You are on page 1of 44

BAB I

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

Standar Kompetensi:
1. Menganalisis budaya politik di Indonesia.

Kompetensi Dasar:
1.1 Mendeskripsikan pengertian budaya politik.
1.2 Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia.
1.3 Mendeskripisikan pentingnya sosialisasi pengembangan budaya politik.
1.4 Menampilkan peran serta budaya politik partisipan

A. PENDAHULUAN

------------------ Ada gambar sekolompok orang yang sedang dalam forum


rapat ------------------

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting


dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia
lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum,
biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup
kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota
masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu
bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara
tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita
tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti
orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam
interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi
di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk
variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik
perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali
kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan
dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya,

1
pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan
kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku
aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi
dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian,
budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan
menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian
sumber-sumber masyarakat.

B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK

1. Pengertian Umum Budaya Politik


Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki
bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda
pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan
para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G
Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam
antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu
sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan
aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara
yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi
pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara
senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan
lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan
tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Fokus Kita :
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, istilah ”budaya
politik” terutama mengacu pada orientasi politik sikap terhadap
sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap
peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Suatu budaya politik,
yaitu terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis
sebagai berikut :
a.
Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri
atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya
dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik
tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-

2
nilai dan norma lain.
b.
Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek
generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik,
seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c.
Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah
nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d.
Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap
terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang
lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan
(konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap
mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas),
prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa
kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat
orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang
bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang
sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung
bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian,
pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya
sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

2. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli


Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema
budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik
yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang
derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga
tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini
merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya
politik.
a.
Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan
orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para
anggota suatu sistem politik.
b.
Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-
simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi
dimana tindakan politik dilakukan.

3
c.
Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap,
kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan
dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d.
Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang
politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama;
sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e.
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan
yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-
pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum
atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan
konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama: bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-
aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih
menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti
orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal
inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang
bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah
sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya
sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem
politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan
lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-
komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan
fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi
yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus
yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik,
fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya.
Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap
lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang
menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam
tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik
merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang
memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Dengan memahami pengertian budaya politik, kita akan
memperoleh paling tidak dua manfaat, yakni :

4
a. Sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan
mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapannya, dukungannya
serta orientasinya terhadap sistem politik itu;
b. Dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan
sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti.

Bonus Info Kewarganegaraan


Salah seorang sarjana yang dianggap memberikan sumbangan
besar terhadap perkemba-ngan konsep budaya politik, dan
konsisten membahasnya dalam konteks sistem politik adalah
Gabriel A. Almond. Salah satu karyanya yang ditulis bersama-
sama Sidney Verba, yang menjadi tonggak perkembangan
konseptual budaya politik, berjudul The Civic Cultur. Buku yang
merupakan hasil penelitian tentang budaya politik, dalam kerangka
tingkah laku dan demokrasi di Itali, Jerman, Mexico, Amerika
Serikat, dan Inggris telah menguatkan fondasi bagi perkembangan
konsep budaya politik dewasa ini.

Sumber : Deden Faturrohman dan Wawan Sobari, dalam


”Pengantar Ilmu Politik” 2002.

3. Komponen-Komponen Budaya Politik


Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham
Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam
suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney,
adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi
terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya
proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis
dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik,
yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif
(affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan
lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan
Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik
mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada politik, peranan dan segala
kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-
Fokus Kita : politik yang secara tipikal melibatkan standar
obyek
Menurut G. Almond
nilai dandan S. Verba,
kriteria bahwa objek
dengan informasi orientasi politik
dan perasaan.
warga negara adalah sistem politik. Setiap sistem politik akan terbagi
ke dalam tiga golongan objek, yaitu :
a. Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif
5
atau birokrat.
b. Pemegang jabatan, seperti pemimpin monarki, legislator dan
administrator.
Dengan menggunakan ketiga komponen orientasi tersebut, tentu
saja kita dapat mengukur bagaimana sikap individu atau masyarakat
terhadap sistem politik sebagai berikut.

Komponen Obyek Politik


Komponen Komponen Afektif Komponen
Kognitif Evaluatif
Kita dapat menilai Akan berbicara tentang Orientasi politik
tingkat pengetahuan aspek pera-saan seorang diten-tukan oleh
seseorang me- warga negara terha-dap evaluasi moral
ngenai jalannya aspek-aspek sistem politik yang memang
sistem politik, tokoh- ter-tentu yang dapat telah dipunyai
tokoh peme- membuatnya menerima seseorang
rintahan, atau menolak sistem
kebijaksanaan yang politik itu secara
mereka ambil, atau keseluruhan. Keluarga dan
menge-nai simbol- lingkungan hidup
simbol yang di-miliki seseorang, pada umumnya
oleh sistem berpe-ngaruh terhadap
politiknya. pembentukan perasaan
individu yang bersang-
kutan terhadap aspek-
aspek sistem politik.

Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini


tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-kurangnya saling
mempengaruhi. Semisal seorang warga negara dalam melakukan
penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu
tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya
sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang suatu simbol
politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya
terhadap simbol politik itu. Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu
simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem
politik secara keseluruhan.
Karena hakekat kebudayaan politik suatu masyarakat terdiri dari
sistem kepercayaan yang sifatnya empiris, simbol-simbol yang
ekspresif, dan sejumlah nilai yang membatasi tindakan-tindakan politik,
maka kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan orientasi
subyektif bagi politik. Karena kebudayaan politik hanya merupakan

6
salah satu aspek dari kehidupan politik, maka jika kita ingin
mendapatkan gambaran dan ciri politik suatu bangsa secara bulat dan
utuh, maka kitapun dituntut melakukan penelaahan terhadap sisinya
yang lain.
Hakekat atau ciri-ciri pokok dari budaya politik menyangkut masalah
nilai-nilai. Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang melandasi doktrin
atau suatu pandangan hidup. Nilai-nilai yang dimaksud ini berhubungan
dengan masalah tujuan, seperti nilai-nilai pragmatis atau utopis.
Almond dan Powell mencatat, bahwa aspek lain yang menentukan
orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang berkaitan dengan “rasa
percaya” (trust dan “permusuhan” (hostility), perasaan ini dalam
realistas.
Konsep kebudayaan politik yang pertama kali dikenalkan oleh
Gabriel A Alomnd, guna mengidentifikasi orientasi dari tingkah laku
politik masyarakat. Dalam bukunya The Civic Culture (1963), Almond
mengatakan bahwa masyarakat mengidentifikasi dirinya terhadap
simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi
yang dimilikinya. Kebudayaan politik, meliputi sikap-sikap dari warga
negara terhadap pemerintahan dan politiknya. Untuk menilai dan
memperbandingkan kebudayaan politik, Almond mengajukan ukuran-
ukuran : identitas nasional, kesadaran kelas, motivasi berprestasi,
keyakinan akan kebebasan dan persamaan, efektivitas politik dan
kepercayaan kepada pemerintah. Sebagai ilustrasi dapat kiranya
dikemukakan, bahwa kegiatan politik seseorang pada dasarnya tidak
hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, tetapi juga
harapan-harapan politik yang dimilikinya serta pandangannya mengenai
situasi politik itu sendiri.
Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan politik sebagai
pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat
dalam arti luas. Hal ini terjadi melalui proses sosialisasi politik agar
masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik
tertentu yang dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku politik mereka
sehari-hari. Adapun nilai-nilai politik yang terbentuk dalam diri
seseorang biasanya berkaitan erat dengan atau bagian dari nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial budaya dan
agama.
Lain halnya dengan Mar’at, yang menetapkan bahwa sikap – suatu
kecenderungan berperilaku – adalah produk dari proses sosialisasi yang
banyak ditentukan oleh faktor budaya. Proses pembentukan sikap
politik yang pada gilirannya berupa perilaku yang diperoleh melalui
sosialisasi politik, tak pernah hadir dikehampaan budaya. Boleh jadi,
budaya politik adalah pola perilaku seseorang atau sekelompok orang
yang dipengaruhi faktor eksternal seperti situasi lingkungan maupun
faktor internal seperti : kebutuhan, SINA (Sistem Nilai dan Asumsi) dan
SKSM (Sistem Koordinasi Sensor Motorik) yang orientasinya berkisar
pada situasi kehidupan politik yang sedang berlaku, bagaimana tujuan-
tujuan yang didambakan oleh sistem politik itu sendiri, serta harapan-
harapan politik apa dimilikinya, biasanya akan bercampurbaur dengan
prestasi di bidang peradaban.

