You are on page 1of 28

Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia.

Suatu Kajian Sosiopragmatik

DIKSI DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA Satu Kajian Sosiopragmatik Tri Sulistyaningtyas*
trining_ism@yahoo.co.id

ABSTRACT The language used in the advertisements of both printed and electronic mass media is often
unsuitable with the grammatical rules of Bahasa Indonesia. Due to the ineffective use of Bahasa
Indonesia, the intended message conveyed is not accomplished. The facts show that the advertisements
are expressed in simple, contextual, and familiar language to the targeted audience. This condition
concerns many people. One of the reasons for the advertisements expressed in such a way is because
applying the SPOK rule and effective sentences will result in long and unattractive wording. In every
advertisement, a catcher – such as sound, picture, and verbal language — has to be used so that the
potential consumers will be directly connected to the product being advertised by listening to, looking
at, and reading the catcher. The study shows that those catchers are categorized as locution, illocution,
and perlocution. Further, it was found that they belong to the direct and indirect illocution having an
assertive function. The wording in the advertisement should represent the intended meaning because
some words could be interpreted differently by a certain cultural group of people. Therefore, the choice
of words should go well with their language norm. Key words: Advertisement, Language rules, catcher,
people’s language norm

1.

Pendahuluan

Setiap hari mulai dari bangun tidur hingga kembali untuk tidur, kita senantiasa melihat, mendengar, dan
membaca iklan. Ketika membaca koran, mendengarkan radio, menonton televisi, berjalan-jalan di pusat
perbe-lanjaan, di pasar, selalu ada iklan. Iklan selalu

* Mahasiswa program doktor Pascasarjana

Universitas Padjadjaran.

* Dosen KK Ilmu Kemanusiaan FSRD ITB.


hidup dan berada kapan saja dan di mana saja dalam kehidupan kita. Keberadaan iklan dimulai di Inggris
tahun 1472, melalui kemunculan iklan cetak berupa buku baru doa gereja yang ditempelkan di gerbang.
Surat kabar pertama yang terbit di London tahun 1650 mulai menggunakan iklan terselubung karena
iklan belum ditata secara profesional. Di Amerika, surat kabar pertama yang memasang iklan pada
terbitannya adalah 495

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

Boston Newsletter 1704. Iklan dirancang sebagai headline yang memenuhi halaman depan surat kabar
yang terbit secara berkala. Benyamin Franklin adalah orang pertama yang memperkaya informasi iklan
dengan menambah ilustrasi sehingga efek iklan semakin kuat (Darmawan, 2005: 103-114). Di Indonesia,
pada masa perkembangannya, bentuk iklan ber-sandar pada bahasa verbal yang tertulis dan tercetak.
Dalam tulisan yang tercetak, setiap kalimat adalah suatu pernyataan yang bisa diuji ulang, dicari
relevansinya dengan kenyataan yang diacu dan diusut arah logikanya secara berulang-ulang guna
menguji koheren-sinya. Akan tetapi, bahasa yang dipergunakan dalam iklan di media massa dan
elektronik seringkali tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar, contohnya iklan operator
telepon seluler “pake esia gak butuh semua ini, tinggalin tariff GSM yang gak jelas, ribet, bikin pusing.
Cobain perdana esia baru”, “SMS murah bangeeetss!!!”, “Gua banget dech”. HEPI, CDMA MURAH,
PULSA RUMAHAN!! Tak tertandingi untuk nelpon ke semua operator tanpa kecuali. Tarif Rp 1000 per
hari untuk nelpon berkali-kali ke sesame hepi tetap bisa dinikmati. Untuk berlang-ganan, ketik:
REG<spasi>BES SMS ke 2772 Pulsa akan dipotong Rp 5000 untuk dipakai selama 5 hari. Untuk nelpon
hemat interlokal hepi, ketik: 01068 Kode Area Nomor Tujuan Contoh 01068 021 50100000 Tariff di atas
sudah termasuk PPn Buruan pake hepi. Hepi khaaan…pulsa rumahan! Hepi Pasti lebih untung.
Penggunaan bahasa yang tidak efektif menyebabkan pesan yang ingin disampaikan pada konsumen
tidak tepat sasaran. Akan tetapi, iklan

memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi, kontekstual, dan ‘gaul’. Kondisi ini yang
menyebabkan ada keprihatinan pada banyak kalangan. Ada yang berpendapat bahwa bahasa iklan tidak
mesti sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi belum ada kriteria bagaimana
sebaiknya bahasa iklan tersebut. Bila membuat iklan dengan memperhatikan kaidah bahasa
menggunakan pola SPOK, menggunakan kalimat efektif, kata-kata yang digunakan akan sangat panjang
dan kurang menarik. Berdasarkan paparan di atas, timbul pertanyaan, bagaimana bentuk pilihan kata
dalam wacana iklan berbahasa Indonesia? Makna acuan apa saja yang terdapat dalam pilihan kata
wacana iklan berbahasa Indonesia? Secara ringkas, tulisan ini akan memaparkan pilihan kata yang
digunakan dalam bahasa iklan. Diharapkan melalui penelaahan lebih lanjut dapat ditentukan pola pilihan
kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia seperti apa yang dapat menarik perhatian konsumen yang
diungkapkan dalam bentuk yang singkat, diketahui makna acuan apa saja yang terkandung dalam
wacana iklan berbahasa Indonesi. Tulisan ini adalan kajian singkat terhadap iklan berbahasa Indonesia.
Penulis mengambil data dari media cetak dan audiovisual. Data media tulis, penulis ambil dari surat
kabar, spanduk, baliho, papan reklame, sedangkan data dari media elektronik penulis ambil dari iklan
televisi (melalui perekaman audio maupun visual). Data dipilih secara acak sesuai dengan trend
masyarakat. Data dan analisisnya masih sangat sederhana sehingga temuannya 496

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

pun boleh jadi baru bersifat hipotetis. Kajian lebih lanjut dengan data yang lebih memadai, dengan
kedalaman analisis yang lebih baik tentu akan dapat menjelaskan temuan dalam tulisan ini.
Pengembangan laras bahasa iklan menjadi daya tarik untuk tujuan ekonomi dalam ranah advertising.
Selain itu, diharapkan melalui pene-laahan yang mendalam eksistensi bahasa iklan memberikan
informasi yang positif yang dapat mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku yang dapat menyadarkan
masyarakat untuk dapat memilah mana yang diperlukan sehing-ga tidak berperilaku konsumtif. Dengan
kata lain, melalui pilihan kata yang tepat diharapkan iklan dapat memberi pembelajaran yang positif
pada berbagai kalangan masyarakat Indonesia untuk malu melakukan sesuatu perbuatan, pekerjaan,
kebi-asaan, dan tingkah laku yang kurang baik. Melalui sindiran, ejekan yang bersifat sarkasme dan
sinisme mampu mengungkapkan kondisi sosial, budaya, politik, dan lain-lain.

2.

Bahasa Iklan

Bahasa dalam iklan dituntut mampu menggugah, menarik, mengidentifikasi, menggalang kebersamaan,
dan mengombinasinasikan pesan dengan komparatif kepada khalayak (Stan Rapp & Tom Collins,
1995:152). Struktur kata dalam iklan menggugah: mencermati kebutuhan konsumen, memberikan
solusi, dan memberikan perhatian; informatif : kata-katanya harus jelas, bersahabat, komunikatif;
persuasif: rangkaian kalimatnya mem-buat konsumen nyaman, senang, dan menghibur. Contohnya pada
iklan rokok

A-Mild dalam seri “Tanya kenapa”. Iklan tersebut dipasang di sepanjang jalan tol. Iklan tersebut
bertuliskan “terhambat di jalan bebas hambatan” dengan visual yang dilatari oleh kemacetan mobil.
Oleh karena itu, iklan tersebut dipasang di sepanjang jalan tol di Jakarta. Dapat dipastikan target
audience adalah pengguna jalan tol tersebut. Namun, apa kaitan kata-kata itu dengan rokok A-Mild?
Seperti kita ketahui bahwa iklaniklan seri tersebut selalu berisi kritik sosial. Dalam konteks ini, iklan
rokok A-Mild mengusung brand rokok yang cerdas dan kritis terhadap kondisi masyarakat. Iklan A-mild
ini unik sekaligus menghibur. Kerapkali kita menemukan pesan, misalnya saat bulan Ramadan “ngobrol
jangan cuma setahun”. Menjelang Idul Fitri “karena maaf jadi gampang, jadi gampang bikin salah ( )
gampang maafin ( ) gampang bikin salah” Sebagian orang akan mengernyitkan dahi pada waktu
membaca atau mendengar iklan tersebut. Perlu pemikiran yang cukup cermat dan agak lama. Untuk
sebagian orang lagi, iklan ini memberikan makna yang sangat dalam bahwa masyarakat harus peka
terhadap hal-hal yang tidak lugas. Contoh lain iklan A-mild yang mengandung pesan implisit “Jalan
pintas dianggap pantas”, “Gali lubang Tutup Lupa”, “Kalo banyak celah kenapa harus nyerah”, “Terus
terang, Terang Ga bisa Terus-terusan”, “Mau pintar, ko mahal”, “Susah ngeliat orang seneng, seneng
ngeliat orang susah”, semua kalimat tersebut selalu diakhiri kalimat “Tanya kenapa?”. Bahasa yang
dipakai dalam iklan harus mengarahkan target audience untuk membeli, meng-gunakan, atau 497

