You are on page 1of 18

SISTEM INFORMASI MANAJAMEN DALAM PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

INFORMASI DI DUNIA

EMPAT ERA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMPUTER


Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab utama terjadinya era globalisasi yang
datangnya lebih cepat dari dugaan semua pihak adalah karena perkembangan pesat teknologi
informasi. Implementasi internet, electronic commerce, electronic data interchange, virtual office,
telemedicine, intranet, dan lain sebagainya telah menerobos batas-batas fisik antar negara.
Penggabungan antara teknologi komputer dengan telekomunikasi telah menghasilkan suatu
revolusi di bidang sistem informasi. Data atau informasi yang pada jaman dahulu harus memakan
waktu berhari-hari untuk diolah sebelum dikirimkan ke sisi lain di dunia, saat ini dapat dilakukan
dalam hitungan detik.

Tidak berlebihan jika salah satu pakar IBM menganalogikannya dengan perkembangan otomotif
sebagai berikut: “seandainya dunia otomotif mengalami kemajuan sepesat teknologi informasi,
saat ini telah dapat diproduksi sebuah mobil berbahan bakar solar, yang dapat dipacu hingga
kecepatan maximum 10,000 km/jam, dengan harga beli hanya sekitar 1 dolar Amerika !”. Secara
mikro, ada hal cukup menarik untuk dipelajari, yaitu bagaimana evolusi perkembangan teknologi
informasi yang ada secara signifikan mempengaruhi persaingan antara perusahaan-perusahaan di
dunia, khususnya yang bergerak di bidang jasa. Secara garis besar, ada empat periode atau era
perkembangan sistem informasi, yang dimulai dari pertama kali diketemukannya komputer
hingga saat ini. Keempat era tersebut (Cash et.al., 1992) terjadi tidak hanya karena dipicu oleh
perkembangan teknologi komputer yang sedemikian pesat, namun didukung pula oleh teori-teori
baru mengenai manajemen perusahaan modern. Ahli-ahli manajemen dan organisasi seperti Peter
Drucker, Michael Hammer, Porter, sangat mewarnai pandangan manajemen terhadap teknologi
informasi di era modern. Oleh karena itu dapat dimengerti, bahwa masih banyak perusahaan
terutama di negara berkembang (dunia ketiga), yang masih sulit mengadaptasikan teori-teori baru
mengenai manajemen, organisasi, maupun teknologi informasi karena masih melekatnya faktor-
faktor budaya lokal atau setempat yang mempengaruhi behavior sumber daya manusianya.
Sehingga tidaklah heran jika masih sering ditemui perusahaan dengan peralatan komputer yang
tercanggih, namun masih dipergunakan sebagai alat-alat administratif yang notabene merupakan
era penggunaan komputer pertama di dunia pada awal tahun 1960-an.

ERA KOMPUTERISASI
Periode ini dimulai sekitar tahun 1960-an ketika mini computer dan mainframe diperkenalkan
perusahaan seperti IBM ke dunia industri. Kemampuan menghitung yang sedemikian cepat
menyebabkan banyak sekali perusahaan yang memanfaatkannya untuk keperluan pengolahan
data (data processing). Pemakaian komputer di masa ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi,
karena terbukti untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mempergunakan komputer jauh lebih efisien
(dari segi waktu dan biaya) dibandingkan dengan mempekerjakan berpuluh-puluh SDM untuk hal
serupa. Pada era tersebut, belum terlihat suasana kompetisi yang sedemikian ketat. Jumlah
perusahaan pun masih relatif sedikit. Kebanyakan dari perusahaan perusahaan besar secara tidak
langsung “memonopoli pasar-pasar tertentu, karena belum ada pesaing yang berarti. Hampir
semua perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang infrastruktur (listrik dan
telekomunikasi) dan pertambangan pada saat itu membeli perangkat komputer untuk membantu
kegiatan administrasinya sehari-hari. Keperluan organisasi yang paling banyak menyita waktu
komputer pada saat itu adalah untuk administrasi back office, terutama yang berhubungan dengan
akuntansi dan keuangan. Di pihak lain, kemampuan mainframe untuk melakukan perhitungan
rumit juga dimanfaatkan perusahaan untuk membantu menyelesaikan problem-problem teknis
operasional, seperti simulasi-simulasi perhitungan pada industri pertambangan dan manufaktur.
ERA TEKNOLOGI INFORMASI
Kemajuan teknologi digital yang dipadu dengan telekomunikasi telah membawa komputer
memasuki masa-masa “revolusi”-nya. Di awal tahun 1970-an, teknologi PC atau Personal
Computer mulai diperkenalkan sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat
komputer yang dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi dapat
memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer (dengan kecepatan yang hampir
sama dengan kecepatan mini computer, bahkan mainframe). Kegunaan komputer di perusahaan
tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun lebih jauh untuk mendukung terjadinya proses
kerja yang lebih efektif. Tidak seperti halnya pada era komputerisasi dimana komputer hanya
menjadi “milik pribadi” Divisi EDP (Electronic Data Processing)
perusahaan, di era kedua ini setiap individu di organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan
komputer, seperti untuk mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user
computing). Pemakaian komputer di kalangan perusahaan semakin marak, terutama didukung
dengan alam kompetisi yang telah berubah dari monompoli menjadi pasar bebas. Secara tidak
langsung, perusahaan yang telah memanfaatkan teknologi komputer sangat efisien dan efektif
dibandingkan perusahaan yang sebagian prosesnya masih dikelola secara manual. Pada era inilah
komputer memasuki babak barunya, yaitu sebagai suatu fasilitas yang dapat memberikan
keuntungan kompetitif bagi perusahaan, terutama yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa.