7
Menurut ahli psikologi sosial, bahwa nilai-nilai kebiasaan dalam
suatu masyarakat, termasuk didalamnya nilai-nilai politik, senantiasa
mengalami proses transformasi, pemahaman dan internalisasi ke dalam
individu melalui tiga mekanisme utama, yakni asosiasi, peneguhan dan
imitasi. Di mana nilai-nilai politik diserap lewat pengasosiasian antara
fenomena yang satu dengan lainnya atau melalui peneguhan dan
nimitasi, di mana tingah laku para aktor politik penting ditiru, sebagai
bagian dari perilaku masyarakat.

Bonus Info Kewarganegaraan


BUDAYA ”POLITIK” UNGGUL
*Dony Kleden
Ketika memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku
Stephen R Covey, The 8th Habit : From Effectiveness to Greatness,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyinggung soal
pentingnya menumbuhkan budaya unggul sebagai identitas dan
budaya nasional (Kompas, 15/12/2005). Budaya unggul didefinisikan
sebagai semangat dan kultur untuk mencapai kemajuan dengan cara
kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik.
Definisi ini jelas masih terasa abstrak dan mentah karena belum
punya daya operatif. Supaya lebih nyata dan tidak spekulatif dalam
mengartikan budaya unggul ini, maka budaya unggul perlu dikaitkan
dengan budaya politik. Budaya politik oleh Gabriel Almond dan
Verba diartikan sebagai dimensi psikologis dari sistem politik. Dengan
demikian, budaya politik mencakup perilaku, kepercayaan, tata nilai,
dan keterampilan yang berkembang di seluruh bidang kehidupan
masyarakat. Jelas di sini yang menjadi target budaya politik itu adalah
subyek yang berbudaya dan yang punya kompetensi. Almond dan
Verba yakin semua orang dengan kemampuannya dapat berperan
serta asalkan diberi kesempatan. Namun, seandainya kesempatan
menjadi monopoli orang-orang yang haus kekuasaan dan harta,
jangan harap budaya dan politik yang unggul akan lahir di bumi
pertiwi ini. Budaya dan politik unggul tidak bisa tidak menuntut
ketulusan dari kita semua dalam berperan serta.
Budaya unggul juga hanya bisa dicapai kalau etika politik juga
memainkan peranan di dalamnya. Segala tindakan yang tercela dan
kasar terjadi karena visi etika politik kabur. Karena visinya kabur,
misinya pun kabur. Kalau kedua-duanya kabur, mudah saja etika
politik diterjemahkan secara subyektif sehingga muncul etika
subyektif, kelompok atau institusi, dan bukan etika sosial. Tak heran
kalau derajat artikulasi politik Indonesia sering terempas
dan koyak.

* Dony Kleden Mahasiswa Program Teologi Universitas


Sanata Dharma, Yogyakarta

Penugasan Praktik 1
Kewarganegaraan
Setelah mempelajari materi-materi tentang : Pengertian Budaya
Politik (Pengertian Umum, Pengertian Menurut Para Ahli dan 8
Komponen-komponen Politik, dilanjutkan Penugasan dengan
menjawab pertanyaan atau pernyataan sebagai berikut :
1. Berikan ulasan pengertian kembali tentang “budaya politik”
sesuai pendapat anda dan tokoh-tokoh terkenal !
Pendapat anda tentang budaya
politik ? ............................................................................................
................................................................................................................
..................................................

No Tokoh Uraian Singkat


1.
2.

2. Pengertian budaya politik menurut Rusadi Sumintapura,


dikatakan bahwa budaya politik merupakan pola tingkah laku
individu dan orientasi terhadap kehidupan politik...dst. Berikan
penjelasn singkatnya !
a. Pola tingkah laku individu
: ......................................................................................................
..........................................................................................................
..................................................
b. Orientasi terhadap kehidupan politik
: .................................................................................
...........................................................................................................
.................................................

3. Dalam klasifikasi tipe-tipe orientasi, yaitu orientasi kognitif,


efektif dan evaluatif. Beri penjelasan singkat pada kolom di bawah ini!
Orientasi Kognitif Orientasi Efektif
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................

4. Berikan tanggapan penjelasan, mengapa sebagai warga negara


dirasakan penting untuk memahami “budaya politik” dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara!
................................................................................................................
...................................................
................................................................................................................
...................................................
9
................................................................................................................
...................................................

5. Tuliskan perbedaan dan persamaan mendasar antara pendapat


Sidney Verba dengan Austin Ranney berkaitan dengan pengertian
budaya politik di bawah ini !
Persamaan Perbedaan
..................................................... .......................................................
........................ .........................
..................................................... .......................................................
........................ .........................
..................................................... .......................................................
........................ .........................
..................................................... .......................................................
........................ .........................

C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan


Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang
kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan
modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang
terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki
kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha
mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha
jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah,
dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide
yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang
mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Fokus Kita :
Budaya politik masyarakat sangat dipengaruhi oleh sruktur
politik, sedangkan daya opeasional struktur ditentukan oleh
konteks kultural tempat struktur itu berada. Kalau dicermati dari
segi fungsi secara keseluruhan, budaya politik bertujuan untuk
mencapai dan memelihara sistem politik yang demokratis. Budaya
politik dapat berfungsi dengan baik, pada prinsipnya ditentukan

10
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada
sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan
menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi
pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir
selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi
dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,
malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan
keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan
sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan
sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru
dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus
dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe
akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai
salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

2. Berdasarkan Orientasi Politiknya


Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki
beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan
karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik
akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud
dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam
masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu
tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan
faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
11
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu
masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu
budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat
tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa
terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga
klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam
masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

N Budaya Uraian / Keterangan


o Politik
1. Parokial a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai
obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek
output, dan pribadi sebagai partisipan aktif
mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang
khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya
harapan-harapan akan perubahan yang
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem
politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun
dari sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem
tradisional yang lebih sederhana dimana
spesialisasi politik berada pada jenjang sangat
minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang
diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
dari pada kognitif.
2. Subyek/Ka a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi
ula terhadap sistem politik yang diferensiatif dan
aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi
orientasi terhadap obyek-obyek input secara
khusus, dan terhadap pribadi sebagai
partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas
pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara
umum, dan terhadap output, administratif
secara esensial merupakan hubungan yang
pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana
tidak terdapat struktur input yang
terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan
normatif daripada kognitif.

12
3. Partisipan a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai
obyek umum, obyek-obyek input, output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati
satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota
masyarakat cenderung diorientasikan secara
eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan
proses politik serta administratif (aspek input
dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap
obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti


bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian
terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem
politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi
pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki
kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok
protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh
suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi
hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh
tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara
politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa
memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga
negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam
proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik.
Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe
budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya
politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki
pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian
terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang
lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak
bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen
emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak
nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan
budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak
aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu
mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang
rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik
yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya
sistem politik.

