Professional Documents
Culture Documents
KABUPATEN GUNUNGKIDUL
TAHUN 2008
Naskah:
• Dyah Respati Suryo Sumunar
PSW Universitas Negeri Yogyakarta
BAB I. PENDAHULUAN
Perempuan dan laki-laki baik sebagai manusia atau sebagai warga negara
di dalam hukum dan perundang-undangan di Indonesia tidaklah berbeda. Sebagai
sumberdaya insani, potensi yang dimilki perempuan tidaklah berada di bawah
potensi laki-laki. Mereka memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Namun
kenyataannya, masih banyak dijumpai status dan peranan perempuan dalam
masyarakat yang masih bersifat subordinatif, perempuan masih terpinggirkan dan
belum dianggap sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Hal itu terlihat dari masih
sedikitnya perempuan yang berkesempatan menempati posisi di dalam
pemerintahan, dalam badan legislatif, maupun yudikatif, serta di dalam peranannya
secara umum di masyarakat. Padahal, tuntutan dari Millenium Development Goals
(MDG’s) atau tujuan pembangunan pada era millenium adalah menuju
kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dengan meningkatkan keadilan dan
kesetaraan gender pada setiap sektor pembangunan.
1
pendidikan, ekonomi, dan pekerjaan, sedangkan peningkatan posisi diwujudkan
dalam pemberian status, peluang dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan terutama di sektor publik.
1. Di bidang pendidikan dan pelatihan, masih ada nilai-nilai dan cara pandang
serta lingkungan sosial budaya yang belum sepenuhnya mendukung
kemajuan perempuan.
2
4. Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, permasalahan yang dihadapi
adalah terbatasnya akses perempuan pengusaha kecil dan menengah
dalam program kredit, informasi pasar atau bisnis, manajemen dan
pengembangan usaha; terbatasnya keterampilan dan pendidikan
perempuan untuk memperoleh peluang dan kesempatan kerja yang lebih
baik, rendahnya perlindungan dan jaminan sosial bagi perempuan pekerja,
baik pada sektor formal maupun informal.
3
5. meningkatkan kesehatan matenatal (ibu melahirkan)
6. memerangi penyakit HIV/Aids, malaria, dan penyakit menular lain
7. menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup,
8. mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.
1.2. Tujuan
Isu-isu gender yang ada perlu didukung dengan tersedianya data dan
statistik yang berkualitas serta indikator yang relevan. Untuk itu, statistik gender dan
analisis Kabupaten Gunungkidul ini disusun sebagai upaya memberi kontribusi
dalam rangka mencapai tujuan kesetaraan dan keadilan gender.
1.4. Metodologi
4
Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan, dan Pengadilan Agama, kemudian dianalisis
secara deskriptif.
5
BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI WILAYAH
6
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa
Tengah
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kabupaten Gunungkidul terbagi dalam 18 kecamatan dan 144 desa/
kalurahan, dengan rincian luasan yang disajikan pada Tabel 2.1. sebagai berikut.
7
Topografi dan geomorfologi. Berdasarkan kondisi topografi, Kabupaten
Gunungkidul dibagi dalam tiga (3) zona pengembangan, yaitu:
1. Zone Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 – 700 m di
atas permukaan air laut. Keadaannya berbukit-bukit dan terdapat sungai di
atas tanah dan sumber-sumber air tanah serta dapat digali sumur dengan
kedalaman 6-12 m. Jenis tanah vulkanik lateristik dengan bantuan induk
dasiet dan andesiet. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari,
Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara.
8
dan daerah yang memiliki kemiringan (> 40%) meliputi 15,95 persen dari luas
wilayah di Gunungkidul. Tekstur tanah di Kabupaten Gunungkidul dibedakan atas
dasar komposisi pasir, debu, dan lempung, sehingga secara garis besar dipilahkan
menjadi tekstur kasar, sedang, dan halus.
9
dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan agak basah dan
mempunyai karakter 3 bulan kering dan 7 bulan basah. Wilayah Kabupaten
Gunungkidul bagian utara merupakan wilayah curah hujan yang paling tinggi
dibanding wilayah tengah dan selatan, sedangkan wilayah Gunungkidul bagian
selatan mempunyai awal hujan paling akhir. Kelembaban nisbi berkisar antara 80%-
85% yang dipengaruhi oleh musim. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari
hingga Maret, dan kelembaban terendah terjadi pada bulan September.
Bentuk wilayah atau fisiografi (terrain) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pola kehidupan sosial budaya pada masyarakat. Karakteristik sosial
budaya masyarakat Gunungkidul adalah masyarakat tradisional yang masih
memegang teguh budaya leluhur warisan nenek moyang. Secara umum masyarakat
Gunungkidul masih menggunakan bahasa lokal (Bahasa Jawa) dalam
berkomunikasi sehari-hari, dan Bahasa Nasional (Bahasa Indonesia) secara resmi
dipakai dalam lingkungan formal. Kondisi kehidupan dan aktivitas budaya dan
kesenian di Kabupaten Gunungkidul secara umum masih berjalan baik, terlihat dari
upaya dan kegiatan masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan
budaya dan kesenian yang ada. Bahkan juga tampak adanya upaya untuk menggali
kembali budaya dan kesenian yang hampir punah, serta upaya kaderisasi kepada
generasi muda
10
persen), Katolik (10,17 persen), Hindu (2,78 persen) dan Budda (0,84 persen).
Sarana peribadatan tersedia cukup representatif dan memadai sehingga mendukung
masyarakat dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Dukungan pemerintah
terhadap kehidupan beragama terus ditingkatkan dengan memberikan ruang dan
kebebasan bagi semua agama (Bappeda Kab. Gunungkidul, 2008).
11
BAB III. DEMOGRAFI
12
Tabel 3.1. Banyaknya Penduduk menurut Jenis Kelamin
di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007
Dilihat pada Tabel 3.1. di atas, jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Struktur penduduk
berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat digunakan untuk memprediksi peningkatan
jumlah penduduk di masa mendatang. Jika diamati di tiap-tiap kecamatan,
Kecamatan Tepus dan Purwosari memiliki sex ratio yang rendah, yakni 92, artinya
perbedaan jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya cukup besar. Pada setiap
13
100 orang penduduk perempuan, hanya terdapat 92 orang laki-laki.Tetapi di
Kecamatan Ponjong, Gedangsari, dan Ngawen, sex ratio cukup tinggi, yakni sebesar
98 melebihi sex ratio rata-rata Kabupaten. Barangkali hal itu terkait dengan migrasi
keluar, dimana sedikitnya jumlah penduduk laki-laki di suatu daerah karena mereka
banyak yang melakukan migrasi keluar daerahnya, pergi merantau, atau mencari
nafkah di daerah lain.
