Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.2 Masalah
Pembatasan masalah yang akan di bahas dalam ini adalah :
1. Bagaimana terjadinya Inflasi ?
2. Faktor-faktor penyebab timbulnya inflasi di Indonesia ?
3. Dampak yang ditimbulkan dari inflasi?
4. Langkah-langkah apa saja yang harus di ambil untuk mencegah terjadinya inflasi?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Inflasi
a. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga secara terus-menerus yang bersumber dari
terganggunya keseimbangan antara arus uang dan barang.
Laju inflasi dapat berbeda antar asatu Negara dengan Negara lainnya atau dalam satu
Negara dalam waktu yang berbeda. Atas dasar besarnya laju inflasi maka Inflasi dapat di bagi ke
dalam tiga kategori yaitu :
Di tandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun). Kenaikan harga
berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.
Ditandai dengan laju inflasi yang cukup besar dalam waktu yang relatif pendek serta
mempunyai sifat akselerasi (harga dalam waktu mingguan atau bulanan) efeknya terhadap
perekonomian lebih besar daripada inflasi yang merayap (creeping inflation)
Inflasi ini timbul karena permintaan masyarakat akan barang terlalu kuat, sehingga di sebut
demand-pull inflation.
Inflasi jenis ini timbul karena kenaikan ongkos produksi. Inflasi ini dikenal dengan istilah
cost-push inflation atau supply inflation. Untuk lebih jelasnya simak baik-baik kurva di atas.
Apabila ongkos produksi ini misalnya disebabkan kenaikan harga alat-alat produksi yang
didatangkan dari luar negeri atau kenaikan bahan mentah maupun bahan baku.
c. inflasi campuran
Kedua mmacam inflasi yang telah dijelaskan di atas jarang sekali di jumpai dalam praktik
sehari-hari. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara merupakan campuran dari kedua
macam inflasi tersebut. Inflasi campuran meripakan campuran antara inflasi permintaan (demand-
pull inflation) dan inflasi biaya (cost-push inflation).
2. Teori Inflasi
1. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti hal-hal yang berperan dalam proses inflasi, yaitu jumlah uang yang
beredar dan anggapan masyarakat mengenai kenaikan harga-harga. Inti dari teori kuantitas adalah
sebagai berikut.
a. Inflasi yang bisa terjadi apabila ada penambahan volume uang yang beredar.
Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, gagal panen misalnya hanya akan menaikan
harga-harga untuk sementara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat” bahan bakar”
bagi api inflasi. Apabila jumlah uang bertambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinnya.
b. Laju inflasi disebabkan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan anggapan
masyarakat mengenai harga-harga. Teori kuantitas ini di kemukankan oleh Irving Fisher.
Adapun rumusnya sebagai berikut :
MV = PT
Keterangan :
P = Tingkat harga
T = Banyaknya transaksi
Di setiap transaksi, jumlah yang dibayarkan oleh pembeli ssama dengan jumlah uang yang diterima
penjual. Hal ini berlaku untuk seluruh perekonomian.
Dalam periode tertentu nilai barang dan jasa yang dibeli harus sama dengan nilai barang
dan jasa yang dijual. Nilai barang yang dijual sama dengan volume transaksi (T) di kalikan harga
rata-rata barang tersebut (P).
2. Teori Keynes`
Menurut John Maynard Keynes,. Inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar
batas kemampuan ekonominya. Keynes berpendapat, proses inflasi adalah proses perebutan bagian
rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar dari yang
bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Oleh keynes proses perebutan ini diterjemahkan menjadi
keadaan di mana permintaan masyarakat terhadap barang selalu melebihi jumlah barang-barang
yang tersedia. Peristiwa tersebut menimbulkan apa yang disebut celah inflasi atau inflationary gap.
Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah pemintaan efektif dari semua golongan
masyarakat melebihi jumlah output yang dihasilkan. Namun apabila permintaan efektif total tidak
melebihi harg-harga yang berlaku dari jumlah output yang tersedia, maka inflasi akan berhenti.