Teori-teori manajemen organisasi modern secara intensif mulai diperkenalkan di awal tahun
1980-an. Salah satu teori yang paling banyak dipelajari dan diterapkan adalah mengenai
manajemen perubahan (change management). Hampir di semua kerangka teori manajemen
perubahan ditekankan pentingnya teknologi informasi sebagai salah satu komponen utama yang
harus diperhatikan oleh perusahaan yang ingin menang dalam persaingan bisnis. Tidak seperti
pada kedua era sebelumnya yang lebih menekankan pada unsur teknologi, pada era manajemen
perubahan ini yang lebih ditekankan adalah sistem informasi, dimana komputer dan teknologi
informasi merupakan komponen dari sistem tersebut. Kunci dari keberhasilan perusahaan di era
tahun 1980-an ini adalah penciptaan dan penguasaan informasi secara cepat dan akurat. Informasi
di dalam perusahaan dianalogikan sebagai darah dalam peredaran darah manusia yang harus
selalu mengalir dengan teratur, cepat, terus-menerus, ke tempat-tempat yang membutuhkannya
(strategis). Ditekankan oleh beberapa ahli manajemen, bahwa perusahaan yang menguasai
informasilah yang memiliki keunggulan kompetitif di dalam lingkungan makro “regulated free
market”. Di dalam periode ini, perubahan secara filosofis dari perusahaan tradisional ke
perusahaan modern terletak pada bagaimana manajemen melihat kunci kinerja perusahaan.
Organisasi tradisional melihat struktur perusahaan sebagai kunci utama pengukuran kinerja,
sehingga semuanya diukur secara hirarkis berdasarkan divisi-divisi atau departemen. Dalam teori
organisasi modern, dimana persaingan bebas telah menyebabkan customers harus pandai-pandai
memilih produk yang beragam di pasaran, proses penciptaan produk atau pelayanan (pemberian
jasa) kepada pelanggan merupakan kunci utama kinerja perusahaan. Keadaan ini sering
diasosiasikan dengan istilah-istilah manajemen seperti “market driven” atau “customer base
company” yang pada intinya sama, yaitu kinerja perusahaan akan dinilai dari kepuasan para
pelanggannya. Sangat jelas dalam format kompetisi yang baru ini, peranan komputer dan
teknologi informasi, yang digabungkan dengan komponen lain seperti proses, prosedur, struktur
organisasi, SDM, budaya perusahaan, manajemen, dan komponen terkait lainnya, dalam
membentuk sistem informasi yang baik, merupakan salah satu kunci keberhasilan perusahaan
secara strategis.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa kepuasan pelanggan terletak pada kualitas pelayanan. Pada
dasarnya, seorang pelanggan dalam memilih produk atau jasa yang dibutuhkannya, akan mencari
perusahaan yang menjual produk atau jasa tersebut: cheaper (lebih murah), better (lebih baik),
dan faster (lebih cepat). Disinilah peranan sistem informasi sebagai komponen utama dalam
memberikan keunggulan kompetitif perusahaan. Oleh karena itu, kunci dari kinerja perusahaan
adalah pada proses yang terjadi baik di dalam perusahaan (back office) maupun yang langsung
bersinggungan dengan pelanggan (front office). Dengan memfokuskan diri pada penciptaan
proses (business process) yang efisien, efektif, dan terkontrol dengan baiklah sebuah perusahaan
akan memiliki kinerja yang handal. Tidak heran bahwa di era tahun 1980-an sampai dengan awal
tahun 1990-an terlihat banyak sekali perusahaan yang melakukan BPR (BusinessProcess
Reengineering), re-strukturisasi, implementasi ISO-9000, implementasi TQM, instalasi dan
pemakaian sistem informasi korporat (SAP, Oracle, BAAN), dan lain sebagainya. Utilisasi
teknologi informasi terlihat sangat mendominasi dalam setiap program manajemen perubahan
yang dilakukan perusahaan-perusahaan

