
mendapatkan kedudukan yang terpandang dan merasakan kebahagiaan atas pernikahannya dengan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya dia merasakan hal itu. Lalu dia meminta agar beliau menikahi
saudarinya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merasa ta'ajub, karena bagaimana mungkin dia mentolerir suaminya menikah
lagi dengan wanita lain yang akan menjadi madunya, karena wanita memiliki kecemburuan yang besar dalam hal ini.
Maka beliau bertanya dengan rasa heran, "Apakah engkau menyukai hal itu?"

Dia menjawab, "Ya, aku menyukainya". Kemudian dia menjelaskan sebab kesukaannya sekiranya beliau mau
menikahi saudarinya, bahwa harus ada wanita lain yang bersekutu dengannya dalam kebaikan dan dia tidak ingin
kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Maka apa salahnya jika yang bersekutu dalam kebaikan ini adalah saudarinya
sendiri.

Seakan-akan dia tidak mengetahui pengharaman menikahi dua bersaudara. Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam memberitahunya, bahwa saudarinya itu tidak boleh beliau nikahi. Lalu Ummu Habibah memberitahukan
kepada beliau, bahwa dia mendengar kabar bahwa beliau akan menikahi putri Abu Salamah.

Lagi-lagi beliau bertanya, "Apakah yang engkau maksudkan putri Ummu Salamah?"

Ummu Habibah menjawab, "Ya".

Maka beliau menjelaskan kebohongan berita itu, "Sesungguhnya putri Ummu Salamah tidak halal bagiku karena dua
sebab.

Pertama : Karena dia anak tiriku yang kuasuh di rumahku, karena dia putri istriku.

Kedua : Karena dia putri saudaraku dari sesusuan, karena aku dan ayahnya, Abu Salamah pernah menyusu kepada
Tsuwaibah, yaitu mantan budak Abu Lahab. Berarti aku juga merupakan pamannya.

Karena itu janganlah engkau menawarkan putri-putri kalian dan saudari-saudari kalian kepadaku. Aku lebih tahu dan
lebih berhak daripada kalian untuk mengatur urusanku semacam ini".

Bundel Bimbingan Menikah Page 22


KESIMPULAN HADITS

[1]. Pengharaman menikahi saudari istri, dan hal itu tidak diperbolehkan

[2]. Pengharaman menikahi anak tiri, yaitu putri istri yang sudah dicampuri.

[3]. Penyebutan rumah ini, di sini bukan merupakan sasaran, tapi penyebutan maksud penghindaran.

[4]. Larangan menikahi putri saudara sesusuan, karena diharamkan dari sesusuan seperti yang diharamkan dari
nasab

[5]. Seorang mufti harus menyampaikan rincian fatwa jika ditanya tentang suatu masalah yang hukumnya berbeda-
beda, dengan perbedaan semua sisinya.

[6]. Mufti harus mengarahkan penanya dengan penjelasan apa yang harus dipaparkan dan yang dapat diterima,
apalagi terhadap orang yang memang harus dia arahkan dan dia bimbing, seperti anak dan istri.

[7]. Menurut zhahirnya, Ummu Habibah memahami pembolehan saudari istri bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, karena hal itu termasuk kekhususan bagi beliau. Yang demikian itu karena tidak ada qiyas antara saudari istri
dan anak tiri. Tapi ketika dia mendengar beliau akan menikahi anak tirinya, padahl hal itu diharamkan berdasarkan
ayat yang mengharamkan penyatuan dua bersaudara, maka dia mengira adanya pengkhususan dari keumuman ini.

"Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak
boleh menikahi wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan tidak pula dari garis ibu".

MAKNA SECARA UMUM

Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kemaslahatan,
memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di antaranya, ia menyuruh
kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan, permusuhan dan kebencian

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika beberapa wanita
berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka, yang
pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi
permusuhan hubungan diantara kerabat.

Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-laki, putri
saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di antara keduanya diberi anak
laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya menurut perhitungan nasab.

Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".
Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi rinciannya, karena toh maknanya
sudah jelas dan tidak lagi umum.

FAIDAH HADITS

Menikahi wanita bersaudara, wanita dengan bibinya dari pihak ayah, wanita dengan bibinya dari pihak ibu, adalah
diharamkan, yang menurut pernyataan Ibnul Mundzir, "Saya tidak melihat perbedaan pendapat hingga saat ini
tentang masalah tersebut. Para ulama sudah menyepakatinya". Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Al-Qurthuby dan An-
Nawawy menukil ijma' tentang masalah ini, menurut Ibnu Daqiq Al-Id, itulah yang disimpulkan dari As-Sunnah. Kalau
pernyataan Al-Kitab menetapkan pembolehan, yang didasarkan kepada firman Allah. "Dan, dihalalkan bagi kalian
selain yang demikian", hanya saja para imam di seluruh wilayah mengkhususkan keumuman dalam ayat di atas
dengan hadits ini. Ini merupakan dalil diperbolehkannya mengkhususkan keumuman Al-Kitab dengan khabar ahad.

Ini merupakan pendapat empat imam.

Bundel Bimbingan Menikah Page 23


Menurut Ash-Shan'any, yang dimaksudkan khabar ahad di sini bukan pengabaran satu orang, tapi pengabaran selain
mutawatir. Menurut Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan tiga belas sahabat. Ini
merupakan bantahan terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah.

Faidah lain, menikahi wanita Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat Al-Maidah. Ini merupakan pendapat jumhur
salaf dan khalaf, empat imam dan lain-lainnya. Boleh jadi ada yang berkata, Allah mensifati mereka (para Ahli Kitab)
dengan syirik, dalam firmanNya, "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahibnya sebagai tandingan selain Allah".
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut : Dalam dasar agama Ahli Kitab tidak ada syirik. Kalaupun mereka disifati
dengan syirik, karena syirik yang mereka ciptakan. Dasar agama mereka adalah mengikuti kitab-kitab yang
diturunkan, yang membawa tauhid dan bukan syirik. Ini merupakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim,
Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah

Bundel Bimbingan Menikah Page 24


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah
yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)

Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena
dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh
saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk
menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya:

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka
tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang
bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan,
yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua
tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang

Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami
sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang
akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak
kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]

Bundel Bimbingan Menikah Page 25


Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh
suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di
Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia
berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata,
‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-
Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar
diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan
puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala
engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar
berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui
bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

2. Shalat Istikharah

Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang
meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk
melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan
kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat
Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya
melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan
kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari
anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui
sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau
mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam
agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di
dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan
tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘...di dunia atau
akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan
untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid
berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah
mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku
meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” [11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat
wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:

1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 26


2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat
malam.

3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk
memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.

4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.

5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006.

__________

Foote Note

[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari
Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).

[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210)
oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah
al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).

[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
1022).

[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i
(no. 3047).

[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216)
oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul
Mun’im Salim.

[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i
(VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu
‘anhuma.

[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.

[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti
Jahsyi melalui ayat ini.

[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu
‘anhu.

[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa' (III/218-222

Bundel Bimbingan Menikah Page 27


MELIHAT PEREMPUAN YANG DILAMAR

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara faktor penyebab perceraian (thalak), wahai Syaikh yang
terhormat, adalah suami tidak melihat istrinya sebelum menikah dengannya, padahal agama kita, Dienul Islam
membolehkan hal itu kepada kita. Apa komentar Syaikh terhadap topic ini ?

Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa tidak melihat calon istri sebelum menikahinya kadang-kadang menjadi salah satu sebab
pemicu perceraian apabila ternyata suami menemukannya tidak seperti yang diberitakan kepadanya.

Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan bagi calon suami melihat perempuan (yang akan
dinikahinya) sebelum pernikahan terjadi, selama hal itu bisa dilakukan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.

"Artinya : Apabila seorang dari kalian meminang perempuan, maka jika memungkinkan melihat kepada apa yang
mendorongnya untuk menikahnya, maka lakukanlah, sebab yang demikian itu lebih bisa menjamin kelanggengan
hubungan di antara mereka berdua".

Hadits tersebut dinilai shahih oleh Al-Hakim yang bersumber dari hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu, Imam Ahmad, At-
Turmudzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari sumber Al-Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu 'anhu,
bahwasanya (ketika) ia meminang seorang perempuan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Lihatlah dia, karena yang demikian itu lebih bisa menjamin kelanggengan hubungan di antara kalian
berdua".

Imam Muslim meriwayatkan juga di dalam Shahih-nya hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
bahwa ada seorang lelaki menceritakan kepada Rasulullah Shallallalhu 'alaihi wa sallam bahwasanya ia telah
meminang seorang perempuan, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Apakah engkau
telah melihatnya".

Hadits-Hadits diatas dan hadits lain yang semakna dengannya, semua menunjukkan dibolehkan (bagi laki-laki)
melihat perempuan yang dipinangnya sebelum akad nikah terlanjur dilaksanakan, karena yang demikian itu lebih
menguatkan hubungan dan akan lebih baik akibatnya dikemudian hari.

Itu merupakan bagian dari keindahan Syari'at Islam yang datang dengan membawa segala apa yang menjadi
maslahat dan kebaikan bagi seluruh manusia dan kebahagiaan bagi masyarakat baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Maha Suci Allah yang telah mensyari'atkan dan menjelaskannya serta menjadikannya bagaikan bahtera Nabi
Nuh, yang siapa saja yang ikut mengendarainya pasti selamat dan siapa keluar darinya pasti binasa.

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq

Bundel Bimbingan Menikah Page 28


BATASAN MELIHAT CALON ISTRI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apabila seorang pemuda datang untuk meminang seorang putri
apakah ia wajib melihatnya ? Apakah juga boleh perempuan itu membuka kepalanya agar tampak lebih jelas
kecantikannya bagi pelamar ? Dengan hormat saya mohon penjelasannya.

Jawaban.
Tidak apa-apa, akan tetapi tidak wajib. Dan dianjurkan kalau ia melihat perempuan yang dilamar dan perempuan
itu juga melihatnya, karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada lelaki yang
melamar seorang perempuan agar melihatnya.

Yang demikian itu adalah lebih menumbuhkan rasa cinta kasih diantara keduanya. Jika perempuan itu membuka
muka dan kedua tanganya serta kepalanya maka tidaklah mengapa. Sebagian Ahli ilmu (Ulama) berpendapat :
Cukup muka dan kedua tangan saja. Pendapat yang shahih adalah tidak ada pelamar melihat kepala (perempuan
yang dilamar), muka, kedua tangan dan kedua kakinya, berdasarkan hadits di atas.

Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan secara berduaan, melainkan harus didampingi oleh ayah perempuan itu atau
saudaranya yang laki-laki atau lainnya. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jangan sampai seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, kecuali didampingi oleh mahramnya".
[Muttafaq 'alaihi]

Sabda beliau juga.

"Artinya : Tiada seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan melainkan yang ketiganya adalah syetan".
[Riwayat Imam At-Turmudzi dan Imam Ahmad dari hadits Ibnu Umar, dari hadits Jabir dan dari hadits 'Amir bin
Rabi'ah]

[Majalah Al-Buhuts Al-Ilmiyah, edisi 136 dan 137, Fatwa Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq

Bundel Bimbingan Menikah Page 29


TIDAK BOLEH BAGI PEREMPUAN BERHIAS DIHADAPAN PELAMARNYA

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh bagi perempuan yang dilamar tampil dihadapan
lelaki yang melamarnya dengan menggunakan celak, perhiasan dan parfum ? Apa pula hukum bingkisan ? Kami
memohon penjelasannya, semoga Allah membalas Syaikh yang mulia dengan kebaikan.

Jawaban
Sebelum akad nikah terselenggara, maka perempuan yang dilamar tetap merupakan perempuan asing bagi calon
suminya. Jadi, ia seperti perempuan-perempuan yang ada di pasar. Akan tetapi agama memberikan keringanan bagi
laki-laki yang melamarnya untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, karena hal itu
diperlukan; dan karena yang demikian itu lebih mempererat dan mengakrabkan hubungan keduanya kelak.
Perempuan tersebut tidak keluar menghadap kepadanya dengan mempercantik diri dengan pakaian ataupun dengan
make up, sebab ia masih berstatus asing bagi lelaki yang melamarnya. Kalau lelaki pelamar melihat calonnya dalam
dandanan seperti itu, lalu nanti ternyata berubah dari sesungguhnya, maka keadaannya akan menjadi lain, bahkan
bisa jadi keinginannya semula menjadi sirna.

Yang boleh dilihat oleh laki-laki pelamar pada perempuan yang dilamarnya adalah wajahnya, kedua kakinya,
kepalanya dan bagian lehernya dengan syarat (ketika melihatnya) tidak berdua-duan dan pembicaraan langsung
dengannya tidak boleh lama. Juga tidak boleh berhubungan langsung dengannya melalui telepon, sebab hal itu
merupakan fitnah yang diperdayakan syetan di dalam hati keduanya. Kemudian, jika akad nikah telah dilaksanakan,
maka ia boleh berbicara kepada perempuan itu, boleh berdua-duan dan boleh menggaulinya. Akan tetapi kami
nasehatkan agar tidak melakkan jima', sebab jika hal itu terjadi sebelum i'lanun nikah (diumumkan/dipublikasikan)
dan kemudian hamil di waktu dini bisa menyebabkan tuduhan buruk kepada perempuan itu ; dan begitu pula kalau
laki-laki itu meninggal sebelum i'lanun nikah, lalu ia hamil maka ia akan mendapatkan berbagai tuduhan.

Tentang pertanyaan ketiga, yaitu bingkisan, itu merupakan hadiah dari lelaki yang melamar untuk calon istri yang
dilamarnya, sebagai tanda bahwa laki-laki itu benar-benar ridha dan suka kepada calon pilihannya, maka hukumnya
boleh-boleh saja, karena pemberian hadiah seperti itu masih dilakukan oleh banyak orang sekalipun dengan nama
lain.

[Kitab Da'wah 5 oleh Ibnu Utsaimin jilid 2, hal 85-86]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 30


MAHAR BERLEBIH-LEBIHAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya melihat dan semua juga melihat bahwa kebanyakan orang saat
ini berlebih-lebihan di dalam meminta mahar dan mereka menuntut uang yang sangat banyak (kepada calon suami)
ketika akan mengawinkan putrinya, ditambah dengan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Apakah uang yang
diambil dengan cara seperti itu halal ataukah haram hukumnya ?

Jawaban
Yang diajarkan adalah meringankan mahar dan menyederhanakannya serta tidak melakukan persaingan, sebagai
pengamalan kita kepada banyak hadits yang berkaitan dengan masalah ini, untuk mempermudah pernikahan dan
untuk menjaga kesucian kehormatan muda-mudi.

Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka
tidak mempunyai hak dalam hal ini ; ini adalah hak perempuan (calon istri) semata, kecuali ayah. Ayah boleh
meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan putrinya dan tidak mengganggu
pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama. Allah Subhanahu wa
Ta'ala "Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An-Nur : 32]

berfirman.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah".[1]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menikahkan seorang shahabat dengan perempuan yang
menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda.

"Artinya : Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi". [Riwayat Bukhari]

Ketika shahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar "mengajarkan beberapa
surat Al-Qur'an kepada calon istri".

Mahar yang diberikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada istri-istrinya pun hanya bernilai 500 Dirham,
yang pada saat ini senilai 130 Real, sedangkan mahar putri-putri beliau hanya bernilai 400 Dirham. Dan Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tuladan yang baik".[Al-Ahzab : 21]

Manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan
terhadap kesucian kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin berkurang pulalah perbuatan keji (zina) dan
kemungkaran, dan jumlah ummat Islam makin bertambah banyak.

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin ketat perlombaan mempermahal mahar, maka semakin
berkuranglah perkawinan, maka semakin menjamurlah perbuatan zina serta pemuda dan pemudi akan tetap
membujang, kecuali orang dikehendaki Allah.

Maka nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin di mana saja mereka berada adalah agar mempermudah urusan
nikah dan saling tolong menolong dalam hal itu. Hindari, dan hindarilah perilaku meununtut mahar yang mahal,

Bundel Bimbingan Menikah Page 31


hindari pula sikap memaksakan diri di dalam pesta pernikahan. Cukuplah dengan pesta yang dibenarkan syari'at
yang tidak banyak membebani kedua mempelai.

Semoga Allah memerbaiki kondisi kaum muslimin semuanya dan memberi taufiq kepada mereka untuk tetap
berpegang teguh kepada Sunnah di dalam segala hal.

[Kitabud Da'wah, Al-Fatawa hal 166-168 dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Muthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_________

Foote Note

[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan redaksi " Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah". Dan oleh Imam
Muslim dengan lafazh yang serupa dan di shahihkan oleh Imam Hakim dengan lafaz tersebut diatas.

Bundel Bimbingan Menikah Page 32


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : AQAD NIKAH

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

2. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai

2. Izin dari wali

3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)

4. Mahar

5. Ijab Qabul

• Wali

Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan
wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian
saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah
Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah
(dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak
memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi
wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi
bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang
wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab
menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa
wali, maka nikahnya tidak sah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 33


Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari
Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:

"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali)
halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan
cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-
Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah
menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya.
Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku
katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu
engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali
kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali)
padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku
berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil
menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil
tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam
hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara
perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah
Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi
pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak.
Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan.
Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya
sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita
tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir
menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah
baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis,
melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...”
[9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan
dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya.
Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita
memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

Bundel Bimbingan Menikah Page 34


• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan

Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan
dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta
persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan
diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh
dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau
menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu
‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah
ia ingin membatalkannya). [12]

• Mahar

“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”
[An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan
menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun
yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk
meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan
mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah Nikah

Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun
Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung
kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk,
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.

Bundel Bimbingan Menikah Page 35


Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-
Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya
Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-
Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

__________

Foote Note

[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.

[2]. Fat-hul Baari (IX/187).

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad
(VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan
al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam
kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad
(IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi
(VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-
Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib
adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij
Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).

[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari
Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.

[7]. Fat-hul Baari (IX/187).

[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.

[9]. l-Muhalla (IX/451).

[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad
Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.

Bundel Bimbingan Menikah Page 36


[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi
(no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).

[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-
Wajiiz (hal. 280-281).

[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim
(II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).

[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani
dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani
rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).

[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).

[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421
H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.

[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam
Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan
2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi
(no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih.

Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:

1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).

2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).

3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).

4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).

5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.

Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah
al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah
Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para
Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah
dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)

2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)

3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda:

Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)

Bundel Bimbingan Menikah Page 37


4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu
petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya
Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no.
925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit
lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya.
Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu:
“Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-
Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara
kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya...” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni
Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai
pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar
dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...”
(Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini
untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak
dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk
menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga
Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal.
81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420

Bundel Bimbingan Menikah Page 38


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : WALIMAH

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Walimah

Walimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya
mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang
dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk
makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka
ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan
orang-orang yang bertaqwa” [4]

Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka
makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang
mengundangnya)” [6]

Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk,
maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah,
sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan
saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang
tidak diundang oleh tuan rumah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 39


Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di
Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan
karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam."Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan
biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka”
[10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.”
[11]

Atau dengan lafazh:

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang
yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang
baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua
dalam kebaikan” [14]

Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.

Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.

2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang
dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai
pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

Bundel Bimbingan Menikah Page 40


“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya
seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia
nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian

Hormatilah kami, maka kami hormati kalian

Seandainya bukan karena emas merah

Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona

Seandainya bukan gandum berwarna coklat

Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

Foote Note

[1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi
‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan
Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-
Nasa'i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari
Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah
(no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.

[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad
(III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-
Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi
(IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini
miliknya, dari Abu Hurairah.

[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).

[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul
Baari IX/247).

Bundel Bimbingan Menikah Page 41


[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120,
121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).

[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.

[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari
‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.

[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-
Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain
ketika bertamu atau lainnya.

[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan
ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171)
cet. Darus Salam, th. 1423 H.

[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-
Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896),
Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).

[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.

[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-
Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

Bundel Bimbingan Menikah Page 42


TABDZIR DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM PESTA PERNIKAHAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Kewajiban Mensyukuri Segala Kenikmatan Dan Tidak Menggunakannya Bukan Pada Tempatnya
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga Allah mencurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para
sahabatnya. Amma ba'du
Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menguji hambaNya dengan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana terjadi
pada penduduk negeri ini (Saudi Arabia) pada awal abad 14 Hijriah. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.
"Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya
lah kami kembali". [Al-Baqarah : 155-156]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan cobaanNya berupa kenikmatan dan kelapangan rizki, sebagaimana realita
kita saat ini, untuk menguji iman dan kesyukuran mereka. Dia berfirman sebagai berikut.
"Artinya : Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan Allah di sisiNya ada pahala yang sangat
besar". [A-Taghabun : 15]

Kesudahan yang terpuji di dalam semua cobaan itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang
amal perbuatan mereka sejalan dengan apa yang disyari'atkan Allah, seperti sabar dan hanya mengharap pahala di
dalam kondisi fakir, bersyukur kepada Allah atas segala karuniaNya dan menggunakan harta pada penggunaan yang
tepat di waktu kaya dan sederhana di dalam membelanjakan harta kekayaan pada tempatnya, baik untuk keperluan
makan dan minum, dengan tidak pelit terhadap diri dan keluarga, dan tidak pula israf (berlebih-lebihan) di dalam
menghabiskan harta kekayaan pada sesuatu yang tidak ada perlunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang sikap buruk tersebut, seraya berfirman.
"Artinya : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (israf) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". [Al-Isra : 29]

Dan firmanNya.
"Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan". [An-Nisa : 5]

Pada ayat di atas Allah melarang menyerahkan harta kekayaan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
sebab mereka akan membelanjakannya bukan pada tempatnya. Maka hal itu berarti bahwa membelanjakan harta
kekayaan bukan pada tempatnya (yang syar'i) adalah merupakan perkara yang dilarang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.


"Artinya : Hai anak Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".[Al-
A'raf : 31]

"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syetan".[Al-Isra : 26-27]

Israf adalah membelanjakan harta kekayaan melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan tabdzir adalah
membelanjakannya bukan pada tempat yang layak.

