You are on page 1of 86

STATISTIK GENDER DAN ANALISIS

KABUPATEN GUNUNGKIDUL
TAHUN 2008
Naskah:
• Dyah Respati Suryo Sumunar
PSW Universitas Negeri Yogyakarta

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perempuan dan laki-laki baik sebagai manusia atau sebagai warga negara
di dalam hukum dan perundang-undangan di Indonesia tidaklah berbeda. Sebagai
sumberdaya insani, potensi yang dimilki perempuan tidaklah berada di bawah
potensi laki-laki. Mereka memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Namun
kenyataannya, masih banyak dijumpai status dan peranan perempuan dalam
masyarakat yang masih bersifat subordinatif, perempuan masih terpinggirkan dan
belum dianggap sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Hal itu terlihat dari masih
sedikitnya perempuan yang berkesempatan menempati posisi di dalam
pemerintahan, dalam badan legislatif, maupun yudikatif, serta di dalam peranannya
secara umum di masyarakat. Padahal, tuntutan dari Millenium Development Goals
(MDG’s) atau tujuan pembangunan pada era millenium adalah menuju
kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dengan meningkatkan keadilan dan
kesetaraan gender pada setiap sektor pembangunan.

Upaya peningkatan keadilan dan kesetaraan gender memiliki dua aspek


yang strategis, yaitu: (1) perbaikan kondisi, dan (2) peningkatan posisi perempuan
baik dalam kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat. Dalam perbaikan
kondisi dapat menyangkut berbagai bidang atau sektor, seperti kesehatan,

1
pendidikan, ekonomi, dan pekerjaan, sedangkan peningkatan posisi diwujudkan
dalam pemberian status, peluang dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan terutama di sektor publik.

Ketersediaan data dan informasi terpilah merupakan hal penting bagi


penyusunan kebijakan pembangunan di daerah, karena tanpa data dan informasi
yang mendeskripsikan kedudukan laki-laki dan perempuan pada semua sektor atau
bidang secara jelas dan benar akan menyulitkan ketercapaian sasaran
pembangunan yang tepat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender diperlukan data dan fakta serta informasi tentang kesenjangan
gender yang dapat dijadikan sebagai wawasan, dan alat analisis untuk memantau,
mengevaluasi, merencanakan, dan mengembangkan berbagai kebijakan, program,
dan kegiatan yang responsif gender dengan tujuan meminimalkan kesenjangan
gender yang masih terjadi.

Di Indonesia, pada umumnya, dan Kabupaten Gunungkidul, khususnya, isu


gender ditemukenali pada beberapa bidang, antara lain:

1. Di bidang pendidikan dan pelatihan, masih ada nilai-nilai dan cara pandang
serta lingkungan sosial budaya yang belum sepenuhnya mendukung
kemajuan perempuan.

2. Di bidang kesehatan, masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya


pengetahuan dan pendidikan mayoritas kaum perempuan. Meskipun telah
banyak keberhasilan di bidang kesehatan perempuan, tetapi tingginya
angka kematian ibu (AKI) dan rendahnya status gizi perempuan masih
merupakan masalah utama.

3. Di bidang KB, masih menunjukkan belum setaranya kedudukan istri dan


suami dalam menentukan penggunaan kontrasepsi yang sesuai dengan
kebutuhannya.

2
4. Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, permasalahan yang dihadapi
adalah terbatasnya akses perempuan pengusaha kecil dan menengah
dalam program kredit, informasi pasar atau bisnis, manajemen dan
pengembangan usaha; terbatasnya keterampilan dan pendidikan
perempuan untuk memperoleh peluang dan kesempatan kerja yang lebih
baik, rendahnya perlindungan dan jaminan sosial bagi perempuan pekerja,
baik pada sektor formal maupun informal.

5. Di bidang politik, perempuan belum banyak berperan, karena masih


terbatasnya kesempatan dan kepercayaan bagi perempuan sebagai
penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan umum dan terbatasnya posisi perempuan dalam lembaga
eksekutif maupun legislatif.

6. Di bidang kesejahteraan sosial, yang menjadi masalah adalah masih


terdapatnya nilai dan norma budaya yang belum kondusif terhadap
pemberdayaan perempuan, dan masih rendahnya kesadaran dan
pemahaman masyarakat terhadap perlindungan dan pembinaan anak dan
remaja.

Program pemberdayaan gender termasuk perlindungan anak, dapat


dilaksanakan dengan baik jika ada koordinasi di tingkat nasional dan daerah, mulai
dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi, termasuk dalam komitmen
internasional. United Nation Mlillenium Declaration menargetkan adanya kemajuan
kehidupan kemanusiaan yang diukur dengan indeks Millenum Goals atau Tujuan
Pembangunan Millenium yang harus tercapai pada tahun 2015, sebagai berikut.

1. menanggulangi kemiskinan dan kelaparan


2. tercapainya pendidikan dasar bagi setiap anak
3. meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. menurunkan angka kematian balita

3
5. meningkatkan kesehatan matenatal (ibu melahirkan)
6. memerangi penyakit HIV/Aids, malaria, dan penyakit menular lain
7. menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup,
8. mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

1.2. Tujuan

Isu-isu gender yang ada perlu didukung dengan tersedianya data dan
statistik yang berkualitas serta indikator yang relevan. Untuk itu, statistik gender dan
analisis Kabupaten Gunungkidul ini disusun sebagai upaya memberi kontribusi
dalam rangka mencapai tujuan kesetaraan dan keadilan gender.

1.3. Ruang Lingkup

Statistik gender dan analisis yang disajikan merupakan hasil analisis


statistik gender di bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan, kegiatan ekonomi,
perempuan di sektor publik, kekerasan terhadap perempuan, dan masalah anak,
berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif.

1.4. Metodologi

Statistik gender dan analisis Kabupaten Gunungkidul disusun berdasarkan


data sekunder dari BPS, berupa Supas, Susenas, Sakernas, Indikator Kesejahteraan
Rakyat, serta data dari instansi lain yang terkait, antara lain: Bappeda, Dinas
Pendidikan, Dinas Kesehatan dan KB, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas
Perindagkop, Dinas Pertanian, Dinas Nakertrans, Badan Kepegawaian Daerah,

4
Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan, dan Pengadilan Agama, kemudian dianalisis
secara deskriptif.

5
BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI WILAYAH

Sumber: Bappeda Gunungkidul

Gambar 2.1. Peta Administratif Kabupaten Gunungkidul


2.1. Geografis
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ibukota di Wonosari yang terletak ± 39 km
arah tenggara Kota Yogyakarta. Secara astronomis Kabupaten Gunungkidul terletak
pada koordinat 7º46’LS - 8º09’LS dan 110º21’BT - 110º50’BT dengan luas wilayah
1.485,36 km2, atau sekitar 46.63 persen dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Secara administratif, Kabupaten Gunungkidul mempunyai batas wilayah


sebagai berikut:

6
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa
Tengah
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kabupaten Gunungkidul terbagi dalam 18 kecamatan dan 144 desa/
kalurahan, dengan rincian luasan yang disajikan pada Tabel 2.1. sebagai berikut.

Tabel 2.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,


Tahun 2007
Persentase terhadap
Kecamatan Luas Area (km2) Luas Kabupaten
Gunungkidul (%)
1 2 3

1. Panggang 99,80 6,72


2. Purwosari 71,76 4,83
3. Paliyan 58,07 3,01
4. Saptosari 87,83 5,91
5. Tepus 104,91 7,06
6. Tanjungsari 71,63 4,82
7. Rongkop 83,46 5,62
8. Girisubo 94,57 6,37
9. Semanu 108,39 7,30
10. Ponjong 104,49 7,03
11. Karangmojo 80,12 5,39
12. Wonosari 75,51 5,08
13. Playen 105,26 7,09
14. Patuk 72,04 4,85
15. Gedangsari 68,14 4,59
16. Nglipar 73,87 4,97
17. Ngawen 46,59 3,14
18. Semin 78,92 5,31
Total 1.485,36 100,00
Sumber: Gunungkidul dalam Angka 2008

7
Topografi dan geomorfologi. Berdasarkan kondisi topografi, Kabupaten
Gunungkidul dibagi dalam tiga (3) zona pengembangan, yaitu:

1. Zone Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 – 700 m di
atas permukaan air laut. Keadaannya berbukit-bukit dan terdapat sungai di
atas tanah dan sumber-sumber air tanah serta dapat digali sumur dengan
kedalaman 6-12 m. Jenis tanah vulkanik lateristik dengan bantuan induk
dasiet dan andesiet. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari,
Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara.

2. Zone Tengah, disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari dengan


ketinggian 150 – 200 m di atas permukaan air laut. Apabila kemarau
panjang masih terdapat sumber mata air. Jenis tanahnya berupa margaliet.
Di zona ini terdapat air tanah dengan kedalaman 60 – 120 m di bawah
permukaan tanah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari,
Karangmojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara.

3. Zona Selatan, disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu dengan


ketinggian 100 – 300 m di atas permukaan air laut. Batuan dasar
pembentuknya adalah batu kapur dengan ciri khas berbukit-bukit kerucut
(conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Pada wilayah ini
banyak dijumpai sungai bawah tanah. Zona selatan meliputi Kecamatan
Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari,
Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Semanu bagian selatan.

Lahan di Kabupaten Gunungkidul mempunyai tingkat kemiringan yang


bervariasi, 18,19 persen diantaranya merupakan daerah datar dengan kemiringan
(0%-2%), sementara daerah dengan kemiringan (15%-40%) sebesar 39,54 persen

8
dan daerah yang memiliki kemiringan (> 40%) meliputi 15,95 persen dari luas
wilayah di Gunungkidul. Tekstur tanah di Kabupaten Gunungkidul dibedakan atas
dasar komposisi pasir, debu, dan lempung, sehingga secara garis besar dipilahkan
menjadi tekstur kasar, sedang, dan halus.

Topografi wilayah Kabupaten Gunungkidul didominasi oleh daerah


kawasan perbukitan. Pada kawasan perbukitan tersebut banyak terdapat goa-goa
alam dan sungai bawah tanah yang mengalir. Dengan kondisi struktur lahan yang
demikian maka sebagian besar kawasan Kabupaten Gunungkidul merupakan
kawasan karst. Kawasan tersebut saat ini sedang diupayakan pelestariannya sesuai
dengan daya dukung lingkungannya dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan
potensi kawasan karst yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Hidrologi. Di Kabupaten Gunungkidul terdapat dua daerah aliran sungai


(DAS) permukaan, yaitu DAS Opak-Oya dan DAS Dengkeng. Masing-masing DAS
tersebut terdiri dari beberapa SubDAS yang berfungsi untuk mengairi areal
pertanian. Selain itu juga terdapat DAS bawah permukaan, yaitu DAS Bribin. Air
pemukaan (sungai dan mata air) banyak dijumpai di Gunungkidul wilayah utara dan
tengah. Di wilayah tengah beberapa tempat memiliki air tanah yang cukup dangkal
dan dimanfaatkan untuk sumur ladang. Wilayah selatan Gunungkidul merupakan
kawasan karst yang jarang ditemukan air permukaan. Di wilayah ini dijumpai sungai
bawah tanah seperti Bribin, Ngobaran, dan Seropan, serta ditemukan telaga
musiman yang multiguna bagi penduduk sekitar.

Iklim. Berdasarkan letak astronomisnya, Kabupaten Gunungkidul berada di


daerah sekitar equator, sehingga secara klimatologi beriklim tropis dengan suhu
harian rata-rata 27,7°C, rentang suhu terendah 23,2°C dan tertinggi 32,4°C memiliki

9
dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan agak basah dan
mempunyai karakter 3 bulan kering dan 7 bulan basah. Wilayah Kabupaten
Gunungkidul bagian utara merupakan wilayah curah hujan yang paling tinggi
dibanding wilayah tengah dan selatan, sedangkan wilayah Gunungkidul bagian
selatan mempunyai awal hujan paling akhir. Kelembaban nisbi berkisar antara 80%-
85% yang dipengaruhi oleh musim. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari
hingga Maret, dan kelembaban terendah terjadi pada bulan September.

2.2. Kondisi Sosial Budaya

Bentuk wilayah atau fisiografi (terrain) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pola kehidupan sosial budaya pada masyarakat. Karakteristik sosial
budaya masyarakat Gunungkidul adalah masyarakat tradisional yang masih
memegang teguh budaya leluhur warisan nenek moyang. Secara umum masyarakat
Gunungkidul masih menggunakan bahasa lokal (Bahasa Jawa) dalam
berkomunikasi sehari-hari, dan Bahasa Nasional (Bahasa Indonesia) secara resmi
dipakai dalam lingkungan formal. Kondisi kehidupan dan aktivitas budaya dan
kesenian di Kabupaten Gunungkidul secara umum masih berjalan baik, terlihat dari
upaya dan kegiatan masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan
budaya dan kesenian yang ada. Bahkan juga tampak adanya upaya untuk menggali
kembali budaya dan kesenian yang hampir punah, serta upaya kaderisasi kepada
generasi muda

Dalam kehidupan beragama, masyarakat Gunungkidul hidup rukun dan


saling berdampingan meskipun terdapat lima agama yang hidup subur. Jumlah
pemeluk agama terbesar adalah agama Islam (73,38 persen), Kristen (12,83

10
persen), Katolik (10,17 persen), Hindu (2,78 persen) dan Budda (0,84 persen).
Sarana peribadatan tersedia cukup representatif dan memadai sehingga mendukung
masyarakat dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Dukungan pemerintah
terhadap kehidupan beragama terus ditingkatkan dengan memberikan ruang dan
kebebasan bagi semua agama (Bappeda Kab. Gunungkidul, 2008).

11
BAB III. DEMOGRAFI

Perkembangan kependudukan khususnya yang berkaitan dengan


kuantitas penduduk di Kabupaten Gunungkidul, dapat dilihat dari data yang diperoleh
dari hasil sensus dan survai yang dilaksanakan secara nasional maupun dari hasil
pencatatan dan pelaporan instansi-instansi di daerah.

Pada tahun 2007, penduduk Kabupaten Gunungkidul tercatat berjumlah


685.210 jiwa yang terdiri dari 335.411 orang (48,35 persen) laki-laki dan 349.799
orang (51,65 persen) perempuan, sementara sex ratio-nya sebesar 96 berarti setiap
100 perempuan terdapat lebih kurang 96 penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan
penduduk Kabupaten Gunungkidul adalah 0,99 persen per tahun.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Gunungkidul rata-rata 460 jiwa/km2


Kepadatan kabupaten ini hampir sama dengan rata-rata kepadatan penduduk di
setiap kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Kecamatan yang memiliki kepadatan
penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Wonosari, yaitu mencapai 996 jiwa/km2.
Kecamatan Wonosari sebagai ibukota Kabupaten Gunungkidul merupakan pusat
pemerintahan maupun pusat perekonomian, sehingga tingkat kepadatan penduduk
pada wilayah ini lebih tinggi daripada wilayah lain, sementara itu Kecamatan
Girisubo memiliki kepadatan penduduk yang rendah, yaitu sebesar 254 jiwa/km2.
(Gunungkidul dalam Angka, 2008).

3.1. Karakteristik Penduduk menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan data BPS Kabupaten Gunungkidul 2006/2007, struktur


penduduk Kabupaten Gunungkidul berdasarkan jenis kelamin yang tersebar di
dalam 18 kecamatan dirinci sebagai berikut.

12
Tabel 3.1. Banyaknya Penduduk menurut Jenis Kelamin
di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007

Laki-laki Perempuan Sex Ratio


Kecamatan
(Jiwa) (Jiwa) (%)
1 2 3 4

1. Panggang 12.888 13.612 95


2. Purwosari 9.009 9.742 92
3. Paliyan 14.649 15.288 96
4. Saptosari 17.406 18.025 97
5. Tepus 16.164 17.550 92
6. Tanjungsari 12.786 13.601 94
7. Rongkop 14.111 14.801 95
8. Girisubo 11.495 12.275 94
9. Semanu 26.307 27.304 96
10. Ponjong 25.248 25.895 98
11. Karangmojo 24.304 25.478 95
12. Wonosari 37.247 38.270 97
13. Playen 26.123 27.272 96
14. Patuk 14.207 14.626 97
15. Gedangsari 18.245 18.711 98
16. Nglipar 14.646 15.143 97
17. Ngawen 15.529 15.918 98
18. Semin 25.048 26.287 95
Total 335.411 349.799 96
Sumber: Gunungkidul dalam Angka 2008

Dilihat pada Tabel 3.1. di atas, jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Struktur penduduk
berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat digunakan untuk memprediksi peningkatan
jumlah penduduk di masa mendatang. Jika diamati di tiap-tiap kecamatan,
Kecamatan Tepus dan Purwosari memiliki sex ratio yang rendah, yakni 92, artinya
perbedaan jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya cukup besar. Pada setiap

13
100 orang penduduk perempuan, hanya terdapat 92 orang laki-laki.Tetapi di
Kecamatan Ponjong, Gedangsari, dan Ngawen, sex ratio cukup tinggi, yakni sebesar
98 melebihi sex ratio rata-rata Kabupaten. Barangkali hal itu terkait dengan migrasi
keluar, dimana sedikitnya jumlah penduduk laki-laki di suatu daerah karena mereka
banyak yang melakukan migrasi keluar daerahnya, pergi merantau, atau mencari
nafkah di daerah lain.