13
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling
rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa
mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat
kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki
perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang
membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya
tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam
politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis
tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh
karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi
dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-
institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju,
seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki
budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan
terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut,
ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga
bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di
atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai
berikut :

Model-Model Kebudayaan Politik


Demokratik Sistem Otoriter Demokratis Pra
Industrial Industrial
Dalam sistem ini Di sini jumlah Dalam sistem ini
cukup banyak industrial dan hanya terdapat
aktivis politik untuk modernis sebagian sedikit sekali parti-
menjamin adanya kecil, meskipun sipan dan sedikit pula
kompetisi partai- terdapat organisasi keter-libatannya
partai poli-tik dan politik dan partisipan dalam peme-rintahan
kehadiran pemberian politik seperti
suara yang besar. mahasiswa, kaum in-
telektual dengan
tindakan persuasif
menentang sis-tem
yang ada, tetapi
seba-gian besar
jumlah rakyat hanya
menjadi subyek yang
pasif.

14
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut
konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang
seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya
dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa,
konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari
rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik.
Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat
menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite
yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat
pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan pola
kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang
kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama
politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang
cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya
tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri
keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di
negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang
menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi
politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer
yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik
agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan
karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan
para elite politik.

Bonus Info Kewarganegaraan

15
KEKERASAN POLITIK
”Sebuah Implikasi Aliansi Politik dan Cerminan
Ketidaksamaan Struktur dan Kultur dalam Budaya
Politik”

Bahwa kegagalan internalisasi dalam pembentukan budaya


politik yang diakibatkan oleh ketidaksamaan antara kultur politik
dan struktur politik, akan menyebabkan kondisi aliansi dalam
masyarakat. Kondisi ini akan menjadi tuntutuan (demand) yang
konstruktif dalam proses politik, bila pemerintah mampu
mengakomodasi dan mencarikannya jalan keluar melalui formasi
dan implementasi kebijakan. Namun kemungkinan lain yang lebih
buruk akan memunculkan respons politik masyarakat, berupa
terjadinya kekerasan secara masal, bila pemerintah tidak mampu
mengelolanya dengan baik.
Perasaan keterasingan secara politik dalam diri masyarakat,
salah satu akibat yang akan muncul adalah melalui munculnya
tindakan kekerasan masa. Dengan melakukan tindakan kekerasan,
masyarakat berupaya mengemukakan ketidakpuasan terhadap
pemerintah, karena kegagalannya mengelola berjalannya sistem
politik dengan baik.
Sementara itu dalam konteks partisipasi poitik, tindakan
kekerasan diakui sebagai salah satu bentuk praktik partisipasi
politik, yang ditujukan bagi perubahan politik oleh pemerintah,
melalui keluarnya keputusan-keputusan atau kebijakan publik
seperti yang diharapkan. Tindakan kekerasan merupakan salah
satu manifestasi partisipasi politik inkonvensional yang bisa berupa
huru-hara, revolusi, kudeta dan bentuk-bentuk lainnya.

Sumber : Deden Faturrohman dan Wawan Sobari, dalam


”Pengantar Ilmu Politik” 2002.

Carilah sumber informasi lain baik dari buku, koran, majalah,


Penugasan
internet, Praktik
buletin dan sebagainya, kemudian
2 lakukan hal-hal berikut
: Kewarganegaraan
Rumuskan kembali tentang pemahaman tipe-tipe budaya politik
baik berdasarkan sikap yang ditunjukkan maupun orientasi
politiknya !
Berikan alasan penjelasan, mengapa di dalam kehidupan
masyarakat dapat muncul budaya politik yang memiliki sikap
mental absolut !
Berikan alasan penjelasan, mengapa di dalam kehidupan
masyarakat ada sebagian yang memiliki budaya politik parokial
!
Jelaskan dengan alasan, bagaimana dalam kenyataan di dalam
masyarakat terdapat munculnya budaya politik campuran
parokial – partisipan ! 16
Berikan penjelasan singkat perbedaan pokok model-model
kebudayaan antara demokratik industrial dengan demokratis
D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input
sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang
menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya.
Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi
politik pada anggota masyarakat.

Fokus Kita :
Melalui proses sosialisasi politik , para anggota masyarakat
memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang
berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup
melalui pendidikan formal, non formal, dan informal atau tidak sengaja
melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan

Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan


sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada.
Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman
serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang
berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling
mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-
pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah
laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh
seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik
seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu
dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap
sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa
masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa
terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap
legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau
perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran
tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan
yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi.
Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap
sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi

17
Bonus Info Kewarganegaraan
TENTANG ”SOSIALISASI”
Kata ”sosialisasi” dalam konsep ilmu pengetahuan, merupakan hal
tingkah laku yang berkenaan dengan proses yang rumit bagaimana
individu belajar tentang dan berperilaku seperti yang diharapkan oleh
masyarakatnya. Dalam sosialisasi mengajarkan tentang kebiasaan, ide,
sikap, dan nilai-nilai. Sosialiasasi dipandang oleh para ilmuwan sebagai
salah satu jalan terpenting bagi pelestarian masyarakat.
Melalui sosialisasi, suatu kebudayaan dapat diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, ada 3 (tiga) sifat dasar
mengapa sosialisasi dipelajari :
1. manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain.
2. secara ekstrem dapat dikatakan, bahwa manusia tidak mempunyai
naluri sehingga sebagian besar peri laku yang diperlukan untuk
kelangsungan hidupnya harus dipelajari.
3.
karena ketiadaan naluri tersebut, manusia harus belajar
mengendalikan hubungannya dengan sesamanya, yaitu dengan
hidup menurut nilai-nilia dan peranan bersama.
Sumber : Ensiklopedi Indonesia ”Edisi
Khusus” 1990.

2. Pengertian Menurut Para ahli


Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah
banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan
pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan
seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan,
namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama.
Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik
menurut para ahli.
a. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-
aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif
dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang
sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus
berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-
peranan baru masih harus terus dipelajari.
b. Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik
dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga
merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-
patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.

c. Irvin L. Child

18
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang
dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut
untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam
satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya
sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
d. Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan
pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang
tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga
negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
e. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh
manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap
memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed
disebut dengan transmisi kebudayaan.
f. Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang
mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
g. Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah
proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu
akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung
sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir
pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal
yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses
yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa
pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi
informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik
secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga,
sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa,
atau kontak politik langsung.

Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan


dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik,
sebagai berikut.
a. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar
dari pengalaman/ pola-pola aksi.
b. memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan
kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi,
berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan
sikap-sikap.
c. sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja
(walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung

19
sepanjang hidup.
d. bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas
sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan
penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush &
Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-
definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian
yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum
fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan
tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu
teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan
perubahan sosial; menyediakan satu teori yang memungkin
pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri
dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang
diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh.
Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan
kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman
dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan
kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental
bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku,
baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang
dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan
bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang
tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan
kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan
mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara
berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan
tetapi tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar
bahkan sebagian terbesar sosialisasi, merupakan hasil
eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar,
tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu
“menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung
mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott
menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati
tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku
orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia
ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi
terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan
datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat
terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak
realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui
oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut

20
pengalaman tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses,
dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-
nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini
tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya,
sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan
pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju
pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang
menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu
disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,
maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan
tidakmungkin terjadi stagnasi.

3. Proses Sosialisasi Politik


Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau
remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa
di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi
mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik
mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti
"keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di
suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada
keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini
diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan
bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul
kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem
politik.

Fokus Kita :
Dalam Proses Sosialisasi Politik, metode yang kerap digunakan dapat
berupa Pendidikan Politik dan Indoktrinasi Politik. Pendidikan politik
melalui suatu proses dialog sehingga masyarakat mengenal nilai,
norma, dan simbol politik. Sedangkan proses Indoktrinasi Politik ialah
proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga
masyarakat untuk menerima nilai-nilai, norma, dan simbol yang dianggap

Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut


Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai
ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya
dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu
sebagai berikut.
a. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak,
presiden dan polisi.
b. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal,
yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.

21
c. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti
kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara
(pemilu).
d. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan
mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan
institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki
nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi
orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
a. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan
kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
b. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran
material mobilitas sosial.
c. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
d. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan,
menjaga keamanan dan ketentraman.
e. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
f. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan
pemerintahan.

Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik
dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang
dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara
lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien
dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah
antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan
tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan
kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan
berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung
nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara
dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran
sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah
merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik
maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik
harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan
umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa
dapat memenangkan pemilu.

22
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak
perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di
kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa
tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan
sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan
ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama
derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.

4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang


Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah
menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh
negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk
mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan
yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal
(Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya
secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang
sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.

Fokus Kita :
Robert Le Vine berpendapat bahwa sosialisasi politik di negara-
negara berkembang cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada
sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan
sistem-sistem politik nasional. Namun, masalah terberat yang
dihadapi oleh negara berkembang adalah adanya berbagai macam

Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting


dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai
berikut :
a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat
melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga
tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan
nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita
lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan
satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai
satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai
tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh
peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan,
khususnya dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan
etnis di daerah-daerah ini.

23
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang
selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi,
berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari
perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-
agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat
perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin
tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat
perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi
politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil
survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik.
Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima negara
yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,
mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh
penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan
partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di
kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-
peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah
partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang
lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari
Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh
sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun
demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi
peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk
campuran antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari
substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah
legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh
masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari
sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di
Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden,
kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu
mendapat kritik dari masyarakat.

6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik


Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar
yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional
learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai
(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu
yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan
komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu
masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas
komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi

24
anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan
bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan
struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui
cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh
anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut
G. A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam
sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum –
tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari
bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.

Fokus Kita :
Proses sosialisasi politik sesungguhnya berlanjut terus sepanjang
hidup setiap orang. Sebagai contoh seperti yang dikemukakan
Almond, bahwa suatu perang yang besar, ataupun depresi ekonomi,
pengalaman fascisme di Itali, atau Nazi di Jerman, merupakan
pengalaman belajar yang dahsyat yang tidak dimediakan

Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik


juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur dan kultur
politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat
yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam
suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil
akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan),
standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan
aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga
mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta
perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap
sistem, dan output otorotatif-nya.
Berikut adalah bagan terbentuknya sikap politik (political attitude)
melalui proses sosialisasi politik.

Adolescenc
Early Childhood Adulthood
e
(Masa kanak- (Masa
Afective (Masa
kanak) dewasa)
Allegiance remaja)
(Sikap Cognitive and critical
kesetiaan) orientations
(Pemahaman dan tujuan
Cognitive
untuk mengkritisi)
partisanship
(Pemahaman yang
berpihak) Cognitive
Afective partisanship partisanship
(Sikap yang berpihak) (Pemahaman yang
berpihak)
Awareness of policy outputs Awareness of ability to influence
(Kesadaran terhadap policy
kebijakan output) (Kesadaran untuk mempengaruhi
kebijakan) 25
Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi
politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam
sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik
masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti,
sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media
komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat
berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan,
relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan
proses tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata
(manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Sosialisasi Politik Laten
Manifes
Berlangsung dalam bentuk Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-
transmisi informasi, nilai- nilai atau perasaan terhadap peran, input
nilai atau perasaan dan output mengenai sistem sosial yang
terhadap peran, input dan lain seperti keluarga yang mempengaruhi
output sistem politik. sikap terhadap peran, input dan output
sistem politik yang analog (adanya
persamaan).

Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India,
Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur
masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota
maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh
media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas.
Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam
menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah
besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan
sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi
primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris,
Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik
pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus
melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang
ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian,
semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi
dan media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-
hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat
melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-
pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari
segala macam tindakan pemerintah.
26
Penugasan Praktik 3
Kewarganegaraan
Setelah mempelajari materi-materi tentang : Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik,
lakukan Strategi Pembelajaran dengan Penugasan Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) atau Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis.
Langkah-langkah :
Bentuk kelompok dengan anggotanya antara 4 – 5 orang.
Diberikan “wacana” atau kliping sesuai dengan topik pembelejaran.
Setiap kelompok bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok serta
memberi tanggapan terhadap wacana/kliping, dan ditulis pada lembar kertas.
Mempresentasikan atau membacakan hasil kelompok.
Buatlah kesimpulan bersama.
Penutup.

E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN

1. Pengertian Partisipasi Politik


Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi
politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian
dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam
masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu
indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses
politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan
yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat
juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan mengevaluasi
implementasi kebijakan tersebut.

Fokus Kita :
Kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi yang lebih luas dalam
bidang politik, bermula pada masa renaissance dan reformasi abad ke
15 – 17 , abad ke 18, dan 19. Namun, tata cara masyarakat menuntut
hak mereka untuk berpartisipasi berbeda-beda di setiap negara.

Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok


orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti
memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya
gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai
berikut :

27
a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan
masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan
politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang
berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi
penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru
sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi
yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite,
maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas
menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan
membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi,
dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering
merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan
kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

2. Konsep Partisipasi Politik


Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk
memberi gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam
perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting,
terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)
dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik
terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada
umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep
partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ?
bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada
tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini
merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat
kejelasan tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep
partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung
dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi politik, yang
disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana Konsep Indikator
Kevin R. Partisipasi politik memberi • Terdapat interaksi
Hardwic perhatian pada cara-cara warga antara warga negara
k negara berinteraksi dengan dengan pemerintah
pemerintah, warga negara • Terdapat usaha warga
berupaya menyampaikan negara untuk
kepentingan-kepentingan mereka mempengaruhi pejabat
terhadap pejabat-pejabat publik publik.
agar mampu mewujudkan

28
kepentingan-kepentingan
tersebut.
Miriam Partisipasi politik adalah kegiatan • Berupa kegiatan
Budiardj seseorang atau sekelompok individu atau kelompok
o orang untuk ikut serta secara • Bertujuan ikut aktif
aktif dalam kehidupan politik, dalam ke-hidupan
dengan jalan memilih pimpinan politik, memilih pim-
negara, dan secara langsung atau pinan publik atau
tidak langsung mempengaruhi mempenga-ruhi
kebijakan pemerintah (public kebijakan publik.
policy).
Ramlan Partisipasi politik ialah • Keikutsertaan warga
Surbakti keikutsertaan warga negara biasa negara dalam
dalam menentukan segala pembuatan dan
keputusan menyangkut atau pelaksanaan kebijakan
mempengaruhi hidupnya. publik
Partisipasi politik berarti • Dilakukan oleh warga
keikutsertaan warga negara biasa negara biasa
(yang tidak mempunyai
kewenangan) dalam
mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik.
Michael Partisipasi politik adalah • Berwujud keterlibatan
Rush keterlibatan individu sampai pada individu dalam sistem
dan bermacam-macam tingkatan di politik
Philip dalam sistem politik. • Memiliki tingkatan-
Althoft tingkatan partisipasi
Huntingt Partisipasi politik ... kegiatan • Berupa kegiatan bukan
on dan warga negara preman (private sikap-sikap dan
Nelson citizen) yang bertujuan kepercayaan
mempengaruhi pengambilan • Memiliki tujuan
kebijakan oleh pemerintah. mempengaruh
kebijakan publik
• Dilakukan oleh warga
negara preman (biasa)
Herbert Partisipasi politik adalah • Berupa kegiatan-
McClosk kegiatan-kegiatan sukarela dari kegiatan sukarela
y warga masyarakat melalui mana • Dilakukan oleh warga
mereka mengambil bagian negara
dalam proses pemilihan • Warga negara terlibat
penguasa, dan secara langsung dalam proses-proses
atau tidak langsung, dalam politik
proses pembentukan kebijakan
umum.
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang
dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial

29
menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan
termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata
dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi
politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,
sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan
serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.