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

beralih pada produk jasa yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan siapa ia
berbicara, bagaimana kebiasaan perilaku, di mana mereka berada. Akan tetapi ada yang berpendapat
bahwa bahasa dalam iklan terkadang dipandang menarik, jika bersifat main-main, atau menurut Hakim
(2006) bersifat “lanturan”. Menurutnya “lanturan” berbeda dengan kata yang melantur atau ngawur,
tidak nyambung dengan topik yang dibahas. Sementara lanturan adalah sengaja melantur atau melantur
dengan tujuan. Namun, lanturan yang dibuat harus selalu dijaga relevansinya. Hal yang paling dekat
dengan lanturan adalah plesetan. Orang muda saat ini tidak merasa gaul jika tidak banyak berplese-tan
dalam bercanda. Orang tertawa ketika mendengar plesetan karena relevansinya. Relevansi dalam
konteks ini adalah kata asli yang diplesetkannya. Sugiyono (2007) mengatakan bahwa dalam setiap iklan
memunculkan unsur pengingat catcher baik yang berupa suara, gambar, atau bahasa verbal menjadi
amat penting sehingga suatu saat hanya dengan mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu,
konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Contoh ini dapat ditemukan pada masa
ospek di tingkat pendidikan menengah. Siswa baru harus membawa barang-barang yang harus mereka
terjemahkan dari kata-kata (catcher) yang ada pada iklan barang tersebut, seperti membawa minuman
selamet (minuman Fruity yang diiklankan dengan mengangkat kata selamet; selamet penjaga sekolah,
selamet kan badak jawa), minuman Riyo

Mori (bintang iklan minuman, You C 1000, yang seorang Miss Universe2007 dari Jepang yang bernama
Rio Mori), 1 gigitan 4 kelezatan (coklat beng beng), minuman biar nggak jajan (minuman Okky Jelly),
minuman darah bangsawan bersoda (pepsi blue), coklat pelit, snack mendesah, snack nggak sengaja
(biscuit oopss). 3. Perang Iklan Melalui Bahasa Verbal

Permainan bahasa dan pemakaian makna konotatif umum dipakai dan diterapkan pada bahasa iklan.
Contohnya sebuah lembaga pendidikan beriklan menggunakan kata-kata yang secara sepintas bermakna
konotatif Akademi X tempat kuliah orang berdasi. Makna orang berdasi yaitu pekerja kantoran,
eksekutif, orang yang berkelas. Pemakaian makna konotatif memberi-kan imej lembaga yang diiklankan
adalah tempat kuliah orangorang berdasi. Pada kenyataannya, seragam yang digunakan lembaga
pendidikan tersebut memang menggunakan seragam baju lengan panjang, celana berwarna gelap, dan
berdasi. Ternyata orang berdasi yang dimaksud dalam iklan adalah makna denotatif atau makna
sesuangguhnya. Pembalikan logika dalam iklan bisa jadi untuk mengelabui belaka. Perang iklan melalui
bahasa verbal, contoh lainnya adalah Gery Toya Toya yang melabrak iklan coklat wafer momogi. Dalam
iklan tersebut divisualkan seorang anak yang gemuk berkaus merah. Isi percakapannya • Kirain coklat ga
taunya broklat Mau lagi? 498
Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008
Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

Gak! Gak mow-mow lagi!