3.2. Karakteristik Penduduk menurut Kelompok Umur

Karakteristik penduduk Kabupaten Gunungkidul dilihat dari kelompok


umurnya menunjukkan sebaran yang cukup variatif, sebagaimana tabel berikut.

Tabel 3.2. Banyaknya Penduduk Kabupaten Gunungkidul menurut Kelompok


Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2007

Laki-laki Perempuan Persentase


Kelompok Umur Jumlah (%)
(Jiwa) (Jiwa)
1 2 3 4 5
0–4 25.036 16.889 41.935 6,12
5–9 23.392 22.649 46.041 6,72
10 – 14 29.668 23.455 53.145 7,75
15 – 19 30.069 19.661 49.730 7,25
20 – 24 14.572 17.936 32.508 4,74
25 – 29 19.885 21.099 40.984 5,98
30 – 34 22.678 23.568 46.246 6,75
35 – 39 25.197 27.305 52.502 7,66
40 – 44 21.088 28.167 49.255 7,19
45 – 49 20.599 23.799 44.398 6,48
50 – 54 19.229 25.180 44.409 6,48
55 – 59 22.679 22.305 44.984 6,56
60 + 61.229 77.776 139.075 20,29
Jumlah Total 335.411 349.799 685.210 100,00
Sumber: Gunungkidul dalam Angka 2008

14
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat digunakan
untuk menggambarkan piramida penduduk. Berdasarkan komposisinya, Tabel 3.2. di
atas menunjukkan bahwa jika dilihat dari kelompok umurnya, struktur penduduk
Kabupaten Gunungkidul dapat digambarkan dalam bentuk piramida ekspansif,
karena jumlah penduduk usia muda (umur 15 – 60 tahun) lebih banyak daripada
penduduk berusia tua dengan persentase lebih dari 50 persen. Struktur penduduk
yang demikian disebabkan karena pada periode sebelumnya tingkat kelahiran hidup
relatif lebih besar daripada tingkat kematian, sehingga pada tahun-tahun berikutnya,
jumlah penduduk usia muda lebih besar persentasenya.

Struktur penduduk berdasarkan umur akan berpengaruh terhadap angka


ketergantungan (dependency ratio) dan jumlah tenaga kerja yang tersedia.
Penduduk usia anak-anak (di bawah 14 tahun) dan usia tua (di atas 60 tahun)
merupakan usia belum produktif dan tidak produktif atau disebut penduduk
nonproduktif, yang merupakan beban bagi penduduk produktif, atau penduduk usia
muda. Jumlah penduduk nonproduktif di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007
adalah 280.196 jiwa dan penduduk usia produktif adalah 405.014 jiwa, dengan
demikian angka ketergantungan (dependency ratio) di Kabupaten Gunungkidul pada
tahun 2007 adalah sebesar 69,18 atau dengan kata lain, setiap seratus orang
penduduk usia produktif akan menanggung sebanyak 69 orang penduduk yang
nonproduktif.

3.3. Karakteristik Penduduk menurut Status Perkawinan

Data Susenas tahun 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa persentase


perempuan usia 10 tahun ke atas yang pernah kawin di Kabupaten Gunungkidul jika
dilihat dari usia perkawinan yang pertama adalah sebagai berikut.

15
Tabel 3.3. Persentase Penduduk Perempuan Pernah Kawin Usia
10 Tahun ke Atas menurut Usia Perkawinan Pertama,
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2006 dan 2007

Usia Perkawinan Pertama Persentase


Tahun 2006 Tahun 2007
1 2 3
≤ 16 tahun 16,33 13,27
17 – 18 tahun 30,56 24,20
19 – 24 tahun 45,43 53,51
25 tahun atau lebih 7,08 9,01
Jumlah Total 100,00 100,00
Sumber: Susenas, 2006,2007

Tabel 3.3. di atas menunjukkan bahwa usia perkawinan pertama bagi


perempuan yang pernah kawin di Kabupaten Gunungkidl terbesar persentasenya
adalah pada usia 19-24 tahun. Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa ada
peningkatan usia perkawinan pertama penduduk perempuan yang berumur 10 tahun
ke atas, antara tahun 2006 dan 2007, dimana usia perkawinan pada 19-24 tahun
dan 25 tahun ke atas, persentasenya meningkat, dan usia perkawinan di bawah 16
tahun persentasenya menurun.
60

50
53,51

45,43
40
< 16 th

30
17 - 18 th
30,56 19 - 24 th
20 24,2 25+
16,33
10 13,27

9,01
7,08
0
2006 2007
Gambar 3.1. Persentase Penduduk Perempuan Usia 10 tahun ke atas
Menurut Usia Perkawinan yang Pertama di Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2006 – 2007

16
Hal itu menunjukkan bahwa perempuan di Kabupaten Gunungkidul dilihat
dari usia perkawinan pertama mereka, relatif telah memiliki kematangan secara
psikologis dan kesiapan untuk menjadi ibu rumah tangga. Peningkatan usia
perkawinan yang pertama pada penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang
demikian, barangkali juga ada kaitannya dengan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dan berkegiatan di sektor publik bagi perempuan di Kabupaten
Gunungkidul. Karena alasan masih bersekolah atau bekerja, menjadikan mereka
berani mengambil keputusan untuk tidak melakukan perkawinan pada usia muda,
disamping meningkatnya pengetahuan tentang resiko kawin muda bagi ibu dan anak
yang mungkin akan mereka hadapi.

3.4. Formasi Keluarga

Hasil pendataan keluarga tingkat kabupaten yang dilakukan oleh Dinas


Kesehatan dan KB Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2008 menunjukkan bahwa di
wilayah Kabupaten Gunungkidul terdapat 191.562 rumah tangga dengan 215.524
kepala keluarga, terdiri dari 191.547 (88,87 persen) kepala keluarga laki-laki dan
23.977 (11,13 persen) kepala keluarga perempuan, dengan rincian sebagaimana
dijelaskan dalam Tabel 3.4. Sementara itu, menurut status perkawinannya, kepala
keluarga di Kabupaten Gunungkidul digambarkan sebagai berikut.

13%
87% kawin

janda / duda / blm kawin

Gambar 3.2. Persentase Status Perkawinan Kepala Keluarga


di Kabupaten Gunungkidul 2008

17
Menurut status perkawinannya, di Kabupaten Gunungkidul terdapat 188.070 (87
persen) kepala keluarga yang berstatus kawin, dan 23.309 (13 persen) kepala
keluarga yang berstatus janda/duda/belum kawin.

Tabel 3.4. Banyaknya Kepala Keluarga menurut Jenis Kelamin


di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008

Laki-laki Perempuan Sex Ratio


Kecamatan
(Jiwa) (Jiwa) (%)
1 2 3 4
1. Panggang 7.877 647 8.524
2. Purwosari 5.684 489 6.173
3. Paliyan 7.993 1.393 9.386
4. Saptosari 10.512 1.038 11.550
5. Tepus 10.739 1.346 12.085
6. Tanjungsari 7.788 848 8.636
7. Rongkop 8.977 887 9.864
8. Girisubo 7.582 573 8.155
9. Semanu 15.420 1.956 17.376
10. Ponjong 13.825 1.813 15.638
11. Karangmojo 13.495 2.223 15.718
12. Wonosari 19.906 2.642 22.548
13. Playen 14.307 2.551 16.858
14. Patuk 8.206 1.147 9.353
15. Gedangsari 9.801 1.371 11.172
16. Nglipar 8.171 423 8594
17. Ngawen 8.400 862 9262
18. Semin 12.864 1.768 14.632
Total 191.547 23.977 215.524
Sumber: Dinas Kesehatan dan KB Kab.Gunungkidul, 2008

18
Tabel 3.4. di atas menujukkan bahwa cukup banyak perempuan yang menjadi
kepala keluarga, terutama di Kecamatan Wonosari, Playen, dan Karangmojo,
sedangkan di Kecamatan Nglipar hanya sedikit perempuan yang menjadi kepala
keluarga (4,92 persen) dari seluruh kepala keluarga yang ada di daerah tersebut.

19
BAB IV. PENDIDIKAN

Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat hasil dari proses
pembangunan yang berorientasi penduduk adalah tingkat pendidikan. Pendidikan
mempunyai peranan penting bagi suatu daerah dan merupakan salah satu sarana
untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan penduduk. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin baik kualitas sumberdayanya.

4.1. Angka Buta Huruf

Berdasarkan amanat UUD 1945 pemerintah berkewajiban


menyelenggarakan program pendidikan nasional yang berkualitas bagi seluruh
lapisan masyarakat. Untuk itu sejak dasawarsa 70-an pemerintah telah
mencanangkan program pemberantasan buta huruf (B3B = bebas tiga buta) yang
ditunjang dengan program Inpres Sekolah Dasar. Selanjutnya, berdasarkan Undang-
Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Pendidikan Nasional, pemerintah mencanangkan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang pelaksanaannya dimulai sejak
1994.

Salah satu ukuran dasar untuk melihat keberhasilan pendidikan adalah


kemampuan baca tulis (melek huruf) penduduk usia 10 tahun ke atas. Menurut
Susenas 2006 dan 2007, penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul
yang telah melek huruf dan dapat membaca/menulis huruf latin dan atau lainnya
mencapai 76,4 persen dan 76,66 persen, berarti ada peningkatan meskipun
persentasenya masih belum memadai (hanya sebesar 0,26 persen). Tabel di bawah
ini menunjukkan hal tersebut.

20
Tabel 4.1. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Dapat
Membaca/Menulis di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2006-2007

Dapat membaca dan menulis Tidak


Tahun Huruf Huruf Huruf Latin Jumlah
Dapat
Latin Lain + Lainnya
1 2 3 4 5 6
2006 44,04 0,59 31,77 23,60 100,00
2007 63,79 0,56 12,31 23,34 100,00
Sumber: Susenas, 2006

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan persentase


penduduk yang melek huruf, dan penurunan persentase penduduk yang masih buta
huruf, atau tidak dapat memembaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya di
Kabupaten Gunungkidul yang berusia 10 tahun ke atas. Peningkatan persentase
yang telah melek huruf menunjukkan adanya keberhasilan program pemberantasn
buta huruf (Bebas 3 Buta atau Pemberantas Buta Aksara), melalui program Kejar
Paket A, B, maupun C bagi penduduk, terutama yang telah berusia dewasa/lanjut.
Sementara itu, berdasarkan umur dan jenis kelamin, penduduk Kabupaten
Gunungkidul yang masih buta huruf adalah sebagai berikut.

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Buta Aksara Usia 15-44 tahun dan 45 tahun
ke Atas Menurut Jenis kelamin di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2007

Umur Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 4
15 – 44 tahun 5.174 8.194 13.368
45 tahun + 7.924 17.901 25.825
Sumber: Tim Pokja PUG Kab.Gunungkidul

21
Apabila dilihat berdasarkan umur dan jenis kelaminnya, perempuan
berusia 15 – 44 tahun dan 45 tahun ke atas yang buta huruf di Kabupaten
Gunungkidul jumlahnya masih lebih banyak daripada laki-laki. Berdasarkan data
tersebut, dapat diketahui bahwa masih ada subordinasi dan stereotipe terhadap
perempuan dimana perempuan dianggap tidak penting, perempuan tidak perlu
melek huruf, dan perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi karena posisi akhirnya
akan di dapur. Di suatu desa di Gunungkidul masih terdapat budaya yang memilih
dan memberi kesempatan kepada jenis kelamin tertentu yaitu hanya laki-laki saja
yang dapat meneruskan sekolah. Selain itu, dilihat dari kelompok umurnya,
perempuan yang masih buta huruf adalah mereka yang telah berusia lanjut, atau
berusia 45 tahun ke atas, dimana mereka sudah tidak memiliki kemauan lagi untuk
belajar membaca atau menulis melalui program Kejar Paket A atau B yang
dicanangkan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya pemberantasan buta huruf.

4.2. Angka Partisipasi Sekolah

Adanya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi


penduduk dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah (APS) yang diharapkan
dapat meningkatkan kualitas penduduk sebagai sumberdaya pembangunan. Upaya
peningkatan peranan perempuan dan kesetaraan gender hanya dapat dicapai jika
perempuan maupun laki-laki memiliki akses yang sama pada pendidikan dan sumber
informasi lain. Dengan tingkat pendidikan yang baik dan berkualitas, orang akan
memiliki tingkat wawasan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
lebih baik, sehingga lebih mampu melihat dan memanfaatkan peluang yang ada
untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) dipengaruhi oleh sebab mendasar, di


antaranya kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar, ketersediaan sarana dan
prasarana sekolah, termasuk pemberian beasiswa, bantuan operasional sekolah,

22
kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya, serta pandangan masyarakat
mengenai arti pentingnya pendidikan.

Persamaan kesempatan memperoleh pendidikan adalah hak asasi yang


melekat pada perempuan sebagai warga negara agar dapat meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan keahlian, sehingga dapat memberikan
kontribusi yang sama untuk memacu pembangunan. Tabel di bawah ini
menunjukkan angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di
Kabupaten Gunungkidul sebagai berikut:

Tabel 4.3 Persentase Penduduk Usia 10 tahun ke Atas Menurut Angka


Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2006 dan 2007
Tahun 2006 Tahun 2007
Patisipasi Sekolah Laki- Perem Laki- Perem
Jml Jml
laki puan laki puan
1 2 3 4
Tidak/Belum Pernah Sekolah 16,26 30,66 23,87 12,54 30,65 21,73
Masih Sekolah 13,68 13,08 13,36 16,80 11,39 14,05
Tidak Bersekolah Lagi 70,06 56,26 62,77 70,66 57,96 64,22
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: Susenas, 2006, 2007

Tabel 4.3. di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan partisipasi


sekolah bagi penduduk di Kabupaten Gunungkidul usia 10 tahun ke atas, dimana
mereka yang masih sekolah persentasenya meningkat dari 13,36 persen menjadi
14,05 persen. Namun jika diamati pada jenis kelamin, ternyata partisipasi sekolah
bagi penduduk perempuan usia 10 tahun justru menurun, yakni sekitar 2,9 persen,
dan ada peningkatan persentase pada perempuan yang tidak bersekolah lagi, yakni
sebesar 1,7 persen. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih
lebih rendah partisipasinya dalam menempuh pendidikan formal dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini juga menunjukkan bahwa perempuan di Gunungkidul masih
belum memiliki kesempatan yang layak untuk menempuh pendidikan. Pendidikan

23
bukan merupakan hal yang harus diperjuangkan bagi perempuan di Gunungkidul.
Hal ini berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten
Gunungkidul yang masih melekat dan mentabukan perempuan untuk memperoleh
pendidikan yang tinggi, karena nantinya perempuan toh akan tinggal di rumah dan
mengurusi rumah tangga mereka sendiri.
Jika dilihat menurut kelompok umur dan jenis kelamin, partisipasi sekolah
penduduk Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut.

Tabel 4.4 Angka Partisipasi Sekolah menurut Kelompok Umur


dan Jenis Kelamin di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2006-2007
Kelompok Umur
Tahun Jenis kelamin
7 – 12 13 - 15 16 – 18
1 2 3 4 5

2006 Laki-laki 101,97 90,30 37,08


Perempuan 91,52 86,27 33,60

2007 Laki-laki 99,12 86,50 58,89


Perempuan 99,03 84,06 58,33

Sumber: Susenas, 2006, 2007

Tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 17-12 tahun baik laki-laki


maupun perempuan di Kabupaten Gunungkidul cukup tinggi, bila dibandingkan
dengan kelompok umur yang lain (13-15 tahun atau 16-18 tahun). Sementara itu,
Tabel 4.4 di atas juga menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki masih lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Rendahnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) bagi
perempuan barangkali berkaitan dengan adanya anggapan di sebagian masyarakat
bahwa perempuan tidak harus menuntut ilmu setinggi-tingginya karena nantinya
perempuan akan mengurus rumah tangganya dan tidak berkewajiban mencari
nafkah, sementara laki-laki justru dianjurkan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya

24
karena kelak laki-laki harus mendapatkan pekerjaan yang baik karena berkewajiban
menafkahi keluarganya.

4.3. Angka Putus Sekolah

Angka Partisipasi Sekolah dapat dikaitkan dengan keadaan putus


sekolah. Di Kabupaten Gunungkidul masih cukup banyak dijumpai anak putus
sekolah, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
maupun Sekolah Menengah Atas (SMA), sebagaimana digambarkan dalam Tabel
4.4. berikut.

