You are on page 1of 19

VIRUS

Virus adalah organisme nonseluler yang mengandung DNA atau RNA.


Karena virus hanya bisa memperbanyak diri pada jaringan yang hidup, maka
semua virus adalah parasit interseluler obligat. Sesudah memperbanyak genom
DNA atau RNA dalam sel inangnya, virus akan terbungkus dalam partikel yang
dikenal sebagai virion yang merupakan partikel infektif untuk menginfeksi lagi
inang baru.

Virus dibagi berdasarkan komposisi asam nuleat, struktur genom dan


morfologi eksternal dari pembungkus. Ukuran virus dapat dari kecil ke besar
sehingga dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Virus terbesar adalah pox virus,
mempunyai ukuran virion mencapai 470 nanometer. Morfologi virus harus
diinvestigasi menggunakan mikroskop electron dan menggunakan teknik biologi
molecular. Struktur dasar virus adalah viral DNA atau RNA yang dikelilingi oleh
kapsul protein dan ini dikenal sebagai virion. Nama latin tidak digunakan untuk
memberi nama virus. Virus diklasifikasikan kedalam famili, dan individual virus
diberi nama sesuai dengan ditemukan pertama kali pada serangga inang seperti
Spodoptera litura NPV, Helicoverpa armigera NPV.

Penyakit pada serangga yang diakibatkan oleh virus telah ditemukan pada
hampir 13 ordo serangga. Virus adalah organisme yang sederhana yang terdiri
asam nukleat dan protein yang dikenal sebagai kapsid. Nukleokapsid mungkin
saja dilapisi oleh lapisan lipid yang dikenal sebagai virion. Beberapa virus
occluded dalam matrik protein. Matrik ini dikenal sebagai tubuh occlusion. Tubuh
Occlusion ini ditemukan pada 3 famili virus. Virus serangga mungkin saja double
stranded atau single stranded DNA (dsDNA dan ssDNA) atau juga double atau
single stranded RNA (dsRNA dan ssRNA), atau enveloped atau unenveloped dan
mungkin juga occluded atau nonoccluded dalam matriks protein.

Diantara virus yang menyerang serangga, ada 3 famili yang mempunyai


struktur yang spesial untuk beradaptasi dan survival di lingkungan. Baculoviridae,
Poxviridae dan Reoviridae memproduksi tubuh oklusi, struktur yang melindungi
partikel virus atau virion. Tubuh oklusi resisten terhadap lingkungan yang tidak
menguntungkan. Tubuh oklusi dari 3 famili ini terbentuk dari matrik protein yang
mengandung satu atau lebih virion. Virion yang tidak terlindungi akan rentan dan
mati cepat karena desikasi dan sinar langsung matahari. Matrik protein dari tubuh
oklusi melindungi virion dari lingkungan sebelum menginfeksi inang, sehingga
meningkatkan tingkat survival virus. Tubuh oklusi bervariasi dalam bentuk dan
ukuran. Diantara Baculoviridae, NPV mempunyai banyak bentuk tubuh oklusi
(0.5-15 µm) yang mengandung banyak virion. Granulosis virus (GVs)
mempunyai mempunyai bentuk kapsul berukuran (200 x 600 nm) yang
mengandung satu virion setiap tubuh oklusion.

Gambar 1 Polyhedra NPV

Nucleopolyhedrosis Virus (NPV)


Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) adalah salah satu jenis virus patogen
yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan ulat grayak, karena
bersifat spesifik, selektif, efektif untuk hama-hama yang telah resisten terhadap
insektisida dan aman terhadap lingkungan.
NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam
inclusion bodies yang disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel
(nukleus). NPV memiliki badan inklusi berbentuk polihedral yang merupakan
kristal protein pembungkus virion dengan diameter 0.2 – 20 mm. Kristal protein
ini disebut dengan protein polihedrin yang berukuran kurang lebih 29.000 sampai
31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai pelindung infektifitas partikel
virus dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA virus dari
degradasi akibat sinar ultra violet matahari.
NPV telah ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV
bersifat spesifik inang, yaitu hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies
inang alaminya. Sehingga pada mulanya penamaan NPV disesuaikan dengan
nama inang asli dimana dia pertama kali diisolasi sebagai contoh NPV yang
menginfeksi ulat Spodoptera litura dinamai Spodoptera litura
Nucleopolyhedrovirus (SlNPV), yang menginfeksi ulat Spodoptera exigua
dinamai Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV), yang menginfeksi
larva serangga Helicoverpa armigera dinamai Helicoverpa armigera Nuclear
Polyhedrosis Virus (HaNPV).
Gambar NPV
MEKANISME DAN SIKLUS HIDUP NPV DI ALAM

Di alam, NPV biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dan tanah.