Sungguh, banyak sekali manusia saat ini yang diberi cobaan, yaitu berlebih-lebihan di dalam hal makanan dan
minuman, terutama ketika mengadakan pesat-pesta dan resepsi pernikahan, mereka tidak puas dengan sekedar

Bundel Bimbingan Menikah Page 43


kebutuhan yang diperlukan, bahkan banyak sekali diantara mereka yang membuang makanan yang tersisa dari
makanan yang telah dimakan orang lain, dibuang di dalam tong sampah dan di jalan-jalan. Ini merupakan kufur
nikmat dan merupakan faktor penyebab hilangnya kenikmatan.

Orang yang berakal adalah orang yang mampu menimbang semua perkara dengan timbangan kebutuhan, maka
apabila ada sedikit kelebihan makanan dari yang dibutuhkan, ia segera mencari orang yang membutuhkannya, dan
jika ia tidak mendapatkannya, maka ia tempatkan sisa tersebut jauh dari tempat yang menghinakan, agar dimakan
oleh binatang melata atau siapa saja yang Allah kehendaki, dan supaya terhindar dari penghinaan. Maka wajib atas
setiap muslim berupaya semaksimal mungkin menghindari larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi orang
yang bijak di dalam segala tindakannya seraya mengharap keridhaan Allah, mensyukuri karuniaNya, agar tidak
meremehkan atau menggunakannya bukan pada tempat yang tepat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.


"Artinya : Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat
pedih".[Ibrahim : 7]

"Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan
jangan kamu mengingkari (ni'mat)-Ku". [Al-Baqarah : 152]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menginformasikan bahwa bersyukur (terima kasih) itu haruslah dengan amal, tidak
hanya sekedar dengan lisan.
Dia berfirman.
"Artinya : Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
yang bersyukur". [Saba : 13]

Jadi bersyukur kepada Allah itu dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Barangsiapa yang bersyukur kepadaNya
dalam bentuk ucapan dan amal perbuatan, niscaya Allah tambahkan kepadanya sebagian dari karuniaNya dan
memberinya kesudahan (nasib) yang baik, dan barangsiapa yang mengingkari ni'mat Allah dan tidak
menggunakannya pada yang benar, maka ia berada dalam posisi bahaya yang sangat besar, karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah mengancamnya dengan adzab yang sangat pedih.

Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membimbing kita serta mereka untuk bisa
bersyukur kepadaNya dan mempergunakan semua karunia dan ni'matNya untuk ketaatan kepadaNya dan kebaikan
bagi hamba-hambaNya. Hanya Dialah yang Maha Kuasa melakukan itu semua. Shalawat dan salam semoga tetap
dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para shabatnya.
[Ibnu Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah jilid 4, hal. 37]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 44


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB
BERSENGGAMA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai
berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu
bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya
dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.Ia berkata:

“Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di
antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr
bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr)
berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku
masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya
dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

Hadits dari Abu Waail. Ia berkata,

“Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang
gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah,
sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang
kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah
(berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah,
berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah
antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum
atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah
untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya
menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah

Bundel Bimbingan Menikah Page 45


shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah.
Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan
berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun
meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah
ia membaca do’a:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan
Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari
hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu
sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa
yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...”
[Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di
dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja

Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan
hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara
keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih
dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia
berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu
‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau
mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali
mandi saja?” Beliau menjawab.

Bundel Bimbingan Menikah Page 46


"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau
malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya.
Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan
beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti.
Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila
seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang
demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak
agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk
meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits
tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur :
30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda
kepada ‘Ali.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan
yang kedua bukan untukmu”. [14]

Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang
kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh,
Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi
dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
[16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi
isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas

Bundel Bimbingan Menikah Page 47


Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain
pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]

Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan
berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila
beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau
makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan
berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]

Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat
membahayakan kesehatan.

Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-
masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri
adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama
dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian
lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan
syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa
membeberkan masalah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara
yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya
kepada seseorang.

Allah Ta’ala berfirman:

Bundel Bimbingan Menikah Page 48


"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada
hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya,
kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

Foote Note

[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia
menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal.
92-93)

[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-
Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.

[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah
(hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no.
2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 144,
145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.

[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada
kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada
di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang,
maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))

[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-
Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan
‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).

[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195).
Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.

[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallaahu ‘anhu.

[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 149), dan yang
lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).

[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.

Bundel Bimbingan Menikah Page 49


[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi
(VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).

[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).

[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).

[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.

[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-
Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 130, 131), dari
Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 105).

[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah
(no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz
Zifaf (hal. 122)

[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).

[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad
(VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).

[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i
(I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).

[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.

[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69)
dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin
Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya,
“Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini
semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.

[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).

[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

Bundel Bimbingan Menikah Page 50


AL-‘AZL

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Mengenai masalah ‘Azl ada dua pendapat masyhur dari para ulama, yaitu:

[a]. Azl Itu Dibolehkan.

Ia boleh mengeluarkan air maninya di luar (kemaluan) isterinya.

Arti ‘azl ialah mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina. [1]

Mengenai hal ini terdapat sejumlah hadits, di antaranya:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, ia menuturkan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari juga dari Jabir, ia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur'an (masih) turun." [3]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Seseorang datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa
melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi
mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda

"Artinya : Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya, maka tidak mampu
menolaknya.’” [4]

Keempat, hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang
menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil." Maka, beliau menjawab:
"Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." Orang ini
pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengatakan: "Sahaya wanitaku
telah hamil." Beliau mengatakan: "Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah
ditentukan baginya." [5]

Kelima, Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu hal itu sampai (terdengar) kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang
kami." [6]

[b]. Yang Terbaik Adalah Tidak Melakukannya. [7]

Benar, dalam hadits-hadits yang terdahulu terkesan bahwa ‘azl dibolehkan, tetapi di sana terdapat hadits-hadits
lainnya yang menunjukkan bahwa tidak ber’azl adalah lebih baik, di antaranya:

Pertama, menyelisihi perintah beliau yang tegas agar memperbanyak anak dan keturunan, sebagaimana dalam
sabdanya.

"Artinya : Nikahilah wanita yang belas kasih dan subur (banyak anak), sebab aku akan membangga-banggakan
jumlah kalian pada umat-umat lainnya."[8]

Kedua, jika sekiranya wanita tidak mengizinkan hal itu, maka hal ini memberikan kerugian padanya, yaitu tidak
mendapatkan kenikmatan pada saat bersenggama.

Bundel Bimbingan Menikah Page 51


Ketiga, jika dia ber’azl karena takut mengandung, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sllam menyerupakan hal itu
sebagai (penguburan tesembunyi terhadap bayi). [9] Al-Baihaqi mengatakan: “Larangan ini bersifat tanzih
(makruh).” [10]

Tidak ada kontradiksi antara hadits ini dengan hadits Abu Sa’id terdahulu. Al-Hafizh telah mengkompromikan kedua
hadits tersebut dalam al-Fat'h dengan pernyataannya: “Para ulama telah mengkompromikan antara pendustaan
terhadap kaum Yahudi dalam pernyataan mereka: ‘Penguburan kecil bayi hidup-hidup’ dengan penetapan adanya
‘Penguburan tersembunyi terhadap bayi’ dalam hadits Judzamah. Yaitu, bahwa pernyataan mereka: ‘Penguburan
kecil bayi hidup-hidup’ mengandung arti bahwa itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara nyata, tetapi itu kecil
bila dibandingkan dengan mengubur bayi setelah dilahirkan dalam keadaan hidup. Ini tidak bertentangan dengan
sabda beliau:

"Artinya ; Sesungguhnya ‘azl adalah penguburan bayi secara tersembunyi."

Sebab, hadits ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak dalam hukum zhahir pada asalnya. Oleh karenanya tidak
berlaku ketetapan hukum atasnya, tetapi hanya dinilai sebagai penguburan hidup-hidup dari aspek kesamaan
keduanya dalam hal memutuskan kelahiran. [11]

Keempat, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Kami mendapatkan
tawanan wanita, lalu kami melakukan ‘azl, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka beliau menjawab

"Artinya : Apakah kalian benar-benar melakukannya? -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Tidak ada satu jiwa
pun yang ada hingga hari Kiamat melainkan dia tetap ada." [12]

Mengenai syarah hadits ini, al-Hafizh berkata dalam al-Fath: “Riwayat Mujahid berikut ini dalam kitab at-Tauhiid
disampaikan secara mu’allaq, tetapi disambungkan oleh Muslim dan selainnya, tentang disebutkannya ‘azl kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Mengapa salah seorang dari kalian melakukan
demikian?’ Beliau tidak menyatakan: ‘Jangan lakukan demikian.’ Ini mengisyaratkan bahwa beliau tidak melarang
secara tegas kepada mereka, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa yang terbaik adalah tidak melakukannya. Karena
‘azl dilakukan hanyalah karena khawatir memperoleh anak, padahal perbuatan ini tidak ada gunanya. Karena jika
Allah telah menciptakan anak, maka ‘azl tidak dapat menghalangi-nya. Adakalanya ‘air’ lebih dulu masuk dan tidak
disadari oleh orang yang melakukan ‘azl, sehingga terbentuklah segumpal darah lalu menjadi janin. [13]

Demikianlah, dan tiga madzhab bersepakat bahwa suami tidak boleh melakukan ‘azl terhadap isterinya (yang
merdeka, bukan hamba sahaya) kecuali dengan seizinnya. Sedangkan terhadap hamba sahaya boleh melakukan ‘azl
terhadapnya tanpa seizinnya. [14]

Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih, bahwa dia mengatakan: "Wanita merdeka diminta izinnya
untuk melakukan ‘azl dan hamba sahaya tidak diminta izinnya." [15]

Syaikh al-Albani mengomentari hadits-hadits dan pendapat-pendapat tersebut: “Menurut saya, isyarat ini hanyalah
dengan memperhatikan ‘azl yang dikenal pada waktu itu. Adapun pada masa sekarang telah ditemukan sejumlah
sarana yang dengannya seorang pria dapat mencegah air mani masuk ke dalam rahim isterinya secara pasti. Jadi,
ketika itu hadits ini dan yang semakna dengannya tidak mensinyalirnya, bahkan yang mensinyalirnya adalah apa
yang disebutkan dalam dua perkara terdahulu -yaitu hadits tentang penguburan tersembunyi dan menyelisihi
perintah agar memperbanyak keturunan-. Oleh karena itu, camkanlah!

Yang pasti, hal yang makruh menurut saya, -bila tidak diiringi kedua perkara tadi atau salah satunya- adalah hal lain,
yakni yang merupakan tujuan kaum kafir dalam melakukan ‘azl. Misalnya, takut miskin karena banyak anak, atau
berat untuk memberi nafkah dan mendidik mereka. Dalam keadaan demikian, maka yang makruh terangkat menjadi
haram, karena niat orang yang melakukan ‘azl bertemu dengan kaum kafir yang membunuh anak-anak mereka
karena takut miskin dan fakir. Lain halnya bila wanita (isteri) sedang sakit... [16]

Bundel Bimbingan Menikah Page 52


[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Foote Note

[1]. Fathul Baari (IX/305).


[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5207) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5209) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.

[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1136), Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 11110), dengan sanad yang
shahih.
[5]. HR. Muslim (no. 1439) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 89), kitab al-
Muqaddimah, Ahmad (no. 13936)
[6]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]. Ini pendapat al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/306).
[8]. HR. An-Nasa-i (no. 3227) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1846) kitab
an-Nikaah, Ahmad (no. 12202), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1811).
[9]. HR. Muslim (no. 1442) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2011) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26496).
[10]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/309).
[11]. Fat-hul Baari (IX/309).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5210) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1138) kitab an-
Nikaah, Ibnu Majah (no. 1926) kitab an-Nikaah.
[13]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/307).
[14]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).
[15]. Ibid.
[16]. Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 136).

Bundel Bimbingan Menikah Page 53


DIHARAMKAN MENGGAULI ISTERI YANG SEDANG HAIDH

Oleh

Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[a]. Diharamkan mencampuri isteri yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu
hendaklah kamu men-jauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [ Al-Baqarah : 222]

[b]. Adapun berdasarkan hadits

Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya kaum Yahudi, jika salah seorang isteri mereka
sedang haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Kemudian
para Sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah menurunkan ayat.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [Al-Baqarah: 222], hingga akhir ayat.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Lakukanlah segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya."

Ketika hal itu sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka mengatakan, "Orang ini tidak ingin membiarkan sedikit pun
dari perkara kita kecuali menyelisihi kita dalam perkara tersebut." Lalu datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin
Bisyr seraya mengatakan: "Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan demikian dan demikian; apakah kita tidak
sekalian saja mencampuri mereka (saat sedang haidh). Mendengar hal itu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berubah, sehingga kami menyangka bahwa beliau telah marah terhadap keduanya. Ketika kami keluar,
mereka berdua telah disambut hadiah susu yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
beliau mengikuti di belakang mereka dan memberi mereka minum, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau tidak
marah terhadap mereka. [1]

[c]. Suami boleh mencumbuinya saat sedang haidh selain kemaluannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Syaddad, ia mengatakan: “Aku mendengar Maimunah Radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Jika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mencumbui seseorang dari isterinya, maka beliau memerintahkannya
agar memakai kain [2] ketika sedang haidh"[3]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Boleh menikmati apa yang berada di atas kain dan apa yang ada
di bawahnya. Hanya saja wanita harus mengikatkan kain sarung, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha agar mengikatkan kain sarung lalu beliau menggumulinya pada saat ia
sedang haidh. Beliau memerintahkan untuk mengikatkan kain sarung agar apa yang tidak sukainya tidak terlihat
darinya, yaitu bekas darah. Jika suami berkeinginan untuk menikmatinya, misalnya di sekitar paha, maka tidak
mengapa.

Jika ditanyakan: ‘Bagaimana anda menjawab sabda Nabi , Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, ‘Apa yang
dihalalkan bagi laki-laki terhadap isterinya saat sedang haidh?’ Beliau menjawab

"Apa yang berada di atas kain sarung."[4]

Ini menunjukkan bahwa apa yang dinikmati hanyalah yang di atas kain sarung saja.

Jawaban atas hal ini ialah sebagai berikut:

(1). Ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhi.

Bundel Bimbingan Menikah Page 54


(2). Ini kemungkinan berlaku bagi orang yang tidak dapat menahan dirinya; karena sendainya dia dapat menikmati
sekitar kedua pahanya, misalnya, maka dia tidak tahan lalu menyetubuhi kemaluannya, baik karena kurangnya
(pengetahuan) agamanya atau karena syahwatnya yang kuat.

(3). Ini diberlakukan menurut keadaan yang berbeda-beda. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

"Lakukanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh."[5]

Ini berlaku bagi orang yang mampu menguasai dirinya. Sedangkan sabda beliau/

"Apa yang berada di atas kain." [6]

Ini untuk orang yang dikhawatirkan dirinya akan terjerumus ke dalam larangan. Dan dianjurkan bagi wanita untuk
mandi janabah. Jika seseorang mencumbui isterinya pada selain kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi kecuali jika
keluar sperma.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Sebagian ulama yang ahli mengenai al-Qur’an berkata mengenai firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.' Yakni pada tempat keluarnya haidh."

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam komentarnya atas Sunan Abi Dawud: "Ayat ini mengandung arti menjauhi
semua badan wanita, tetapi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan supaya menjauhi apa yang
di bawah kain sarung dan membolehkan apa yang di atasnya."

KAFFARAT (DENDA) ORANG YANG MENCAMPURI ISTERI YANG SEDANG HAIDH.

Ash-habus Sunan meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang orang yang mencampuri isterinya saat sedang haidh, maka beliau menjawab.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar."[8]

Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Ahmad di tanya tentang seseorang yang mendatangi isterinya saat sedang
haidh. Ia menjawab: ‘Betapa bagusnya hadits ‘Abdul Hamid mengenai hal itu.’ Aku bertanya: 'Apakah engkau
sependapat?' Ia menjawab: 'Ya, sesungguhnya itu hanyalah kaffarat (denda).' Aku bertanya: 'Satu dinar atau
setengah dinar?' Ia menjawab: 'Sesukanya."[9]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya
lalu menyetubuhi wanita yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan
setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya."[10]

KAPAN DIBOLEHKAN MENCAMPURINYA SETELAH BERSIH?

Jika wanita telah bersih dari haidhnya dan darah telah berhenti darinya, maka suami boleh mencampurinya setelah ia
mencuci tempat keluarnya darah (kemaluan) dari darah tersebut saja, atau berwudhu’ atau mandi. Mana saja yang
wanita melakukannya, maka suami boleh menggaulinya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Artinya : ... Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-
Baqarah : 222]. [11]

Adapun pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, maka dia mengatakan: “Jika ditanyakan: ‘Apakah boleh
menyetubuhinya?’”

Jawabannya: Tidak boleh. Dalil atas hal ini ialah firman Allah Subhanahu wa ta’ala

Bundel Bimbingan Menikah Page 55


"Artinya : ... Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu... " [Al-Baqarah : 222]

Apabila ditanyakan: “Jika seorang wanita menanggung janabah, (apakah) ia boleh dicampuri sebelum mandi.

Demikian pula wanita ini (yang telah bersih dari haidhnya tetapi belum mandi)?

Jawaban: Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Tetapi kita katakan bahwa yang
dimaksud dengan bersuci di sini ialah bersuci dari hadats, dan ini tidak terjadi kecuali dengan mandi. Dalil atas hal itu
ialah firman AllahSubhanahu wa Ta’ala

"Artinya :... Dan jika kamu junub, maka mandilah... " [Al-Maa-idah: 6]

Dan firman Allah.

"Artinya : ... Tetapi Dia hendak membersihkanmu... " [Al-Maa-idah: 6] [12]

Tetapi kita semua harus tahu bahwa suci itu mempunyai banyak arti, di antaranya.

[a]. Mencuci kemaluan dengan air; berdasarkan turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : .. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih.” [ At-Taubah: 108]

Diriwayatkan secara shahih, bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
penduduk Quba': “Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’aala telah menyanjung kalian dengan baik mengenai
bersuci dan mengenai masjid kalian ini. Lalu bagaimanakah cara bersuci yang biasa kalian lakukan?”

Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu. Hanya saja kami mempunyai
tetangga Yahudi, dan mereka biasa mencuci dubur mereka dari kotoran, maka kami pun mencuci sebagaimana
mereka melakukannya." Beliau bersabda: "Itulah yang dimaksud. Oleh karena itu, tetaplah melakukannya." [13]

[b]. Kata tathahhur (bersuci) dipakai dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa seorang wanita bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mencuci haidh. Lalu beliau pun mengajarinya bagaimana ia bersuci,
beliau bersabda: "Ambillah sepotong kain yang telah diberi minyak kesturi secukupnya lalu bersucilah dengannya." Ia
bertanya: "Bagaimana aku bersuci?" Beliau menjawab: "Bersucilah dengannya!" Ia bertanya: "Bagaimana?" Beliau
menjawab: "Subhaanallaah, bersucilah!" Lalu aku (‘Aisyah) menariknya kepadaku, dan mengatakan kepadanya,
"Usapkanlah pada bekas darah."[14]

Jika hal itu sudah diketahui, maka sudah diketahui pula bahwa bersuci itu mencakup lebih dari satu makna. Di antara
maknanya ialah mandi, beristinja dengan air dan mengelap bekas darah. Semua itu adalah bersuci (thahaarah).

Ibnu Hazm berkata: "Wudhu’ adalah bersuci, tanpa ada perbedaan pendapat, mencuci kemaluan dengan air juga
bersuci, dan mencuci semua tubuh adalah bersuci. Dengan cara apa pun wanita -yang mendapati dirinya telah bersih
dari haidhnya- bersuci, maka halal bagi suami -karena bersuci tersebut- untuk mencampurinya, wabillaahit
taufiiq."[15]

Tetapi yang lebih hati-hati adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yaitu dengan mandinya isteri terlebih dahulu
sebelum suaminya mencampurinya, wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Bundel Bimbingan Menikah Page 56


Foote Note

[1]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 2977) kitab Tafsiir al-Qur-aan, an-Nasa'i (no. 288) kitab
ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 258) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 644) kitab ath-Thahaarah wa
Sunanuhaa, Ahmad (no. 11945), ad-Darimi (no. 1053) kitab ath-Thahaarah.

[2]. Menurut penulis ‘Aunul Ma’buud (6/148): “Yang dimaksud dengan hal itu, bahwa wanita mengikatkan kain yang
dapat menutupi pusarnya dan apa yang di bawahnya hingga lututnya dan apa yang di bawahnya…, hadits ini
menjadi argumen (dari) kalangan (orang-orang) yang berpendapat haramnya bersentuhan pada kulit yang di bawah
kain.”

[3]. HR. Al-Bukhari (no. 303) kitab al-Haidh, Muslim (no. 294) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 287) kitab ath-
Thahaarah, Abu Dawud (no. 267) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 26279), ad-Darimi (no. 1046) kitab ath-
Thahaarah.

[4]. HR. Abu Dawud (no. 212) kitab ath-Thahaarah dari Hizam bin Hukaim, dari pamannya, at-Tirmidzi (no. 133)
kitab ath-Thahaarah, dan ia menilainya sebagai hadits hasan gharib, dan dalam Nailul Authaar (I/277), dalam hadits
tersebut terdapat dua perawi yang shaduq dan yang lainnya tsiqat.

[5]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh dari Anas.

[6]. Lihat takhrij sebelumnya.

[7]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni', Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (I/416-417).

[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 135) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 640) dan lihat al-Misykaah (no. 553), Shahiih Abi
Dawud (no. 256) dan al-Irwaa' (no. 197).

[9]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 123): "Abu Dawud mengatakannya dalam al-Masaa-il
(hal. 26)."

[10]. Aadaabuz Zifaaf (hal. 122).

[11]. Ini adalah pendapat Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 125-127), dan ini juga pendapat Ibnu Hazm
dalam al-Muhalla (X/81).

[12]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni' (I/418-419).

[13]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 128): "Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-
Dzahabi.

[14]. HR. Al-Bukhari (no. 314) kitab al-Haidh, Muslim (no. 332) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 251) kitab ath-
Thahaarah, Abu Dawud (no. 314) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 642) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa,
Ahmad (no. 25024), ad-Darimi (no. 773) kitab ath-Thahaarah.

