You are on page 1of 26

REFORMASI PROSES PENYIDIKAN POLRI

DALAM RANGKA MEWUJUDKAN SUPREMASI HUKUM


Oleh : Drs. TUKARNO

PENDAHULUAN

1. Umum.
a. Perkembangan kehidupan masyarakat sangat mempengaruhi
terhadap perkembangan kejahatan. Mengingat kejahatan itu merupakan
bagian dari peradaban manusia dan kejahatan itu adalah produk dari
masyarakat itu sendiri.
b. Untuk mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut memerlukan
aparat penyidik yang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya,
disamping peralatan dan dana yang cukup untuk melakukan kegiatan-
kegiatan penyidikan.
c. Namun dalam kenyataan di lapangan, proses penyidikan POLRI
yang dilakukan masih jauh dari harapan masyarakat. Banyak
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum petugas
penyidik POLRI, baik dalam hal pelayanan yang masih banyak dijumpai
terjadinya kekerasan, tindakan dan ucapan yang kurang manusiawi maupun
tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat dengan meminta imbalan
atas pelayanan yang telah atau akan dilakukan.
Perbuatan demikian menimbulkan anti pati masyarakat terhadap POLRI dan
menjauhkan hubungan POLRI dengan masyarakat.
d. Sementara itu Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) banyak aturan-aturan yang
menambah beban penyidik dengan kegiatan-kegiatan formal yang
sebetulnya tidak mendasar bila dikaitkan dengan pembuktian material.
e. Keadaan demikian memaksa penyidik untuk mengerahkan tenaga,
pikiran, waktu dan biaya dalam menyelesaikan berkas perkara. Disisi lain
para penjahat mendapat peluang yang semakin leluasa karena terbatasnya
kemampuan penyidik untuk mengejarnya, baik karena terbatasnya sumber
daya yang dimiliki dan waktu yang tersedia.
Dengan ketat dan rumitnya prosedur penyidikan, baik yang diatur dalam
KUHAP maupun buku petunjuk administrasi penyidikan serta Juklak/Juklap
yang dibuat oleh POLRI dan Jaksa, menambah berat beban penyidik dan
memperburuk kinerja penegakan hukum, khususnya penyidik POLRI.
f. Taskap ini akan mengkaji berbagai permasalahan penting yang
dihadapi dan dilakukan para penyidik, termasuk tata kerjanya dengan
Penuntut Umum. Dengan harapan dapat menjadikan pemecahan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan proses penyidikan yang sedang
dihadapi saat ini maupun masa mendatang.
2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud dari penulisan ini adalah untuk memenuhi kewajiban
penyelesaian tugas akhir pendidikan pada Sekolah Staf dan Administrasi
Tingkat Tinggi Polri (Sespati Polri) Dikreg II T.P 2001.
b. Tujuan penulisan adalah untuk menggali sejauh mana hukum acara
pidana dan Mindik serta Juklak/Juklap Penyidikan yang ada maupun
perilaku menyimpang dari penyidik memberikan andil negatif kepada proses
penyidikan dalam rangka perwujudan supremasi hukum dan hak azasi
manusia serta mencarikan jalan keluarnya. Selanjutnya hasil kajian ini
merupakan masukan kepada Pemerintah, Polri dan DPR dalam
penyempurnaan KUHAP dan pembenahan moral / perilaku penyidik Polri

3. Rumusan Masalah
Melihat tujuan penulisan Taskap ini, ialah untuk mencari kelemahan /
dalam proses penyidikan dan bagaimana mengatasinya, maka dapat dirumuskan
permasalahan penulisan sebagai berikut : “Terjadi penyimpangan dan
pemborosan dalam proses penyidikan tindak pidana menurut Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHAP), dan Petunjuk Teknis Kapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana
yang mengakibatkan rendahnya produktivitas penegakan hukum pidana dan
perlindungan hak azasi manusia, sehingga KUHAP dan petunjuk proses
penyidikan serta moral Penyidik perlu diperbaiki”.
Berdasarkan permasalahan tersebut disusunlah beberapa persoalan-
persoalan sebagai berikut :
a. Dimanakah letak kelemahan dalam proses penyidikan POLRI ?
b. Bagaimanakah proses penyidikan yang efektif dan effisien?
c. Bagaimana strategi dan implementasi Polri untuk mereformasi
proses penyidikan ?.