Manakala termakan oleh serangga inang (ulat) dan masuk ke dalam saluran
pencernaan yang memiliki pH tinggi (> 10), maka polihedra akan pecah
melepaskan virion infektif. Virion yang terlepas dari matrik protein (pembungkus)
akan memulai infeksi ke dalam sel-sel saluran pencernaan ulat yang kemudian
DNA akan mengadakan reflikasi di inti sel.

Proses infeksi SlNPV atau SeNPV dimulai dari tertelannya polihedra


(berisi virus) bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana
alkalis, polihedra larut sehingga membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus
menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra
tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara morfologis,
fisiologis dan perilakunya.

Secara morfologis, hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh dan
secara fisiologis, ulat tampak berminyak dan perubahan warna tubuh menjadi
pucat kemerahan, terutama bagian perut. Sedangkan secara perilaku, ulat
cenderung merayap ke pucuk tanaman, yang kemudian mati dalam keadaan
menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman.

Permukaan kulit ulat akan mengalami perubahan warna dari pucat


mengkilap pada awal terinfeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila
tersentuh, tubuh ulat akan mengeluarkan cairan kental berbau seperti nanah yang
berisi partikel virus. Ulat mati dalam waktu 3 – 7 hari setelah polihedra VIR
(berisi virus) tertelan. Sebelum mati ulat masih dapat merusak tanaman, namun
kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah, karena
terjadi penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84 %.

Gambar . Cara kerja VIR menginfeksi ulat


Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus
(SpltMNPV)

Ciri Khas SlNPV

SlNPV berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang


disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan berukuran
relatif besar (0,5-15 u) sehingga mudah dideteksi dengan mikroskop perbesaran
600 kali. Polihedra terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang,
seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea.

Ulat yang terinfeksi SlNPV tampak berminyak, disertai dengan membran


integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-
kemerahan, terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke pucuk
tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada
bagian tanaman. Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi
sehingga sangat rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan
hemolimfa yang mengandung banyak polihedra. Ulat muda mati dalam 2 hari,
sedangkan ulat tua dalam 4-9 hari setelah infeksi.

Patogenisitas

SlNPV memiliki tingkat patogenisitas yang relatif tinggi. Nilai LC50


(=konsentrasi yang mematikan 50% populasi) untuk ulat instar III sebesar 5,4 x
103 polihedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Ulat instar I-III lebih rentan terhadap
SlNPV daripada ulat instar IV-V. Tingkat kerentanan ulat instar I 100 kali lebih
tinggi daripada ulat instar V.
Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis
Virus (HaNPV)