3. Teori Strukturalis
Teori ini didasarkan atas pengalaman di Negara-negara amerika latin. Teori ini memberikan
perhatian yang besar terhadap struktur perekonomian Negara-negara sedang berkembang. Hal ini
disebabkan inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian.
Menurut teori ini, ada dua hal penting dalam perekonomian Negara-negara sedang
berkembang yang dapat menimbulkan inflasi, yaitu sebagai berikut :
GNP deflator adalah rasio GNP (Gross National Product) nominal pada tahun tertentu
terhadap GNP riil pada tahun tersebut. Hal ini memrupakan ukuran inflasi dari periode di
mana harga dasar untuk menghitung GNP riil digunakan sampai GNP sekarang. Perhitungan
cara ini melibatkan semua barang yang diproduksi.
Σ P 1.Q 1
GNP Deflator =
ΣΡ οQ 1
Keterangan ;
P1 = Jumlah barang
Dengan diberlakuakn UU No.23 Tahun 1999 tersebut, sejak tahun 2000 Bank Indonesia
pada mulanya menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan dicapai untuk tahun yang
bersangkutan. Sasaran ditetapkan untuk inflasi yang diukur dengan indeks harga konsumen (IHK)
dengan mengeluarkan dampak dari kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan (administered prices and Income policy). Sebagai
contoh, sasaran inflasi ditetapkan sebesar 3-5%.
Perubahan kewenangan terhadap sasaran inflasi tersebut diperkirakan tidak akan mengubah
secara mendasar jenis dan besarnya sasran inflasi. Hal ini mengingat selama ini terjadi telah terjadi
koordinasi yang baik antara pemerintah dan dan Bank Indonesia, khusunya dalam penetapan
asumsi-asumsi variable ekonomi makro dalam proses penyusunan APBN yang didalamnya
termasuk besarnya laju inflasi ke depan. Barangkali yang diperlukan adalah pembakuan mekanisme
koordinasi yang selama ini telah terjalin antara pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan cara
demikian, tidak saja koordinasi dan komitmen antara pemerintah dan Bank Indonesia akan semakin
tinggi, tetapi juga digunakan public dalam pencapaian sasran inflasi yang ditetapkan juga akan
semakin besar.
BAB III
PEMBAHASAN
Tingkat inflasi yang terjadi pada bulan Oktober 2005 yang sangat tinggi (8,75%) masih
membuat prihatin banyak kalangan, karena itu banyak yang menyebutnya core inflation, atau inflasi
inti oleh Bank Indonesia yang besarnya sekitar 7-8% setahun, maka pengaruh inflasi ini secara
agregatif menimbulkan inflasi lebih dari 15% setahun. Arti atau definisi dari Inflasi itu sendiri
seperti yang kita ketahui bahwa Inflasi adalah gejala kenaikan harga secara umum (artinya semua
harga terpengaruhi)oleh karena itu kebijakan pemerintah dan kebijakan moneter oleh bank sentral.
Sebagai contoh dalam masa pertama RI inflasinya tinggi sekali oleh karena kebijakan fiskal terlalu
“gampangan” (loose). Artinya, kalo pemerintah memerlukan uang maka ditempuh denngan cara
mudah, yakni cetak saja uang baru. Usaha untuk mengumpulkan pajak baru merupakan ussaha
serius di zaman yang mutakhir. Pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah di usahakan
dengan cara yang tidak langsung menuju kepercetakan uang baru. Maka pada tahap ini menarik
pinjaman luar negeri menjadi jalan keluar yang sering di tempuh pemerintah. Ini sesuai dengan
prinsip umum pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah yaakni non-inflator, yakni
bberhutang saja luar dan dalam negeri atau menjual asset Negara. Menjual asset Negara untuk
menutup defisit juga merupakan upaya yang lebih mutakhir, yakni dengan menjual BUMN, baik
sebagian sahamnya maupun secara keseluruhan.
