You are on page 1of 40

NASKAH AKADEMIK

DASAR ILMIAH DAN POKOK-POKOK PIKIRAN


PENYUSUNAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG SISTEM
PENYULUHAN PERTANIAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam
perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi
nasional abad ke 21 masih akan tetap berbasis pertanian secara luas.
Namun demikian, sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
ekonomi maka kegiatan jasa-jasa dan bisnis berbasis pertanian juga
akan semakin meningkat, dengan kata lain kegiatan agribisnis akan
menjadi salah satu kegiatan unggulan pembangunan ekonomi
nasional dalam berbagai aspek yang luas.
Pembangunan pertanian ke depan diharapkan dapat memberi
kontribusi yang lebih besar dalam rangka mengurangi kesenjangan
dan memperluas kesempatan kerja, serta mampu memanfaatkan
semua peluang ekonomi yang terjadi sebagai dampak dari globalisasi
dan liberalisasi perkonomian dunia. Untuk mewujudkan harapan
tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan
handal dengan ciri mandiri, profesional, berjiwa wirausaha,
mempunyai dedikasi, etos kerja, disiplin dan moral yang tinggi serta
berwawasan global, sehingga petani dan pelaku usaha pertanian lain
akan mampu membangun usahatani yang berdaya saing tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan SDM pertanian, terutama SDM
petani, adalah melalui kegiatan penyuluhan pertanian.
Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era
globalisasi adalah kenyataan bahwa pertanian Indonesia didominasi
oleh usaha kecil yang dilaksanakan oleh 26 juta KK Tani yang
merupakan 51 % dari penduduk Indonesia, berlahan sempit,
bermodal kecil dan memiliki produktivitas yang rendah. Kondisi ini
memberi dampak yang kurang menguntungkan terhadap persaingan
di pasar global. Oleh karena itu, diperlukan usaha khusus
pemberdayaan melalui pembangunan sistem penyuluhan pertanian
nasional yang mampu membantu petani dan pelaku usaha pertanian
lain untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya serta
meningkatkan kesejahteraannya.
Penyuluhan pertanian sebagai bagian integral pembangunan
pertanian sudah dilakukan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian
pada zaman Hindia Belanda menggunakan pendekatan atas perintah
atau pendekatan dari atas (top down). Pemerintahan pendudukan
Jepang masih menggunakan pendekatan dari atas, bahkan setelah
kemerdekaan Pemerintah Indonesia masih juga menggunakan
pendekatan dari atas, walaupun dalam perkembangannya kemudian
mengalami berbagai modifikasi.
Pengalaman menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian di
Indonesia telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan pada
pencapaian dari berbagai program pembangunan pertanian. Sebagai
contoh, melalui program Bimbingan Massal (Bimas) penyuluhan
pertanian dapat menghantarkan Bangsa Indonesia mencapai
swasembada beras pada tahun 1984, yang dilakukan melalui
koordinasi yang ketat antar instansi terkait tapi masih dengan
menggunakan pendekatan dari atas yang dimodifikasi. Dengan cara
ini penyelenggaraan penyuluhan pertanian pada masa Bimas sudah
mulai terintegrasi dengan baik.
Keberhasilan penyuluhan pertanian yang demikian
menimbulkan anggapan bahwa penyuluhan pertanian yang
dilaksanakan selama ini dilakukan dengan pendekatan dipaksa,
terpaksa dan biasa. Petani dipaksa untuk menerima teknologi
tertentu, sehingga petani terpaksa melakukannya, dan kemudian
petani menjadi biasa melakukannya, walaupun pada akhirnya petani
meningkat kemampuannya sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan produksi padi yang diusahakan sehingga Indonesia
mencapai swasembada beras.
Dalam era reformasi dan otonomi sekarang ini, pendekatan
dari atas tentunya sudah tidak relevan lagi, karena yang kita inginkan
adalah bahwa petani dan keluarganya mengelola usahataninya
dengan penuh kesadaran, bukan terpaksa, mampu melakukan
pilihan-pilihan yang tepat dari alternatif yang ada, yang ditawarkan
penyuluh pertanian dan pihak-pihak lain. Dengan pilihannya itu,
petani yakin bahwa dia akan dapat mengelola usahataninya dengan
produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi.
Dalam melakukan pilihan inilah, petani mendapatkan bantuan dari
penyuluh pertanian dan pihak lain yang berkepentingan dalam
bentuk hubungan kemitrasejajaran, sehingga tidak terjadi
pemaksaan.
Dari pengalaman-pengalaman di atas, kedepan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian harus dapat mengakomodasikan aspirasi,
harapan, kebutuhan, dan potensi serta peran aktif petani dan pelaku
usaha pertanian lainnya. Oleh karena itu penyelenggaraan
penyuluhan pertanian harus menggunakan pendekatan partisipatif
dengan didasari pada prinsip-prinsip pemberdayaan dan
dikembangkan mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) jis
Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang tersebut,
urusan pertanian termasuk penyuluhan pertanian merupakan urusan
pilihan, tetapi walaupun begitu mengingat pertanian merupakan
tulang punggung perekonomian nasional dan umumnya juga
merupakan tulang punggung ekonomi sebagian besar daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota), maka seyogyanya Provinsi dan
Kabupaten/Kota menetapkan urusan pertanian menjadi urusan
pertama yang akan dikembangkan di wilayahnya, seperti yang
dilakukan oleh Pusat yang telah menetapkan pertanian sebagai
sektor yang strategis dalam mengembangkan ekonomi Indonesia
dengan melakukan revitalisasi pertanian.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan
baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan
antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota bahkan sampai ke tingkat
Desa dalam satu sistem penyuluhan pertanian yang disepakati
bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing
instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan
penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan tidak
efisien. Penyuluhan pertanian dilaksanakan secara bersama-sama
oleh Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, namun harus jelas
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan tersebut dalam
penyelenggaraannya.
Para penyelengara penyuluhan pertanian melakukannya
dengan persepsi, pendekatan dan sistem yang berbeda-beda, tidak
terintegrasi karena tidak berdasarkan pada filosofi dan prinsip-prinsip
penyuluhan yang sama. Hal demikian menjadikan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian tidak efisien dan efektif, sehingga tidak
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Akhirnya
penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak dapat memberikan
dukungan terhadap tercapainya tujuan pembangunan pertanian baik
secara nasional maupun secara lokalita.
Disamping itu, penyebab tidak terintegrasinya
penyelenggaraan penyuluhan pertanian antara lain adalah karena
produk-produk hukum lingkup pertanian dalam arti luas belum
memberikan kejelasan tentang penyuluhan pertanian. Siapa yang
melakukan penyuluhan pertanian, apa yang dimaksud penyuluhan
pertanian, dimana melakukan penyuluhan pertanian, bilamana
dilakukan penyuluhan pertanian, dan bagaimana melakukan
penyuluhan pertanian belum diatur secara jelas sebagai suatu sistem
yang terintegrasi. Oleh karena itu kebutuhan akan adanya satu
sistem penyuluhan pertanian yang dapat mengintegrasikan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian mulai dari pusat sampai ke
daerah merupakan suatu keniscayaan.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1983, 1992 dan
2002, kondisi petani kita masih lemah (skala ekonomi usaha,
produktivitas, pendapatan dan posisi tawar) dengan jumlahnya yang
sangat besar, sehingga penyuluhan pertanian akan terus mempunyai
peran strategis dan akan terus dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan di lapangan. Sekarang ini petani dan keluarganya harus
menyediakan waktunya lebih sering dan lebih lama untuk merespons
berbagai kegiatan penyuluhan dengan pendekatan yang berbeda-
beda yang diselenggarakan oleh berbagai macam kelembagaan
penyuluhan pertanian, sehingga petani dan keluarganya beserta
pelaku usaha pertanian lain banyak kehilangan waktunya dan tidak
terkonsentrasi pada masalah yang pokok dalam mengembangkan
usahanya untuk dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi,
pendapatan dan kesejahteraannya.
Berbagai permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan persepsi tentang pengertian penyuluhan
pertanian, baik dari para pembinanya di tingkat pusat maupun
para pelaksananya di daerah.
2. Adanya perbedaan persepsi tentang visi, misi, tujuan
penyuluhan pertanian baik dari para pembinanya di tingkat
pusat maupun para pelaksananya di daerah.
3. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan dengan
menggunakan pendekatan, sistem kerja dan metode yang tidak
sesuai dengan paradigma baru pembangunan yang partisipatif.
4. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota
dilakukan oleh berbagai kelembagaan yang dibentuk oleh
masing-masing daerah dengan tugas dan fungsinya yang
berbeda-beda/tidak terstandar, sehingga tidak sesuai dengan
misi penyuluhan pertanian.
5. Pembinaan jabatan fungsional penyuluh pertanian di
Kabupaten/ Kota tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya,
sehingga tidak meningkatkan profesionalisme penyuluh
pertanian yang berakibat rendahnya kinerja mereka.
6. Peraturan perundang-undangan yang ada yang menyangkut
pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia pertanian
dalam arti luas belum menguraikan secara jelas tentang
penyuluhan pertanian, sehingga belum dapat dipakai sebagai
pedoman bagi para pembina dan pelaksana penyuluhan
pertanian baik di tingkat pusat maupun daerah.
7. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum memberikan
jaminan perlindungan terhadap petani terhadap berbagai
dampak negatif dan penerapan teknologi yang dianjurkan,
sehingga petani menjadi tidak termotivasi untuk
menerapkannya.
8. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum didukung oleh
biaya operasional yang memadai.
9. Beberapa perubahan lingkungan strategis (globalisasi,
berlakunya otonomi daerah, perubahan kebijakan
pembangunan pertanian, perubahan kondisi petani dan
pergeseran paradigma) mempunyai implikasi yang luas
terhadap penyuluhan pertanian menghendaki perubahan sistem
penyuluhan pertanian secara menyeluruh.
Berbagai permasalahan tersebut apabila tidak dilakukan
upaya pemecahannya akan dapat merugikan petani dan pelaku
usaha pertanian lain karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian
yang demikian tidak berfungsi dalam memfasilitasi petani dan pelaku
usaha pertanian lain untuk meningkatkan keberdayaannya. Untuk
mengatasinya, perlu dilakukan revitalisasi penyuluhan pertanian
melalui suatu kebijakan yang komprehensif dalam bentuk Undang-
Undang Sistem Penyuluhan Pertanian.

