Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SATYAGAMA
NIM/NIRM : 08330050115
NAMA : SUPRIYADI
SEMESTER : IV (empat)
1. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP
Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-
undangan.
Dalam perkembangannya, proses pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk
menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886,
namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang ingin
mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi
internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana
terjadi secara sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan
Belanda.
Pemberlakuan hukum warisan Belanda ini tetap diakui dan masih dipakai oleh sarjana-sarjana hukum
kita di dalam memberikan referensinya kepada dunia hukum pada umumnya. Dasar hukumnya adalah
Aturan Peralihan Pasal 1 UUD 1945 (Perubahan keempat setelah amandemen UUD). Ketentuan inilah
yang menyebabkan Burgerlijk Wetboek atau lebih dikenal sebagai BW (Kitab Undang-undang Hukum
Perdata), KUHP atau Wetboek van Strafrecht (meskipun ada perubahan-perubahan), HO (Hinder
Ordonantie) dan aturan-aturan lainnya masih berlaku sampai sekarang. Hal ini menurut saya karena
berkaca dari sejarah bangsa ini bahwa pemerintah Belanda pada kala itu (saat menjajah Indonesia
selama 3,5 abad) membawa pengaruh sejarah yang besar sehingga tidak bisa kita hindarkan begitu
saja dalam mempelajari ilmu hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan .
Kesempurnaan hendaknya menyusun sebuah KUHP baru harus yang sesuai dengan jiwa bangsa. dan
sesuai dengan prinsip – prinsip negara hukum.
1
2. Sistematika KUHP
Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103). 2
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).
c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku
Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali
aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (lihat Pasal 103 KUHP).
Buku Kesatu Aturan Umum Buku Kedua Kejahatan Buku Ketiga Pelanggaran
2
Pemalsuan Surat (Pasal 263-276)
281-303 bis)
Kejahatan terhadap
Kemerdekaan Orang (Pasal 324-
337)
Perbuatan Merugikan
Pemihutang atau Orang yang
Mempunyai Hak (Pasal 396-405)
Menghancurkan atau
Merusakkan Barang (Pasal 406-
412)
3
Kejahatan Jabatan (Pasal 413-
437)
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP di bagi atas kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen) dimana Buku II KUHP (Pasal 104 KUHP - Pasal 488 KUHP) mengatur
mengenai kejahatan dan Buku III KUHP (Pasal 489 KUHP – Pasal 569 KUHP) mengatur tentang
pelanggaran.
Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran
(Moeljatno,2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan
pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan
pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang
meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai
onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
“wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah
ada wet yang menentukan demikian (Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang
menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana)
antara kejahatan dan pelanggaran.Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan
lebih berat daripada pelanggaran, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu
(Moeljatno,2002:74) :
2.Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang
diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak
usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
4
3.Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan
pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP).
4.Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran
adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5.Dalam hal pembarengan (concursus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan.
Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat.
Pasal 48 KUHP adalah dasar pembenar (mengenai keadaan darurat) dan pemaaf (mengenai
overmacht),
Overmacht mutlak
Yaitu suatu paksaan yang sama sekali tidak dapat dilawan, pembuat adalah alat belaka dalam tangan
dari yang memaksa.
Overmacht relatif
Yaitu hal-hal paksaan psikis, yang biarpun masih juga dapat dilawan, tetapi menurut rasa bijaksana
masih juga dari pembuat perlawanan itu tidak dapat diharapkan. Terbagi atas :
1. Berat lawan (overmacht) dalam arti kata sempit atau paksaan psikis, Seseorang lain
memaksa seseorang pembuat (dader) membuat sesuatu yang merupakan suatu delik.
2. Keadaan darurat (noodtoestand). Pembuat melakukan suatu delik karena terdorong
oleh suatu paksaan dari luar (bukan manusia, tetapi keadaan), pembuat sendirilah yang
memilih diadakannya peristiwa pidana itu,sebab pembuat dipaksa memilih melakukan suatu
delik atau mendapat kerugian besar oleh paksaan dari luar itu.
