You are on page 1of 42

Penjabaran Pasal-Pasal Tertentu

UU No. 31 Tahun 1999,


Sebagaimana Diubah Dengan
UU No. 20 Tahun 2001,
Tentang Pemberantasan TPK

Tim PKn-Pak

Kementerian Pendidikan Nasional


Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Kegiatan Pembinaan Pendidikan
Kewarganegaraan dan Kepribadian 2010

1
PENGANTAR :
Pasal-pasal menyangkut penyuapan dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya sama
atau mengambil alih pasal-pasal dalam Bab VIII KUHP tentang Kejahatan Terhadap
Penguasa Umum yaitu pasal 209 Pasal 210 KUHP, dan Bab XXVIII tentang
kejahatan jabatan yaitu asal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 dan
pasal 435 KUHP.
Menurut pasal 1 ayat (1) c Undang-undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidanan Korupsi, dipidana karena tindak pidana korupsi ialah barang siapa
melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
Pasal 1 ayat (1) d ; barang siapa memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu.
Pasal 1 ayat (1) e, barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti
yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau
janji tersebut kepada yang berwajib.

Undang-undang no. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


mengatur pasal penyuapan pada Pasal 5 mengambil alih pasal 209 KUHP, pasal 6
mengambil alih pasal 210 KUHP, pasal 7 mengambil alih pasal 387, 388 KUHP, pasal 8
mengambil alih pasal 415 KUHP, pasal 9 mengambil alih pasal 416 KUHP, pasal 10
mengambil alih pasal 417 KUHP, pasal 11 mengambil alih pasal 418 KUHP,

2
pasal 12 mengambil alih pasal 419, 420, 423, 425, 435, KUHP, pasal 13 sama dengan
pasl 1 ayat (1) d UU No. 3 tahun 1971.

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31


Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur pasal penyuapan
pada pasal 5 yang unsur deliknya sama dengan pasal 209 KUHP, pasal 6 unsur deliknya
sama dengan pasal 210 KUHP, pasal 7 ayat (1) a dan b, unsur deliknya sama dengan
pasal 387 (1) dan (2) KUHP, pasal 7 ayat (1) c dan d unsur deliknya sama dengan pasal
388 ayat (1) dan (2) KUHP. Pasal 8 unsur deliknya sama dengan pasal 415 KUHP, pasal
9 unsur deliknya sama dengan pasal 416 KUHP, pasal 10 unsur deliknya sama dengan
417 KUHP, pasal 11 unsur deliknya sama dengan pasal 418 KUHP, pasal 12 .a dan b
unsur deliknya sama dengan pasal 419 ke 1 dan 2 KUHP, pasal 12 c dan d unsur
deliknya sama dengan pasal 420 ayat (1) ke 1 dan 2 KUHP, pasal 12 e unsur deliknya
sama dengan pasal 423 KUHP, pasal 12 f, g dan h unsur deliknya sama dengan pasal
425 ke 1, 2 dan 3 KUHP, pasal 12 I unsur deliknya sama dengan pasal 435 KUHP, pasal
12 B dan pasal 12C unsur deliknya kurang lebih sama dengan pasal 1 ayat (1) e UU No.
3 tahun 1971.

Undang – undang no. 11 tahun 1980 mengatur tindak pidana suap diluar KUHP dan UU
No. 3 Tahun 1971 yang unsur deliknya memperluas unsur delik pasal 209 dan pasal 419
KUHP, dimana subyek deliknya meliputi orang atau pejabat swasta yang berbuat atau
meng-alpakan sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum dan unsur kesalahan meliputi Opzet dan Culpa

3
PEMBAHASAN

Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999

Unsur-Unsurnya :

a. Setiap orang
b. Secara melawan hukum
c. Melakukan perbuatan
d. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
e. Yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara

4
a. Unsur “Setiap Orang “ meliputi :
1. Perseorangan
2. Korporasi
1. Perseorangan, meliputi :
- Pegawai Negeri, (Pasal 1)
a. Pasal 92 KUHP
b. UU No.30 Tahun 1999, jo UU No.20 Tahun 2001
c. UU No.28 Tahun 1999
d. Pasal 1 (2) UU No.31 Tahun 1999
- TNI / POLRI
- Swasta
Pasal 1 (3) UU No.31 Tahun 1999