B. Maksud dan Tujuan


1. Maksud disusunnya naskah akademik ini adalah untuk
memberikan justifikasi ilmiah dalam perumusan Rancangan
Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian. Materi hukum
Rancangan Undang-Undang tersebut harus menjamin keadilan
dan kepastian hukum bagi penyelenggara penyuluhan
pertanian maupun memberikan perlindungan hukum bagi
petani dan pelaku usaha pertanian lain dari risiko yang
mungkin terjadi akibat kesalahan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian.
2. Tujuan disusunnya naskah akademik ini adalah sebagai dasar
ilmiah dan memberikan pokok-pokok pemikiran bagi
penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan Naskah Akademik penyusunan Rancangan Undang-
Undang Sistem Penyuluhan Pertanian ini, dilakukan dengan cara
yaitu a) studi pustaka dan b) survei ke daerah terpilih yang meliputi
12 (dua belas) provinsi. Sasaran survei adalah petani, penyuluh
pertanian, pakar penyuluh pertanian dan penentu kebijakan.
1. Petani, variabelnya meliputi a) kepuasan petani terhadap
layanan penyuluh pertanian, b) penilaian terhadap kegiatan
penyuluh pertanian dikaitkan dengan naskah akademik
penyusunan rancangan undang-undang penyuluhan
pertanian, c) indikator pengembangan persepsi dan kepuasan
petani, dan d) persepsi petani dan pelaku usaha pertanian lain
terhadap konsep Naskah Akademik penyusunan RUU tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian.
2. Penyuluh pertanian, variabelnya meliputi a) persepsi
penyuluh pertanian terhadap kinerja layanan penyuluhan
pertanian (kelembagaan, SDM, penyelenggaran, pembiayaan,
dan keterlibatan petani dan swasta dalam penyuluhan
pertanian, b) indikator pembinaan dan pemberdayaan
penyuluhan pertanian, dan c) persepsi dan kepuasan
penyuluh pertanian terhadap konsep Naskah Akademik
penyusunan RUU tentang Sistem Penyuluhan Pertanian.
3. Pakar penyuluhan pertanian, variabelnya meliputi a)
efektivitas pengembangan kelembagaan, ketenagaan,
penyelenggaraan dan pembiayaan penyuluhan pertanian dan
kelembagaan tani, b) keterlibatan petani dan swasta dalam
penyuluhan pertanian, c) pengembangan kelembagaan
penyuluhan pertanian dan kelembagaan tani, d) penilaian
pakar tentang perlunya penyelenggaraan penyuluhan
pertanian diatur dalam suatu Undang-Undang, dan e) materi
Naskah Akademik penyusunan RUU Sistem Penyuluhan
Pertanian.
4. Penentu kebijakan (Bupati/Walikota/Kepala Dinas dan
anggota DPRD), variabelnya meliputi a) kondisi
kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pembiayaan
penyuluhan pertanian di wilayahnya, b) peranserta petani,
swasta dan dinas-dinas dalam penyelenggaraan penyuluhan
pertanian, c) koordinasi penyelenggaraan penyuluhan
pertanian, d) penyusunan programa penyuluhan pertanian,
dan e) persepsi penentu kebijakan penyuluhan pertanian
tentang perlunya sistem penyuluhan pertanian yang baru, f)
perlunya sistem penyuluhan pertanian diatur dalam suatu
Undang-Undang, dan g) tanggapan penentu kebijakan
penyuluhan pertanian tentang materi Naskah Akademik dan
RUU Sistem Penyuluhan Pertanian.

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup sistem penyuluhan pertanian yang diatur dalam
Rancangan Undang-Undang ini meliputi programa, kelembagaan,
ketenagaan, penyelenggaraan, pembiayaan, pembinaan, peranserta
masyarakat dan kerjasama penyuluhan pertanian.

E. Definisi Operasional

Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem


Penyuluhan Pertanian ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Penyuluhan Pertanian adalah suatu sistem
pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan
sikap petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian
lainnya melalui penyuluhan pertanian.
2. Penyuluhan Pertanian adalah proses pembelajaran bagi
petani dan keluarganya serta pelaku usaha pertanian lainnya
agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya
untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,
dan kesejahteraannya.
3. Pertanian adalah seluruh kegiatan manusia dalam
pengelolaan sumberdaya alam hayati dalam agroekosistem
yang sesuai, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja
dan manajemen untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, yang mencakup
usaha hulu, usahatani, usaha hilir dan usaha jasa penunjang.
4. Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta
keluarganya yang mengelola usaha di bidang pertanian, yang
mencakup usaha hulu, usahatani, usaha hilir dan usaha jasa
penunjang.
5. Penyuluh Pertanian adalah perorangan yang melakukan
kegiatan penyuluhan pertanian.
6. Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan
hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan
organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan
penyuluhan pertanian.
7. Penyuluh Pertanian Swakarsa adalah petani yang berhasil
dalam usahataninya yang dengan kesadarannya sendiri mau
dan mampu menjadi penyuluh pertanian.
8. Penyuluh Pertanian Swasta adalah perorangan yang berasal
dari dunia usaha bidang pertanian dan masyarakat lainnya yang
melakukan kegiatan penyuluhan pertanian.
9. Materi Penyuluhan Pertanian adalah bahan penyuluhan
pertanian yang akan disampaikan oleh para penyuluh pertanian
kepada petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian
lainnya dalam bentuk informasi yang meliputi teknologi,
rekayasa sosial, ekonomi, dan hukum.
10. Informasi Pertanian adalah informasi di bidang
pembangunan pertanian yang diperlukan penyuluh pertanian,
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya.
11. Programa Penyuluhan Pertanian adalah perencanaan
tertulis yang disusun secara sistematis untuk memberikan arah
dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan
penyuluhan pertanian.
12. Verifikasi adalah kegiatan menilai dan menetapkan kelayakan
paket materi penyuluhan pertanian sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yang mengikat.
13. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian adalah lembaga
pemerintah, petani, dan masyarakat yang mempunyai tugas
dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan pertanian.
14. Kelembagaan Petani adalah lembaga yang
ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani atau
masyarakat, yang berbentuk kelompok tani, asosiasi,
perhimpunan dan organisasi petani lainnya.
15. Pelaku Usaha Pertanian Lainnya adalah perorangan atau
badan hukum yang mengelola sebagian atau seluruh kegiatan
usaha di bidang pertanian.
16. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian adalah upaya
mendudukkan, memerankan, memfungsikan dan menata
kembali penyuluhan pertanian agar terwujud satu kesatuan
pengertian, satu kesatuan korps, satu kesatuan arah, kebijakan,
dan strategi.
17. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang
pertanian.
BAB II
KEADAAN DAN PERMASALAHAN

A. Umum

Indonesia sebagai negara agraris dikaruniai oleh Tuhan Yang


Maha Kuasa potensi sumberdaya pertanian yang melimpah dan
seharusnya dapat dijadikan modal dasar untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pada masa lalu, sejak
zaman Hindia Belanda, Indonesia merupakan negeri yang
mengekspor hasil pertanian ke seluruh negara-negara Eropa Barat.
Memasuki abad ke 21, Indonesia yang masih merupakan negara
agraris ternyata dibanjiri produk pertanian dari negara-negara lain.
Kondisi ini dapat dikatakan merupakan indikator bahwa produk
komoditi pertanian Indonesia kurang mampu bersaing dengan produk
komoditi pertanian dari luar.

Pada era liberalisasi perdagangan dewasa ini, daya saing


antar negara tidak ditentukan hanya oleh melimpahnya sumberdaya
alam tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia
negara yang bersangkutan dalam memproduksi barang dan jasa
untuk diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Menurut Human Development Index (HDI), Indonesia berada pada
peringkat 112 dari 170 negara anggota PBB. Angka ini dapat menjadi
indikator tentang rendahnya daya saing sumberdaya manusia
Indonesia dalam persaingan regional maupun global.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing petani dan
pelaku usaha pertanian lainnya perlu lebih ditingkatkan upaya
mengembangkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap
petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian lainnya
melalui proses pembelajaran agar mau dan mampu menolong serta
mengorganisasikan dirinya, memiliki akses ke sumber informasi,
teknologi, dan sumberdaya lainnya untuk bekerjasama yang saling
menguntungkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi,
sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan, dan kesejahteraannya.

B. Peranan Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan pertanian di Indonesia berkembang melalui


beberapa tahap. Dalam periode sebelum tahun 1960, penyuluhan
pertanian dilaksanakan berdasarkan pendekatan “tetesan minyak”
melalui petani-petani maju dan kontak tani. Metode yang digunakan
terutama melalui kursus tani mingguan bagi petani dewasa, wanita
dan pemuda. Selain itu dilaksanakan juga kunjungan keluarga dan
propaganda program peningkatan produksi.