Walaupun NPV secara keseluruhan dapat menyerang berbagai spesies


invertebrata, tetapi secara umum, isolat satu jenis NPV relatif sangat spesifik.
BmNPV diketahui hanya bersifat patogen terhadap Bombyx mori, atau AcNPV
(Autographa californica Nuclear Polyhedrosis Virus), hanya mempunyai host
range dari ordo Lepidoptera (Mazzone, 1985 ; Maeda, et al., 1993 ; Jarvis,1996).
Secara alamiah, HaNPV hanya mampu menginfeksi spesies inangnya
yaitu Helicoverpa armigera. Akan tetapi, beberapa peneliti menemukan bahwa
NPV dapat menyerang inang yang bukan spesies utama. Stairs, (1989),
menemukan bahwa Malacosoma disstria Nuclear Polyhedrosis Virus (MdNPV)
dapat menyerang larva serangga Lymantria disspar. Selanjutnya, diketahui pula
bahwa Bombyx mori Nuclear Polyhedrosis Virus (BmNPV) dapat menyerang
Galleria mellonella (Stairs, 1991), Mamestra brassicae Nuclear Polyhedrosis
Virus (MbNPV) dapat menyerang Spodoptera littura (Mangoendihardjo, et al.,
1993), dan Malacosoma californicum pluviale Nuclear Polyhedrosis Virus
(MpNPV) dapat menyerang M. disstria (Kukan dan Myers, 1995).
Namun demikian, terdapat pula isolat NPV yang memiliki kisaran inang
(host range) yang relatif luas seperti Autographa californica Nuclear Polyhedrosis
Virus (AcNPV). Scheepens dan Wysoki, (1989), menemukan bahwa AcNPV ini
bisa menyerang larva H. armigera, Heliothis peltigera, Boarmia selenaria dan
Ephestia cautella. Passarelli dan Miller, (1994) juga menemukan bahwa AcNPV
dapat menginfeksi larva Trichoplusia ni. Dengan demikian, NPV memiliki
potensi yang besar untuk digunakan sebagai agensia pengendali populasi serangga
hama.
Penggunaan NPV sebagai pengendali populasi serangga hama ternyata
tidak saja aman untuk spesies serangga yang bukan hospes, tetapi juga aman
untuk spesies-spesies non serangga termasuk manusia (Hawtin, et al., 1992).
Parasitoid Microplitis crocerpes yang hidup pada larva Helicoverpa virescens
terinfeksi AcNPV, tetap hidup hingga dewasa dan tidak terpengaruh oleh serangan
virus terhadap inangnya (McCutchen, et al., 1996). Knittel dan Fairbrother,
(1987), menyatakan bahwa virus NPV tidak dapat aktif pada suhu tubuh yang
dimiliki hewan homoiterm (berdarah panas) yaitu sekitar 37oC.
Kemampuan NPV yang tidak dapat menginfeksi manusia, diperkuat oleh
hasil penelitian Tjia, et al., (1983), yang menemukan bahwa Autographa
californica Nuclear Polyhedrosis Virus (AcNPV) tidak dapat bereplikasi ketika
dicoba ditumbuhkan pada kultur sel mamalia, termasuk sel ginjal manusia.
Selain bersifat spesifik hanya terhadap serangga tertentu, dibandingkan
dengan jenis virus serangga lain, NPV relatif lebih tahan terhadap pengaruh
lingkungan. Kristal protein yang membungkus partikel virus pada NPV
melindungi virus tersebut dari pengaruh suhu dan radiasi sinar Ultra Violet.Vlak
dan Rohrmann (1985) menyatakan bahwa Polihedral Inclusion Bodies (PIB)
dapat tetap aktif dalam tanah sampai 40 tahun dan tetap berpotensi untuk
menginfeksi larva serangga yang menjadi inangnya, menyebar di dalam populasi
serangga tersebut dan mengakibatkan epizootik.
Faktor lain yang menyebabkan NPV menarik untuk digunakan sebagai
agensia pengendali populasi serangga hama adalah kadaver larva yang terinfeksi
NPV dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sediaan virus (Moscardi,
1999). Pada saat ini, telah diperoleh isolat Helicoverpa armigera Nuclear
Polyhedrosis Virus (HaNPV) wild type asal Lembang. Isolat virus ini diketahui
memiliki pathogenisitas yang tinggi pada Helicoverpa armigera. HaNPV ini
memiliki potensi yang sangat baik untuk digunakan sebagai agensia pengendali
populasi Helicoverpa armigera. Utari, (1999), menunjukkan bahwa infeksi isolat
HaNPV terhadap larva H. armigera mengakibatkan kerusakan pada membran
peritrofik yang kemudian diikuti dengan kerusakan jaringan lain secara cepat.
Sanjaya, (2000), menunjukkan bahwa penggunaan HaNPV secara
berulang pada H. armigera, tidak mengakibatkan kemunculan respon kekebalan
pada H. armigera. Patogenisitas Isolat HaNPV yang tinggi terhadap Helicoverpa
armigera, juga telah diteliti oleh Miranti, (2001). Infeksi HaNPV mengakibatkan
tingkat kematian yang tinggi terhadap populasi larva H. armigera yaitu dapat
menyebabkan kematian pada populasi H. armigera antara 70 – 100%. Selain itu,
infeksi ini juga mengakibatkan penurunan konsumsi makan sampai 50%,
penurunan berat badan hingga 70% dan penurunan kemampuan lolos hidup
menjadi imago hingga 85%.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka isolat HaNPV yang digunakan pada
penelitian tersebut memiliki potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai agensia
pengendali populasi H. armigera. Namun demikian, penggunaan HaNPV ini
dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain penyediaan virus tersebut untuk
digunakan secara komersial.
Untuk HaNPV, penggunaan metode in vivo untuk memperbanyak HaNPV
relatif sulit untuk dilakukan karena larva Helicoverpa armigera memiliki sifat
kanibal dan sulit dipelihara secara masal sebagai media produksi HaNPV . Hal ini
dapat mengakibatkan biaya produksi meningkat (Kogan, et.al., 1978 ; Scheepens
dan Wysoki, 1989), sehingga perlu digunakan inang pengganti sebagai media
produksi HaNPV.