Tabel 4.5 Persentase Angka Putus Sekolah menurut Tingkat


Pendidikan di Kabupaten Gunungkidul, Tahun
2003-2007

Jenjang Angka Putus Sekolah


Pendidikan 2003 2004 2005 2006 2007
1 2 3 4 5 6
SD/MI 0,29 9,36 0,17 0,12 0,15
SMP/MTs 0,35 0,54 0,57 6,75 1,02
SMA/MA 0,47 0,86 0,74 4,51 1,24

Sumber: Dinas Pendidikan Kab.Gunungkidul, 2008


Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa persentase angka putus sekolah
di Kabupaten Gunungkidul fluktuatif, terutama untuk tahun 2006. Kenaikan
persentase putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP/MTs sangat mencolok, 0,57
persen pada tahun 2005 menjadi 6,75 persen pada tahun 2006, tetapi menurun
kembali pada tahun 2007. Dibandingkan dengan jenjang pendidikan SD/MI dan
SMA/MA, persentase putus sekolah di jenjang pendidikan SMP/MTs lebih tinggi.
Keadaan putus sekolah atau siswa tidak melanjutkan sekolah barangkali berkaitan
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul yang masih dalam taraf
yang miskin, yang dibuktikan dengan masih banyaknya rumah tangga miskin di
Kabupaten Gunungkidul, yakni sebanyak 95.722 RTM dan 340.635 jiwa masyarakat

25
miskin (Dinkes Gunungkidul, 2007). Kemiskinan seringkali menjadi alasan bagi siswa
sekolah untuk tidak melanjutkan sekolah, karena mereka diharapkan membantu
mencari nafkah untuk keluarganya, dan anggapan lebih baik bekerja dengan
mendapatkan uang, disamping anggapan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan,
semakin besar biaya yang diperlukan, sementara masyarakat miskin dan rumah
tangga miskin tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya pendidikan.
Kondisi geografis juga berpengaruh terhadap tingginya angka putus
sekolah. Aksesibiltas yang rendah untuk menjangkau sekolah dengan sarana dan
prasarana transportasi yang terbatas dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat di
pelosok pedesaan, merupakan salah satu alasan bagi siswa untuk tidak melanjutkan
sekolah, meskipun guru telah memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa
agar tidak putus sekolah.
Angka putus sekolah pada tahun 2007 menurut jenis kelamin,
digambarkan dalam grafik berikut.

1.20%

1.00%

0.80%

0.60%
Laki-laki
0.40%
Perempuan
0.20%

0.00%
SD SMP SMA
Laki-laki 0.16% 1.06% 0.22%
Perempuan 0.07% 0.66% 0.27%

Gambar 4.1. Persentase Perbandingan Angka Putus Sekolah


Kabupaten Gunungkidul Tahun 2007
Berdasar grafik tersebut, angka putus sekolah di Kabupaten Gunungkidul
menunjukkan persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan, terutama di

26
tingkat SD dan SMP. Namun di tingkat SMA, justru perempuan menunjukkan
persentase yang lebih besar daripada laki-laki. Jika hal itu dikaitkan dengan usia
kawin yang pertama, barangkali tingginya perempuan yang putus sekolah di tingkat
pendidikan SMA karena mereka memilih menikah daripada melanjutkan sekolah.
Kondisi sosial dan budaya yang masih menunjukkan adanya anggapan bahwa
perempuan tidak harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, karena nantinya
mereka akan menjadi ibu rumah tangga mengurus suami dan anak-anaknya.
Sementara banyaknya laki-laki yang putus sekolah karena mereka pergi merantau,
mencari pekerjaan di daerah lain, untuk membantu orangtua mereka.
Angka putus sekolah dapat diamati melalui tingkat pendidikan dan jenis
kelamin di masing-masing kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, sebagaimana
tabel-tabel berikut.

Tabel 4.6 Angka Putus Sekolah SD menurut Jenis Kelamin, Kecamatan,


Indeks Paritas dan Disparitas di Kabupaten Gunungkidul. 2007
Jumlah Siswa Putus Sekolah Indeks Dis-
Kecamatan Paritas paritas
L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Panggang 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Purwosari 5 0,60 1 0,12 6 0,34 0,20 - 0,48
3. Paliyan 4 0,27 2 0,13 6 0,20 0,48 - 0,14
4. Saptosari 8 0,41 4 0,20 12 0,31 0,49 - 0,21
5. Tepus 5 0,35 1 0,07 6 0,20 0,20 - 0,28
6. Tanjungsari 1 0,09 0 0 1 0,04 0,00 - 0,09
7. Rongkop 1 0,08 1 0,08 2 0,08 1,00 0,00
8. Girisubo 2 0,12 1 0,10 3 0,15 0,83 - 0,02
9. Semanu 4 0,17 4 0,17 8 0,17 1,00 0,00
10. Ponjong 4 0,17 0 0 4 0,08 0,00 - 0,17
11. Karangmojo 5 0,23 0 0 5 0,11 0,00 - 0,23
12. Wonosari 1 0,03 1 0,03 2 0,03 1,00 0,00
13. Playen 5 0,21 1 0,04 6 0,13 0,19 - 0,17
14. Patuk 1 0,08 1 0,07 2 0,08 0,88 - 0,01
15. Gedangsari 2 0,10 2 0,10 4 0,10 1,00 0,00
16. Nglipar 0 0 0 0 0 0 0 0
17. Ngawen 0 0 0 0 0 0 0 0
18. Semin 3 0,12 3 0,18 6 0,12 1,50 0,06
Jumlah 51 0,16 22 0,07 73 0,11 0,44 - 0,09
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul

27
Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa keadaan putus sekolah pada
jenjang pendidikan SD di masing-masing kecamatan di Kabupaten Gunungkidul
tidak banyak jumlahnya. Perempuan putus sekolah di jenjang ini jumlahnya hanya
setengahnya dari laki-laki. Bila dilihat dari indeks paritasnya, angka putus sekolah di
jenjang pendidikan dasar (SD) tidak menunjukkan adanya kesenjangan gender yang
berarti.
Sementara itu, angka putus sekolah pada jenjang SMP di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 4.7 Angka Putus Sekolah SMP menurut Jenis Kelamin, Kecamatan,
Indeks Paritas dan Disparitas di Kabupaten Gunungkidul. 2007
Jumlah Siswa Putus Sekolah Indeks Dis-
Kecamatan Paritas paritas
L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Panggang 20 3,13 2 0,30 22 1,70 0,10 - 2,83
2. Purwosari 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Paliyan 0 0 0 0 0 0 0 0
4. Saptosari 24 2,67 14 1,52 38 2,09 0,57 - 1,15
5. Tepus 6 0,90 3 0,44 9 0,67 0,49 - 0,46
6. Tanjungsari 18 3,47 15 2,83 33 3,14 0,82 - 0,64
7. Rongkop 2 0,31 19 2,91 21 1,62 9,39 2,6
8. Girisubo 0 0 0 0 0 0 0 0
9. Semanu 30 2,44 19 1,52 49 1,10 0,62 - 0,92
10. Ponjong 20 0,70 10 0,83 30 0,27 1,19 0,13
11. Karangmojo 8 0,64 4 0,31 12 0,48 0,48 - 0,33
12. Wonosari 4 0,24 2 0,12 6 0,18 0,50 - 0,12
13. Playen 28 2,08 17 1,24 45 1,65 0,60 - 0.84
14. Patuk 10 1,48 3 0,43 13 0,95 0,29 - 1,05
15. Gedangsari 0 0 1 0,09 1 0,05 0,00 0,09
16. Nglipar 1 0,15 0 0 1 0,08 0,00 - 0,15
17. Ngawen 1 0,12 0 0 1 0,06 0,00 - 0,12
18. Semin 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 172 1,06 109 0,66 281 0,86 0,62 - 0,40
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul, 2007
Jumlah siswa putus sekolah di jenjang pendidikan SMP di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan angka yang bervariasi.

28
Persentase siswa perempuan yang putus sekolah tertinggi ada di Kecamatan
Rongkop (2,91 persen) dibandingkan dengan laki-laki (0,31 persen). Indeks paritas
yang tinggi di Kecamatan Rongkop (9,39) menunjukkan masih adanya kesenjangan
gender di pihak perempuan karena perempuan yang putus sekolah lebih banyak
daripada laki-laki, di kecamatan tersebut. Demikian pula di Kecamatan Panggang
masih terlihat adanya kesenjangan gender di pihak laki-laki karena jumlah laki-laki
yang putus sekolah lebih banyak dari pada perempuan, dengan indeks paritas
sebesar (0,10).

Angka putus sekolah di tingkat SMA pada masing-masing kecamatan di


Kabupaten Gunungkidul ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 4.8 Angka Putus Sekolah SMA menurut Jenis Kelamin, Kecamatan,
Indeks Paritas dan Disparitas di Kabupaten Gunungkidul. 2007
Jumlah Siswa Putus Sekolah Indeks Dis-
Kecamatan Paritas paritas
L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Panggang 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Purwosari 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Paliyan 0 0 0 0 0 0 0 0
4. Saptosari 0 0 0 0 0 0 0 0
5. Tepus 0 0 0 0 0 0 0 0
6. Tanjungsari 0 0 0 0 0 0 0 0
7. Rongkop 0 0 2 0,30 2 0,15 0,00 0,30
8. Girisubo 0 0 0 0 0 0 0 0
9. Semanu 0 0 0 0 0 0 0 0
10. Ponjong 14 0,10 9 0,70 23 0,90 7,00 0,60
11. Karangmojo 0 0 0 0 0 0 0 0
12. Wonosari 13 0,70 4 0,20 17 0,44 0,29 - 0,50
13. Playen 0 0 0 0 0 0 0 0
14. Patuk 10 1,50 31 4,57 41 3,05 3,05 3,07
15. Gedangsari 0 0 0 0 0 0 0 0
16. Nglipar 0 0 0 0 0 0 0 0
17. Ngawen 0 0 0 0 0 0 0 0
18. Semin 1 0,07 1 0,07 2 0,07 1,00 0,00
Jumlah 38 0,22 47 0,27 85 0,25 1,23 0,05
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul, 2007

29
Jumlah siswa setingkat SMA yang putus sekolah di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul tidak banyak. Di tingkat kabupaten hanya
terdapat 38 (0,22) siswa laki-laki yang putus sekolah dan 47 (0,27) siswa peempuan
setingkat SMA yang putus sekolah. Kesenjangan gender untuk siswa putus sekolah
setingkat SMA masih terjadi di beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Patuk,
dimana jumlah dan persentase perempuan yang putus sekolah sangat tinggi (4,57
persen). Sementara di Kecamatan Semin tidak terdapat kesenjangan gender dalam
hal putus sekolah di jenjang SMA, karena indeks paritasnya mencapai angka 1,00.

Kebijakan pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten


Gunungkidul untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah, baik di jenjang SD,
SMP, maupun SMA, antara lain adalah memberikan beasiswa kepada siswa yang
kurang mampu secara ekonomi, memberikan bantuan pendidikan dengan biaya
murah, termasuk memberikan bantuan untuk operasional sekolah (BOS), dan
sebagainya.

4.3. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan dapat dilihat


dari kualitas tingkat pendidikan yang ditamatkan. Banyaknya penduduk yang
berpendidikan tinggi menunjukkan semakin baik kualitas penduduknya. Tabel berikut
menunjukkan penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berumur 10 tahun ke atas
menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, adalah sebagai berikut:

30
Tabel 4.9 Persentase Penduduk Kabupaten Gunungkidul berumur 10 th
ke Atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun
2006-2007

Pendidikan Tertinggi yang Tahun 2006 Tahun 2007


Ditamatkan L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7
Tidak Punya 31,56 46,22 39,31 29,74 43,17 35,56
Sekolah Dasar 33,53 30,03 31,68 32,64 31,24 31,93
SLTP 18,63 13,43 15,88 21,53 14,64 18,03
SMU dan SMK 12,79 8,04 10,28 13,26 9,12 11,16
Diploma dan Perg.Tinggi 3,48 1,76 2,85 2,83 1,83 2,32
Jumlah Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Susenas, 2006, 2007

Tabel di atas memperlihatkan bahwa masih adanya kesenjangan tingkat


pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Persentase perempuan yang
tidak memiliki tingkat pendidikan tertinggi atau tidak sekolah dan tamat SD masih
cukup tinggi dibandingkan laki-laki. Demikian pula di tingkat pendidikan SLTA dan
perguruan tinggi, persentasenya masih jauh di bawah laki-laki. Namun jika diamati
lebih lanjut, tetap ada peningkatan lulusan dari tahun 2006-2007. Mereka yang
memiliki ijazah SD, SLP, SMA terus meningkat jumlahnya.

Demikian pula jika dua grafik di bawah ini dibandingkan, maka akan
nampak adanya peningkatan persentase tingkat pendidikan yang ditamatkan,
khususnya bagi perempuan di Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2006 ke tahun
2007. Ada kenaikan persentase sebesar 1,21 persen yang memiliki ijazah SMP atau
seserajad, kenaikan sebesar 1,08 persen yang memiliki ijazah setingkat SMA, dan
ada kenaikan sebesar 0,07 persen penduduk 10 tahun ke atas yang memiliki ijazah
setingkat akademi atau perguruan tinggi. Meskipun kanaikan tersebut relatif kecil
dan masih lebih rendah persentasenya secara keseluruhan jika dibandingkan
dengan laki-laki.

31
1,76

Akd/PT 3,48

8,04
SMA 12,79

13,43
SLP 18,63 Perempuan

30,03 Laki-laki
SD 33,53

46,22
Tdk punya 31,56

0 10 20 30 40 50

1,83
Akd/PT 2,83

9,12
SMA 13,26

14,64
SLP 21,53 Perempuan
31,24 Laki-laki
SD 32,64

43,17
Tdk punya
29,74

0 10 20 30 40 50
Sumber: Susenas, 2006, 2007

Gambar 4.2. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut


Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan di Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2006 dan 2007

32
Dengan demikian, partisipasi dan kesempatan perempuan di Kabupaten
Gunungkidul untuk mendapatkan pendidikan pada jenjang yang tinggi dan
menamatkannya, masih harus terus ditingkatkan.

33
BAB V. KESEHATAN

Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua masyarakat


dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata. Untuk itu Pemerintah
Kabupaten Gunungkidul berupaya meningkatkan mutu dan pelayanan kesehatan
yang semakin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Badan sehat merupakan dambaan setiap orang, karena semua jenis


kegiatan hanya dapat dilakukan dengan baik jika orang merasa sehat. Dengan
demikian, peningkatan kesehatan penduduk diharapkan mampu meningkatkan
kualitas penduduk dan produktivitasnya. Dalam keadaan kurang sehat atau tidak
sehat, kualitas pekerjaan yang dihasilkan tidak akan sempurna.

5.1. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan

Keberadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sangatlah


menentukan keberhasilan pelayanan kesehatan. Data Dinas Kesehatan Kabupaten
Gunungkidul menyebutkan bahwa hingga tahun 2007, di Kabupaten Gunungkidul
terdapat 2 rumah sakit umum, 16 Puskesmas Rawat Jalan, 13 Puskesmas Rawat
Inap, 108 Puskesmas Pembantu, 5 Rumah Bersalin, 108 Praktik Dokter Swasta, 152
Bidan Praktik Swasta, 73 Perawat Praktik Swasta, 1.457 Posyandu, 29 Polindes,
dan ditunjang dengan 9 Apotek

Indikator pelayanan kesehatan lain yang terkait dengan kesetaraan gender


diantaranya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur dengan angka
kunjungan perempuan ke tempat pelayanan kesehatan, dan cakupan pelayanan
antenatal dan persalinan. Pelayanan antenatal dan persalinan yang baik akan
menjadikan pemenuhan hak perempuan sebagai bagian dari pelayanan kesehatan

34
reproduksi wanita. Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yang meliputi pelayanan
5T, yaitu timbang berat badan, ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, pemberian
imunisasi TT dan pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama masa kehamilan.

Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, beberapa


penyakit yang sering dikeluhkan dan diderita oleh masyarakat di Kabupaten
Gunungkidul baik laki-laki maupun perempuan antara lain adalah:

Tabel 5.1. Jenis Penyakit yang Dikeluhkan dan Banyaknya


Penderita di Kabupaten Gunungkidul Tahun
2007

Jenis Penyakit Jumlah Persentase


1 2 3
Infeksi Saluran Napas Atas 54.889 12,22
Common Cold 41.994 9,35
Gastritis 25.738 5,73
Dermatitis Kontak Alergi 24.112 5,37
Gangguan pada Jaringan Otot 23.730 5,28
Hipertensi Primer 22.777 5,07
Asma 20.594 4,38
Sumber: Dinas Kesehatan, 2007

Tabel 5.1. di atas menunjukkan bahwa penyakit Infeksi Saluran Napas


Atas merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di Kabupaten
Gunungkidul dan persentasenya paling besar. Penyakit tersebut sangat berkaitan
dengan kondisi lingkungan.