Dalam periode 1975-1990, sistem latihan dan kunjungan


(LAKU) mendominasi sistem kerja penyuluh pertanian di Indonesia
terutama di daerah-daerah produksi padi. Sistem ini diperkenalkan
dan dilaksanakan dengan dukungan Bank Dunia melalui Proyek
Penyuluhan Tanaman Pangan (NFCEP) tahun 1975 dan diikuti oleh
Proyek Penyuluhan Pertanian Nasional (NAEP I dan NAEP II). Tujuan
kedua proyek tersebut pada intinya adalah untuk meningkatkan
produksi komoditi pertanian tertentu, dimulai dengan hasil pertanian
utama yaitu padi yang masih menerapkan teknologi yang kurang
produktivitasnya, dengan jalan mendiseminasikan teknologi
usahatani, yang dikenal dengan Panca Usaha dan Sapta Usaha.

Penyuluh pertanian, yang pada waktu itu dikenal dengan


Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dilatih untuk mengajar petani
dan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang telah disusun
dalam paket-paket teknologi. Sistem ini merupakan sistem kerja yang
berdasarkan manajemen waktu yang ketat dan mengalihkan
teknologi dimana petani hanya dianggap sebagai pengguna teknologi
yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian.

Khusus mengenai program BIMAS, keberhasilannya ditentukan


oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Didukung oleh political will yang kuat langsung dari Presiden
yang diturunkan sampai ke Kepala Desa. Setiap minggu Provinsi
lokasi Bimas Padi harus mengirimkan laporan mengenai
perkembangan pelaksanaan Bimas Padi ke Departemen
Pertanian dan ke Bina Graha.
2. Sifatnya sentralistis, pelaksana dan petani peserta Bimas di
daerah harus mengerjakan apa yang diinstruksikan oleh
Pemerintah yang umumnya sudah dalam bentuk paket,
termasuk paket teknologi usahatani (Panca Usaha dan Sapta
Usaha).
3. Petani mendapatkan subsidi.
4. Delivery system diorganisasikan dalam bentuk Catur Sarana
dan receiving mechanism-nya adalah kelompok tani.
5. Kelembagaan yang mengelola program Bimas seragam.
6. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) berfungsi optimal sebagai
basis (homebase) penyuluhan pertanian yang dibagi dalam
Wilayah Kerja BPP (WKBPP), Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian
(WKPP) dan Wilayah Kelompok (Wilkel).
7. Anggaran besar, tersedia sesuai dengan kebutuhan di
lapangan.
8. Didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai.
9. Didukung oleh penyuluh pertanian yang relatif masih muda
sehingga mobilitasnya tinggi dan mempunyai otoritas yang
tinggi.
10. Menggunakan sistem kerja LAKU sebagai sistem kerja para
penyuluh pertanian.
Sistem Bimas dilaksanakan hanya pada beberapa komoditi
tertentu yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Badan Pengendali
Bimas di pusat dan di daerah oleh Satuan Pembina Bimas Provinsi
dan Satuan Pelaksana Bimas Kabupaten. Sekretariat Badan
Pengendali Bimas di Pusat juga berfungsi sebagai satuan administrasi
pangkal para penyuluh pertanian.
Pada kondisi di atas, para penyuluh pertanian semuanya
dikerahkan untuk mensukseskan Program Bimas dalam rangka
swasembada beras, sehingga program peningkatan produksi
komoditas di luar beras tidak berkembang sebagaimana yang
diharapkan. Walaupun Departemen Pertanian merekrut tenaga
penyuluh pertanian khusus untuk menangani komoditas non beras,
yang berstatus dipekerjakan di daerah, ternyata juga tidak
memberikan hasil yang optimal karena tidak didukung oleh
perangkat-perangkat seperti pada Program Bimas, termasuk
penyediaan dananya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Sistem Kerja LAKU pun
mengalami kemunduran, petani yang hadir dalam pertemuan dua
mingguan di hamparan makin berkurang. Laporan studi Bank Dunia
tahun 1995 menggambarkan makin banyak petani yang kurang puas
dengan sistem ini. Penyuluh pertanian tidak lagi dianggap sebagai
sumber informasi untuk membantu memecahkan masalah yang
dihadapi petani dalam usahataninya.
Pada tahun-tahun berikutnya Pemerintah mengembangkan
pendekatan penyuluhan pertanian partisipatif diantaranya model
Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu, model yang
dikembangkan oleh KUF, Delivery, P4K dan DAFEP.
Dalam pelaksanaannya, ternyata dari masa ke masa
penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan tidak berdasarkan
sistem dan mekanisme yang baku yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang kuat.

C. Petani dan Kelembagaannya


Berdasarkan data Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah
Rumah Tangga Petani (RTP) meningkat 2,2 % per tahun dari 20,8
juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003.
Sementara itu, Petani Gurem meningkat 2,6 % per tahun dari
10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003.
Prosentase RTP Gurem dibanding RTP pengguna lahan naik dari
52,7 % pada tahun 1993 menjadi 56,5 % pada tahun 2003. Hal ini
menunjukkan kemiskinan petani meningkat selama dekade 1993-
2003.
Dengan kondisi petani seperti ini, maka semua program
pembangunan pertanian yang diluncurkan oleh Pemerintah, dan
teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, serta modal yang
disalurkan oleh lembaga keuangan hampir dipastikan tidak akan
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh petani. Oleh karena itu upaya
pemberdayaan petani melalui penyuluhan pertanian harus selalu
ditingkatkan. Penyuluhan pertanian merupakan suatu keniscayaan
sekaligus merupakan kewajiban Pemerintah untuk
menyelenggarakannya. Pemberdayaan melalui penyelenggaraan
penyuluhan pertanian diperlukan untuk mengubah pola pikir, sikap
dan perilaku guna membangun kehidupan dan penghidupan petani
yang lebih baik secara berkelanjutan.

Pemberdayaan petani dan keluarganya melalui


penyelenggaraan penyuluhan pertanian seperti di atas tidak mungkin
dilaksanakan dengan pendekatan individu, karena jumlah dan
sebaran petani sangat besar dan luas serta terbatasnya sumberdaya
penyuluhan. Dengan demikian penyuluhan pertanian harus dilakukan
melalui pendekatan kelompok. Pendekatan ini mendorong petani
untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat
membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar,
kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari
usahataninya. Sampai saat ini jumlah kelembagaan petani yang
tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527
koperasi tani, dan 272 P4S.

Kelembagaan petani ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai


unit ekonomi, sehingga kedepan harus diarahkan untuk lebih
berorientasi pasar, berbasis pada sumber daya lokal dan kompetensi
petani untuk mendapatkan berbagai kemudahan akses terhadap
permodalan, teknologi, pemasaran, dan sarana produksi.

D. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana


dan berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik.
Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan
mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi,
manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau
kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan
penyuluhan pertanian Pemerintah, petani dan swasta.

Sampai dengan sekarang, kelembagaan yang khusus


menangani penyuluhan pertanian di Provinsi tidak ada, tetapi fungsi
penyuluhan pertanian di beberapa Provinsi dilaksanakan oleh Dinas
atau Badan lingkup pertanian. Namun demikian penanganannya
dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat
untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan
tegas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sekarang ini 375 dari 435 Kabupaten/Kota (86 %) mempunyai


kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk
Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh
Pertanian. Sedangkan 61 Kabupaten/Kota (14 %) bentuk
kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan,
kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru
terbentuk 3.557 unit (69 %).

Secara umum masalah yang dihadapi kelembagaan


penyuluhan pertanian adalah sebagai berikut:
1. Fungsi penyuluhan pertanian di Provinsi belum berjalan optimal
karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan pertanian
tidak tegas.

2. Beragamnya bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di


Kabupaten/Kota (7 bentuk) menggambarkan beragamnya
persepsi Kabupaten/Kota tentang posisi dan peran strategis
kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota. Kondisi
ini menyebabkan:

a. Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk


Kantor/Balai/Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, sulit
mengkoordinasikan instansi terkait karena eselonnya lebih
rendah dari instansi yang akan dikoordinasikan;

b. Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk


Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, fungsi penyuluhan masih
bercampur dengan fungsi pengaturan dan pengendalian. Hal
ini menyebabkan berkurangnya independensi penyuluh
pertanian.

c. Intervensi Pemerintah untuk mengatur bentuk dan struktur


kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota tidak
memungkinkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

3. Belum semua Kecamatan memiliki BPP. Adapun BPP yang ada


sekarang ini kurang difungsikan dengan baik oleh
Kabupaten/Kota, bahkan di beberapa Kabupaten/Kota
dialihfungsikan untuk kegiatan lain.

4. Kurang difungsikannya BPP mengakibatkan penyelenggaraan


penyuluhan pertanian kurang terencana dan tidak
diprogramkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini
juga menyebabkan kurang atau tidak tersedianya biaya
operasional penyuluhan pertanian di Kecamatan/Desa.

5. Dengan diserahkannya personil, perlengkapan, pembiayaan dan


dokumen (P3D) dari Pemerintah ke Provinsi/Kabupaten/Kota,
maka kepemilikan aset kelembagaan penyuluhan pertanian
beralih ke Provinsi/Kabupaten/Kota. Dalam kenyataannya
penggunaan aset ini tidak sesuai dengan keperluan untuk
menyelenggarakan penyuluhan pertanian. Akibatnya penyuluh
pertanian tidak mendapatkan dukungan sarana penyuluhan
pertanian yang memadai sehingga kinerjanya menurun.
6. Pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian di
Kabupaten/Kota banyak yang tidak mempunyai latar belakang
penyuluhan pertanian. Hal ini menyebabkan pengelolaan
kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian
sering tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan
pertanian, karena pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan
pertanian kurang memahami arti dan peran strategis
penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian di wilayah
kerjanya.