2. Korporasi, ialah :
Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1)

5
Permasalahan yang sering timbul :
Dalam hal terjadi delik penyertaan (deelneming)
harus diperhatikan bentuk deelneming yang terjadi :
Medeplegen
- Antara sesama peserta ada kesadaran bekerja sama, dan ada kerjasama secara fisik
- Peran dan kualitas antar peserta bisa sama dan bisa tidak sama
- Dalam hal “turut serta melakukan” disyaratkan bahwa setiap pelaku
mempunyai opzet dan pengetahuan yang ditentukan, untuk dapat
menyatakan telah bersalah turut serta melakukan haruslah diselidiki dan
terbukti bahwa tiap-tiap peserta itu mempunyai pengetahuan dan
keinginan untuk melakukan kejahatan itu (H.R. 9 Juni 1925)
- Dalam perkara korupsi harus diperhatikan jabatan/kedudukan para
peserta guna menentukan kapan berkas perkara harus displit dan
kapan tidak
Doenplegen
- Tidak ada kesadaran bekerja sama, dan bisa tidak ada kerja sama
secara fisik
- Yang menyuruh melakukan dipertanggung jawabkan, yang melakukan
tidak dipertanggung jawabkan
- Berkas perkara dan surat dakwaan satu
Uitlokking
- Ada kesadaran bekerja sama, tapi tidak ada kerja sama secara fisik
- Harus menggunakan sarana tersebut secara limitatif pada pasal 55 (1)
ke 2 KUHP
- Berkas perkara harus displit, sehingga antar sesama peserta dapat
saling menyaksikan
Medeplichtig
- Tidak ada kesadaran bekerja sama, tapi bisa ada kerja sama secara fisik
- Kesempatan, sarana atau keterangan itu diberikan pada si pelaku telah
terdapat maksud untuk melakukan kejahatan (H.R.6 Maret 1939 no. 897) 6
- Berkas perkara antara pelaku dan pembantu displit
b. Unsur “Melawan Hukum”
Melawan Hukum, dapat berarti :
- Bertentangan dengan hukum
- Bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subyektif seseorang
- Tanpa hak atau tidak berwenang

Jadi sifat melawan hukum meliputi :


- Melawan hukum dalam arti formil, dan
- Melawan hukum dalam arti materiil

Sifat melawan hukum dalam perkara korupsi meliputi melawan hukum, dalam arti formil maupun materiil,
dimaksudkan agar lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum yaitu
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” daripada memenuhi ketentuan-ketentuan untuk
membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan/pelanggaran seperti disyaratkan oleh UU No. 24 Prp. Tahun 1960.
(Penjelasan Umum UU. NO. 3 tahun 1971)

Agar dapat menjangkau beberapa modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara
yang semakin canggih dan rumit maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian
rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi secara
“melawan hukum dalam pengertian formal dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum
dalam tindak pidana korupsi berarti dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana (Penjelasan Umum UU. No. 31 Tahun 1999)

Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini ? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti ajaran materiil.
Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran
bahwa hukum adalah undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya hampir semua hukum Indonesia
asli adalah hukum yang tidak tertulis (Prof. Moeljatno, SH, Azas-azas Hukum Pidana)

7
Melawan Hukum Dalam Arti Formil :
Kalau perbuatan telah mencocoki semua unsur delik

Melawan Hukum Dalam Arti Materiil :


Kalau perbuatan oleh masyarakat dirasakan tidak patut, tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut.
a. Melawan Hukum Dalam Arti Materiil Dengan Fungsi Negatif.
1. Putusan MA RI tanggal 8 Januari 1965 No.42 K/Kr/1965 ; Terdakwa Machroes Effendi
“ Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam per Undang-Undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan dan asas-asas hukum
tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan
umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung “

2. Putusan MA RI tanggal 23 Juli 1973, No.43K/Kr/1973, Terdakwa I Gde Sudana.


“ Pengadilan Tinggi : Permintaan uang jasa honorarium o;eh seorang dokter hewan dari exportir hewan tidak
merupakan pemerasan dalam jabatan dari Pasal 423 KUHP maupun tindak pidana korupsi, karena dilakukan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kedinasannya sehingga menghilangkan unsur sifat melawan hukum “
MARI : Kebiasaan memungut uang honorarium, selain sudah merupakan kebiasaan yang diterima oleh
masyarakat, juga tidak bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1961

b. Melawan Hukum Dalam Arti Materiil Dengan Fungsi Positif.


1. Putusan MA RI tanggal 15 Desember 1983, No.275K/Kr/1983 ; Terdakwa R.S.Natalegawa.
a. Penafsiran terhadap sebutan “ melawan hukum “ tidak tepat jika hal itu hanya dihubungkan
dengan policy perkreditan Direksi yang menurut pengadilan neger i tidak melanggar
peraturan hukum yang ada sangsi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang
sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur
berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas
yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

8
b. Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara- perkara tindak pidana
korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya
dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau
wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan
melawan hukum” karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela
atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.