ERA GLOBALISASI INFORMASI


Belum banyak buku yang secara eksplisit memasukkan era terakhir ini ke dalam sejarah evolusi
teknologi informasi. Fenomena yang terlihat adalah bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an,
perkembangan dibidang teknologi informasi (komputer dan telekomunikasi) sedemikian
pesatnya, sehingga kalau digambarkan secara grafis, kemajuan yang terjadi terlihat secara
eksponensial. Ketika sebuah seminar internasional mengenai internet diselenggarakan di San
Fransisco pada tahun 1996, para praktisi teknologi informasi yang dahulu bekerja sama dalam
penelitian untuk memperkenalkan internet ke dunia industri pun secara jujur mengaku bahwa
mereka tidak pernah menduga perkembangan internet akan menjadi seperti ini. Ibaratnya mereka
melihat bahwa yang ditanam adalah benih pohon ajaib, yang tiba-tiba membelah diri menjadi
pohon raksasa yang tinggi menjulang. Sulit untuk ditemukan teori yang dapat menjelaskan semua
fenomena yang terjadi sejak awal tahun 1990-an ini, namun fakta yang terjadi dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi informasi. Keberadaannya telah
menghilangkan garis-garis batas antar negara dalam hal flow of information. Tidak ada negara
yang mampu untuk mencegah mengalirnya informasi dari atau ke luar negara lain, karena batasan
antara negara tidak dikenal dalam virtual world of computer. Penerapan teknologi seperti LAN,
WAN, GlobalNet, Intranet, Internet, Ekstranet, semakin hari semakin merata dan membudaya di
masyarakat. Terbukti sangat sulit untuk menentukan perangkat hukum yang sesuai dan terbukti
efektif untuk menangkal segala hal yang berhubungan dengan penciptaan dan aliran informasi.
Perusahaan-perusahaan pun sudah tidak terikat pada batasan fisik lagi. Melalui virtual world of
computer, seseorang dapat mencari pelanggan di seluruh lapisan masyarakat dunia yang
terhubung dengan jaringan internet. Sulit untuk dihitung besarnya uang atau investasi yang
mengalir bebas melalui jaringan internet. Transaksi-transaksi perdagangan dapat dengan mudah
dilakukan di cyberspace melalui electronic transaction dengan mempergunakan electronic money.
Tidak jarang perusahaan yang akhirnya harus mendefinisikan kembali visi dan misi bisnisnya,
terutama yang bergelut di bidang pemberian jasa. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan
perangkat canggih teknologi informasi telah merubah mindset manajemen perusahaan sehingga
tidak jarang terjadi perusahaan yang banting stir menggeluti bidang lain. Bagi negara dunia ketiga
atau yang sedang berkembang, dilema mengenai pemanfaatan teknologi informasi amat terasa. Di
suatu sisi banyak perusahaan yang belum siap karena struktur budaya atau SDM-nya, sementara
di pihak lain investasi besar harus dikeluarkan untuk membeli perangkat teknologi informasi.
Tidak memiliki teknologi informasi, berarti tidak dapat bersaing dengan perusahaan multi
nasional lainnya, alias harus gulung tikar.

Hal terakhir yang paling memusingkan kepala manajemen adalah kenyataan bahwa lingkungan
bisnis yang ada pada saat ini sedemikian seringnya berubah dan dinamis. Perubahan yang terjadi
tidak hanya sebagai dampak kompetisi yang sedemikian ketat, namun karena adanya faktor-faktor
external lain seperti politik (demokrasi), ekonomi (krisis), sosial budaya (reformasi), yang secara
tidak langsung menghasilkan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan baru yang harus ditaati
perusahaan. Secara operasional, tentu saja fenomena ini sangat menyulitkan para praktisi
teknologi informasi dalam menyusun sistemnya. Tidak jarang di tengah-tengah konstruksi sistem
informasi, terjadi perubahan kebutuhan sehingga harus diadakan analisa ulang terhadap sistem
yang akan dibangun. Dengan mencermati keadaan ini, jelas terlihat kebutuhan baru akan
teknologi informasi yang cocok untuk perusahaan, yaitu teknologi yang mampu adaptif terhadap
perubahan. Para praktisi negara maju menjawab tantangan ini dengan menghasilkan produk-
produk aplikasi yang berbasis objek, seperti OOP (Object Oriented Programming), OODBMS
(Object Oriented Database Management System), Object Technology, Distributed Object, dan
lain sebagainya.

PERUBAHAN POLA PIKIR SEBAGAI SYARAT


Dari keempat era di atas, terlihat bagaimana alam kompetisi dan kemajuan teknologi informasi
sejak dipergunakannya komputer dalam industri hingga saat ini terkait erat satu dan lainnya.
Memasuki abad informasi berarti memasuki dunia dengan teknologi baru, teknologi informasi.
Mempergunakan teknologi informasi seoptimum mungkin berarti harus merubah mindset.
Merubah mindset merupakan hal yang teramat sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya
“people do not like to change”. Kalau pada saat ini dunia maju dan negara-negara tetangga
Indonesia sudah memiliki komitmen khusus untuk mengambil bagian dalam penciptaan
komponen-komponen sistem informasi, bagaimana dengan Indonesia? Masih ingin menjadi
negara konsumen? Atau sudah mampu menjadi negara produsen? Paling tidak, hal yang harus ada
terlebih dahulu di setiap manusia Indonesia adalah kemauan untuk berubah. Tanpa “willingness
to change”, sangat mustahillah bangsa Indonesia dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk
membangun kembali bangsa yang hancur ditelan krisis saat ini.