[15]. Dinukil dari Aadaabuz Zifaaf (hal. 128).

Bundel Bimbingan Menikah Page 57


HAK SUAMI YANG HARUS DIPENUHI ISTERI

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya,
karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar
daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” [An-
Nisaa' : 34]

Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh
isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.

Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas
isterinya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi
para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]

[1]. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya

Setelah wali atau orang tua sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi
hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang
wanita sujud kepada suaminya.” [1]

Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami
mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh...,” menunjukkan
bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.

Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya
ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana
muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana
saja yang dikehendakinya.” [2]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga,

Bundel Bimbingan Menikah Page 58


“Artinya: Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan
banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan
tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.’” [3]

Dikisahkan pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang wanita yang datang dan mengadukan
perlakuan suaminya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Hushain bin Mihshan, bahwasanya saudara
perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ada
suatu keperluan. Setelah ia menyelesaikan keperluannya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
“Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada
suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (haknya) kecuali yang aku tidak mampu mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Artinya: Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.”
[4]

Hadits ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memperhatikan hak suami yang
harus dipenuhi isterinya karena suami adalah Surga dan Neraka bagi isteri. Apabila isteri taat kepada suami, maka ia
akan masuk Surga, tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan isteri
terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.

Bahkan, dalam masalah berhubungan suami isteri pun, jika sang isteri menolak ajakan suaminya, maka ia akan
dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya: Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri
menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu)
Shubuh.” [5]

Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan: “sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain (Ahmad dan Muslim)
disebutkan: “sehingga suaminya ridha kepadanya”.

Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu hingga ia bertaubat dari perbuatan itu. [6]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah
sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung
unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” [7]

Dalam ajaran Islam, seorang isteri dilarang berpuasa sunnat kecuali dengan izin suaminya, apabila suami berada di
rumahnya (tidak safar). Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“Artinya ; Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya.
Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan
harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” [8]

Dalam hadits ini ada tiga faedah:

[1]. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan izin suami.

[2]. Tidak boleh mengizinkan orang lain masuk kecuali dengan izin suami.

[3]. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah hendaknya dengan izin suami.

Dalam hadits ini seorang isteri dilarang puasa sunnat tanpa izin dari suami. Larangan ini adalah larangan haram,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullaah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 59


Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini karena suami mempunyai hak untuk “bersenang-senang” dengan isterinya setiap
hari. Hak suami ini sekaligus merupakan kewajiban seorang isteri untuk melayani suaminya setiap saat. Kewajiban
tersebut tidak boleh diabaikan dengan alasan melaksanakan amalan sunnah atau amalan wajib yang dapat ditunda
pelaksanaannya.” [9]

Jika isteri berkewajiban mematuhi suaminya dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih wajib lagi baginya untuk
mentaati suaminya dalam urusan yang lebih penting dari itu, yaitu yang berkaitan dengan pendidikan anak dan
kebaikan keluarganya, serta hak-hak dan kewajiban lainnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama
dari amalan sunnah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi isteri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan
daripada melaksanakan amalan sunnah.” [10]

Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah
sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik, yaitu Salafush Shalih. Sedangkan perintah-perintah suami yang
bertentangan dengan hal tersebut, tidak ada kewajiban bagi sang isteri untuk memenuhinya, bahkan dia
berkewajiban untuk memberikan nasihat kepada suaminya dengan lemah lembut dan kasih sayang.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

__________

Foote Note

[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu Hibban (no. 1291 - al-Mawaarid) dan al-
Baihaqi (VII/291), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan juga dari beberapa Shahabat. Lihat
Irwaa-ul Ghaliil (no. 1998).

[2]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1296 al-Mawaarid) dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Mawaariduzh Zham’aan (no. 1081).

[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XIX/140, no. 307) dan Mu’jamul Ausath
(VI/301, no. 5644), juga an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 257). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani
dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 287).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/233, no. 17293), an-Nasa-i dalam ‘Isyratin Nisaa' (no. 77-
83), Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), al-Baihaqi (VII/291), dari bibinya Husain bin Mihshan radhiyallaahu
‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[5] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3237, 5193, 5194), Muslim (no. 1436), Ahmad (II/255, 348,
386, 439, 468, 480, 519, 538), Abu Dawud (no. 2141) an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 84), ad-Darimi (II/149-
150) dan al-Baihaqi (VII/292), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[6]. Fat-hul Baari (IX/294-295).

[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1853), Ahmad (IV/381), Ibnu Hibban (no. 1290- al-Mawaarid)
dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Aadabuz Zifaaf (hal. 284).

[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5195), Muslim (no. 1026) dan Abu Dawud (no. 2458) dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dan lafazh ini milik Muslim.

[9]. Syarah Shahiih Muslim (VII/115).

[10]. Fat-hul Baari (IX/296).

Bundel Bimbingan Menikah Page 60


[2]. Isteri Harus Banyak Bersyukur Dan Tidak Banyak Menuntut

Bersyukur adalah ciri dari hamba-hamba Allah yang mulia. Dan orang-orang yang bersyukur sangat sedikit,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : ... Sedikit dari hamba-Ku yang bersyukur.” [Saba’ :13]

Setiap mukmin dan mukminah diperintahkan untuk bersyukur karena dengan bersyukur, Allah akan menambahkan
rizki yang telah Dia berikan kepadanya. Allah berfirman:

“Artinya ; Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.’”
[Ibrahim : 7]

Seorang isteri diperintahkan untuk bersyukur kepada suaminya yang telah memberikan nafkah lahir dan batin
kepadanya. Karena dengan syukurnya isteri kepada suaminya dan tidak banyak menuntut, maka rumah tangga akan
bahagia. Isteri yang tidak bersyukur kepada suaminya dan banyak menuntut merupakan pertanda isteri tidak baik
dan tidak merasa cukup dengan rizki yang Allah karuniakan kepadanya.

Perintah syukur ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan
masuk Neraka bagi para wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan pada hari Kiamat Allah Ta’ala pun tidak
akan melihat seorang wanita yang banyak menuntut kepada suaminya dan tidak bersyukur kepadanya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Diperlihatkan Neraka kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita, mereka
kufur.” Para Shahabat bertanya: “Apakah disebabkan kufurnya mereka kepada Allah?” Rasul menjawab: “(Tidak),
mereka kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari kalian berbuat
kebaikan kepada isterinya selama setahun, kemudian isterinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka
dia mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu sekalipun.’” [1]

Padahal suaminya sudah banyak berbuat baik kepada isterinya selama setahun penuh. Karena sekali (saja) suami
tidak berbuat baik kepada si isteri, maka dilupakan seluruh kebaikannya selama satu tahun. Itulah yang disebut
kufur.

Sebagai contoh, misalnya seorang suami secara rutin telah memberikan nafkah berupa harta kepada isterinya.
Namun, suatu waktu Allah ‘Azza wa Jalla mentakdirkan dirinya bangkrut sehingga tidak dapat memberikan nafkah
dalam jumlah yang seperti biasanya kepada isterinya, kemudian si isteri mengatakan, “Memang, engkau tidak pernah
memberikan nafkah.” Atau contoh yang lainnya, yaitu isteri yang terlalu banyak menuntut, meski sang suami sudah
berusaha dengan sekuat tenaga dari pagi hingga sore untuk mencari nafkah.

Ancaman Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang-orang yang semacam ini sangatlah keras, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia selalu
menuntut (tidak pernah merasa cukup).” [2]

Dalam hadits lain, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya: Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni Neraka.” Dikatakan, “Wahai
Rasulullah, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “Para wanita.” Seorang Shahabat bertanya,
“Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudari-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi
apabila mereka diberi sesuatu, mereka tidak bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak
bersabar.” [3]

Bundel Bimbingan Menikah Page 61


[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

__________

Foote Note

[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 29, 1052, 5197) dan Muslim (no. 907 (17)), Abu ‘Awanah
(II/379-380), Malik (I/166-167, no. 2), an-Nasa-i (III/146, 147, 148) dan al-Baihaqi (VII/294), dari Shahabat Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam Isyratin Nisaa' (no. 249), al-Baihaqi (VII/294), al-Hakim
(II/190) dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih, namun al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Dan
disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah
(no. 289).

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/428, IV/604) dari Shahabat ‘Abdurrahman bin Syabl radhiyallaahu
‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 3058).

[3]. Isteri Diperintahkan Untuk Tinggal Di Rumah Dan Mengurus Rumah Tangga Dengan Baik

Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik. Isteri
harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang
mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya,
mengurus anak-anaknya. Menurut ajaran Islam yang mulia, isteri tidak dituntut atau tidak berkewajiban ikut keluar
rumah mencari nafkah, akan tetapi ia justru diperintahkan tinggal di rumah guna menunaikan kewajiban-kewajiban
yang telah dibebankan kepadanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-
orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” [Al-Ahzaab : 33]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [1]

Isu emansipasi yang digembar-gemborkan telah menjadikan sebagian besar kaum wanita terpengaruh untuk keluar
rumah dan melalaikan kewajiban yang paling utama sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga. Bahkan, mereka
berani berdalih dengan tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh suaminya, meskipun dia telah memiliki rumah
atau kendaraan atau harta lainnya yang banyak. Hal ini menjadi sebab timbulnya malapetaka di dalam rumah
tangga.

Tidak jarang justru keluarganya menjadi berantakan karena anaknya terlibat kasus narkoba, atau kenakalan, atau
hubungan suami isteri menjadi tidak harmonis karena isteri lebih sibuk dengan urusan kantornya, bisnis, dagang, dan
sebab-sebab lain yang sangat banyak disebabkan lalainya sang isteri.

Dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah adalah suami. Dan suami diperintahkan untuk keluar rumah mencari
nafkah. Wanita tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali dengan izin suami.

Bundel Bimbingan Menikah Page 62


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Tidak boleh baginya untuk keluar dari rumahnya kecuali
mendapat izin dari suami. Seandainya ia keluar tanpa izin dari suaminya, maka ia telah berlaku durhaka dan
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan wanita tersebut berhak mendapatkan hukuman.” [2]

Allah Ta’ala memberikan rizki kepada seluruh makhluk-Nya. Isteri dan anak dikaruniai rizki oleh Allah dengan
perantaraan suami dan orang tua. Karena itu, seorang isteri harus bersyukur dengan nafkah yang diberikan suami.
Sekecil apa pun wajib disyukuri dan harus merasa cukup (qana’ah) dengan apa yang telah diberikan.

Sedangkan bagi orang yang tidak bersyukur, maka Allah ‘Azza wa Jalla justru akan membuat dirinya seakan-akan
serba kekurangan dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dia dapatkan.

Allah ‘Azza wa Jalla akan mencukupkan rizki seseorang, manakala ia bersyukur dengan apa yang ia peroleh dan ia
usahakan. Dia akan merasa puas (qana’ah) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya: Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan jaga dirinya dan barangsiapa yang merasa
cukup, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada dirinya.” [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji orang-orang yang qana’ah (merasa puas) dengan apa yang Allah
Ta’ala karuniakan, beliau bersabda:

“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, rizkinya cukup, dan Allah memberikan kepuasan terhadap apa yang
telah dikaruniakannya.” [4]

Bahaya Dan Dampak Negatif Akibat Wanita Bekerja Di Luar Rumah:

1). Bahaya bagi wanita itu, yaitu akan hilangnya sifat dan karakteristik kewanitaannya, menjadi asing dengan tugas
rumah tangga dan kurangnya perhatian terhadap anaknya.

2). Bahaya bagi diri suami, yaitu suami akan kehilangan curahan kelembutan, keramahan, dan kegembiraan. Justru
yang didapat adalah keributan dan keluhan-keluhan seputar kerja, persaingan karir antar teman, baik laki-laki
maupun wanita. Bahkan, tidak jarang suami kehilangan kepemimpinannya lantaran gaji isteri lebih besar. Wallaahul
Musta’aan.

3). Bahaya (dampak) bagi anak, yaitu hilangnya kelembutan, kasih sayang dan kedekatan dari seorang ibu. Semua
itu tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau pun seorang guru. Justru yang didapati anak adalah seorang
ibu yang pulang dalam keadaan letih dan tidak sempat lagi memperhatikan pendidikan anak-anaknya.

4). Bahaya (dampak negatif) bagi kaum laki-laki secara umum, yaitu apabila semua wanita keluar dari rumahnya
untuk bekerja, maka secara otomatis mereka telah menghilangkan kesempatan bekerja bagi laki-laki yang telah siap
untuk bekerja.

5). Bahaya (dampak negatif) bagi pekerjaan tersebut, yaitu bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa wanita
lebih banyak memiliki halangan dan sering absen karena banyaknya sisi-sisi alami (fitrah)nya yang berpengaruh
terhadap efisiensi kerja, seperti haidh, melahirkan, nifas, dan lainnya.

6). Bahaya (dampak negatif) bagi perkembangan moral, yaitu hilangnya kemuliaan akhlak, kebaikan moral serta
hilangnya rasa malu dari seorang wanita. Juga hilangnya kemuliaan akhlak dan semangat kerja dari kaum suami.
Anak-anak pun menjadi jauh dari pendidikan yang benar semenjak kecil.

7). Bahaya (dampak negatif) bagi masyarakat, yaitu bahwa fenomena ini telah mengeluarkan manusia dari fitrahnya
dan telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan hidup dan
timbulnya kekacauan serta keributan. [5]

Bundel Bimbingan Menikah Page 63


[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

Foote Note

[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1173), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 6690).

[2]. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXII/281).

[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1427) dan Muslim (no. 1034). Lihat Fat-hul Baari (III/294), dari
Shahabat Hakim bin Hizam radhiyallaahu ‘anhu.

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1054), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu
‘anhuma.

[5]. Shahiih Washaaya Rasuul lin Nisaa' (hal. 469-470).

[4]. Isteri Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami, Selalu Tersenyum Dan Tidak Bermuka
Masam Di Hadapan Suaminya, Juga Jangan Sampai Ia Memperlihatkan Keadaan Yang Tidak Disukai
Oleh Suaminya.

Seorang isteri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab kebersihan merupakan bagian dari iman. Dia harus
selalu mengikuti sunnah, seperti membersihkan dirinya, mandi, memakai minyak wangi dan merawat dirinya agar ia
selalu berpenampilan bersih dan harum di hadapan suaminya, hal ini menyebabkan terus berseminya cinta kasih di
antara keduanya dan kehidupan ini akan terasa nikmat.

Berhias untuk suami adalah dianjurkan selagi dalam batas-batas yang tidak dilarang oleh syari’at, seperti mencukur
alis, menyambung rambut, mentato tubuhnya dan lainnya.

Seorang isteri ideal selalu nampak ceria, lemah lembut dan menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah
setelah seharian bekerja, maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan menghibur hatinya. Jika
suami mendapati isteri yang bersolek dan ceria menyambut kedatangannya, maka ia telah mendapatkan ketenangan
yang hakiki dari isterinya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya: Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya, serta
menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.” [1]

Bundel Bimbingan Menikah Page 64


[5]. Seorang Isteri Tidak Boleh Mengungkit-ungkit Apa Yang Pernah Ia Berikan Dari Hartanya Kepada
Suaminya Maupun Keluarganya.

Karena menyebut-nyebut pemberian dapat membatalkan pahala. Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya ; Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan penerima).” [Al-Baqarah : 264]

[6]. Seorang Isteri Tidak Boleh Menyakiti Suami, Baik Dengan Ucapan Maupun Perbuatan.

Seorang isteri tidak boleh memanggil suami dengan kejelekan atau mencaci-makinya karena yang demikian itu dapat
menyakiti hati suami.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya : Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya dari para bidadari Surga akan
berkata, ‘Janganlah engkau menyakitinya. Celakalah dirimu! Karena ia hanya sejenak berkumpul denganmu yang
kemudian meninggalkan-mu untuk kembali kepada kami.” [2]

[7]. Isteri Harus Dapat Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Dan Kerabat Suami.

Karena seorang isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suaminya jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya
dengan kejelekan. Setiap isteri harus memperhatikan kedua orang tua suami dan berbuat baik kepada mereka.

[8]. Isteri Harus Pandai Menjaga Rahasia Suami Dan Rahasia Rumah Tangga. Jangan Sekali-kali Ia
Menyebarluaskannya.

Isteri yang shalihah tidak boleh mengabarkan/ menceritakan suaminya kepada orang lain, tidak membocorkan
rahasianya dan tidak membuka apa yang disembunyikan dan tidak membuka aib suaminya. Dan di antara rahasia
yang paling dalam adalah perkara ranjang suami-isteri. Sungguh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang hal itu.

[9]. Isteri Harus Bersungguh-Sungguh Dalam Menjaga Keberlangsungan Rumah Tangga Bersama
Suami-nya.

Janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya ; Siapa pun isteri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, maka ia tidak akan mencium
aroma Surga.” [3]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“Para isteri yang meminta cerai adalah orang-orang munafik.” [4]

Bundel Bimbingan Menikah Page 65


[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

__________

Foote Note

[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari ‘Abdullah bin Salam. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 3299).

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1174), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226) dan at-Tirmidzi (no. 1187, 2055) dari Shahabat Tsauban
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1186) dari Shahabat Tsauban radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah
ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahiihul Jaami’ (no. 6681). Point 4-9 dinukil dari kitab al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil ‘Aziiz (hal. 305-309) secara ringkas.

Bundel Bimbingan Menikah Page 66


HAK ISTRI YANG HARUS DIPENUHI OLEH SUAMI

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[9]. SUAMI HARUS DAPAT BERLAKU ADIL TERHADAP ISTERINYA, JIKA IA MEMPUNYAI ISTERI LEBIH
DARI SATU

Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh
sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah melarang yang demikian. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.” [1]

Pada dasarnya poligami (ta’addud) dibolehkan dalam Islam apabila seorang dapat berlaku adil. Di akhir buku ini,
penulis bawakan pembahasan tentang hal ini dalam bab Kedudukan Wanita dalam Islam.

[10]. JIKA SEORANG SUAMI PULANG DARI SAFAR, HENDAKLAH TERLEBIH DAHULU IA MENUJU
MASJID UNTUK MENGERJAKAN SHALAT DUA RAKA'AT, LALU PULANG KE RUMAHNYA UNTUK
BERCAMPUR DENGAN ISTERINYA

Hal ini adalah Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Ka’ab bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 3088) dan Muslim (no. 716 (74)).

Kemudian hendaklah suami mengutus seseorang untuk memberi kabar kedatangannya agar mereka dapat bersiap-
siap menyambut kedatangannya. Atau dapat menggunakan telepon atau HP pada zaman sekarang ini.

Dan di malam itu hendaklah ia tidak langsung tidur sebelum memenuhi hajat biologis isterinya, jika ia mampu. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Artinya : Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada waktu malam -yaitu ‘Isya'- agar ia (isterimu)
sempat menyisir rambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau
menggaulinya” [2]

Demikianlah sejumlah hak para isteri yang harus ditunaikan oleh para suami. Sesungguhnya memenuhi hak-hak isteri
merupakan salah satu keselamatan keluarga, serta sebagai sebab menjauhnya segala permasalahan yang dapat
mengusik dan menghubungkan rasa aman, tenteram, damai, serta rasa cinta dan kasih sayang.

[3] WASPADALAH TERHADAP FITNAH WANITA

Kecintaan suami terhadap isterinya dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak boleh menjadikan keduanya
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, atau melakukan
dosa-dosa dan maksiat karena ingin mendapat keridhaan masing-masing dari keduanya atas yang lain.

Allah Ta’ala pernah menegur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Dia berfirman.

"Artinya : Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin
menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allah telah mewajibkan
kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijak-
sana.” [At-Tahrim : 1-2]

Bundel Bimbingan Menikah Page 67


Di dalam ash-Shahiihain dari hadits ‘Aisyah radhiyal-laahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku dan Hafshah bersepakat untuk
mengatakan kepada beliau apabila beliau menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan
maghafir? Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku
bersumpah. Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun.’ Maka turunlah ayat ini [At-Tahrim: 1-2]” [4]

Di sini Allah telah memperingatkan kaum laki-laki agar tidak terfitnah dengan wanita, begitu juga kaum wanita agar
tidak terfitnah dengan laki-laki.

Allah Ta’ala berfirman.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu, [5] maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni
serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-
anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” [At-Taghaabuun : 14-15]

"Artinya : Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-
perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak [6]
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imran :
14]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”
[7]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allah menguasakan kepada kalian untuk
mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah
terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada bani Israil adalah karena wanita.” [8]

Hendaklah seorang muslim benar-benar waspada terhadap fitnah ini, karena di antara manusia ada yang terseret
oleh kecintaannya yang berlebihan terhadap isterinya sehingga ia berbuat durhaka kepada orang tua, memutuskan
silaturahmi dan berbuat kerusakan di bumi, sehingga laknat Allah akan menimpanya.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan
hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan
dibutakan penglihatannya).” [Muhammad : 22-23]

Di antara manusia ada yang diseret oleh kecintaannya kepada isterinya untuk mencari harta yang haram guna
memenuhi kecintaannya dan memuaskan syahwatnya. Di antara mereka pun ada yang saling membunuh dengan
tetangganya dengan sebab ulah isterinya. Maka, hendaklah seseorang berhati-hati terhadap fitnah wanita. [9]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________

Foote Note

Bundel Bimbingan Menikah Page 68


[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2133), at-Tirmidzi (no. 1141), Ahmad (II/295, 347, 471), an-
Nasa'i (VII/63), Ibnu Majah (no. 1969), ad-Darimi (II/143), Ibnu Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no. 1307—al-
Mawaarid) dan lainnya, dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 2017).

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5245, 5246, 5247), Muslim (no. 1466 (57)), Ahmad (III/298,
302, 303, 355) dan al-Baihaqi (VII/254), dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Dalam hadits ini, asal
makna ÇóáúßóíúÓõ adalah ÇóáúÚóÞúáõ , maksudnya adalah jima’. Jadi, orang yang berakal adalah orang
mencampuri isterinya. (Fat-hul Baari IX/342)

[3]. Dinukil dari al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 304-305).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4912) dan Muslim (no. 1474), dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.