14
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat digunakan
untuk menggambarkan piramida penduduk. Berdasarkan komposisinya, Tabel 3.2. di
atas menunjukkan bahwa jika dilihat dari kelompok umurnya, struktur penduduk
Kabupaten Gunungkidul dapat digambarkan dalam bentuk piramida ekspansif,
karena jumlah penduduk usia muda (umur 15 – 60 tahun) lebih banyak daripada
penduduk berusia tua dengan persentase lebih dari 50 persen. Struktur penduduk
yang demikian disebabkan karena pada periode sebelumnya tingkat kelahiran hidup
relatif lebih besar daripada tingkat kematian, sehingga pada tahun-tahun berikutnya,
jumlah penduduk usia muda lebih besar persentasenya.
15
Tabel 3.3. Persentase Penduduk Perempuan Pernah Kawin Usia
10 Tahun ke Atas menurut Usia Perkawinan Pertama,
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2006 dan 2007
50
53,51
45,43
40
< 16 th
30
17 - 18 th
30,56 19 - 24 th
20 24,2 25+
16,33
10 13,27
9,01
7,08
0
2006 2007
Gambar 3.1. Persentase Penduduk Perempuan Usia 10 tahun ke atas
Menurut Usia Perkawinan yang Pertama di Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2006 – 2007
16
Hal itu menunjukkan bahwa perempuan di Kabupaten Gunungkidul dilihat
dari usia perkawinan pertama mereka, relatif telah memiliki kematangan secara
psikologis dan kesiapan untuk menjadi ibu rumah tangga. Peningkatan usia
perkawinan yang pertama pada penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang
demikian, barangkali juga ada kaitannya dengan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dan berkegiatan di sektor publik bagi perempuan di Kabupaten
Gunungkidul. Karena alasan masih bersekolah atau bekerja, menjadikan mereka
berani mengambil keputusan untuk tidak melakukan perkawinan pada usia muda,
disamping meningkatnya pengetahuan tentang resiko kawin muda bagi ibu dan anak
yang mungkin akan mereka hadapi.
13%
87% kawin
17
Menurut status perkawinannya, di Kabupaten Gunungkidul terdapat 188.070 (87
persen) kepala keluarga yang berstatus kawin, dan 23.309 (13 persen) kepala
keluarga yang berstatus janda/duda/belum kawin.
18
Tabel 3.4. di atas menujukkan bahwa cukup banyak perempuan yang menjadi
kepala keluarga, terutama di Kecamatan Wonosari, Playen, dan Karangmojo,
sedangkan di Kecamatan Nglipar hanya sedikit perempuan yang menjadi kepala
keluarga (4,92 persen) dari seluruh kepala keluarga yang ada di daerah tersebut.
19
BAB IV. PENDIDIKAN
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat hasil dari proses
pembangunan yang berorientasi penduduk adalah tingkat pendidikan. Pendidikan
mempunyai peranan penting bagi suatu daerah dan merupakan salah satu sarana
untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan penduduk. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin baik kualitas sumberdayanya.
20
Tabel 4.1. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Dapat
Membaca/Menulis di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2006-2007
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Buta Aksara Usia 15-44 tahun dan 45 tahun
ke Atas Menurut Jenis kelamin di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2007
21
Apabila dilihat berdasarkan umur dan jenis kelaminnya, perempuan
berusia 15 – 44 tahun dan 45 tahun ke atas yang buta huruf di Kabupaten
Gunungkidul jumlahnya masih lebih banyak daripada laki-laki. Berdasarkan data
tersebut, dapat diketahui bahwa masih ada subordinasi dan stereotipe terhadap
perempuan dimana perempuan dianggap tidak penting, perempuan tidak perlu
melek huruf, dan perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi karena posisi akhirnya
akan di dapur. Di suatu desa di Gunungkidul masih terdapat budaya yang memilih
dan memberi kesempatan kepada jenis kelamin tertentu yaitu hanya laki-laki saja
yang dapat meneruskan sekolah. Selain itu, dilihat dari kelompok umurnya,
perempuan yang masih buta huruf adalah mereka yang telah berusia lanjut, atau
berusia 45 tahun ke atas, dimana mereka sudah tidak memiliki kemauan lagi untuk
belajar membaca atau menulis melalui program Kejar Paket A atau B yang
dicanangkan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya pemberantasan buta huruf.
22
kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya, serta pandangan masyarakat
mengenai arti pentingnya pendidikan.
23
bukan merupakan hal yang harus diperjuangkan bagi perempuan di Gunungkidul.
Hal ini berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten
Gunungkidul yang masih melekat dan mentabukan perempuan untuk memperoleh
pendidikan yang tinggi, karena nantinya perempuan toh akan tinggal di rumah dan
mengurusi rumah tangga mereka sendiri.
Jika dilihat menurut kelompok umur dan jenis kelamin, partisipasi sekolah
penduduk Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut.
24
karena kelak laki-laki harus mendapatkan pekerjaan yang baik karena berkewajiban
menafkahi keluarganya.
25
miskin (Dinkes Gunungkidul, 2007). Kemiskinan seringkali menjadi alasan bagi siswa
sekolah untuk tidak melanjutkan sekolah, karena mereka diharapkan membantu
mencari nafkah untuk keluarganya, dan anggapan lebih baik bekerja dengan
mendapatkan uang, disamping anggapan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan,
semakin besar biaya yang diperlukan, sementara masyarakat miskin dan rumah
tangga miskin tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya pendidikan.
Kondisi geografis juga berpengaruh terhadap tingginya angka putus
sekolah. Aksesibiltas yang rendah untuk menjangkau sekolah dengan sarana dan
prasarana transportasi yang terbatas dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat di
pelosok pedesaan, merupakan salah satu alasan bagi siswa untuk tidak melanjutkan
sekolah, meskipun guru telah memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa
agar tidak putus sekolah.
Angka putus sekolah pada tahun 2007 menurut jenis kelamin,
digambarkan dalam grafik berikut.
1.20%
1.00%
0.80%
0.60%
Laki-laki
0.40%
Perempuan
0.20%
0.00%
SD SMP SMA
Laki-laki 0.16% 1.06% 0.22%
Perempuan 0.07% 0.66% 0.27%
26
tingkat SD dan SMP. Namun di tingkat SMA, justru perempuan menunjukkan
persentase yang lebih besar daripada laki-laki. Jika hal itu dikaitkan dengan usia
kawin yang pertama, barangkali tingginya perempuan yang putus sekolah di tingkat
pendidikan SMA karena mereka memilih menikah daripada melanjutkan sekolah.
Kondisi sosial dan budaya yang masih menunjukkan adanya anggapan bahwa
perempuan tidak harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, karena nantinya
mereka akan menjadi ibu rumah tangga mengurus suami dan anak-anaknya.
Sementara banyaknya laki-laki yang putus sekolah karena mereka pergi merantau,
mencari pekerjaan di daerah lain, untuk membantu orangtua mereka.
Angka putus sekolah dapat diamati melalui tingkat pendidikan dan jenis
kelamin di masing-masing kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, sebagaimana
tabel-tabel berikut.