Sistem Informasi Manajemen merupakan sistem informasi yang menghasilkan hasil keluaran
(output) dengan menggunakan masukan (input) dan berbagai proses yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan tertentu dalam suatu kegiatan manajemen.

Tujuan Umum

• Menyediakan informasi yang dipergunakan di dalam perhitungan harga pokok jasa,


produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.
• Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian,
pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.
• Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.

Ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa manajer dan pengguna lainnya perlu memiliki akses
ke informasi akuntansi manajemen dan mengetahui bagaimana cara menggunakannya. Informasi
akuntansi manajemen dapat membantu mereka mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan
masalah, dan mengevaluasi kinerja (informasi akuntansi dibutuhkan dam dipergunakan dalam
semua tahap manajemen, termasuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan).

Proses Manajemen

Proses manajemen didefinisikan sebagai aktivitas-aktivitas:

• Perencanaan, formulasi terinci untuk mencapai suatu tujuan akhir tertentu adalah
aktivitas manajemen yang disebut perencanaan. Oleh karenanya, perencanaan
mensyaratkan penetapan tujuan dan identifikasi metode untuk mencapai tujuan tersebut.
• Pengendalian, perencanaan hanyalah setengah dari peretempuran. Setelah suatu rencana
dibuat, rencana tersebut harus diimplementasikan, dan manajer serta pekerja harus
memonitor pelaksanaannya untuk memastikan rencana tersebut berjalan sebagaimana
mestinya. Aktivitas manajerial untuk memonitor pelaksanaan rencana dan melakukan
tindakan korektif sesuai kebutuhan, disebut kebutuhan.
• Pengambilan Keputusan, proses pemilihan diantara berbagai alternative disebut dengan
proses pengambilan keputusan. Fungsi manajerial ini merupakan jalinan antara
perencanaan dan pengendalian. Manajer harus memilih diantara beberapa tujuan dan
metode untuk melaksanakan tujuan yang dipilih. Hanya satu dari beberapa rencana yang
dapat dipilih. Komentar serupa dapat dibuat berkenaan dengan fungsi pengendalian.
Balanced Scorecard

Sebagai Alternatif untuk Mengukur Kinerja

I. PENDAHULUAN

Perkembangan dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan perubahan besar luar biasa
dalam persaingan, produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan penanganan
transaksi antara perusahaan dengan pelanggan dan perusahaan dengan perusahaan lain.
Persaingan yang bersifat global dan tajam menyebabkan terjadinya penciutan laba yang
diperoleh perusahaan-perusahaan yang memasuki persaingan tingkat dunia. Hanya perusahaan-
perusahaan yang memiliki keunggulan pada tingkat dunia yang mampu memuaskan atau
memenuhi kebutuhan konsumen, mampu menghasilkan produk yang bermutu, dan cost effevtive
(Mulyadi, 1997).

Perubahan-perubahan tersebut mendorong perusahaan untuk mempersiapkan dirinya agar bisa


diterima di lingkungan global. Keadaan ini memaksa manajemen untuk berupaya menyiapkan,
menyempurnakan ataupun mencari strategi-strategi baru yang menjadikan perusahaan mampu
bertahan dan berkembang dalam persaingan tingkat dunia. Oleh karena itu perusahaan dalam
hal ini manajemen harus mengkaji ulang prinsip-prinsip yang selama ini digunakan agar dapat
bertahan dan bertumbuh dalam persaingan yang semakin ketat untuk dapat menghasilkan
produk dan jasa bagi masyarakat.

Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mancakup penekanan-
penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya atau harga, kualitas pelayanan, kualitas
penyerahan tepat waktu, kualitas estetika dan bentuk-bentuk kualitas lain yang terus berkembang
guna memberikan kepuasan terus menerus kepada pelanggan agar tercipta pelanggan yang
loyal (Hansen dan Mowen, 1999). Sehingga meningkatnya persaingan bisnis memacu
manajemen untuk lebih memperhatikan sedikitnya dua hal penting yaitu "keunggulan" dan "nilai".

Penilaian atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang penting dalam perusahaan.
Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusaan, misalnya untuk
menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak. Pihak manajemen juga dapat
menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat untuk mengevaluasi pada periode
yang lalu.