Fokus Kita :
Institusi yang menjadi sasaran atau objek politik dalam partisipasi
politik, yaitu pemerintah sebagai pemegang otoritas. Hal yang paling
prinsipil, berkenan dengan keterlibatan warga negara secara langsung
atau tidak langsung dalam proses politik yang terjadi dalam lembaga-
lembaga pemerintahan (suprastruktur politik). Selain itu partisipasi
politik juga memiliki tujuan-tujuan, yang berkenan dengan kegiatan

Untuk menggolongkan sebuah aktivis politik tertentu dikatakan


sebagai partisipasi politik atau bukan, Huntington dan Nelson, serta
Ramlan Surbakti memberikan beberapa batasan atau “rambu-rambu”
dalam penggunaan konsep partisipasi politik dalam beberapa aspek
defenisi inti sebagai berikut :
Pertama : ia mencakup kegiatan-kegiatan (perilaku politik yang nyata)
akan tetapi tidak sikap sikap.
Kedua : yang menjadi perhatian adalah kegiatan politik warga negara
preman, atau lebih tepat lagi, perorangan-perorangan dalam
peranan mereka sebagai warga negara preman. Dengan
demikian terdapat garis antara partisipasi-partisipasi politik dan
orang-orang profesional dibidang politik (pejabat-pejabat
pemerintahan, pejabat-pejabat partai politik, calon-calon politik,
dan lobbyist profesional yang bertindak dalam peranan-peranan
tersebut).
Ketiga : yang menjadi pokok perhatian hanyalah kegiatan-kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap
pejabat-pejabat umum, mereka yang pada umumnya diakui
mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan dan yang
final mengenai pengalokasian nilai-nilai secara otoritatif didalam
masyarakat.
Keempat : defenisi kami mencakup semua kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah, tak peduli
apakah kegiatan itu benar-benar mempunyai efek itu. (tidak
tergantung dari berhasil atau tidaknya kegiatan partisipasi
politik).
Kelima : kami mendefenisikan partisipasi politik sebagai mencakup tidak
hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi
juga kegiatan yang oleh orang lain diluar di pelaku dimaksudkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang

30
pertama dapat dinamakan partisipasi otonom, yang terakhir
partisipasi yang dimobilisasikan.
Ramlan Surbakti mengemukakan rambu-rambu konsep partisipasi
politik sebagai berikut :
Pertama : partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau
perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati,
bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi.
Kedua : kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku
pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk ke dalam
pengertian ini, seperti kegiatanmengajukan altenatif kebijakan
umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik, dan
kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik
yang dibuat pemerintah.
Ketiga : kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal
mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi
politik.
Keempat : kegiatan mempengaruhi pemerintah bisa dilakukan
secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Kelima : kegiatan mempengaruh pemerintah bisa dilakukan melalui
prosedur yang wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan
(nonviolence) seperti ikut memilih dalam pemilihan umum,
mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka, dan menulis
surat, maupun dengan cara-cara diluar prosedur yang wajar (tak
konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti
demonstrasi (unjuk-rasa) pembangkangan halus (seperti lebih
memilih kotak kosong dari pada memilih calon yang disodorkan
pemerintah), huru-hara, mogok, pembangkangan sipil, serangan
bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan
revolusi.
Berdasarkan beberapa batasan ini, tampaknya kita akan lebih jelas
lagi berbicara konsep partisipasi politik. Hal ini perlu dikemukakan karena
dalam praktik terkadang muncul penggunaan konsep ini yang disamakan
dengan konsep perilaku politik, padahal keduanya memiliki pemahaman
yang berbeda.
Penugasan Praktik 4
Kewarganegaraan
Carilah sumber informasi lain baik dari buku, koran, majalah, internet,
buletin dan sebagainya, kemudian lakukan hal-hal berikut :
Carilah sumber informasi lain baik dari buku, koran, majalah, internet, buletin dan
Rumuskan kembali bagaimana seorang warga negara mampu
sebagainya, kemudian lakukan hal-hal berikut :
mengembangkan partisipasi politik dalam kehidupan bermasyarakat !
Rumuskan kembali bagaimana suatu bangsa secara sosiologis maupun politis dapat
Berikan penjelasan hubungan antara budaya politik masyarakat
terbentuk !
dengan sikap partisipasi warga negara yang ditunjukkan !
Berikan penjelasan hubungan antara adanya manusia dengan terbentuknya bangsa di
Berikan
dalam suatupenjelasan kembali
negara tertentu ! tentang konsep partisipasi politik seperti
yang
Berikandikemukakan olehmengapa
penjelasan kembali Prof. Miriam Budiardjo
unsur konstitutif, !
merupakan unsur mutlak dalam
berdirinya
Berikan suatu negara !
sekurang-kurangnya 2 (dua) contoh persamaan dan
Berikan sekurang-kurangnya 2 (dua) contoh persamaan dan berbedaan antara warga negara
berbedaan antara konsep partisipasi Huntington dan Nelson dengan
dengan bukan warga negara berdasarkan hak dan kewajibannya !
Ramlan Surbakti !
Identifikasikan kembali dalam bentuk apa sajakah batas suatu negara dengan negara lain
Identifikasikan
! kembali dalam bentuk apa sajakah seorang warga 31
negara dapat melakukan partisipasi politik di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara !
3. Praktik Partisipasi Politik
Dalam tataran praktis, partisipasi politik bisa muncul dalam beberapa
bentuk. Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik akan berisikan gaya,
tuntunan, pelaku dan sampai pada tindakan-tindakan yang dilakukan
warga negara dalam konteks politik. Selain itu juga berkanaan
denganjumlah orang yang terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi
politik, tidak harus selalu dilakukan oleh sekelompok orang, tetapi bisa
juga dilakukan oleh hanya satu orang.
Berdasarkan riset-riset tentang partisipasi politik yang dilakukan di
beberapa negara, Huntington dan Nelson menemukan lima bentuk
kegiatan utama yang dipraktikan dalam partisipasi politik. Bentuk-bentuk
ini masing-masing memiliki tindakan dan pelaku yang berbeda, namun
tetap memliki tujuan yang sama, yaitu berkenaan dengan keikutsertaan
warga negara untuk mempengatuhi proses-proses politik. Bentuk-bentuk
itu diantaranya :
a. Kegiatan Pemilihan, mencakup memberikan suara, sumbangan-
sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari
dukunagn bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan
mempengaruhi hasil proses pemilihan.
b. Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin
politik, dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar
orang.
c. Kegiatan Organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau
pejabat dalam suatu organisasi, yang tujuannya yang utama dan
eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d. Mencari Koneksi (contacting), merupakan tindakan perorangan yang
ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah, dan biasanya dengan

32
maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir
orang.
e. Tindakan Kekerasan (violence), ... sebagai upaya untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan
menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta
benda. ... kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik
(kudeta, pembunuhan), mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah (huru-hara, pemberontakan), atau mengubah seluruh
sistem politik (revolusi).
Ditingkat individu, secara lebih spesifik Milbrarth M.L. Goel
mengidentifikasi tujuh bentuk partisipasi politik individual :
N Bentuk
Keterangan
o Partisipasi
1. Aphatetic Tidak beraktifitas yang partisipatif, tidak pernah
Inactuves memilih.
2. Passive Memilih secara reguler/teratur, menghadiri parade
Supporters patriatik, membayar seluruh pajak, “mencintai
negara”.
3. Contact Pejabat penghubung lokal (daerah), propinsi dan
Specialist nasional dalam masalah-masalah tertentu.
4. Communicators Mengikuti informasi-informasi politik, terlibat
dalam diskusi-diskusi, menulis surat pada editor
surat kabar, mengirim pesan-pesan dukungan dan
protes terhadap pemimpin-pemimpin politik.
5. Party and Bekerja untuk partai politik atau kandidat,
campign meyakinkan orang lain tentang bagaimana
workers memilih, menghadiri pertemuan-pertemuan,
menyumbang uang pada partai politik atau
kandidat, bergabung dan mendukung partai
politik, dipilih jadi kandidat partai politik.
6. Community bekerja dengan orang lain berkaitan dengan
activitis masalah-masalah lokal, membentuk kelompok
untuk menangani problem-problem lokal,
keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi
kemasyara-katan, melakukan kontak terhadap
pejabat-pejabat berkenan dengan isu-isu sosial.
7. Protesters Bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi
publik di jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu,
melakukan protes keras bila pemerintah
melakukan sesuatu yang salah, menghadapi
pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi
aturan-aturan.