Pengemasan Spodoptera litura Multi nucleopolyhedrosis


virus (SpltMNPV)

Melihat besarnya manfaat SlNPV dan SeNPV sebagai agensia hayati pada
ulat grayak yang biasanya menyerang tanaman kacang-kacangan, tembakau dan
sayuran, maka NPV berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai bio-pestisida
yang memiliki prospek komersial, tidak berdampak negatif bagi pengguna (user)
serta ramah lingkungan. Bio-insektisida VIR-X (VIREXI) secara spesifik hanya
digunakan sebagai pengendali ulat grayak Spodoptera exigua yang menyerang
tanaman bawang merah, bawang putih, bawang daun dan kucai. Sedangkan
VIR-L (VITURA) hanya untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura
yang biasanya menyerang tanaman cabe, kedelai/kacang-kacangan, dan
tembakau. Namun tidak menutup kemungkinan juga menyerang tanaman
sayuran daun/buah yang lain, karena ulat Spodoptera litura tergolong polifag
(memiliki inang banyak).
PEMANFAATAN NPV SEBAGAI BIO-INSEKTISIDA

Potensi pemanfaatan NPV untuk mengendalikan hama pertama kali


diketahui pada awal tahun 1900-an. Saat ini di luar negeri, beberapa jenis NPV
telah diperjualbelikan sebagai produk bio-insektisida, misalnya : Elcar (berbahan
aktif HzNPV) digunakan untuk mengendalikan Helicoverpa zea pada tanaman
kapas di Amerika Serikat, Helicoverpa armigera NPV digunakan pada tanaman
kapas, tomat dan tembakau di Cina, SAN 404 (berbahan aktif AcMNPV) dan
Diprion (berbahan aktif NsSNPV) telah dipasarkan secara bebas.

Di Indonesia pemanfaatan NPV sebelumnya hanya terbatas pada tingkat


petani-petani pemandu PHT yang jumlahnya sangat kecil, dan belum diproduksi
secara komersial di dalam negeri. Pada tahun 1999, Laboratorium Pertanian
Sehat (LPS) Dompet Dhuafa, melakukan uji coba bio-pestisida NPV secara
massal di Kab. Brebes pada tanaman bawang merah dan kedelai sebagai bagian
dari program pengembangan PHT. Mulai tahun 2002, LPS-DD mengembangkan
SeNPV dan SlNPV tersebut dalam bentuk produk bio-pestisida dengan merk
VITURA (VIR-L) dan VIREXI (VIR-X) yang memiliki efektivitas tinggi,
ekonomis dan mudah diaplikasikan oleh petani.

Produksi Bioinsektisida SlNPV

SlNPV dapat diproduksi dan dikembangkan sebagai biopestisida sehingga


memiliki prospek komersial. Ada tiga tahapan kegiatan dalam proses produksi
biopestisida SlNPV, yaitu (a) pembiakan massal ulatgrayak dengan pakan buatan,
(b) perbanyakan SlNPV secara in vivo dalam tubuh serangga inang, pemurnian
menggunakan sentrifus, dan pembakuan menggunakan haemacytometer, dan (c)
pemformulasian dan pengemasan SlNPV).

Karakterisasi Produk

SlNPV diformulasikan dengan bahan pembawa (carrier) berbentuk tepung


(wettable powder) yang diperkaya dengan berbagai bahan additive.
Produk dikemas dengan bahan aluminium foil dengan berat netto 500 g/kemasan.
Sebungkus kemasan cukup untuk diaplikasikan ke lahan seluas 1 ha.
Produk bioinsektisida SlNPV berkonsentrasi 3 x 108 PIBs/g.