Iklan tersebut menyindir coklat wafer Momogi, karena pada kemasan coklat tersebut tertulis “Satu
kelezatan terbaru dari MOMOGI, Wafer Vanila Chocolate! Bentuknya yang panjang memberikan
kepuasan yang lebih lama, dengan rasa vanilla coklatnya yang beda dari wafer lain, khusus untuk kalian
yang suka wafer dua rasa. Sekali coba MOMOGI . . . pasti mow mow lagi”. Dengan melihat dua hal itu,
sejumlah produsen cenderung menggunakan permainan bahasa melalui slogan dan simbol dari produk
saingannya untuk menunjukkan keunggulan produk mereka (http//peniusd.vox.com/library). 4. Bahasa
Iklan Penggunanya dan Maksud

Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang berisi berbagai tanda, ilusi,
manipulasi, citra, dan makna (Arixs, 2006). Informasi melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun
taklangsung terhadap persepsi, pemahaman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006). Studi
bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya
dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Pragmatik merupakan tataran yang ikut memperhitungkan
manusia sebagai pengguna bahasa. Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a)
bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut

konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi
menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas
(1995:2) memandang pragmatik dari dua sudut pandang, (1) sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara speaker meaning; (2) sudut pandang kognitif, menghubungkan
pragmatik dengan interpretasi ujaran utterance interpretation. Selanjutnya Thomas (1995:22)
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara
pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial
yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna
dalam interaksi meaning in interaction. J.L. Austin (dalam Thomas 1995:31) melalui analisis
performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech act), berpendapat bahwa dengan
berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan melakukan sesuatu
(perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsi-kan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang
bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran,
benar-salah (truth condi-tion) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition)
(Gunarwan, 2004:8). Contoh 499

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

(1) Dengan ini, saya nikahkan (performatif) (2) Rumah Luna terbakar (konstatif) Dalam contoh (2)
struktur dalam ujaran dapat saja berbunyi Saya katakana bahwa rumah luna terbakar. Austin, kemudian
mengklasifikasikan tindak tutur dalam tiga aktivitas pembicara, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi
(illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule, 1996:48). Tindak lokusi diartikan sebagai
pengujaran kata atau kalimat dengan arti yang tetap dengan maksud tertentu atau berkaitan dengan
produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusi adalah pembuatan pernyataan, perintah, janji, dalam
sebuah ujaran menurut kese-pakatan yang berhubungan dengan ujaran atau dengan ekspresi
performatif. Dengan kata lain berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusi
merupakan penga-ruh atau akibat yang ditimbulkan oleh katakata atau kalimat ujaran terhadap
pendengar dan situasi ujaran. Jadi, perlokusi berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap
maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas, 1995:49). Tindak tutur yang dikembangkan
oleh Searle (Gunarwan, 2004:9) berupa tindak tutur langsung (direct speech-act) dan tindak tutur tidak
langsung (indirect speechact). Contoh dari tiga tindak tutur tersebut (1) “Tembak!” Ketika seorang
komandan menyatakan ujaran tersebut, ia melakukan tindakan lokusi (Wahab, 1995:47). (2) “Saya tidak
bias pergi”.

Ketika seseorang menyatakan ujaran ini kepada temannya, ia tidak hanya menyatakan ujaran tersebut,
tetapi juga melakukan tindakan, yaitu meminta maaf. Dengan demikian, ia melakukan tindak ilokusi
(Wijana, 1996:18). Leech (1993:162) membagi tindak ilokusi dalam empat kategori, yaitu a. kompetitif,
tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, missal-nya memerintah, meminta, menuntut, dan
mengemis; b. menyenangkan, tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan,
mengajak / mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan selamat; c. bekerja
sama, tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan,
dan menga-jarkan; d. bertentangan, tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya
mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi Searle (dalam Leech, 1993:164) menyebut lima
jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan
tentang sesuatu yang dipercayai pembicarnya benar, missalnya menyatakan, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki
pendengarnya melakukan sesuatu, misalnya memesan, memerintah, memohon, member nasihat;
komisif merupakan tindak-tutur yang diguna-kan pembicarnya untuk menyatakan sesuatu yang akan
dilakukannya, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul; ekspresif merupakan tindak-tutur yang
menyatakan perasaan pembicaranya, misalnya mengucapkan terima kasih, selamat, maaf, mengecam,
memuji; dan 500

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

deklarasi merupakan tindak tutur yang mengu-bah status sesuatu, misalnya mengundurkan diri,
memecat, member nama, menjatuhkan hukuman (Littlejohn 2002:80 dan Yule, 1996:53-54). A. Tindak
Tutur

penutur mengatakan bahwa untung ia memakai Esia (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan
bahwa untung ia pakai Esia (ilokusi), penonton memakai Esia karena Esia sangat murah biayanya
(perlokusi). B. Jenis Ilokusi