[5]. Yaitu terkadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak dibenar-kan oleh agama.

[6]. Dari jenis unta, sapi, kambing dan biri-biri.

[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin
Zaid radhiyallaahu ‘anhu.

[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2742 (99)), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.

[9]. Dinukil dari Fiqh Ta’amul bainaz Zaujain (hal. 67-69) secara ringkas.

[6]. MENGAJARKAN ILMU AGAMA

Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam
perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada
Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
[At-Tahrim : 6]

Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan
tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:

1. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-
adab Islam.”

2. Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat
maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka
berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”

3. Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang
(hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”

Bundel Bimbingan Menikah Page 69


4. Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul
Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.” [1]

Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan
menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush
Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu
mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.

Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-
sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat
memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta
senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan memberikan manfaat dan
berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba
Allah.

Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya.
Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia
merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya,
sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.

Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami
pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam. Pola hidup seperti ini adalah
pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan
isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan
anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang
memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia
tunaikan seluruhnya. Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah
satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita
pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti
koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan
perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang
ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita.

Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid,
shalat, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya.
Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya
sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik.
Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri
dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.

[7]. MENASIHATI ISTERI DENGAN CARA YANG BAIK

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah
lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia
menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk

Bundel Bimbingan Menikah Page 70


dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan
mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada
wanita dengan kebaikan.” [2]

[8]. MENGIZINKANNYA KELUAR UNTUK KEBUTUHAN YANG MENDESAK

Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke
warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat)
kalian.” [3]

Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu:

1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh.

2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.

3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).

Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila
ketiga syarat di atas terpenuhi.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya.”
[4]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Artinya : Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah.” [5]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________

Foote Note

[1]. Lihat Tafsiir ath-Thabari (XII/156-157) cet. Darul Kutub Ilmiyah, Tafsiir Ibnu Katsir (IV/412-413) cet. Maktabah
Darus Salam dan Tafsiir Fat-hul Qadiir (V/253) cet. Darul Fikr.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5185-5186) dan Muslim (no. 1468 (62)), dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5237), dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5238), Muslim (no. 442 (134)), at-Tirmidzi (no. 570), an-Nasa-i
(II/42) dan Ibnu Majah (no. 16), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 900), Muslim (no. 442 (136)), at-Tirmidzi (no. 570) dan an-
Nasa-i (II/42), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

Bundel Bimbingan Menikah Page 71


HUKUM DAN PERMASALAHAN SEPUTAR PERNIKAHAN

MENUNDA NIKAH KARENA MASIH BELAJAR

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada suatu tradisi yang membudaya, yaitu perempuan atau orang
tuanya menolak lamaran orang yang melamarnya karena alasan ingin meyelesaikan sekolahnya di SMU atau
Perguruan Tinggi, atau bahkan karena anak (perempuan) ingin belajar beberapa tahun lagi. Bagaimana hukum
masalah ini, apa nasehat Syaikh kepada orang-orang yang melakukan hal seperti itu, yang kadang-kadang anak
perempuan itu sampai berusia 30 tahun belum menikah.

Jawaban.
Hukumnya adalah bahwa hal seperti itu bertentangan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebab beliau bersabda.

"Artinya : Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlak dan (komitmennya kepada)
agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan putrimu)".

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kemampuan, maka menikahlah,
karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih menjaga kehormatan diri".

Tidak mau menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasehat saya kepada saudara-saudaraku
kaum Muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimat,
hendaklah tidak menolak nikah (perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau ingin mengajar.

Perempuan bisa saja minta syarat kepada calon suami, seperti mau dinikahi tetapi dengan syarat tetap
diperbolehkan belajar (meneruskan studi) hingga selesai, demikian pula (kalau sebagai guru) mau dinikahi dengan
syarat tetap menjadi guru sampai satu atau dua tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu
boleh-boleh saja, akan tetapi adanya perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi yang tidak
kita butuhkan adalah merupakan masalah yang masih perlu dikaji ulang.

Menurut pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat Tingkat Dasar (SD) dan mampu membaca dan
menulis dengannya ia dapat membaca Al-Qur'an dan tafsirnya, dapat membaca hadits dan penjelasannya
(syarahnya), maka hal itu sudah cukup, kecuali kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan
oleh ummat, seperti kedokteran (kebidanan, -pent-) dan lainnya, apabila di dalam studinya tidak terdapat sesuatu
yang terlarang, seperti ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) atau hal lainnya.

[ As'illah Muhimmah Ajaba 'Anha Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 26-27]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Muthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 72


MENANGGUHKAN PERNIKAHAN PUTRI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apabila ada seorang lelaki yang datang untuk meminang seorang
gadis, akan tetapi walinya (ayahnya) menolak dengan maksud agar putrinya tidak menikah, maka bagaimana
hukumnya ?

Jawaban

Seharusnya para wali segera mengawinkan putri-putrinya apabila dipinang oleh laki-laki yang setara, apalagi jika
mereka juga ridha. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang (putrimu)
makan kawinkanlah ia, sebab jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan malapetaka yang sangat
besar".[Riwayat At-Turmudzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini adalah hadits Mursal, namun ada hadits lain sebagai
syahidnya diriwayatkan oleh At-Turmudzi]

Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah karena supaya menikah dengan lelaki lain dari anak pamannya atau
lainnya yang tidak mereka suka, ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih banyak, ataupun karena
untuk tujuan-tujuan murahan lainnya yang tidak dibenarkan oleh syari'at Allah dan Rasul-Nya.

Kewajiban waliul amr (ulama dan umara) adalah menindak tegas orang yang dikenal sebagai penghalang perempuan
untuk menikah dan memperbolehkan para wali lainnya yang lebih dekat kepada sang putri untuk menikahkannya
sebagai penegakan keadilan dan demi melindungi pemuda dan pemudi agar tidak terjerumus ke dalam apa yang
dilarang oleh Allah (zina) yang timbul karena kezaliman dan tindakan para wali menghalang-halangi mereka untuk
menikah.

Kita memohon kepada Allah, semoga memberikan petunjukNya kepada semua dan lebih mendahulukan kebenaran
atas kepentingan hawa nafsu.

[Kitabud Da'wah, hal 165, dan Fatawa Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 73


MENIKAHNYA GADIS REMAJA ITU LEBIH PENTING DARIPADA MELANJUTKAN
STUDI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saudari berinisial MZ dari kota Thanjah di Maroko melayangkan
suratnya yang menyatakan keinginan untuk mengetahui pandangan Islam di dalam problem yang sedang ia hadapi,
seraya berkata : "Ketika masih kecil saya sangat bahagia sekali dan banyak teman-teman yang iri karena kebahagian
itu sampai saya menjadi remaja yang layak menikah.

Kemudian ada sebagian lelaki yang ingin menikah datang ke rumah kami untuk melamar saya, namun kedua orang
tua saya menolaknya dengan alasan saya harus menyelesaikan studi. Saya sudah sering berupaya meyakinkan
kepada mereka bahwa saya mau menikah, dan (saya jelaskan) bahwa menikah tidak akan menggangu studi saya,
namun mereka tetap bersikeras menolak untuk merestuinya.

Lalu, apakah boleh saya menikah tanpa persetujuan mereka berdua ? Jika tidak, apa yang harus saya lakukan ?
Berilah saya jawabnya, semoga Allah berbelas kasih kepada Syaikh.

Jawaban

Tidak diragukan lagi bahwa penolakan kedua orang tua anda untuk menikahkan anda dengan orang yang pantas
adalah merupakan perbuatan haram, (sebab) menikah itu lebih penting daripada sekolah dan juga tidak
menapikan sekolah, karena dapat dipadukan. Maka dalam kondisi seperti ini boleh anda menghubungi Kantor
Pengadilan Agama untuk menyampaikan apa yang telah terjadi, dan keputusan pada mereka (Kantor Pengadilan itu).
(Kalau Kantor Pengadilan Agama menyetujui anda menikah, maka boleh anda menikah tanpa persetujuan kedua
orang tua, -pent)

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal 754]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juarisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 74


PANDANGAN HUKUM AGAMA TERHADAP PARA AYAH YANG ENGGAN MENIKAHKAN
PUTRI-PUTRINYA KARENA MEREKA INGIN TETAP MEMPEROLEH GAJI PUTRI-
PUTRINYA.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimi

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum agama menurut Syaikh terhadap
para ayah (orang tua) yang enggan menikahkan putri-putrinya karena masih ingin mendapat bagian dari gaji putri-
putri mereka

Jawaban.

Keenganan bapak (orang tua) atau lainnya menikahkan putri-putrinya karena (agar) tetap mendapat bagian dari gaji
putrinya adalah haram hukumnya. Jika yang enggan menikahkan itu selain bapak (ayah) maka tidak ada hak
baginya mengambil harta perempuan asuhannya sedikitpun, dan jika dia adalah ayah dari perempuan itu maka boleh
mengambil (memiliki) harta milik putrinya selagi tidak membahayakan sang putri dan tidak dibutuhkannya. Sekalipun
begitu, ayah tidak boleh enggan (menghalang-halangi) menikahkannya karena hal tersebut, sebab yang demikian itu
merupakan pengkhianatan terhadap amanat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan keapadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah,
bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar".
[Al-Anfal : 27-28]

Mari perhatikan dan hayati dua ayat di atas. Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang mengkhianati Allah dan
RasulNya dan melarang mengkhianati amanah, Dia befirman.

"Artinya : Bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala
yang besar". [Al-Anfal : 27-28].

Sebagai suatu isyarat bahwa berkhianat itu tidak boleh, apakah karena ingin mendapat keuntungan harta atau
karena sayang kepada anak.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu untuk melamar, maka
kawinkanlah ia (dengan putrimu), jika tidak (kamu kawinkan), niscaya terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka
bumi ini". [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah, namun predikatnya mursal. Hadits ini mempunyai syahid
lain di dalam riwayat At-Turmudzi dari riwayat Abu Hatim Al-Muzani]

Jika ditakdirkan bahwa ayah atau wali yang lain enggan dan tidak mau menikahkan putrinya dengan lelaki yang layak
baginya, maka dalam kondisi seperti ini urusan kewaliannya berpindah kepada wali-wali yang lain
berdasarkan urutan yang paling atas. Dan jika seperti itu terulang (pada wali-wali yang lain), maka kewaliannya
menjadi gugur, karena walinya telah menjadi fasiq.

[Bagian dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

Bundel Bimbingan Menikah Page 75


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARI'AT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-
Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin
untuk menjauhinya.

[1]. Nikah Syighar

Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka
aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka
aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu” [1]

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidak ada nikah syighar dalam Islam” [2]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak [3].

[2]. Nikah Tahlil

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-
laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya
(yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu [5]

[3]. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang
wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.

Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka
nikahnya batal!

Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada

Bundel Bimbingan Menikah Page 76


saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah
melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah)” [7]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan
wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah)
selama-lamanya hingga hari Kiamat” [8]

[4]. Nikah dalam masa ‘iddah.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya” [Al-Baqarah : 235]

[5]. Nikah dengan wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani [9].

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya
perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]

[6]. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-
lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan
yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu
ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

[7]. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi di-sebabkan sepersusuan, berdasarkan ayat di atas.
[8]. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanita dengan
bibinya (dari pihak ibu)”[10]

[9]. Nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga.

Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanita
itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya.
Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

Bundel Bimbingan Menikah Page 77


“Artinya : Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang
pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian,
maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“Artinya : Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”[11]

[10]. Nikah pada saat melaksanakan ibadah ihram.

Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi
wa sallam:

“Artinya : Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”[12]

[11]. Nikah dengan wanita yang masih bersuami.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]

[12]. Nikah dengan wanita pezina/pelacur.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik;
dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang
demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita
yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-
perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki
yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka
memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing
memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah
dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang
pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”[13]

[13]. Nikah dengan lebih dari empat wanita.

Bundel Bimbingan Menikah Page 78


Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia
memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang
isteri, beliau bersabda,

“Artinya : Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”[14]

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia
memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya : Pilihlah empat orang dari mereka”[15]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan
juga oleh Ahmad (III/165), al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 7501).
[3]. Lihat al-Wajiiz (hal. 296-297) dan al-Mausuu’ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 53-56)
[4]. Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah
mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa
‘iddahnya selesai.
[5]. Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki
untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa
‘iddahnya selesai.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2076), at-Tirmidzi (no. 1119), Ibnu Majah (no. 1935), dari
Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 1501), lihat juga al-Wajiiz (hal. 297-298)
dan al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 49-52).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (22)).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (21)), dari Shahabat Sabrah al-Juhani radhiyallaahu ‘anhu.
Lihat al-Wajiiz (hal. 298) dan Mausuu’ah al-Fiqhiyyah (hal. 47-49).
[9]. Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) diboleh-kan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Maa-idah ayat 5.
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5108), Muslim (no. 1408), at-Tirmidzi (no. 1126), an-Nasa-i
(VI/96), Abu Dawud (no. 2065), Ahmad (II/401, 423, 432, 465), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim (no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i
(VI/94) dan Ibnu Majah (no. 1932).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i (V/192), dari Shahabat
‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu.
[13]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-
Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah (no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183).
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885).

Bundel Bimbingan Menikah Page 79


NASEHAT BAGI WANITA YANG TERLAMBAT NIKAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Saya ingin meminta saran kepada syaikh bahwa saya dan
teman-teman senasib telah ditakdirkan untuk tidak merasakan nikmatnya nikah, sementara umur hampir menginjak
masa putus harapan untuk menikah. Padahal Alhamdulillah saya dan teman-teman senasib memiliki akhlak yang
cukup dan berpendidikan sarjana dan inilah nasib kita Alhamdulillah. Yang membuat kaum lelaki tidak mau melamar
kita disebabkan kondisi ekonomi yang kurang mendukung karena pernikahan di daerah kami dibiayai oleh kedua
mempelai. Saya memohon nasehat syaikh untuk kami ?"

Jawaban.

Nasehat saya untuk yang terlambat menikah hendaknya selalu berdo'a kepada Allah dengan penuh harapan dan
keikhlasan, dan mempersiapkan diri untuk siap menerima lelaki yang shalih. Apabila seseorang jujur dan sungguh-
sungguh dalam do'anya, disertai dengan adab do'a dan meninggalkan semua penghalang do'a, maka do'a tersebut
akan terkabulkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu" [Al-Baqarah : 186]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepadaKu, niscaya Kuperkenankan bagimu" [Al-Mukmin : 60]

Dalam ayat tersebut Allah menggantugkan terkabulnya do'a hambaNya setelah dia memenuhi panggilan dan
perintahNya. Saya melihat, tidak ada sesuatu yang lebih baik kecuali berdoa dan memohon kepada Allah serta
menunggu pertolongan dariNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Ketahuilah sesungguhnya pertolongan diperoleh bersama kesabaran dan kemudahan selalu disertai
kesulitan dan bersama kesulitan ada kemudahan"

Saya memohon kepada Allah untuk kalian dan yang lainnya agar dimudahkan oleh Allah dalam seluruh urusannya
dan semoga segera mempertemukan kalian dengan laki-laki yang shalih yang hanya menikah untuk kebaikan dunia
dan akhirat.
[Fatawa Mar'ah, hal. 58]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 80


AYAH MEMAKSA PUTRANYA MENIKAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya bila seorang ayah menghendaki putranya menikah
dengan seorang wanita yang tidak shalihah ? Dan apa pula hukumnya kalau ayah menolak menikahkan putranya
dengan seorang wanita shalihah?

Jawaban.

Seorang ayah tidak boleh memaksa putranya menikah dengan wanita yang tidak disukainya, apakah itu karena cacat
yang ada pada wanita itu, seperti kurang beragama, kurang cantik atau kurang berakhlaq.

Sudah sangat banyak orang-orang yang menyesal di kemudian hari karena telah memaksa anaknya menikah dengan
wanita yang tidak disukainya.

Hendaknya sang ayah mengatakan, "Kawinilah ia, karena ia adalah putri saudara saya" atau "karena dia adalah dari
margamu sendiri", dan ucapan lainnya. Anak tidak mesti harus menerima tawaran ayah, dan ayah tidak boleh
memaksakan kehendaknya supaya ia menikah dengan wanita yang tidak disukainya.

Demikian pula jika si anak hendak menikah dengan seorang wanita shalihah, namun sang ayah melarangnya, maka
ia tidak mesti mematuhi kehendak ayahnya apabila ia menghendaki istri yang shalihah.

Jika sang ayah berkata kepadanya, "Jangan menikah dengannya", maka sang anak boleh menikahi wanita shalihah
itu, sekalipun dilarang oleh ayahnya sendiri. Sebab, seorang anak tidak wajib taat kepada ayah di dalam sesuatu
yang tidak menimbulkan bahaya terhadapnya, sedangkan bagi anak ada manfaatnya.

Kalau kita katakan, bahwa seorang anak wajib mematuhi ayahnya di dalam segala urusan sampai pada urusan yang
ada gunanya bagi sang anak dan tidak membahayakan sang ayah, niscaya banyak kerusakan yang terjadi. Namun
dalam masalah ini hendaknya sang anak bersikap lemah lembut terhadap ayahnya, membujuknya sebisa mungkin.
[Ibnu Utsaimin, Fatawa, jilid 2, hal 761]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq].

Bundel Bimbingan Menikah Page 81


SESEORANG DILARANG MEMINANG PINANGAN SAUDARANYA

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang seseorang meminang atas pinangan
saudaranya. Terdapat sejumlah hadits mengenai hal itu, akan kami sebutkan di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma menuturkan: "Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang sebagian kalian membeli apa yang dibeli saudaranya, dan tidak boleh pula seseorang
meminang atas pinangan saudaranya hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau peminang mengizinkan
kepadanya"[1]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir
berdiri di atas mimbar seraya berucap: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "(Seorang)
mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian
saudaranya dan tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya"[2]

Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan) permusuhan dalam hati.
Karena itu, Islam melarangnya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

"Janganlah kalian berprasangka, karena prasangka itu adalah seburuk-buruk pembicaraan. Jangan mencari-cari
kesalahan orang dan jangan saling bermusuhan, serta jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara.
Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga dia menikah atau meninggalkannya"[3]

Al-Hafizh berpendapat dalam al-Fath, bahwa larangan ini untuk pengharaman, ia mengatakan: “Menurut jumhur,
larangan ini untuk pengharaman...” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka untuk pengharaman,
tetapi tidak membatalkan akad.”

Bahkan, Imam an-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini untuk pengharaman berdasarkan ijma’.
Tetapi mereka berselisih mengenai syarat-syaratnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang
menyatakan secara tegas atau walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka
boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.

Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila seorang pria meminang wanita lalu ia ridha
dengannya dan (hatinya merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika
seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya.
Hujjah dalam perkara ini ialah kisah Fathimah binti Qais.[3]

Pertanyaan.
Apa balasan bagi orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya?

Jawaban.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda. "Bukan termasuk golongan kami siapa yang bersumpah ‘demi amanah’, dan barangsiapa yang

Bundel Bimbingan Menikah Page 82


merusak hubungan seseorang dengan isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya, maka ia bukan golongan kami"
[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: “(Perbuatan)
ini termasuk salah satu dosa besar. Sebab, jika syari’at melarang meminang pinangan saudaranya, maka bagaimana
halnya dengan orang yang merusak isterinya, hamba sahaya wanitanya atau hamba sahaya laki-lakinya, serta
berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak
kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak yang lain tidak gugur dengan taubat dari
kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap (ada). Menzhalimi
seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih besar dibanding
merampas hartanya secara zhalim. Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara di sisinya kecuali (dengan)
mengalirkan darahnya"[6]

Syaikhul Islam rahimahullahu ditanya tentang wanita yang berpisah dengan suaminya, lalu seseorang meminangnya
dalam masa ‘iddahnya dan ia memberi nafkah kepadanya: “Apakah itu dibolehkan ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah. Jelas-jelas (seseorang) tidak boleh meminang wanita yang masih
dalam ‘iddah dengan tegas, walaupun dalam ‘iddah karena (ditinggal) wafat, berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin; maka bagaimana halnya dalam ‘iddah perceraian? Barangsiapa yang melakukan demikian, ia berhak
mendapatkan hukuman yang membuatnya dan orang-orang yang semisalnya menjadi jera dari perbuatan itu. Dan
hukuman itu diberikan kepada orang yang meminang maupun yang dipinang, semua diberi hukuman, dan dilarang
menikahkan dengannya sebagai hukuman baginya karena niatnya yang batal, wallaahu a’lam” [7]

Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang mentalak isterinya dengan talak tiga. Setelah menyelesaikan ‘iddahnya di
sisinya, ia keluar. Setelah itu, ia menikah dan dicerai pada hari itu juga. Orang yang menalaknya tidak mengetahui
kecuali pada hari kedua, apakah dia boleh bersepakat bersama wanita itu jika telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka
ia akan rujuk kepadanya?

Beliau menjawab: "Ia tidak boleh meminangnya di masa ‘iddah dari (suami) selainnya, dan tidak boleh pula memberi
nafkah kepadanya untuk menikahinya. Jika talak itu talak raj’i, maka ia tidak boleh melamar dengan sindiran. Jika
talaknya adalah talak ba’in, maka kebolehan meminang dengan sindiran diperselisihkan. Kondisi tersebut jika wanita
ini menikah dengan nikah raghbah (atas dasar suka). Adapun jika dia menikah dengan nikah tahlil, maka Rasulullah
n telah melaknat muhallil dan muhallal lahu.[8,9]

MASALAH DALAM PEMINANGAN.

Sudah menggejala di tengah umat Islam mengenai keluarnya peminang bersama wanita pinangannya tanpa akad,
dan mereka duduk berduaan. Perhatikan, apa yang terjadi akibat perbuatan ini? Oleh karena itu, untuk menambah
manfaat, kami merasa perlu meletakkan beberapa pertanyaan yang berisikan jawaban sebagian ulama mengenai hal
itu.

1. Hubungan Kasih Sayang Sebelum Pernikahan (Pacaran).


Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Apa pandangan agama tentang
hubungan sebelum perkawinan (pacaran)?”