4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan Taskap ini meliputi : Pelaksanaan tugas
penyidikan oleh Polri, yang meliputi penyelidikan dan penyidikan, penangkapan,
penahanan, penggeledahan rumah, penyitaan, pemeriksaan tersangka dan saksi
serta hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum.

5. Metode Pendekatan
a. Pendekatan.
Taskap ini menggunakan pendekatan hukum dan manajemen, ialah
dengan melihat kelemahan kaidah-kaidah hukum acara pidana dan
peraturan dibawahnya, petunjuk administrasi Juklak/Juklap proses
penyidikan, serta penyimpangan-penyimpangan oknum penyidik kemudian
dikaitkan dengan kaidah-kaidah manajemen dalam menilai efisiensi hukum
acara pidana dalam proses penyidikan tindak pidana di Indonesia.
b. Metode analisa.
Taskap ini menggunakan metode kualitatif, ialah dengan mengukur
kualitas petugas penyidik dan hasil akhir dari pekerjaannya, kemudian
dianalisa dan dicarikan alternatif pemecahannya.
6. Tata urut
I. PENDAHULUAN
II. KERANGKA TEORI
III. IDENTIFIKASI KELEMAHAN PROSES PENYIDIKAN POLRI
IV. PROSES PENYIDIKAN YANG EFEKTIF DAN EFFISIEN
V. PELUANG DAN KENDALA
VI. STRATEGI DAN IMPLEMENTASI REFORMASI PROSES
PENYIDIKAN POLRI
VII. PENUTUP

LANDASAN TEORI

7. Umum
Landasan pemikiran ini merupakan rangkaian teori-teori tentang tujuan dan
azas pembangunan hukum di Indonesia yang intinya adalah tercapainya
perlindungan hak azasi manusia dan harkat martabat manusia dalam proses
peradilan pidana serta sistem peradilan yang cepat, murah, sederhana, adil dan
terbuka. Tujuan dan azas tersebut digunakan untuk mengukur sejauh mana
proses penyidikan Polri telah dilaksanakan guna menemukan kelemahan-
kelamahannya.
Selanjutnya dengan pendekatan teori manajemen dirumuskan strategi agar
upaya mereformasi proses penyidikan menuju ke arah yang efisien dapat
diwujudkan melalui perubahan perilaku penyidik dan rumusan KUHAP serta
petunjuk yang berkaitan dengan penyidikan.

8. Latar belakang sejarah


Proses penyidikan di indoensia sebelum UU No. 8 /1961 (KUHAP)
memedomani pada Reghment Indonesia yang dibaharui (R.I.B) atau yang dikenal
dengan Het Herzine Irlandsch Reghment (HIR) berdasarkan UU No. 1 DRT tahun
1951.
Tugas pemeriksaan perkara pidana dibebankan kepada Kejaksaan RI disamping
sebagai Penuntut umum. tugas tersebut meliputi pengumpulan keterangan-
keterangan dan data-data serta mengolahnya untuk penuntutan perkara dimuka
pengadilan. Sedangkan Polri yang berpangkat AIPTU keatas, disamping sebagai
penyidik ditunjuk pula sebagai Jaksa Pembantu.
Maka dalam praktek di lapangan, tugas pemeriksaan dan pengumpulan barang
bukti diserahkan pada Polri (penyidikan) dan tugas pemeriksaan yuridis
(penyidikan lanjutan dan penuntutan diserahkan kepada Kejaksaan RI.
Namun dalam RIB belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap
hak azasi manusia, khsusunya tentang bantuan hukum bagi tersangka.
Untuk itu diadakan pembaharuan hukum dengan menyempurnakan Perundang-
undangan ke arah modernisasi, tegaknya hukum dan perlindungan harkat serta
martabat manusia.
Atas pertimbangan tersebut, maka azas-azas yang mengatur perlindungan
terhadap hak azasi manusia dimasukan dalam materi Undang-Undang Hukum
Acara Pidana No. 8 tahun 1981 (KUHAP).
Dalam prakteknya, penyimpangan oleh penyidik Polri baik berupa
kekerasan terhadap tersangka maupun penyalahgunaan wewenang untuk
mendapatkan keuntungan materi telah terjadi sejak berlakunya HIR sampai
dengan saat ini.