27
Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa keadaan putus sekolah pada
jenjang pendidikan SD di masing-masing kecamatan di Kabupaten Gunungkidul
tidak banyak jumlahnya. Perempuan putus sekolah di jenjang ini jumlahnya hanya
setengahnya dari laki-laki. Bila dilihat dari indeks paritasnya, angka putus sekolah di
jenjang pendidikan dasar (SD) tidak menunjukkan adanya kesenjangan gender yang
berarti.
Sementara itu, angka putus sekolah pada jenjang SMP di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 4.7 Angka Putus Sekolah SMP menurut Jenis Kelamin, Kecamatan,
Indeks Paritas dan Disparitas di Kabupaten Gunungkidul. 2007
Jumlah Siswa Putus Sekolah Indeks Dis-
Kecamatan Paritas paritas
L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Panggang 20 3,13 2 0,30 22 1,70 0,10 - 2,83
2. Purwosari 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Paliyan 0 0 0 0 0 0 0 0
4. Saptosari 24 2,67 14 1,52 38 2,09 0,57 - 1,15
5. Tepus 6 0,90 3 0,44 9 0,67 0,49 - 0,46
6. Tanjungsari 18 3,47 15 2,83 33 3,14 0,82 - 0,64
7. Rongkop 2 0,31 19 2,91 21 1,62 9,39 2,6
8. Girisubo 0 0 0 0 0 0 0 0
9. Semanu 30 2,44 19 1,52 49 1,10 0,62 - 0,92
10. Ponjong 20 0,70 10 0,83 30 0,27 1,19 0,13
11. Karangmojo 8 0,64 4 0,31 12 0,48 0,48 - 0,33
12. Wonosari 4 0,24 2 0,12 6 0,18 0,50 - 0,12
13. Playen 28 2,08 17 1,24 45 1,65 0,60 - 0.84
14. Patuk 10 1,48 3 0,43 13 0,95 0,29 - 1,05
15. Gedangsari 0 0 1 0,09 1 0,05 0,00 0,09
16. Nglipar 1 0,15 0 0 1 0,08 0,00 - 0,15
17. Ngawen 1 0,12 0 0 1 0,06 0,00 - 0,12
18. Semin 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 172 1,06 109 0,66 281 0,86 0,62 - 0,40
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul, 2007
Jumlah siswa putus sekolah di jenjang pendidikan SMP di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan angka yang bervariasi.
28
Persentase siswa perempuan yang putus sekolah tertinggi ada di Kecamatan
Rongkop (2,91 persen) dibandingkan dengan laki-laki (0,31 persen). Indeks paritas
yang tinggi di Kecamatan Rongkop (9,39) menunjukkan masih adanya kesenjangan
gender di pihak perempuan karena perempuan yang putus sekolah lebih banyak
daripada laki-laki, di kecamatan tersebut. Demikian pula di Kecamatan Panggang
masih terlihat adanya kesenjangan gender di pihak laki-laki karena jumlah laki-laki
yang putus sekolah lebih banyak dari pada perempuan, dengan indeks paritas
sebesar (0,10).
Tabel 4.8 Angka Putus Sekolah SMA menurut Jenis Kelamin, Kecamatan,
Indeks Paritas dan Disparitas di Kabupaten Gunungkidul. 2007
Jumlah Siswa Putus Sekolah Indeks Dis-
Kecamatan Paritas paritas
L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Panggang 0 0 0 0 0 0 0 0
2. Purwosari 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Paliyan 0 0 0 0 0 0 0 0
4. Saptosari 0 0 0 0 0 0 0 0
5. Tepus 0 0 0 0 0 0 0 0
6. Tanjungsari 0 0 0 0 0 0 0 0
7. Rongkop 0 0 2 0,30 2 0,15 0,00 0,30
8. Girisubo 0 0 0 0 0 0 0 0
9. Semanu 0 0 0 0 0 0 0 0
10. Ponjong 14 0,10 9 0,70 23 0,90 7,00 0,60
11. Karangmojo 0 0 0 0 0 0 0 0
12. Wonosari 13 0,70 4 0,20 17 0,44 0,29 - 0,50
13. Playen 0 0 0 0 0 0 0 0
14. Patuk 10 1,50 31 4,57 41 3,05 3,05 3,07
15. Gedangsari 0 0 0 0 0 0 0 0
16. Nglipar 0 0 0 0 0 0 0 0
17. Ngawen 0 0 0 0 0 0 0 0
18. Semin 1 0,07 1 0,07 2 0,07 1,00 0,00
Jumlah 38 0,22 47 0,27 85 0,25 1,23 0,05
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Gunungkidul, 2007
29
Jumlah siswa setingkat SMA yang putus sekolah di masing-masing
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul tidak banyak. Di tingkat kabupaten hanya
terdapat 38 (0,22) siswa laki-laki yang putus sekolah dan 47 (0,27) siswa peempuan
setingkat SMA yang putus sekolah. Kesenjangan gender untuk siswa putus sekolah
setingkat SMA masih terjadi di beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Patuk,
dimana jumlah dan persentase perempuan yang putus sekolah sangat tinggi (4,57
persen). Sementara di Kecamatan Semin tidak terdapat kesenjangan gender dalam
hal putus sekolah di jenjang SMA, karena indeks paritasnya mencapai angka 1,00.
30
Tabel 4.9 Persentase Penduduk Kabupaten Gunungkidul berumur 10 th
ke Atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun
2006-2007
Demikian pula jika dua grafik di bawah ini dibandingkan, maka akan
nampak adanya peningkatan persentase tingkat pendidikan yang ditamatkan,
khususnya bagi perempuan di Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2006 ke tahun
2007. Ada kenaikan persentase sebesar 1,21 persen yang memiliki ijazah SMP atau
seserajad, kenaikan sebesar 1,08 persen yang memiliki ijazah setingkat SMA, dan
ada kenaikan sebesar 0,07 persen penduduk 10 tahun ke atas yang memiliki ijazah
setingkat akademi atau perguruan tinggi. Meskipun kanaikan tersebut relatif kecil
dan masih lebih rendah persentasenya secara keseluruhan jika dibandingkan
dengan laki-laki.
31
1,76
Akd/PT 3,48
8,04
SMA 12,79
13,43
SLP 18,63 Perempuan
30,03 Laki-laki
SD 33,53
46,22
Tdk punya 31,56
0 10 20 30 40 50
1,83
Akd/PT 2,83
9,12
SMA 13,26
14,64
SLP 21,53 Perempuan
31,24 Laki-laki
SD 32,64
43,17
Tdk punya
29,74
0 10 20 30 40 50
Sumber: Susenas, 2006, 2007
32
Dengan demikian, partisipasi dan kesempatan perempuan di Kabupaten
Gunungkidul untuk mendapatkan pendidikan pada jenjang yang tinggi dan
menamatkannya, masih harus terus ditingkatkan.
33
BAB V. KESEHATAN
34
reproduksi wanita. Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yang meliputi pelayanan
5T, yaitu timbang berat badan, ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, pemberian
imunisasi TT dan pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama masa kehamilan.