Dari berbagai aktivitas-aktivitas ini, kita bisa melihat keberagaman


aktivitas dalam partisipasi politik. Dari hal yang paling sederhana hingga
yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang mengedepankan kondisi damai
sampai tindakan-tindakan kekerasan. Namun seluruh aktivitas ini
termasuk dalam kerangka partisipasi politik, setiap tindakan yang

33
berhadapan dengan pembuat dan pelaksana kebijakan, dan partisipan
terlibat untuk mempengaruhi jalannya proses tersebut agar sesuai
kepentingan dan aspirasinya.

4. Tingkatan Partisipasi Politik


Identifikasi bentuk-bentuk kegiatan partisipasi politik, ternyata tidak
cukup untuk menjelaskan bobot dari masing-masing kegiatan tersebut.
Hal ini dibutuhkan guna menjelaskan keterlibatan seseorang atau
sekelompok orang dalam bentuk-bentuk praktik partisipasi politik, bisa
diukur dari segi efektivitasnya. Hal ini berkenaan dengan defenisi inti
seperti yang dikemukakan Huntington dan Nelson, yaitu berkenaan
dengan pengaruh kegiatan partisipasi politik terhadap proses politik yang
dilakukan pemerintah.
Untuk menganalisis tingkat-tingkat partisipasi politik, mereka
mengajukan dua kriteria penjelas. Pertama, dilihat dari ruang lingkup
atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik. Kedua, intensitasnya, atau
ukuran, lamanya, dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem
politik
Hubungan antara dua kriteria ini, cenderung diwujudkan dalam
hubungan “berbanding balik”. Lingkup partisipasi politik yang besar
biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil atau rendah, misal partisipasi
dalam pemilihan umum. Sebaliknya jika lingkup partisipasi politik rendah
atau kecil, maka intensitasnya semakin tinggi. Contoh, kegiatan aktivis-
atktivis partai politik, pejabat partai politik, kelompok-kelompok penekan.
Jadi dalam hal ini, terjadi hubungan, “semakin luas ruang lingkup
partisipasi politik maka semakin rendah atau kecil intensitasnya, dan
sebaliknya semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, maka
intensitasnya semakin tinggi”.

Fokus Kita :
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik
mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya
diadakan perbedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan
intensitasnya. Menurut pengamatan, jumlah orang yang mengikuti
kegiatan yang tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita
waktu dan yang biasanya tidak berdasarkakn prakarsa sendiri, seperti
memberikan suara dalam pemilu, besar sekali. Sebaliknya, kecil sekali
jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri

Perhatikanlah bentuk piramida partisipasi politik berikut ini.

34
Gambar Piramida Partisipasi Politik

Pejabat
Partai
sepenuh
Waktu.
Aktivis Pemimpin
partai/kelomp
ok
kepentingan
Petugas kampanye.
Anggota aktif dari
Partisipa partai/kelompok
n kepentingan dalam proyek-
proyek sosial
Menghadiri rapat umum anggota partai/
kelompok kepentingan, membicarakan
masalah politik, mengikuti
perkembangan politik melalui media
massa, memberikan suara dalam
pemilu
Orang-orang yang apolitis

Berdasarkan piramida partisipasi politik bisa ditemukan kriteria


tingkatan partisipasi politik seperti yang dikemukakan Huntington dan
Nelson, memiliki kesesuaian. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik,
semakin tinggi tingkat intensitasnya, dan semakin kecil luas cakupannya.
Sebaliknya, semakin menuju ke bawah, maka semakin besar lingkup
partisipasi politik, dan semakin kecil intensitasnya. Untuk lebih bisa
memahami, perhatikan penjelasan berikut :

N Tingkatan
Keterangan
o Partisipasi
1. Kategori • Praktik Partisipasi
Pengamat Seperti menghadiri rapat umum, memberikan
suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok
kepentingan, mendiskusikan masalah politik,
perhatian pada perkembangan politik, dan usaha
meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh
kegiatan yang banyak dilakukan oleh warga
negara, artinya proporsi atau lingkup jumlah orang
yang terlibat di dalamnya tinggi.
• Intensitas Partisipasi
Terutama kalau dikaitkan dengan arti pentingnya
bagi sistem politik, praktik-praktik tersebut tingkat
hubungannya rendah, atau tingkat efektivitasnya
dalam mempengaruhi kebijakan yang dibuat
pemerintah, membutuhkan waktu dan sumber

35
daya yang cukup banyak
2. Kategori • Praktik Partisipasi
Aktivis Jumlahnya terbatas, hanya diperuntukkan bagi
sejumlah kecil orang (terutama elite politik), yang
memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses
politik dengan mekanisme dan kekuatan pengaruh
seperti ini. Kegiatan yang dilakukan, bukan saja
ditempuh dengan cara-cara formal-prosedural
atau mengikuti aturan yang ditetapkan. Hal ini
dikarenakan terdapat juga warga negara yang
berupaya mempengaruhi proses politik, dengan
cara-cara non-formal, tidak mengikuti jalur yang
ditetapkan secara hukum, bahkan sampai pada
tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan bisa
berupa pembunuhan, tindakan-tindakan terorisme
nasional dan internasional, dan pembajakan
• Intensitas Partisipasi
Mereka yang memiliki intensitas tinggi dalam
partisipasi politik, adalah para pejabat umum,
pejabat partai penuh waktu, dan pimpinan
kelompok kepentingan. Mereka memiliki akses
yang cukup kuat untuk melakukan hubungan
“pribadi” dengan pejabat-pejabat pemerintah,
sehingga upaya-upaya untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan pemerintah menjadi efektif.
Terutama bagi pejabat umum, secara politis
mereka memiliki peluang yang cukup kuat dalam
mempengaruhi kebijakan publik yang dibuat
pemerintah, bahkan secara individual bisa
mempengaruhi secara langsung.
Kalau dilihat secara objektif, praktik-praktik ini
meskipun ilegal namun memiliki intensitas atau
daya pengaruh yang cukup kuat agar bisa
diperhatikan pemerintah dengan serius, sekaligus
sebagai tekanan agar kebijakan-kebijakan
pemerintah (tertentu) menguntungkan kelompok-
kelompok yang menggunakan cara-cara tersebut.
Ruang lingkup partisipasinya rendah, karena
jumlah orang yang terlibat praktik-praktik ini
terbatas.

Seperti halnya yang dikemukakan Huntington dan Nelson, Rush dan


Althoff menyatakan bahwa hierarki yang terdapat partisipasi politik,
yaitu tergantung dari akibat yang disebabkannya terhadap sistem politik.
Tingkatan-tingkatan khusus menyebabkan akibat besar pada suatu
sistem politik, dan akibat kecil atau tanpa mempunyai akibat apapun
pada sistem lainnya. Tingkatan partisipasi politik ini disampaikan sebagai
berikut :

36
a. Menduduki jabatan politik atau administratif
b. Mencari jabatan politik atau administratif
c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
f. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
g. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
h. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam bidang
politik
i. Voting (pemberian suara)