Pemakaian penilaian kinerja tradisional yaitu ROI, Profit Margin dan Rasio Operasi sebetulnya
belum cukup mewakili untuk menyimpulkan apakah kinerja yang dimiliki oleh suatu perusahaan
sudah baik atau belum. Hal ini disebabkan karena ROI, Profit Marjin dan Rasio Operasi hanya
menggambarkan pengukuran efektivitas penggunaan aktiva serta laba dalam mendukung
penjualan selama periode tgertentu. Ukuran-ukuran keuangan tidak memberikan gambaran yang
riil mengenai keadaan perusahaan karena tidak memperhatikan hal-hal lain di luar sisi finansial
misalnmya sisi pelanggan yang merupakan fokus penting bagi perusahaan dan karyawan,
padahal dua hal tersebut merupakan roda penggerak bagi kegiatan perusahaan (Kaplan dan
Norton, 1996).
Dalam akuntansi manajemen dikenal alat analisis yang bertujuan untuk menunjang proses
manajemen yang disebut dengan Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Norton pada
tahun 1990. Balanced Scorecard merupakan suatu ukuran yang cukup komprehensif dalam
mewujudkan kinerja, yang mana keberhasilan keuangan yang dicapai perusahaan bersifat jangka
panjang (Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999). Balanced Scorecard tidak hanya sekedar alat
pengukur kinerja perusahaan tetapi merupakan suatu bentuk transformasi strategik secara total
kepada seluruh tingkatan dalam organisasi. Dengan pengukuran kinerja yang komprehensif tidak
hanya merupakan ukuran-ukuran keuangan tetapi penggabungan ukuran-ukuran keuangan dan
non keuangan maka perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih bai.

II PENILAIAN KINERJA DAN BALANCED SCORECARD

2.1. Kinerja dan Penilaian Kinerja

Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu
tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan
dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996).

Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh
tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah
standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi,
pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya.

Adapun kinerja menurut Mulyadi adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional
organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Tujuan utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personal dalam mencapai sasaran
organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga
membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi (Mulyadi dan Johny setyawan,
1999).

Penilaaian kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semstinya dan untuk
merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil
kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun
ekstrinsik.

Dengan adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang obyektif untuk
memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing pusat
pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat
membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan
efisien.

Menurut Mulyadi penilaian kinerja dapat dimanfaatkan oleh manajemen untuk:

- Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan
secara maksimum.

- Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti


promosi, pemberhentian, mutasi.
- Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan
kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

- Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengeai bagaimana atasan mereka menilai
kinerja mereka.

- Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

Adapun ukuran penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk manilai kinerja secara kuantitatif
(Mulyadi, 1997):

Ukuran Kinerja unggul.

Adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran penilaian. Dengan digunakannya
hanya satu ukuran kinerja, karyawan dan manajemen akan cenderung untuk memusatkan
usahanya pdada kriteria tersebut dan mengabaikan kriteria yang lainnya, yang mungkin sama
pentingnya dalam menentukan sukses tidaknya perusahaan atau bagian tertentu.

Ukuran kinerja beragam.

Adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja. Ukuran
kinerja beragam merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria kinerja tunggal. Berbagai
aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga manajer diukur kinerjanya dengan
berbagai kriteria.

Ukuran kinerja gabungan.

Dengan adanya kesadaran beberapa kriteria lebih penting bagi perusahaan secara keseluruah
dibandingkan dengan tujuan lain, maka perusahaan melakukan pembobotan terhadap ukuran
kinerjanya. Misalnya manajer pemasaran diukur kinerjanya dengan menggunakan dua unsur,
yaitu provitabilitas dan pangsa pasar dengan pembobotan masing-masing 5 dan 4. Dengan cara
ini manajer pemasaran mengerti yang harus ditekankan agar tercapai sasaran yang dituju
manajer puncak.

Dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran keuangan,
karena ukuran keuangan inilah yang dengan mudah dilakukan pengukurannya. Maka kinerja
personil yang diukur adalah hanya yang berkaitan dengan keuangan, hal-hal yang sulit diukur
diabaikan atau diberi nilai kuantitatif yang tidak seimbang.

Ukuran-ukuran keuangan tidak memberikan gambaran yang riil mengenai keadaan perusahaan.
Hal ini dimungkinkan karena adanya beberapa metode pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan yang diakui dalam akuntansi, misalnya depresiasi, pengakuan kas, metode
penentuan laba, dan sebagainya.

2.2. Balanced Scorecard.

Balanced scorecard merupakan suatu metode penilaian kinerja perusahaan dengan


mempertimbangkan empat perspektif untuk mengukur kinerja perusahaan yaitu: perspektif
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta proses pebelajaran dan pertumbuhan. Dari
keempat perspektif tersebut dapat dilihat bahwa balanced scorecard menekankan perspektif
keuangan dan non keuangan. Pendekatan Balanced Scorecard dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan pokok yaitu (Kaplan dan Norton, 1996):
- Bagaimana penampilan perusahaan dimata para pemegang saham?. (perspektif keuangan).

- Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan ? (Perspektif pelanggan).

- Apa yang menjadi keunggulan perusahaan? (Perspektif proses internal).

- Apa perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara
berkesinambungan? (Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan).

