You are on page 1of 4

Karya Mutakhir Sastra Sunda

Oleh : JUNIARSO RIDWAN


PARA kritisi, terutama, sering menegaskan bahwa kini karya
sastra Sunda sudah tercerabut dari ikatan tradisional. Sudah
lepas landas dari tatakan kesun-daannya. Bahkan, tidak
tanggung-tanggung karya yang diciptakan para pengarang
muda tanpa pertimbangan kiri-kanan divonis sebagai mau
lari dari kungkungan budaya tradisional, berkehendak
raenjauhkan wajah kesundaan. Para pengarang muda sering
pula dicemoohkart, .bahwa karya-karya mereka ba-nyak
kena pengaruh sastra Indonesia. Sok absur. Lebih-lebih da-
lam karya puisi, dikatakan bahwa sebenarnya puisi-puisi
yang menggelar kini hanyalah citra sastra Indonesia yang
diciptakan oleh orang Sunda. Warna kesundaan sudah
benar-benar hilang. Namun, betulkah tuduhan atau konklusi
demikian itu? Bukan-kah hal itu merupakan pengkam-
binghitaman terhadap karya-karya itu sendiri.
Sindrom Dongengan
BARANGKALI orang yang menilai perkembangan sastra
Sunda mutakhir, sering tidak sadar atas lingkung pemikiran-
nya yang ternyata telah dijejali oleh alam pikiran modern
dan dalam pada itu ia mendambakan sesuatu yang
dinilainya mempu-nyai kadar kebiharian, sehingga dengan
sangat gegabah menu-ding gelarnya karya sastra mutakhir
telah lepas dari dekapan nilai-nilai .tradisional. Kalaupuh
tidak demikian, karena dalam penilaian senantiasa
mengendap wabah curiga, maka menjadikan penilaian itu
sendiri sebagai apologia terhadap suara hati nurani-nya
yang pada hakekatnya tidak mau mengingkari kenyataan
yang dihadapi. Terasa sekali sifat kurang hati hati dalam
melaku-kan penilaian. Tanpa didasari oleh kerangka
pemikiran yang kokoh sering hamburantudingan itu terasa
menyesatkan, apalagi bila kita dihadapkan langsung dengan
karya-karya sastra Sunda mutakhir.
Bila kita cukup jembar dalam penalaran, dengan alur
pemikiran yang sistematik tidak kacau-balau, maka akan
terpantullah suatu gambaran yang menggem-birakan ihwal
perkembangan sastra Sunda mutakhir. Betapa nilai-nilai
tradisional Sunda telah larut secara utuh di dalam karya-
karya sastra. Cobalah sekali-kali simak carita pondok
(carpon) karya Godi Suwarna, Yoseph Iskandar, Taufik Fatu-.
rohman dll. Atau puisi karya Brata Anograh, Wawan
Setiawan, Eddy D. Iskandar dll. Maka wajah kesundaan akan
tercermin dari tubuh karya-karya tersebut. Carpon karya
saya atau Godi, misal-nya, sebenarnya berangkat dari
pencarian essensi kesundaan yang masih bisa ditangkap
pada saat ini, dongengan-dongengan atau sasakala banyak
mempeng-aruhi. Sindrom dongengan, bisa jadi. Bahkan yang
lainnya men-coba pula mendalami pantun, beluk, wawacan
bahkan mantra yang banyak tersebar di kalangan orang-
orang tua di kampung-kampung. Kalau ada yang meng-
atakan bahwa carpon para pengarang muda absur, apakah
tidak lebih absur pantun atau wawacan?
Hinokrit
TIDAK bisa diingkari, bahwa telah terjadi perembesan peng-
aruh luar terhadap perkembangan sastra Sunda. Mungkin
paling utama adalah dalam hal penggunaan bahasa. Namuri
pada akhirnya friksi dan pembauran dengan budaya lain