Noodtoestand (dasar pembenar), namun dapat juga dasar pemaaf, dengan pembedaan diadakan
secara kasuistis (penjelasan diatas)
Pasal 49 ayat 1 KUHP (noodweer) adalah dasar pembenar (mengenai bela paksa).
5
Elemen pembelaan darurat :
Pasal 49 ayat 2 KUHP (noodweer-exces) adalah dasar pemaaf (mengenai bela paksa lampau batas),
unsure-unsurnya :
Bersifat Khusus (Pasal 166 KUHP, 221 (2) KUHP,310 (3) KUHP, dan 367 ayat(1) KUHP)
Hanya berlaku untuk delik tertentu dan orang-orang tertentu yang ditunjuk dalam perumusan delik
tersebut. Keistimewaannya ialah hal mengecualikan dijatuhkannya hukuman tidak berdasarkan
tiadanya schuld (kesalahan dalam arti luas), tetapi kepentingan umum tidak akan tertolong oleh suatu
penuntutan pidana, sehingga lebih baik tidak menuntut di muka hakim pidana.
Dasar pembenar, yaitu alasan membenarkan tindakan bahwa senyatanya apa yang ia lakukan adalah
suatu tindak pidana, tetapi kemudian oleh hukum dibenarkan karena dianggap patut dan benar
sehingga tidak dipandang sebagai suatu tindak pidana dengan menhapus unsure melawan hukum.
Dasar pembenar menghilangkan suatu peristiwa pidana, yaitu kelakuan yang bersangkutan bukan
suatu peristiwa pidana, biarpun sesuai lukisan suatu kelakuan tertentu yang dilarang dalam undang-
undang pidana
Dasar pemaaf, yaitu alasan-alasan yang menghilangkan unsur kesalahan yang hanya menghilangkan
pertanggungjawaban pembuat atas peristiwa yang diadakannya, dimana kelakuan yang bersangkutan
tetap suatu peristiwa pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat.
6
Dasar peringan dan pemberat pidana
KUHP mengenal 3 macam alas an-alasan umum yang mengurangi beratnya hukuman, yaitu :
Pasal 53 KUHP mengenai poging dimana ancaman pidana pokoknya dikurangi sepertiga dan jika
ancaman pidana pokoknya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka untuk poging
diubah menjadi ancaman pidana lima belas tahun penjara
Adalah perluasan tindak pidana karena membahayakan suatu kepentingan meskipun tindakan tersebut
tidak memenuhi seluruh unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan atau dirumuskan
Dasar pogging dapat dipidana adalah Pasal 53 KUHP, dimana salah satu ayatnya berbunyi
Ayat (1) : Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
pemulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
Maka dapat disimpulkan syarat-syarat poging sesuai pasal 53 ayat 1 KUHP adalah :
1. Niat
2. Permulaan pelaksanaan tindakan
3. Tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku
Dasar-dasar yang memperingan pidana ditentukan secara umum dalam pasal 45, 47, 53, 56, dan 57
KUHP.
Pasal 56 dan 57 KUHP mengenai pembantuan dalam tindak pidana dimana intensitas pelaku
pembantuan dalam melakukan tindak pidana dianggap lebih rendah atau kurang. Ancaman pidana
pokoknya dikurangi sepertiga dan jika ancaman pidana pokoknya adalah hukuman mati atau penjara
seumur hidup, maka ancamannya untuk pembantuan diubah menjadi lima belas tahun penjara.
Pasal 45 dan 47 KUHP mengenai anak-anak di bawah umur / belum dewasa. Batas usia dewasa
menurut KUHP adalah 16 tahun. Hukumannya dapat berupa:
Ada juga hal khusus yang memperingan pidana, yaitu delik yang diprevilisir. Contohnya adalah pasal
308 KUHP, yaitu seorang ibu yang membuang anaknya dalam keadaan-keadaan tertentu. Selain itu
juga pasal 341 dan 342 KUHP
7
b. Dasar pemberat pidana
KUHP mengenal 3 macam alasan-alasan umum yang menambah beratnya hukuman, yaitu :
Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP) Mereka yang menggunakan jabatannya dalam
melakukan sebuah tindak pidana diancam dengan ancaman hukuman pidana yang lebih berat, yaitu
ditambah sepertiga hukumannya (Pasal 52 KUHP).