7. Sistem penyuluhan pertanian yang disepakati bersama belum


ada. Hal ini menyebabkan tidak jelasnya hubungan antara
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota, sehingga struktur dan mekanisme pembinaan
dan tata hubungan kerja juga menjadi tidak jelas.

8. Kabupaten/Kota belum sepenuhnya menjalankan kewenangan


wajib dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
menyebabkan masih banyaknya Kabupaten/Kota yang belum
menyusun program penyuluhan pertanian, belum melakukan
pembinaan terhadap penyuluh pertanian dan minimnya biaya
penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota.

9. Kelembagaan penyuluhan pertanian yang dimiliki dan


dioperasionalkan baik oleh petani maupun oleh swasta, belum
dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah sebagai mitra
kerja sejajar untuk melayani petani.

E. Ketenagaan Penyuluhan Pertanian

Keragaan tenaga penyuluh pertanian dari tahun ke tahun


menunjukkan penurunan yang sangat signifikan. Pada tahun 1999 jumlah
penyuluh pertanian tercatat sebanyak 37.636 orang. Setelah otonomi
daerah diberlakukan pada tahun 2001, jumlah penyuluh pertanian
berkurang menjadi 33.659 orang. Dalam kurun waktu empat tahun
kemudian, jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708
orang (data Mei 2005) ditambah 1.634 orang penyuluh pertanian honorer.
Seluruh penyuluh pertanian ini tersebar secara tidak merata di 3.557 BPP.

Kondisi tenaga penyuluh pertanian pada saat ini adalah sebagai


berikut:
1. Penyebaran dan kompetensi tenaga penyuluh pertanian masih
bias kepada sub sektor pangan, khususnya padi. Kondisi ini
menyebabkan terbatasnya pelayanan penyuluhan pertanian
kepada petani yang mengusahakan komoditas non pangan.

2. Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang


tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini
menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh pertanian di
Kabupaten/Kota tersebut yang mengakibatkan tidak
sebandingnya jumlah tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah
petani/ kelompoktani yang harus dilayani. Kondisi ini juga
menyebabkan banyak penyuluh pertanian yang frustasi karena
ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai dengan
kompetensinya.

3. Pada beberapa Kabupaten/Kota, pengukuhan kembali penyuluh


pertanian sebagai pejabat fungsional belum dilakukan sehingga
penyuluh pertanian tidak diakui eksistensinya dan tunjangan
fungsionalnya banyak yang tidak dibayarkan atau dibayarkan
tidak sebesar seperti seharusnya. Kondisi ini menyebabkan
berkurangnya motivasi penyuluh pertanian untuk bekerja lebih
baik.

4. Kenaikan pangkat sering terlambat dan pola karir tidak jelas


sehingga kondisi ini juga mengurangi motivasi dan kinerja para
penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik dan seringkali
menyebabkan frustasi.

5. Rekruitmen dan pembinaan karier penyuluh pertanian belum


sepenuhnya berpedoman pada SK MenkowasbangPAN
No.19/1999 dan ketentuan usia pensiun bagi penyuluh
pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan
yang berlaku.

6. Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui


Diklat, sudah jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan rendahnya
kemampuan dan kinerja penyuluh pertanian dalam menjalankan
tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata petani.

7. Penyetaraan penyuluh pertanian dari pendidikan SLTA ke DIII


belum terselesaikan. Kondisi ini menyebabkan mereka dapat
diberhentikan sebagai pejabat fungsional.

8. Usia penyuluh pertanian sebagian besar di atas 50 tahun.


Kondisi ini menyebabkan 10 tahun yang akan datang jumlah
penyuluh pertanian menjadi sangat berkurang karena
memasuki usia pensiun.

9. Penyuluh Pertanian Swakarsa dan Swasta belum berkembang


dengan baik, karena pembinaannya belum terprogram dan
belum didukung oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi
ini menyebabkan belum optimalnya peranserta petani dan
swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

10. Biaya operasional untuk penyuluh pertanian yang disediakan


oleh Kabupaten/Kota tidak memadai. Hal ini menyebabkan
frekuensi dan intensitas kunjungan penyuluh pertanian ke
petani sangat kurang.

F. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian

Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang dilakukan selama ini


belum dapat memberdayakan petani dan pelaku usaha pertanian lain
karena belum adanya kesatuan persepsi, sehingga dalam
penyelenggaraannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan
pertanian.

Penyuluhan pertanian diselenggarakan dengan prinsip: (1)


terdesentralisasi, (2) partisipatif, (3) keterbukaan, (4) keswadayaan, (5)
kemitrasejajaran, (6) akuntabililitas, dan (7) keterpaduan.

Permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan


pertanian sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum dilaksanakan


sesuai prinsip-prinsip penyuluhan partisipatif dan belum
dilaksanakan secara terpadu sebagai bagian dari suatu sistem
pemberdayaan petani. Hal ini menyebabkan kurangnya
peranserta petani dan terputusnya jaringan kerjasama antara
penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani
lainnya (penelitian, penyediaan sarana produksi pertanian,
pengolahan hasil dan pemasaran).

2. Penyusunan programa penyuluhan pertanian tidak sesuai


dengan kebutuhan lapangan serta belum didasarkan pada
prinsip-prinsip penyusunannya. Kondisi ini menyebabkan
programa yang disusun tidak realistis dan belum mencerminkan
kebutuhan petani.
3. Belum mendorong kemitraan dengan petani, swasta dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keadaan ini
menyebabkan keterlibatan dan penumbuhan penyuluh
pertanian swakarsa dan swasta, sebagai bagian dari jaringan
penyuluhan pertanian, kurang berjalan dengan baik.

4. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih berorientasi


keproyekan dan kegiatannya masih bersifat parsial serta belum
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi ini
menyebabkan ketergantungan penyuluhan pertanian pada
keberadaan proyek.

5. Materi dan metode penyuluhan pertanian belum sepenuhnya


mendukung pengembangan agribisnis komoditas unggulan di
daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan
keterbatasan sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan dinas-dinas
lingkup pertanian merasa tidak mendapatkan dukungan
kegiatan penyuluhan pertanian.

G. Sumberdaya Penyuluhan Pertanian

Sumberdaya penyuluhan pertanian sangat diperlukan oleh


penyuluh pertanian agar dapat menyelenggarakan penyuluhan
pertanian dengan produktif, efektif dan efisien. Sumberdaya
penyuluhan pertanian meliputi informasi dan teknologi, sarana dan
prasarana serta pembiayaan penyuluhan pertanian.

Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan dan


pemanfaatan sumberdaya penyuluhan pertanian sebagai berikut

1. Sulitnya mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai


dengan kebutuhan spesifik lokalita karena terbatasnya
kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses sumber-
sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan
kurang berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan
wawasan penyuluh pertanian untuk menyediakan materi
penyuluhan yang dibutuhkan petani.

2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh


pertanian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini
menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan
kurang optimalnya pelayanan terhadap petani.

3. Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari


Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota baik melalui dana
dekonsentrasi, dana alokasi umum (DAU), dan APBD maupun
kontribusi dari petani dan swasta masih sangat terbatas. Kondisi
ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak
optimal, yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan
program pembangunan pertanian.