Sehingga apabila digambarkan, balanced scorecard akan memberikan kerangka kerja untuk
penerjemahaan strategi ke dalam kerangka operasional sebagai berikut:

Untuk berhasil secara finansial, apa yang Finansial


harus kita perlihatkan kepada para pemegang
saham? ] Tujuan

] Ukuran

] Sasaran

] Inisiatif

Untuk Pelanggan VISI Untuk Proses bisnis


mewujudkan visi menyenangkan internal
kita apa yang ] Tujuan DAN para pemegang
harus saham dan ] Tujuan
diperlihatkan pelanggan kita.
] Ukuran STRATEGI
kepada para Proses bisnis apa ] Ukuran
pelanggan yang harus
kita ?. ] Sasaran dikuasai?.
] Sasaran
] Inisiatif
] Inisiatif

Untuk mewujudkan visi kita bagaimana kita Pembelajaran dan


memelihara kemampuan kita untuk berubah dan pertumbuhan
meningkatkan diri?.
] Tujuan

] Ukuran
] Sasaran

] Inisiatif

Balanced Scorecard memberi kerangka kerja untuk penerjemahan strategi ke dalam kerangka
operasional

2.2.1. Konsep Balanced Scorecard.

Konsep balanced scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan implementasi konsep


tersebut. Kapalan dan Norton, 1996 menyatakan bahwa Balanced scorecard terdiri dari kartu
skor (scorecard) dan berimbang (balanced). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk
mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan
skor yang hendak diwujudkan oleh peronil di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang akan
diwujudkan personil di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil
perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personil yang bersangkutan.
Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personil diukur secara
berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang,
intern dan ekstern. Oleh sebab itu personil harus mempertimbangkan keseimbangan antara
pencapaian kinerja keuangan dan non keuangan, antara kinerja jangka pendek dan jangka
panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan yang bersifat ekstern jika kartu skor personil
digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan.

Balanced scorecard memperkenalkan empat proses manajemen yang baru, yang terbagi dan
terkombinasi antara tujuan strategik jangka panjang dengan peristiwa-peristiwa jangka pendek.
Keempat proses tersebut adalah (Kaplan dan Norton, 1996):

Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan.

Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi perlu dijabarkan dalam tujuan dan sasaran. Visi
adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di masa mendatang. Untuk
mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi, perusahaan perlu merumuskan strategi.
Tujuan ini menjadi salah satu landasan bagi perumusan strategi untuk mewujudkannya. Dalam
proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam sasaran strategik dengan
ukuran pencapaiannya.

Komunikasi dan Hubungan.

Balanced scorecard memperlihatkan kepada setiap karyawan apa yang dilakukan perusahaan
untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham dan konsumen karena oleh
tujuan tersebut dibutuhkan kinerja karyawan yang baik. Untuk itu, balanced scorecard
menunjukkan strategi yang menyeluruh yang terdiri dari tiga kegiatan:
- Comunicating and educating

- Setting Goals

- Linking Reward to Performance Measures

Rencana Bisnis

Rencana bisnis memungkinkan organisasi mengintegrasikan antara rencana bisnis dan rencana
keuangan mereka. Hampir semua organisasi saat mengimplementasikan berbagai macam
program yang mempunyai keunggulannya masing-masing saling bersaing antara satu dengan
yang lainnya. Keadaan tersebut membuat manajer mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan
ide-ide yang muncul dan berbeda di setiap departemen. Akan tetapi dengan menggunakan
balanced scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan mengatur mana
yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakkan ke arah tujuan jangka panjang
perusahaan secara menyeluruh.

Umpan Balik dan Pembelajaran.

Proses keempat ini akan memberikan strategic learning kepada perusahaan. Dengan balanced
scorecard sebagai pusat sistem perusahaan, maka perusahaan dapat melaukan monitoring
terhadap apa yang telah dihasilkan perusahaan dalam jangka pendek, dari tiga pespektif yang
ada yaitu: konsumen, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan untuk dijadikan
sebagai umpan balik dalam mengevaluasi strategi. Keempat proses tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:

- Memperjelas dan Menerjemahkan visi dan strategi

o Memperjelas visi

o Menghasilkan Konsensus

- Merencanakan dan Me-netapkan sasaran

o Menetapkan sasaran

o Memadukan inisiatif strategis

o Mengalokasikan sumber daya

o Menetapkan tonggak-tonggak penting

- Mengkomunikasikan dan Menghubungkan

o Mengkominikasikan dan mendidik

o Menetapkan tujuan

o Mengkaitkan imba-lan dengan ukuran kinerja


o

Balanced scorecard

- Umpan Balik dan Pembelajaran Strategis

o Mengartikulasikan isi bersama

o Memberikan umpan balik strategis

o Memfasilitasi tinjauan ulan dan pembela- jaran strategis

Balanced Scorecard sebagai suatu kerangka kerja tindakan strategis

2.2.2.Tolok Ukur dalam Balanced Scorecard.

Perspektif Keuangan (finansial)

Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam balanced scorecard karena ukuran keuangan
merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan
ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari
tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif keuangan
dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton
dibedakan menjadi tiga tahap:

Growth (Berkembang)

Berkembang merupakan tahap pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap
ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau peling tidak memiliki
potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus
terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan
mengembangkan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem,
infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan
mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Perusahaan dalam tahap pertumbuhan mungkin
secara aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang
rendah. Investasi yang ditanam untuk kepentingan masa depan sangat memungkinkan memakai
biaya yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis
operasi yang ada sekarang, dengan produk dan jasa dan konsumen yang masih terbatas.
Sasaran keuangan untuk growth stage menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam
pasar baru dari konsumen baru dan atau dari produk dan jasa baru.