Recidive (title XXXI Buku II)Pada recidive sudah ada putusan hakim pada pelaku, baru kemudian
pelaku mengulangi tindak pidananya (jenisnya diatur secara limitatif). Menurut doktrin terdapat dua
sistem pemberat pidana berdasarkan recidivie, yaitu :
Khusus, yaitu pengulangan tindak pidana tertentu dan dalam tenggang waktu tertentu
KUHP menganut ditengah-tengah dari dua sistem tersebut. Tindak pidananya bersifat limitatif, yaitu
yang tertera dalam ketentuan pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Rentang waktunya ialah lima tahun
setelah pelaku dikeluarkan dari penjara dan hukumannya ditambah sepertiganya.
Bertolak pangkal kepada tindakan dari petindak yang telah membahayakan suatu kepentingan hukum
yang dilindungi oleh undang-undang. Beberapa penulis Belanda berpendapat bahwa KUHP menganut
teori objektif.
Berdasarkan kasus, tidak terjadi poging karena tindak pidana telah memenuhi seluruh unsur yang ada.
Seandainya pada saat pelaku hendak memukulkan martil ke kepala korban, ada warga sekitar yang
melihatnya dan menggagalkannya, maka terjadilah poging (tidak selesainya delik bukan karena
kehendak pelaku). Ancaman hukumannya-pun dikurangi sepertiganya sesuai dengan pasal 53 KUHP.
Seseorang yang telah memiliki niat untuk melakukan tindak pidana atau menyatakan niatnya dalam
tindakan permulaan sudah harus dipidana meskipun belum terjadi suatu kerugian kepentingan hukum
sesuai dengan pasal yang dipidana.
-Turut serta
Dalam melakukan delik, sering pembuat (dader) dibantu oleh orang lain, dan justru karena turut
sertanya orang lain ini, menurut POMPE,memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka peristiwa
pidana itu mungkin dilakukan.
Pelajaran umum turut serta, justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang
memungkinkan pembuat melakukan tindak pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat
semua unsur delik tersebut, karena tanpa turut sertanya mereka, sudah tentu peristiwa pidana tersebut
tidak pernah terjadi.
Namun tidak semua peserta adalah strafbaar karena dalam pasal 60 KUHP bahwa “perbantuan
melakukan pelanggaran, tidak dihukum”. Pembujuk yang mempergunakan alat atau cara membujuk
yang diluar yang ditentukan pada pasal 55 KUHP, tidak dapat dihukum.
8
Menurut Von Feurbach, dua jenis peserta adalah :
1. Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana, yang melakukan inisiatif (urheber)
2. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut pada ad a, yaitu
mereka yang tidak langsung berusaha dan membantu saja (gehilfe)
Menurut Pasal 56 KUHP, gehilfe (pembantu) terdiri atas yang membantu (medeplichtige)
Yang melakukan, yang memang pembuat peristiwa pidana, dihukum sebagai pembuat, dan beberapa
pasal-pasal seperti 58 dan 367 KUHP, yang mengenai pembuat serta peserta yang disebut dalam
pasal-pasal 55 dan 56 KUHP memuat kata pembuat dan pembantu, yaitu pembuat adalah yang
melakukan serta semua peserta yang dimaksud pasal 55 KUHP, sedangkan pembantu adalah peserta
yang dimaksud pasal 56 KUHP
namun pembagian ini tidak dapat disesuaikan dengan sistem undang-undang pidana sekarang. KUHP
hanya membagi antara pembuat dan pembantu.