35
masa nifas. Besarnya Angka kematian bayi mencerminkan tingkat kepedulian
terhadap perempuan yang masih kurang. Angka Kematian Bayi yang tinggi
menunjukkan derajad kesehatan ibu yang rendah. Angka kematian bayi atau disebut
juga sebagai Infant Mortality Rate (IMR) didefinisikan sebagai bayi lahir hidup yang
meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertama.
Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
angka kematian bayi dan balita yang dilakukan di Kabupaten Gunungkidul.
Pemberdayaan GSI dalam bentuk pembinaan dan pembentukan “DESA SIAGA”
(Siap, Antar, dan Jaga) pada 10 desa SIAGA lama dan 10 desa SIAGA baru dengan
kriteria antara lain: (1) Desa terpencil, jarak jangkauan dari pelayanan kesehatan
lebih dari 1,5 – 2 jam ke RSUD Wonosari, (2) Peran dukun dan bayi masih dominan,
(3) Cakupan pelayanan KIA masih kurang, (4) pernah muncul kematian bayi baru
lahir/ibu bersalin. Pengorganisasian Desa Siaga yang telah dibina sejak tahun 2005-
2006 menunjukkan bahwa Desa Siaga dapat menjalankan fungsinya dalam
meningkatkan pelayanan KIA di desa masing-masing
Berikut ini disajikan data tentang kondisi kesehatan yang terkait dengan
ibu dan anak di Kabupaten Gunungkidul.
Tahun
Kondisi
2004 2005 2006 2007
1 2 3 4 5
Jumlah kematian Neonatus 64 89 49 63
Jumlah kematian bayi 64 102 63 45
Angka kematian bayi/1000 kelahiran 23,1 10,5 6,2 6,2
Jumlah kematian ibu (AKI 225/100rb) 4 5 8 7*
*) Perdarahan, emboli, Eklamsia
Sumber:Dinas Kesehatan Gunungkidul, 2006
36
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa masih perlu perhatian
pemerintah dan masyarakat tentang kondisi kesehatan ibu dan anak walaupun
angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Gunungkidul relatif rendah dibanding
angka nasional. Angka kehamilan dini di Gunungkidul cukup tinggi termasuk angka
abortus. Oleh karena itu perlu digalakkan kampanye kesehatan reproduksi secara
intensif.
Kesehatan balita tidak hanya dipengaruhi oleh kesehatan ibu, namun juga
dipangaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Diantaranya adalah proses kelahiran/
persalinan. Data penolong kelahiran merupakan salah satu indikator kesehatan
terutama yang berhubungan dengan tingkat kesehatan ibu dan anak maupun
pelayanan kesehatan secara umum.
Persalinan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter dan bidan
dianggap lebih baik daripada yang ditolong oleh dukun atau lainnya, karena dapat
menggambarkan tingkat kemajuan pelayanan kesehatan terutama pada saat
kelahiran.
100
95,33
80 90,93
60
Bidan
40 Dukun
20 9,06
4,67
0
2006 2007
Sumber: Susenas, 2006, 2007
37
Data Susenas 2006 dan 2007, menunjukkan bahwa di Kabupaten
Gunungkidul, proses persalinan mayoritas ditolong oleh dokter, bidan, dan tenaga
medis lainnya (90,93 persen), dan dukun atau lainnya (9,06 persen). Keadaan di
tahun 2007, mengalami peningkatan persentase penolong kesehatan yang terdiri
dari dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya, yakni 95,33 persen dan pertolongan
melalui dukun menurun persentasenya (4,67 persen). Hal itu menunjukkan adanya
peningkatan kesadaran masyarakat dan pengetahuannya untuk mendapatkan
pertolongan dari tenaga medis yang berkualitas dalam persalinannya.
38
5.4. Status Gizi Balita
Kecukupan gizi bagi balita dan ibu muda sangat penting bagi kesehatan,
kesejahteraan dan produktivitas selama hidup. Kekurangan gizi pada ibu muda
dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan mempunyai berat badan lahir rendah,
sedangkan kekurangan gizi pada balita mengakibatkan rentan terhadap penyakit dan
terganggu pertumbuhannya.
39
menunjukkan masih adanya balita dengan status gizi berlebih. Gizi yang tidak baik,
(buruk, kurang, atau berlebih) perlu diwaspadai, dan gizi berlebih bukan berarti
sehat, karena dengan gizi berlebih justru balita mengalami over-weight atau
kelebihan berat badan dan mengarah kepada obesitas (kegemukan). Perbaikan gizi
bagi balita dengan gizi buruk maupun gizi kurang, diupayakan melalui program
perbaikan gizi dengan memberikan susu dan makanan tambahan, termasuk
pemberian vitamin A bagi balita dan ibu hamil, pemberian zat besi dan peningkatan
cakupan desa dengan garam beryodium baik. Pengutamaan sasaran program gizi
juga dilakukan pada kelompok sangat rentan, yaitu remaja putri usia subur, ibu
hamil, ibu menyusui, dan bayi sampai usia 2 tahun. Kekurangan energi protein dan
anemia masih ditemui di Kabupaten Gunungkidul. Persentase ibu hamil yang
mengalami anemia masih cukup tinggi, juga masih ditemui adanya bayi dengan
berat badan rendah meskipun persentasenya semakin menurun dari tahun ke tahun.
Penyuluhan tentang kesehatan masyarakat, khususnya mengenai
kesehatan ibu dan balita dilakukan melalui kegiatan Posyandu yang dikelola oleh
warga masyarakat dengan dukungan Puskesmas. Data dari Dinas Kesehatan dan
KB Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 10.322
(96,94 persen) bayi (usia 0 - <1 tahun) mengikuti kegiatan Posyandu, dan sejumlah
32.155 (97,96 persen) balita (usia 1 - < 5 tahun) mengikuti kegiatan Posyandu.
Melalui Posyandu yang ada di tingkat RW atau Kalurahan, warga masyarakat
terutama ibu-ibu dan anak-anak, mendapatkan berbagai penyuluhan, pemeriksaan,
dan pengobatan.
40
perempuan, dan 67,72 tahuh untuk laki-laki. Usia harapan hidup perempuan di
Kabupaten Gunungkidul lebih tinggi daripada rata-rata usia harapan hidup beberapa
wilayah di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya kualitas kesehatan
masyarakat Gunungkidul pada umumnya, lebih baik daripada di wilayah lain di
Indonesia. Namun demikian, usia harapan hidup yang tinggi akan berdampak pada
semakin banyaknya populasi usia lansia (lanjut usia) atau di atas 60 tahun. Oleh
karena itu perlu adanya perhatian terhadap golongan usia lanjut tersebut.
41
Tabel 5.5. Banyaknya Akseptor KB Aktif menurut Kecamatan dan Jenis
Kontrasepsi yang Digunakan di Kabupaten Gunungkidul.