9. Landasan Yuridis
UUD 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa negara Indonesia
berdasarkan hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka.
Pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan
normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara telah ditetapkan dengan
ketetapan MPR No. : X/MPR/1998 yang kemudian menjadi landasan formal bagi
reformasi Polri melalui Inpres No. 2 tahun 1999.
Perubahan yang mendasar adalah dukungan TAP MPR No. VI/MPR/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri maupun TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang
Peranan TNI dan Polri. Dengan landasan tersebut telah ditetapkan tonggak
paradigma baru bagi Polri, kemudian dijabarkan dengan melakukan perubahan
tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian dari UU No. 28/1997 menjadi UU No.
2/2002.

10. Landasan Konsepsional.


Dalam era reformasi, penyelenggaran negara menurut paradigma baru
menuju masyarakat modern yang menjunjung tinggi supremasi hukum, moral dan
etika, demokratisasi, Hak azasi manusia, transparansi dan keadilan.
Untuk menegakan supremasi hukum, moral dan etika, perlu dilakukan
reformasi beberapa aspek, yaitu : Aspek Hukum, Aspek Aprat Penegak Hukum,
Aspek Sarana dan Prasarana serta Aspek Budaya Hukum Masyarakat.
Dalam rangka memenuhi harapan masyarakat dibidang pelayanan hukum
yang menuntut adanya transparansi, proses hukum yang cepat, murah dan
sederhana, maka system peradilan pidana yang diawali dengan proses penyidikan
perlu segera ditata dan dirubah, disesuaikan dengan tatanan yang baru

11. Landasan Operasional.


Arah kebijakan pembangunan hukum sebagaimana dinyatakan dalam
GBHN antara lain ; “Menyelenggarakan Proses Peradilan Secara Cepat, Mudah,
Murah dan Terbuka serta Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan tetap
menjunjung tinggi azas keadilan dan kebenaran”.
Seiring dengan arah kebijakan diatas, maka Penyidik Polri juga harus
berubah sikap mengikuti perubahan-perubahan yang dilakukan Polri saat ini,
khususnya pada aspek kultural, Penyidik Polri harus kembali kejatidirinya sebagai
pelayan dan pelindung masyarakat, melaksanakan penegakan hukum secara
profesional.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi perlu
diusulkan untuk merubah UU No. 8/1981 tentang KUHAP yang tidak selaras
dengan harapan masyarakat dan arah kebijaksanaan pembangunan hukum.
Dengan demikian perwujudan supremasi hukum yang meliputi kesamaan
kedudukan semua warga di muka hukum, kepastian hukum dan kesadaran hukum
masyarakat dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat
yang demokratis.

IDENTIFIKASI KELEMAHAN PROSES PENYIDIKAN POLRI

12. Umum
Proses penyidikan Polri sejak penyelidikan sampai dengan penyerahan
berkas perkara ke Jaksa Penuntut Umum banyak celah-celah yang dapat disalah-
gunakan oleh anggota Polri.
Penyimpangan yang terjadi di lapangan antara lain dalam penyelidikan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan rumah, penyitaan, sampai dengan
penyerahan tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum.
Faktor yang mendasar yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-
penyimpangan diatas adalah ketiadaan moral yang baik pada diri si penyidik/
penyidik pembantu. Disamping adanya pengaruh-pengaruh negatif, baik dari
lingkungan keluarga, organisasi maupun keterbatasan sumber daya yang mereka
miliki.
Sisi lain yang cukup besar andilnya dalam tindakan-tindakan kekerasan dan
tidak manusiawinya terhadap tersangka, adalah kesalahan dalam pendidikan dan
kehidupan sehari-hari yang berbau militer. Tindakan-tindakan mereka cenderung
arogan, sok kuasa, menganggap dirinya lebih tinggi dari tersangka bahkan
terhadap saksi-saksi.
Proses pemberkasan sesuai dengan UU No. 8 / 81 tentang Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Himpunan Bujuklak, Bujuklap, dan Bujuknis Proses
Penyidikan Tindak Pidana, banyak yang tidak efisien, berkas BAP yang sudah
disiapkan oleh penyidik sedemikian tebal, memakan waktu lama, tenaga dan
pikiran serta dana, sering tidak bermanfaat di depan sidang pengadilan.