2. Putusan MARI No.1974K/Pid/2006 ; Terdakwa Prof.Dr.Rusandi K.


Putusan MARI No.103K/Pid/2007 ; Terdakwa Theo F. Toemion

“Mengenyampingkan Putusan M.K. Tanggal 25 Juli 2006, Tentang Perbuatan Melawan Hukum Materiil
(menururt Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 ; dengan pertimbangan :
1. Berdasarkan doctrine ‘ Sens – Clair “
2. Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat dengan
pendapat doktrin dan yurisprudensi.

Unsur “ melawan hukum “ tidak menjadikan suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan hanya merupakan
sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu
korporasi.

9
C. Unsur “Melakukan Perbuatan”
Selama ini unsur “melakukan perbuatan” memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dianggap hanya satu unsur saja, sehingga yang dibuktikan hanya unsur memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tanpa membuktikan apakah memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan atau dikehendaki.

Unsur “melakukan perbuatan” sama maknanya dengan unsur “dengan maksud” pada Pasal 362
KUHP, yang artinya dikehendaki atau sengaja, yang merupakan unsur subyektif pada pasal 2
UU No. 31 tahun 1999 ini.

Membuktikan unsur “melakukan perbuatan” dengan menggunakan teori kesengajaan, yaitu :


- Wilstheorie
- Voorstellingtheorie

Bagian inti suatu delik meliputi unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif meliputi unsur
“ Kesalahan “ yang terdiri dari :
- Sengaja / Opzet, dan
- Lalai / Culpa

Tidak ada pidana tanpa kesalahan

10
d. Unsur “Memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi
Pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi harus dikaitkan dengan Pasal 37 ayat (3)
dan (4) UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001 :

- Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta


bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan.

- Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan, yang


tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi

- Pasal ini merupakan alat bukti “petunjuk” dalam perkara korupsi

Setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi : (Pasal 38B ayat (1) UU No.
20 tahun 2001)

Dalam hal terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi. Merupakan beban pembuktian
terbalik. (Pasal 38B ayat (2) UU no. 20 tahun 2001.

Unsur memperkaya diri sendiri telah terbukti.


11
e. Unsur “Dapat Merugikan Keuangan
Negara atau Perekonomian Negara”
Berbeda dengan unsur Pasal 1 ayat (1)a UU No. 3 tahun 1971 yang merupakan delik materiil, maka Pasal
2 UU No. 31 tahun 1999 ini merupakan delik formil. Dengan diubah menjadi delik formil maka
pengembalian hasil korupsi kepada negara tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana terdakwa
karena tindak pidana telah selesai. (Pasal 4 UU ini)

Pengertian keuangan negara dan perekonomian negara tidak dapat ditafsirkan lain selain yang telah
dirumuskan pada penjelasan umum UU No. 31 tahun 1999, yaitu :

- Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara


dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
- Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.

- Pengelolaan keuangan BUMN dikelola berdasarkan UU No. 19 tahun 2004, akan tetapi
pertanggungjawaban pidana mengacu pada UU no. 31 tahun 1999.

12
f. Fatwa MARI Tgl. 16 Agustus 2006
No.WKMA/Yud/20/VIII/2006

1. Dasar pertimbangannya adalah Pasal 4 ayat (1) UU No, 19 Tahun2003 Tentang BUMN,
Modal BUMN merupakan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Penjelasannya…….untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan
pada sistem APBN,……..

2. Fatwa MARI tersebut didasarkan atas permintaan Menteri Keuangan menyangkut tata cara
penghapusan piutang negara / daerah ( PP No.14 Tahun 2005)

3. Fatwa MA hanya mengikat sesuai dengan apa yang diminta, jadi hanya berlaku mengenai
tata cara penghapusan piutang negara / daerah.

13
Pasal 2 UU ini pada dasarnya sama dengan Pasal 1 ayat (1)a UU No. 3
tahun 1971; Perbedaan terletak pada subyek delik Pasal 2 diperluas
dan Unsur “dapat” merugikan keuangan negara pada Pasal 2
merupakan delik formil sementara pada Pasal 1 ayat (1)a merupakan
delik materiil.

Yang menjadi permasalahan apakah dengan berubahnya Pasal 2


menjadi delik formil sehingga adanya kerugian negara tidak harus
dibuktikan. Bukankah kata “dapat” pada pasal ini sama dengan kata
“berpotensi”, seperti halnya pada Pasal 263 KUHP. (Perlu didiskusikan
lebih lanjut)

Tetap harus dibuktikan karena merupakan unsur tersendiri.

14
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
Unsur-Unsurnya :
a. Setiap orang
b. Dengan tujuan
c. Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi
d. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan
e. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara

15
a. Unsur “Setiap Orang”
Pada dasarnya sama dengan unsur “setiap orang” pada Pasal 2 di
atas
Yang perlu diperhatikan kalau terjadi delik penyertaan, antara pejabat
dan bukan pejabat, antara yang punya kewenangan dan yang tidak
punya kewenangan.
Pastikan kapan perkara displit dan kapan tidak dalam hal terjadi delik
penyertaan.