“Minum makanan bergizi”, dalam ungkapan itu penutur mengatakan bahwa jika pendengar minum
Energen berarti ia meminum makanan bergizi (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa
minum energen berarti minum makanan bergizi (ilokusi), penonton membeli produk Energen dan
merasakan manfaat gizi yang terkandung di dalamnya. “Buktikan nikmatnya, dapatkan hadiahnya”,
penutur mengatakan pendengar harus membuktikan kenikmatan Torabika dan pendengar akan
mendapatkan hadiahnya (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa pendengar harus
membuktikan kenikmatan Torabika dan pendengar akan mendapatkan hadiahnya (ilokusi), penonton
membeli produk dan membuktikan Torabika kenikmatannya dan mendapatkan hadiahnya. “Ngga ada
kamu, ngga ‘rame’”penutur mengata-kan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai (lokusi), penutur
melakukan tindak menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai (ilokusi), penonton
membeli produk Sampoerna Hijau dapat membuat suasana menjadi ramai. “Kamu adalah kamu”
penutur mengatakan bahwa kamu adalah kamu (lokusi), penutur melakukan tindak menyatakan bahwa
kamu adalah kamu (ilokusi), penonton membeli produk U Mild yang dapat membuat ia menjadi dirinya
sendiri. “Untung pakai Esia”,

“Minum makanan bergizi”, penutur mengatakan bahwa kalau pendengar minum Energen berarti
pendengar minum makanan bergizi (ilokusi langsung), penutur meminta pendengar untuk minum
Energen karena mengandung makanan bergizi (ilokusi taklangsung); “Ngga ada kamu, ngga
‘rame’”penutur menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar suasananya tidak ramai (ilokusi
langsung), penutur mengajak pendengar mengonsumsi Sampoerna Hijau yang dapat membuat suasana
ramai. Fungsi ilokusi dari contoh-contoh iklan di atas adalah asertif penutur melakukan tindak
menyatakan bahwa minum Energen berarti minum makanan bergizi, penutur melakukan tindak
menyatakan bahwa kalau tidak ada pendengar tidak ramai, penutur melakukan tindak menyatakan
bahwa untung ia memakai Esia.
5. Simpulan Bahasa yang dipergunakan dalam iklan di media massa dan elektronik seringkali tidak sesuai
dengan kaidah bahasa yang baik dan benar, contohnya iklan operator telepon seluler. Dengan demikian,
penggunaan bahasa yang tidak efektif menyebabkan pesan yang ingin disam-paikan pada konsumen 501

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

tidak tepat sasaran. Akan tetapi, iklan memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi,
kontekstual, dan ‘gaul’. Kondisi ini yang menyebabkan ada keprihatinan pada banyak kalangan. Ada yang
berpendapat bahwa bahasa iklan tidak mesti sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar, tetapi belum ada kriteria bagaimana sebaiknya bahasa iklan tersebut. Bila membuat iklan dengan
memperhatikan kaidah bahasa menggunakan pola SPOK, menggunakan kalimat efektif, kata-kata yang
digunakan akan sangat panjang dan kurang menarik. Bahasa dalam iklan terkadang dipandang menarik,
jika bersifat mainmain, atau bersifat “lanturan”. Hal yang paling dekat dengan lanturan adalah plesetan.
Orang muda saat ini tidak merasa gaul jika tidak banyak berplesetan dalam bercanda. Orang tertawa
ketika mendengar plesetan karena relevan-sinya. Relevansi dalam konteks ini adalah kata asli yang
diplesetkannya. Kata-kata dalam iklan merupakan tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi; kata-kata
tersebut merupa-kan jenis ilokusi langsung dan taklangsung, dan memiliki fungsi asertif. Dalam setiap
iklan harus dimunculkan unsur pengingat catcher baik yang berupa suara, gambar, atau bahasa verbal
menjadi amat penting sehingga suatu saat hanya dengan mendengar, melihat, atau membaca pengingat
itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Kata yang dipilih harus dapat
memberi ketepatan makna karena pada masyarakat tertentu sebuah kata sering mempunyai makna
yang baik, dan pada masyarakat lain memberikan makna yang kurang baik. Penggunaan kata harus
disesuaikan

dengan norma kalangan.

kebahasaan

suatu

6. Pustaka Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University
Press. Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage.
Cambridge: Cambridge University Press. Brown, Gillian., George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Darmawan, Ferry. “Posmodernisme Kode Visual
dalam Iklan Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator. 2006. Fiske, John. 2004. Cultural and
Communication Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran
Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja. Kaswanti, Bambang
(ed). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta : UI Press. 502

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008


Diksi Dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Suatu Kajian Sosiopragmatik