Tingkatan partisipasi politik ini mencerminkan kapasistas partisipan


dalam berpartisipasi politik. Semakin tinggi tingkatan yang ditempati oleh
seseorang atau sekelompok orang, maka semakin tinggi pula tingkatan
partisipasi politiknya. Namun tidak demikian dengan lingkup partisipasi
politiknya, semakin tinggi malah semakin sedikit, artinya semakin
mengerucut pada jumlah tertentu.
Voting merupakan tingkatan partisipasi politik terendah, yang
membedakan satu tingkat di atas orang yang apatis total, sementara di
atasnya terdapat orang atau sekelompok orang yang sering terlibat
dalam diskusi-diskusi politik informal, yang dalam lingkup atau
proporsinya lebih rendah, namun intensitasnya lebih tinggi. Posisi puncak
diduduki oleh warga negara yang menduduki jabatan politik atau
administratif, mereka terseleksi dengan cukup ketat sehingga jumlahnya
relatif sedikit, namun memiliki posisi yang cukup kuat untuk terlibat lebih
jauh dalam proses-proses politik dan aktivitas-aktivitas tersebut memiliki
akibat yang cukup kuat terhadap sistem politik.
Meskipun terdapat kesamaan dengan apa yang dikemukakan
sebelumnya oleh Huntington dan Nelson, ternyata terdapat beberapa
perbedaan dalam hal tingkat partisipasi politik yang dikemukakan Rush
dan Althoff, adalah sebagai berikut :
Pertama : mereka menegaskan bahwa partisipasi pada suatu tingkatan
yang lebih tinggi, walaupun hal ini berlaku bagi tipe-tipe
partisipasi tertentu. Jadi, warga negara yang berpartisipasi
memiliki kesempatan untuk melakukan “lompatan partisipasi
politik” dari tingkat terendah langsung ke tingkat menengah,
dan langsung ke tingkat tertinggi, tanpa mengikuti prosedur-
prosedur formal yang penuh dengan persyaratan-persyaratan
bagi kenaikan tingkat. Meskipun demikian, tetap terdapat
setidaknya prosedur kenaikan tingkat. Meskipun demikian, tetap
terdapat setidaknya prosedur kenaikan tingkat partisipasi politik,
yang tergantung dari intensitas dan lingkup partisipasinya,
terutama bila aktif dalam organisasi politik dan semu politik.
Misal, SI A pada awalnya hanya terlibat dalam pemilu saja,
namun karena ketertarikannya terhadap dunia politik,
menjadikan SI A terlibat dalam diskusi-diskusi informal tentang
tema politik, yang menyebabkannya bisa berkenalan dengan
pejabat-pejabat partai politik. Hal ini menarik minat SI A untuk
aktif di partai politik, ia kemudian meniti keanggotaannya dari
mulai anggota biasa hingga menduduki posisi strategis dalam

37
partai politik, dan terakhir lembaga legislatif tingkat nasional,
hingga ia duduk di sana.
Kedua : hierarki partisipasi politik dari Rush dan Althoff lebih
menekankan pada partisipasi politik konvensial, meskipun
mencantumkan demonstrasi sebagai salah satu. Lebih mencolok
lagi mereka tidak mengakui tindakan-tindakan menyimpang,
yang justru bisa jadi memiliki dampak yang lebih besar terhadap
sistem politik.
Seluruh tingkatan partisipasi politik ini, secara praktis mungkin sekali
memiliki perbedaan dalam setiap sistem politik, antara yang demokratis
dengan non-demokratis, karena akan memiliki implikasi yang besar pada
pembatasan-pembatasan partisipasi politik rakyat, atau perluasan-
perluasan partisipasi politik. Selain itu meskipun suatu sistem politik
sama-sama demokratis atau sama-sama non-demokratis, bentuk-bentuk
partisipasi politik dan tingkatan-tingkatannya sangat mungkin terdapat
perbedaan.
Selain itu, terdapat pula satu catatan yang perlu dikemukakan
terhadap asumsi hubungan “berbanding terbalik” antara intensitas dan
lingkup partisipasi politik, karena tidak selamanya hubungan ini terjadi
mengikuti pola tersebut. Artinya mungkin saja terjadi hubungan
“berbanding lurus” untuk partisipasi politik tertentu. Sebagai contoh
kasus reformasi politik di Indonesia, intensitas partisipasi politik yang
tinggi berupa tekanan terhadap suprastruktur politik (Presiden) untuk
“turun” dari jabatannya, ternyata efektif dilakukan melalui demonstrasi-
demonstrasi massa-mahasiswa dalam lingkup atau ukuran skala besar,
dan terbukti sangat berpengaruh terhadap proses politik, yang teruji
dengan jatuhnya Rezim Soeharto di Indonesia tanggal 21 Mei 1998. Hal
ini bisa dijelaskan karena adanya “isu politik bersama” yang diyakini oleh
partisipan untuk diperjuangkan, dan menyebabkannya untuk terlibat
dalam partisipasi politik dengan intensitas tinggi. Artinya, lingkup
partisipasi politik yang tinggi, bisa dilakukan juga dalam intensitas tinggi.

Penugasan Praktik 5
Kewarganegaraan
Setelah mempelajari materi-materi tentang : Peran Serta Budaya
Politik Partisipan (Pengertian Partisipasi Politik, Konsep
Partisipasi Politik, Praktik Partisipasi Politik dan Tingkatan
Partisipasi Politik, dilanjutkan Penugasan dengan menjawab
pertanyaan atau pernyataan sebagai berikut :

1. Berikan ulasan pengertian kembali tentang “Politik Partisipan”


sesuai pendapat anda secara umum !
Pendapat anda tentang politik
partisipan ? ............................................................................................
..................................................................................................................
.....................................................

38
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..........................................................................................................

2. Pengertian partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson,


dikatakan merupakan kegaitan warga negara preman (privat citizen)
yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh
pemerintah. Berikan penjelasn singkatnya !
a.Warga negara
preman : .............................................................................................
....................
..............................................................................................................
.................................................
b. Pengambilan kebijakan
: ............................................................................................................
..
..............................................................................................................
.................................................

3. Milbarth M.L. Goel mengidentifikasi ada sebanyak 7 (tujuh)


bentuk partisipasi politik individual, diantaranya adalah aphatetic
inactuves, passive supporters, community activitis, dan lain-lain. Beri
penjelasan singkat pada kolom di bawah ini!
Passive Supporters Community Activitis
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................
........................................................ .....................................................
...................... .........................

4. Berikan tanggapan penjelasan, mengapa sebagai warga negara


dirasakan penting untuk memahami “partisipasi politik” dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara!
..................................................................................................................
.....................................................
..................................................................................................................
.....................................................
..................................................................................................................
.....................................................

5. Tuliskan perbedaan dan persamaan mendasar antara tingkatan


partisipasi “aktivis” dengan “pengamat” berkaitan dengan aktivitas
partisipasi politik di masyarakat di bawah ini !
Persamaan Perbedaan
........................................................ .......................................................
39
Kehidupan politik, merupakan bagian
..................... dari keseharian dalam
.........................
interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-
........................................................
institusi di luar pemerintah (non-formal), .......................................................
telah menghasilkan dan
..................... .........................
membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang
praktik-praktik perilaku politik dalam
........................................................
KESIMPULAN semua sistem politik.
.......................................................
F
.....................
Pengertian budaya politik dalam .........................
pengertian umum, merupakan
aspek politik dari nilai-nilai yang.......................................................
........................................................ terdiri atas pengetahuan, adat
istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya
..................... dikenal dan diakui oleh
.........................
sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan
rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
Ada dua manfaat dengan kita memahami pengertian budaya politik,
yakni a) Sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik yang
berpengaruh terhadap tuntutan-tuntutan, dan orientasinya terhadap
sistem politik itu; dan b) memahami hubungan antara budaya politik
dengan sistem politik atau faktor-faktor penyebab terjadinya
pergeseran politik.
Bahwa budaya politik pada umumnya mengandung tiga komponen
obyek politik yaitu mencakup Orientasi kognitif (yaitu berupa
pengetahuan dan kepercayaan pada politik), Orientasi afektif ( yaitu
perasaan terhadap sistem politik), dan Orientasi evaluatif (yaitu
keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik).
Menurut Gabriel Almond, budaya politik dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : a) Budaya politik parokial dengan tingkat partisipasi
politik sangat rendah, b) Budaya politik kaula yaitu masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif, dan c)
Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan
kesadaran politik sangat tinggi.
Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan
rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara
kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik
yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Dalam Proses Sosialisasi Politik, metode yang kerap digunakan dapat
berupa pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik
melalui suatu proses dialog sehingga masyarakat mengenal nilai,
norma, dan simbol politik. Sedangkan proses Indoktrinasi Politik ialah
proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi
warga masyarakat untuk menerima nilai-nilai, norma, dan simbol yang
dianggap oleh pihak yang berkuasa ideal dan baik.
Robert Le Vine berpendapat bahwa sosialisasi politik di negara-
negara berkembang cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada
sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan
sistem-sistem politik nasional. Namun, masalah terberat yang
dihadapi oleh negara berkembang adalah adanya berbagai macam
kelompok dan tradisi di negara itu.
Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya
politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam
masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan
satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik40
(partisipan).
Pada dasarnya bahwa seluruh tingkatan partisipasi politik secara
dengan non-demokratis, karena akan memiliki implikasi yang besar
pada pembatasan-pembatasan partisipasi politik rakyat, atau
perluasan-perluasan partisipasi politik. Selain itu meskipun suatu
sistem politik sama-sama demokratis atau sama-sama non-
demokratis, bentuk-bentuk partisipasi politik dan tingkatan-
tingkatannya
LATIHAN sangat mungkin terdapat perbedaan.
UJI KOMPETENSI