Keunggulan Produk

Diproduksi dengan biaya yang relatif murah, yaitu Rp 300.000/kg atau Rp


150.000/ha aplikasi (lebih murah daripada harga insektisida kimiawi).
Bioinsektisida SlNPV memiliki tingkat keefektifan yang tinggi (88%) terhadap
ulatgrayak pada kedelai. Produk dapat disimpan selama 6 bulan pada suhu kamar
(30oC) tanpa mengalami perubahan tingkat keefektifan SlNPV. Produk sebaiknya
disimpan di dalam refrigerator.

Keefektifan Produk

Bioinsektisida SlNPV dengan dosis 500 g/ha (setara dengan 1,5 x 1011
PIBs/ha) yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing
dengan dosis 250 g/ha, efektif terhadap ulatgrayak pada kedelai. Perlakuan SlNPV
tersebut menurunkan populasi ulat 91% lebih rendah dan menyelamatkan
kehilangan hasil 14% lebih tinggi daripada perlakuan insektisida.

Teknik Aplikasi

Bioinsektisida SlNPV diaplikasikan dengan alat kimiawi semprot, seperti


yang digunakan untuk insektisida. Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk
mengendalikan ulat instar I-III, diarahkan ke permukaan daun bagian bawah, dan
dilakukan pada sore atau petang hari, untuk menghindari pengaruh sinar surya
yang dapat menginaktifkan SlNPV.

Keunggulan Teknologi

Bioinsektisida SlNPV mengandung strain unggul. Mudah diperbanyak


secara in vivo dengan peralatan sederhana. Diformulasi dengan bahan penstabil
yang mudah diperoleh dan murah. Mutu produk unggul. Biaya produksi relatif
murah. Mudah diaplikasikan sebagaimana insektisida kimiawi. Selain itu virus ini
memiliki sifat yang menguntungkan, antara lain :
• memiliki inang spesifik dalam genus/famili yang sama, sehingga aman
terhadap organisme bukan sasaran.
• tidak mempengaruhi parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya.
• dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida kimia.
• kompatibel dengan insektisida kimiawi yang tidak bersifat basa kuat.

Peranan Bioinsektisida SlNPV

Sebagai alternatif cara pengendalian hama yang efektif, ramah


linlgkungan, dapat menstabilkan populasi hama, dan menjaminl pendapatan
petani. Sebagai komponen PHT yang kompatibel dengan komponen PHT lainnya,
termasuk inlsektisida kimiawi. Sebagai andalan di masa depan untuk
menggantikan peranan insektisida kimiawi dalam mengendalikan hama. Manfaat
Lain :

• Mengatasi masalah keresistensian ulatgrayak terhadap insektisida kimiawi.


• Mengurangi kebergantungan cara pengendalian dengan insektisida
kimiawi.
• Mendukung pengembangan budi daya pertanian yang ramah lingkungan
dan ekonomis.

Peluang Komersialisasi

SlNPV belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah diketahui potensi


biotiknya tinggi, efektif, dan telah berhasil dikembangkan sebagai biopestisida
dengan biaya yang relatif murah sehingga memiliki prospek untuk diproduksi
dalam skala industri (komersial).

Cara penyimpanan

Letakkan dus VIR ditempat yang tidak terkena langsung sinar matahari
dan VIR dapat disimpan pada suhu kamar selama lebih kurang 4 bulan. Untuk
penggunaan VIR dalam waktu yang cukup lama, sebaiknya simpan dus VIR
tersebut dalam lemari es (virus akan bertahan hidup pada suhu dingin)
Sinar ultra violet matahari penyebab utama menurunnya efektivitas NPV
di lapangan. Selain itu NPV juga peka terhadap suhu. Pada suhu 40 0C
efektivitasnya masih stabil, tetapi dengan meningkatnya suhu efektivitasnya cepat
berkurang. Untuk mengurangi kepekaan terhadap sinar matahari, maka virus ini
diberi bahan pelindung berupa talk dan molase. Persistensi/ketahanan NPV di
lapangan setelah disemprotkan, mampu bertahan sampai dengan 7 hari.