13. Penyelidikan
a. Pasal-pasal yang mengatur
1) Pasal 1 butir 3 KUHAP. “Penyelidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penyelidikan”
2) Pasal 1 butir 4 KUHAP. “Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna nenentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”

b. Permasalahan di lapangan
1) Penyalahgunaan institusi penyelidikan.
Di dalam praktek, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
bukanlah merupakan tahapan yang berurutan, namun keduanya
berjalan secara simultan.
Penyelidikan ini sering disalahgunakan oleh penyelidik dan
penyidik pembantu yang nakal, ialah dengan memanipulasi
penyidikan menjadi penyelidikan. Dengan demikian mereka dapat
menghentikan penyelidikan dengan leluasa, tanpa alasan hukum
yang dapat dipertanggung-jawabkan dan tanpa surat perintah
penghentian, sehingga penyidik yang bersangkutan terbebas dari
akibat hukum, baik secara perdata maupun pidana.
2) Istilah penyelidik dan polisi tugas umum.
Dengan mengatakan bahwa semua pejabat polisi adalah
penyelidik, memberikan makna yang berlebihan kepada seluruh
pejabat polisi non penyidik dan penyidik pembantu. Dalam
prakteknya yang melakukan penyelidikan adalah para penyidik dan
penyidik pembantu. Adapun kewenangan-kewenangan seluruh
petugas polisi di luar penyidik dan penyidik pembantu sudah
tertampung dalam kewenangan polisi secara umum dalam UU Pokok
Kepolisian, yang dikenal dengan kewenangan polisi tugas umum.

14. Penindakan (Upaya Paksa)


Upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu adalah
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

a. Penangkapan
1) Pasal yang mengatur.
Menurut pasal 18 (1) KUHAP, Pelaksanaan Penangkapan
dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan Surat Perintah Tugas serta memberikannya
kepada tersangka. Surat perintah harus mencantumkan identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat Perkara Kejahatan yang disangkakan maupun tempat
pemeriksaannya.
2) Permasalahan di lapangan
a) Penyalahgunaan wewenang
Para penyidik / penyidik pembantu sebelum melakukan
penangkapan pada umumnya meneliti siapa tersangka yang
akan ditangkap. Apabila tersangka mempunyai kenalan
pimpinan atau bahkan kenalannya, penangkapan tidak jadi
dilaksanakan. Penyidik belum bisa bertindak adil.
Bagi tersangka kasus-kasus tertentu yang dapat
dimanfaatkan, tidak jarang terjadi tawar menawar dengan
memberi imbalan, asal tidak jadi ditangkap
b) Kesulitan dalam tindakan
Pengalaman di lapangan, sebagian besar perkara
belum diketahui identitas tersangkanya, sehingga belum bisa
dibuat surat perintah penangkapan. Dalam hal ini, identitas
tersangka diketahui pada saat penyidik berada di lapangan,
dan menemukannya di perjalanan, sehingga tersangka
ditangkap tanpa surat perintah.
Pembuatan surat perintah dilakukan sesampainya di kantor
dan tembusannya dikirimkan ke keluarganya.
Demikian pula penangkapan yang dilakukan petugas
atas permintaan penyidik dari daerah lain, melalui radio atau
telepon.
Karena tingginya mobilitas tersangka, sulit kiranya
penangkapan yang bersangkutan harus dengan Surat
Perintah.