Turut serta yang terjadi sebelum dilakukannya perbuatan yang merupakan inti peristiwa pidana adalah
menyuruh melakukan, membujuk, dan membantu, sedangkan turut serta yang terjadi serentak dengan
dilakukannya perbuatan yang merupakan inti peristiwa pidana adalah turut melakukan dan membantu.
Turut serta tidak dapat terjadi sesudah terselesainya perbuatan yang merupakan inti peristiwa pidana.
Pada samenloop, belum ada putusan hakim yang melekat pada pelaku sementara pelaku sudah
beberapa kali melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini bersifat kontradiktif karena hal ini justru
meringankan hukuman pelaku tindak pidana samenloop tersebut karena ada pengaturan ancaman
hukuman maksimumnya.
Mereka yang menggunakan bendera Indonesia untuk melakukan kejahatan diancam dengan ancaman
hukuman pidana yang lebih berat, yaitu ditambah sepertiga hukumannya (Pasal 52a KUHP).
9
contoh kasus :
Si A adalah pelaku melakukan perampokan (pencurian) senilai 2 Miliar di mobil dengan membunuh 3
korban terlebih dahulu Si A telah merencanakan sebelumnya namun perbuatan yang dilakukan tidak
selesai (pogging)
Gabungan
Gabungan, adalah satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. Dalam penentuan berat
hukuman, terdapat perbedaan pendapat, yaitu.
1. Van Hammel, membahas gabungan itu sebagai satu lembaga hukum pidana tersendiri
2. Van Hattum, membahas gabungan itu sebagai satu lembaga hukum pidana tersendiri, tetapi
berdasarkan alasan-alasan lain.
3. Somons, Zevenbergen, Vos, dan Hazewinkel-Suringa, menempatkan gabungan itu dalam
pembahasan mengenai ukuran untuk menetapkan beratnya hukuman (straftoemeting)
4. Pompe, membahas gabungan itu sebagai bagian dari pelajaran mengenai dapat dihukum atau
tidak dapat dihukumnya pembuat, karena pasal-pasal 63 dan 64 KUHP menyinggung
hubunganantara peristiwa pidana dan perbuatan
5. Jonkers, memebahas gabungan itu sebagai bagian dari pelajaran mengenai peristiwa pidana
(strafbarefeit), biarpun ia melihat gabungan itu sebagai salah satu ukuran untuk menentukan
beratnya hukuman .
1.Concursus idealis
“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah
satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat”
Suatu perbuatan :
1. Van Hammel dan, Simons, dan Zevenbergen menafsirkan sebagai satu perbuatan fisik. Dalam hal
ini, concursus idealis meliputi semua perkara pidana yang terjadi karena dengan dilakukannya
hanya satu perbuatan pidana yang merupakan pelanggaran beberapa ketentuan pidana sekaligus
2. Vos, perbuatan fisik atau perbuatan materil adalah perbuatan yang dilihat terlepas dari akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas pula
dari semua unsur-unsur lain lain yang menyertai. Dalam hal ini, concursus idealis, adalah apa yang
kira-kira menjadi sebab, yang dikenakan ialah ketentuan pidana yang terberat hukuman pokoknya
sehingga hukuman-hukuman lain terlah diabsorpsi dalam hukuman yang terberat itu. Alasannya
adalah :
- Barangsiapa yang telah memberanikan diri untuk mengadakan delik yang lebih berat, tidak
akan mundur apabila ia kemudian mengetahui bahwa pada saati ia akan melakukan delik yang lebih
berat itu sekaligus juga akan melakukan satu delik yang lebih ringan, sehingga menjatuhkan hanya
satu hukuman itu.
- Maksimum hukuman yang ditentukan dalam ketentuan pidana ditujukan pada penghukuman
peristiwa (pidana) yang paling berat, dan delik yang lebih ringan tidak boleh dijadikan alas an
memperberat hukuman maksimum tersebut
10
Sehingga kedua alasan tersebut dapat dipakai sebagai alasan-alasan untuk menjatuhkan hanya satu
hukuman saja, yaitu hukuman yang terberat.