Tahun 2005-2007
Kec. Akseptor KB
IUD MOP MOW Impl Sunt Pil Kond Juml
1 2 3 4 5 6 7 8 9
42
50000 45298
43891
43297
40000
IUD
27707 27934
30000 25262 Suntik
22480 22510
20291 Pil
20000
Implant
9235
8080 7736
MOW
10000
5031 5201 5213
0
2005 2006 2007
2000
1800
1600
1837
1400 1558
1488
1200
1000 Kondom
800 MOP
600
400
200 353 347 349
0
2005 2006 2007
43
BAB VI. KEGIATAN EKONOMI
44
6.1. Angkatan Kerja
Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke
atas yang melakukan kegiatan utama bekerja atau menganggur. Menganggur dapat
diartikan sebagai sedang mencari pekerjaan atau berhenti sementara dari
pekerjaannya. Sementara yang tidak termasuk angkatan kerja adalah mereka yang
melakukan kegiatan utama selain bekerja, seperti sekolah, mengurus rumah tangga,
atau lainnya.
Perempuan yang bekerja di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007
persentasenya masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebesar
45,04 persen perempuan bekerja, dan 54,96 persen laki-laki bekerja. Lebih besarnya
persentase laki-laki yang bekerja disebabkan pada umumnya laki-laki adalah kepala
rumah tangga yang memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga.
Sebaliknya, perempuan pada umumnya bukan sebagai pencari nafkah yang utama.
Karena itu banyak perempuan yang mengurus rumah tangga terutama pada saat
anak-anak masih kecil, saat masih memerlukan perhatian khusus.
Tabel di bawah ini menunjukkan kegiatan penduduk di atas umur 15 tahun
di Kabupaten Gunungkidul
45
Penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul yang berstatus
sebagai angkatan kerja (bekerja atau menganggur), persentasenya lebih besar
daripada yang berstatus bukan angkatan kerja (karena sekolah, mengurus rumah
tagga, atau lainnya), atau 60,18 persen dibandingkan dengan 30,82 persen.
Partisipasi angkatan kerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-
laki. Jika dicermati, masih lebih besar persentase perempuan yang berstatus bukan
angkatan kerja. Mengurus rumah tagga, misalnya memiliki persentase terbesar
dibandingkan dengan yang lain. Hal itu menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan
di sektor domestik tidak dihargai sebagai bekerja meskipun perempuan dalam
mengurus rumah tangga memiliki jam kerja yang lebih banyak daripada laki-laki.
49335
50000 46615 45879
42159
39745
40000 37009 35702
30389 31578
30000
24367
20000
10000
0
Tamatan SD SMP SMA Akd/PT
SD
Laki-laki Perempuan
46
kerja. Meskipun tetap terlihat bahwa angkatan kerja perempuan masih lebih rendah
jumlahnya dari pada laki-laki.
Keadaan tentang jumlah pencari kerja yang terdaftar pada Kantor Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul menurut tingkat pendidikan
dan jenis kelamin ditunjukkan dalam tabel berikut.
Sekolah Dasar 8 5 13
SLTP 571 30 601
SMA 4.516 2.291 6.807
STM 2.303 81 2.384
SMEA 747 1.765 2.512
Setingkat SMA 285 308 593
Sarjana Muda/Diploma 1.032 1.619 2.651
Sarjana (S1) 1.786 2.048 3.834
Pascasarjana (S2) 5 9 14
Jumlah 11.253 8.156 19.409
Sumber: Dinaskertrans Kab. Gunungkidul 2008
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah pencari kerja perempuan
cukup banyak (42,02 persen), diantara para pencari kerja tersebut, terbanyak adalah
mereka yang berpendidikan SMA (umum). Jumlah pencari kerja perempuan dengan
tingkat pendidikan sarjana (S1) di Kabupaten Gunungkidul cukup banyak juga
melebihi jumlah pencari kerja laki-laki dengan tingkat pendidikan yang sama.
Sementara itu, dari para pencari kerja tersebut beberapa telah ditempatkan melalui
informasi pasar kerja (IPK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Gunungkidul, Sebagaimana tabel berikut
47
Tabel 6.3. Informasi Pasar Kerja (IPK) Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul. Tahun 2003-2007
Thn AKL AKAD AKAN Total
L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
48
di luar negeri terdiri atas 54 orang TKI laki-laki dan 191 orang TKI perempuan (TKW)
atau dengan rasio 2,827 yang berarti setiap satu orang TKI laki-laki terdapat 2 atau 3
orang TKI perempuan. Pada umumnya TKI dari Kabupaten Gunungkidul tidak
mencatatkan diri ke dinas terkait. Oleh karena itu masih perlu diupayakan adanya
sosialisasi yang lebih intensif kepada TKI laki-laki maupun perempuan agar
mencatatkan dirinya ke dinas terkait.
Tenaga kerja yang bekerja ke luar daerah, baik bekerja di sektor formal
maupun informal memberi dampak pada keluarga, antara lain banyaknya kasus
perceraian/gugat cerai karena alasan penelantaran keluarga, dan status isteri yang
”menggantung” karena tidak dinafkahi oleh suami dalam jangka waktu yang lama.
Alasan kemiskinan atau kondisi ekonomi menjadikan banyak perempuan yang
bekerja di sektor informal ke luar daerah untuk menjadi ”pembantu rumah tangga
(PRT)”, Banyak di antara mereka yang merantau karena melihat kesuksesan
tetangganya atau keluarganya yang bekerja sebagai PRT di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, atau bahkan kota-kota lain di luar pulau Jawa. Hal itu berdampak
pada banyaknya kelahiran anak di luar nikah, meskipun secara rinci datanya belum
dapat ditampilkan. Keinginan untuk bekerja di luar daerah barangkali berdampak
pula pada tingginya angka putus sekolah. Migrasi keluar banyak terjadi ketika tahun
ajaran baru, saat liburan idul fitri, tahun baru, atau perayaan rasulan (bersih desa).
Pada saat itu banyak tenaga kerja dari Gunungkidul yang telah sukses di luar daerah
membawa tenaga kerja baru untuk diajak merantau dan mencari pekerjaan ke luar
daerah. Keadaan semacam itu banyak ditemui pada masyarakat Gunungkidul yang
berbasis pertanian terutama di perdesaan, karena kondisi geografis setempat yang
tidak menjanjikan.
Ada dua indikator pokok yang sering digunakan untuk melihat partisipasi
penduduk di bidang ketenagakerjaan. Pertama, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) yang merupakan perbandingan banyaknya angkatan kerja dibandingkan
49
dengan total penduduk usia kerja. Kedua, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
yang merupakan perbandingan banyaknya penduduk usia kerja yang menganggur
dengan banyak angkatan kerja. Meskipun jumlah penduduk perempuan dari tahun
ke tahun selalu lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki, namun partisipasi
angkatan kerja perempuan selalu lebih rendah daripada partisipasi angkatan kerja
laki-laki. Tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang TPAK dan TPT di
Kabupaten Gunungkidul tahun 2007
50
Persentase perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Tetapi jika dilihat pada
masing-masing Kecamatan, di Kecamatan Playen dan Tepus persentase TPAK
perempuan menunjukkan persentase yang cukup besar, yakni 79,62 persen dan
72,26 persen, sementara di Kecamatan Semin, persentase TPAK perempuan sangat
rendah, yakni sebesar 35,65 persen. Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja masih harus terus ditingkatkan dengan memberikan kegiatan-
kegiatan positif untuk pemberdayaan perempuan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki selalu lebih tinggi dari TPAK
perempuan, atau sebaliknya TPAK perempuan selalu lebih rendah dari TPAK laki-
laki terjadi karena sebagai dampak adanya pembagian kerja berdasarkan gender,
dimana laki-laki bertanggung jawab terhadap pencarian nafkah, sementara
perempuan bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, sekalipun perempuan
bekerja, namun sering dianggap sebagai pekerjaan sambilan. Akhirnya perempuan
dimasukkan sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid
worker) dan pendapatannya tidak diperhitungkan dalam sistem neraca nasional.