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nurhayati,
Eva. upt@pustakaupi.or.id URN etd-1221105-100307. Kajian Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio
Ditinjau dari Sudut Pragmatik. Bandung:UPI. Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda.
Thomas, Linda., & Shan Wareing. 2007. Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
http://www.Kompas.com/Kompascetak/0611/18/humaniora/3101490
http://peniusd.vox.com/Library/post/Kegiata n belajar-2-bahasa-iklan-html.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008

503
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek
pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran
(yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak
tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana.
Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi
analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan. Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11)
membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif.
Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –
benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai
bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Berkenaan
dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak
mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut
kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan
dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur
perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori: 1.
Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang
diujarkan 2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu 3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam
tuturan itu. 4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya 5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur juga dibedakan
menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Penggunaan tuturan secara
konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan
interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi,
menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus
dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika
tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang
digunakan secara tidak konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan
dengan kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur
harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud tidak
sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung dan
taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh empat
macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur langsung
takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah. Di tinjau dari
sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua jenis tindak tutur : (1)
vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat, dan (2) seremonial,
yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal yang dituturkannya. ANALISIS
DATA Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, maka data dianalisis dan dikelompokkan menurut
jenisnya. Terdapat kemungkinan keseluruhan jumlah tindak tutur hasil analisis lebih banyak dari tindak
tutur yang terdapat dalam data, karena terdapat beberapa tindak tutur yang menempati lebih dari satu
kategori tindak tutur sebagaimana contoh berikut : “Bagaimana kalau kita…kita kawin!” Tindak tutur di
atas termasuk ke dalam beberapa kategori sekaligus yaitu : (1) tindak tutur perlokusi karena digunakan
untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin (2) direktif karena mitra tutur diharapkan
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu (kawin dengan penutur) (3) komisif karena
mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya (kawin dengan
mitra tutur) (4) isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan) (5) tindak tutur
taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secara konvensional untuk
menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam
tindak tutur. TINDAK TUTUR Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang
mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik
mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang
maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di
mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik
dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan,
implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Di dalam bukunya How to Do Things
with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua
yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu
yang kebenarannya dapat diuji –benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk
melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi
sahih atau tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur
lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam
kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung
maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu
dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur. Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur
menjadi lima kategori: 1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan
kebenaran atas apa yang diujarkan 2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu 3.
Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai
evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu. 4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya 5. Deklarasi/establisif/isbati,
yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang
baru. Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan
untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan
sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan
tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah –
atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional--, tuturan itu merupakan
tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak
tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang
menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika
dua jenis tindak tutur, langsung dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah
dan takharfiah, diperoleh empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah,
(2) tindak tutur langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung
takharfiah. Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan
dua jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota
masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk
hal yang dituturkannya. ANALISIS DATA Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, maka data
dianalisis dan dikelompokkan menurut jenisnya. Terdapat kemungkinan keseluruhan jumlah tindak tutur
hasil analisis lebih banyak dari tindak tutur yang terdapat dalam data, karena terdapat beberapa tindak
tutur yang menempati lebih dari satu kategori tindak tutur sebagaimana contoh berikut : “Bagaimana
kalau kita…kita kawin!” Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategori sekaligus yaitu : (1)
tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin (2) direktif
karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu (kawin dengan
penutur) (3) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya (kawin dengan mitra tutur) (4) isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru
(perkawinan) (5) tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secara
konvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu
yang disebutkan dalam tindak tutur.

&nb sp;   Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji
bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik
mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang
seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara
kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat
sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini
seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip
kesantunan.
Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan
yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur
konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar
atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu,
pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau
tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi,
yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam
kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang
mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak
tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang
diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan
hal (status, keadaan, dsb) yang baru.

Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional
dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra
tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah
yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk
bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak
konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan
kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur
harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud
tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung
dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh
empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur
langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.

Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua
jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota
masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan
untuk hal yang dituturkannya.