BAB III
ARAH KEBIJAKAN PENYULUHAN PERTANIAN

A. Perubahan Lingkungan Strategis


Pengembangan penyuluhan pertanian dilakukan dengan
memperhatikan perubahan lingkungan strategis dengan visi jauh ke
depan. Perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhi
pengembangan penyuluhan pertanian adalah: (1) globalisasi; (2)
berlakunya otonomi daerah; (3) kebijaksanaan pembangunan
pertanian; (4) perkembangan kondisi petani; dan (5) pergeseran
paradigma pembangunan pertanian.
Globalisasi
Dampak utama dari globalisasi adalah berlakunya liberalisasi
perdagangan, perkembangan iptek yang amat cepat dan kemajuan di
bidang komunikasi yang memudahkan keluar- masuknya informasi
antar negara. Secara positif kita melihat bahwa liberalisasi
perdagangan akan menawarkan peluang pasar, peluang usaha dan
peluang kerja yang banyak sekali, baik di dalam negeri, regional
maupun global. Semua peluang ekonomi ini ditawarkan dalam iklim
yang sangat kompetitif.
Paradigma kita dalam menghadapi liberalisasi perdagangan
adalah bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sebuah peluang
dan bukan ancaman. Oleh karena itu upaya peningkatan daya saing
para pelaku agribisnis harus dilakukan secara lebih cermat dan
terencana. Peningkatan daya saing ini dilakukan antara lain melalui
kegiatan penyuluhan pertanian. Fokus kegiatan penyuluhan pertanian
dalam meningkatkan daya saing petani sebagai pelaku agribisnis
adalah meningkatkan efisiensi usaha. Peningkatan efisiensi usaha ini
dilakukan dengan meningkatkan kemampuan petani dalam
menerapkan kaidah-kaidah bisnis dalam usahanya dan manajemen
usaha serta manajemen organisasi. Kondisi ini menuntut para
penyuluh pertanian untuk meningkatkan kemampuan yang
menyangkut aspek ekonomi usaha dan mengembangkan jaringan
kerjasama bisnis antara petani dengan para pelaku agribisnis lainnya.
Berlakunya Otonomi Daerah
Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan
penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan,
kelembagaan, ketenagaan, program, manajemen dan pembiayaan
menjadi kewenangan bersama Pemerintah, Provinsi, Kabupaten/Kota,
Petani, dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan
penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan
Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan,
pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian
Kebijaksanaan pembangunan pertanian adalah mewujudkan
pertanian tangguh dalam rangka pemantapan ketahanan pangan,
peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta
peningkatan kesejahteraan petani. Kebijaksanaan ini menghendaki
perubahan pendekatan penyuluhan pertanian dari pendekatan
produksi ke pendekatan agribisnis. Pendekatan baru ini mengharuskan
para penyuluh pertanian untuk melihat usaha yang dikelola oleh petani
(on-farm) sebagai bagian dari sistem agribisnis. Kondisi ini pada level
tertentu juga akan memperluas sasaran penyuluhan pertanian menjadi
tidak hanya petani dan keluarganya tetapi mencakup para pemangku
kepentingan (stakeholders). Sedangkan materi penyuluhan pertanian
disamping yang menyangkut teknik budidaya, harus memberi
perhatian yang tinggi terhadap aspek ekonomi usaha dan
pengembangan organisasi petani untuk menjadi organisasi ekonomi
yang kuat.
Kebijaksanaan ini juga mensyaratkan dikembangkannya jaringan
kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian,
penelitian, pendidikan dan pelatihan.
Konsekuensi dari kondisi di atas adalah bahwa: (1) penyuluh
pertanian diharuskan mempunyai kompetensi yang menyangkut aspek
ekonomi usaha dan manajemen organisasi; dan (2) harus ada yang
menghubungkan sistem penyuluhan dengan sistem dan usaha
agribisnis.
Perkembangan Kondisi Petani
Kondisi petani dan keluarganya saat ini ditandai dengan makin
meningkatnya wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap kritis
mereka. Peningkatan wawasan, pengetahuan dan keterampilan lebih
banyak menyangkut aspek pengelolaan usahatani, sedangkan sikap
kritis mereka lebih banyak ditujukan pada kebijaksanaan pemerintah,
antara lain menyangkut kebijaksanaan harga dan impor komoditi
pertanian, subsidi dan pengadaan serta distribusi sarana produksi.
Sebagian petani telah mampu mengembangkan organisasi petani
yang mampu menyelenggarakan sendiri penyuluhan pertanian,
misalnya di kalangan koperasi susu, asosiasi petani apel dan Ikatan
Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia. Disamping itu banyak di
antara mereka yang dengan jiwa kepeloporannya mampu memiliki,
mengelola dan mengembangkan lembaga diklatnya sendiri, seperti
Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) yang tersebar
di seluruh Indonesia. Selain itu petani dan keluarganya semakin
menyadari kewajiban dan hak-haknya, termasuk hak-hak politiknya.
Kondisi di atas menuntut peningkatan profesionalisme penyuluh
pertanian untuk dapat merespon semua perubahan ini secara cepat
dan proporsional. Kondisi petani yang semakin maju ini membuat
mereka dapat menjadi mitra kerja sejajar yang tangguh bagi penyuluh
pertanian untuk bersama-sama merancang, melaksanakan, memonitor
dan mengevaluasi pelaksanaan dan hasil kegiatan penyuluhan
pertanian. Kondisi petani seperti ini juga mengharuskan para penyuluh
pertanian untuk selalu meng”up-date” materi, pendekatan, metoda
dan kerjasama penyuluhan pertanian.
Perubahan-perubahan lingkungan strategis di atas, menuntut
adanya upaya merevitalisasi penyuluhan pertanian.

B. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian


Visi Pembangunan Pertanian adalah Terwujudnya pertanian
tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai
tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan
kesejahteraan.
Untuk mencapai visi tersebut, Misi Pembangunan Pertanian
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki
integritas moral yang tinggi.
2. Mendorong pembangunan pertanian menuju pertanian tangguh,
berdayasaing dan berkelanjutan.
3. Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi
komoditas pertanian dan penganekaragaman konsumsi pangan.
4. Mendorong peningkatan konstribusi sektor pertanian terhadap
perekonomian nasional, melalui peningkatan PDB, ekspor,
penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
5. Memfasilitasi pelaku usaha melalui pengembangan teknologi,
pembangunan sarana, prasarana, pembiayaan, akses pasar dan
kebijakan pendukung.
6. Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani
dan pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan
Internasional.

C. Visi dan Misi Penyuluhan Pertanian


Mengacu pada Visi dan Misi Pembangunan Pertanian, maka Visi
Penyuluhan Pertanian dirumuskan sebagai berikut: Menjadikan
penyuluhan pertanian sebagai sistem pemberdayaan petani dan
pelaku usaha pertanian lain yang tangguh untuk meningkatkan daya
saing dan kesejahteraan mereka.

Untuk mencapai visi tersebut, Misi Penyuluhan Pertanian


dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengembangkan kelembagaan penyuluhan pertanian;
2. Meningkatkan kualitas ketenagaan penyuluhan pertanian;
3. Mengembangkan penyelenggaran penyuluhan pertanian;
4. Mengembangkan pendekatan, metodologi dan model penyuluhan
pertanian partisipatif;
5. Mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial
ekonomi yang tangguh; dan
6. Mengembangkan hubungan melembaga antara petani, pelaku
usaha pertanian lain, penyuluh dan peneliti.

D. Kebijakan Penyuluhan Pertanian


Untuk dapat menyelenggarakan penyuluhan pertanian yang
sesuai dengan arah pengembangan penyuluhan pertanian, maka
dirumuskan kebijakan penyuluhan pertanian sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan oleh
Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, petani dan pelaku
usaha pertanian lainnya.
2. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan berdasarkan
suatu programa yang disusun bersama antara penyuluh
pertanian dan petani.
3. Hubungan kelembagaan penyuluhan pertanian Pemerintah,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, petani dan swasta merupakan
hubungan fungsional yang bersifat terbuka, saling
ketergantungan, demokratis, dan terintegrasi dengan sektor lain.
4. Pembiayaan penyuluhan pertanian merupakan tanggung jawab
bersama antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, petani
serta swasta.
5. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Strategi
Untuk mewujudkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang
produktif, efektif dan efisien ditetapkan strategi sebagai berikut:
1. Petani belajar dari petani dengan metode pendidikan orang
dewasa.
2. Menjadikan penyuluhan pertanian sebagai gerakan masyarakat.
3. Meningkatkan peran penyuluh pertanian swakarsa dan swasta.
4. Menumbuhkembangkan dinamika organisasi dan kepemimpinan
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya.
5. Memberdayakan wanitatani dan pemudatani dalam
pembangunan pertanian yang responsif gender.
6. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pendidikan dan pelatihan
pertanian untuk mempersiapkan calon petani dan pelaku usaha
pertanian lainnya yang tangguh

BAB IV
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
TERKAIT DENGAN PENYULUHAN PERTANIAN

Sampai saat ini telah diundangkan sejumlah Undang-undang yang


mengatur pertanian dalam arti luas dan tidak dihubungkan dengan
departementasi pemerintahan yang meliputi pengaturan penyelenggaraan
sistem budidaya tanaman (tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan),
kehutanan, perikanan, peternakan, pangan, konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya, penyediaan sumberdaya, prasarana dan sarana
serta pengelolaan lingkungan hidup.

A. Deskripsi Materi Peraturan Perundang-Undangan


Untuk melihat bagaimana penyuluhan diatur dalam berbagai
Undang-undang tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
- Penyuluhan diatur dalam Bab tentang Peternakan
- Untuk memajukan peternakan dilakukan usaha-usaha
pengadakan penyuluhan dan pameran-pameran ternak dan
hasil-hasil industri peternakan untuk memberikan pengertian
dan kesadaran kepada masyarakat pada umumnya dan pada
peternak pada khususnya mengenai soal-soal yang
bersangkutan dengan usaha-usaha peternakan dan
pengolahan bahan-bahan yang berasal dari ternak, hingga
dapat digerakkan swadaya masyarakat di dalam
penyelenggaraan usaha-usaha itu, baik oleh pemerintah
maupun swasta (Pasal 18).
- Penyuluhan diberi pengertian sebagai pendidikan peternak-
produsen dalam rangka pembentukan kader peternak.
Penyuluhan bersama pendidikan dan penelitian merupakan
suatu trilogi untuk menggerakkan swadaya rakyat peternak
(Penjelasan Pasal 18).

2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan
- Penyuluhan Perikanan diatur bersama Pendidikan dan
Pelatihan Perikanan dalam Bab IX sebagai berikut :
a. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan perikanan untuk meningkatkan
pengembangan sumberdaya manusia di bidang perikanan;
b. Pemerintah dapat bekerjasama dengan lembaga terkait/,
baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional,
dalam menyelenggarakan penyuluhan perikanan.
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya alam Hayati dan Ekosistemnya. Bab IX
mengenai Peran serta Rakyat.
Bab IX mengenai Peranserta Rakyat
- Pasal 37 Ayat (1): Peran serta rakyat dalam konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan
digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan
yang berdaya guna dan berhasil guna.
- Ayat (2): Dalam mengembangkan peran serta
rakyatsebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah
menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan
rakyat melalui pemberdayaan dan penyuluhan

4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem


Budidaya Tanaman
- Penyuluhan budidaya tanaman diatur dalam Bab tentang
Pembinaan dan Peranserta Masyarakat.
- Pemerintah ditugaskan untuk menyelenggarakan penyuluhan
budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta
masyarakat untuk melakukan kegiatan penyuluhan.
Penyelenggaraan penyuluhan budidaya tanaman dilaksanakan
melalui pemberian informasi yang mendukung pengembangan
budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta
masyarakat dalam pemberian pelayanan informasi tersebut,
yaitu antara lain: informasi pasar, profil komoditas,
penanaman modal, promosi komoditas, dan meteorologi
dalam bentuk prakiraan cuaca dan iklim (Pasal 57 dan
penjelasannya).