2.Concursus realis
Pada suatu saat peristiwa yang satu dicatat terlepas sekali dari peristiwa yang lain, dan sebaliknya,
sehingga peristiwa-peristiwa yang bersangkutan dilihat terpisah yang satu dari yang lain.
Jonkers menyatakan, concursus realis adalah segala yang tidak merupakan concursus idealis atau
perbuatan terus menerus. Tiga ukuran untuk menentukan beratnya hukuman :
Yaitu ancaman terhadap suatu tindak pidana terserap oleh ancaman terhadap suatu tindak pidana lain
yang dilakukan (umumnya karena ancaman suatu tindak pidana jauh lebih kecil dibandingkan dengan
ancaman pidana tindakan lainnya).
“ Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang
sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana”
Jadi teranglah bahwa oleh hakim ditetapkan hanya satu hukuman saja (absorpsi)
“dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam
dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga”
6. Kealpaan (culva)
11
culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan
kealpaan (kelalaian). Contoh delik culpa yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun”.
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum pidana
diketahui pengertiannya:
- Segaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karna mengunakan ingatan/ otaknya
secara slah, seharusnya ia mengunakan ingatanya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak gunakan.
Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan ( aktif atau pasif) dengan kurang
kewarasan yang diperlukan.
- Pelaku dapat memprakirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya.
Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tindk melakukna tindkakan yang
akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindkana itu tidak dirugikan, atas tindkakan mana ia
kemudian dicela, karna bersifat melawan hukum.
M.v.T menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:
a. kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
Kealpaan, sepertinya juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan
adlah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa
kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat
yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak
salah satu kesukaran ntuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (kesadaran-mungkin, dolus
eventualis) dengan kealpaan berat ( culpa lata).Dalam memahami tentang kealpaan atau culpa lebih
mudah saya akan menguraikan
contoh, yaitu:
Tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga
membuat terjadinya kebakaran, tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada
orang yang mati karnannya.
Dalam hal seperti contoh tindakan diatas kita temukan kealpaan yang dapat dituntut menurut hokum
pidana.
Delik dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja.
Contohnya terdapat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Selain pada pasal 338 KUHP, terdapat pula contoh delik dolus lainnya yaitu, pasal 354 KUHPdan pasal
187 KUHP.Corak kesengajaan
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus
directus
Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau
noodzakelijkheidbewustzijn)
12
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet). Untuk
memudahkan pemahaman kita pada Kesengajaan ( opset/ dolus ) saya memiliki contoh tindakannya,
seperti:
- A menghendaki matinya B dengan kekuatan tanganya sendiri. A mencekik leher B dan B mati.
- D mengarahkan bedilnya kepada kelompok manusia, yang dia anggap sebagai lawan-lawannya.
Tanpa mengunakan alat bidik, ditembakannya dan menghendaki matinya salah seseorang dari
mereka itu. Jadi sembarang saja, siapa saja pokoknya ada yang mati.
- X melempar bom ke dalam gedung bioskop (theatre) yang penuh sesak dengan penonton.
Matinya beberapa orang yang ditimbulkan peca
- meletakkan bom di mobil B. Bom meledak han-pecahan bom itulah yang di kehendaki X. A
bermaksud menghabisi nyawa B dengan sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B luka-luka
parah. PASAL YG DIDAKWAKAN Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan
berencana)
“ Barang siapa sengaja dengan rencana lebih dahlu merampas nayawa orang lain,diancam karena
pembunuhan dengan rencana (moord) degan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu palilng lama dua puluh tahun”
Contoh .. Beberapa bulan sebelumnya .A. fatah dan supriyadi memang dekat. hubungan kedua
sahabat itu agak renggang karena. A. fatah sering menagih utang Rp.2 Juta .uang tersebut untuk
biaya kuliah supriyadi ,kemudian supriyadi mengajak a. Fatah jalan-jalan kesebuah tempat yang agak
sepi setelah supriyadi ngajak makan terlebih dahulu. A.Fatah merasa biasa saja melihat perlakuan dan
ajakan supriyadi tersebut..tiba-tiba supriyadi memukulkan batu ke-kepala A. Fatah hingga
mengakibatkan hilangnya nyawa ....ternyata perbuatan tersebut di ketahui bapak Ramadanil yang
kebetulan lewat tempat tersebut di mana terdengar suara jeritan mengenaska A.Fatah. akhirnya
ramadanil melaporkan perbuatan supriyadi tersebut kepada pihak yang berwajib....sudah jelas menurut
bareskrim polda Ikhsan SH. Perbuatan supriyadi sudah melanggar pasal 340 KUHP .