Klasifikasi Spodoptera litura multi nucleopolyhedrosis virus

Mnemonic : NPVSL

Taxon identifier : 10456

Scientific name : Spodoptera litturalis nuclear polyhedrosis virus

Common name : SlNPV

Synonym :-

Other name :

• SlMNPV

• Spodoptera littoralis NPV

• Spodoptera littoralis multicapsid nuclear polyhedrosis virus

• Spodoptera littoralis nucleopolyhedrovirus

Rank : species

Lineage : › Viruses
› dsDNA viruses, no RNA stage
› Baculoviridae
› Alphabaculovirus

Virus host : Lepidoptera (kupu-kupu dan ngengat)

Strains : Isolate E15


Ulat Grayak (Spodoptera Litura)

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan


salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas
meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. S. litura
menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman
yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan
memangkas polong–polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
1985). Menurut Adisarwanto & Widianto (1999) serangan S. litura menyebabkan
kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hst.
Pengendalian terhadap ulat grayak pada tingkat petani pada umumnya
masih menggunakan insektisida yang berasal dari senyawa kimia sintesis yang
dapat merusak organisme non target, resistensi hama, resurgensi hama dan
menimbulkan efek residu pada tanaman dan lingkungan. Untuk meminimalkan
penggunaan insektisida perlu dicari pengendalian pengganti yang efektif dan
aman terhadap lingkungan. Salah satunya adalah pemanfaatan mikroorganisme
seperti jamur, bakteri, dan virus untuk menekan peningkatan populasi hama.
S. litura digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae. Hama
ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
yang terdiri dari 4 stadia hidup, yaitu telur, larva, kepompong, dan imago
(Kalshoven 1981). Stadia larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat
berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Larva muda berwarna kehijauan
umumnya mempunyai dua bintik hitam dengan bentuk bulan sabit pada ruas
abdomen keempat dan kesepuluh yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal
berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan (Kalshoven 1981).
Larva instar I dan II akan tinggal berkelompok di sekitar kulit telur dan
memakan epidermis daun bagian bawah (Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan 1985). Larva tua akan memakan helaian daun sehingga tinggal
tulangtulang daun saja. Di samping itu, larva juga memakan bunga dan polong
muda (Arifin 1991). Lama stadia larva berkisar antara 20-26 hari (Departemen
Pertanian 1981). Stadia larva merupakan stadia yang paling merusak tanaman
budidaya.
Gejolak faktor iklim yang paling berpengaruh adalah curah hujan. Pada
umumnya ledakan populasi hama ulat grayak terjadi karena :
1. Musim kemarau datang lebih awal daripada biasanya.
2. Musim kemarau yang panjang melebihi biasanya.
Kedua kondisi iklim tersebut di atas mengakibatkan perilaku siklus hidup
ulat grayak menjadi terganggu, masa dormansi stadia pupa menjadi lebih panjang,
sehingga terjadi akumulasi populasi stadia pupa di akhir musim kemarau. Oleh
karena itu segera setelah datang awal musim hujan, maka dapat terjadi ledakan
populasi kupu yang kemudian diikuti berturut-turut oleh populasi telur dan ulat
pada waktu-waktu berikutnya.
Selain itu gejolak faktor iklim yang tidak normal ini juga berpengaruh
negatif terhadap keberadaan musuh alami (faktor biotik), dan keterbatasan
ketersediaan makanan bagi ulat grayak yang pada akhirnya menambah berat
permasalahan hama ulat grayak.
Jadi beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan populasi dan
serangan ulat grayak pada pertanaman tebu adalah faktor iklim khususnya curah
hujan, ketersediaan makanan inang bagi ulat grayak, ketersediaan musuh alami,
pengelolaan gulma, drainase di kebun, keberadaan lahan pertanian lain yang juga
bisa sebagai inang alternatif ulat grayak, dan pengelolaan hama yang telah
dilakukan sebelumnya.
Klasifikasi ulat grayak
Nama umum : Spodoptera litura (Fabricius)

Klasifikasi : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae

Genus : Spodoptera

Species : Spodoptera litura

Gejala serangan

Gejala kerusakan pada tanaman yang


diserangnya beragam tergantung pada tingkat
perkembangan ulat. Ulat yang masih kecil
merusak daun dengan meninggalkan sisa – sisa
epidermis bagian atas, transparan dan tinggal
tulang – tulang daun saja Ulat instar lanjut
merusak tulang daun dan kadang menyerang
buah. Biasanya Ulat berada di permukaan bawah daun, dan menyerang secara
berkelompok.
Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak
beraturan pada buah. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun
dan buah habis dimakan ulat, kejadian ini umumnya terjadi pada musim kemarau.
Tanaman inang lain
Hama ini bersifat polifag, tanaman lain yang diserang antara lain adalah
bawang merah, kentang, kubis, tomat, buncis, terung, kangkung, bayam, kacang –
kacangan), buah – buahan (jeruk, pisang, strawberi, dan apel), padi, jagung, tebu, ,
tembakau, tanaman hias, gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp.,
Cleome sp., dan Trema sp.