5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina


Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
- Undang-undang ini tidak secara eksplisit menyebutkan
“penyuluhan” dalam pasal-pasalnya. Namun dalam Pasal 28
dan Pasal 29 dinyatakan bahwa Pemerintah bertanggung
jawab membina kesadaran masyarakat dalam perkarantinaan
hewan, ikan, dan tumbuhan. Peranserta masyarakat dalam
perkarantinaan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna.
- Tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
“berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna”
tersebut.

6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan


- Penyuluhan diatur dalam bab tentang Ketahanan Pangan
- Pemerintah ditugaskan untuk melaksanakan pembinaan yang
meliputi upaya antara lain: penyebarluasan pengetahuan dan
penyuluhan di bidang pangan (Pasal 49 ayat (1) huruf e)
- Mengenai bagaimana cara penyuluhan di bidang pangan
tersebut dilaksanakan tidak diatur lebih lanjut dalam Undang-
undang, melainkan diamanatkan untuk diatur oleh
Pemerintah.

7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah
- Undang-undang ini mengatur mengenai urusan pertanian
termasuk peternakan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
merupakan urusan pilihan. Secara a contrario, BAB III undang-
undang tersebut mengatur bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
kesarasian, hubungan antar susunan pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan
pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota atau
antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung,
dan sinergis sebagai satu system pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
- Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa urusan pertanian
termasuk peternakan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
penyuluhan pertanian merupakan urusan pilihan. Penyuluhan
pertanian dilaksanakan secara bersama-sama oleh
Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, namun harus jelas
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan tersebut
dalam penyelenggaraannya.

8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini tidak mengatur secara tegas mengenai
penyuluhan tetapi didalam Pasal 7 merupakan kegiatan mengenai
penyuluhan yaitu :
a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan social;
d. memberikan saran pendapat;
e. menyampaikan informasi dan atau menyampaikan laporan.

9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan
- Undang-undang ini mengatur penyuluhan kehutanan secara
lebih lengkap dibandingkan dengan Undang-undang lainnya.
- Penyuluhan kehutanan diatur dalam Bab tentang Penelitian
dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan
Kehutanan yaitu dalam Pasal 52, Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal
58.
- Pengaturannya meliputi:
a. penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilaksanakan
bersama-sama dengan penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan kehutanan dan bertujuan:
1) untuk pembentukan sumberdaya manusia berkualitas
yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang didasari iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang diperlukan dalam pengaturan
hutan yang lestari. (Pasal 52)
2) untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar
mau dan mampu mendukung pembangunan
kehutanan atas dasar iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya
sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia (Pasal 56).
b. Penyelenggaraan Penyuluhan Kehutanan:
1) wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kearifan tradisional dan kondisi sosial budaya
masyarakat.
2) wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia
dari pencurian (Pasal 52)
3) dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat. Pemerintah mendorong dan menciptakan
kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan
penyuluhan kehutanan (Pasal 56).
4) dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib
menyediakan dana investasi untuk penyuluhan
kehutanan. Pemerintah menyediakan kawasan hutan
untuk digunakan dan mendukung kegiatan penyuluhan
kehutanan.

10. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang


Perlindungan Varietas Tanaman
Undang-undang tidak mengatur secara tegas mengenai
penyuluhan, namun diperlukan adanya penyuluhan kepada
pemerintah daerah sebagai pelaksana penguasaan negara atas
varietas lokal. Pemerintah daerah dalam hal ini mewakili
kepentingan masyarakat pemilik varietas lokal yang
membudidayakan varietas tersebut secara turun temurun.
Varietas lokal dapat dijadikan bahan untuk pembuatan varietas
turunan essensial. Varietas turunan essensial ini dapat diberi
PVT sehingga komersialisasi varietas ini dapat diambil manfaat
ekonominya. Masyarakat pemilik varietas lokal dapat
memperoleh bagian dari manfaat ekonomi tersebut apabila
varietas lokal tersebut telah diberi nama dan didaftar di Kantor
PVT. Pemerintah daerah dalam hal ini bertugas mengusulkan
pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal ke kantor PVT
dan mengatur penggunaan bagian dari manfaat ekonomi
tersebut untuk kepentingan konservasi varietas lokal tersebut
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
membudidayakannya (Pasal 6 dan Pasal 7).

11. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem


Nasional Penelitian dan Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Undang-undang ini tidak secara eksplisit menyebutkan
penyuluhan dalam pasal-pasalnya. Namun apabila mengingat
beberapa Undang-undang yang telah disebut di atas
menyatakan bahwa penyuluhan diselenggarakan melalui: a)
pemberian informasi; b) pembinaan sistem informasi dan
pengembangan pengolahan, penyebaran data teknik dan data
produksi untuk menunjang pengolahan sumberdaya pertanian;
c) memberikan pengertian dan kesadaran kepada masyarakat
mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan usaha di bidang
pertanian (dalam arti luas), serta; d) penyelenggaraan
penyuluhan dilaksanakan bersama-sama dengan penelitian dan
pengembangan dan pemberdayaan dan latihan; maka tidak
diragukan lagi bahwa: a) penyelenggaraan fungsi
penumbuhkembangan motivasi, pemberian stimulasi dan
fasilitas, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi
perkembangan sistem nasional penelitian dan pengembangan
dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, b) perumusan arah, peran
utama dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan
strategi pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pengembangan instrumen kebijakan tersebut
oleh pemerintah daerah, harus dilaksanakan secara bersama-
sama dengan penyelenggaraan penyuluhan agar dapat dicapai
sasaran yang optimal yaitu penumbuhan kesadaran masyarakat
mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan usaha di bidang
pertanian (dalam arti luas).
12. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan
memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan
hak asasi manusia dalam bermasyarakat, bebangsa dan
bernegara dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan
seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak.
Penyiaran merupakan kegiatan pemancarluasan siaran melalui
sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut
dan di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi
radio melalui udara , kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat
diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat
dengan penerima siaran.
Media ini dapat dijadikan sarana dan prasarana penyuluhan
pertanian, dengan materi disesuaikan dengan kebutuhan
nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai pedesaan. Dengan
demikian penyiaran dapat dipandang sebagai cara untuk
membantu kelancaran penyuluhan pertanian.

13. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional
Upaya pemberdayaan petani dapat dilakukan salah satunya
adalah dengan pendidikan nonformal. Pasal 1 angka 12
memberikan pengertian “Pendidikan nonformal sebagai jalur
pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang”

14. Undang-undang Pembentukan Provinsi,


Kabupaten/Kota
Setiap pembentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur
mengenai kewenangan pangkal dimana pertanian termasuk
penyuluhan pertanian merupakan urusan yang harus
diselenggarakan oleh Proviinsi dan Kabupaten/Kota tersebut.
Hampir semua Undang-undang tersebut menugaskan
Pemerintah untuk menyelenggarakan penyuluhan di bidangnya
masing-masing, namun mengenai apa yang dimaksud dengan
penyuluhan, bagaimana penyuluhan dilaksanakan, siapa yang
melaksanakan, dan darimana sumber pembiayaan penyuluhan
tidak diatur secara komprehensif. Dengan kata lain dalam
berbagai Undang-undang tersebut, penyuluhan hanya diatur
secara parsial.
B. Analisis Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang yang terkait dengan pertanian sudah banyak
diterbitkan, baik penyuluhan pertanian sebagai bagian dari
pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, maupun yang
menyangkut subsektor atau komoditas di lingkungan pertanian. Di
dalam berbagai Undang-undang tersebut, substansi penyuluhan
pertanian tidak diuraikan secara jelas dan lebih rinci, sehingga
menimbulkan persepsi yang berbeda-beda, tidak dapat dipedomani
oleh penyelenggara penyuluhan pertanian dalam melakukan
kegiatannya.
Dari beberapa Undang-undang terkait di atas, terdapat uraian
mengenai pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia dan
penyuluhan pertanian yang masih bersifat terkotak-kotak, tidak
menyatu dan menyeluruh serta dalam pelaksanaannya menimbulkan
persepsi yang berbeda-beda sehingga tidak ada kesatuan langkah.
Diperlukan penjelasan dan uraian yang lebih rinci agar lebih mudah
dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh para penyelenggaranya,
petani dan pelaku usaha pertanian lain. Penggunaan istilah
penyuluhan, pembinaan, bimbingan, pameran, pelayanan informasi
ternyata membingungkan para penyelenggara penyuluhan, petani
dan pelaku usaha pertanian lain.
Ketentuan berbagai Undang-undang tersebut secara umum
dapat pula diartikan bahwa ruang lingkup penyuluhan pertanian tidak
hanya on-farm tetapi juga off-farm, atau agribisnis (lihat pada
peternakan). Selain itu pula dapat diartikan bahwa penyuluhan itu
diselenggarakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan swasta
dan masyarakat. Pemerintah berperan mendorong, menggerakkan
masyarakat dalam pembangunan pertanian, pengembangan
sumberdaya manusia pertanian melalui penyuluhan pertanian. Hanya
dengan cara bagaimana melakukannya dan siapa yang melakukan
belum dijelaskan.
Untuk membangun kelembagaan penyuluhan pertanian yang
handal diperlukan Undang-undang Penyuluhan Pertanian guna
menyatukan persepsi tentang pengertian penyuluhan pertanian,
menyatukan langkah dalam satu sistem penyuluhan pertanian yang
mencakup pemberdayaan sumberdaya manusia pertanian khususnya
petani, ruang lingkup, siapa yang melakukan, bagaimana melakukan,
cara melakukan, cara berperanserta aktif dalam penyuluhan
pertanian, bagaimana mendorong, menggerakkan dan memfasilitasi
petani dan keluarganya beserta masyarakat agribisnis untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
BAB V
POKOK-POKOK MATERI HUKUM