Delik komisi dan delik omisi ( commissiedelicten en omisiedelicten ) Ialah delik yang dilakukan
dengan perbuatan. Disini orang melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik omisi
( Ommissiedelicten ) dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan ( nalaten ). Dibedakan antara
delik omisi yang murni dan yang tidak murni, delik omisi yang murni ialah membiarkan sesuatu yang
diperintahkan, delik omisi murni melanggar perintah dg tidak berbuat, mis. Ps 164, Ps 224 KUHP. Dan
delik omisi yang tidak murni yang disebut delicto commissionis per omissioem, delik ini terjadi jika oleh
undang-undang tidak dikehendaki sautu akibat ( yang akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu
pengabaian). Delik omisi tak murni : melanggar larangan dg tidak berbuat, mis Ps 194 KUHP
13
Delik materil dan delik formal ( materiele en formeledelicten ) Disebutkan adanya akibat tertentu
dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Pada delik formel disebut hanya suatu perbuatna
tertentu sebagai dapat dipidana misalnya pasal 160,209, 242,236,362 KUHP. Van Hamel keberatan
adaanya perbedaan hakiki antara keduanya, pada delik formel ada akibat pada dunia luar, yaitu
mengenai waktu dan tempat perbuatan sering dapat dibedakan, umpama pencurian dengan
mempergunakan binatang, pemalsuan dengan bahan-bahan kimia, penghinaan dengan telepon. Oleh
karena itu ia hanya mau berbicara tentang delik dengan perumusan formel atau materiel.
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu
atau lebih unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang
mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam pasal 365 terhadap pasal 362, pasal 374
terhadap pasal 372.
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga
mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Contohnya pasal 341 lebih ringan
daripada pasal 342, pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan
daripada pasal 305 dan 306.
Delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan
dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif. Delik aduan penuntutannya
memerlukan pengaduan, mis. Ps 310, Ps 284
Overmacht mutlak
Yaitu suatu paksaan yang sama sekali tidak dapat dilawan, pembuat adalah alat belaka dalam tangan
dari yang memaksa.
Overmacht relatif
Yaitu hal-hal paksaan psikis, yang biarpun masih juga dapat dilawan, tetapi menurut rasa bijaksana
masih juga dari pembuat perlawanan itu tidak dapat diharapkan. Terbagi atas :
1. Berat lawan (overmacht) dalam arti kata sempit atau paksaan psikis, Seseorang lain
memaksa seseorang pembuat (dader) membuat sesuatu yang merupakan suatu delik.
14
2. Keadaan darurat (noodtoestand). Pembuat melakukan suatu delik karena terdorong
oleh suatu paksaan dari luar (bukan manusia, tetapi keadaan), pembuat sendirilah yang
memilih diadakannya peristiwa pidana itu,sebab pembuat dipaksa memilih melakukan suatu
delik atau mendapat kerugian besar oleh paksaan dari luar itu.
Noodtoestand (dasar pembenar), namun dapat juga dasar pemaaf, dengan pembedaan diadakan
secara kasuistis (penjelasan diatas)
Pasal 49 ayat 1 KUHP (noodweer) adalah dasar pembenar (mengenai bela paksa).