Morfologi/Bioekologi
Serangga dewasa berbentuk ngengat yang berwarna coklat. Sayap depan
berwarna coklat atau keperak – perakan, sayap belakang berwarna putih dengan
bercak hitam. Malam hari ngengat tertarik untuk mendatangi cahaya dan dapat
terbang sejauh 5 kilometer. Seekor ngengat betina dapat meletakkan telur
sebanyak 2000 – 3000 butir.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang
tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning – kuningan, berkelompok (25 – 500
butir) dengan bentuk bermacam – macam pada bagian daun atau bagian tanaman
lainnya, tertutup bulu seperti beludru.
Ulat mempunyai warna yang bervariasi,
mempunyai kalung/bulan sabit warna hitam pada
segmen abdomen ke empat dan ke sepuluh.
Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis
kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau
muda, bagian sisi coklat tua atau hitam
kecoklatan dan hidup bekelompok. Ulat menyebar dengan menggunakan benang
sutera dari mulutnya. Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang
hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab). Biasanya ulat berpindah ke
tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat
instar terakhir mirip dengan ulat tanah, perbedaannya hanya pada tanda bulan
sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap memanjang. Ulat
yang berumur 2 minggu mempunyai panjang sekitar 5 cm. Stadium ulat terdiri
dari lima instar, instar yang paling merusak adalah instar ketiga dan keempat.
Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk kepompong tanpa rumah kokon
berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm.
Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, ulat terdiri
dari 5 instar : 20 – 46 hari, kepompong 8 – 11 hari).

Pencaran
Hama ini telah tersebar luas di dunia, antara lain di Asia, Eropa, Afrika,
Amerika dan Negara Oceania. Di Indonesia hama ini di laporkan terdapat di
seluruh wilayah antara lain di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.

Pengendalian
a. Kultur Teknis

• Sanitasi lahan dari gulma


• Pengolahan tanah yang intensif

b. Fisik/Mekanik

Pengumpulan kelompok telur, ulat, kepompong dan bagian tanaman yang


terserang, kemudian memusnahkannya. Pengambilan kelompok telur jangan
sampai terlambat, sebab ulat yang sudah besar bersembunyi di tempat-tempat
terlindung atau di dalam mulsa.

Penggunaan perangkap lampu atau feromonoid seks untuk ngengat


sebanyak 40 buah per hektar atau 2 buah per 500 m2 yang dipasang di tengah
pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu dengan ketinggian + 50 cm (sedikit
di atas tajuk tanaman).

c. Biologi

Pemanfaatan musuh alami patogen serangga (Sl-NPV (Spodoptera litura –


Nuclear Polyhedrosis Virus), Bacillus thuringiensis, Aspergillus flavus,
Metarrhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi), predator
(Carabidae, Andrallus sp. Rhinocoris fuscipes, Paederus fuscipes, Lycosa
pseudoannulata), parasitoid (Cotesia ruficrus, Apanteles sp., Telenomus
spodopterae, T. remus, Sturmia inconspicuoides, Trichogramma sp., Microplistis
similis, Peribeae sp., Eriborus argenteopilosus).

d. Kimia

Jika serangan ulat grayak sudah mencapai ambang pengendalian, yaitu


kerusakan daun sebesar 12,5% pertanaman contoh, baru digunakan insektisida
kimia sintetik yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian, misalnya yang
berbahan aktif betasiflutrin, klorfluazuron, lufenuron, dan sipermetrin.
TUGAS ARTIKEL Nucleopolyhedrosis Virus (NPV) , Spodoptera
litura Multi Nucleopolyhedrosis Virus (SpltMNPV), Helicoverpa
armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) DAN ULAT
GRAYAK (Spodoptera litura)

Oleh :

Dian Anjar Sari

083244028

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI
2010

You might also like