A. Pilihan Ganda
Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling benar !

1. Budaya politik merupakan pengetahuan tentang


sistem kepercayaan empirik, kepercayaan pada politik,
dan nilai-nilai yang peranan dan segala
menegaskan situasi dari kewajibannya, disebut
tindakan politik yang dilakukan, komponen yang berorientasi ....
Pernyataan tersebut a. kognitif
dikemukakan oleh ... b. afektif
a. Almond dan Powell c. kinestika
b. Alan R. Ball d. evaluatif
c. Austin Ranney e. psikomotorik
d. Rusandi Sumintapura
6. Fungsi integrasi yang
e. Sidney Verba
dijalankan oleh sistem politik
2. Tokoh yang berpendapat bahwa menurut Almond, adalah dalam
kebuda-yaan Indonesia rangka … .
cenderung membagi secara a. penyesuaian terhadap
tajam antara kelompok elite lingkungan
dengan kelompok masa, b. mencapai kesatuan dalam
adalah .... masyarakat
a. R. O’G Anderson c. mencapai kemasyuran
b. Almond dan Verba masyarakat
c. Austin Ranney d. mencapai masyarakat adil
d. Miriam Budiardjo makmur
e. G. Bingham Powell, Jr. e. menciptakan pemerintahan
3. Budaya Politik, dimana orang- yang kuat
orang yang sama sekali tidak 7. Suatu aktivitas
menyadari adanya seseorang atau sekelompok
pemerintahan dan politik orang untuk secara aktif dalam
dinamakan ..... kehidupan politik dinamakan
a. budaya politik subjek ….
b. budaya politik partisipan a. sistem politik
c. budaya politik parokial b. partisipasi politik
d. budaya poltik demokratis c. dinamika politik
e. budaya poltik otoriter d. sosialisasi politik
e. komunikasi politik
4. Berikut ini adalah unsur-unsur
umum yang termasuk dalam 8. Di bawah ini
kriteria budaya politik, kecuali .… merupakan penyebab
a. pengetahuan timbulnya gerakan ke arah
b. mitos partisipasi dalam proses
c. adat istiadat politik, kecuali … .
d. tahayul a. modernisasi dalam bidang
e. mata pencaharian kehidupan
b. perubahan struktur kelas
5. Komponen obyek
sosial
politik yang berupa

41
c. pengaruh kaum intektual dan c. demokratis pasca industrial
modern d. sistem diktator
d. konflik antar pemimpin e. demokratik industrial
politik 10. Di negara demokratik
e. dinamika masyarakat pada umumnya proses
pluralisme pengambilan keputusan di
9. Pada model-model dominasi oleh orang-orang …
kebudayaan politik, yang di a. opportunity
dalamnya aktivis politik untuk b. pejabat publik
berkompetisi adalah pada c. establishment
model d. infra struktur
a. sistem otoriter e. supra stuktur
b. demokratis pra industrial

B. Uraian
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat
dan jelas !
1. Berikan tanggapan penjelasan yang dimaksud budaya politik dan
mengapa budaya politik antara suatu negara dengan negara lain memiliki
perbedaan !
2. Tuliskan, apa sajakah unsur-unsur budaya politik yang menonjol dalam
sistem politik di Indonesia !
3. Jelaskan, bagaimana pengaruh birokrasi terhadap suatu budaya politik di
Indonesia !
4. Jelaskan 4 (empat) tahapan dalam sosialisai politik yang dilakukan
seorang anak menurut Easton dan Dennis !
5. Jelaskan perbedaan budaya politik partisipan dengan budaya politik
toleransi, berikan contoh dari perbedaan tersebut !
6. Jelaskan dengan memberi alasan bagaimana metode yang kerap
diterapkan dalam sosialisasi politik di negara-negara berkembang pada
umumnya !
7. Jelaskan bagaimanakah penggolongan budaya politik ditinjau dari sikap,
nilai-nilai, informasi, dan orientasi-orientasi warga negara terhadap
kehidupan politik dan pemerintahannya !
8. Menurut Anda bagaimanakah hubungan sistem politik dengan Budaya
Politik di suatu negara, khususnya di Indonesia ?
9. Jelaskan bagaimana pandangan Hyman tentang hubungan antara
sosialisasi politik dengan komunikasi politik !
10. Jelaskan dengan memberi alasan, mengapa jika pernyataan umum
dari salah satu pimpinan partai politik/tokoh masyarakat yang bernada
militan, dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik dalam
suatu masyarakat luas !

42
C. Studi Kasus

Sentimen Primordial

Salah satu masalah yang seringkali muncul dalam proses pemilihan


kepala daerah adalah menguatnya sentimen primordial yang lebih
terikat pada persamaan etnis, aliran, ikatan darah dan berbagai bentuk
sifat kedaerahan lainnya. Munculnya masalah ini lebih disebabkan
karena karakter masyarakat yang ada di daerah juga berbeda-beda,
yang ternyata dapat mempengaruhi preferensi (pilihan) politik
masyarakat untuk menentukan kepemimpinan daerah. Beberapa
variabel seperti latar belakang etnis, status sosial ekonomi, dan agama,
dapat menciptakan suatu polarisasi pilihan politik rakyat menjadi
apakah itu sifatnya rasional ataukah emosional.

Sumber : Andi Haris ; Dosen Sosiologi Politik Unhas


http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=2103

Tagihan Tugas :
1. Setelah disimak dan baca baik-baik, jelaskan kembali apa telah ditulis
sesuai dengan persepsi yang ada dibenak anda !
2. Berikan beberapa penjelasan indikasi tentang munculnya “sentimen
primordial” dalam banyak pemilihan kepala daerah !
3. Jelaskan dengan memberi alasan, mengapa sentimen primordial dapat
berpengaruh kuat terhadap preferensi (pilihan) politik rakyat !
4. Tentukan langkah-langkah nyata dalam upaya mengurangi sentimen
primordial guna membangun sistem politik yang sehat di Indonesia !
5. Berikan usulan konkrit, apa yang harus anda lakukan guna
meningkatkan partisipasi politik warga masyarakat :
a. Sebagai ketua organisasi pemuda !
b. Sebagai ketua suatu partai politik !
c. Sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah !

D.Inquiri (Tugas Kelompok)


Carilah referensi dari berbagai sumber untuk mengkaji ulang tentang
rumusan dan penerapan sistem politik demokrasi Pancasila (berikut
gambar-gambar pendukungnya) yang berkaitan dengan tata cara
pengambilan keputusan !

43
1. Pahami kembali tentang rumusan “Sosialisasi Politik”, dan buatlah
skenario (simulasi atau role play) wujud implementasinya di sekolah
dan masyarakat !
2. Carilah topik-topik dari berbagai sumber (mass media cetak atau
elektronik) sekitar pelaksanaan sosialisasi politik (teknis pelaksanaan),
3. Kemudian lakukan demonstrasi dalam bentuk simulasi atau role
play di dalam kelas !

44

You might also like