A. Filosofi, Asas, Maksud dan Tujuan


1. Filosofi Penyuluhan Pertanian
Sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia, pemerintah
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kesejahteraan umum. Demikian pula halnya
dengan masyarakat petani. Petani dan pelaku usaha pertanian
lain, pada umumnya tinggal dan berusaha di desa dengan tingkat
pendidikan yang relatif masih rendah. Mereka merupakan pelaku
utama pembangunan pertanian yang perlu mendapatkan
perhatian dan pelayanan prima dari pemerintah dan
penyelenggara penyuluhan pertanian lainnya.
Petani dan pelaku usaha pertanian lain harus diberikan
peluang dan kesempatan untuk mengembangkan usahatani yang
berdaya saing melalui peningkatan kompetensi, penyediaan
informasi dan teknologi serta fasilitas permodalan, dengan filosofi
dasar menolong orang agar dapat menolong dirinya, keluarga
dan masyarakatnya.

a. Asas Penyuluhan Pertanian


Penyuluhan pertanian diselenggarakan berasaskan
demokrasi, kesetaraan, manfaat, keberlanjutan, keterpaduan,
keseimbangan, kebersamaan dan berkeadilan.
a. Penyuluhan pertanian berasaskan demokrasi dimaksudkan
bahwa penyuluhan pertanian harus diselenggarakan secara
demokratis antara pemerintah, swasta, petani, pelaku usaha
pertanian lainnya serta warga masyarakat lainnya.
b. Penyuluhan pertanian berasaskan kesetaraan dimaksudkan
bahwa hubungan antara penyuluh pertanian, petani dan
pelaku usaha pertanian lainnya harus merupakan mitra
sejajar.
c. Penyuluhan pertanian berasaskan manfaat dimaksudkan
bahwa penyuluhan pertanian harus memberikan manfaat
bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan
perilaku untuk meningkatkan produktivitas, daya saing,
pendapatan dan kesejahteraan petani.
d. Penyuluhan pertanian berasaskan keberlanjutan merupakan
upaya terus menerus dan berkesinambungan agar
pengetahuan, keterampilan dan perilaku petani semakin baik
guna terwujudnya kemandirian petani.
e. Penyuluhan pertanian berasaskan berkeadilan yaitu petani
dan pelaku usaha pertanian lainnya harus mendapatkan
pelayanan yang sama secara proporsional sesuai dengan
kemampuan, kondisi dan kebutuhan petani dan pelaku usaha
pertanian lainnya.
f. Penyuluhan pertanian berasaskan keterpaduan yaitu
penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus dilaksanakan
secara terpadu antara kepentingan program nasional,
program daerah, sektoral, dan kepentingan masyarakat.
g. Penyuluhan pertanian berasaskan keseimbangan yaitu agar
setiap penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus
memperhatikan keseimbangan antara inovasi dengan kearifan
masyarakat setempat, kesetaraan gender, keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan dan
keseimbangan antara kawasan yang maju dengan kawasan
yang relatif masih tertinggal.
h. Penyuluhan pertanian berasaskan kebersamaan yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus
diselenggarakan secara sinergis bersama dengan kegiatan
pembangunan pertanian dengan pendekatan system dan
usaha agribisnis.

2. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan pengaturan penyuluhan pertanian di
dalam Undang-undang tentang Penyuluhan Pertanian adalah:
a. memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya
penyuluhan pertanian yang dapat menjamin terlaksananya
program-program pembangunan pertanian;
b. memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum
bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya untuk
mendapatkan pelayanan penyuluhan pertanian dan
memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum
bagi penyuluh pertanian dalam melaksanakan penyuluhan
pertanian; dan
c. memberikan dasar hukum bagi terwujudnya kelembagaan
penyuluhan pertanian yang menjamin terselenggaranya
penyuluhan pertanian yang produktif, efektif dan efisien
melalui penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang
terdesentralisasi, partisipatif, keterbukaan, keswadayaan,
kemitrasejajaran dan akuntabililitas.
B. Ruang Lingkup Rancangan Undang-undang
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian ini terdiri atas kelembagaan, ketenagaan,
penyelenggaraan, prasarana dan sarana, pembiayaan, pembinaan dan
pengendalian penyuluhan pertanian.
1. Kelembagaan
a. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian
1) Kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri
dari kelembagaan penyuluhan pertanian
pemerintah, kelembagaan penyuluhan pertanian
petani dan kelembagaan penyuluhan pertanian
swasta.
2) Kelembagaan penyuluhan pertanian
pemerintah wajib dibentuk di tingkat Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
3) Kelembagaan penyuluhan pertanian di
Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan unit
kerja organik yang berdiri sendiri dan
mempunyai tugas pokok penyelenggaraan
penyuluhan pertanian.
4) Kelembagaan penyuluhan pertanian petani
dan swasta dibentuk berdasarkan kebutuhan
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya serta
kepentingan kelembagaan yang melakukan
penyuluhan pertanian.

Kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat Pusat


mempunyai tugas dan fungsi:

(i). Menyusun kebijakan nasional, programa,


standarisasi dan akreditasi tenaga penyuluh pertanian,
prasarana dan sarana, dan pembiayaan penyuluhan
pertanian;
(ii). Menyelenggarakan pengembangan penyuluhan
pertanian, pangkalan data, pelayanan dan jaringan
informasi penyuluhan pertanian;
(iii). melaksanakan penyuluhan pertanian, koordinasi,
penyeliaan, monitoring dan evaluasi, alokasi dan distribusi
sumberdaya penyuluhan pertanian;
(iv). melaksanakan kerjasama penyuluhan pertanian
nasional, regional, dan internasional
Kelembagaan penyuluhan Provinsi mempunyai fungsi:
i). Menyusun kebijakan dan programa penyuluhan
pertanian Provinsi;
(ii). Melaksanakan penyuluhan pertanian, alokasi dan
distribusi sumberdaya, koordinasi, penyeliaan, monitoring
dan evaluasi, pelaporan dan jaringan informasi dari
Kabupaten/Kota serta kerjasama penyuluhan pertanian
lintas Kabupaten/Kota;
(iii). Menyelenggarakan kegiatan peningkatan
kompetensi, pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh
pertanian;
(iv). Melaksanakan kerjasama pengkajian teknologi sesuai
dengan kebutuhan petani dan pembangunan pertanian
setempat;
(v). Memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya dalam rangka
pengembangan usahatani dan umpan balik kepada
Pemerintah.

Kelembagaan penyuluhan pertanian Kabupaten/Kota


mempunyai fungsi:
(i). Menyusun kebijakan dan programa penyuluhan
pertanian Kabupaten/Kota;
(ii). Melaksanakan fasilitasi sumberdaya penyuluhan
pertanian di Kabupaten/Kota dan Kecamatan;
(iii). Melaksanakan pengumpulan, pengolahan,
pengemasan, dan penyebaran materi penyuluhan pertanian
bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya;
(iv). Melaksanakan penyuluhan pertanian dan
mengembangkan mekanisme, tata kerja dan metode
penyuluhan pertanian;
(v). Menumbuhkembangkan kelembagaan petani dan
memfasilitasi forum kegiatan kelembagaan petani dan
kelembagaan usaha pertanian lainnya;
(vi). Melaksanakan pembinaan, pengembangan,
kerjasama kemitraan, dan pengelolaan kelembagaan,
ketenagaan, penyelenggaraan, prasarana dan sarana, serta
pembiayaan penyuluhan pertanian.

Kelembagaan penyuluhan pertanian Kecamatan


mempunyai fungsi:
(i) Memfasilitasi penyusunan programa penyuluhan
pertanian berdasarkan programa penyuluhan
pertanian Desa, penyediaan dan penyebaran
informasi teknologi, proses pembelajaran,
percontohan dan pengembangan model usahatani
bagi petani dan pelaku usaha pertanian lainnya;
(ii) Menjadi satuan administrasi pangkal bagi para
penyuluh pertanian di Kecamatan.