51
Tabel 6.6. Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) dan Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul.
Tahun 2007
Kecamatan Persentase Pengangguran Terbuka
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
52
perempuan untuk mengatasi tingkat pengangguran tersebut, antara lain melalui
kegiatan koperasi wanita, pemberdayaan perempuan tani dan istri nelayan melalui
kelompok perempuan pembudidaya ikan, pengolah ikan atau pedagang ikan yang
tergabung dalam kelompok Mina Boga, Mina Mandiri, dan Badri Manunggal.
53
yang dibuat dari ketela pohon, usaha pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran
hasil perikanan ikan, pembuatan kerajinan dari akar wangi, dan sebagainya.
54
proporsionalnya kontribusi antara perempuan dengan unit usaha yang dijalankan
oleh laki-laki terhadap usaha ekonomi produktif pada umumnya, serta kurangnya
akses perempuan pada usaha ekonomi produktif tertentu yang relatif banyak
didominasi oleh laki-laki. Hal ini juga dapat dilihat data perkembangan keragaan
koperasi di Kabupaten Gunungkidul, dimana jumlah Koperasi Wanita (KOPWAN)
adalah 9 atau 3,75 persen dari seluruh koperasi yang ada. Sedangkan jumlah
perempuan yang menjadi anggota koperasi adalah 10.517 orang atau 12,59 persen
dari seluruh anggota koperasi. Tidak jauh berbeda degan kondisi pada sektor
industri, akses dan partisipasi perempuan Gunungkidul terhadap perkoperasian pun
relatif masih rendah. Maka wajar jika masih terdapat kesenjangan gender pada
kegiatan ekonomi di Kabupaten Gunungkidul.
55
sebagai ibu rumah tangga (5,19 persen). Sementara untuk pekerjaan sampingan,
persentase tertinggi adalah sebagai buruh tani (35,89 persen), kemudian diikuti oleh
pekerjaan sebagai pedagang (berdagang), yakni sebesar 33,33 persen. Jenis
pekerjaan lain-lain adalah sebagai guru TK dan peladen tukang batu (Kantor
Penyuluhan Pertanian Daerah Kabupaten Gunungkidul, 2007). Variasi pekerjaan
yang dilakukan oleh isteri petani, sedikit banyak memberikan sumbangan bagi total
pendapatan keluarga. Namun, karena sedikitnya kontribusi pendapatan dari isteri
petani tersebut, maka kadang-kadang pendapatan mereka tidak diperhitungkan
sebagai yang utama, dan hanya sebagai tambahan saja.
56
kelompok tani wanita tidak ada di seluruh kecamatan. Kelompok tani wanita yang
tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul ada 62,85 persen dari Desa
Gari di Kecamatan Wonosari, kemudian desa Planjan Kecamatan Saptosari (47,20
persen), desa Kelor di Kecamatan Karangmojo (43,44 persen), desa Bendungan
Karangmojo (40,92 persen). Di desa lainnya persentase anggota kelompok tani
wanita masih rendah persentasenya atau sedikit jumlahnya.
57
BAB VII. PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK
38%
62%
Laki-laki
Perempuan
58
(38 persen) PNS perempuan. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa PNS
perempuan masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan PNS laki-laki.
Tabel 7.1. Data Pejabat per Eselon dan Jenis Kelamin Kabupaten
Gunungkidul, Tahun 2008
Eselon Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
IIA 0 0 0
IIB 20 0 20
IIIA 100 9 109
IIIB 0 0 0
IVA 301 83 384
IVB 8 1 9
VA 44 14 58
Jumlah Total 473 108 581
59
Apabila dilihat dari tingkat pendidikannya, profil PNS di Kabupaten
Gunungkidul cukup bervariasi, sebagaimana tabel berikut.
Tabel 7.2. Pegawai Negeri Sipil menurut Jenis Kelamin dan Tingkat
Pendidikannya di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008
60
7.2. Guru dan Kepala Sekolah
61
7.3. Politik
Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2000 telah memberikan peluang
adanya keterwakilan politik perempuan dalam parlemen. Akan tetapi pada
kenyataannya keterwakilan perempuan dalam parlemen belum dapat mencapai 30
persen. Persentase legislatif perempuan dalam parlemen pada Pemilu 2004 adalah
sebagai berikut.
1962 – 1965 33 2 35
1965 – 1971 51 4 59
1971 – 1977 35 5 40
1977 – 1982 35 5 40
1982 – 1987 37 3 40
1987 – 1992 40 5 45
1992 – 1997 41 4 45
1997 – 1999 41 4 45
1999 – 2004 42 3 45
2004 – 2009 44 1 45
62
perempuan dalam anggota legislatif sebagaimana diamanatkan dalam UU no 12
Tahun 2000. Oleh karenanya pada periode Pemilu mendatang perlu ada perbaikan
mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen. Perlu ada peningkatan political
will dari partai politik peserta Pemilu untuk mendorong dan memberi kesempatan
kepada kader-kader perempuan menjadi anggota parlemen.
Budaya patriarki ternyata memang masih mengakar kuat dalam kehidupan
masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Dominasi laki-laki dalam politik semakin
meminggirkan perempuan. Kurangnya keinginan perempuan untuk terjun kedua
politik memang sangat individualis sifatnya, karena itu merupakan keinginan mereka.
Masyarakat tidak dapat memaksa agar perempuan berpolitik praktis, apalagi ada
anggapan bahwa dunia politik adalah dunia yang tidak ramah perempuan, dunia
politik bertentangan dengan fitrah perempuan yang lemah lembut sehingga tidak
cocok bagi perempuan. Perempuan yang menjadi aktivis partai atau terjun ke dunia
politik harus siap untuk meninggalkan tugas-tugas kerumahtanggaannya. Hal-hal
itulah yang memberi penguatan anggapan bahwa memang perempuan tidak
memiliki kapasitas dan kompetensi sebagai aktivis politik.
Namun demikian, pada tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul sudah mulai
tumbuh kesadaran perempuan untuk terjun ke dunia politik Sejumlah 146 orang
perempuan mencalonkan diri menjadi calon anggota anggota legislatif (caleg) untuk
lima (5) daerah pemilihan (dapel) dari seluruh (464 orang) calon anggota legislatif di
Kabupaten Gunungkidul. Sebaran calon legislatif tersebut adalah sebagai berikut.