merupakan hal yang sulit untuk dielakkan, demikian
menurut Robert L. Sutherland. Adanya inovasi, adapta-si,
invensi dan adopsi, maka me-lahirkan perubahan. Tetapi
per-
ubahan itu, bila dihubungkan dengan kultur masyarakat Sun-
da, akan terjadi menyerupai ge-rakan bandul jam, itu paling
tidak sangat sesuai dengan konsep Sorokin. Dan itu bukan
hal yang musti dicemaskan. Selama ma-nusia hidup
perubahan itu akan senantiasa terjadi. Wajar. Setelah
bandulan mengembara dengan bentangan yang maksimum,
maka tentu pada suatu saat akan kembali pada kedudukan
semula. Demikian dan demikian. Meling-kar.
Maka makin nampaklah, tidak sedikit pengarang (tua) yang
mengidap demam hipokrit, mereka seraya mengacung-
acung jarinya seperti guru sekolah desa, berteriak waswas
menyaksikan para pengarang muda membolak-balik buku-
buku yang ditulis oleh orang asing. Kemu-dian begitu
menggelar karya sastra yang ditulis para pengarang muda,
lengkaplah kehipok-ritan itu: karya tersebut tidak
mencerminkan wajah kesundaan. Amboi! Apakah mereka
tidak ingat bahwa untuk mempelajari karya sastra Sunda
buhun, harus menyuruk-nyuruk di balik rak-rak buku yang
penuh debu dl Lel-den atau Musium Jakarta, dan bahasan
mengenai itu banyak ditulis dalam bahasa Belanda dan
bahasa Asing lainnya. Coba saja kita sebutkan nama-nama
K.F. Holle, C.M. Pleyte, Ten Dam, C.C. Berg, H. Kern atau F.S.
Eringa. Demikian pula bila kita hendak menelaah karya-
karya folklore atau cerita Si Kabayan, maka mau tak mau
kita akan berha-dapan dengan nama-nama seperti Held,
Rassers, Pigeaud, Mees, Hiding atau Goster-Wijsman. Dan
siapa pula yang menulis sejarah Sunda bihari, selain mereka
yang mempunyai nama berbau asing seperti Van Stein
Callenfels, J.L.A. Brendes.Ph. S. Van Ronkel, Jean Boisselier,
L.C. Damais, Hendrick de Leme dlsb.
Memang kita pada hal-hal ter-tentu perlu bercermin ke dunia
barat, betapa mereka telah mem-bantu menguak tabir
sejarah buhun kita. Demikian pula mereka telah mencoba
memperke-nalkan karya-karya sastra Sunda buhun pada
jaman kini. Kita hidup harus seperti bandul jam. Lincah
namun terikat kokoh pada pangkalnya. Kita berpikir harus
secara barat, namun filsafat dan jiwa harus berpijak pada
tradisi.
Kreatif
ADALAH kreatif,, bila kini ter-gelar karya sastra Sunda yang
selain modern dalam penampilan tapi mempunyai jiwa
kesundaan. Gejala atavisme muncul. Ingat puisi-puisi yang
ditulis oleh para panyajak (penyair) muda yang terhimpun
dalam "Antolojl Sastra Sunda Mutakhir" (Durma Kangka,
1980), disana akan kita temukan nuansa-nuansa buhuni
muncul di celah-celah ungkapan puitik. Apa yang dikatakan
oleh George Thomson.sama sekali tidak meleset. Hemat
kata dengan jembar lambang, simbol, penuh day a fantasi,
melodius dan ritmik, pengungkapan yang mengandal-kan
kemampuan berimprovi-sasi sebagaimana pada karya-karya
puisi buhun, kini benar-benar bisa kita simak dari karya-
karya puisi Sunda Mutakhir.
Karya-karya sastra Sunda
mutakhir telah memancangkan
tiang eksistensinya dengan tegar.
Diterima atau tidak, jamanlah
' yang akan berbicara!***

You might also like