5.2. Kesehatan Ibu Hamil, Kematian Bayi dan Anak

Indikator lain yang digunakan untuk mengukur derajad kesehatan


masyarakat adalah Angka Kematian Bayi. Angka kematian bayi sangat dipengaruhi
oleh kondisi kesehatan dan gizi ibu terutama pada masa kehamilan, melahirkan, dan

35
masa nifas. Besarnya Angka kematian bayi mencerminkan tingkat kepedulian
terhadap perempuan yang masih kurang. Angka Kematian Bayi yang tinggi
menunjukkan derajad kesehatan ibu yang rendah. Angka kematian bayi atau disebut
juga sebagai Infant Mortality Rate (IMR) didefinisikan sebagai bayi lahir hidup yang
meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertama.

Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
angka kematian bayi dan balita yang dilakukan di Kabupaten Gunungkidul.
Pemberdayaan GSI dalam bentuk pembinaan dan pembentukan “DESA SIAGA”
(Siap, Antar, dan Jaga) pada 10 desa SIAGA lama dan 10 desa SIAGA baru dengan
kriteria antara lain: (1) Desa terpencil, jarak jangkauan dari pelayanan kesehatan
lebih dari 1,5 – 2 jam ke RSUD Wonosari, (2) Peran dukun dan bayi masih dominan,
(3) Cakupan pelayanan KIA masih kurang, (4) pernah muncul kematian bayi baru
lahir/ibu bersalin. Pengorganisasian Desa Siaga yang telah dibina sejak tahun 2005-
2006 menunjukkan bahwa Desa Siaga dapat menjalankan fungsinya dalam
meningkatkan pelayanan KIA di desa masing-masing

Berikut ini disajikan data tentang kondisi kesehatan yang terkait dengan
ibu dan anak di Kabupaten Gunungkidul.

Tabel 5.2. Kondisi Ibu dan Anak di Kabupaten Gunungkidul,


Tahun 2004-2007

Tahun
Kondisi
2004 2005 2006 2007
1 2 3 4 5
Jumlah kematian Neonatus 64 89 49 63
Jumlah kematian bayi 64 102 63 45
Angka kematian bayi/1000 kelahiran 23,1 10,5 6,2 6,2
Jumlah kematian ibu (AKI 225/100rb) 4 5 8 7*
*) Perdarahan, emboli, Eklamsia
Sumber:Dinas Kesehatan Gunungkidul, 2006

36
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa masih perlu perhatian
pemerintah dan masyarakat tentang kondisi kesehatan ibu dan anak walaupun
angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Gunungkidul relatif rendah dibanding
angka nasional. Angka kehamilan dini di Gunungkidul cukup tinggi termasuk angka
abortus. Oleh karena itu perlu digalakkan kampanye kesehatan reproduksi secara
intensif.

5.3. Penolong Persalinan dan ASI

Kesehatan balita tidak hanya dipengaruhi oleh kesehatan ibu, namun juga
dipangaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Diantaranya adalah proses kelahiran/
persalinan. Data penolong kelahiran merupakan salah satu indikator kesehatan
terutama yang berhubungan dengan tingkat kesehatan ibu dan anak maupun
pelayanan kesehatan secara umum.

Persalinan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter dan bidan
dianggap lebih baik daripada yang ditolong oleh dukun atau lainnya, karena dapat
menggambarkan tingkat kemajuan pelayanan kesehatan terutama pada saat
kelahiran.
100
95,33
80 90,93

60
Bidan
40 Dukun

20 9,06
4,67

0
2006 2007
Sumber: Susenas, 2006, 2007

Gambar 5.1 Persentase Penolong Persalinan di Kabupaten


Gunungkidul Tahun 2006 dan 2007

37
Data Susenas 2006 dan 2007, menunjukkan bahwa di Kabupaten
Gunungkidul, proses persalinan mayoritas ditolong oleh dokter, bidan, dan tenaga
medis lainnya (90,93 persen), dan dukun atau lainnya (9,06 persen). Keadaan di
tahun 2007, mengalami peningkatan persentase penolong kesehatan yang terdiri
dari dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya, yakni 95,33 persen dan pertolongan
melalui dukun menurun persentasenya (4,67 persen). Hal itu menunjukkan adanya
peningkatan kesadaran masyarakat dan pengetahuannya untuk mendapatkan
pertolongan dari tenaga medis yang berkualitas dalam persalinannya.

Usaha meningkatkan kualitas sumberdaya manusia akan lebih baik jika


dilakukan sejak dini. Salah satu faktor penting yang memiliki pengaruh dalam upaya
tersebut adalah pemberian ASI. ASI merupakan zat sempurna untuk pertumbuhan
dan mempercepat perkembangan berat badan anak. Selain itu ASI mengandung zat
penolak dan pencegah penyakit serta dapat menumbuhkan ikatan batin dan kasih
sayang antara ibu dan anak.

Tabel 5.3. Persentase Balita menurut Layanan Disusui di Kabupaten


Gunungkidul, Tahun 2006

Lamanya disusui (bulan)


Tahun
0–5 6 – 11 12 – 17 18 – 23 24+
1 2 3 4 5 6
2006 1,12 2,24 13,54 19,15 63,94
Sumber: Susenas, 2006

Jumlah balita yang pernah disusui selama 24 bulan atau lebih


menunjukkan persentase tertinggi, yakni 64,94 persen. Hal itu menunjukkan bahwa
balita di Kabupaten Gunungkidul telah mendapatkan kecukupan ASI yang baik, dan
juga menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran ibu akan pentingnya ASI bagi
putra/putrinya.

38
5.4. Status Gizi Balita

Kecukupan gizi bagi balita dan ibu muda sangat penting bagi kesehatan,
kesejahteraan dan produktivitas selama hidup. Kekurangan gizi pada ibu muda
dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan mempunyai berat badan lahir rendah,
sedangkan kekurangan gizi pada balita mengakibatkan rentan terhadap penyakit dan
terganggu pertumbuhannya.

Tabel 5.4. Persentase Indikator Status Gizi Balita di Kabupaten


Gunungkidul Tahun 2004-2006
Tahun
Indikator Gizi
2004 2005 2006
1 2 3 4
Status Gizi Balita (target)
Gizi Buruk (< 1%) 1,64 1,21 1,18
Gizi Kurang (< 20%) 13,68 12,95 13,55
Gizi Baik (> 80%) 83,37 83,62 83,45
Gizi Lebih (< 3%) 1,43 2,21 1,82
Kurang energi protein (KEP)
Nyata / BGM (<1%) 1,64 1,21 1.18
Total (GK + GB =< 15%) 15,32 14,16 14,73
Anemia
Ibu Hamil ( <30) 41,30 41,30 41,30
Balita (<35) 28,16 28,16 28,16
KEK-WUS (20) 26,28 35,6 35,6
BBLR (<10) 3 1,82 1,82
Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Gunungkidul, 2008

Beberapa indikator gizi Kabupaten Gunungkidul yang meliputi status gizi


balita, kurang energi protein, dan anemia menunjukkan bahwa, status gizi balita di
Kabupaten Gunungkidul tergolong baik. Namun demikian masih ditemui beberapa
balita yang memiliki gizi kurang atau bahkan gizi buruk. Tabel di atas juga

39
menunjukkan masih adanya balita dengan status gizi berlebih. Gizi yang tidak baik,
(buruk, kurang, atau berlebih) perlu diwaspadai, dan gizi berlebih bukan berarti
sehat, karena dengan gizi berlebih justru balita mengalami over-weight atau
kelebihan berat badan dan mengarah kepada obesitas (kegemukan). Perbaikan gizi
bagi balita dengan gizi buruk maupun gizi kurang, diupayakan melalui program
perbaikan gizi dengan memberikan susu dan makanan tambahan, termasuk
pemberian vitamin A bagi balita dan ibu hamil, pemberian zat besi dan peningkatan
cakupan desa dengan garam beryodium baik. Pengutamaan sasaran program gizi
juga dilakukan pada kelompok sangat rentan, yaitu remaja putri usia subur, ibu
hamil, ibu menyusui, dan bayi sampai usia 2 tahun. Kekurangan energi protein dan
anemia masih ditemui di Kabupaten Gunungkidul. Persentase ibu hamil yang
mengalami anemia masih cukup tinggi, juga masih ditemui adanya bayi dengan
berat badan rendah meskipun persentasenya semakin menurun dari tahun ke tahun.
Penyuluhan tentang kesehatan masyarakat, khususnya mengenai
kesehatan ibu dan balita dilakukan melalui kegiatan Posyandu yang dikelola oleh
warga masyarakat dengan dukungan Puskesmas. Data dari Dinas Kesehatan dan
KB Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 10.322
(96,94 persen) bayi (usia 0 - <1 tahun) mengikuti kegiatan Posyandu, dan sejumlah
32.155 (97,96 persen) balita (usia 1 - < 5 tahun) mengikuti kegiatan Posyandu.
Melalui Posyandu yang ada di tingkat RW atau Kalurahan, warga masyarakat
terutama ibu-ibu dan anak-anak, mendapatkan berbagai penyuluhan, pemeriksaan,
dan pengobatan.

5.5. Usia Harapan Hidup


Indikator lain untuk menentukan status kesehatan masyarakat adalah Usia
Harapan Hidup. Angka harapan hidup waktu lahir merupakan gambaran umur yang
mungkin dicapai oleh seseorang bayi yang baru lahir. Semakin tinggi usia harapan
hidup, semakin meningkat pula kualitas kesehatannya. Usia harapan hidup
perempuan di Kabupaten Gunungkidul adalah 72,48 tahun, dan laki-laki adalah
65,58 tahun. Sementara usia harapan hidup nasional adalah 69,60 tahun untuk

40
perempuan, dan 67,72 tahuh untuk laki-laki. Usia harapan hidup perempuan di
Kabupaten Gunungkidul lebih tinggi daripada rata-rata usia harapan hidup beberapa
wilayah di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya kualitas kesehatan
masyarakat Gunungkidul pada umumnya, lebih baik daripada di wilayah lain di
Indonesia. Namun demikian, usia harapan hidup yang tinggi akan berdampak pada
semakin banyaknya populasi usia lansia (lanjut usia) atau di atas 60 tahun. Oleh
karena itu perlu adanya perhatian terhadap golongan usia lanjut tersebut.

5.6. Keluarga Berencana


Program Keluarga Berencana yang telah dicanangkan oleh pemerintah
sejak awalnya hingga sekarang telah banyak melibatkan peran perempuan. Banyak
alat/cara KB yang dikhususkan bagi perempuan seperti MOW, AKDR/IUD, suntik,
susuk dan pil. Persentase perempuan yang berusia 15-49 tahun dan berstatus kawin
yang mengikuti program KB menunjukkan kondisi yang terus mengalami kenaikan.
Data dari BPS Gunungkidul tahun 2007 menunjukkan bahwa dari sejumlah 134.555
PUS (Pasangan Usia Subur) di Kabupaten Gunungkidul, 107.307 (79,74 persen) di
antaranya menjadi peserta aktif program KB, dengan mengikuti program KB dari
pemerintah (46,58 persen) dan program KB yang dilakukan swasta (53,42 persen).
Alat kontrasepsi yang digunakan oleh peserta KB aktif di Kabupaten
Gunungkidul terbanyak adalah suntik (40,17 persen) kemudian IUD (25,35 persen),
pil (20,57 persen), implant (7,39 persen), MOW (4,76 persen), kondom (1,42
persen), dan MOP (0,32 persen), di samping itu banyak juga peserta KB aktif yang
telah melaksanakan KB mandiri. Partisipasi laki-laki dalam mengikuti program KB
masih perlu ditingkatkan, karena masih sedikit yang menjadi akseptor KB dengan
menggunakan kondom atau melakukan operasi (MOP=vasektomi). Padahal
sebenarnya program KB tidak hanya ditujukan kepada perempuan (istri) saja, tetapi
juga untuk laki-laki (suami) karena keberhasilan program KB adalah tanggung jawab
bersama demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.

41
Tabel 5.5. Banyaknya Akseptor KB Aktif menurut Kecamatan dan Jenis
Kontrasepsi yang Digunakan di Kabupaten Gunungkidul.
Tahun 2005-2007
Kec. Akseptor KB
IUD MOP MOW Impl Sunt Pil Kond Juml
1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Panggang 1211 2 303 227 1652 496 0 4053


2. Purwosari 943 0 89 90 1623 144 28 2917
3. Paliyan 764 4 158 67 1576 1586 130 4285
4. Saptosari 1904 0 219 231 2408 1153 82 5997
5. Tepus 772 6 120 759 3520 1330 42 6559
6. Tanjungsari 845 0 130 469 1107 1107 14 4634
7. Rongkop 1360 0 74 130 1555 1555 44 5378
8. Girisubo 1228 0 130 203 763 763 16 403
9. Semanu 1424 9 254 998 1835 1835 26 969
10. Ponjong 1774 26 348 518 1834 1834 64 872
11. Karangmojo 1738 6 571 46 1075 1075 317 664
12. Wonosari 3158 50 513 359 2561 2561 330 1238
13. Playen 3105 25 526 672 983 983 315 757
14. Patuk 896 60 193 1481 518 518 60 503
15. Gedangsari 997 43 662 895 443 443 51 593
16. Nglipar 1017 61 186 419 573 573 24 336
17. Ngawen 806 4 431 168 1560 1560 37 457
18. Semin 1320 57 124 1493 775 775 95 4639
Jumlah 2007 25262 353 5031 9235 45298 20291 1837 107307
2006 27707 347 5201 8080 43891 22480 1558 109264
2005 27934 349 5213 7736 43297 22510 1488 108527
Sumber: Gunungkidul dalam Angka 2007, 2008

Beberapa pertimbangan pemilihan alat atau cara KB yang digunakan


sangat tergantung pada kemudahan memperolehnya, kenyamanan memakainya,
serta kecilnya dampak atau akibat sampingannya, di samping pengetahuan tentang
penggunaan dan manfaatnya.
Perbandingan penggunaan alat kontrasepsi bagi peserta KB aktif Laki-laki
dan perempuan di Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

42
50000 45298
43891
43297

40000
IUD
27707 27934
30000 25262 Suntik
22480 22510
20291 Pil
20000
Implant
9235
8080 7736
MOW
10000
5031 5201 5213

0
2005 2006 2007

2000
1800
1600
1837
1400 1558
1488
1200
1000 Kondom
800 MOP
600
400
200 353 347 349

0
2005 2006 2007

Gambar 5.2 Perbandingan Penggunaan Alat Kontrasepsi


bagi Peserta KB Aktif Laki-laki dan Perempuan
di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2005 - 2007
Rendahnya partisipasi laki-laki atau suami di Kabupaten Gunungkidul
dalam mengikuti program KB dipengaruhi oleh faktor lingkungan budaya setempat
dimana isteri tidak memberikan ijin karena khawatir jika suami melakukan MOP
maka akan ”selingkuh”, sementara jika menggunakan kondom dirasa merepotkan.
Oleh karena itu, salah satu program pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunungkidul dalam peningkatan program KB antara lain dengan program
PUK atau penundaan usia kawin, yaitu minimal 20 tahun untuk perempuan dan 25
tahun untuk laki-laki, karena dengan penundaan usia kawin akan mengurangi
fertilitas.

43
BAB VI. KEGIATAN EKONOMI

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 21 dan 27 menjamin adanya kesamaan


hak dan kewajiban bagi penduduk tanpa membedakan laki-laki atau perempuan
dalam bidang pekerjaan, politik, dan hukum. Faktanya, apa yang telah dinyatakan
dalam UUD 1945 tersebut belum berjalan sesuai dengan yang semestinya. Tidak
mengherankan apabila kesempatan memperoleh pekerjaan di sektor-sektor tertentu
antara perempuan dan laki-laki masih timpang dengan imbalan atau upah yang
diterima tidak sama. Terbatasnya akses perempuan untuk berusaha/bekerja di
bidang ekonomi produktif termasuk dalam mendapatkan modal dan pelatihan usaha
sudah merupakan salah satu masalah yang telah diangkat dalam World Conference
on Women di Beijing 1995.

Masalah ketenagakerjaan perempuan dalam kerangka pembangunan


berperspektif gender sampai saat ini masih merupakan isu yang paling kerap
dibicarakan. Ketimpangan atau ketidakadilan gender banyak tercermin di dunia
kerja. Isu yang muncul misalnya masih adanya diskriminasi upah yang lebih rendah,
dan tidak diindahkannya kondisi kodrati perempuan seperti haid, melahirkan, dan
menyusui. Sementara itu isu kualitas tenaga kerja perempuan biasanya
berhubungan dengan masalah masih rendahnya pendidikan mereka, sehingga
menjadi sasaran bagi perusahaan yang berorientasi buruh murah.