b. Penahanan
1) Pasal- pasal yang mengatur.
Proses penahanan diatur dalam pasal-pasal 20 (1), 21 (1) 22
(4), 24 (1) dan (2) dan 29 (1) KUHAP.
2) Permasalahan di lapangan
a) Penyalahgunaan kewenangan dalam penahanan
Penahanan sering digunakan oleh penyidik secara
semena-mena kadang-kadang disertai dengan penganiayaan,
karena penahanan merupakan alat pemaksa yang paling
ampuh untuk memenuhi keinginan penyidik atau fihak lain
yang memanfaatkan penyidik. Penahanan ini juga sering
digunakan untuk menekan agar tersangka bersedia
menyelesaikan kewajiban perdatanya kepada fihak pelapor
atau korban dan atau memberikan imbalan jasa bila tersangka
tidak mau ditahan.
Penahanan pada tingkat pertama oleh penyidik (20
hari) juga sering digunakan untuk melakukan penekanan
terhadap tersangka yang ditahan agar membuat pengakuan
atas perbuatan pidana yang disangkakan.
Bila saatnya tiba untuk proses perpanjangan
penahanan, timbul tawar menawar dengan penyidik untuk
ditangguhkan penahanannya dengan imbalan sejumlah uang
atau barang.
Penahanan selama dua puluh hari pertama biasanya
belum diikuti dengan bukti yang cukup, terutama pada kasus-
kasus kejahatan dengan kekerasan (pencurian, pencurian
dengan kekerasan, penganiayaan dan pembunuhan). Dalam
kasus-kasus seperti ini, biasanya penahanan hanya
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
b) Aturan-aturan yang tidak efisien
(1) Penahanan rumah dan kota.
Penahanan rumah dan kota, biasanya tidak
efektif, karena aturan-aturan penahanan rumah dan
penahanan kota mudah sekali dilanggar, mengingat
terbatasnya tenaga pengawasan oleh penyidik. Jenis
penahanan ini juga sering dijadikan sarana KKN,
karena penahanan rumah dan kota dapat mengurangi
jumlah hukuman yang harus dijalankan walaupun waktu
penahanan rumah dan kota itu tidak akan melebihi
batas kewenangan penyidik.
(2) Mengartikan penahanan sebagai kewajiban.
Penahanan seolah-olah merupakan kewajiban,
sebagai akibat dari sikap penyidik yang defensif (takut
keliru) dan represif (mengutamakan pengungkapan
perkara, bukannya pencegahan), walaupun kasus-
kasus tersebut sebenarnya tidak memerlukan
penahanan, misalnya kasus-kasus membawa senjata
tajam, kasus penganiayaan, kasus penadahan (bukan
sebagai pekerjaan), dan lain-lain.
c. Penggeledahan
1) Pasal-pasal yang mengatur.
Tindakan penggeledahan diatur dalam pasal-pasal : 32, 33 (1
- 4) dan 34 KUHAP.
2) Permasalahan di lapangan
a) Penyalahgunaan kewenangan.
Penggeledahan yang dilakukan penyidik kurang
mempertimbangkan etika. Barang-barang, lemari, kamar dan
tempat-tempat lain diacak semuanya, sehingga nampak
arogan dan mengandalkan kekerasan. Tindakan demikian
tidak mendapat simpatik masyarakat.
b) Aturan-aturan yang tidak efisien
(1) Penggeledahan dalam penangkapan penjahat
berbahaya.
Penggeledahan rumah untuk menangkap
penjahat berbahaya yang harus disaksikan oleh saksi
dan kepala lingkungan akan menghawatirkan
keselamatan saksi dan kepala lingkungan itu sendiri.
Bahaya ini biasanya berupa ancaman balas dendam
dari penjahat atau kelompoknya karena saksi dan
kepala lingkungan dianggap membantu penangkapan
terhadapnya.
Penggeledahan itu sendiri sangat berbahaya
bagi polisi yang menggeledah dan menangkap karena
kemungkinan adanya perlawanan tersangka, demikian
pula terhadap saksi dan kepala lingkungan.
(2) Penggeledahan rumah dalam penyelidikan tidak
diatur.
Penggeledahan untuk mencari barang bukti
(penyelidikan) masih justru yang penting dan pasti
dilakukan dalam setiap kasus pidana. Tetapi didalam
KUHAP penggeledahan dalam rangka penyelidikan ini
tidak diatur, yang diatur adalah penggeledahan dalam
rangka penyidikan.
(3) Lamanya proses ijin penggeledahan dan
penyitaan.
Surat ijin penyitaan memerlukan waktu yang
cukup lama, bisa sampai 15 hari, dan biasanya
dijadikan sarana petugas pengadilan untuk mencari
uang bagi petugas pengadilan negeri (High cost).
Banyak perkara yang harus diselesaikan dalam
waktu sangat lama, karena menunggu surat ijin dan
persetujuan penyitaan dari KPN.
Mewajibkan penyidik dan penyidik pembantu
untuk meminta ijin penyitaan dan persetujuan penyitaan
ini justru kontradiktif dengan azas-azas KUHAP, karena
dengan ketentuan ini mengakibatkan lamanya proses
penyidikan dan bagi tersangka yang di tahan akan
menyebabkan tersangka tersebut harus berada di
tahanan lebih lama. Ini berarti justru mengabaikan
kepentingan HAM tersangka.