63
Tabel 7.5. Sebaran Calon Anggota Legislatif Perempuan di
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2008
2007 2008
Hakim/Jaksa
L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7
Hakim Pengadilan Negeri 5 1 6 7 2 9
Jaksa 5 3 8 4 3 7
Hakim Pengadilan Agama 5 1 6 4 1 5
Sumber: Kejari dan Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul
64
Jabatan Hakim dan Jaksa perempuan di Kabupaten Gunungkidul masih
lebih rendah daripada laki-laki, baik di Pengadilan/Kejaksaan Negeri maupun
Pengadilan Agama. Pada tahun 2008, dari sejumlah 9 hakim di Pengadilan Negeri, 2
orang (22,2 persen) adalah hakim perempuan, sedangkan dari sejumlah 7 jaksa, 3
orang (42, 85 persen) adalah jaksa perempuan. Di Pengadilan Agama, pada tahun
2008 hanya 1 orang (20 persen) hakim perempuan. Sementara itu di bidang
penegakan hukum yang lain, jumlah dan persentase perempuan sebagai anggota
POLRI adalah 18 orang Polwan dari 938 orang anggota polisi di Polres
Gunungkidul. Keberadaan perempuan dalam bidang penegakan hukum diharapkan
dapat membuat keputusan-keputusan peradilan yang tidak bias gender.
65
BAB VIII. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
66
kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan
atau gadis yang merugikan fisik maupun psikologis, penghinaan, atau
perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga
mengakibatkan subordinasi perempuan… (Heiss, et al. 1999). .
67
Tabel 8.1. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2005 - 2008
Selain itu, data lain dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul yang
memutuskan perkara perceraian menunjukkan bahwa banyaknya kasus gugat cerai
yang diajukan oleh istri kepada suami adalah disebabkan karena kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dengan berbagai kasus sebagai berikut.
68
Tabel 8.2. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
Menyebabkan Perceraian di Kabupaten Gunungkidul,
Tahun 2005 - 2008
69
BAB IX . MASALAH ANAK
Hal yang perlu mendapat perhatian bekaitan dengan hak anak adalah
masalah akte kelahiran. Hal ini penting karena setiap anak memiliki hak untuk
mengetahui identitas dirinya, seperti siapa orang tuanya, dimana ia dilahirkan, dan
sebagainya. Dengan demikian haknya untuk mendapatkan pendidikan dan
memperoleh kehidupan yang layak di kemudian hari akan terjamin.
70
penduduk tentang pentingnya Akta Kelahiran. Pengurusan Akta Kelahiran di
Kabupaten Gunungkidul saat ini dipermudah dengan adanya peraturan pemerintah
daerah sejak Agustus 2008 dengan membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran
kepada anak sejak waktu dilahirkan hingga 60 hari kemudian.
Masalah anak yang lain, adalah masih adanya anak-anak usia sekolah
yang bekerja. Kesulitan ekonomi seringkali memaksa anak untuk bekerja, padahal
sebagai anak-anak mereka mempunyai hak untuk belajar dan bermain serta
mengalami tumbuh kembang secara wajar, sehingga dapat diharapkan menjadi
generasi penerus yang berkualitas. Tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang
tidak memadai telah menyebabkan anak-anak terpaksa harus ikut bekerja
membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Alasan ekonomi juga berdampak pada tingginya kasus kekerasan
terhadap anak. Karena tekanan ekonomi keluarga, orangtua pada umumnya ayah
sering melampiaskan kekesalannya kepada ibu (istri) dan anak, sehingga muncul
kasus KDRT dan Kekererasan terhadap Anak. Bentuk kekerasan pada anak
terutama adalah pelecehan seksual, dan perkosaan, sebagaimana digambarkan
pada tabel di bawah ini.
71
Pada data diatas ditunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak
jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dari kasus sebelumnya 2007 ke 2008.
Oleh karena itu perlu ada perhatian yang lebih intensif dari orang tua atau keluarga
terhadap anak-anaknya. Kemajuan teknologi dan informasi global memungkinkan
terjadinya tindak kekerasan terhadap anak karena pelaku biasanya meniru
tayangan-tayangan televisi atau film/video (porno dan kekerasan) yang ditayangkan,
disewakan atau dijual bebas di masyarakat. Pada beberapa kasus kekerasan
terhadap anak, biasanya pelakunya adalah teman sendiri atau orang dewasa yang
sudah dikenal dekat oleh korban.
72
gembira dan ceria mereka. Kemurungan, kemarahan, kekecewaan, dan rasa
tertekan selalu meliputi perasaan. Mereka pesimistis terhadap masa depan.
Selain itu, pola pengasuhan yang tidak tepat dimana karena alasan
ekonomi, orangtua mencari pekerjaan ke luar daerah, menjadi TKI atau TKW di luar
negeri menyebabkan anak dititipkan kepada kerabatnya atau anggota keluarga yang
lain, seperti kakek, nenek, paman, atau bibi. Karena kurang kontrol terhadap anak
tersebut, dan pengaruh teman sebaya, menjadikan anak terjerumus dalam kegiatan-
kegiatan yang negatif, seperti narkoba, pornografi, hingga kehamilan dini. Banyak
permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul
karena usia pernikahan yang belum cukup umur bagi calon istri maupun suami.
Kasus ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, yakni 7 kasus pada tahun 2007
dan meningkat menjadi 23 kasus pada tahun 2008.
73
BAB X . MASALAH PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING)
74
setelah obat-obat terlarang dan bisnis senjata, kejahatan yang menghasilkan ratusan
trilyun rupiah setiap tahun. Umumnya aliran perdagangan manusia berasal dari
daerah yang belum berkembang, dan miskin, ke daerah-daerah yang lebih maju.
Walau tidak bisa berlaku secara umum per person, mayoritas perempuan
yang diperdagangkan adalah berusia dibawah 25 tahun, dan banyak diantara
mereka berusia remaja tanggung. Karena ketakutan para pelanggan terhadap
75
ancaman infeksi HIV-AIDS memaksa para penjual manusia ini merekrut perempuan
yang muda atau anak-anak sekitar 7 tahun dengan asumsi mereka belum terkena
HIV-AIDS.