Bank Indonesia sebagai bank sentral saat ini merupakan misi tunggal yaitu menjaga nilai
rupiah,artinya berusaha untuk mengekang terjadinya inflasi,kalau ada tekanan inflasi yang meninggi
maka BI menaikansuku bunga (BI rate atau SBI) sehingga dapat mengerem pengeluaran kredit baru
oleh sistem perbankan. Akan tetapi kalau inflasi tetap memuncak maka BI menghadapi dilemma
seperti sekarang ini.
Terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia,yaitu:
Seperti halnya yang umum terjadi pada Negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran
berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak sekali disebabkan oleh hal-hal yang
menyangkut keterangan struktural ekonomi Indonesia, yang acap kali menimbulkan kesenjangan
antara kemauan dan kemampuan untuk membangun. Selama pemerintahan Orde lama defisit
anggaran belanja ini acapkali di biaya dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang
baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy,
sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat, tetapi sejak era Orde Baru, defisit anggaran
belanja ini di tutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif aman terhadap tekanan
inflasi.
Dalam era pemerintahan Orde baru, kebutuhan trhadap percepatan pertumbuhan ekonomi
yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk
melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi mobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak)
di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector
swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan
sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar
daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat di
imbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan
penerimaan Negara, atau dapat dikatakan telah defisit struktural dalam keuangan Negara.
Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 70-an, pendapatan pemerintah di sector migas
meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin mmeningkat. Hal ini menyebabkan
kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan
kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestic yang relative lebih lamban akibat kapasitas
produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan
(investasi) pemerintah menyebabkan terjadi relokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah,
seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya tekanan inflasi. Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non
migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak 1982), menyebabkan
kemampuan pemerinntah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula,
sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor)
pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak
utama pembangunan nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah
ke non pemerintah (swasta). Tekanan inflasi pada periode ini lebih di sebabkan oleh meningkatnya
tingkat agresifitas sector swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh
perkembangan sector perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya
modddal domestic yang masih saja relative terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya
komersial maupun non komersial pun semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi
karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat
terbatas.
Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang di
untungkan dengan adanya Inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan
oleh adanya inflasi. Misalnya seorang yang memperoleh pendapatan tetap Rp. 500.000,00 per tahun
sedang laju inflasi sebesar 10%, akan menderita kerugian penurunan pendapatan riil sebesar laju
inflasi tersebut, yakni Rp.50.000,00
Dalam menganalisa kedua efek diatas (Equity dan Efficiency Effect) digunakan suatu
anggapan bahwa output tetap. Hal ini dilakukan supaya dapat diketahui efek inflasi terhadap
distribusi pendapatan dan efisiensi dari jumlah output tertentu tersebut.
Inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan menggalakan perkembangan ekonomi. Biaya yang
terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik
modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Antara lain tujuan ini
dicapai dengan pembeli harta-harta tetap setiap tanah, rumah dan bangunan. Oleh karena pengusaha
lebih suka menjalankan kegiatan investasi yang bersifat seperti ini, investasi produktif akan
berkurang dan tingkat kegiatan ekonomi menurun. Sebagai akibatnya lebih banyak pengangguran
akan terwujud.
Disamping menimbulkan efek buruk ke atas kegiatan ekonomi Negara, inflasi juga akan
menimbulkan efek-efek berikut kepada individu masyarakat :
Ide tentang adanya hubungan antara inflasi dan pengangguran itu relatif baru, kira-kira pada
akhir tahun 1950an. Secara sistematik hubungan ini baru mulai diperkenalkan oleh AW Philips
pada tahun 1958 dari hasil studi lapangan tentang hubungan antara kenaikan tingkat upah dengan
pengangguran di inggris pada tahun 1861-1957
Kurva yang menunjukan adanya hubungan negatif ini sering di sebut kurva Philips (sesuai
dengan \nama penemunya). Kurva tersebut sejalan dengan keadaan yang terjadi di inggris pada
periode 1861-1957. Tahun dimana tingkat pengangguran rendah adalah juga tahun dimana tingkat
kenaikan upah tinggi, dan sebaliknya tahun dimana pengangguran tinggi, tingkat kenaikan upah
rendah.