ANALISIS DATA
Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, maka data dianalisis dan dikelompokkan menurut
jenisnya. Terdapat kemungkinan keseluruhan jumlah tindak tutur hasil analisis lebih banyak dari
tindak tutur yang terdapat dalam data, karena terdapat beberapa tindak tutur yang menempati
lebih dari satu kategori tindak tutur sebagaimana contoh berikut :

“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”

Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategori sekaligus yaitu :


(1) tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin
(2) direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan
itu (kawin dengan penutur)
(3) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya (kawin dengan mitra tutur)
(4) isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)
(5) tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secara
konvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan
sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
TINDAK TUTUR

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari
aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari
maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang
maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada
siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di
dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti
praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan
yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur
konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar
atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu,
pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau
tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi,
yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam
kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang
mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak
tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang
diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan
hal (status, keadaan, dsb) yang baru.

Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional
dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra
tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah
yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk
bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak
konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan
kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur
harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud
tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung
dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh
empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur
langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.

Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua
jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota
masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan
untuk hal yang dituturkannya.

ANALISIS DATA
Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, maka data dianalisis dan dikelompokkan menurut
jenisnya. Terdapat kemungkinan keseluruhan jumlah tindak tutur hasil analisis lebih banyak dari
tindak tutur yang terdapat dalam data, karena terdapat beberapa tindak tutur yang menempati
lebih dari satu kategori tindak tutur sebagaimana contoh berikut :

“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”

Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategori sekaligus yaitu :


(1) tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin
(2) direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan
itu (kawin dengan penutur)
(3) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya (kawin dengan mitra tutur)
(4) isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)
(5) tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secara
konvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan
sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
A. Pendahuluan

Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur itu ada baiknya kita bicarakan
dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional. Menurut
tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat, yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat
interogatif, dan (3) kalimat imperative. Ada juga yang menambahkan satu lagi, yaitu kalimat
interjektif atau kalimat seruan. Tetapi di sini kita bicarakan yang tiga itu saja. Kalimat
deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar
kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab maksud si
pengujar hanya untuk memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya
meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban
secara lisan. Jadi, yang diminta bukan hanya sekadar perhatian, melainkan juga jawaban.
Sedangkan kalimat imperative adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau
yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang
diminta. (Chaer dan Leonie Agustina, 2004 : 50)

Austin (1962) dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004 : 51) membedakan kalimat
deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstantif dan kalimat performatif. Yang
dimaksud dengan kalimat konstantif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka.
Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan.

Kemudian tindak tutur yang dilakngsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin
dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu (1) tindak tutur
lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, (3) tindak tutur perlokusi.

B. Analisis Tindak Tutur dalam Humor Para Kiai


1. Tindak Tutur Lokusi.

Tindak tutur lokusi ialah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

Pengertian lain mengenai lokusi juga dapat berarti tindak tutur yang dilakukan
pembicara berhubungan dengan perkataan sesuatu seperti memutuskan, mendoakan,
merestui, atau menuntut.

Dalam Humor Para Kiai ditemukan tindak tutur lokusi seperti pada salah satu
humornya sebagai berikut :

ISTRI TETANGGA

Ini adalah cerita Kian Anwar ketika kuliah di Mesir. Karena


tak kuat pisah terlalu lama dengan istrinya, Halimah, yang baru ia
nikahi beberapa bulan, akhirnya Kiai Anwar membawa Halimah
ke Mesir. Hitung-hitung melanjutkan bulan muda. Mereka tinggal
di sebuah apartemen.

Hari demi hari mereka lalui dengan kebahagiaan. Hingga


suatu pagi tiba-tiba Halimah berkata pada Kiai Anwar, “Abi, coba
lihat tetangga sebelah itu !”nkata Halimah menunjuk tetangga
sebelah apartemennya.

“Kenapa?” Tanya Kiai Anwar heran.

“Mereka kelihatan bahagia sekali. Setiap kali suaminya


pergi, pasti mencium istrinya. Terus pulangnya membawa
sekuntum bunga. Romantis sekali. Kenapa Abi nggak seperti itu ?”

“Mau mampus apa ? Aku kan nggak kenal sama istrinya ?”


(hal. 48-49)
Kalimat yang bergaris bawah pada humor diatas menunjukkan adanya maksud
menuntut dari si pembicara (istri) yakni dimana Halimah sebagai istri menyampaikan
tuntutannya kepada sang suami mengapa suaminya setiap kali pergi tidak pernah mencium
dirinya dan tidak membawa sekuntum bunga ketika pulang. Namun maksud sang istri
diterima dengan pemahaman berbeda oleh sang suami yang menangkap maksud sang istri
menuntut dirinya untuk berlaku romantis kepada perempuan di sebelah apartemennya.