Beberapa indikator di bidang ketenagakerjaan menunjukkan bahwa


keberadaan perempuan sebagai kelompok pekerja tidak mungkin diabaikan. Aspek
ketenagakerjaan yang dibahas antara lain mengenai partisipasi angkatan kerja,
pengangguran terbuka, setengah pengangguran, dan kontribusi sektor dalam
penyerapan tenaga kerja, serta keadaan buruh/karyawan.

44
6.1. Angkatan Kerja
Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke
atas yang melakukan kegiatan utama bekerja atau menganggur. Menganggur dapat
diartikan sebagai sedang mencari pekerjaan atau berhenti sementara dari
pekerjaannya. Sementara yang tidak termasuk angkatan kerja adalah mereka yang
melakukan kegiatan utama selain bekerja, seperti sekolah, mengurus rumah tangga,
atau lainnya.
Perempuan yang bekerja di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007
persentasenya masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebesar
45,04 persen perempuan bekerja, dan 54,96 persen laki-laki bekerja. Lebih besarnya
persentase laki-laki yang bekerja disebabkan pada umumnya laki-laki adalah kepala
rumah tangga yang memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga.
Sebaliknya, perempuan pada umumnya bukan sebagai pencari nafkah yang utama.
Karena itu banyak perempuan yang mengurus rumah tangga terutama pada saat
anak-anak masih kecil, saat masih memerlukan perhatian khusus.
Tabel di bawah ini menunjukkan kegiatan penduduk di atas umur 15 tahun
di Kabupaten Gunungkidul

Tabel 6.1. Persentase Penduduk Usia 15 tahun ke Atas menurut Kegiatan


Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007
Laki-laki Perempuan Jumlah
(jiwa/%) (jiwa/%) (jiwa/%)
1 2 3
Angkatan Kerja 209.334 (54,69) 173.440 (45,31) 382.774 (60,18)
• Menganggur 9.815 (49,77) 9.906 (50,23) 19.721 (5,15)
• Bekerja 199.519 (54,96) 163.534 (45,04) 363.053 (94,86)
Bukan Angkatan Kerja 94.901 (37,47) 158.377 (62,53) 253.278 (39,82)
• Sekolah 67.511 (51,64) 63.230 (48,36) 130.741 (51,62)
• Mengurus Rumah Tangga 11.883 (13,02) 79.372 (86,98) 91.255 ( 36,03)
• Lainnya 15.507 (49,57) 15.775 (50,43) 31.282 (12,35)
Sumber: Dinaskertrans Kab.Gunungkidul, 2008

45
Penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul yang berstatus
sebagai angkatan kerja (bekerja atau menganggur), persentasenya lebih besar
daripada yang berstatus bukan angkatan kerja (karena sekolah, mengurus rumah
tagga, atau lainnya), atau 60,18 persen dibandingkan dengan 30,82 persen.
Partisipasi angkatan kerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-
laki. Jika dicermati, masih lebih besar persentase perempuan yang berstatus bukan
angkatan kerja. Mengurus rumah tagga, misalnya memiliki persentase terbesar
dibandingkan dengan yang lain. Hal itu menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan
di sektor domestik tidak dihargai sebagai bekerja meskipun perempuan dalam
mengurus rumah tangga memiliki jam kerja yang lebih banyak daripada laki-laki.

Menurut tingkat pendidikannya, angkatan kerja di Kabupaten Gunungkidul


dapat dilihat pada grafik gambar 6.1. berikut.

49335
50000 46615 45879

42159
39745
40000 37009 35702

30389 31578

30000
24367

20000

10000

0
Tamatan SD SMP SMA Akd/PT
SD
Laki-laki Perempuan

Gambar 6.1. Partisipasi Angkatan Kerja menurut Tingkat


Pendidikan di Kabupaten Gunungkidul, 2007

Grafik tersebut menggambarkan tidak ada perbedaan yang mencolok


dalam hal tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan di dalam angkatan

46
kerja. Meskipun tetap terlihat bahwa angkatan kerja perempuan masih lebih rendah
jumlahnya dari pada laki-laki.

Keadaan tentang jumlah pencari kerja yang terdaftar pada Kantor Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul menurut tingkat pendidikan
dan jenis kelamin ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 6.2. Jumlah Pencari Kerja menurut Tingkat Pendidikan dan


Jenis Kelamin di Kabupaten Gunungkidul. Tahun 2007

Tingkat Pendidikan Pencari Kerja Tahun 2007


Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4

Sekolah Dasar 8 5 13
SLTP 571 30 601
SMA 4.516 2.291 6.807
STM 2.303 81 2.384
SMEA 747 1.765 2.512
Setingkat SMA 285 308 593
Sarjana Muda/Diploma 1.032 1.619 2.651
Sarjana (S1) 1.786 2.048 3.834
Pascasarjana (S2) 5 9 14
Jumlah 11.253 8.156 19.409
Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2008

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah pencari kerja perempuan
cukup banyak (42,02 persen), diantara para pencari kerja tersebut, terbanyak adalah
mereka yang berpendidikan SMA (umum). Jumlah pencari kerja perempuan dengan
tingkat pendidikan sarjana (S1) di Kabupaten Gunungkidul cukup banyak juga
melebihi jumlah pencari kerja laki-laki dengan tingkat pendidikan yang sama.
Sementara itu, dari para pencari kerja tersebut beberapa telah ditempatkan melalui
informasi pasar kerja (IPK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Gunungkidul, Sebagaimana tabel berikut

47
Tabel 6.3. Informasi Pasar Kerja (IPK) Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul. Tahun 2003-2007
Thn AKL AKAD AKAN Total
L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

2003 - - - 534 444 978 7 39 46 541 483 1.024


2004 108 97 205 279 125 404 3 45 48 390 267 657
2005 103 65 168 401 113 514 18 48 66 522 226 748
2006 57 71 128 25 29 54 1 32 33 83 132 215
2007 396 1.081 1.477 168 63 231 25 27 52 589 1.171 1760
Jml 664 1.314 1.978 1.407 774 2.181 54 191 245 2.125 2.279 4.404
Keteangan: Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2008
AKL = Antar Kerja Lokal (Penempatan Tenaga Kerja dalam satu Provinsi)
AKAD = Antar Kerja Antar Daerah (Penempatan Tenaga Kerja antar Provinsi)
AKAN = Antar Kerja Antar Negara (Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri)

Data tentang penempatan tenaga kerja di atas menunjukkan bahwa sejak


tahun 2003 hingga tahun 2007 semakin banyak tenaga kerja yag ditempatkan. Baik
ditempatkan dalam satu provinsi (AKL), antar provinsi (AKAD), bahkan antar negara
(AKAN). Dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa tenaga kerja yang
ditempatkan dalam satu provinsi, jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Demikian juga tenaga kerja perempuan yang ditempatkan di luar negeri melalui
program AKAN. Para tenaga kerja tersebut ditempatkan di beberapa negara, antara
lain: Malaysia, Korea, Taiwan dan Arab Saudi, dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 6.4. Jumlah Pencari Kerja yang Ditempatkan melalui


Program AKAN Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007

Negara Tujuan Pencari kerja yang Ditempatkan


L P Jumlah
1 2 3 4
Malaysia 14 19 33
Korea 10 2 12
Taiwan 1 0 1
Arab Saudi 0 6 6
Jml 25 27 52
Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2008

Cukup banyak tenaga kerja dari Kabupaten Gunungkidul yang mengikuti


program AKAN. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007, sebanyak 245 orang bekerja

48
di luar negeri terdiri atas 54 orang TKI laki-laki dan 191 orang TKI perempuan (TKW)
atau dengan rasio 2,827 yang berarti setiap satu orang TKI laki-laki terdapat 2 atau 3
orang TKI perempuan. Pada umumnya TKI dari Kabupaten Gunungkidul tidak
mencatatkan diri ke dinas terkait. Oleh karena itu masih perlu diupayakan adanya
sosialisasi yang lebih intensif kepada TKI laki-laki maupun perempuan agar
mencatatkan dirinya ke dinas terkait.

Tenaga kerja yang bekerja ke luar daerah, baik bekerja di sektor formal
maupun informal memberi dampak pada keluarga, antara lain banyaknya kasus
perceraian/gugat cerai karena alasan penelantaran keluarga, dan status isteri yang
”menggantung” karena tidak dinafkahi oleh suami dalam jangka waktu yang lama.
Alasan kemiskinan atau kondisi ekonomi menjadikan banyak perempuan yang
bekerja di sektor informal ke luar daerah untuk menjadi ”pembantu rumah tangga
(PRT)”, Banyak di antara mereka yang merantau karena melihat kesuksesan
tetangganya atau keluarganya yang bekerja sebagai PRT di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, atau bahkan kota-kota lain di luar pulau Jawa. Hal itu berdampak
pada banyaknya kelahiran anak di luar nikah, meskipun secara rinci datanya belum
dapat ditampilkan. Keinginan untuk bekerja di luar daerah barangkali berdampak
pula pada tingginya angka putus sekolah. Migrasi keluar banyak terjadi ketika tahun
ajaran baru, saat liburan idul fitri, tahun baru, atau perayaan rasulan (bersih desa).
Pada saat itu banyak tenaga kerja dari Gunungkidul yang telah sukses di luar daerah
membawa tenaga kerja baru untuk diajak merantau dan mencari pekerjaan ke luar
daerah. Keadaan semacam itu banyak ditemui pada masyarakat Gunungkidul yang
berbasis pertanian terutama di perdesaan, karena kondisi geografis setempat yang
tidak menjanjikan.

6.2. Tingkat Partisipasi dan Pengangguran

Ada dua indikator pokok yang sering digunakan untuk melihat partisipasi
penduduk di bidang ketenagakerjaan. Pertama, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) yang merupakan perbandingan banyaknya angkatan kerja dibandingkan

49
dengan total penduduk usia kerja. Kedua, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
yang merupakan perbandingan banyaknya penduduk usia kerja yang menganggur
dengan banyak angkatan kerja. Meskipun jumlah penduduk perempuan dari tahun
ke tahun selalu lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki, namun partisipasi
angkatan kerja perempuan selalu lebih rendah daripada partisipasi angkatan kerja
laki-laki. Tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang TPAK dan TPT di
Kabupaten Gunungkidul tahun 2007

Tabel 6.5. Persentase Penduduk Menurut Tingkat Partisipasi


Angkatan Kerja (TPAK) dan Kecamatan di Kabupaten
Gunungkidul. Tahun 2007
Kecamatan Persentase Partisipasi Angkatan Kerja
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4

1. Panggang 72,53 56,86 129,39


2. Purwosari 65,12 50,18 115,30
3. Paliyan 75,80 66,21 132,01
4. Saptosari 67,64 55,46 123,10
5. Tepus 83,23 72,26 155,49
6. Tanjungsari 75,33 52,51 127,83
7. Rongkop 64,74 47,81 112,55
8. Girisubo 59,21 44,17 103,39
9. Semanu 72,92 65,25 138,17
10. Ponjong 71,01 46,45 117,46
11. Karangmojo 52,47 27,44 79,91
12. Wonosari 65,12 48,72 113,83
13. Playen 86,10 79,62 165,72
14. Patuk 72,67 53,98 126,65
15. Gedangsari 61,34 51,67 113,01
16. Nglipar 68,81 52,90 121,71
17. Ngawen 72,81 53,89 126,70
18. Semin 56,64 35,65 92,28
Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2007

Berdasarkan tabel di atas, rerata persentase TPAK laki-laki dan


perempuan di Kabupaten Gunungkidul adalah 69,08 persen dan 52,83 persen.

50
Persentase perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Tetapi jika dilihat pada
masing-masing Kecamatan, di Kecamatan Playen dan Tepus persentase TPAK
perempuan menunjukkan persentase yang cukup besar, yakni 79,62 persen dan
72,26 persen, sementara di Kecamatan Semin, persentase TPAK perempuan sangat
rendah, yakni sebesar 35,65 persen. Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja masih harus terus ditingkatkan dengan memberikan kegiatan-
kegiatan positif untuk pemberdayaan perempuan.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki selalu lebih tinggi dari TPAK
perempuan, atau sebaliknya TPAK perempuan selalu lebih rendah dari TPAK laki-
laki terjadi karena sebagai dampak adanya pembagian kerja berdasarkan gender,
dimana laki-laki bertanggung jawab terhadap pencarian nafkah, sementara
perempuan bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, sekalipun perempuan
bekerja, namun sering dianggap sebagai pekerjaan sambilan. Akhirnya perempuan
dimasukkan sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid
worker) dan pendapatannya tidak diperhitungkan dalam sistem neraca nasional.

Penganggur dalam konsep statistik ketenagakerjaan adalah penduduk usia


kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, sudah diterima pada
suatu pekerjaa tetapi belum mulai bekerja atau sudah merasa putus asa untuk
mendapatkan pekerjaan. Keterbatasan lowongan kerja menjadikan jumlah
pengangguran bertambah, selain faktor lain seperti kurangnya kapasitas minimal
yang dimiliki seseorang untuk memasuki lapangan kerja. Besarnya Tingkat
Pengangguran Terbuka menunjukkan besar kecilnya penyerapan tenaga kerja pada
lapangan kerja yang tersedia

Tabel di bawah ini menunjukkan gambaran tentang Tingkat Pengangguran


Terbuka (TPT) di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2007.

51
Tabel 6.6. Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) dan Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul.
Tahun 2007
Kecamatan Persentase Pengangguran Terbuka
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4

1. Panggang 3,77 3,11 3,42


2. Purwosari 1,66 1,31 1,48
3. Paliyan 1,49 1,59 1,54
4. Saptosari 1,31 1,27 1,29
5. Tepus 2,48 2,39 2,43
6. Tanjungsari 2,70 2,44 2,57
7. Rongkop 2,22 2,13 2,18
8. Girisubo 2,12 2,28 2,20
9. Semanu 2,76 2,08 2,40
10. Ponjong 2,29 2,31 2,30
11. Karangmojo 2,41 2,15 2,28
12. Wonosari 1,55 1,78 1,67
13. Playen 2,04 2,55 2,30
14. Patuk 2,76 2,56 2,66
15. Gedangsari 3,16 2,38 2,75
16. Nglipar 3,03 2,86 2,94
17. Ngawen 2,96 2,50 2,72
18. Semin 1,33 1,22 1,27
Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2007

. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Gunungkidul yang


ditunjukkan pada Tabel 6.3 di atas memberikan gambaran bahwa antara laki-laki dan
perempuan rata-rata di setiap kecamatan memiliki persentase yang hampir sama,
yakni antara 2,33 untuk laki-laki dan 2,16 untuk perempuan.

6.3. Kegiatan Usaha bagi Perempuan

Persentase perempuan yang menganggur di Kabupaten Gunungkidul


masih cukup besar (50,23 persen). Untuk mengatasi hal itu, beberapa dinas dan
lembaga terkait telah menyelengarakan program-program pemberdayaan

52
perempuan untuk mengatasi tingkat pengangguran tersebut, antara lain melalui
kegiatan koperasi wanita, pemberdayaan perempuan tani dan istri nelayan melalui
kelompok perempuan pembudidaya ikan, pengolah ikan atau pedagang ikan yang
tergabung dalam kelompok Mina Boga, Mina Mandiri, dan Badri Manunggal.

Ketimpangan dan ketidakadilan gender banyak tercermin di dunia kerja


ataupun akses ekonomi pada umumnya. Salah satu indikator makro untuk melihat
keberhasilan pembangunan di Kabupaten Gunungkidul adalah Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang merupakan refleksi dari kemampuan daerah dalam
mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Atas dasar harga berlaku
PDRB Kabupaten Gunungkidul tahun 2006 mencapai 4.390.868 juta rupiah (Gunung
Kidul dalam Angka, 2007). Kontribusi sektor industri pengolahan adalah sebesar
482.494 juta rupiah atau 10,99 persen dan merupakan penyumbang terbesar
keempat dalam pembentukan PDRB Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan atas
dasar harga konstan menurut lapangan usaha, kontribusi industri pengolahan aalah
327.918 juta rupiah atau 11,58 persen dan merupakan penyumbang terbesar
keempat dari pembentukan PDRB ini.

Tenaga kerja perempuan memiliki posisi penting dalam kehidupan


ekonomi keluarga. Tersedianya lapangan kerja bagi perempuan akan membantu
bagi kehidupan ekonomi keluarga, dan sebaliknya kelangkaan lapangan pekerjaan
yang dapat dimasuki oleh tenaga kerja perempuan akan berpengaruh buruk
terhadap kehidupan ekonomi keluarga. Salah satu solusi yang dilakukan oleh
perempuan di Kabupaten Gunungkidul untuk mengatasi kesulitan dalam usaha
mencari nafkah tambahan bagi keluarganya adalah membuka usaha kerajinan di
bidang pengolahan makanan dan atau kerajinan tangan lainnya. Salah satu kegiatan
usaha yang dilakukan oleh perempuan di beberapa kecamatan di Kabupaten
Gunungkidul, adalah produksi dan penjualan Pathilo, seperti kerupuk atau rengginan

53
yang dibuat dari ketela pohon, usaha pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran
hasil perikanan ikan, pembuatan kerajinan dari akar wangi, dan sebagainya.