1) Implikasi kebijaksanaan
Sampai pada akhir tahun 1950an masalah pokok kebijaksanaan makro ekonomi adalah
untuk mencapai secara serentak kestabilan harga serta kesempatan kerja yang tinggi. Namun
beberapa pemikiran pada waktu itu meragukan tercapainya kedua tujuan tersebut secara berssama-
sama. Kurva Philips dapat menjelaskan keadaan pesimis ini. Kestabilan harga dan kesempatan
kerja yang tinggi adalah dua hal yang tidak bisa terjadi bersama-sama.
2) Dasar Teori
Kurva Philips diperoleh semata-mata atas dasar studi empiric, tidak ada dasar teorinya.
Lipsey pada tahun 1960 mencoba untuk mengisi daassar teorinya. Untuk tujuan ini dia
menggunakan teori pasar tenaga kerja sebagai dasar teorinya.
Dengan menggunakan Irving Fisher MV = PT, dapat dijelaskan bahwa inflasi timbul karena
MV naik lebih cepat daripada T. oleh Karena itu untuk mencegah terjadinya inflasi maka salah satu
variable (M atau V) harus dikendalikan. Cara mengatur variable M,V dan T tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan kebijakan moneter,fiskal atau kebijakan yang menyangkut
kenaikan produksi.
1. Kebijakan Moneter.
Sasaran kebijakan moneter dicapai melalui pengaturan jumlah uang beredar (M). salah satu
komponen jumlah uang adalah uang giral (demand deposito). Uang giral terjadi melalui dua cara,
pertama,apabila seseorang memasukan uang kas ke bank dalam bentuk giro, kemudian yang kedua
apabila seseorang memperoleh pinjaman dari bank mereka tidak terima dalam bentuk kas tetapi
dalam bentuk giro. Instrument lain yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya inflasi adalah
politik pasar terbuka (jual/beli surat berharga). Dengan cara menjual surat berharga bank sentral
dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar sehingga laju inflasi dapat lebih rendah.
2. kebijaksanaan Fiskal
Kebijaksanaan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serrta
perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan
mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total. Kebijakan fiskal
yang berupa pengurangan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak akan dapat mengurangi
permintaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
Kenaikan Output dapat memperkecil laju inflasi. Kenaikan jumlah output ini dapat dicapai
missalnya dengan kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang cenderung
meningkat. Bertambahnya jumlah barang didalam negeri cenderung menurunkan harga.
Ini dilakukan dengan penentuam ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga
tertentu untuk gaji ataupun upah (dengan demikian gaji/upah secara riil tetap). Kalau indeks harga
naik maka gaji/upah juga dinaikan.
Untuk mencegah terjadinya Inflasi BI bisa melakukan kebijakan uang ketat meliputi :
Dalam pemulihan makro ekonomi, tim ekonomi pemerintah harus mampu menciptakan
kestabilan makro ekonomi, dengan menekan inflation rate menjadi single digit, sekitar 8%. Makro
ekonomi yang menyangkut tiga komponen yaitu interest rate, inflation rate dan exchange rate,
yang semuanya saling tergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Di sisi lain, dengan
diturunkannya BI rate, hal tersebut berpengaruh pada turunnya suku bunga perbankan dan akan
mendorong investor menanamkan investasi lebih banyak. Aktivitas perekonomian terus berputar.
Dengan demikian akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar secara bertahap,
sehingga pendapatan masyarakat akan ikut naik. Dalam rangka menungkatkan iklim investasi
secara nasional guna menanggulangi dan meningkatkan di sektor riil.
BAB IV
KESIMPULAN
Masalah Inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi
juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa Inflasi di Indonesia bukan semata-
mata disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang
seringkali dilakukan untuk tujuan mmenstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka
pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan structural tersebut, maka
mau tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor riil. Dengan
melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, maka kemantapan fundamental ekonomi
Indonesia dapat diperkokoh. Defisit APBN, peningkatan cadangan devisa, pembenahan sektor
pertanian khususnya pada sub sektor pangan, pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius
untuk dapat menekan Inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya
pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.