d. Penyitaan
1) Pasal- pasal yang mengatur.
Penyitaan diatur dalam pasal-pasal 138 (1 dan 2, 39 (1). 41
dan 42 (2) KUHAP.
2) Permasalahan di lapangan
a) Penyalahgunaan wewenang penyitaan
- Acap kali barang-barang yang tidak
berhubungan langsung dengan kejahatan yang
disangkakan juga disita.
- Penitipan barang bukti sering dimanfaatkan
untuk meminta imbalan uang.
b) Aturan yang tidak efisien
(1) Penyitaan benda yang mudah hilang ditempat
umum.
Bagaimana dengan penyidik dan penyidik
pembantu yang harus segera melakukan penyitaan di
tempat umum dimana barang akan bisa hilang kalau
penyitaan ditunda. Penyidik pembantu mestinya juga
diberikan kewenangan untuk melakukan penyitaan,
walau yang bersangkutan tidak membawa surat
perintah dari penyidik. Dalam Juknis Penyidikan,
penyidik pembantu tidak diberikan kewenangan untuk
melakukan penyitaan tanpa surat perintah penyitaan
dari atasannya walaupun menurut KUHAP ia
berwewenang.
(2) Penyitaan sebagian kecil dari barang yang
didalamnya juga menjadi milik orang lain.
Sering kali dijumpai sebagian kecil dari suatu
barang yang besar menjadi bukti kejahatan, dan
sebagian kecil barang tersebut tidak bisa dipisahkan
dari barang yang besar. Hal ini tidak diatur dalam
KUHAP bagaimana perlakuan terhadap barang ini.
Yang sering dilakukan adalah menyita keseluruhan
barang itu, tanpa mempedulikan kepentingan pemilik
yang lain. Hal ini perlu diatur.
(3) Penafsiran “benda yang mempunyai hubungan
langsung”
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung
bukanlah bahasa hukum, karena bisa menjadikan
penafsiran yang sangat luas, dan sering disalah artikan
dengan untuk menyita benda-benda yang sebenarnya
bukan merupakan barang bukti, atau bernilai sebagai
bukti, walau ada kaitannya dengan kejahatan. Misal :
penyitaan terhadap mobil yang sering dipakai oleh
penjahat narkotika, walau belum terbukti sebagai alat
yang digunakan untuk membawa narkotika.

15. Berita Acara Pemeriksaan


a. Pasal- pasal yang mengatur
Kewajiban penyidik untuk membuat berita acara diatur pada pasal 75
(1) KUHAP. Sedangkan untuk pemeriksaan saksi dan tersangka diatur
dalam pasal 112 (1), 113, 116, 117, 118, 119 dan 122 KUHAP
b. Permasalahan di lapangan
1) Penyalahgunaan wewenang
Apabila tersangka berbelit-belit dan tidak mengakui
perbuatannya, sering terjadi penganiayaan, ucapan-ucapan kotor
dan pelecahan.
Saksi yang dapat dijaring masuk kategori tersangka, sering
dimanfaatkan untuk dimintai uang atau barang agar saksi tersebut
lepas dari sangkaan. Sedangkan saksi korban sering dimintai uang
untuk mengungkapkan kasus, pengambilan barang bukti,
penangkapan tersangka dan pengembalian barang bukti.
2) Aturan-aturan yang tidak efisien
a) Duplikasi informasi dalam Berita Acara dan Surat
Perintah
Pembuatan berita acara yang berkaitan dengan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penahanan
yang sudah didahului dengan surat perintah adalah
pengulangan dari bunyi surat perintah tersebut, sehingga
makna berita acara tersebut hanyalah berupa pengulangan
yang dampaknya adalah pemborosan, Berita acara penting
dibuat manakala ada hal-hal yang istimewa yang akan
disampaikan oleh penyidik dan penyidik pembantu.
b) Pemborosan kertas, tenaga dan waktu.
Dampak dari pembuatan berita acara yang merupakan
duplikasi informasi antara berita acara dan surat perintah
tersebut adalah pemborosan kertas dan tenaga yang sudah
tidak sesuai dengan sistem administrasi perkantoran modern
yang mengarah kepada penggunaan kertas seminimal
mungkin

16. Penyelesaian dan Pengiriman Berkas BAP

a. Pasal- pasal yang mengatur.


Bila penyidikan telah selesai penyidik wajib mengirimkan berkas BAP
ke JPU sesuai pasal 110 (1, 2) dan 138 (1, 2).

b. Permasalahan di lapangan

1) Penyalahgunaan wewenang.
Dalam proses pengirmiman berkas BAP ke JPU, penyidik
sering minta uang ke saksi korban dengan alasan untuk
memperlancar pengiriman berkas. Penyerahan tersangka dan
barang bukti juga kadang-kadang disimpangkan oleh penyidik, baik
sepengetahuan JPU atau tidak, dengan imbalan sejumlah uang.