Beliau menjawab: “Pernyataan penanya “sebelum menikah”, jika yang dia dimaksud adalah sebelum "mencampuri"
dan sesudah akad, maka ini tidak berdosa. Karena dengan akad, ia sudah menjadi isterinya, meskipun belum
melakukan persetubuhan. Adapun sebelum akad, pada saat lamaran atau sebelum itu, maka ini diharamkan dan
tidak dibolehkan. Tidak boleh seseorang bermesraan bersama wanita yang bukan isterinya, baik berbicara,
memandang maupun berduaan. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

Bundel Bimbingan Menikah Page 83


"Janganlah seseorang berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, dan janganlah wanita
bepergian kecuali bersama mahramnya" [10]

Walhasil, jika berkumpul ini setelah akad, maka tidaklah berdosa. Jika ini dilakukan sebelum akad walaupun setelah
peminangan dan pinangannya diterima, maka ini (pun) tidak boleh. Perbuatan ini haram baginya, karena wanita ini
masih tergolong orang lain, hingga ia mengikatnya (dengan ikatan pernikahan)." [11]

2. Hukum Peminang Duduk Bersama Wanita Pinangannya.


Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Aku telah meminang wanita dan aku
membacakan kepadanya 20 juz al-Qur'an selama masa peminangan, alhamdulillaah. Aku duduk bersamanya dengan
keberadaan mahram, sedangkan ia tetap memakai hijab syar’i, alhamdulillaah, dan duduk kami tidak keluar dari
pembicaraan agama atau membaca al-Qur'an, dan juga waktu duduk tersebut sangatlah pendek; apakah ini
kesalahan menurut syari’at?”

Beliau menjawab: “Ini tidak sepatutnya dilakukan. Karena pada umumnya perasaan seseorang bahwa teman
duduknya adalah pinangannya dapat membangkitkan syahwatnya. Luapan syahwat kepada selain isteri dan sahaya
wanitanya adalah haram, dan segala apa yang dapat membawa kepada keharaman adalah haram” [12]

3. Sekedar Dipinang Tidak Dilarang Menikahkannya dengan Selain Peminang.


Syaikh Muhammad bin Ibahim Alusy Syaikh rahimahullahu ditanya tentang seseorang yang datang dengan
membawa saudara perempuan sekandungnya, sedangkan dia telah dipinang oleh seorang pria di negerinya, Yaman.
Hari itu saudaranya ingin menikahkannya di Tha'if; apakah sah menikahkannya padahal dia telah dipinang?

Beliau menjawab: “Alhamdulillaah, selagi wanita ini belum dipertalikan dengan pria yang melamarnya dengan akad
pernikahan, maka sekedar lamarannya saja kepadanya tidak menghalanginya untuk menikahkannya dengan
selainnya” [13]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note

[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1412) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1292) kitab al-
Buyuu’, an-Nasa-i (no. 3243) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2081) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2171) kitab
at-Tijaaraat, Ahmad (no. 4708), Malik (no. 1112) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5143) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2563)
[4]. Fat-hul Baari (IX/199).
[5]. HR. Ahmad (no. 22471), al-Hakim (IV/298), ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi; Abu Dawud
(no. 3253) kitab al-Aimaan wan Nudzuur, dan dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib (V/385)
[6]. Dinukil dari al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (V/385).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/8)
[8]. Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[9]. Majmuu’ Fataawa (XXXII/8)
[10]. Telah disebutkan takhrijnya sebelumnya.
[11]. Al-Muslimuun (hal. 10)
[12]. Faatawaa asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin (II/748)
[13]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (X/56-57).

Bundel Bimbingan Menikah Page 84


HUKUM MENYANDINGKAN KEDUA MEMPELAI DI HADAPAN KAUM PEREMPUAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Di antara perkara munkar yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman sekarang ini adalah meletakkan tempat
duduk bagi kedua mempelai di hadapan para tamu wanita, dimana mempelai laki-laki duduk di situ di hadapan kaum
wanita yang tidak memakai jilbab dan bertabarruj (berdandan), bahkan boleh jadi ada di antara keluarga
mempelai laki-laki turut hadir bersamanya atau laki-laki dari kerabat dekat mempelai perempuan.

Tidak diragukan lagi bagi orang-orang yang masih mempunyai fitrah suci dan ghirah (kecemburuan) agama bahwa
perbuatan seperti itu banyak mengandung kerusakan besar, laki-laki asing mempunyai peluang besar untuk melihat
perempuan-perempuan mutabarrijat (dengan dandanan dan perhiasan yang dapat mengundang fitnah dan maksiat,
pent) dan akibat buruk yang akan timbul darinya. Maka wajib dicegah dan dihapuskan sama sekali karena
pertimbangan banyak fitnahnya dan demi memelihara komunitas masyarakat wanita dari hal-hal yang menyalahi
syari’at Islam yang suci.

Dan saya nasehatkan kepada seluruh kaum muslimin di negeri ini khususnya dan di negeri-negeri lain agar selalu
takut dan bertaqwa kepada Allah, berpegang teguh kepada syari’at Islam dalam segala sesuatu dan menghindari
segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka serta menjauhkan diri dari segala sebab keburukan
dan kehancuran dalam melaksanakan pesta pernikahan dan masalah-masalah lainnya dengan mengharap ridha Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan agar terhindari dari segala sesuatu yang dapat mengundang murka dan siksaan-Nya.

Hanya kepada Allah jualah saya memohon, semoga Dia karuniakan kepada kita dan kepada segenap kaum muslimin
kepatuhan kepada Kitab Suci Al-Qur’an dan bepegang teguh kepada sunnah Nabi-Nya, semoga menyelamatakan kita
dari bahaya sesat, fitnah dan kepatuhan kepada kehendak nafsu, dan semoga Dia menampakkan kepada kita yang
haq itu adalah haq dan mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk bisa mengamalkannya dan menampakkan
yang batil itu adalah batil dan mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk bisa menghidarinya.
Sesungguhnya Dialah sebaik-baik tempat kita memohon.

Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keuarga dan segenap sahabatnya.
[Fatawa Nisa’iyah, hal. 44-45]

HUKUM KEDUA MEMPELAI BERSANDING DI HADAPAN KAUM WANITA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya ; Apa hukumnya tentang yang dilakukan oleh sebagian orang yang
di saat pesta pernikahan dimana mereka menyandingkan kedua mempelai di depan kaum wanita dan
mendudukannya di kursi pengantin, pengantin pria dapat melihat para tamu wanita dan mereka pun melihatnya.
Kami mengharapkan jawabannya disertai dalil. Jazakumullahu khairan.

Jawaban
Perbuatan seperti itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, karena bersandingnya kedua mempelai di hadapan
kaum wanita pada acara tersebut, tidak diragukan lagi, dapat menimbulkan fitnah (maksiat) dan membangkitkan
gairah syahwat, bahkan bisa berbahaya terhadap istri (mempelai wanita), karena bisa saja sang suami melihat
perempuan yang ada di hadapannya yang lebih cantik daripada istrinya dan lebih bagus posturnya, hingga ia kurang

Bundel Bimbingan Menikah Page 85


tertarik kepada istri yang ada di hadapannya dimana ia mengira (sebelumnya) bahwa istrinya adalah wanita yang
paling cantik dan bagus.

Maka wajib hukumnya menghindari perbuatan seperti itu, pengantin perempuan tetap berada di tempat di mana
hanya suaminya yang menjumpainya, dan tidak mengapa keluarga suami turut menjumpainya bersamanya jika
mereka hendak mengucapkan selamat dan do’a restu untuk mereka berdua, namun suami tidak duduk
berdampingan dengan istrinya, ngobrol atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam, seperti
memberinya permen atau lainnya. Semua kebiasaan buruk seperti itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin, melainkan
kebiasaan dan adat yang diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh Islam kepada kaum muslimin dan mereka
pun mengikuti dan menirukannya.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 86


WANITA TIDAK BOLEH MENIKAHKAN DIRINYA SENDIRI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Telah sampai pada saya bahwa ada seorang wanita Australia menikah
tanpa wali, tidak disebutkan berapa maharnya dan tidak disaksikan kecuali oleh dua orang yaitu seorang laki-laki
muslim dan seorang wanita Nashrani ibunda mempelai wanita. Di dalam proses akad disaksikan oleh teman-
temannya serta wanita pencatat perkawinan yang Kristen pula. Setelah dua tahun dari masa penikahan wanita
tersebut masuk Islam dan dikaruniai dua anak. Ia bertanya tentang sah tidaknya pernikahan tersebut dan bila tidak
sah, apa yang harus dilakukannya dan bagaimana shalatnya karena ia tidak menguasai kecuali bahasa Inggris?

Jawaban
Akad nikah yang telah disebutkan di atas hukumnya tidak sah karena tidak ada wali dan dua orang saksi, padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak (sah akad) nikah tanpa wali dan dua orang saksi”

Dan jika mahar tidak disebutkan pada saat akad nikah, maka belum halal. Adapun cara untuk membenarkan kembali
akad nikah, yaitu dengan mengadakan pernikahan baru di hadapan pihak yang terkait dan dilakukan akan nikah
setelah keduanya bersedia dan rela. Seandainya tidak bisa menghadirkan wali, maka harus menggunakan wali hakim
yang diberi wewenang untuk menikahkan.

Tentang yang telah terjadi masa lalu semuanya tidak dianggap dosa dan kesalahan, dan kedudukan anak-anaknya
sah menurut syari’at dan nasabnya tetap dinisbatkan kepada bapak mereka, dengan syarat jika selama ini keduanya
meyakini bahwa pernikahan tersebut sah, sebab hal ini termasuk senggama syubhat. Mengenai shalatnya, sang isteri
harus secepatnya belajar membaca Al-Fatihah dan dzikir-dzikir yang wajib dibaca dalam shalat

[Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, juz 10/90]

WANITA MENIKAH TANPA SEIZIN WALINYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah boleh seorang gadis menikah tanpa izin walinya? Dan apa
hukumnya surat menyurat atau berbicara lewat telpon antara remaja laki-laki dan perempuan dalam rangka
berteman?

Jawaban
Tidak boleh seorang gadis menikah tanpa wali atau izin bapaknya sebab ia adalah walinya yang merupakan orang
yang paling tahu tentang kemaslahatan anaknya. Tetapi sebaliknya wali tidak boleh menghalangi anaknya untuk
menikah dengan laki-laki yang sebanding juga shalih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika datang kepadamu seseorang baik agama dan amanahnya yang (meminang anakmu), maka
kawinkanlah, jika tidak engkau (nikahkan) pasti akan terjadi fitnah dan bencana besar di muka bumi”

Bundel Bimbingan Menikah Page 87


Tidak etis apabila seorang gadis bersikeras mau menikah dengan laki-laki yang tidak disukai ayahnya sebab bisa jadi
apa yang dilakukan bapaknya lebih baik, sementara ia tidak tahu karena kurang berpengalaman. Allah berfirman.

“Artinya : Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” [Al-Baqarah : 216]

Dan si gadis itu harus berdoa kepada Allah agar diberi jodoh orang yang shalih.

Tentang masalah surat-menyurat atau berbicara lewat telpon itu tidak boleh karena sangat banyak dampak
negatifnya dan menghilangkan rasa malu dari wanita tersebut.

[Kitabul Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 hal. 237-238]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun
Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq].

Bundel Bimbingan Menikah Page 88


MENIKAH DENGAN NIAT TALAK

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang ingin bepergian keluar negeri sebagai
delegasi. Oleh karena itu ia ingin menyelamatkan dirinya (dari perbuatan haram) maka ia berniat akan menikah di
luar negeri untuk masa waktu tertentu (dengan perempuan di negera yang ia tuju), kemudian ia akan
menceraikannya tanpa ia memberitahukan terlebih dahulu kepada perempuan tersebut tentang rencana
perceraiannya. Bagaimanakah hukumnya?

Jawaban
Nikah dengan niat talak itu tidak akan lepas dari dua hal.

Pertama : Di dalam akan ada syarat bahwa ia akan menikahinya hanya untuk satu bulan, satu tahun atau hingga
studinya selesai. Maka ini adalah nikah mut'ah da hukumnya haram.

Kedua : Nikah dengan niat talak namun tanpa ada syarat, maka hukumnya menurut madzhab yang masyhur dari
Hanabilah adalah haram dan akadnya rusak (tidak sah), karena mereka mengatakan bahwa yang diniatkan itu sama
dengan yang disyaratkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya segala amal perbuatan itu (diterima atau tidak) sangat tergantung pada niatnya dan
sesungguhnya bagi setiap orang itu adalah apa yang ia niatkan". [Muttafaq 'Alaih]

Dan jika seseorang menikahi seorang perempuan yang telah talak tiga dari suaminya (dengan niat) agar perempuan
itu menjadi halal lagi bagi suami yang pertama, lalu suami yang kedua akan menceraikannya, maka nikahnya (suami
yang kedua) tidak sah, sekalipun akadnya dilakukan tanpa syarat. Sebab, apa yang diniatkan itu sama dengan apa
yang disyaratkan. Maka jika niat nikahnya adalah untuk menghalalkan suami yang pertamanya kembali kepada
mantan istrinya, maka akadnya rusak, dan demikian pula niat nikah mut'ah merusak akad. Inilah pendapat ulama
madzhab Hanbali,

Pendapat kedua di kalangan para ulama dalam masalah di atas adalah sah saja seseorang menikahi perempuan
dengan niat akan menceraikannya apa ia kembali ke negaranya, seperti para mahasiswa yang pergi keluar negeri
untuk belajar atau lainnya. Alasan mereka adalah bahwa si laki-laki itu tidak memberi syarat (di dalam akad),
sedangkan perbedaan nikah seperti ini dengan nikah mut'ah adalah bahwa apabila batas waktu dalam nikah mut'ah
itu habis maka perceraian dengan sendirinya terjadi, dikehendaki oleh suami maupun tidak ; berbeda halnya nikah
dengan niat talak. Nikah dengan niat talak itu memungkinkan bagi suami menjadikan istrinya untuk selama-lamanya.
Ini adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut saya, ini shahih dan itu bukan mut'ah, sebab defenisi mut'ah tidak cocok untuk nikah dengan niat talak,
akan tetapi hukumnya tetap haram karena merupakan penipuan terhadap istri dan keluarganya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan perbuatan curang dan penipuan. Dan sekiranya si perempuan
(istri) mengetahui bahwa si lelaki itu tidak ingin menikahinya kecuali untuk waktu tertentu saja, niscaya perempuan
itu tidak mau menikah dengannya, demikian pula keluarganya.

Kalaulah ia tidak rela jika putrinya dinikahi oleh seorang dengan niat akan menceraikannya apabila kebutuhannya
telah terpenuhi, maka bagaimana ia rela memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang ia sendiri tidak rela

Bundel Bimbingan Menikah Page 89


menerima perlakuan seperti itu. Perbuatan seperti ini sudah sangat bertentangan dengan iman, sebab Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Tidak beriman seseorang diantara kamu, sebelum ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi
dirinya". [Muttafaq 'alaih]

Sesungguhnya saya juga mendengar bahwa ada sebagian orang yang menjadikan pendapat yang rapuh diatas
sebagai alasan untuk melakukan perbuatan yang tidak dapat diterima oleh siapapun. Mereka pergi ke luar negeri
hanya untuk menikah, mereka tinggal bersama istri barunya yang ia nikahi dengan niat talak dalam batas waktu
semau mereka, dan setelah puas mereka tinggalkan ! Ini juga sangat berbahaya di dalam masalah ini, maka dari itu
menutup rapat-rapat pintunya adalah lebih baik, karena banyak mengandung unsur penipuan, kecurangan dan
pelecehan, dan karena membukanya berarti membuka kesempatan kepada orang-orang awam nan jahil untuk
melanggar batas-batas larangan Allah.

Fatawa Mar'ah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 48-49]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Jursiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 90


HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI ORANG KAFIR YANG TIDAK MEMILIKI KITAB

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

DEFENISI KAFIR

[1]. Secara Bahasa

Kafir (secara bahasa) artinya menutup, menghalangi dan menolak. Malam hari juga disebut “kafir”, karena ia
menutupi segala sesuatu. Setiap sesuatu yang menutupi yang lain, berarti ia telah kafarahu (menutupinya). Al-Kafir
(orang kafir) adalah az-zari’ (penanam), sebab ia menutup benih dengan tanah. Jadi al-kuffar (orang-orang kafir)
adalah az-zurra’ (orang-orang yang menanam benih) [1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” [Al-Hadid : 20]

Makna Al-Kuffar di sini, yaitu para penanam (petani), sebab mereka menimbun benih, yakni mereka menutupnya
dengan tanah. [2]

[2]. Secara Istilah

Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya setelah ia mengakui sangat sulit bagi kalangan ahli kalam (teolog) memberikan
batasan makna kafir (orang kafir). Kafir adalah tidak mempercayai sedikitpun apa yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal hal itu telah diketahui secara nyata. [3]

Defenisi yang lain : Kafir adalah lawan kata iman yaitu mengingkari salah satu dari apa yang dibawa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah sampai kepada kita dengan riwayat yang meyakinkan lagi pasti. [4]

HUKUM MENIKAHI WANITA MUSYRIK

Seorang muslim dilarang menikahi wanita-wanita musyrik [5]. Pendapat ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”[Al-Baqarah : 221]

Juga dengan ijma ulama.


Dalil tersebut sangat jelas menerangkan larangan menikahi atau mengawini wanita-wanita musyrik, baik wanita
tersebut merdeka atau budak.

HUKUM MENIKAHI WANITA MAJUSI [6]

Seorang muslim dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi bukan dari golongan Ahli Kitab. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Ahli Kitab adalah mereka yang beragama Yahudi maupun Nasrani. Kitab Taurat
diturunkan kepada kaum Yahudi dan Nabi mereka adalah Musa Alaihissalam. Sedangkan kitab Injil diturunkan
kepada kaum Nasrani, dan Nabi mereka adalah Isa bin Maryam Alaihissalam. Namun madzhab Zhahiriah
membolehkan seorang muslim menikah dengan wanita Majusi dengan hujjah mereka termasuk golongan Ahli kitab.
[7]

Abu Tsaur mengatakan : “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bundel Bimbingan Menikah Page 91


“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab” [8]

Alasan lain, karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu pernah menikahi wanita
Majusi, dan karena mereka masih ditetapkan terkena jizyah (pajak), sehingga setatus mereka mirip dengan orang-
orang Yahudi dan Nasrani” [9]

Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama. Pasalnya, orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : (Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada
dua golongan saja sebelum kami” [Al-An’am : 156]

Seandainya orang-orang Majusi termasuk golongan Ahli Kitab, pasti akan disebutkan bahwa Ahli kitab terdiri dari tiga
kelompok.

Adapun sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab”
[10]

Ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tidak memiliki kitab. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari hadits tersebut
adalah dalam rangka melindungi darah mereka dan masih ditetapkan terkena jizyah, bukan yang lainnya. Sedangkan
mengenai riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu pernah menikahi wanita Majusi, maka riwayat ini tidak shahih
dan Imam Ahmad telah mendha’ifkan (melemahkan) orang yang meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa beliau pernah
menikahi wanita Majusi. Abu Wa’il menyatakan : “(Orang yang meriwayatkan bahwa) beliau pernah menikahi wanita
Yahudi itu lebih kuat daripada orang yang meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi”.
Sementara Ibnu Sirin mengatakan : “Konon, istri Hudzaifah beragama Nasrani” [11]

Dengan diskusi (munaqasah) ini, maka jelaslah bagi kita bahwa yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur
ulama yang menyatakan bahwa seorang muslim haram menikahi wanita Majusi.

HUKUM MENIKAHI WANITA SHABI’AH [12]

Para ulama –rahimahumullah- masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita Shabi’ah.