Pembangunan industri kecil mempunyai implikasi dan dampak yang luas


bagi pembangunan ekonomi karena akan menjadi sumber kehidupan bagi rakyat
banyak. Kegiatan industri kecil memiliki peran yang strategis dalam rangka
pengembangan wilayah dan pemerataan pembangunan daerah karena industri kecil
ini tersebar di seluruh pelosok tanah air. Industri kecil pada umumnya padat karya
sehingga kondusif bagi upaya pengentasan kemiskinan.

Data Dinas Perindagkop Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa


pada tahun 2007, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) serta industri bersar di
Kabupaten Gunungkidul adalah sejumlah 19.388 unit usaha. Dari seluruh unit usaha
tersebut sebagian besar merupakan industri pangan yaitu sebesar 8.475 unit usaha
atau 43,7 persen dari jumlah unit usaha yang ada. Pelaku industri pangan ini
didominasi perempuan, baik sebagai pengelola maupun tenaga kerja dalam bentuk
industri rumah tangga (IRT). Secara kuantitas industri pangan ini memberikan
kontribusi terbesar, namun dilihat dari pendekatan gender ketimpangan masih
terjadi. Masih ada stererotype atau anggapan bahwa perempuan hanya cocok untuk
bekerja dan mengelola jenis industri tertentu. Selain itu, industri yang banyak dikelola
perempuan ini ternyata kontribusinya relatif kecil dibandingkan industri lain (misalnya
industri meubel) yang lebih banyak dikelola dan dikerjakan oleh laki-laki. Meskipun
jumlah unit usahanya paling besar, namun jumlah omset dari industri pangan ini
bukanlah penyumbang terbesar dari seluruh industri yang ada di Kabupaten
Gunungkidul. Kontribusi industri pangan adalah Rp. 44.275.887.400,- (30 persen).
Penyumbang terbesar adalah industri kimia dan bahan bangunan dengan omset
Rp. 71.559.226.450,- (48 persen).

Secara umum dapat disampaikan bahwa masih terdapat kesenjangan


gender baik pada aspek kesamaan manfaat, kontrol, dan partisipasi dengan tidak

54
proporsionalnya kontribusi antara perempuan dengan unit usaha yang dijalankan
oleh laki-laki terhadap usaha ekonomi produktif pada umumnya, serta kurangnya
akses perempuan pada usaha ekonomi produktif tertentu yang relatif banyak
didominasi oleh laki-laki. Hal ini juga dapat dilihat data perkembangan keragaan
koperasi di Kabupaten Gunungkidul, dimana jumlah Koperasi Wanita (KOPWAN)
adalah 9 atau 3,75 persen dari seluruh koperasi yang ada. Sedangkan jumlah
perempuan yang menjadi anggota koperasi adalah 10.517 orang atau 12,59 persen
dari seluruh anggota koperasi. Tidak jauh berbeda degan kondisi pada sektor
industri, akses dan partisipasi perempuan Gunungkidul terhadap perkoperasian pun
relatif masih rendah. Maka wajar jika masih terdapat kesenjangan gender pada
kegiatan ekonomi di Kabupaten Gunungkidul.

Di sektor pertanian, kegiatan perekonomian berkaitan dengan produktivitas


petani. Jenis kelamin menentukan produktivitas. Umumnya petani laki-laki memiliki
jam kerja yang lebih banyak daripada perempuan, dan dari segi tenaga yang dimiliki,
laki-laki lebih kuat daripada perempuan dalam melakukan pekerjaan berat. Kepala
keluarga petani di Kabupaten Gunungkidul menurut data dari Kantor Penyuluhan
Pertanian Daerah Kabupaten Gunungkidul adalah 98,75 persen kepala keluarga
petani laki-laki dan 1,25 persen kepala keluarga petani perempuan, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tingkat produktivitas relatif tinggi, karena persentase kepala
keluarga petani laki-laki lebih besar dari persentase kepala keluarga petani
perempuan. Hal itu juga didukung dengan rata-rata usia petani 49,8 tahun termasuk
dalam kategori umur produktif.

Isteri petani sebagai pendamping kepala keluarga di Kabupaten


Gunungkidul dapat memberikan kontribusi yang besar bagi keluarga baik untuk
pendapatan total keluarga maupun pengambil keputusan dalam menjalankan usaha
tani. Data dari Kantor Penyuluhan Pertanian Kabupaten Gunungkidul menunjukkan
bahwa 89,61persen isteri petani memiliki pekerjaan pokok sebagai petani, kemudian

55
sebagai ibu rumah tangga (5,19 persen). Sementara untuk pekerjaan sampingan,
persentase tertinggi adalah sebagai buruh tani (35,89 persen), kemudian diikuti oleh
pekerjaan sebagai pedagang (berdagang), yakni sebesar 33,33 persen. Jenis
pekerjaan lain-lain adalah sebagai guru TK dan peladen tukang batu (Kantor
Penyuluhan Pertanian Daerah Kabupaten Gunungkidul, 2007). Variasi pekerjaan
yang dilakukan oleh isteri petani, sedikit banyak memberikan sumbangan bagi total
pendapatan keluarga. Namun, karena sedikitnya kontribusi pendapatan dari isteri
petani tersebut, maka kadang-kadang pendapatan mereka tidak diperhitungkan
sebagai yang utama, dan hanya sebagai tambahan saja.

Masyarakat perdesaan yang kegiatan ekonominya masih belum


didominasi sistem ekonomi uang, menyebabkan masih kuatnya keterkaitan antara
kegiatan ekonomi dan sosial. Maka bentuk-bentuk kerjasama langsung dalam
masyarakat seperti sistem gotong royong dan sistem pertukaran tenaga baik untuk
proses produksi pertanian maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya masih
terlembagakan dengan kuat pada masyarakat desa. Kelembagaan pertanian
tradisional seperti bagi hasil, sistem bawon pada saat penanaman dan panen, sistem
tebasan, sistem borongan pengolahan tanah dan pemanenan, sistem persewaan
tanah, sistem buruh tani, dan sistem lainnya yang terkait dengan operasi produksi
pertanian masih dilakukan.

Selain kelembagaan pertanian yang masih tradisional, kelembagaan


pertanian yang dikelola lebih modern, seperti kelompok tani, kelompok pemakai air,
kelompok kredit usaha, koperasi desa, kelompok pemasaran, kelompom peternak,
dan sebagainya mulai dilembagakan di perdesaan. Kelembagaan yang ada di
perdesaan, semuanya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian.
Kelompok tani menurut jenis kelamin di Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 menurut
data Kantor Dinas Penyuluhan Pertanian Daerah sebagian besar masih didominasi
oleh anggota kelompok yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan anggota

56
kelompok tani wanita tidak ada di seluruh kecamatan. Kelompok tani wanita yang
tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul ada 62,85 persen dari Desa
Gari di Kecamatan Wonosari, kemudian desa Planjan Kecamatan Saptosari (47,20
persen), desa Kelor di Kecamatan Karangmojo (43,44 persen), desa Bendungan
Karangmojo (40,92 persen). Di desa lainnya persentase anggota kelompok tani
wanita masih rendah persentasenya atau sedikit jumlahnya.

Di sektor perikanan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten


Gunungkidul menunjukkan adanya beberapa kegiatan yang dilakukan oleh
perempuan yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan), yang
berjumlah kurang lebih 32 Pokdakan. Ikan yang dibudidayakan berupa ikan lele, nila,
bawal, gurami, dan tawes yang dibudidayakan dalam kolam-kolam terpal. Selain itu
juga terdapat kurang lebih 25 kelompok pengolah dan pemasar hasil perikanan yang
dikelola oleh perempuan, terutama yang berada di Kecamatan Tepus, Panggang,
Saptosari, Tanjungsari, Girisubo, dan Wonosari.

57
BAB VII. PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK

Seiring dengan perkembangan iklim sosial budaya yang kondusif,


pandangan kaum perempuan telah banyak mengalami kemajuan. Saat ini semakin
banyak perempuan yang ikut dalam menentukan arah dan gerak pembangunan
bangsa. Perempuan telah banyak berpartisipasi di sektor publik, sebagai eksekutif
atau bergerak di dunia politik. Berikut ini sajian data terpilah tentang profil
perempuan Gunungkidul di sektor publik.

7.1. Pegawai Negeri Sipil

38%
62%

Laki-laki
Perempuan

Gambar 7.1. Grafik Perbandingan PNS Laki-laki dan Perempuan


Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008

Profil kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, masih


menunjukkan adanya kesenjangan gender dari perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan dalam kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah
seluruh PNS Daerah Otonom di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2008
berjumlah 11.558 orang yang terdiri atas 7.147 ( (62 persen) PNS laki-laki dan 4.411

58
(38 persen) PNS perempuan. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa PNS
perempuan masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan PNS laki-laki.

Apabila dilihat dari jabatan/eselonnya, profil PNS di Kabupaten Gunungkidul


ditunjukkan dalam tabel berikut

Tabel 7.1. Data Pejabat per Eselon dan Jenis Kelamin Kabupaten
Gunungkidul, Tahun 2008
Eselon Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
IIA 0 0 0
IIB 20 0 20
IIIA 100 9 109
IIIB 0 0 0
IVA 301 83 384
IVB 8 1 9
VA 44 14 58
Jumlah Total 473 108 581

Sumber: BKD Kab.Gunungkidul, 2008

Tabel 7.1. di atas menujukkan bahwa perempuan di Kabupaten Gunungkidul


yang menduduki jabatan di pemerintahan masih sangat sedikit jumlahnya
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara
lain faktor budaya dimana masih adanya keengganan menempatkan perempuan
pada posisi pengambil keputusan, atau memberikan kedudukan kepada perempuan
dalam jabatan struktural. Di lain pihak masih minimnya kesempatan yang diberikan
bagi perempuan, atau perempuan memang cenderung segan untuk meninggalkan
peran domestiknya.

59
Apabila dilihat dari tingkat pendidikannya, profil PNS di Kabupaten
Gunungkidul cukup bervariasi, sebagaimana tabel berikut.

Tabel 7.2. Pegawai Negeri Sipil menurut Jenis Kelamin dan Tingkat
Pendidikannya di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008

Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 4
1913 1157 3070
SMU/SMK
(62,31) (37,69) (100,00)
462 391 853
DIII/Sarjana Muda
(54,16) (45,84) (100,00)
2515 1499 4014
Sarjana (S1)
(62,66) (37,34) (100,00)
200 30 230
Pascasarjana (S2)
(86,96) (13,04) (100,00)
31 57 88
Dokter
(35,23) (64,77) (00,00

Sumber: BKD Kab.Gunungkidul, 2008

Dilihat dari jumlahya, PNS di Kabupaten Gunungkidul terbanyak adalah


berpendidikan Sarjana (S1), disusul kemudian pendidikan SMU/SMK, DIII/Sarjana
Muda, dan yang berpendidikan Pascasarjana (S2). Dengan demikian, sebenarnya
kualitas PNS tersebut dari tingkat pendididkannya sudah cukup baik. Hanya saja
masih terlihat adanya ketimpangan gender, karena jumlah dan persentase PNS
perempuan masih lebih rendah daripada PNS laki-laki, kecuali pada mereka yang
berprofesi sebagai dokter, justru dokter perempuan jumlah dan persentasenya lebih
banyak daripada laki-laki. Banyaknya persentase dokter perempuan menunjukkan
bahwa dokter perempuan lebih menyukai jabatan profesional daripada jabatan
struktural.

60
7.2. Guru dan Kepala Sekolah

Gambaran tentang guru dan kepala sekolah di Kabupaten Gunungkidul


menurut jenis kelamin ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 7.3. Jumlah Guru di Tiap Jenjang Pendidikan menurut Jenis


Kelamin di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007

Jenjang Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 4
Taman Kanak-kanak 46 1.306 1.352
Sekolah Dasar 2.362 2.324 4.686
SMP 1.376 846 2.222
SMA 472 303 775
SMK 639 429 1.068
Jumlah 4.895 5.208 10.103
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul, 2008

Jumlah guru di setiap jenjang pendidikan di Kabupaten Gunungkidul


bervariasi. Dari Tabel 7.3 tersebut di atas terlihat bahwa di jenjang pendidikan taman
kana-kanak (TK) guru laki-laki berjumlah 46 orang (3,40 persen) sedangkan guru
perempuan berjumlah 1.306 orang (96,60 persen). Banyaknya guru perempuan di
jenjang TK barangkali berkaitan dengan persepsi perempuan yang lebih sabar, dan
lemah-lembut menghadapi anak kecil. Demikian pula di jenjang pendidikan SD
karena kesabaran dan keuletan guru masih sangat diperlukan oleh siswa di usia
anak-anak, maka guru perempuan pun jumlahnya banyak meskipun jumlahnya
masih lebih rendah daripada jumlah guru laki-laki. Sementara itu, pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (SMP atau SMA dan SMK), jumlah guru laki-laki masih
lebih banyak daripada guru perempuan. Secara keseluruhan di Kabupaten
Gunungkidul jumlah guru perempuan lebih banyak daripada jumlah guru laki-laki.

61
7.3. Politik
Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2000 telah memberikan peluang
adanya keterwakilan politik perempuan dalam parlemen. Akan tetapi pada
kenyataannya keterwakilan perempuan dalam parlemen belum dapat mencapai 30
persen. Persentase legislatif perempuan dalam parlemen pada Pemilu 2004 adalah
sebagai berikut.

Tabel 7.4. Jumlah Anggota Legislatif / DPRD Berdasarkan Jenis


Kelamin Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008

Periode Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 4

1962 – 1965 33 2 35
1965 – 1971 51 4 59
1971 – 1977 35 5 40
1977 – 1982 35 5 40
1982 – 1987 37 3 40
1987 – 1992 40 5 45
1992 – 1997 41 4 45
1997 – 1999 41 4 45
1999 – 2004 42 3 45
2004 – 2009 44 1 45

Sumber: DPRD Gunungkidul, 2008

Tabel di atas menunjukkan keterwakilan perempuan dalam legislatif / sebagai


anggota DPRD Kabupaten sangat tidak representatif, pada setiap periode Pemilu,
jumlah dan persentasenya senantiasa menurun. Pada periode 2004 – 2009, ada
sejumlah 97 persen anggota legislatif laki-laki, dan sisanya 1 persen adalah
perempuan. Hasil tersebut jelas belum memenuhi kuota 30 persen keterwakilan

62
perempuan dalam anggota legislatif sebagaimana diamanatkan dalam UU no 12
Tahun 2000. Oleh karenanya pada periode Pemilu mendatang perlu ada perbaikan
mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen. Perlu ada peningkatan political
will dari partai politik peserta Pemilu untuk mendorong dan memberi kesempatan
kepada kader-kader perempuan menjadi anggota parlemen.
Budaya patriarki ternyata memang masih mengakar kuat dalam kehidupan
masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Dominasi laki-laki dalam politik semakin
meminggirkan perempuan. Kurangnya keinginan perempuan untuk terjun kedua
politik memang sangat individualis sifatnya, karena itu merupakan keinginan mereka.
Masyarakat tidak dapat memaksa agar perempuan berpolitik praktis, apalagi ada
anggapan bahwa dunia politik adalah dunia yang tidak ramah perempuan, dunia
politik bertentangan dengan fitrah perempuan yang lemah lembut sehingga tidak
cocok bagi perempuan. Perempuan yang menjadi aktivis partai atau terjun ke dunia
politik harus siap untuk meninggalkan tugas-tugas kerumahtanggaannya. Hal-hal
itulah yang memberi penguatan anggapan bahwa memang perempuan tidak
memiliki kapasitas dan kompetensi sebagai aktivis politik.
Namun demikian, pada tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul sudah mulai
tumbuh kesadaran perempuan untuk terjun ke dunia politik Sejumlah 146 orang
perempuan mencalonkan diri menjadi calon anggota anggota legislatif (caleg) untuk
lima (5) daerah pemilihan (dapel) dari seluruh (464 orang) calon anggota legislatif di
Kabupaten Gunungkidul. Sebaran calon legislatif tersebut adalah sebagai berikut.

63
Tabel 7.5. Sebaran Calon Anggota Legislatif Perempuan di
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008

Daerah Pemilihan Jumlah Persen


1 2 3
Dapel I 36 orang 30,25
Dapel II 29 orang 34,11
Dapel III 32 orang 32,32
Dapel IV 28 orang 32,56
Dapel V 21 orang 28,00
Jumlah 146 orang 31,46
Sumber: KPU Kab.Gunungkidul, 2008

Selain secara kuantitaif untuk memenuhi kuota 30 persen anggota


legislatif, para calon anggota legislatif tersebut diharapkan memiliki kualitas yang
memadai sehingga aspirasi perempuan dapat tersalurkan melalui mereka.