Sustain Stage (Bertahan).

Bertahan merupakan tahap kedua yaitu suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan
investasi dan reinbestasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik, Dalam
tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan
mengembankannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk
menghilangkan kemacetan, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan
operasional secara konsisten. Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi-
stratei jangka panjang. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat
pengembalian atas investasi yang dilakukan.

Harvest (Panen).

Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan
panen (harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh
kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan eksppansi atau
membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan
arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow
maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu.

Perspektif Pelanggan.

Pada masa lalu seringkali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal dan
kurang memperhatikan kebutuhan konsumen. Sekarang strategi perusahaan telah bergeser
fokusnya dari internal ke eksternal. Jika suatu unit bisnis inin mencapai kinerja keuangan yang
superior dalam jangka panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau
jasa yang bernilai dari biaya perolehannya. Dan suatu produk akan semakin bernilai apabila
kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan
konsumen (Heppy Julianto, 2000). Tolok ukur kinerja pelanggan dibagi menjadi dua kelompok
(Budi W. Soejtipto, 1997):

Kelompok Inti

1). Pangsa pasar: mengukur seberapa besar pororsi segmen pasar tertentu yang dikuasai oleh
perusahaan.

2). Tingkat perolehan para pelanggan baru: mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil
menarik pelanggan-pelanggan baru.

3). Kemampuan mempertahankan para pelanggan lama: mengukur seberapa banyak


perusahaan berhasil mempertahankan pelangan-pelanggan lama.

4). Tingkat kepuasan pelanggan: mengukur seberapa jauh ppelanggan merasa puas terhadap
layanan perusahaan.

5). Tingkat profitabilitas pelanggan: mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih
oleh perusahaan dari penjualan produk kepada para pelanggan.

Kelompok Penunjang.

1). Atribut-atribut produk (fungsi, harga dan mutu)

Tolok ukur atribut produk adalah tingkat harga eceran relatif, tingkat daya guna produk, tingkat
pengembalian produk oleh pelanggan sebagai akibat ketidak sempurnaan proses produksi, mutu
peralatan dan fasilitas produksi yang digunakan, kemampuan sumber daya manusia serta tingkat
efisiensi produksi.

2). Hubungan dengan pelanggan


Tolok ukur yang termasuk sub kelompok ini, tingkat fleksibilitas perusahaan dalam memenuhi
keinginan dan kebutuhan para pelanggannya, penampilan fisik dan mutu layanan yang diberikan
oleh pramunaga serta penampilan fisik fasilitas penjualan.

3). Citra dan reputasi perusahaan beserta produk-produknya dimata para pelanggannya dan
masyarakat konsumen.

Perspektif Proses Bisnis Internal.

Menurut Kaplan dan Norton 1996, dalam proses bisnis internal, manajer harus bisa
mengidentifikasi proses internal yang penting dimana perusahaan diharuskan melakukan dengan
baik karena proses internal tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan konsumen dan dapat
memberikan pengembalian yang diharapkan oleh para pemegang saham. Tahapan dalam
proses bisnis internal meliputi:

Inovasi.

Inovasi yang dilakukan dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan
pengembangan. Dalam tahap inovasi ini tolok ukur yang digunakan adalah besarnya produk-
produk baru, lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembangan suatu produk secara relatif jika
dibandingkan perusahaan pesaing, besarnya biaya, banyaknya produk baru yang berhasil
dikembangkan.

Proses Operasi.

Tahapan ini merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk memberikan solusi kepada
para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tolok ukur yang
digunakan antara lain Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat kerusakan produk pra
penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk
sebagai akibat terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat
dipenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat
efisiensi per kegiatan produksi.

Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan.

Aktivitas penyampaian produk atau jasa pada pelanggan meliputi pengumpulan, penuimpanan
dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan purna jual dimana perusahaan berupaya
memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telalh membeli produknya seperti
layanan pemeliharaan produk, layanan perbakan kerusakan, layanan penggantian suku cadang,
dan perbaikan pembayaran.

Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.

Perspektif keempat dalam balanced scorecard mengembangkan pengukuran dan tujuan untuk
mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung pencapaian tiga perspektif
sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan sasaran dari proses bisnis internal dapat
mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur
dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Untuk memperkecil
kesenjangan tersebut perusahaan harus melakukan investasi dalam bentuk reskilling employes.
Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah (Kaplan dan Norton, 1996):
Karyawan.

Hal yang perlu ditinjau adalah kepuasan karyawan dan produktivitas kerja karyawan. Untuk
mengetahui tingkat kepuasan karyawan perusahaan perlu melakukan survei secara reguler.
Beberapa elemen kepuasan karyawan adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan,
pengakuan, akses untuk memperoleh informasi, dorongan untuk melakukan kreativitas dan
inisiatif serta dukungan dari atasan. Produktivitas kerja merupakan hasil dari pengaruh agregat
peningkatan keahlian moral, inovasi, perbaikan proses internal dan tingkat kepuasan konsumen.
Di dalam menilai produktivitas kerja setiap karyawan dibutuhkan pemantauan secara terus
menerus.