Letak perbedaan ini berdasarkan perbedaan madzhab mereka masing-masing. Di kalangan ulama ada yang
mengkategorikan mereka termasuk golongan Ahli Kitab, sehingga dibolehkan menikahi mereka. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah rahimahullah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Yusuf Asy-Syaibani (keduanya adalah sahabat
Abu Hanifah, pent), berpendapat tidak boleh menikahi wanita Shabi’ah. Sebab, mereka adalah para penyembah
berhala. Mereka menyembah bintang-bintang [13]. Pendapat ini juga dipegang oleh pengkiut madzhab Malikiyah.
[14]

Adapun madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah (Hanbali), mereka memberikan perincian dalam masalah tersebut. Jika
mereka sesuai dengan kaum Nasrani atau Yahudi (Ahli Kitab) dalam masalah pokok-pokok agama (usul), namun
menyelisihi dalam masalah yang bersifat cabang (furu’ bukan masalah ushul), maka mereka termasuk golongan Ahli
Kitab, sehingga boleh dinikahi. Sebaliknya, jika mereka menyelisihi Ahli Kitab dalam masalah pokok-pokok agama,
maka mereka bukan termasuk golongan Ahli Kitab, sehingga mereka tidak boleh dinikahi” [15]

HUKUM MENIKAHI WANITA-WANITA PENYEMBAH BERHALA DAN YANG SERUPA

Bundel Bimbingan Menikah Page 92


Para ulama telah sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh menikahi para penyembah berhala dan yang serupa
dengan mereka dari golongan orang-orang kafir yang tidak memiliki kitab. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanan : 10]

Juga firman-Nya.
“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]

Di kalangan para ulama tidak ada perbedaan pendapat mengenai haramnya menikahi wanita-wanita mereka …
Ketentuan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang menyatakan secara jelas (sharih) tentang keharamannya. [16]

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah
Mutsana Abdul Qahhar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Mukhtashar Ash-Shihah : 572-573, terbitan Maktabah Al-Hilal, Beirut. Lihat pula Al-Mu’jam Al-Wasith
II/791-792, Daar Ihya-u At-Turats Al-Arabi.
[2]. Lihat Fathu Al-Qadir oleh Asy-Syaukani V/175
[3]. Lihat At-Tafsir Al-Kabir oleh Ar-Razi II/39, terbitan Daaru Al-Kutub Al-Alamiin.
[4]. Al-Kufru wa Al-Mukaffarat, Ahmad Izzuddin Al-Bayanunii 6, terbitan Maktabah Al-Huda.
[5]. Badaai’ Ash-Shanaai’ oleh Al-Kasani II/271, Darul Kitab Al-Arabi. Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543. Takmilah Al-
Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab XVI/232. Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj III/187, Daar Ihya-u At-Turats Al-Arabi,
Libanon. Syarh Muntaha Al-Iradaat III/36, Daar Al-Ifta Al-Mamlakah Al-Arabiyyah As-Su’udiyyah. Al-Mughni oleh Ibnu
Qudamah VI/472, Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah.
[6]. Majusi adalah orang-orang yang menyembah api.
[7]. Badaai’ Ash-Shanaai’ II/272, Syarh Fath Al-Qadir oleh Ibnul Hammam III/230, terbitan Al-Halabi, Al-Kafi oleh
Ibnu Abdil Barr II/543, Takmilah Al-Mjmu XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/591
[8]. Tanwiru Al-Hawalik Syarh Ala Muwaththa’ Malik. Kitab Az-Zakat I/264 terbitan Daar An-Nadwah Al-Jadidah,
Beirut.
[9]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/591
[10]. Tanwiru Al-Hawalik Syarh Ala Muwaththa’ Malik. Kitab Az-Zakat I/264 terbitan Daar An-Nadwah Al-Jadidah,
Beirut.
[11]. Al-Mughni VI/592
[12]. Shabi’ah adalah sekelompok dari orang-orang Nasrani yang memang disebut demikian. Ada ulama yang
berpendapat karena mereka dinisbatkan kepada Shabi’, paman Nabi Nuh Alaihissalam. Pendapat lain, karena mereka
keluar dari agama yang satu dan masuk ke agama yang lain. Dahulu orang-orang kafir biasa menyebut para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum sebagai shabi’ah, karena mereka keluar dari agamanya dan masuk ke agama Islam. (Lihat
Mughni Al-Muhtaj Syarhu Asy-Syaibani III/18). Ibnul Hammam berkata : “Mereka adalah sebuah kaum yang
menentang agama Yahudi dan Nasrani, lalu menyembah bintang-bintang”. Dan disebutkan dalam Ash-Shihah :
“Sesungguhnya mereka termasuk golongan Ahli Kitab” [Syarh Fath Al-Qadir III/223]

Ibnu Qudamah berkata : “Para ulama masih berbeda pendapat mengenai orang-orang shabi’ah. Diriwayatkan dari
Ahmad bahwa mereka masih termasuk golongan Nasrani. Pada kesempatan yang lain beliau berkata : “saya telah
mendengar kabar bahwa mereka adalah orang-orang yag memuliakan kesucian hari Sabtu, maka mereka termasuk
orang-orang Yahudi”. Diriwayatkan dari Umar bahwa beliau pernah berkata : “Mereka adalah orang-orang yang
memuliakan hari Sabtu”. Mujahid berkata : “Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan kaum Yahudi dan
Nasrani”. Sedangkan Imam Syafi’i lebih cenderung diam dalam menentukan status mereka.

Pendapat yang benar adalah justru keluar dari semua pendapat di atas. Jika mereka sesuai dengan salah satu Ahli

Bundel Bimbingan Menikah Page 93


Kitab dalam hal siapa nabi mereka dan apa kitabnya, maka mereka masih satu golongan. Namun jika mereka
menyelisihi dalam masalah tersebut, maka mereka bukan lagi termasuk Ahli Kitab. [Lihat Al-Mughni VIII/496-497]
[13]. Lihat Syarh Fath Al-Qadir III/232
[14]. Lihat Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, terbitan Daar Al-Baaz
[15]. Lihat Raudhah Ath-Thalibi wa Umdah Al-Muftin oleh An-Nawawi VII/139 dan Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah
VI/591
[16]. Lihat Syarh Fath Al-Qadir III/231, Bidayah Al-Mujtahid oleh Ibnu Rusyd II/44 terbitan Daar Al-Ma’rifah,
Takmilah Al-Majmu XVI/232 dan Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi oleh Al-Anqari III/84 terbitan Maktabah Ar-Riyadh Al-
Haditsah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 94


HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

[Yang Merdeka, Yang Berstatus Sebagai Ahli Dzimmah [1], Dan Yang Menjaga Kehormatannya]

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitb, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah,
ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [2], Malikiyah
[3], Syafi’iyah [4], dan Hanabilah (Hanbali) [5].

Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah
ataupun yang menjaga kehormatannya.

Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [6].

Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.

Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]

[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari
Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah,
padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu
menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.

[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani.
Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi
Waqqash” [7]

[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi. “Artinya : Berbuatlah kalian kepada
mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging
sembelihan mereka” [8]

Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.

[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala


“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah
dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa
wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan
Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah

Bundel Bimbingan Menikah Page 95


dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang
wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu
wa Ta’ala” [9] [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]

[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang
teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab
termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.

Diskusi Seputar Dalil-Dalil Di Atas


Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.

[1]. Diskusi Dalil Pertama.

Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) dengan
ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]

Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti
setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal
menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.[10]

[2]. Diskusi Dalil Kedua.

Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang
wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-
wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas
dalil yang bersifat khusus” [11]

[3]. Diskusi Dalil Ketiga

Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10]

Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.

“Artinya : orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.


“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]

Bundel Bimbingan Menikah Page 96


Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut. Al-Qur’an
telah menunjukkan bahwa lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.

Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10]

Adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini
adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus
itu wajib didahulukan.

Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita
Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat
jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).

Berkaitan : .. Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur
ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh
secara muthlak ataukah boleh namun makruh hukumnya?

Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.

Pendapat Pertama.

Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian
madzhab Hanafiyah [12], pendapat madzhab Malikiyah [13], Syafi’iyah [14], dan Hanabilah [15].

Pendapat Kedua

Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat
sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam
Malik [16].

Pendapat Ketiga

Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata : “Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa
sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman
Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya
pun baik” [17]. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah
Mutsana Abdul Qahhar
__________
Foote Note

[1]. Ahli dzimmah adalah orang-orang bukan Islam yang berada di bawah perlindungan pemerintah Islam.
[2]. Syarh Fath Al-Qadir III/228, Bada’i Ash-Shana’i II/270, Hasyiyah Ibnu Abidin III/45 dan Tabyin Al-Haqaiq Syarh
Kanzu Ad-Daqaiq oleh Az-Zailaiy II/109 terbtan Daar Al-Ma’rifah, Beirut.
[3]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, Bidayah Al-Mujtahid II/44 dan Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543
[4]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232, Mughni Al-muhtaj III/187 Raudhah Ath-Thalibin VII/132 dan Alaihis
salam Sail Al-Jarar Al-Mutadaffiq Ala Hadaiq Al-Zhar II/253 terbitan Al-Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.

Bundel Bimbingan Menikah Page 97


[5]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/589 dan Syarh Muntaha Al-Iradaat III/236
[6]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590 dan Fath Al-Qadir oleh Asy-
Syaukani I/15
[7]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232
[8]. Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263
[9]. Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar Al-Ma’rifah, Beirut
[10]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590
[11]. Lihat Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15
[12]. Tabyin Al-Haqa-iq Syarh Kanzu Ad-Daqa-iq II/109
[13]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[14]. Takmilah Al-Majmu 16/232
[15]. Al-Furu oleh Ibnu muflih V/207
[16]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[17]. Mughni Al-Muhtaj III/187

Bundel Bimbingan Menikah Page 98


PERNIKAHAN SEORANG MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB DI GEREJA

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : "Apakah boleh seorang muslim meresmikan pernikahannya dengan wanita ahli
kitab di dalam gereja dengan ditangani oleh pendeta, sementara akad nikahnya sudah dilakukan di Kantor Urusan
Pernikahan Inggris ?"

Jawaban.
Tidak boleh bagi seorang muslim meresmikan pernikahannya dengan wanita muslimah atau ahli kitab di dalam
gereja juga tidak boleh ditangani oleh pendeta. Meskipun sebelumnya sudah menikah dengan ketentuan dan tata
cara yang sesuai dengan sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab tindakan tersebut menyerupai tata cara
pernikahan orang nashrani dan pengagungan terhadap syi'ar, tempat ibadah serta penghormatan terhadap tokoh
agama mereka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang menyerupai salah satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka" [Hadits Riwayat
Ahmad dengan sanad yang shahih]

[Majallatul Buhuts, 9/48]

MEMAKSA ISTRI DARI AHLI KITAB UNTUK MANDI JUNUB

Oleh
Syaikh Abdurrahman As-Sa'dy

Pertanyaan.
Syaikh Abdurrahman As-Sa'dy ditanya : "Apakah boleh memaksa itri ahli kitab untuk mandi junub ?"

Jawaban.
Sebaiknya ia dipaksa untuk mandi junub dan melakukan apa saja yang berkaitan dengan kesucian dan
kebersihannya, serta dipaksa untuk meninggalkan segala sesuatu yang menjijikan, untuk mentaati dan menunaikan
hak suami yang telah menjadi kewajibannya.

[Majmu'ul Kamilah Limullaftil Syaikh As-Sa'dy, 7/360]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesiap Fatwa-Fatwa Tentang wanita,
Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq].

Bundel Bimbingan Menikah Page 99


PERNIKAHAN SESAMA ORANG KAFIR : DAMPAK DARI SUAMI-ISTRI ATAU SALAH
SATUNYA MASUK ISLAM TERHADAP STATUS PERNIKAHAN

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Apabila suami-istri masuk Islam secara bersamaan, maka pernikahan mereka
dinyatakan sah. Tidak perlu ditanyakan perihal bagaimana sebelum masuk Islam, apakah pernikahannya sah atau
tidak? Selama tidak ada sebab yang membatalkan pernikahan tersebut. Misalnya, jika keduanya masuk Islam,
sementara dia menikahi istrinya masih pada masa iddah orang lain, atau istrinya sebagai orang haram dinikahi, baik
haram dinikahi untuk sementara waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana juga, jika istrinya sebagai orang yang
haram dinikahi karena adanya hubungan nasab atau saudara sesusuan, atau istrinya sebagai orang yang tidak boleh
disatukan dengan istrinya yang lain, seperti dua wanita yang bersaudara dan yang semisalnya… Apabila keduanya
masuk Islam, sedangkan keduanya adalah orang yang haram menikah karena ada hubungan nasab atau saudara
sesusuan … maka keduanya harus diceraikan berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu (ulama)” [1]

Adapun jika salah satu dari suami istri tersebut masuk Islam, kemudian yang lain juga masuk Islam setelahnya, maka
para ulama masih berbeda pendapat menjadi lima pendapat.

Pendapat Pertama
Menurut sekelompok madzhab Zhahiriyah : “… Kapan saja seorang wanita masuk Islam, seketika itu juga
pernikahan dengan suaminya batal. Sama saja, baik dia seorang wanita Ahli Kitab atau bukan dari Ahli Kitab, baik
sang suami kemudian menyusul masuk Islam setelah dirinya meskipun hanya sekejab mata atau ada jarak waktu.
Tidak ada jalan lagi bagi sang suami atas istrinya kecuali jika keduanya masuk Islam secara bersama-sama dalam
satu waktu. Begitu pula, jika sang suami masuk Islam sebelum istrinya, maka pernikahan dengan istrinya juga batal
pada waktu dia masuk Islam, meskipun hanya sekejab mata kemudian sang istri menyusul masuk Islam” [2]

Pendapat Kedua
Menurut madzhab Hanafiyah : “Apabila seorang wanita masuk Islam sementara suaminya masih kafir, hendaklah
ditawarkan kepada si suami agar masuk Islam jika keduanya berada di Darul Islam (Negara Islam). Jika si suami
masuk Islam, maka wanita tersebut masih menjadi istrinya, dan jika dia menolak, maka seorang hakim berhak
menceraikan keduanya. Sedangkan jika (keduanya) berada di Darul Harb (Negeri kafir yang berhak diperangi), hal
itu cukup didiamkan sampai masa iddah si wanita habis. Apabila si suami tidak juga masuk Islam, maka dia
diceraikan. Jika penolakan dari pihak suami, itu berarti talak, karena pernyataan cerai berasal dari pihaknya,
sehingga hal itu disebut dengan talak, sebagaimana halnya jika dia melafalkan kalimat talak. Namun, jika penolakan
dari pihak istri, hal itu batal, karena wanita tidak memiliki hak talak” [3]

Pendapat Ketiga
Menurut Imam Malik : “Apabila istri masuk Islam, hendaklah ditawarkan kepada suaminya agar masuk Islam. Jika
suami masuk Islam, (pernikahannya tetap sah), dan jika menolak, dia harus diceraikan. Adapun jika si suami yang
masuk Islam, maka harus segera diceraikan”. Ibnu Abdil Barr menyebutkan : “Apabila suami dari Ahli Kitab masuk
Islam sebelum istrinya yang juga beragama Ahli Kitab, maka pernikahan keduanya tetap sah, karena agama Islam
membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab. Namun, jika wanita tersebut bukan dari Ahli Kitab, maka keduanya harus
segera diceraikan, kecuali wanita tersebut masuk Islam tidak lama kemudian setelah suaminya. Dan apabila sang istri
masuk Islam lebih dulu sebelum suaminya yang juga beragama Ahli Kitab atau bukan dari Ahli Kitab, kemudian sang
suami menyusul masuk Islam masih pada masa iddah istrinya, maka dia berhak atas istrinya tanpa harus rujuk atau
membayar mahar kembali. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka dia tidak mempunyai masa iddah. Oleh
karenanya, apabila wanita tersebut masuk Islam, maka keduanya harus diceraikan dengan perceraian tanpa ada
kalimat talak dan tidak pula mahar, karena si suami belum menyetubuhinya” [4]

Bundel Bimbingan Menikah Page 100


Pendapat Keempat
Menurut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah : ‘Pernikahan itu batal apabila salah satu dari suami istri lebih
dahulu masuk Islam dengan syarat belum melakukan persetubuhan, … maka menurut madzhab Syafi’iyah dan
Hanbaliyah yang masyhur dari mereka bahwa perceraiannya ditangguhkan sampai habis masa iddah. Jika suami atau
istri tersebut masuk Islam masih pada masa iddah, maka pernikahannya tetap sah. Dan jika dia masuk Islam setelah
habis masa iddah maka pernikahannya batal. Pendapat ini juga diambil oleh Al-Auza’i, Az-Zuhri, Al-Laits dan Ishaq”
[5]

Pendapat Kelima
Seorang istri apabila masuk Islam sebelum suaminya, maka pernikahannya dibekukan. Jika dia menginginkan
perceraiann maka akan diceraikan dengan suaminya, dan jika menginginkan tetap bersamanya –maksudnya tetap
menunggu dan menanti suaminya-, maka kapan saja si suami masuk Islam, maka dia tetap menjadi istrinya, selama
wanita tersebut belum menikah dengan laki-laki lain, meskipun telah berlalu sekian tahun. Persoalan ini diserahkan
kepada wanita tersebut. Tidak ada hak bagi suaminya untuk bersikap tegas kepada istrinya, begitu pula sebaliknya,
si istri tidak mempunyai hak untuk bersikap tegas kepada suaminya. Ketentuan hukum ini juga berlaku jika sang
suami yang lebih dulu masuk Islam.

Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, Hammad bin Abi Sulaiman juga
menfatwakan dengannya. Sebagian ulama ada yang menukil bahwa Imam Malik juga memilih pendapat ini. Ibnul
Qayyim menyebutkan bahwa pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. [6]

DALIL-DALIL PENDAPAT DIATAS

Dalil-Dalil Pendapat Pertama –Madzhab Zhahiriyah-:

1). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala


“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka ; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-
suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka (suami-suami)
mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir ; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar ; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu” [Al-Mumtahanah ; 10] [7]

Ini adalah ketentuan hukum Allah yang tidak ada seorangpun boleh melanggarnya. Sungguh Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengharamkan seorang wanita kembali kepada laki-laki (suami) yang kafir.

2). Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

“Artinya : Seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang menjauhi segala apa ang dilarang oleh Allah”
[8] [HR Al-Bukhari]

Setiap orang yang masuk Islam berarti telah menjauhi kekafiran yang telah dilarang, sehingga dia disebut sebagai
muhajir (orang yang hijarah).

Dalil-Dalil Pendapat Kedua –Madzhab Hanafiyah-.

1). Ijma’ (kesepakatan) para shahabat Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari Bani
Tsa’lab yang istrinya masuk Islam. Kemudian Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menawarkan Islam kepadanya,
namun dia menolak, sehingga Umar menceraikan keduanya [9]. Persitiwa tersebut disaksikan oleh para shahabat
yang lain dan mereka tidak mengingkarinya, sehingga ini menjadi ijma.

Bundel Bimbingan Menikah Page 101


2). Karena dengan masuk Islam, tidak ada lagi tujuan-tujuan pernikahan antara keduanya, yaitu tujuan memiliki,
menggauli, tempat menyalurkan kebutuhan biologis, menyambung keturunan dan lainnya. Sehingga harus ada sebab
yang akan membangun kembali tujuan kepemilikan yang telah hilang tersebut. Sementara, Islam adalah agama
ketaatan yang menetapkan jaminan keamanan, bukan memutusnya. Demikian pula, orang yang terus menerus
dalam kekafiran, tidak akan dapat menafikannya, baik dalam keadaan permulaan maupun keadaan selanjutnya
sebelum masuk Islam. [10]

Dalil-Dalil Pendapat Ketiga –Madzhab Malikiyah-

Dalam menyatakan pendapat tersebut. Madzhab Malikiyah berhujah dengan dalil-dalil berikut.

1). Ketika suami atau istri masuk Islam sebelum melakukan persetubuhan, mereka berdalil dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10]

Wanita tersebut tidak mempunyai masa iddah, sehingga pernikahan keduanya akan terputus (batal) seketika itu juga
saat salah satu dari suami istri masuk Islam. [11]

2). Adapun ketika sang istri masuk Islam setelah melakukan persetubuhan, mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut.

a). Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad darinya sendiri : Bahwasanya Ummu Hakim binti Al-Harits bin
Hisyam adalah istri Ikrimah bin Abu Jahal. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah, sedangkan suaminya,
Ikrimah, lari enggan masuk Islam hingga sampai ke negeri Yaman. Lantas Ummu Hakim berangkat menyusul
suaminya hingga dapat menemuinya di Yaman. Dia pun mengajak suaminya masuk Islam. Akhirnya suaminya
(Ikrimah) masuk Islam, lalu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih pada tahun penaklukan
Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, maka beliau menyambutnya dengan suka cita dan
ia tetap mengenakan selendangnya hingga dibaiat, beliau pun tetap mengesahkan pernikahan keduanya” [12]

b). Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad dari Ibnu Syihab : “Ia menyampaikan
bawa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para istri kalian masuk Islam di negeri mereka dan mereka
tidak berhijrah. Ketika mereka masuk Islam, suami mereka masih kafir. Di antara mereka adalah anak perempuan Al-
Walid bin Al-Mughirah, dia adalah istri Shafwan bin Umayyah. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah,
sedangkan suaminya lari enggan masuk Islam. Rasulullah pun mengirim utusan kepadanya… Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menceraikannya (Shafwan) dengan istrinya, padahal dia masih kafir. Ketika dia masuk Islam,
istrinya tetap bersamanya, tidak dicerai’ [13]

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah
Mutsana Abdul Qahhar]
__________

Foote Note
[1]. Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim : V/135, Terbitan Muassasah Ar-Risalah
[2]. Lihat Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm : IV/314 Terbitan Daar Al-Fikr
[3]. Hasyiah Ibnu Abidin III/188 dan Syarh Fath Al-Qadir III/418, 419.Ibnu Qudamah mencantumkan semua itu
dalam Al-Mughni yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah VI/614
[4]. Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/549, 550
[5]. Lihat Mughni Al-Muhtaj III/191, lihat pula Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/614-616 dan Kasysyaf Al-Qana
V/119
[6]. Silakan periksa Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah oleh Ibnul Qayyim I/320 dan halaman selanjutnya

Bundel Bimbingan Menikah Page 102


[7]. Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm IV/316
[8]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘ahu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau pernah bersabda : “Seorang muslim adalah orang yang lisan dan tangannya selamat dari
menyakiti kaum muslimin yang lain, dan seorang muhajir adalah orang yang menjauhi segala apa yang dilarang oleh
Allah”. Lihat Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari I/53, Kitab Al-Iman Bab Al-Muslimu man Salima Al-Muslimun min
Lisanihi wa Yadihi.
[9]. Laki-laki ini bernama Abdullah bin Nu’man bin Zar’ah, dia seorang yang beragama Nasrani dan istrinya masuk
Islam. Lihat Mushannif ibnu Abi Syaibah, kitab Ath-Thalaq V/90-91
[10]. Tabyin Al-Haqaiq II/174
[11]. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/614, dan Tanwir Al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa Malik VI/76
[12]. Ibid, dalam Bab Nikah Al-Musyrik Idza Aslamat Zaujatuhu
[13]. Ibid : 75 dan halaman selanjutnya

Bundel Bimbingan Menikah Page 103


DAMPAK NEGATIF MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

Pada saat Allah membolehkan pernikahan, di sana mengandung tujuan sebagai cara untuk memperbaiki akhlak.
Sehingga dapat membersihkan masyarakat dari akhak yang buruk, lebih menjaga kemaluan, menegakkan
masyarakat dengan sistem Islam yang bersih, dan melahirkan umat muslim yang bersyahadat La ilaaha illallah wa
anna muhammadar Rasulullah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah).

Kemaslahatan ini tidak mungkin akan terwujud kecuali dengan menganjurkan untuk menikahi wanita shalihah,
memliki kualitas agama dan kemuliaan yang memadai serta berakhak mulia.

Adapun mengenai pengaruh dan dampak yang negatif dari menikahi wanita Ahli Kitab dapat diringkas sebagai
berikut.

[1]. Dampak Negatif Pada Lingkungan Keluarga

Dampak negatif pada lingkungan keluarga adalah apabila seorang suami memiliki kepribadian yang kuat maka dia
akan mampu mempengaruhi sang isteri dan bahkan mungkin akan menjadikan isteri mau memeluk agama Islam.
Tetapi kadangkala yang terjadi justru sebaliknya. Kadang-kadang sang isteri tetap berpegang teguh dengan
agamanya yang dahulu dan selalu melakukan aktivitas yang dianggap boleh oleh agamanya, seperti minum khamr,
makan daging babi dan bebas berteman dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dengan prilaku tersebut, seorang
wanita dan keluarga muslim akan retak dan berantakan serta anak keturunannya akan hidup dalam lingkungan yang
penuh dengan kemungkaran. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kebaikan dan keselamatan.