Pasal 49 ayat 2 KUHP (noodweer-exces) adalah dasar pemaaf (mengenai bela paksa lampau batas),
unsure-unsurnya :
Bersifat Khusus (Pasal 166 KUHP, 221 (2) KUHP,310 (3) KUHP, dan 367 ayat(1) KUHP)
Hanya berlaku untuk delik tertentu dan orang-orang tertentu yang ditunjuk dalam perumusan delik
tersebut. Keistimewaannya ialah hal mengecualikan dijatuhkannya hukuman tidak berdasarkan
tiadanya schuld (kesalahan dalam arti luas), tetapi kepentingan umum tidak akan tertolong oleh suatu
penuntutan pidana, sehingga lebih baik tidak menuntut di muka hakim pidana.
15
Dasar Penghapus Pidana di luar KUHP (menurut ahli / doktrin), yaitu :
Dasar pembenar, yaitu alasan membenarkan tindakan bahwa senyatanya apa yang ia lakukan adalah
suatu tindak pidana, tetapi kemudian oleh hukum dibenarkan karena dianggap patut dan benar
sehingga tidak dipandang sebagai suatu tindak pidana dengan menhapus unsure melawan hukum.
Dasar pembenar menghilangkan suatu peristiwa pidana, yaitu kelakuan yang bersangkutan bukan
suatu peristiwa pidana, biarpun sesuai lukisan suatu kelakuan tertentu yang dilarang dalam undang-
undang pidana
Dasar pemaaf, yaitu alasan-alasan yang menghilangkan unsur kesalahan yang hanya menghilangkan
pertanggungjawaban pembuat atas peristiwa yang diadakannya, dimana kelakuan yang bersangkutan
tetap suatu peristiwa pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat.
KUHP mengenal 3 macam alas an-alasan umum yang mengurangi beratnya hukuman, yaitu :
Pasal 53 KUHP mengenai poging dimana ancaman pidana pokoknya dikurangi sepertiga dan jika
ancaman pidana pokoknya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka untuk poging
diubah menjadi ancaman pidana lima belas tahun penjara
Adalah perluasan tindak pidana karena membahayakan suatu kepentingan meskipun tindakan tersebut
tidak memenuhi seluruh unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan atau dirumuskan
Dasar pogging dapat dipidana adalah Pasal 53 KUHP, dimana salah satu ayatnya berbunyi
Ayat (1) : Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
pemulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
Maka dapat disimpulkan syarat-syarat poging sesuai pasal 53 ayat 1 KUHP adalah :
1. Niat
2. Permulaan pelaksanaan tindakan
3. Tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku
Dasar-dasar yang memperingan pidana ditentukan secara umum dalam pasal 45, 47, 53, 56, dan 57
KUHP.
Pasal 56 dan 57 KUHP mengenai pembantuan dalam tindak pidana dimana intensitas pelaku
pembantuan dalam melakukan tindak pidana dianggap lebih rendah atau kurang. Ancaman pidana
pokoknya dikurangi sepertiga dan jika ancaman pidana pokoknya adalah hukuman mati atau penjara
seumur hidup, maka ancamannya untuk pembantuan diubah menjadi lima belas tahun penjara.
16
3. Belum dewasa (minderjarigheid) (pasal 47 KUHP)
Pasal 45 dan 47 KUHP mengenai anak-anak di bawah umur / belum dewasa. Batas usia dewasa
menurut KUHP adalah 16 tahun. Hukumannya dapat berupa:
Ada juga hal khusus yang memperingan pidana, yaitu delik yang diprevilisir. Contohnya adalah pasal
308 KUHP, yaitu seorang ibu yang membuang anaknya dalam keadaan-keadaan tertentu. Selain itu
juga pasal 341 dan 342 KUHP
KUHP mengenal 3 macam alasan-alasan umum yang menambah beratnya hukuman, yaitu :
Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP) Mereka yang menggunakan jabatannya dalam
melakukan sebuah tindak pidana diancam dengan ancaman hukuman pidana yang lebih berat, yaitu
ditambah sepertiga hukumannya (Pasal 52 KUHP).