Kemampuan Sistem Informasi.

Perusahaan perlu memiliki prosedur informasi yang mudah dipahami dan mudah dijalankan.
Tolok ukur yang sering digunakan adalah bahwa informasi yang dibutuhkan mudah didapatkan,
tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapat informasi tersebut.

Keunggulan Balanced Scorecard.

Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional yang hanya mengukur kinerja berdasarkan
perspektif keuangan, maka balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan (Barbara
Gunawan, 2000):

Komprehensif.

Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja, tetapi
juga aspek kealitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan market
development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan
keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal seperti
pengembangan produk baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang dilakukan oleh
manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan
tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif.
Balanced scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.

Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan Bisnis.

Pengukuran aspek keuangan tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara
meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan, learning
memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah preferensinya.

Fokus terhadap tujuan perusahaan.

Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara Gunawan,
2000):

Perspektif Keuangan.

Terwujudnya tanggung jawab ekonomi melalui penerapan pengetahuan manajemen dalam


pengolahan bisnis dan peningkatan produktivitas yang dikuasai personil.

Perspektif Customer.
Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga perusahaan dikenal secara luas sebagai
perusahaan yang akrab dengan lingkungan.

Perspektif Proses Bisnis Internal.

Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil perusahaan melalui implementasi.

Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Terwujudnya keunggulan jangka penjang perusahaan lingkungan bisnis global melalui


pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN APLIKASI BALANCED SCORECARD

Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002 dikemukakan
bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance scorecard
(BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya, NRI dapat
memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan yang
menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut merasakan bahwa
balanced scorecard memang memiliki keunggulan yang dirangkum menjadi lima point sebagai
berikut:

Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara


sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan


indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.

Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non


finansial kuantitatif.

Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis


verifikasi.

Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan
keterkaitan antara pimpinan dan bawahan. NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang
spektakuler tentang keberhasilan penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada
perbaikan kinerja perusahaan seperti yang dialami oleh perusahaan KANSAI ELECTRIC
POWER CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di Jepang yang memproduksi dan mensuplai
kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini memperkenalkan cara kerja baru yang disebut
"Linked Contract" yang kinerjanya diukur dengan Balanced Scorecard.

Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat
menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu strategi dimana
perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk
menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri. Hal ini
ditunjukkan bahwa lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah
apapun bagi perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam
penerapannya di dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.
R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan bahwa kinerja
BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya (pertumbuhan
pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/ strategi investasi).
Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu: perspektif
pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif
proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan
karyawan.

IV. KESIMPULAN

Dalam menilai kinerja suatu perusahaan, ukuran-ukuran keuangan saja dinilai kurang mewakili.
Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran keuangan memiliki beberapa kelemahan yaitu (Mulyadi,
1997): Pendekatan finansial bersifat historis sehingga hanya mampu memberikan indikator dari
kinerja manajemen dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan kearah yang lebih baik.
Pengukuran lebih berorientasi kepada manajemen operasional dan kurang mengarah kepada
manajemen strategis. Tidak mampu mempresentasikan kinerja intangible assets yang
merupakan bagian struktur aser perusahaan.

Balanced scorecard dapat digunakan sebagai alternatif pengukuran kinerja perusahaan yang
lebih komprehensif dan tidak hanya bertumpu pada pengukuran atas dasar perspektif keuangan
saja. Hal ini terbukti dengan adanya manfaat-manfaat yang dirasakan oleh perusahaan-
perusahaan yang menerapkannya.

DAFTAR PUSTAKA :

- Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja Dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145, September, Halaman
36-40.

- Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing, Ohio.

- Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja BUMD Serta
Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.

- Helfert, Erich. A, 1996, Teknik Analisis Keuangan (Petunjuk Praktis Untuk Mengelola dan Mengukur Kinerja
Perusahaan), Edisi 8, Jakarta: Erlangga.

- Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman 34-35.

- Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard
Business School Press.

- Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI
Papers. No. 45, 1 April 2002.

- Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua
Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.

- -------------------, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Akhir Dari Dua
Tulisan), Usahawan, No 03, Tahun XXVIII, Maret,

- Halaman 36-41.
- Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya
Media.

- Murphy, Kevin dan Randy Russell, 2002, To Beat the odds against succesful CRM, Use Gartner’s CRM Process
map together with the Balanced Scorecard framework, Report Internet, July 2002.

- Soetjipto, Budi W, 1997, Mengukur Kinerja Bisnis Dengan Balanced Scorecard, Usahawan, No 06, Tahun XXVI,
Juni, Halaman 21-25.

Oleh : Ceacilia Srimindarti, Dosen Tetap STIE Stikubank Semarang

Sumber: http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal

You might also like