Tenaga kerja pembantu rumah tangga (PRT) rentan alami trafficking. Tanpa adanya
perjanjian kerja yang jelas, para pembantu rumah tangga akan semakin rentan
mengalami trafficking. Belajar dari banyaknya kasus yang antara lain tampak dalam
kekerasan yang dialami PRT domestik maupun tenaga kerja Indonesia (TKW) di luar
negeri, pemerintah pun harus lebih serius menangani permasalahan ini. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Tjoet Njak Dien, sebuah LSM yang mendampingi PRT,
menyampaikan bahwa selama ini pemahaman umum mengenai trafficking masih
terbatas pada perdagangan manusia. Padahal, apabila seseorang ditawari pekerjaan
dan di dalamnya ada unsur penipuan, itu sudah dikategorikan sebagai trafficking,
termasuk juga di dalamnya apabila ada unsur pemaksaan, seperti pemaksaan kerja
anak untuk melunasi utang orangtua. Tanpa adanya perjanjian kerja, PRT akan
semakin rentan mengalami trafficking karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat
dengan para majikan. Akibatnya, mereka makin berisiko mengalami kasus-kasus
kekerasan, pelecehan seksual, gaji tak terbayar, atau jam kerja tak terbatas. Selain
itu, LSM ini juga mencatat bahwa sudah banyak orang yang ditawari bekerja
sebagai PRT di suatu daerah, tetapi pada akhirnya dibawa ke daerah lain dan harus
mengalami kerja paksa, serta beragam bentuk kekerasan. (http://www2.kompas.com/)
76
Di Kabupaten Gunungkidul terdapat beberapa perempuan yang menjadi
PRT di derah lain dan mendapat pendampingan dari LSM Tjoet Njak Dien tersebut,
diantaranya dari Tepus (100 orang), Gedaren, Bendo Gede, Ponjong (32 orang),
Banyumeneng, Panggang (20 orang). Para PRT dan masyarakat luas perlu diberi
sosialisasi mengenai isu trafficking karena belum semua PRT memahami tentang
trafficking. Mereka juga belum punya cukup keberanian untuk melaporkan
ketidakadilan yang diterima dari majikannya, apalagi jika tidak memiliki perjanjian
kerja. Penanganan berbasis komunitas pun perlu terus digalakkan sehingga warga
dapat segera melaporkan jika ada yang mengalami trafficking.
77
BAB XI . PENUTUP
11.1. Kesimpulan
78
Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 adalah sebesar 69,18 atau
dengan kata lain, setiap seratus orang penduduk usia produktif akan
menanggung sebanyak 69 orang penduduk yang nonproduktif.
79
9. Data Susenas 2006 dan 2007, menunjukkan bahwa di Kabupaten
Gunungkidul, proses persalinan mayoritas ditolong oleh dokter, bidan, dan
tenaga medis lainnya yakni 95,33 persen, dan 4,67 persen ditolong oleh
dukun. Hal itu menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat
dan pengetahuannya untuk mendapatkan pertolongan dari tenaga medis
yang berkualitas dalam persalinannya.
10. Beberapa indikator gizi Kabupaten Gunungkidul yang meliputi status gizi
balita, kurang energi protein, dan anemia menunjukkan bahwa, status gizi
balita di Kabupaten Gunungkidul tergolong baik. Namun demikian masih
ditemui beberapa balita yang memiliki gizi kurang, gizi buruk, dan gizi lebih.
80
tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya,
perempuan pada umumnya bukan sebagai pencari nafkah yang utama.
Karena merasa bukan sebagai pencari nafkah utama, perempuan banyak
yang mengurus rumah tangga terutama pada saat anak-anak masih kecil
yaitu saat masih memerlukan perhatian khusus.
13. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 semakin banyak tenaga kerja yag
ditempatkan melalui program Informasi Pasar Kerja (IPK) yang dikelola
oleh Dinas Nakertrans Kabupaten Gunungkidul. Tenaga kerja tersebut
ditempatkan dalam satu provinsi (AKL), antar provinsi (AKAD), bahkan
antar negara (AKAN) dengan negara tujuan antara lain: Malaysia, Korea,
Taiwan dan Arab Saudi.
81
persen, sementara guru laki-laki hanya 3,40 persen. Tingginya persentase
guru perempuan di jenjang pendidikan TK dan SD berkaitan dengan
anggapan bahwa guru perempuan lebih sabar, ulet, dan lemah lembut
menghadapi anak-anak.
16. Di sektor publik lainnya yakni di bidang legislatif, perempuan belum dapat
menyampaikan aspirasinya dengan baik, karena keterwakilan perempuan
di dalam legislatif jumlahnya berlum memadai. Hanya satu orang dari 45
anggota legislatif di Kabupaten Gunungkidul. Namun untuk memenuhi
kuota 30 persen anggota legislatif perempuan pada periode yang akan
datang (2009 – 2014) saat ini di Kabupaten Gunungkidul terdapat 146
calon anggota legislatif perempuan yang tersebar pada lima daerah
pemilihan (Dapel).
82
pada keluarga kelas bawah (miskin). KDRT juga meningkatkan
permohonan gugat cerai di Pengadilan Agama.
19. Masalah anak yang dihadapi dan masih perlu mendapat perhatian adalah
masalah kepemilikan akte kelahiran yang belum merata bagi semua anak.
Sebagian orangtua belum menganggap perlu akte kelahiran bagi anak-
anaknya dan memahami bahwa akte kelahiran adalah hak anak. Masalah
lain tentang anak adalah tingginya kasus kekerasan terhadap anak.
Karena tekanan ekonomi keluarga, orangtua pada umumnya ayah sering
melampiaskan kekesalannya kepada ibu (istri) dan anak, sehingga muncul
kasus KDRT dan Kekererasan terhadap Anak. Bentuk kekerasan pada
anak terutama adalah pelecehan seksual, dan perkosaan.
11.2. Saran
83
masyarakan dan pusat studi wanita dapat melakukan kajian dan penelitian
guna memajukan peran perempuan, khususnya di Kabupaten Gunungkidul
agar perempuan tidak menjadi anggota masyarakat ”kelas dua” yang
senantiasa terpinggirkan.
11.3. Rekomendasi
84
di segala bidang, karena dampak dari tinginya angka putus sekolah
tersebut sangat luas, antara lain adalah ancaman trafficking, karena
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kantong dan sending area
untuk terjadinya trafficking tersebut.
85
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2007). Gunungkidul dalam Angka 2006.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2008). Gunungkidul dalam Angka 2007.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2007). Indikator Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Gunungkidul, 2006
Dinas Kesehatan dan KB Kabupaten Gunungkidul (2008) Informasi Pembangunan Bidang
Kesehatan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008 (Data tahun 2007).
Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Gunungkidul. (2007). Position Paper
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Kabupaten Gunungkidul
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul. (2007). Profil
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Kabupaten Gunungkidul, 2006
Dyah Respati Suryo Sumunar, Sentot Bangun Widoyoko, Sularso. (2006). Statistik Gender
dan Analisis Tingkat Provinsi DIY Tahun 2006. Yogyakarta: Kantor Pemberdayaan
Perempuan Provinsi DIY .
Dyah Respati Suryo Sumunar, Sri Marmining Djati, Agus Handriyanto (2007). Statistik dan
Analisis Kota Yogyakarta, Tahun 2006. Yogyakarta: Bagian Kesmas dan PUG Sekda
Kota Yogyakarta
Heisse L, et al. (1999). ‘Ending Violence Againts Women’. Population Report Series. No. 11.
Baltimore: John Hopkins University.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan (tt). Pedoman Hari Ibu.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. (2006). Revisi Lampiran Tabel-Tabel
Publikasi Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2005. Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik.
Kompas (7 Juli 2005). Tenaga Kerja Pembantu Rentan Alami "TRAFFICKING"
http://www2.kompas.com. Diakses pda 20 Desember 2008
86