16
b. Unsur “Dengan Tujuan”
Unsur ini juga sama dengan unsur “melakukan perbuatan” pada
Pasal 2 di atas, sehingga penyidik maupun penuntut umum harus
bisa membuktikan adanya unsur sengaja untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan
kewenangan.
Dengan tujuan dimaksudkan sama dengan “dengan maksud”
artinya sengaja.
Setiap unsur yang ada sesudah unsur sengaja diliputi oleh unsur
sengaja tersebut, artinya unsur menguntungkan diri sendiri, unsur
menyalahgunakan kewenangan dan unsur dapat merugikan
keuangan negara, semuanya diliputi dengan sengaja dan
karenanya harus dibuktikan adanya kesengajaan untuk itu.

17
c. Unsur “Menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau
suatu korporasi”
Unsur itupun pada dasarnya sama dengan unsur “memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” pada Pasal 2
di atas.

Jadi untuk membuktikan unsur ini hendaknya dihubungkan


dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU No. 31 tahun 1999 dan
Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001.

Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu


korporasi tidak selalu dalam bentuk uang akan tetapi dapat
meliputi pemberian, hadiah, fasilitas, dan kenikmatan lainnya.

18
d. Unsur “ Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan”
Unsur ini merupakan unsur melawan hukum dalam arti sempit atau khusus.
Unsur ini merupakan unsur alternatif dari 6 (enam) kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu :
1. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan
2. Menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan
3. Menyalahgunakan kesempatan karena jabatan
4. Menyalahgunakan kesempatan karena kedudukan
5. Menyalahgunakan sarana karena jabatan, atau
6. Menyalahgunakan sarana karena kedudukan

Dalam praktik hampir tidak pernah kita jumpai pilihan salah satu dari enam pilihan unsur
yang tepat berdasarkan fakta yang ada, baik dalam berkas perkara hasil penyidikan, surat
dakwaan, surat tuntutan bahkan dalam pertimbangan putusan pengadilan sekalipun.
Hal ini disebabkan karena sulitnya membedakan antara kewenangan dan kesempatan,
demikian juga antara jabatan dan kedudukan.

Putusan MARI Tanggal 17-02-1992 No. 1340K/Pid/1992, memperluas pengertian Unsur


Pasal 1 ayat (1).b UU No.3 Tahun 1971, dengan cara mengambil alih pengertian “
menyalahgunakan kewenangan “

19
Yang ada Pasal 53 ayat (2) b UU No. 5 Tahun 1986 sehingga unsur “ menyalahgunakan
kewenangan “ mempunyai arti yang sama dengan pengertian perbuatan melawan hukum
Tata Usaha Negara yaitu, bahwa pejabat telah menggunakan kewenangannya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu.

Doktrin : menurut JEAN REVERO dan JEAN WALIME

Pemyalahgunaan kewenangan dalam hukum Administrasi diartikan dalam tiga wujud,


yaitu :
a. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau menguntungkan kepentingan pribadi,
kelompok atau golongan.

b. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut


adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain.

c. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang


seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tapi telah menggunakan
prosedur lain agar terlaksana.

(Dr.H.Parman Soeparman, SH,Tuada Pidana Mahkamah Agung RI)

20
e. Unsur “ Dapat Merugikan Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara ”

Unsur ini juga merupakan unsur alternatif dari 2 (dua) pilihan kemungkinan
yang bisa terjadi.
Penjelasan mengenai unsur ini sama dengan penjelasan unsur yang sama
pada Pasal 2 di atas.

21
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999
Unsur-unsurnya :
a. Setiap Orang
b. Melakukan tindak pidana Pasal 209 KUHP

Pasal 209 ayat (1) ke 1 KUHP


Unsur-Unsurnya :
1. Barang Siapa
2. Memberikan hadiah atau janji
3. Kepada Pegawai Negeri
4. Dengan Maksud
5. Untuk menggerakkannya melakukan sesuatu atau meng-alpakan sesuatu
6. Dalam Tugasnya
7. Bertentangan Dengan Kewajibannya

Pasal 209 ayat (2) ke 2


Unsur-Unsurnya :
1. Barang Siapa
2. Memberikan hadiah atau janji
3. Kepada Pegawai Negeri
4. Karena Telah Berbuat Sesuatu atau Menga-lpakan sesuatu
5. Dalam Jabatannya
6. Bertentangan Dengan Kewajibannya

22
Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) a

Unsur-Unsurnya :