Bahkan problem tersebut kadangkala akan bertambah lebih buruk apabila sang isteri yang fanatik (terhadap
agamanya) sengaja dan tetap bandel mengajak putra-putrinya menemaninya ke gereja, lalu memperlihatkan kepada
mereka bagaimana cara-cara ibadah para pendeta. Apalagi jika mereka sampai memperhatikan semua itu. Barang
siapa yang tumbuh bersama sesuatu, ia pasti akan tercampuri oleh sesuatu itu. [1]

[2]. Dampak Negatif Pada Lingkungan Masyarakat.

Banyaknya wanita-wanita Ahli Kitab yang hidup di lingkungan masyarakat muslim merupakan persoalan yang amat
berbahaya … dan yang lebih berbahaya lagi dari semua itu adalah jika kondisi itu muncul dengan terencana…

Adapun bahayanya pada lingkungan masyarakat adalah menyebabkan kemunduran umat Islam –ini memang nyata
dan telah terbukti- dan semakin memajukan taraf hidup umat Nashrani. Dalam kondisi seperti ini, mereka
sebenarnya adalah kurir-kurir pasukan ghzwul fikr (perang pemikiran) yang sangat berbahaya di dalam tubuh umat
Islam dan akan mengusung hal-hal buruk lainnya seperti budaya hidup bebas tanpa batas, kebobrokan moral dan
kebiasaan-kebiasaan kaum Nashrani yang sehari-hari mereka kerjakan.

Hal ini diawali dengan kebiasaan ikhtilath (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan dengan diiringi
munculnya pakaian-pakaian yang membuka aurat, baik terbuka seluruhnya, separoh ataupun pakaian mini. Bahkan
tidak jarang kebiasaan-kebiasaan ini akan merembet kepada tari-tarian model barat, makan dengan tangan kiri, dan
memberikan ucapan penghormatan dengan bahasa Perancis maupun Inggris.

Bundel Bimbingan Menikah Page 104


Demikianlah, apalagi dampak negatifnya pada aspek politik, pasti lebih dahsyat lagi. Hal ini sebagaimana yang
diceritakan oleh Safar Aster (penulis kitab perjajian lama) tentang kisah seorang wanita Yahudi yang menikah
dengan raja Persia. Dia banyak membantu penyebaran keturunan Yahudi di Persia. Sehingga ketika perdana menteri
Persia, Haman, hendak mengambil tindakan kepada kaum Yahudi, dia malah membuat propaganda di hadapan raja
seolah-olah masalah yang ada adalah sang perdana menteri hendak memberontak. Sehingga ketika datang hari akan
dilaksanakan hukuman, justru sang perdana menteri yang di gantung di tempat tiang gantungan yang sebenarnya
dipersiapkan untuk orang-orang Yahudi Mardakhai. Lalu bersama sang perdana menteri ini ikut digantung pula para
tentara sebanyak 75.000 (tujuh puluh lima ribu) pada tanggal 16 bulan Adzar. Sehingga kemudian hari pada tanggal
14 bulan Adzar menjadi salah satu hari raya resmi kaum Yahudi.

Ini adalah sebagian kecil dari dampak negative menikah dengan wanita Ahli Kitab.

HIKMAH DIPERBOLEHKANNYA SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Mungkin ada seseorang yang bertanya seraya berkata : “… pengaruh negatif menikahi wanita Ahli Kitab ini senatiasa
ada , tetapi kenapa Islam membolehkan hal tersebut dan tidak mengharamkannya?”

Kami katakan, hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon taufiq-Nya, sesungguhnya seorang muslim
wajib mengikuti perintah-perintah-Nya, baik ia mengetahui hikmah yang ada di dalamnya ataupun tidak
mengetahuinya.

Adapun hikmah dibolehkannya menikahi wanita Ahli Kitab bagi seorang muslim…Para ulama telah mengungkapkan
sebagian dari hikmah tersebut, di antaranya yaitu.

[1]. Ahli Kitab adalah sekelompok manusia yang paling dekat kepada petunjuk manakala mereka disodori bukti-bukti
dan dijelaskan jalannya. Apabila seorang wanita Ahli Kitab memiliki suami muslim yang memperlakukannya dengan
baik, maka dia akan mendapatkan keadilan Islam yang tampak di hadapannya setiap hari dan selalu akan bertambah
di matanya. Dengan demikian, bisa jadi cahaya Islam akan terserap ke dalam hatinya, sehingga dia mau memeluk
agama Islam yang lurus. Inilah yang sebenarnya kita inginkan agar dia dapat meraih kebahagiaan di dunia dan
akhirat.

[2]. Sangat mungkin salah seorang muslim jatuh cinta dan tergila-gila kepada wanita non muslimah. Kemudian ia
akan cenderung melakkan perbuatan haram tatkala segala pintu untuk mencapai tujuannya telah tertutup dan
terkunci. Demikian pula, sangat mungkin salah seorang muslim tinggal di sebuah wailayah yang tidak ada seorang
muslimah pun, sedang ia khawatir akan dirinya dan nasib keturunannya jika tetap membujang. Hal itu sangat wajar
bila pintu rukhshah (keringanan) dibuka sampai batas tertetntu dalam kasus-kasus seperti ini, tidak sebagaimana
biasanya. Akhirnya, Allah membuka pintu rukhshah ini, namunn tetap memperhatikan kaidah : “Sesungguhnya
kemaslahatan masyarakat tidak akan tercipta kecuali dengan meminimalkan dampak buruk yang mungkin timbul. [2]

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah
Mutsana Abdul Qahhar]
__________
Foote Note

[1]. Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi 10 hal.323 dan seterusnya, dengan sedikit perubahan.
[2]. Al-Islam fi Muwajahah At-Tahaddiyyat Al-Ma’ashirah hal.126,127 oleh Al-Maududi, terbitan Daar Al-Qalam,
Kuwait

Bundel Bimbingan Menikah Page 105


DAMPAK DARI SEORANG SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD TERHADAP STATUS
PERNIKAHAN SEBELUM DAN SESUDAH BERSETUBUH

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

Apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan (diceraikan). Karena murtad adalah
salah satu sebab keduanya harus dipisahkan berdasarkan kesepakatan para ahli fikih.

Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan dia harus dicerai, dan hukum batalnya akad
nikah keduanya. Ada tiga pendapat yang populer dalam hal ini, yaitu.

Pendapat Pertama

Akad nikah menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab
Hanafiyah, [1] Malikiyah [2] dan salah satu dari dua riwayat yang ada dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-
Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir.[3]

Pendapat Kedua.

Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun
apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa
iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada
status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah
dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi’iyah [4] dan Hanabaliyah dalam sebuah
riwayat yang masyhur dari mereka [5].

Pendapat Ketiga

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri
murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik
dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau
sesudah masa iddahnya habis [6]

Dalil-Dalil Pendapat Di Atas

Dalil Pendapat Pertama.

Orang yang murtad diqiyaskan kepada orang yang mati, karena murtad merupakan sebab buruk yang ada pada
dirinya, sedangkan orang yang mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh karena itu, tidak boleh menikahi orang
yang murtad sejak zaman dahulu, dan selanjutnya ketentuan tersebut akan tetap demikian.

Dalil Pendapat Kedua


Untuk menguatkan pendapat mereka, bahwa apabila seseorang yang murtad sebelum melakukan persetubuhan,
maka pernikahannya batal. Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut.

[1]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bundel Bimbingan Menikah Page 106


“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10]

[2]. Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat menghalangi untuk mendapatkan dirinya, sehingga
pernikahan pun menjadi batal. Hal ini sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya berstatus
sebagai istri dari suami yang kafir. [7]

Adapun jika murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya kita tangguhkan sampai
masa iddahnya habis. Dalam menentukan yang demikian itu, mereka beralil dengan qiyas.

Mereka berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan suami-istri yang murtad atau berbeda agama setelah
melakukan persetubuhan, maka pernikahannya tidak harus menjadi batal pada saat itu juga. Hal ini sebagaimana
jika salah seorang dari suami-istri yang sah masuk Islam. [8]

Dalil Pendapat Ketiga

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka mejelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari
suami-istri murtad, maka pernikahan keduanya harus dibekukan : “Demikian pula masalah murtad, pendapat yang
menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebab pada masa beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya tidak
ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri mereka pun kembali lagi kepada mereka.
Tidak pernah diketahui bahwa ada seorangpun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal,
sudah pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi masa iddah. Demikian
pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami yang murtad,
apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau sebelumnya [9]

Pendapat Yang Lebih Rajih (Unggul) [10]

Setelah saya mengungkapkan pendapat-pendapat para ulama berserta dalil-dalil mereka, maka jelaslah bagi saya
bahwa pendapat yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat yang ketiga, dengan beberapa alasan.

1). Dalil-dali tersebut adalah dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) yang jelas sesuai dengan tema yang dimaksudkan.
2). Kemudian sesungguhnya pendapat ini sangat selaras dengan ruh Islam dan ajaran-ajarannya dalam meluluhkan
hati menusia untuk menerima Islam
3). Mengqiyaskan kembalinya kepada Islam salah seorang dari suami-istri atas pasangannya merupakan qiyas yang
kuat, karena dapat menyatukan keduanya lagi, dimana (sebelumnya) akad pernikahan keduanya telah dilanda
perbedaan agama.
[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah
Mutsana Abdul Qahhar]
__________
Foote Note

[1]. Lihat Bada’i Ash-Shana’i II/337


[2]. Lihat Al-Fawakih Ad-Diwani II/26
[3]. Lihat Al-Mughni VI/639
[4]. Mughni Al-Muhtaj III/190
[5]. Al-Mughni VI/639 dan Al-Kafi III/80
[6]. Lihat Ahkamu Ahli Dzimmah I/344
[7]. Al-Mughni 6/639
[8]. Mughni Al-Muhtaj III/190, Al-Mughni 6639

Bundel Bimbingan Menikah Page 107


[9]. Ahkam Ali Dzimmah I/344,345
[10]. Saya sengaja tidak mendiskusikan dalil-dalil ini karena khawatir terlalu bertele-tela. Pembahasn ini hampir sama
seperti pembahasan sebelumnya.

Bundel Bimbingan Menikah Page 108


NIKAH DI PENGADILAN INGGRIS YANG DISAKSIKAN SATU ORANG MUSLIM DAN
SATU ORANG DARI AHLI KITAB

Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al Ilmiah Wal Ifta

Pertanyaan.
Lajnah Da'imah ditanya : "Menikah di lembaga pernikahan negara Inggris yang disaksikan satu orang muslim dan
satu orang dari ahli kitab, apakah pernikahan tersebut sah menurut syari'at ?".

Jawaban.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah kecuali dengan dihadiri wali dan dua
orang saksi yang adil. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil" [Hadits Riwayat
Daruqutny]

Dan berdasarkan hadits yang lainnya.


"Artinya : Pelacur adalah wanita yang menikah sendiri tanpa ada bukti (wali dan saksi)" [Hadits Riwayat At-Tirmidzi]

Dan Umar pernah mendapat laporan bahwa ada orang yang menikah hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan, maka beliau berkata : "Demikian itu adalah nikah sirri (rahasia), sendainya aku menemuinya,
maka aku akan merajamnya" [Hadits Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa']

Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas : "Tidaklah suatu pernikahan dianggap sah bila tidak dilandasi bukti (wali
dan saksi).

Setelah memaparkan hadits-hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan Imam At-Tirmidzi berkata : "Pendapat
yang disepakati para ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in adalah pendapat yang mengatakan bahwa wali dan
saksi adalah syarat sahnya pernikahan, dan tidak syah pernikahan yang tidak dihadiri wali dan dua orang saksi yang
adil". Dan pendapat ini sesuai dengan tujuan dari syari'at Islam, yaitu melindungi kehormatan, menjaga kemurnian
nasab, menghalangi perzinaan dan kejahatan serta mengantisipasi terjadinya keretakan dalam kehidupan rumah
tangga. Adapun pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab adalah tidak sah kecuali dengan hadirnya wali
dan dua orang saksi muslim, ini menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i sesuai dengan maksud hadits
dan atsar juga tujuan syari'at.

[Majalatul Buhuts Islamiyah, 9/48]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 109


NIKAH MUT'AH

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Artinya, menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian otomatis terjadi.

Syari’at dengan tegas melarangnya, tapi sekte Syi’ah Imamiyah membolehkannya. Perkawinan seperti ini sudah
populer pada saat ini di Eropa, dan mereka menyebutnya sebagai "perkawinan eksperimen". [1]

Pernikahan seperti ini juga tersiar di kalangan kaum muslimin, dengan alasan bahwa pernikahan ini tidak diharamkan
oleh syari’at. Itu terjadi karena kebodohan mayorits kaum muslimin tentangnya. Oleh karenanya, saya ingin
membahasnya tersendiri dalam pembahasan kita ini.

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKANNYA DARI HADITS-HADITS SHAHIH.

1). Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan:
"Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya,
sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa menjaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya,
lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kala itu ayat al-
Qur-an (yang) dibaca (dan berlaku adalah firman Allah):

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna).” [An-Nisaa’: 24]

Hingga turun ayat:

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isteri-mu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina...” [An-Nisaa’: 23-24]

Kemudian mut’ah ditinggalkan, dan (ditetapkan) nikah permanen. Jika mau, dia boleh menceraikannya, dan jika
suka, dia tetap menjadikannya sebagai isteri. Keduanya saling mewarisi, dan keduanya tidak mempunyai wewenang
apa pun dalam perkara itu." [2]

2). Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menikahi wanita dengan nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada waktu Khaibar. [3]

3). Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Saburah Radhiyalahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama
RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Fat-hu Makkah. Ia menuturkan: “Kami bermukim selama 15 hari, lalu

Bundel Bimbingan Menikah Page 110


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada kami untuk menikahi wanita sementara waktu. Lalu aku
keluar bersama seseorang dari kaumku. Aku mempunyai kelebihan atasnya dalam hal ketampanan, sedangkan dia
memiliki rupa yang kurang tampan. Masing-masing dari kami mempunyai selendang. Selendangku jelek, sedangkan
selendang sepupuku adalah selendang yang masih baru. Hingga ketika kami berada di wilayah Makkah yang
terbawah, atau yang tertinggi, seorang gadis yang seperti unta perawan berpapasan dengan kami. Maka kami
bertanya: 'Apakah salah seorang dari kami bisa menikahimu sementara waktu?' Ia bertanya: 'Apa yang akan kalian
berikan?' Maka masing-masing dari kami menyerahkan selendangnya, lalu dia mulai memandang dua laki-laki ini.
Ketika Sahabatku melihat dia memandang dirinya, maka ia mengatakan: 'Selendang orang ini buruk, dan
selendangku masih baru.' Dia mengatakan: 'Selendang ini tidak mengapa, (diucapkannya) tiga kali atau dua kali.'
Kemudian aku menikahinya sementara waktu, dan aku tidak keluar hingga Rasulullah n mengharamkannya." [4]

Dalam sebuah riwayat disebutkan.

"Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita hingga waktu tertentu, maka berikan kepadanya apa yang setara
untuknya dan tidak meminta dikembalikan tentang sesuatu yang telah diberikan kepadanya, serta menceraikannya.
Sebab, Allah Azza wa Jalla telah mengharamkannya hingga hari Kiamat." [5]

Dalam riwayat Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

"Barangsiapa yang memiliki sesuatu dari wanita-wanita yang dinikahinya sementara waktu, maka hendaklah dia
mencerai-kannya." [6]

4). Muslim meriwayatkan dari Iyas bin Salamah, dari Labiyyah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: "Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada tahun Authas [7] untuk menikah sementara selama tiga
(hari), kemudian beliau melarangnya." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[1]. ‘Audatul Hijaab (II/60).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 1121) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Musa bin ‘Ubaidah, ia dha’if, dan perawi-
perawi lainnya tsiqah. Lihat ‘Aunul Ma’buud (V/58).\

[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5115) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1406) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1135) kitab an-
Nikaah, Ibnu Majah (no. 1961) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah. Antara hadits ini dan hadits sebelum-nya ada kemusykilan. Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (IX/168, 169), as-Suhaili berkata: "Berhubungan dengan hadits ini (yakni hadits
‘Alzi bin Abi Thalib) ada suatu peringatan atas kemusykilan. Karena di dalamnya ter-dapat larangan nikah mut’ah
pada hari Khaibar. Ini adalah sesuatu yang tidak diketahui seorang pun dari ahli sejarah dan perawi hadits. Yang
nampak ialah terjadinya pendahuluan dan pengakhiran dalam lafazh az-Zuhri.

Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dari jalan Qasim bin Ashbagh bahwa al-Humaidi menyebutkan dari Ibnu ‘Uyainah
bahwa larangan pada masa Khaibar ialah tentang daging keledai piaraan. Sedangkan nikah mut’ah di luar hari
Khaibar.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: "Inilah pendapat yang paling banyak dipegang manusia."

Abu ‘Awanah berkata dalam Shahihnya: “Aku mendengar para ulama me-ngatakan: ‘Makna hadits ‘Ali, bahwa beliau
melarang pada hari Khaibar dari makan daging keledai. Adapun tentang mut’ah, ia mendiamkannya. Beliau hanyalah
mengharamkannya pada hari penaklukan kota Makkah.’”

Bundel Bimbingan Menikah Page 111


Ada pendapat-pendapat lain untuk menghilangkan kemusykilan, yang men-dasarkan adanya larangan mut’ah pada
hari Khaibar, kemudian memberikan keringanan mengenainya setelah itu, lalu mengharamkannya sekali lagi pada
hari penaklukan Makkah. Tetapi ‘Ali tidak menyampaikan keringanan tersebut di dalamnya."

Atas hal ini, Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (III/460): "Tentang hadits Saburah ada riwayat-riwayat
lainnya bahwa larangan itu pada haji Wada', ini adalah riwayat yang aneh, dan yang kuat ialah riwayat yang
menyebutkan pada tahun penaklukan kota Makkah.

[4]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 14041).


[5]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 14041).
[6]. HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah.
[7]. Tahun Authas, ini memperjelas bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada hari penaklukan Makkah. Hari
penaklukan Makkah dan hari Authas adalah satu hal. Dan Authas adalah lembah di Tha-if.
[8]. HR. Muslim (no. 1405), kitab an-Nikaah.

Bundel Bimbingan Menikah Page 112


SYARAT NIKAH DENGAN MENCERAIKAN ISTERI PERTAMA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apabila seorang wanita mau dinikahi dengan syarat isteri
pertama diceraikan, bagaimana jika ia tahu hukumnya dan bagaimana jika ia tidak tahu hukumnya?

Jawaban
Apabila seorang wanita mau menikah dengan syarat istri pertama ditalak menuurt pendapat Abil Khattab penikahan
sah. Akan tetapi menurut Syaikh Taiyuddin pernikahan tersebut tidak sah dan inilah pendapat yang benar. Tidak
boleh bagi seorang wanita mau dinikah dengan syarat isteri pertama dicerai dan jika tetap bersikeras mensyaratkan
seperti itu, maka syarat tersebut dinyatakan sia-sia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Setiap syarat yang tidak dibenarkan oleh aturan Allah maka syarat tersebut bathil”

Dan dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah seorang wanita meminta suaminya untuk mentalak isteri lainnya untuk mendapatkan sesuatu
yang tidak menjadi haknya”.

Apabila seorang wanita tidak mau menikah kecuali dengan syarat isteri yang pertama diceraikan dan ia tidak rela jika
mengetahui isteri pertama belum ditalak sementara ia tahu bahwa syarat tersebut bathil maka persyaratan tersebut
dinyatakan sia-sia. Sebab bila wanita mengetahui hukum sesuatu tetapi tetap melanggarnya, maka ia harus diberi
sanksi untuk tidak mendapatkannya kecuali bila ia tidak tahu, maka pernikahannya dibatalkan karena akad nikahnya
tidak memiliki persyaratan.

[Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143]

MENIKAH DENGAN SYARAT TIDAK BOLEH KELUAR RUMAH

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Seorang wanita dan walinya mensyaratkan, mau
melangsungkan pernikahan dengan syarat suaminya tidak membawanya keluar dari kampung atau negara?

Jawaban
Apabila seorang wanita dan walinya sepakat tidak mau melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat stelah
menikah isterinya tidak diajak pindah ke negeri lain, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi, hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Uqbah Ibnu Amir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba.

“Artinya : Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam
pernikahan”

Dan Atsram meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menikah dengan wanita, dan wali wanita mensyaratkan ia
tetap tinggal bersama keluarganya, kemudian suaminya ingin mengajaknya pindah, lalu keluarganya melaporkan hal

Bundel Bimbingan Menikah Page 113


tersebut kepada Umar dan beliau membenarkan syarat tersebut. Akan tetapi bila isterinya rela diajak untuk, maka
suaminya boleh membawanya pindah.

[Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/146]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2,
Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq].

Bundel Bimbingan Menikah Page 114


SUAMI PERGI SELAMA DUA TAHUN

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih Fauzan ditanya : "Saya menikah umur tujuh belas tahun di Sudan, setelah tiga bulan menikah saya
pergi ke Libia untuk mencari rizki yang halal, akan tetapi selama dua tahun saya tidak pulang ke tempat istri saya
karena tidak memiliki ongkos untuk pulang akibat dari kecelekaan, saya menderita cedera sehingga cedera tersebut
menghambat saya dalam mencari rizki, apa jalan keluar dari masalah ini ? Apakah saya harus mengirimkan surat
talak kepada istri yang selama dua tahun tidak pernah bertemu suami, dan boleh jadi lebih dari dua tahun karena
cidera yang saya alami ? Dan selama ini istri saya tinggal bersama orang tua saya dan mengenai kebutuhan hidup
tidak ada masalah, semoga syaikh bisa memberi jalan keluar?"