2) Aturan-aturan yang tidak efisien


a) Lamanya penyelesaian kasus.
Lamanya penyelesaian berkas perkara, berpengaruh
terhadap lamanya masa penahanan, pengabaian HAM dalam
KUHAP. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan
penyidik kepada penuntut umum. Apabila terjadi koreksi dan
perbaikan bukannya hal yang esensial tetapi sesuai dengan
selera jaksa. Adanya KKN antara jaksa dengan tersangka
atau pelapor sehingga selesainya berkas tergantung kepada
seberapa jauh para fihak mempengaruhi jaksa agar perkara
dapat selesai dengan cepat.
b) Apatisme penyidik.
Adanya sikap apatisme para penyidik karena seolah-
olah yang paling menentukan para jaksa, dan bahkan tidak
jarang pengiriman berkas perkara harus diikuti dengan
pembayaran sejumlah uang kepada Jaksa penuntut umum
agar berkas perkaranya cepat diterima. Koordinasi antara
penyidik dengan penuntut umum semenjak dimulai penyidikan
tidak efektif karena jumlah jaksa yang sedikit dibandingkan
dengan kasus yang ditangani penyidik.
c) Bolak-baliknya berkas perkara.
Terjadi koreksi yang berulang-ulang sehingga terjadi
perpindahan berkas bolak-balik karena sentimen pribadi atau
harapan imbalan sesuatu dari penyidik oleh jaksa. Sehingga
untuk perkara yang tersangkanya ditahan, tersangka harus
mendekam lebih lama di tahanan polisi.
PROSES PENYIDIKAN YANG EFISIEN DAN EFEKTIF

17. Umum
Bab ini membahas tentang perilaku penyidik, rumusan pasal-pasal KUHAP
dan buku-buku petunjuk dalam proses penyidikan, tindak pidana yang sesuai
dengan harapan masyarakat demokratis.
Dengan memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal penyidik,
diharapkan dapat direvisi Undang-Undang No. 8 / 81 dan petunjuk dalam proses
penyidikan. Disisi lain, kultur para penyidik juga harus dirubah dengan
mengedepankan perlindungan pada warga masyarakat serta menghindarkan diri
dari perbuatan tercela yang merugikan masyarakat dan nama baik Polri.

18. Penyelidikan
Istilah penyelidikan sebagai upaya untuk menentukan ada dan tidaknya
tindak pidana hanya dikenal di KUHAP Indonesia. Di negara-negara lain lembaga
tersebut tidak dikenal, yang ada hanyalah penyidikan. Di Jepang, semua yang
dicurigai sebagai kejahatan dilakukan investigasi (penyidikan).
Untuk menghindarkan kerancuan istilah penyelidikan dan menghindari
terjadinya manipulasi penyidikan menjadi penyelidikan, sebaiknya lembaga
penyelidikan dalam KUHAP tersebut dihilangkan. Jadi seperti halnya di negara-
negara lain “setiap polisi menemukan kecurigaan adanya tindak pidana harus
dilakukan penyidikan, dan kalau ternyata bukan tindak pidana, maka
penyidikan ditutup atau dihentikan”.
Karena istilah penyelidikan disarankan untuk dihilangkan maka istilah
penyelidik sebaiknya dihapuskan pula. Petugas Polri non penyidik dan penyidik
pembantu sudah memiliki kewenangan kepolisian secara umum, yang dikenal
dengan kewenangan polisi tugas umum yang termuat dalam UU Pokok Kepolisian.