1. Setiap Orang
2. Memberikan atau menjanjikan sesuatu
3. Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
4. Dengan Maksud
5. Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu dalam Jabatannya
6. Yang Bertentangan Dengan Kewajibannya

Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) b


Unsur-Unsurnya :

1. Setiap Orang
2. Memberikan sesuatu
3. Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
4. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban
5. Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

23
Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (2)

Unsur-Unsurnya :
1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
2. Yang Menerima Pemberian atau Janji
3. Dimaksud Dalam Ayat (1) huruf a atau b

24
1. Unsur “Setiap Orang”
- Unsur barang siapa pada Pasal 209 KUHP hendaknya dibaca atau diartikan “ Setiap
Orang” sebagaimana subyek delik pada Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999.
2. Unsur “Memberi Hadiah atau Janji”
- Memberi Hadiah meliputi setiap penyerahan dari sesuatu yang bagi orang lain
mempunyai nilai (H.R. 25 April 1916)
- Pasal ini dapat juga diberlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima atau ditolak (H.R.
24 Nopember 1890)
- Menawarkan sejumlah uang bukan berarti memberi hadiah akan tetapi memberikan
suatu janji yang orang akan bersedia memenuhi apabila tawaran itu diterima
- Janji dapat berupa pemberitahuan bahwa seorang ketiga akan memberikan pembayaran
atau akan mengusahakan sesuatu keuntungan (H.R. 21 Oktober 1918)
- Ayat (1) dan (2) dapat diberlakukan jika pemberian itu didasarkan pada janji yang
telah diberikan sebelumnya (H.R. 24 Pebruari 1919)
3. Unsur “Kepada Pegawai Negeri”
- Pengertian Pegawai Negeri pada Pasal 209 ayat (1) dan (2) harus diartikan pengertian
pegawai negeri pada Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999
4. Unsur “Dengan Maksud”
- Unsur dengan maksud sama dengan unsur subyektif pada Pasal 362 KUHP dan
unsur “dengan tujuan” pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang artinya sengaja.
- Jadi harus dibuktikan bahwa maksud atau tujuan orang itu memberikan hadiah atau janji
sengaja agar pegawai negeri itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya. Jadi ia harus mengetahui bahwa dengan memenuhi
keinginannya, pegawai negeri itu telah tidak memenuhi kewajibannya. Unsur ayat
(2). (H.R. 13 Nopember 1893)

25
5. Unsur “Menggerakannya melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu”
- Unsur ini merupakan unsur alternatif :
- Delik Commissi, atau
- Delik Ommissi/Nalaten
- Pihak yang memberikan hadiah atau janji bisa merupakan :
- Uitlokker = penganjur atau sebagai
- Doenpleger / manus domina = menyuruh melakukan
- Tidak perlu dipersoalkan apakah maksud / kehendak si pemberi hadiah atau janji tercapai, tetapi sudah
cukup dengan pemberiannya bermaksud memperoleh pelayanan
yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri tersebut. (delik formil)

6. Unsur “Dalam Tugasnya”


- Dengan unsur “dalam tugasnya” tidaklah disyaratkan bahwa pegawai negeri tersebut mempunyai wewenang untuk
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dari dirinya, akan tetapi semata-mata karena jabatannya
memberikan kemungkinan untuk dapat melakukan perbuatan tersebut. (H.R.26 Juni 1916 ; W.9990 ; dan 2 Juni 1909
; W.8890)
- Lagipula pemberian itu tidak perlu dilakukan ketika pegawai negeri tersebut sedang melakukan tugasnya, melainkan
dapat juga diberikan di rumah sebagai kenalan.
(MARI, 22 Juni 1956, No. 145 K/Kr/1955)

7. Unsur “Pertentangan dengan Kewajibannya”


- Maksud si pemberi hadiah atau janji agar supaya pegawai negeri melakukan atau meng-abaikan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri tersebut.
- Kewajiban tidak selalu berarti kewenangan, akan tetapi bisa berarti penugasan.

26
Perbedaan Pasal 209 ayat (1) ke 1 dan ke 2 terletak
pada unsur ke 5 pada ayat (1) ke 1 dan unsur ke 4
pada ayat (1) ke 2.

Kalau ayat (1) ke 1, pemberian atau janji dilakukan sebelum pegawai negeri
melakukan sesuatu, jadi pemberian/janji merupakan sarana untuk menggerakkan.