7.5. Hukum dan Peradilan

Jabatan perempuan di bidang hukum dan peradilan di Kabupaten


Gunungkidul komposisinya tidak jauh berbeda dengan bidang-bidang lain. Jumlah
Hakim dan Jaksa di Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7.6. Jumlah Hakim dan Jaksa Berdasarkan Jenis Kelamin


Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007 - 2008

2007 2008
Hakim/Jaksa
L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7
Hakim Pengadilan Negeri 5 1 6 7 2 9
Jaksa 5 3 8 4 3 7
Hakim Pengadilan Agama 5 1 6 4 1 5
Sumber: Kejari dan Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul

64
Jabatan Hakim dan Jaksa perempuan di Kabupaten Gunungkidul masih
lebih rendah daripada laki-laki, baik di Pengadilan/Kejaksaan Negeri maupun
Pengadilan Agama. Pada tahun 2008, dari sejumlah 9 hakim di Pengadilan Negeri, 2
orang (22,2 persen) adalah hakim perempuan, sedangkan dari sejumlah 7 jaksa, 3
orang (42, 85 persen) adalah jaksa perempuan. Di Pengadilan Agama, pada tahun
2008 hanya 1 orang (20 persen) hakim perempuan. Sementara itu di bidang
penegakan hukum yang lain, jumlah dan persentase perempuan sebagai anggota
POLRI adalah 18 orang Polwan dari 938 orang anggota polisi di Polres
Gunungkidul. Keberadaan perempuan dalam bidang penegakan hukum diharapkan
dapat membuat keputusan-keputusan peradilan yang tidak bias gender.

65
BAB VIII. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi


manusia. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius
dalam bidang kesehatan, karena melemahkan energi perempuan, mengikis
kesehatan fisik dan harga dirinya. Di samping menyebabkan luka-luka, kekerasan,
juga memperbesar resiko jangka panjang terhadap masalah kesehatan lainnya,
termasuk penyakit kronis, cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta
depresi. Perempuan dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkat
resikonya untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular
seksual, dan kesudahan kehamilan yang kurang baik (Mohammad Hakim, dkk.,
2001).

Tidak ada batasan umum tentang kekerasan terhadap perempuan yang


disetujui secara universal. Banyak istilah yang digunakan secara berbeda di
berbagai tempat dan didapat dari berbagai teori dan disiplin ilmu. Ada konsesus
internasional yang menyatakan bahwa penganiayaan terhadap perempuan dan anak
perempuan dimanapun terjadinya dikonseptualisasikan dalam kerangka “kekerasan
berbasis gender”, yang berangkat dari status subordinasi perempuan dibanding laki-
laki dalam mastarakat.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara resmi mendefiniskan


kekerasan berbasis gender pertama kali pada tahun 1993 ketika Majelis Umum
mengesahkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Menurut
deklarasi itu:

….kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan


pemaksaan secara verbal atau fisik, pemaksaan atau perampasan

66
kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan
atau gadis yang merugikan fisik maupun psikologis, penghinaan, atau
perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga
mengakibatkan subordinasi perempuan… (Heiss, et al. 1999). .

Kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Timbulnya


berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kejahatan
yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan antara lain adalah
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik, dan
pelecehan seksual.

Walaupun sangat merugikan, hampir setiap masyarakat di dunia mempunyai


institusi sosial yang melegitimasi, menyamarkan, dan menyangkal terjadinya
kekerasan terhadap perempuan. Ketika kekerasan menimpa pekerja, tetangga, atau
kenalan, pelakunya dapat dijatuhi hukuman, namun hal yang sama seringkali tidak
dipermasalahkan atau dihukum manakala kekerasan dilakukan laki-laki terhadap
perempuan terutama dalam keluarga. Timbulnya berbagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan anak disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang
ada di dalam masyarakat. Fenomena gunung es pada permasalahan korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan trend atau kecenderungan
yang meningkat. Oleh karena itu perlu diwaspadai dengan cermat dan perlu adanya
penanganan yang arif dan bijak sehingga permasalahan kekerasan terhadap
perempuan tidak menjadi persoalan yang lebih kompleks.

Di Kabupaten Gunungkidul, beberapa masalah kekerasan terhadap


perempuan dan anak ditangani oleh pihak yang berwenang, seperti Polisi dan
diputus perkaranya oleh Hakim. Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan
telah terjadi dengan data sebagai berikut.

67
Tabel 8.1. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2005 - 2008

Bentuk Kekerasan 2005 2006 2007 2008


1 2 3 4 5
Kekerasan fisik: pukul/tampar/tendang 6 3 5 6
Diminumi Racun - 1 - -
Pelecehan Seksual - 2 -
Menelantarkan Keluarga/Anak - 2 2 -
Ancaman - 1 1 -
Jumlah 6 9 8 6
Sumber: Polres Gunungkidul

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh suami terhadap


isteri, tetapi ada juga tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak.
Bentuk perlakuan kekerasan terutama adalah kekerasan fisik, pelecehan seksual,
dan penelantaran keluarga/anak. Dilihat dari latar belakang sosial ekonominya,
kejadian kekekerasan dalam keluarga di Kabupaten Gunungkidul terdapat pada
status ekonomi lemah. Dari sekian banyak kasus pada tahun 2005 – 2007, 71
persen kejadian pada keluarga dengan status ekonomi lemah, dan sisanya 29
persen terjadi pada keluarga dengan status ekonomi menengah. Barangkali tekanan
ekonomilah yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga tersebut.

Selain itu, data lain dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul yang
memutuskan perkara perceraian menunjukkan bahwa banyaknya kasus gugat cerai
yang diajukan oleh istri kepada suami adalah disebabkan karena kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dengan berbagai kasus sebagai berikut.

68
Tabel 8.2. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
Menyebabkan Perceraian di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2005 - 2008

Bentuk Kekerasan 2005 2006 2007 2008


1 2 3 4 5
Kekerasan fisik: pukul/tampar/tendang 10 15 12 14
Minuman Keras 5 6 4 5
Pelecehan Seksual - 2 -
Menelantarkan Keluarga/Anak - - 2 3
Ancaman 2 - - -
Jumlah 17 23 18 22
Sumber: Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul, 2008

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berupa kekerasan fisik


merupakan penyebab gugat cerai yang diajukan pihak istri kepada suami melalui
Pengadilan Agama. Jumlah perceraian karena kasus KDRT ini menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun.

69
BAB IX . MASALAH ANAK

Hal yang perlu mendapat perhatian bekaitan dengan hak anak adalah
masalah akte kelahiran. Hal ini penting karena setiap anak memiliki hak untuk
mengetahui identitas dirinya, seperti siapa orang tuanya, dimana ia dilahirkan, dan
sebagainya. Dengan demikian haknya untuk mendapatkan pendidikan dan
memperoleh kehidupan yang layak di kemudian hari akan terjamin.

Kenyataannya, di Indonesia pada umumnya baru sekitar 58,41 persen


balita yang memiliki akte kelahiran, demikian pula di wilayah perdesaan sekitar 71,2
persen balita tidak memiliki akte kelahiran. Sebagian besar masyarakat masih
menganggap tidak perlu memiliki akte kelahiran karena kurangnya pengetahuan
mereka tentang manfaat akte kelahiran bagi anak-anaknya.

Di Kabupaten Gunungkidul, pengurusan akta kelahiran dilakukan di Kantor


Catatan Sipil, dengan data sebagai berikut.

Tabel 9.1. Pengurusan Akta Kelahiran di Kabupaten Gunungkidul,


Tahun 2006 – 2008

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 5
Tahun 2006 2.996 2.808 5.804
Tahun 2007 3.420 2.988 6.408
Tahun 2008* 2.151 1.535 3.686
Jumlah 8.567 7.331 1.5898
*) data sampai dengan bulan Juli 2008
Sumber: Kantor Catatan Sipil Kabupaten Gunungkidul

Pengurusan Akta Kelahiran di Kabupaten Gunungkidul semakin meningkat


dari tahun ke tahun. Hal itu menunjukkan sudah ada kesadaran dari masyarakat atau

70
penduduk tentang pentingnya Akta Kelahiran. Pengurusan Akta Kelahiran di
Kabupaten Gunungkidul saat ini dipermudah dengan adanya peraturan pemerintah
daerah sejak Agustus 2008 dengan membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran
kepada anak sejak waktu dilahirkan hingga 60 hari kemudian.
Masalah anak yang lain, adalah masih adanya anak-anak usia sekolah
yang bekerja. Kesulitan ekonomi seringkali memaksa anak untuk bekerja, padahal
sebagai anak-anak mereka mempunyai hak untuk belajar dan bermain serta
mengalami tumbuh kembang secara wajar, sehingga dapat diharapkan menjadi
generasi penerus yang berkualitas. Tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang
tidak memadai telah menyebabkan anak-anak terpaksa harus ikut bekerja
membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Alasan ekonomi juga berdampak pada tingginya kasus kekerasan
terhadap anak. Karena tekanan ekonomi keluarga, orangtua pada umumnya ayah
sering melampiaskan kekesalannya kepada ibu (istri) dan anak, sehingga muncul
kasus KDRT dan Kekererasan terhadap Anak. Bentuk kekerasan pada anak
terutama adalah pelecehan seksual, dan perkosaan, sebagaimana digambarkan
pada tabel di bawah ini.

Tabel 9.2. Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Anak di Kabupaten


Gunungkidul, Tahun 2007 - 2008

Bentuk Kekerasan 2007 2008


1 2 3
Perkosaan 2 3
Pelecehan Seksual / Pencabulan 3 4
Membawa pergi 1
Pemaksaan / Ancaman - 4
Jumlah 6 11
Sumber: Polres Gunungkidul

71
Pada data diatas ditunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak
jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dari kasus sebelumnya 2007 ke 2008.
Oleh karena itu perlu ada perhatian yang lebih intensif dari orang tua atau keluarga
terhadap anak-anaknya. Kemajuan teknologi dan informasi global memungkinkan
terjadinya tindak kekerasan terhadap anak karena pelaku biasanya meniru
tayangan-tayangan televisi atau film/video (porno dan kekerasan) yang ditayangkan,
disewakan atau dijual bebas di masyarakat. Pada beberapa kasus kekerasan
terhadap anak, biasanya pelakunya adalah teman sendiri atau orang dewasa yang
sudah dikenal dekat oleh korban.

Sebagian besar korban kejahatan perkosaan mempunyai status sosial


ekonomi yang relatif rendah, dengan latar belakang ekonomi orang tua yang miskin.
Korban kejahatan perkosaan adalah anggota masyarakat yang mempunyai
kemiskinan ganda, yaitu miskin pendidikan dan miskin ekonomi.

Perkosaan merupakan kasus yang menimpa harga diri dan martabat


perempuan, di mana akibat dari kejadian tersebut korban mengalami trauma psikis.
Pandangan orang lain pun tidak sama, ada yang bersimpati pada korban, tetapi ada
juga yang sinis dan beranggapan korban memberi andil akan terjadinya tindak
perkosaan yang menimpa mereka. Korban kejahatan perkosaan mangalami rasa
rendah diri yang sangat sulit diatasi. Kondisi demikian membuat mereka menarik diri
dari pergaulan. Rasa rendah diri yang berlebihan membuat mereka sulit untuk
bergaul, terlebih dengan lawan jenisnya. Karena keadaan yang menimpa dirinya,
para korban kejahatan perkosaan memiliki rasa ketergantungan yang tinggi terhadap
keluarganya, mereka menutup diri terhadap orang lain. Penderitaan lahir batin serta
traumatik yang bekepanjangan menjadi ciri spesifik dari perempuan korban
kejahatan perkosaan. Korban mengalami stress dan depressi karena peristiwa
perkosaan yang dialaminya. Penderitaan yang berat tersebut menghilangkan rasa

72
gembira dan ceria mereka. Kemurungan, kemarahan, kekecewaan, dan rasa
tertekan selalu meliputi perasaan. Mereka pesimistis terhadap masa depan.

Selain itu, pola pengasuhan yang tidak tepat dimana karena alasan
ekonomi, orangtua mencari pekerjaan ke luar daerah, menjadi TKI atau TKW di luar
negeri menyebabkan anak dititipkan kepada kerabatnya atau anggota keluarga yang
lain, seperti kakek, nenek, paman, atau bibi. Karena kurang kontrol terhadap anak
tersebut, dan pengaruh teman sebaya, menjadikan anak terjerumus dalam kegiatan-
kegiatan yang negatif, seperti narkoba, pornografi, hingga kehamilan dini. Banyak
permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul
karena usia pernikahan yang belum cukup umur bagi calon istri maupun suami.
Kasus ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, yakni 7 kasus pada tahun 2007
dan meningkat menjadi 23 kasus pada tahun 2008.

73
BAB X . MASALAH PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING)

Globalisasi dunia dan perkembangan teknologi sedikit banyak berdampak


pada kehidupan masyarakat pada umumnya, dimana akses keluar masuk suatu
negara, wilayah, daerah, akan semakin mudah. Jika tidak diantisipasi sejak dini,
maka perdagangan manusia atau trafficking semakin rentan. Teknologi internet
menyebabkan kemudahan dalam eksploitasi tubuh dan perdagangan perempuan
serta anak melalui dunia maya. Trafficking juga diakibatkan oleh rentannya
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Isteri dan anak-anak yang menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tidak betah di rumah sehingga turun
ke jalan, dan istri mencari pekerjaan di luar akibat kekerasan ekonomi yang dialami.

Perdagangan manusia (trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan


yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual orang baik di dalam
negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan,
penipuan dan memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai
tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik,
belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus
menyangkut anak diterapkan juga definisi bahwa perdagangan manusia anak juga
berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela. (Mitrawacana, 2008)

Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak untuk prostitusi dan


tenaga kerja paksa adalah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang paling cepat
di dunia. Walaupun laki-laki juga termasuk sebagai korban, mayoritas dari
keseluruhan yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak. Menurut
perkiraan resmi, antara 1 sampai 2 juta orang perempuan dan anak diperdagangkan
setiap tahun di seluruh dunia untuk dijadikan buruh paksa, pekerja rumah tangga,
atau dieksploitasi secara seksual. Perdagangan manusia saat ini menjadi sumber
keuntungan (ilegal) terbesar ketiga di dunia dalam hal kejahatan yang terorganisir,

74
setelah obat-obat terlarang dan bisnis senjata, kejahatan yang menghasilkan ratusan
trilyun rupiah setiap tahun. Umumnya aliran perdagangan manusia berasal dari
daerah yang belum berkembang, dan miskin, ke daerah-daerah yang lebih maju.

Banyak faktor menjadi penyebab munculnya trafficking, pada umumnya


karena kemiskinan, keputus-asaan, krisis, atau keterlantaran. Subordinasi terhadap
perempuan yang terrefleksikan dalam ekonomi, pendidikan dan kesenjangan
kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi penyebab munculnya
trafficking ini. Banyak masyarakat masih lebih memilih punya anak laki-laki dan
menganggap anak perempuan sebagai beban ekonomi. Bahkan pada beberapa
negara yang berada di bawah standar garis kemiskinan, keluarga yang sudah putus
asa menjual anak perempuan mereka ke rumah bordil atau dijual ke agen pedagang
manusia di sekitar daerahnya untuk mendapatkan uang secara cepat dan
menghindari membayar mas kawin bila menikahkan anak perempuannya. (Mitra
Wacana, 2008)

Kasus trafficking biasa dilakukan oleh sekelompok orang atau sindikat


yang mendapatkan korbannya dengan berbagai cara. Terkadang para perempuan
diculik dari suatu saerah dan di kirim daerah lain. Pada kasus lain, korban terlebih
dahulu diiming-imingi dengan tawaran pekerjaan, para sindikat ini meminta korban
untuk secara sukarela bekerja lintas daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak,
gaji tinggi, menjadi model, menjadi penari, pekerja rumah tangga, dan lain
sebagainya. Para penjual ini mengiklankan pekerjaan ini seperti para agen di biro
jodoh di koran-koran lokal. Di beberapa kasus, para sindikat juga mendekati korban
atau keluarganya secara langsung dengan menawarkan pekerjaan yang menjanjikan
di luar daerah atau bahkan di luar negeri.

Walau tidak bisa berlaku secara umum per person, mayoritas perempuan
yang diperdagangkan adalah berusia dibawah 25 tahun, dan banyak diantara
mereka berusia remaja tanggung. Karena ketakutan para pelanggan terhadap

75
ancaman infeksi HIV-AIDS memaksa para penjual manusia ini merekrut perempuan
yang muda atau anak-anak sekitar 7 tahun dengan asumsi mereka belum terkena
HIV-AIDS.