Recidive (title XXXI Buku II)Pada recidive sudah ada putusan hakim pada pelaku, baru kemudian
pelaku mengulangi tindak pidananya (jenisnya diatur secara limitatif). Menurut doktrin terdapat dua
sistem pemberat pidana berdasarkan recidivie, yaitu :
Khusus, yaitu pengulangan tindak pidana tertentu dan dalam tenggang waktu tertentu
KUHP menganut ditengah-tengah dari dua sistem tersebut. Tindak pidananya bersifat limitatif, yaitu
yang tertera dalam ketentuan pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Rentang waktunya ialah lima tahun
setelah pelaku dikeluarkan dari penjara dan hukumannya ditambah sepertiganya.
9. Dalam KUHP dikenal obyek dan subyek hukum serta kaitan nya
Subjek adalah sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan
kewajiban. Yang dapat dijadikan sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.
Subjek Hukum Manusia (Natuurlijk persoan) Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan
yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum
dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Subjek Hukum Badan Hukum Adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukkum dan
mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh hukum yaitu:
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
17
Objek Hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek
dalam suatu hubungan hukum. Objek hukum berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat
dimiliki dan bernilai ekonomis.
10. a. Jika dilakukan sebelum saatnya dilahirkan maka akan di kenakan dakwaan
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 346 :
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal 347 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikankandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
b. Jika matinya tersebut dilakukan saatnya dilahirkan maka akan dikenakan dakwaan
Pasal 341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342
Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut
serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
c Jika matinya tersebut dilakukan setelah satu bulan dilahirkan maka akan dikenakan
dakwaan
18
Dalam KUHP Bab BAB XIX. KEJAHATAN TERHADAP NYAWA.SESUAI PASAL 338 S/D 343
dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 338.
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (KUHP 35, 104 dst., 130, 140, 184-188,
336, 339 dst., 350, 487.)
Pasal 339.
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2', 338, 350, 487; Sv. 24 dst.)
Pasal 340.
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. (KUHP
37-1 sub 2', 104 dst., 130, 140, 165, 184 dst., 336, 338, 342 dst., 350, 353, 355, 444, 487.)
Pasal 341.
Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak dengan sengaja
menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian,
diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(KUHP 37-1 sub 2', 308, 338, 342 dst., 487.)
Pasal 342.
Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena takut akan diketahui
bahwa ia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan
atau tidak lama kemudian, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan
berencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (KUHP 37-1 sub 2', 308, 340
dst., 343, 487.)
Pasal 343.
Bagi orang lain yang turut serta melakukan, kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan
pasal 342 dipandang sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak dengan berencana. (KUHP
55 dst., 338, 340.)
9. Pasal 104.
(s.d.u. dg. UU No. 1/1946 dan UU No. 1 / 1974.) Makar yang dilakukan dengan maksud akan
menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud akan
menjadikan mereka itu tidak cakap memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
1
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. (KUHP 4 , 35,
87, 110, 128, 130 dst., 140, 164 dst., 328 dst., 338 dst., 487.)
Pasal 52a.
(s. d. t. dg. UU No. 73/1958.) Bila pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan
19
Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah dengan sepertiga.
10. Ajaran perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang
yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur
dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP dalam buku kedua pasal 63-71.
Concursus terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan
ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana.
3. Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama
beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat
sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
Dengan adanya ajaran perbarengan terhadap akibat hukum yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:
1. Concursus idealis, sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana
pokok yang paling berat.
2. Concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan.
Sedangkan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-
masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
3. Perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau yang mengandung ancaman
hukuman yang lebih berat.
pasal 15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada
beberapa hal yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa temyata aborsi
dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis.
Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga keseliatan mempunyai hak untuk melakukan
aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan Demi menyelamatkan ibu hamil atau
janinnya. Berdasarkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992, tindakan medis (aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
pertimbangan tim ahli. Aborsi tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu
hamil yang bersangkutan atau suami atau keluargnya. Hal tersebut berarti bahwa
20
apabila prosedur tersebut telah terpenuhi maka aborsi yang dilakukan bersifat legal atau
dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan kata lain vonis medis oleh
tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan tindak pidana
atau kejahatan.
21