Jawaban.
Seseorang bertanya bahwa dia pergi meninggalkan istri untuk mencari nafkah, karena suatu kecelakaan sehingga
tidak bisa pulang, maka apakah ia harus mengirimkan surat untuk mentalak istrinya ? Jawab : Tidak perlu orang
tersebut mengirimkan surat untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, sebab dia berhalangan secara syari'at akibat
cidera yang membuat tidak mampu bekerja degan baik sehingga tidak mempunyai biaya untuk pulang. Maka tidak
boleh bagi istri menuntut secara paksa terhadap suaminya agar pulang melainkan setelah ada kemampuan.

Dalam kondisi seperti ini istri berhak memilih diantara dua pilihan ; bersabar menunggu kedatangan suaminya atau
menuntut hak dengan cara mengajukan talak. Dan sebaiknya suami harus tetap bersabar hingga datang kesempatan
untuk pulang. Insya Allah jika ikhlas dan bersungguh-sungguh, maka akan mendapatkan jalan keluar dan
pertolongan.

Tidak perlu bingung sebab orang tua anda tetap menjaga dan bertanggung jawab terhadap istri anda.

[Kitabut Muntaqa Syaikh Fauzan, juz 3/242]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesiap Fatwa-Fatwa Tentang wanita,
Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 115


SUAMI PERGI MENINGGALKAN ISTRI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Al-Qur'an memberi batasan bahwa suami tidak boleh
meninggalkan istri lebih dari empat bulan, saya telah mengadakan kontrak kerja, dan tidak ada libur kecuali jika
sudah lewat setahun atau mungkin juga lebih, bagaimana hukumnya ?"

Jawaban.
Pertama : Tidak benar bahwa Al-Qur'an tidak membolehkan suami meninggalkan istri lebih dari empat bulan sebab
tidak ada satu ayatpun yang menyebutkan demikian. Akan tetapi yang terdapat di dalam Al-Qur'an hanyalah
pembatasan tentang orang yang ila' yaitu suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya, kemudian Allah
memberikan waktu empat bulan kepadanya, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Kepada orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika
mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Al-Baqarah :
226]

Dibolehkan suami pergi meninggalkan istrinya, lebih dari empat bulan, enam bulan, setahun atau dua tahun dengan
syarat tempat tinggal istri aman dan rela ditinggalkan, jika tempat tinggalnya tidak aman atau tempat aman tapi istri
tidak merelakan, maka dalam kondisi seperti itu, suami tidak boleh meninggalkan istrinya. Wajib bagi setiap suami
untuk menggauli istrinya secara baik.

[Fatawa Nir 'Aladarb Syaikh Utsaimin, hal 17, Majalatul Buhuts 9/60. Durus wa Fatawa Haramul Makky, juz 3
hal.270]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesiap Fatwa-Fatwa Tentang wanita,
Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 116


HUKUM ASALNYA ADALAH POLIGAMI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah hukum asal di dalam perkawinan itu poligami ataukah
monogamy ?

Jawaban.
Hukum asal perkawinan itu adalah poligami (menikah lebih dari satu istri) bagi laki-laki yang mampu dan tidak ada
rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim. (Yang demikian itu diperbolehkan) karena
mengandung banyak maslahat di dalam memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita yang
dinikahi itu sendiri dan berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyak keturunan yang dengannya ummat Islam
akan menjadi banyak dan makin banyak pula orang yang menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Dalil
poligami itu adalah firman Allah.

"Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". [An-Nisa : 3]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengawini lebih dari satu istri, dan Allah Subhnahu wa Ta'ala telah
berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu". [Al-Ahzab ; 21]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda setelah ada beberapa orang sahabat yang mengatakan : "Aku
akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur". Yang satu lagi berkata : "Aku akan terus berpuasa dan tidak akan
berbuka". Yang satu lagi berkata : "Aku tidak akan mengawini wanita".

Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau langsung berkhutbah di hadapan
para sahabatnya, seraya memuji kepada Allah kemudian beliau bersabda.

"Artinya : Kaliankah tadi yang mengatakan begini dan begitu ?!. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut
kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepadaNya. Sekalipun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka,
aku shalat malam tapi akupun tidur, dan aku mengawini wanita. Barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku ini,
maka ia bukan dari (umat)ku". [Riwayat Al-Bukhari]

Ini adalah ungkapan luar biasa dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencakup satu istri dan lebih.
Wabillahittaufiq.

[Majalah Al-Balagh, edisi 1015, tanggal 19 R.Awal 1410H, Fatwa Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 117


APAKAH POLIGAMI DIANJURKAN

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : … Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” [An-Nisaa : 3]

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan ?

Jawaban
Syaikh Mustafa Al-Adawi Hafizhahullah Ta’ala mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang
laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : …Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….”

Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya
karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala
berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” [At-Taghabun : 14]

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada
mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala
berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karuniaNya” [An-Nuur : 33] [1]

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh”.

MEMBERI SETIAP ISTERI SEBUAH RUMAH SEBAGAI UPAYA MENGIKUTI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI
WA SALLAM

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumah mereka” [Al-Ahzab : 33]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-
Ahzaab : 34]

Bundel Bimbingan Menikah Page 118


Dia juga berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan”
[Al-Ahzab : 53]

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sunnah Nabi itu ada beberapa buah dan
bukan hanya satu saja.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang
mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran)
Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal
di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi
giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara
keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang
Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya
ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut
ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari
isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan
piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits
Riwayat Al-Bukhari]

Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan
kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki-laki
yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs,
yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih.

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh
menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun
sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara keduanya ada permusuhan dan
kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing
dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal
tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik
keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela
untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu
tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal
tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.

Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika
mereka rela”.

Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri
yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka,
karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk
mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu
adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan”

Bundel Bimbingan Menikah Page 119


Catatan.

Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal
makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul
Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan
masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan
keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis
Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_________
Foote Note
[1]. Fiqh Ta’addud Az-Zaujaat, hal. 5, Syaikh Musthafa Al-Adawi

Bundel Bimbingan Menikah Page 120


POLIGAMI ITU SUNNAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah berpoligami itu mubah di dalam Islam ataukah sunnah ?

Jawaban.
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya.

“Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]

Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan
dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus
bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung
banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab,
dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya
kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan
melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.

Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin
dengan satu istri saja, karena Allah berfirman.

“Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]

Semoga Allah memberi taufiq kepada segenap kaum Muslimin menuju apa yang menjadi kemaslahatn dan
kesalamatan bagi mereka di dunia dan akhirat.

[Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz]

TAFSIR AYAT POLIGAMI

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ayat tentang poligami dalam Al-Qur'an berbunyi :

"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja" [An-Nisa : 3]

Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian" [An-Nisa : 129]

Bundel Bimbingan Menikah Page 121


Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu
tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak
boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?

Jawaban.
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan
tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih
sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian" [An-Nisa : 129]

Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
do'a:

"Artinya : Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak
mampu aku lakukan" [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan
Hakim]

[Fatawa Mar'ah. 2/62]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 122


TIDAK ADA KONTRADIKSI DI DALAM AYAT POLIGAMI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di dalam Al-Qur'an ada satu ayat suci yang berbicara tentang
poligami yang mengatkan.

"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". [An-Nisa : 3]

Dan pada ayat yang lain Allah berfirman.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua
dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat
yang pertama di-nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak
mungkin tercapai ? Kami mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan syaikh.

Jawaban.
Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena
sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam
pembagian mu'asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk didalamnya masalah
hubungan badan (jima') adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah Radhiyallahu anha. Beliau berkata.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku
adil, dan beliau berdo'a : 'Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku
di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya".[Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-
Timidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

[Fatawal Mar'ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Bundel Bimbingan Menikah Page 123


MENEPIS KEKELIRUAN PANDANGAN TERHADAP POLIGAMI

Oleh
Ustadz Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda

Di antara petunjuk al Qur`an, yang memberikan petunjuk jalan yang lurus, yaitu dibolehkannya seorang laki-laki
melakukan poligami hingga empat isteri. Meski demikian, bila seorang lelaki merasa khawatir tidak mampu berbuat
adil, maka diharuskan baginya cukup mempunyai satu isteri saja atau memiliki budak perempuan, sebagaimana
firman Allah k dalam surat an-Nisaa` ayat 3 :

“Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [1]

Ada beberapa alasan mengapa seorang laki-laki boleh melakukan poligami, di antaranya ialah untuk kebaikan wanita,
disebabkan terhalangnya sebagian wanita dari menikah. Juga untuk kebaikan laki-laki, supaya manfaat yang ada
pada dirinya bisa dioptimalkan, yang tidak mungkin optimalisasi itu terlaksana kalau hanya mempunyai satu isteri
saja. Alasan lainnya, ialah untuk kebaikan ummat, yakni memperbanyak jumlah kaum Muslimin. Karena dengan
banyaknya kaum Muslimin yang terlahir dari perkawinan ini, memungkinkan mereka melawan musuh untuk
meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai yang tertinggi.

Poligami merupakan syari'at Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencelanya, kecuali orang
yang telah dibutakan oleh Allah Azza wa Jalla mata hatinya dengan kekufuran. Pembatasan poligami dengan empat
isteri, juga merupakan pembatasan yang datangnya dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan
jumlah ini bersifat tengah-tengah antara sedikit (monogami), yang menyebabkan terabaikannya sebagian manfaat
kaum lelaki, atau banyak (lebih dari empat) yang dikhawatirkan tidak adanya kemampuan dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban rumah tangga terhadap seluruh isteri [2]

Pada akhir-akhir ini muncul generasi yang memiliki pemikiran sebagaimana orang-orang barat. Mereka mendapatkan
pendidikan barat, baik di negeri sendiri ataupun di negeri orang kafir, dan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran
orientalis yang memusuhi Islam.

Terkadang sangat jelas kebatilannya dan juga terkadang tampaknya baik, tetapi di balik itu terdapat penyimpangan
yang disembunyikan, hingga menimbulkan kerancuan dan kekacauan pemikiran di kalangan kaum Muslimin. Yang
pada akhirnya pemikiran mereka berkembang hingga taraf pengingkaran terhadap syari'at. Di antara kerancuan
pemikiran mereka, yaitu dalam hal poligami. Menurut mereka, poligami dianggap sebagai perbuatan zhalim, sehingga
tidak benar jika diperbolehkan. Sebagian lagi ada yang secara terang-terangan menentang poligami, sebagian lagi
dengan cara halus.
Berikut kami contohkan di antara syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.

Syubhat Pertama.
Para penentang poligami menyatakan adanya larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menikahi
anak perempuan Abu Jahl dan mengumpulkannya dengan Fatimah binti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].

Dengan menyandarkan kepada larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali agar tidak mengumpulkan
Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, maka sebagian penentang poligami memberikan komentar dan
mengatakan, sesungguhnya Rasulullah n telah melarang Ali untuk menikah dengan anak perempuan Abu Jahl dan

Bundel Bimbingan Menikah Page 124


dikumpulkan bersama Fatimah. Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan, maka kami melarang
para suami menikahi wanita lain bersama dengan anak-anak perempuan kami, dan kamipun tidak melakukan
poligami, karena ini termasuk di antara perkara-perkara yang bisa menyakiti orang-tua maupun isteri-isteri kami.

Jawab:
Syubhat yang mereka lontarkan itu, hakikatnya sudah tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga
memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan
secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya
merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama. Berikut adalah penjelasannya.

[1]. Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya”.

Dalam riwayat Muslim :

Dalam satu tempat selama-lamanya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

Pada satu laki-laki selama-selamanya.

Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.

Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram,
berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,'
maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan
mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[4]

Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi
"Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang
menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak
akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga
tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di
antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak
perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[5]

[2]. Hadits ini menunjukkan di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu putri-putri beliau tidak
boleh dimadu.[6]

Bundel Bimbingan Menikah Page 125


[3]. Hal ini khusus bagi Fathimah, karena dia telah kehilangan ibunya dan juga saudara-saudara perempuannya,
sehingga tidak tersisa lagi orang yang bisa diajak bertukar pikiran atau meringankan beban pikiran, atau untuk
menyampaikan rahasia apabila muncul rasa cemburunya [7]. Berbeda dengan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , karena jika mereka mendapatkan problem semisal di atas, maka mereka bisa mengadu kepada orang yang
bisa menyelesaikan masalah tersebut, yaitu suami mereka, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini disebabkan
dengan apa yang ada pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu sifat lemah-lembut, kebaikan hati, menjaga
perasaan. Sehingga semua isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha dengan kebaikan akhlak dan seluruh sikap
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga jika muncul kecemburuan, maka bisa segera teratasi dalam waktu
cepat.

[4]. Sesungguhnya hal itu bukan berarti larangan, akan tetapi maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
sikap percaya dirinya dan keteguhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau mengetahui bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala –dan ini termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau- tidak akan
mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl. Seperti perkataan Sahabat Anas bin Nadhir tatkala
saudara perempuannya mematahkan gigi seri seorang wanita, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menegakkan qishash, akan tetapi Anas bin Nadhir berkata: "Apakah engkau hendak mematahkan gigi Rabi'?
Tidak! Demi Allah . Engkau tidak mungkin mematahkan giginya, selama-lamanya. Maka keluarga wanita tersebut
akhirnya mau menerima diyat dan gigi seri milik Rabi’ tidak dipatahkan, sehingga berkatalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, kalau dia bersumpah dengan nama Allah, Allah berkenan
mengabulkannya” [8]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Adhwa’ul Bayan (3/22) karya Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah
[2]. Ibid (3/24)
[3]. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari (5/2004) dan Imam Muslim (4/1902) dengan lafazh : “ Rasulullah
bersabda dan beliau di atas mimbar : “Bahwasanya keluarga Bani Hasyim bin Mughirah meminta ijin untuk
menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengijjinkannya, aku tidak
mengijinkannya, aku tidak mengijinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun
mereka. Sesungguhnya Fathimah merupakan bagian dariku, meragukanku apa yang meragukannya, menyakitiku apa
yang menyakitinya”
[4]. Fathul Bari (9/328)
[5]. Syarhu Muslim (5/313)
[6]. Fathul Bari (9/329)
[7]. Ibid
[8]. Fuqh Ta’adud Az-Zaujat, 127

Bundel Bimbingan Menikah Page 126


MENYELESAIKAN PERSELISIHAN ANTARA ISTERI-ISTERI

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah

Ummu Ruman –ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha- pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai puteriku, tolonglah aku
dalam menuntunmu. Demi Allah, semakin seorang wanita merendah diri di sisi suami yang mencintainya sedang dia
memiliki madu, melainkan dia akan banyak berpihak kepadanya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 4750 di dalam hadits
Ifki (kisah kebohongan orang-orang munafik).

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Aku tidak cemburu kepada seorang pun dari isteri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku kepada Khadijah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam banyak menyebutnya (Khadijah) dengan menyampaikan berita kepadanya bahwa dia akan mendapatkan
rumah di Surga dari emas dan perak” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Pada suatu hari aku tidak
mengetahui Zainab masuk menemuiku tanpa izin sedang dia dalam keadaan marah. Kemudian dia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, apakah engkau sudah merasa cukup, jika datang kepadamu puteri Abu Bakar’. Kemudian dia
mendatangiku, lalu aku berpaling darinya sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belalah dirimu’. Lalu
aku menghadap kepadanya sehingga aku melihatnya telah mengering keringatnya, di dalam mulutnya tidak terdapat
sesuatu pun untuk menjawabku. Kemudian aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseri wajahnya” [Hadits
Riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang shahih] [1]

Dari Yahya bin Abdirrahman bin Hathib bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khuzairah yang telah aku masak untuk beliau. Lalu kukatakan kepada
Saudah –sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada diantara diriku dan dirinya-, ‘Makanlah’. Lalu dia menolak,
maka aku katakan, Engkau makan atau aku akan lumurkan ke wajahmu’.

Tetapi, dia tetap menolak. Maka aku letakkan tanganku ke dalam khuzairah, lalu aku lumurkan ke wajahnya. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa, lalu beliau meletakkan tangan beliau ke tangannya (Saudah) seraya
berkata kepadanya. ‘Lumuri pula wajahnya’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa untuknya.

Kemudian Umar lewat seraya berucap, ‘Wahai hamba Allah, wahai hamba Allah.’ Beliau mengira bahwa Umar akan
masuk, maka beliau bersabda, ‘Bangun dan cucilah wajah kalian berdua’.

Maka Aisyah berkata, “Dan aku segan kepada Umar karena kewibawaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam”
[Hadits Riwayat Abu Ya’ala dengan sanad yang hasan]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah katakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Cukuplah engkau begini dan begitu terhadap Shafiyah’. Ghairu Musaddad mengatakan, ‘Yang dimaksudkannya
adalah mengurangi perhatian beliau, ‘Maka beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya engkau telah mengatakan kalimat yang jika dicampur dengan air laut, niscaya ia akan
bercampur dengannya…” [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang
Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya
ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi

Bundel Bimbingan Menikah Page 127


Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut
ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari
isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan
piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya” [Hadits
Riwayat Al-Bukhari]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sehingga aku mengira beliau pergi mendatangi salah seorang isterinya yang lain. Lalu aku mencari tahu
dan kemudian kembali lagi dan ternyata beliau tengah ruku’ atau sujud seraya berucap.

“Artinya : Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Mu, tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya
Engkau’. Lalu aku katakan, ‘Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau berada dalam satu kesibukan, sementara
aku dalam kesibukan yang lain” [Hadits Riwayat Muslim]

Peringatan.
Di antara manusia ada yang tergesa-gesa dan menceburkan diri dalam poligami tanpa mencermati dari keadaan dan
tanpa pemikiran yang matang sehinga hanya akan menghancurkan kebahagiaan keluarga serta memecah belah
kesatuan, hingga akhirnya menjadi seperti orang badui yang mengatakan.

“Aku menikahi dua orang wanita karena ketidaktahuanku yang parah

Terhadap kesengsaraan yang dialami oleh orang yang beristeri dua.

Lalu kukatakan, aku berjalan di antara keduanya bagaikan seekor kambing

Digembalakan diantara dua ekor kambing betina terhormat.

Sehingga aku menjadi seperti kambing yang pergi pagi dan sore hari

Yang berkeliling di antara dua ekor srigala jahat

Keridhaan yang ini akan memicu kemarahan yang lain

Sehingga aku tidak pernah selamat dari salah satu dari dua kemarahan

Dalam hidup ini aku singkirkan semua bahaya

Demikian juga dengan bahaya di antara dua madu

Untuk yang ini satu malam dan yang lainnya satu malam juga

Selalu ada celaan pada kedua malam tersebut

Oleh karena itu, jika Anda ingin tetap mulia

Dengan berbagai kebaikan yang ada di tangan

Maka hiduplah membujang, kalau memang tidak bisa

Maka hidup dengan satu isteri saja sudah cukup daripada mendapatkan keburukan dua isteri”

Bundel Bimbingan Menikah Page 128


Apa yang diungkapkan oleh orang badui ini tidak mutlak benar, tetapi orang yang membebani dirinya dengan
poligami sedang dia tidak mempunyai kemampuan untuk memberi nafakah, mendidik dan mengurus dengan baik,
maka tidak mustahil dia akan terjerumus ke dalam apa yang dirasakan oleh si badui itu, berupa kejenuhan dan
kepenatan hidup.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis
Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_________

Foote Note
[1]. Hadits ini terdapat dalam kitab Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain (II/462)

Bundel Bimbingan Menikah Page 129


TIDAK ADA KEWAJIBAN BAGI SEORANG SUAMI UNTUK MENYAMARATAKAN DALAM
HAL CINTA DAN HUBUNGAN BADAN

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, Abdul Aziz bin Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman
memberitahu kami, dari Yahya bin Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu Abbas dari Umar
Radhiyallahu ‘anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah
engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya –yang dia
maksudkan adalah Aisyah-. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan beliau pun tersenyum”

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit
bertanya-tanya, ‘Dimana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama
menunggu hari giliran Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan
bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu
beliau memberikan izin kepadanya.

Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu
untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (Aisyah), Dan aku pun diam”.

Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku,
bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’.

Fathimah pun menjawab, ‘Ya’

Kalau begitu, maka cintailah wanita ini’, pinta Rasulullah”

Lebih lanjut, Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu memberitahukan mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami,
kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lah kepada

Bundel Bimbingan Menikah Page 130


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya istei-isterimu
meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (Aisyah),.

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya
(untuk selamanya)”.

Aisyah berkata, “Maka istei-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik
daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung
silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan
bertaqarrub kepada Allah Ta’ala”.

Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti
ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu
mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah”.

Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya
dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi
pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan
sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku
membela diriku”.

Aisyah berkata, “Lalu aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling
darinya”.

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum :

“Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar” [Hadts Riwayat Muslim]

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan : “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara
isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha
merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits-hadits tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam
hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal ini
sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikan hati. Dan dalam masalah ini terdapat
penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan
tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan
dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih
berada dibawah kendali dan kekuasannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka

Bundel Bimbingan Menikah Page 131


tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan.
Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (siteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya
(suami)”.

Syaikh Mushthafa Al-Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan.

Peringatan pertama : Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu wajib, hanya saja dia
disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta
lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah
ulama.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk
melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik
dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan’.

Di dalam kitab Al-Majmuu Syarh Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai lagi seorang suami yang
memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang
(hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan”.

Di dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, “…. Hanya saja yang disukai adalah menayamakan
di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan”.

Peringatan kedua : Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan
kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu
bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya” [1]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai
Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul
Ghoffar EM]
_________
Foote Note

[1]. Fiqhu Ta’addudi Az-Zaujaat, hal.95

Bundel Bimbingan Menikah Page 132


BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu
tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku
adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan
firman Allah.

"Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat". [An-Nisa : 3]

Kami berharap syaikh menjelaskan yang sebenarnya mengenai masalah ini.

Jawaban.
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim
berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya,
maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu
terhadapnya.

Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari'atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang
demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian
diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada
mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau
seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk
itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh
mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah
berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik". [Al-Ahzab : 21]

Hanya saja Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah
kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya
itu merupakan hukum khusus bagi beliau.

[Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq].

Bundel Bimbingan Menikah Page 133

You might also like