2. Tindak Tutur Ilokusi

Tindak tutur ilokusi ialah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
klaimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan
pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh menawarkan dan menjanjikan.

Tindak tutur ilokusi yang menunjukkan maksud penawaran terdapat juga pada
humor berikut ini :

SETELAH MAGHRIB

Suatu hari beberapa Kiai sepuh berkumpul di Pesantren Kiai


Anwar untuk mendengarkan penjelasan seorang ahli pesawat.
Sang ahli pesawat itu bilang bahwa kini Indonesia sudah bisa
membuah pesawat terbang ke bulan. Awalnya sang ahli pesawat
bicara menggebu-gebu. Tapi begitu diperhatikannya para kiai yang
hadir acuh tak acuh, sang ahli pesawat jadi heran sendiri. “Kenapa
para hadirin seperti tidak ada yang tertarik dengan temuan kami ?”
tanya sang ahli penasaran.

Beberapa Kiai saling berpandangan lalu salah seorang


diantaranya angkat suara. “Kami tidak kagum dengan penemuan
Anda, karena Amerika sudah lama bikin pesawat seperti itu. Kalau
pesawat yang bisa menuju ke matahari, baru kami kagum dan
bangga.
Mendengar hal itu, sang ahli tersenyum dan
menjelaskan.”Maaf, Pak Kiai, kalau ke matahari itu panas sekali.
Pesawat kita pasti akan melelh sebelum sampai ke sana.”

Lagi para Kiai saling berpandangan, sebagian mengangguk-


angguk membenarkan ucapan sang ahli. Tapi tiba-tiba di barisan
depan salah seorang Kiai berdiri, angkat suara : “Kalau takut
panas, bukankah kita bisa berangkat habis Maghrib ? kenapa harus
repot-repot ?” (hal. 56-57)

Kalimat yang bergaris bawah diatas menunjukkan sebah tindak tutur ilokusi dimana
menyampaikan maksud untuk menawarkan atau mengusulkan atas pokok pembicaraan
yang sedang berlangsung meskipun usulan atau penawaran yang disampaikan tidak masuk
akal.

3. Tindak Tutur Perlokusi

Tindak tutur perlokusi ialah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan
orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistic dari orang itu.

KIAI SHODIK MENJARING PSK

Menjelang Ramadhan Kiai Shodik gelisah karena di sekitar


pesantren masih banyak berkeliaran perempuan penjajaseks. Tak
mau ambil resiko, Kiai Shodik segera menghubungi Pemda
setempat yang kemudian melakukan operasi penertiban.

Kiai Shodik ikut mengantar dan menyaksikan jalannya


operasi itu. Beberapa PSK memang berhasil kabur ketika petugas
baru saja sampai di lokasi. Tapi banyak juga yang berhasil
ditangkap. Meski sebagian dari mereka meronta-ronta, ingin kabur
juga. Suasana jadi rebut dan gaduh. Kiai Shodik yang tanggap
situasi, segera menenangkan.
“Tenang, tenang. Kalian hanya mau di bawa ke Dinas Sosial
saja. Bukannya ditahan,” kata Kiai Shodik bijaksana.

“Betul kata Pak Kiai. Jadi kalian jangan takut, sahut petugas
Pemda.

Pada saat itu seorang PSK yang sudah berhasil ditangkap


menyahut dengan suara keras ;”Kalo saya sih mau dibawa kemana
aja nggak masalah. Yang penting tarifnya cocok. Iya khan, Pak
Kiai?!”

Kiai Shodik geleng-geleng kepala. (hal. 64-65)

Kalimat yang bergaris bawah diatas merupakan sebuah tindak tutur perlokusi karena
bermaksud untuk mempengaruhi atau membuat si pendengar untuk melakukan sesuatu
seperti yang diucapkan oleh si pembicara. Pada kalimat itu, kalimat yang diucapkan oleh
Kiai Shodik berusaha untuk membujuk para PSK untuk bisa tenang.

C. Penutup

Dari hasil analisis yang telah diutarakan diatas, dapat diketahui mengenai keberadaan
tindak tutur dalam Humor Para Kiai (Tertawa Sampai Surga) yang dapat berupa tindak tutur
lokusi, tindak tutur ilokusi, maupun tindak tutur perlokusi. Hal ini menunjukkan bahwa
peristiwa tindak tutur selalu terjadi pada setiap aktifitas komunikasi / aktifitas berbahasa yang
dilakukan oleh setiap masyarakat bahasa dari setiap golongan sekalipun itu dari golongan
para Kiai.

You might also like