Sedang ayat (1) ke 2, pemberian diberikan karena pegawai negeri tersebut telah
melakukan sesuatu yang diminta/ dikehendaki sebelumnya. (balas jasa)

27
Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001

Unsur dan pengertian unsur pada Pasal 209 ayat (1) ke 1 dan ke 2 KUHP pada dasarnya
sama dengan unsur Pasal 5 ayat (1) a dan b UU No. 20 Tahun 2001
Perbedaan terletak pada subyek delik pada unsur ke 3 masing-masing pasal tersebut, yaitu
pada Pasal 5 ditambahkan “Penyelenggara Negara”
Menurut UU No. 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara, meliputi:
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dan
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(Bandingkan pengertian pegawai negeri pada Pasal 92 KUHP, Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999)

28
Pasal 5 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001
Apa yang dimaksud dengan “sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b”,
sangat sulit dimengerti sementara penjelasan ayat ini hanya menjelaskan apa yang dimaksud
dengan “penyelenggara negara”
Apabila unsur ini maksudnya bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara mengetahui
bahwa pemberian atau janji yang diterima itu dimaksudkan agar supaya ia berbuat atau
mengalpakan sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya, maka akan
tumpang tindih dengan Pasal 12 huruf a atau b
Apabila unsur ini maksudnya bahwa pemberian atau janji yang diterimanya ada hubungan
dengan kewajiban dalam jabatannya, maka Pasal ini akan tumpang tindih dengan Pasal 11
Undang-undang ini, yang ancaman pidananya sama dengan Pasal 5 ayat (2)
Ataukah harus diartikan “gratifikasi” pada Pasal 12B undang-undang ini, yang mensyaratkan
adanya unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya,” yang ancaman pidananya juga berbeda.
Bahwa Pasal 5 ayat (1) a atau b yang ditunjuk Pasal 5 ayat (2) adalah sama dengan unsur-
unsur Pasal 209 KUHP yang merupakan unsur Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999.

Bahwa Pasal 209 KUHP pasangannya adalah Pasal 419 KUHP, sementara unsur-unsur Pasal
419 KUHP sama dengan Pasal 12 huruf a dan b, sehingga dapat diartikan bahwa Pasal 5 ayat
(2) sama dengan Pasal 12 huruf a dan b, yang ancaman pidananya sangat jauh berbeda.

Bahwa oleh itu Pasal 5 ayat (2) tidak diterapkan

29
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999

Unsur-unsurnya :
1. Setiap Orang
2. Melakukan tindak pidana Pasal 418 KUHP

Pasal 418 KUHP


Unsur-unsurnya :
1. Pegawai negeri
2. Menerima pemberian atau janji
3. Yang diketahui atau Patut harus diduganya
4. Pemberian atau janji ada hubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki karena jabatannya atau menurut anggapan orang yang memberikan
pemberian atau janji ada hubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki karena jabatannya

30
Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001

Unsur-unsurnya :
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2. Menerima hadiah atau janji
3. Diketahui atau patut diduga
4. Hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya

31
1. Unsur “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara”
- Perumusan delik Pasal 418 KUHP yang ditunjuk oleh Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999, pada dasarnya
perumusan dan unsur deliknya sama dengan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001. Perbedaannya terletak pada subyek
deliknya.

2. Unsur “Menerima Pemberian atau Janji”


- Yang dimaksud dengan “pemberian” tidak harus dalam bentuk uang akan tetapi yang penting mempunyai nilai.
- Pemberian atau janji harus diterima, kalau ditolak atau tidak diterima maka yang memberikan yang dapat
dipidana menurut Pasal 5 ayat (1) apabila maksudnya supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau mengabaikan sesuatu dalam jabatannya bertentangan dengan kewajibannya.
- Orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara menurut
KUHP, tidak dipidana.
- Lain halnya menurut Pasal 1 (1) d UU No. 3 Tahun 1971 : Orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukannya itu.

3. Unsur “Diketahui atau Patut diduga”


- Unsur ini merupakan unsur sengaja yang harus dibuktikan.
- Tersangka atau terdakwa harus tahu bahwa pemberian atau janji diberikan kepadanya karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
- Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi cq menerima hadiah walaupun menurut anggapannya uang yang
diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagi pula penerima barang-barang itu bukan terdakwa
melainkan isteri dan anak-anak terdakwa.
(M.A. 19 Nop 1974, No. 77 K/Kr/1973)
(Dalam hubugannnya dengan unsur “patut diduga”

32
4. Unsur “hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan/kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, ATAU
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada hubungan dengan jabatannya.”
- Opzet pada unsur alternatif yang pertama ada pada pegawai negeri/penyelenggara negara, sedangkan opzet
pada unsur alternatif yang kedua ada pada di pemberi hadiah atau janji.
- Unsur ini tidak dimaksudkan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau mengabaikan
sesuatu dalam jabatannya. Cukuplah apabila hadiah atau janji diterima karena kekuasaan yang
berhubungan dengan jabatannya.
- Untuk menerapkan Pasal 418 KUHP, masalahnya harus ditinjau dari sudut pegawai negeri yang
menerima hadiah dan dari sudut orang yang memberi hadiah adalah orang yang sederhana, maka
dapat dimengerti bahwa di dalam pandangannya penuntut kasasi (seorang komis pada Kantor
Pengadilan) adalah seorang pegawai berkuasa. Ditinjau dari sudut penerima hadiah, penuntut kasasi
yang karena mengusahakan agar perkara perdata saksi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri,
telah menerima hadiah dari saksi, telah melanggar Pasal 418 KUHP. (M.A. 12 Sept 1961, No.
127K/Kr/1960.