Trafficking juga menjadi ancaman bagi sebagian masyarat di Kabupaten


Gunungkidul, Kondisi lingkungan fisik geografis yang keras, kemiskinan, kondisi
sosial, dan tekanan ekonomi seringkali menjadi alasan seseorang untuk
meninggalkan daerah asalnya menuju daerah lain untuk bekerja. Mereka termasuk
rentan untuk mengalami trafficing karena belum mengenal daerah tujuan dan tidak
mempunyai famili atau kerabat di daerah tujuan sehingga dapat masuk dalam
lingkaran sindikasi perdagangan orang.

Tenaga kerja pembantu rumah tangga (PRT) rentan alami trafficking. Tanpa adanya
perjanjian kerja yang jelas, para pembantu rumah tangga akan semakin rentan
mengalami trafficking. Belajar dari banyaknya kasus yang antara lain tampak dalam
kekerasan yang dialami PRT domestik maupun tenaga kerja Indonesia (TKW) di luar
negeri, pemerintah pun harus lebih serius menangani permasalahan ini. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Tjoet Njak Dien, sebuah LSM yang mendampingi PRT,
menyampaikan bahwa selama ini pemahaman umum mengenai trafficking masih
terbatas pada perdagangan manusia. Padahal, apabila seseorang ditawari pekerjaan
dan di dalamnya ada unsur penipuan, itu sudah dikategorikan sebagai trafficking,
termasuk juga di dalamnya apabila ada unsur pemaksaan, seperti pemaksaan kerja
anak untuk melunasi utang orangtua. Tanpa adanya perjanjian kerja, PRT akan
semakin rentan mengalami trafficking karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat
dengan para majikan. Akibatnya, mereka makin berisiko mengalami kasus-kasus
kekerasan, pelecehan seksual, gaji tak terbayar, atau jam kerja tak terbatas. Selain
itu, LSM ini juga mencatat bahwa sudah banyak orang yang ditawari bekerja
sebagai PRT di suatu daerah, tetapi pada akhirnya dibawa ke daerah lain dan harus
mengalami kerja paksa, serta beragam bentuk kekerasan. (http://www2.kompas.com/)

76
Di Kabupaten Gunungkidul terdapat beberapa perempuan yang menjadi
PRT di derah lain dan mendapat pendampingan dari LSM Tjoet Njak Dien tersebut,
diantaranya dari Tepus (100 orang), Gedaren, Bendo Gede, Ponjong (32 orang),
Banyumeneng, Panggang (20 orang). Para PRT dan masyarakat luas perlu diberi
sosialisasi mengenai isu trafficking karena belum semua PRT memahami tentang
trafficking. Mereka juga belum punya cukup keberanian untuk melaporkan
ketidakadilan yang diterima dari majikannya, apalagi jika tidak memiliki perjanjian
kerja. Penanganan berbasis komunitas pun perlu terus digalakkan sehingga warga
dapat segera melaporkan jika ada yang mengalami trafficking.

77
BAB XI . PENUTUP

11.1. Kesimpulan

Dari Statistik Gender dan Analisis Kabupaten Gunungkidul yang disusun


berdasarkan sumber data dari BPS, yakni data Sensus, Supas, Susenas, dan data
dari berbagai instansi terkait lainnya, ditemukan beberapa hal, antara lain:

1. Pada tahun 2007, penduduk Kabupaten Gunungkidul tercatat berjumlah


685.210 jiwa yang terdiri dari 335.411 orang (48,35 persen) laki-laki dan
349.799 orang (51,65 persen) perempuan, sementara sex ratio-nya
sebesar 96 berarti setiap 100 perempuan terdapat lebih kurang 96
penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Gunungkidul
adalah 0,99 persen per tahun.

2. Berdasarkan komposisi penduduk dari kelompok umurnya, struktur


penduduk Kabupaten Gunungkidul tergolong ke dalam piramida ekspansif,
karena jumlah penduduk usia muda (umur 15 – 60 tahun) lebih banyak
daripada penduduk berusia tua dengan persentase lebih dari 50 persen.
Struktur penduduk yang demikian disebabkan karena pada periode
sebelumnya tingkat kelahiran hidup relatif lebih besar daripada tingkat
kematian, sehingga pada tahun-tahun berikutnya, jumlah penduduk usia
muda lebih besar persentasenya.

3. Jumlah penduduk nonproduktif di Kabupaten Gunungkidul pada tahun


2007 adalah 280.196 jiwa dan penduduk usia produktif adalah 405.014
jiwa, dengan demikian angka ketergantungan (dependency ratio) di

78
Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 adalah sebesar 69,18 atau
dengan kata lain, setiap seratus orang penduduk usia produktif akan
menanggung sebanyak 69 orang penduduk yang nonproduktif.

4. Usia perkawinan pertama bagi perempuan yang pernah kawin di


Kabupaten Gunungkidl terbesar persentasenya adalah pada usia 19-24
tahun.

5. Penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul yang telah


melek huruf dan dapat membaca/menulis huruf latin dan atau lainnya
mencapai 76,4 persen pada tahun 2006 dan 76,66 persen pada tahun
2007, berarti ada peningkatan meskipun persentasenya masih belum
memadai (hanya sebesar 0,26 persen).

6. Partisipasi sekolah bagi penduduk di Kabupaten Gunungkidul usia 10


tahun ke atas, adalah 14,05 persen. Namun jika diamati pada jenis
kelamin, ternyata partisipasi sekolah bagi penduduk perempuan usia 10
tahun masih lebih rendah daripada partisipasi laki-laki.

7. Di Kabupaten Gunungkidul masih cukup banyak dijumpai anak putus


sekolah, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Angka putus sekolah
tertinggi ada pada jenjang SMP. Tekanan ekonomi, kondisi geografis dan
aksesibilitas ke sekolah merupakan salah satu sebab siswa megalami
putus sekolah.

8. Masih perlu perhatian pemerintah dan masyarakat tentang kondisi


kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Gunungkidul. Angka kehamilan dini
di Gunungkidul cukup tinggi termasuk angka abortus. Oleh karena itu perlu

digalakkan kampanye kesehatan reproduksi secara intensif.

79
9. Data Susenas 2006 dan 2007, menunjukkan bahwa di Kabupaten
Gunungkidul, proses persalinan mayoritas ditolong oleh dokter, bidan, dan
tenaga medis lainnya yakni 95,33 persen, dan 4,67 persen ditolong oleh
dukun. Hal itu menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat
dan pengetahuannya untuk mendapatkan pertolongan dari tenaga medis
yang berkualitas dalam persalinannya.

10. Beberapa indikator gizi Kabupaten Gunungkidul yang meliputi status gizi
balita, kurang energi protein, dan anemia menunjukkan bahwa, status gizi
balita di Kabupaten Gunungkidul tergolong baik. Namun demikian masih
ditemui beberapa balita yang memiliki gizi kurang, gizi buruk, dan gizi lebih.

11. Program Keluarga Berencana yang telah dicanangkan oleh pemerintah


sejak awalnya hingga sekarang telah banyak melibatkan peran
perempuan. Banyak alat/cara KB yang dikhususkan bagi perempuan
seperti MOW, AKDR/IUD, suntik, susuk dan pil. Alat kontrasepsi yang
paling banyak dipakai oleh PUS di Kabupaten Gunungkidul adalah suntik
(40,17 persen), kemudian IUD (25,35 persen), pil (20,57 persen), implant
(7,39 persen), dan MOW (4,79 persen). Partisipasi laki-laki (suami) dalam
mengikuti program KB masih perlu ditingkatkan, karena masih sedikit yang
menjadi akseptor KB dengan menggunakan kondom atau melakukan
operasi (MOP=vasektomi).

12. Perempuan yang bekerja di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007


persentasenya masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu
sebesar 45,04 persen perempuan bekerja, dan 54,96 persen laki-laki
bekerja. Lebih besarnya persentase laki-laki yang bekerja disebabkan
pada umumnya laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memiliki

80
tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya,
perempuan pada umumnya bukan sebagai pencari nafkah yang utama.
Karena merasa bukan sebagai pencari nafkah utama, perempuan banyak
yang mengurus rumah tangga terutama pada saat anak-anak masih kecil
yaitu saat masih memerlukan perhatian khusus.

13. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 semakin banyak tenaga kerja yag
ditempatkan melalui program Informasi Pasar Kerja (IPK) yang dikelola
oleh Dinas Nakertrans Kabupaten Gunungkidul. Tenaga kerja tersebut
ditempatkan dalam satu provinsi (AKL), antar provinsi (AKAD), bahkan
antar negara (AKAN) dengan negara tujuan antara lain: Malaysia, Korea,
Taiwan dan Arab Saudi.

14. Persentase perempuan yang menganggur di Kabupaten Gunungkidul


masih cukup besar (50,23 persen). Untuk mengatasi hal itu, beberapa
dinas dan lembaga terkait telah menyelengarakan program-program
pemberdayaan perempuan untuk mengatasi tingkat pengangguran
tersebut, antara lain melalui kegiatan koperasi wanita, pemberdayaan
perempuan tani dan istri nelayan melalui kelompok perempuan
pembudidaya ikan, pengolah ikan atau pedagang ikan yang tergabung
dalam kelompok Mina Boga, Mina Mandiri, dan Badri Manunggal.

15. Kegiatan perempuan di sektor publik terus mengalami peningkatan


meskipun jumlahnya masih berlum sebanding dengan laki-laki. Persentase
perempuan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) masih lebih rendah
dibanding laki-laki (38 persen : 62 persen). Sementara itu jumlah guru
perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Terutama di jenjang pendidikan
taman kanak-kanak (TK) persentase guru perempuan adalah 96,60

81
persen, sementara guru laki-laki hanya 3,40 persen. Tingginya persentase
guru perempuan di jenjang pendidikan TK dan SD berkaitan dengan
anggapan bahwa guru perempuan lebih sabar, ulet, dan lemah lembut
menghadapi anak-anak.

16. Di sektor publik lainnya yakni di bidang legislatif, perempuan belum dapat
menyampaikan aspirasinya dengan baik, karena keterwakilan perempuan
di dalam legislatif jumlahnya berlum memadai. Hanya satu orang dari 45
anggota legislatif di Kabupaten Gunungkidul. Namun untuk memenuhi
kuota 30 persen anggota legislatif perempuan pada periode yang akan
datang (2009 – 2014) saat ini di Kabupaten Gunungkidul terdapat 146
calon anggota legislatif perempuan yang tersebar pada lima daerah
pemilihan (Dapel).

17. Jumlah hakim perempuan baik di Pengadilan Negeri maupun hakim di


Pengadilan Agama masih belum sebanding dengan hakim laki-laki.
Persentase perempuan sebagai hakim berkisar antara 20 persen sampai
dengan 22 persen. Demikian pula jumlah polwan di Polres Gunungkidul
hanya 18 orang dari 938 anggota polisi.

18. Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan, baik kekerasan yang


dilakukan di dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, pelecehan
seksual, perkosaan, dan bahkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung
es. Kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut senantiasa meningkat
dari tahun ke tahun, namun hanya beberapa yang terdata atau dilaporkan.
Kekerasan dalam rumah tangga biasa dilakukan oleh suami terhadap istri,
terjadi karena tekanan ekonomi, sebab sebagian besar kasus KDRT terjadi

82
pada keluarga kelas bawah (miskin). KDRT juga meningkatkan
permohonan gugat cerai di Pengadilan Agama.

19. Masalah anak yang dihadapi dan masih perlu mendapat perhatian adalah
masalah kepemilikan akte kelahiran yang belum merata bagi semua anak.
Sebagian orangtua belum menganggap perlu akte kelahiran bagi anak-
anaknya dan memahami bahwa akte kelahiran adalah hak anak. Masalah
lain tentang anak adalah tingginya kasus kekerasan terhadap anak.
Karena tekanan ekonomi keluarga, orangtua pada umumnya ayah sering
melampiaskan kekesalannya kepada ibu (istri) dan anak, sehingga muncul
kasus KDRT dan Kekererasan terhadap Anak. Bentuk kekerasan pada
anak terutama adalah pelecehan seksual, dan perkosaan.

20. Trafficking atau perdagangan orang menjadi ancaman bagi sebagian


masyarakat Kabupaten Gunungkidul. Kemiskinan, tekanan ekonomi,
kondisi sosial, dan kondisi lingkungan geografis yang keras menjadikan
Trafficking rentan terjadi di wilayah ini. Perlu adanya sosialisasi dari
pemerintah dan masyarakat serta LSM untuk mencegah terjadinya
trafficking karena Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kantong
PRT di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana para PRT merupakan
kelompok yang rentan mengalami trafficking.

11.2. Saran

1. Banyak cara dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan agar


menjadi mitra sejajar dengan laki-laki. Oleh karena itu peran lembaga
swadaya masyarakat, pusat studi wanita, dan lembaga lain yang peduli
dengan masalah perempuan sangat diperlukan. Lembaga swadaya

83
masyarakan dan pusat studi wanita dapat melakukan kajian dan penelitian
guna memajukan peran perempuan, khususnya di Kabupaten Gunungkidul
agar perempuan tidak menjadi anggota masyarakat ”kelas dua” yang
senantiasa terpinggirkan.

2. Promosi tentang potensi perempuan di Kabupaten Gunungkidul perlu


ditingkatkan dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan.

3. Perempuan dapat diberdayakan dengan melakukan kegiatan yang


bermanfaat baik dari sisi ekonomi maupun sosial, antara lain dengan
menggiatkan usaha kerja informal.

4. Perlu adanya standar kerja untuk pemberdayaan perempuan dengan


meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan kerja.

11.3. Rekomendasi

Berdasarkan temuan data dan fakta tentang kondisi gender di Kabupaten


Gunungkidul, kiranya perlu disampaikan rekomendasi sebagai berikut.

1. Partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan perlu ditingkatkan agar


kualitas sumberdaya perempuan semakin baik.

2. Tingginya angka putus sekolah (drop-out) terutama di jenjang pendidikan


SMP memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak. Karena tingginya
angka putus sekolah terutama disebabkan karena kondisi ekonomi, sosial,
budaya, dan lingkungan geografis serta aksesibilitas ke sekolah yang
belum didukung sarana dan prasarana transportasi terutama pada
masyarakat di perdesaan. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan kondisi

84
di segala bidang, karena dampak dari tinginya angka putus sekolah
tersebut sangat luas, antara lain adalah ancaman trafficking, karena
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kantong dan sending area
untuk terjadinya trafficking tersebut.

3. Akses perempuan ke jabatan publik dan politik harus terus ditingkatkan


melalui sosialisasi dan penyadaran terhadap perempuan di Kabupaten
Gunungkidul.

4. Perlu ada koordinasi antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di


Kabupaten Gunungkidul untuk bersama-sama memperbaiki kondisi
sehingga kesetaraan dan keadilan gender dapat dilaksanakan di semua
bidang.

85
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2007). Gunungkidul dalam Angka 2006.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2008). Gunungkidul dalam Angka 2007.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2007). Indikator Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Gunungkidul, 2006
Dinas Kesehatan dan KB Kabupaten Gunungkidul (2008) Informasi Pembangunan Bidang
Kesehatan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008 (Data tahun 2007).
Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Gunungkidul. (2007). Position Paper
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Kabupaten Gunungkidul
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul. (2007). Profil
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Kabupaten Gunungkidul, 2006
Dyah Respati Suryo Sumunar, Sentot Bangun Widoyoko, Sularso. (2006). Statistik Gender
dan Analisis Tingkat Provinsi DIY Tahun 2006. Yogyakarta: Kantor Pemberdayaan
Perempuan Provinsi DIY .
Dyah Respati Suryo Sumunar, Sri Marmining Djati, Agus Handriyanto (2007). Statistik dan
Analisis Kota Yogyakarta, Tahun 2006. Yogyakarta: Bagian Kesmas dan PUG Sekda
Kota Yogyakarta
Heisse L, et al. (1999). ‘Ending Violence Againts Women’. Population Report Series. No. 11.
Baltimore: John Hopkins University.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan (tt). Pedoman Hari Ibu.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. (2006). Revisi Lampiran Tabel-Tabel
Publikasi Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2005. Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik.
Kompas (7 Juli 2005). Tenaga Kerja Pembantu Rentan Alami "TRAFFICKING"
http://www2.kompas.com. Diakses pda 20 Desember 2008

Mitra Wacana, (2008) Perdagangan Perempuan dan Anak. http://mitrawacanawrc.com


Diakses pada 20 Desember 2008
Mohammad Hakimi, dkk. (2001). Membisu demi Harmoni. Yogyakarta: LPKGM-FKUGM, Rifka
Annisa WCC, Umea University.
Nahiyah Jaidi Faraz, dkk. (2002). Fenomena Siswi Hamil di Indonesia. Yogyakarta: Ajisaka.
Paulus Mudjiran. (2007). ”Meretas Masalah Anak Jalanan”. http:/www.harianjoglo-semar.com.
diakses tanggl 2 Maret 2008.

86

You might also like