Kelembagaan penyuluhan pertanian Desa mempunyai


fungsi:
(i) Menyusun programa penyuluhan pertanian;
(ii) Melaksanakan penyuluhan pertanian sesuai dengan
programa penyuluhan pertanian Desa;
(iii) Melaksanakan pertemuan dengan kelembagaan
petani dan/atau kelembagaan pelaku usaha
pertanian lainnya sesuai dengan kebutuhan;
(iv) Menumbuhkembangkan kepemimpinan,
kewirausahaan, kelembagaan petani, dan
kelembagaan pelaku usaha pertanian lainnya;
(v) Melaksanakan kajian mandiri untuk pemecahan
masalah dan pengembangan model usahatani,
umpan balik dan kajian teknologi;
(vi) Memfasilitasi layanan informasi dan konsultasi bagi
petani serta diklat-diklat swadaya;
(vii) Melaksanakan kegiatan rembug, musyawarah,
pertemuan teknis, dan temu lapangan petani dan
pelaku usaha pertanian lainnya;
(viii) Memfasilitasi forum, jaringan dan kelembagaan
petani dan kelembagaan pelaku usaha pertanian
lainnya.

b. Kelembagaan Petani dan Pelaku Usaha Pertanian


Lainnya
1) Kelembagaan petani dan pelaku usaha pertanian
lainnya adalah organisasi yang anggotanya petani dan
pelaku usaha pertanian lainnya dan dibentuk oleh
mereka, baik formal maupun non formal.
2) Kelembagaan petani yang formal berupa koperasi
petani dan atau bentuk organisasi badan hukum
lainnya.
3) Kelembagaan petani yang non formal dapat
berbentuk kelompoktani, gabungan kelompoktani,
dan asosiasi petani.
4) Kelembagaan petani tumbuh dan berkembang
menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga
mampu mencapai tujuan yang diharapkan para
anggotanya.

2. Ketenagaan

Penyuluhan pertanian dilakukan oleh penyuluh pertanian PNS,


penyuluh pertanian swakarsa, dan penyuluh pertanian swasta.
a. Penyuluh Pertanian PNS
1) Pengangkatan dan penempatan penyuluh pertanian
PNS disesuaikan dengan kebutuhan serta formasi
yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Pemerintah menetapkan standar, akreditasi dan pola
pendidikan dan pelatihan penyuluhan pertanian
berdasarkan standar kompetensi yang harus dimiliki
oleh penyuluh pertanian.
3) Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota
meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian PNS
melalui pendidikan, pendidikan dan pelatihan (diklat)
serta metode lainnya.
4) Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota wajib
memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
bagi penyuluh pertanian bukan pemerintah.
5) Penyuluh Pertanian PNS merupakan pejabat
fungsional yang diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6) Penyuluh pertanian menyusun dan melaksanakan
rencana kerja tahunan berdasarkan programa
penyuluhan pertanian.
7) Alih tugas penyuluh pertanian PNS hanya dapat
dilakukan apabila diganti dengan penyuluh pertanian
yang baru sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
8) Pemerintah menetapkan standar kompetensi,
akreditasi dan sertifikasi penyuluh pertanian.

b. Penyuluh Pertanian Swakarsa dan Swasta


1) Keberadaan penyuluh pertanian swakarsa dan
penyuluh pertanian swasta diserahkan kepada
kebutuhan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya
serta kepentingan lembaga bukan pemerintah yang
melakukan penyuluhan pertanian.
2) Penetapan standar, akreditasi dan pola pendidikan
dan pelatihan penyuluh pertanian swakarsa dan
swasta dilakukan oleh instansi Pemerintah
berdasarkan standar kompetensi yang dibutuhkan.
3) Penyuluh pertanian swakarsa dan penyuluh pertanian
swasta dalam melaksanakan penyuluhan pertanian
kepada petani dan pelaku usaha pertanian lainnya
wajib bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS.

3. Penyelenggaraan
a. Programa Penyuluhan Pertanian
1) Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilaksanakan
berdasarkan suatu perencanaan yang terstruktur yang
disebut Programa Penyuluhan Pertanian. Programa
Penyuluhan Pertanian terdiri dari Programa
Penyuluhan Pertanian Nasional, Programa Penyuluhan
Pertanian Provinsi, Programa Penyuluhan Pertanian
Kabupaten/Kota, Programa Penyuluhan Pertanian
Kecamatan dan Programa Penyuluhan Pertanian Desa.
2) Programa penyuluhan pertanian dimaksudkan untuk
memberikan arah, pedoman dan sebagai alat
pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian.
3) Programa penyuluhan pertanian terdiri dari Programa
Penyuluhan Pertanian Desa, Programa Penyuluhan
Pertanian Kecamatan, Programa Penyuluhan Pertanian
Kabupaten/Kota, Programa Penyuluhan Pertanian
Provinsi, dan Programa Penyuluhan Pertanian
Nasional.
4) Programa penyuluhan pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun oleh penyuluh
pertanian bersama wakil petani dan pelaku usaha
pertanian lainnya melalui rembug dengan
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan mereka
dan disahkan oleh Kepala Desa, Kepala Balai
Penyuluhan Pertanian, Bupati/Walikota, Gubernur,
atau Menteri, sesuai dengan tingkat administrasi
pemerintahan.
5) Programa penyuluhan pertanian disusun setiap tahun
memuat rencana penyuluhan pertanian yang
mencakup pengorganisasian dan pengelolaan
sumberdaya untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan
pertanian.
6) Programa penyuluhan pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terukur, realistis,
bermanfaat dan dapat dilaksanakan, serta dilakukan
secara partisipatif, terpadu, transparan, demokratis,
dan bertanggung gugat.

b. Mekanisme Kerja, Metode dan Materi


Pelaksanaan penyuluhan pertanian harus
menggunakan mekanisme kerja dan metode penyuluhan
pertanian didasarkan pada pendekatan partisipatif yang
memungkinkan petani untuk ikut merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan menarik manfaat dari
kegiatan penyuluhan pertanian.
Metoda penyuluhan pertanian yang digunakan dipilih
berdasarkan sasaran, tujuan, materi, waktu, sarana dan
biaya yang tersedia.
Materi penyuluhan pertanian mencakup aspek
ekonomi, teknik, sosial budaya dan hukum, yang mencakup
better farming, better business, better environment, better
community dan better organization.

c. Peranserta dan Kerjasama


1) Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota mendorong
dan memfasilitasi peranserta petani dan pelaku usaha
pertanian lain serta masyarakat lainnya dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
2) Kerjasama penyuluhan pertanian dapat dilakukan
antar sesama kelembagaan penyuluhan pertanian,
maupun antara kelembagaan penyuluhan pertanian
dengan kelembagaan pelayanan lainnya, petani dan
pelaku usaha pertanian lain serta masyarakat lainnya.

4. Prasarana dan Sarana


a. Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan
pertanian dan pelaksanaan tugas penyuluh pertanian
diperlukan prasarana dan sarana yang memadai agar
penyuluhan pertanian dapat diselenggarakan dengan
efektif dan efisien.
b. Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta pelaksana
penyuluhan pertanian lainnya, wajib menyediakan
prasarana dan sarana penyuluhan pertanian.
c. Prasarana penyuluhan pertanian yaitu fasilitas untuk
mendukung pelaksanaan penyuluhan pertanian yang
meliputi antara lain bangunan, lahan percontohan;
sedangkan sarana penyuluhan pertanian yaitu alat-alat
bantu penyuluhan pertanian antara lain alat transportasi,
alat peraga dan alat komunikasi.

5. Pembiayaan

a. Pembiayaan penyuluhan pertanian menjadi tanggung jawab


bersama antara Pemerintah, Provinsi, Kabupaten/Kota dan
masyarakat.
b. Sumber pembiayaan penyuluhan pertanian berasal dari
APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, swasta dan
masyarakat yang ditentukan secara proporsional
berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan
keberlanjutan.
c. Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota wajib
menyediakan biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian
yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan
perencanaan penyuluhan pertanian masing-masing.
d. Pembiayaan penyuluhan pertanian yang diselenggarakan
oleh petani dan pelaku usaha pertanian lain dan/atau warga
masyarakat lainnya, wajib disediakan oleh masing-masing
disesuaikan dengan perencanaan yang terintegrasi.

6. Pembinaan dan Pengendalian


a. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengendalian
terhadap penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang
dilaksanakan baik oleh Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun
yang dilaksanakan oleh petani dan pelaku usaha pertanian
lain dan atau warga masyarakat lainnya.
b. Pembinaan dan pengendalian dilakukan terhadap
kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, prasarana
dan sarana, serta pembiayaan penyuluhan pertanian.

BAB VI
PENUTUP

Pertanian sebagai sektor penting dalam perekonomian nasional


memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya saing
untuk dapat menghadapi berbagai tantangan global, pada masa sekarang
dan masa yang akan datang. Untuk membangun pertanian menjadi tulang
punggung perekonomian Indonesia perlu diselenggarakan penyuluhan
pertanian yang efektif dan efisien.
Salah satu upaya untuk menciptakan sumberdaya manusia yang
berkualitas dilakukan melalui penyuluhan pertanian. Oleh karena itu
penyuluhan pertanian merupakan suatu hal yang strategis dalam mencapai
tujuan pembangunan pertanian karena penyuluhan pertanian merupakan
upaya pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian lain sebagai
sumberdaya pelaku pembangunan pertanian.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang dilakukan selama ini
belum dapat memberdayakan petani dan pelaku usaha pertanian lain
karena belum adanya kesatuan persepsi, sehingga dalam
penyelenggaraannya tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip
penyuluhan pertanian. Disamping itu penyuluhan pertanian akhir-akhir ini
diselenggarakan oleh berbagai kelembagaan dengan ketenagaan,
mekanisme kerja, pembiayaan yang tidak memenuhi standar.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang demikian disebabkan
karena peraturan perundang-undangan yang bersifat parsial dan belum
menguraikan secara jelas untuk implementasinya, sehingga belum dapat
dipedomani oleh para penyelenggara penyuluhan pertanian, serta belum
mampu menggerakkan peran aktif petani dan pelaku usaha pertanian
lainnya.
Dengan demikian diperlukan undang-undang sebagai suatu bentuk
regulasi di bidang penyuluhan pertanian yang komprehensif untuk dijadikan
dasar dan landasan hukum dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

You might also like