33
Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001
hendaknya dibaca sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 a atau b UU No. 20 Tahun
2001

34
Pasal 12 a
Unsur-unsurnya :
1. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
2. Menerima hadiah/janji
3. Padahal diketahui, atau patut diduga
4. Hadiah/janji tersebut diberikan untuk menggerakan
5. Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
6. Dalam jabatannya
7. Bertentangan dengan kewajibannya

Pasal 12 b
Unsur-unsurnya :
1. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
2. Menerima hadiah
3. Padahal diketahui, atau patut diduga
4. Hadiah/janji tersebut diberikan sebagai akibat/disebabkan
5. Telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
6. Dalam jabatannya
7. Bertentangan dengan kewajibannya

35
Pasal 12 a dan b UU No. 20
Tahun 2001

Perumusan deliknya
sama dengan
Pasal 419 ke 1 dan 2 KUHP

36
Pasal 419 ke 1 KUHP
Unsur-unsurnya :
1. Pegawai negeri
2. Menerima suatu pemberian atau janji
3. Yang diketahuinya
4. Pemberian atau janji itu telah diberikan kepadanya untuk menggerakan dirinya
5. Agar ia melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu
6. Bertentangan dengan kewajiban
7. Dalam jabatannya

Pasal 419 ke 2 KUHP


Unsur-unsurnya :
1. Pegawai negeri
2. Menerima suatu pemberian
3. Yang diketahuinya
4. Pemberian itu telah diberikan kepadanya
5. Karena telah melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu
6. Bertentangan dengan kewajiban
7. Dalam jabatannya

37
Untuk unsur “Yang diketahui” seperti dimaksud pada Pasal 419 ke 1KUHP hanyalah apakah pegawai negeri itu menyadari bahwa pemberian
itu dimaksudkan untuk menggerakkan dirinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya di dalam melakukan tugasnya;
tidak menjadi soal apakah yang memberikan itu mempunyai maksud bahwa perbuatan itu akan dilakukan atau tidak.
(H.R. 4 Februari 1947, 1947 No. 1970)

Perbedaan Pasal 419 ke 1 dan ke 2 KUHP, demikian juga pada Pasal 12 a dan b UU No. 20 Tahun 2001, terletak pada :

- Pasal 419 ke 1, juga Pasal 12 a


Pemberian atau janji diberikan sebelum pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau mengabaikan sesuatu

- Pasal 419 ke 2, juga Pasal 12 b


Pemberian diberikan setelah / sebagai akibat pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau mengabaikan sesuatu

- Perbedaan lainnya antara Pasal 419 KUHP dengan pasal 12 a,b, terletak pada unsur subyektifnya ; Pada Pasal 419 ke-1
maupun
ke-2 KUHP unsur subyektifnya hanya “Sengaja”.
Pegawai Negeri harus tahu bahwa hadiah atau janji diberikan untuk menyelesaikan dirinya, sementara pada Pasal 12.a,b,
Pegawai
Negeri / Penyelenggara Negara selain unsur sengaja dapat juga
unsur “Culpa” yaitu patut menduga bahwa hadiah diberikan untuk menggerakkan dirinya

Seperti halnya dalam uitlokking, maka berkas perkara antara yang menyuap dan yang menerima suap harus dipisah dan dituntut sendiri-
sendiri; antara mereka dapat saling saksi menyaksikan.

38
Pasangan Pasal Penyuapan
KUHP UU No. 31 Tahun 1999 UU No.20 Tahun 2001

Pasal 418 - 0 Pasal 11,Jo Pasal 418 - Pasal 13 Pasal 11 - 0 - (Pasal 13)
Pasal 419 - Pasal 209 Pasal 12,Jo Pasal 419 - Pasal 5,Jo Pasal 209 Pasal 12.a,b - Pasal 5(1) a,b
Pasal 420 - Pasal 210 Pasal 12,Jo Pasal 420 - Pasal 6, Jo Pasal 210 Pasal 12.c,d - Pasal 6(1) a,b
Catatan :

1. Pasal 418 KUHP tidak ada pasangannya


Jadi orang yang memberikan hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri tidak
dipidana sekalipun hadiah atau janji tersebut diberikan dalam hubungannya
dengan kekuasaan atau kewenangan karena jabatannya
2. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 orang yang memberi hadiah atau janji kepada
Pegawai Negeri tersebut pada Pasal 11 Jo Pasal 418 KUHP, diancam pidana
menurut Pasal 13 UU No. 31Tahun 1999
3. Menurut UU No. 20 Tahun 2001, orang yang memberi hadiah atau janji kepada
Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara tersebut pada Pasal 11, tidak ada
Pasal / ketentuan hukumnya, namun diterapkan / dikenakan Pasal 13 UU
No.31 Tahun 1999
4. Menurut UU No. 31 Tahun 1999, orang yang memberi hadiah atau janji
kepada Pegawai Negeri tersebut pada Pasal 12, jo Pasal 419 KUHP, diancam
pidana menurut Pasal 5, jo Pasal 209 KUHP
5. Menurut UU No. 31 Tahun 1999, orang yang memberi hadiah atau janji kepada
Hakim, Pengacara / Penasihat Hukum (juga Jaksa) menurut Pasal 12, jo Pasal
420 KUHP, diancam pidana menurut Pasal 6, jo Pasal 210 KUHP
6. Menurut UU No. 20 Tahun 2001, orang yang memberi hadiah atau janji kepada
Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara menurut Pasal 12. a,b, diancam
pidana menurut Pasal 5 ayat (1) a,b
7. Menurut UU No. 20 Tahun 2001, orang yang memberi hadiah atau janji kepada 39
PASAL 13 UU No.31 Tahun 1999

Unsur – unsurnya :

a. Setiap Orang
b. Memberi hadiah atau Janji
c. Kepada Pegawai Negeri
d. Dengan mengingat Kekuasaan atau Wewenang
yang melekat pada jabatannya / kedudukannya
ATAU pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut

CATATAN :
1. Unsur delik Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999, jo Pasal 418 KUHP dan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 pada dasarnya sama dengan unsur
delik Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999, Kecuali :
a. Pada Pasal 11 yang diancam pidana adalah Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji ;
sedangkan pada Pasal 13 yang diancam pidana adalah setiap orang yang memberi hadiah / janji.
b. Pada Pasal 11 unsur subyektifnya meliputi sengaja maupun “CULPA”, sedangkan pada Pasal 13 unsur sebyektifnya
“harus sengaja”

2. Unsur hadiah, janji dan Pegawai Negeri pada Pasal ini sama dengan unsur hadiah, janji dan Pegawai Negeri pada Pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001

3. Pemberi menyadari atau beranggapan bahwa hadiah atau janji tersebut berhubungan dengan kekuasaan atau wewenang yang melekat
pada jabatan / kedudukan Pegawai Negeri tersebut

40
KESIMPULAN
Terlepas dari Putusan MK tentang perbuatan melawan hukum, menurut MA perbuatan melawan hukum
dalam arti materiil dengan fungsi positif tetap berlaku sebagai unsur tindak pidana korupsi Pasal 2 UU No. 31
Tahun 1999.

Unsur menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 diperluas sehingga mencakup
pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Tata Usaha Negara

Terlepas dari fatwa Mahkamah Agung Tanggal 16 Agustus 2006 Keuangan Negara pada BUMN yang telah
dipisahkan dari APBN tetap merupakan keuangan negara menurut pengertian Tindak Pidana Korupsi

Perumusan unsur atau bagian inti delik pasal-pasal suap dalam Undang-Undang pemberantasan tindak
pidana korupsi antara Undang-Undang no.3 tahun 1971, Undang-undang no. 31 tahun 1999 dan Undang-
Undang no. 20 tahun 2001 pada dasarnya sama antara satu dengan yang lain yang diangkat dari pasal-
pasal yang ada pada Bab VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum, Bab XXV tentang Perbuatan
Curang dan Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan Buku II KUHP.

Mamahami dan mengartikan unsur-unsur pasal suap dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi seyogyanya dikembalikan kepada maksud dan pengertian unsur pasal-pasal dalam KUHP,
kecuali apabila Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan pengertian lain.

Dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud pada pasal 5 ayat (1) a atau b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, jo pasal 209 KUHP
hendaknya diterapkan pasal 12 huruf a atau b UU no. 20 tahun 2001 dan bukannya pasal 5 ayat (2) UU no.
20 tahun 2001
 
Demikian juga apabila Hakim atau Penasihat Hukum / Advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) huruf a atau b seyogyanya dikenakan pasal 12 huruf c atau d
dan bukan pasal 6 ayat (2) UU no. 20 Tahun 2001. 41
 
TERIMA KASIH
UNTUK TIDAK TIDUR
PADA SAAT MATERI INI
SAYA SAMPAIAKAN

BOGOR 24 JUNI 2010


42

You might also like