19. Penindakan (Upaya Paksa)


a. Pemanggilan.
Untuk mempercepat proses penyidikan , Surat Panggilan tidak harus
tiga hari sebelumnya, tapi cukup satu hari sebelum pelaksanaan
pemeriksaan.
Dalam hal terdapat hambatan untuk menghadiri panggilan, saksi atau
tersangka dapat menyampaikan alasannya dengan alat komunikasi yang
ada dan dirembug bersama untuk pelaksanaan pemeriksaan berikutnya.
Demikian pula bila pemeriksaan belum selesai, cukup dengan kesepakatan
penyidik dan terpanggil kapan akan diperiksa lanjutan dan tidak perlu
dengan panggilan baru.
b. Penangkapan
Untuk menghindarkan penangkapan tanpa surat perintah yang
melanggar prosedur, maka sebaiknya dalam suatu penangkapan, penyidik
tidak perlu diharuskan membawa surat perintah penangkapan dan surat
perintah tugas dari atasannya, tetapi cukup penyidik membawa surat
penangkapan yang dibuat dan ditandatangani oleh penyidiknya
sendiri. Sedangkan dalam keadaan mendesak, dan tersangka dalam
pengejaran, surat tersebut tidak diperlukan.
Dalam hal penangkapan tanpa surat perintah ini penangkap harus
segera melaporkan kepada yang meminta bantuan penangkapan dan
penyidik yang bertanggung-jawab segera melakukan penangkapan sesuai
dengan prosedur, dan penyidik yang bersangkutan diwajibkan membuat
berita acara penangkapan serta melaporkan kepada Penuntut Umum atau
Hakim.
Adanya lembaga praperadilan yang berfungsi mengontrol
pelaksanaan penangkapan dapat dijadikan sarana untuk lebih
meningkatkan kualitas tanggung jawab penyidik dalam hal penangkapan ini.
Sekarang ini, menghadapi gugatan praperadilan adalah tanggung jawab
kesatuan Polri dimana penyidik bertugas. Untuk meningkatkan tanggung-
jawab penyidik, maka dalam hal terjadi gugatan praperadilan, penyidik
yang bersangkutanlah yang harus bertanggung jawab menghadapi
gugatan praperadilan, ia wajib menghadapinya sendiri, tidak dapat
dilimpahkan kepada atau diambil alih oleh kesatuannya. Dengan
demikian maka penyidik akan lebih berhati-hati dalam melaksanakan
tugasnya dan diharapkan akan selalu patuh dengan undang-undang.

c. Penahanan
1) Penahanan menjadi kewenangan penuh penyidik
Dengan berkembangnya budaya keterbukaan di kalangan
Polri terhadap kritik, berkembangnya kontrol sosial, semakin
membudaya nya lembaga praperadilan, maka sudah saatnya untuk
memberikan kewenangan penahanan kepada penyidik,
sehingga bukan lagi menjadi kewenangan atasan penyidik atau
komandan kesatuan. Pendewasaan ini juga untuk mencegah
terjadinya intervensi dari atasan demi kepentingan pribadi.
2) Meningkatkan kontrol Kejaksaan dan pengadilan
Untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam
penahanan, maka sudah saatnya untuk meningkatkan peran
pengadilan dan jaksa dalam mengendalikan penahanan, ialah
dengan kewajiban penyidik untuk melaporkan setiap penahanan
kepada jaksa dan atau ketua pengadilan negeri sebagai hakim
Pengawas perkara.
Pengendalian penahanan ini dilaksanakan secara efektif di
Singapura, Inggris dan Jepang. Di ketiga negara tersebut waktu
penahanan sangat singkat dan harus seijin dari jaksa dan atau
hakim.
3) Dengan direvisinya KUHAP menuju penyederhanaan
proses, diharapkan berkas BAP jauh lebih sederhana dan
penahanan tersangka bisa lebih efisien dan efektif, diusahakan tidak
memperpanjang waktu penahanan lagi.

d. Penggeledahan
1) Penggeledahan rumah tanpa saksi
Untuk menghindari bahaya bagi saksi dan ketua lingkungan
serta untuk mencegah terjadinya kebocoran informasi, maka dalam
penggeledahan untuk penangkapan penjahat berbahaya
sebaiknya tidak perlu diikuti dengan saksi. Ketua lingkungan
diperlukan untuk menyaksikan penyitaan setelah rumah yang
digeledah dinyatakan aman.
2) Penggeledahan tanpa ijin KPN
Untuk mempercepat proses penyitaan dan menghindari
lambatnya proses persetujuan penyitaan yang mengakibatkan
lambatnya proses penanganan perkara yang akibatnya tersangka
harus mendekam di tahanan lebih lama, maka sebaiknya dalam
penggeledahan rumah dan penyitaan tidak diperlukan ijin atau
persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Ketentuan ini hendaknya juga diberlakukan terhadap
penggeledahan dalam rangka penyelidikan.
3) Penggeledahan dan penyitaan menjadi obyek
praperadilan
Untuk mengendalikan penyitaan agar dalam penyitaan terjadi
mekanisme chek and balance, maka ketidak puasan atas proses
penggeledahan dan penyitaan ini dapat dijadikan obyek gugatan
praperadilan. Dengan demikian penyidik akan lebih berhati-hati dan
tidak sewenang-wenang dalam melakukan penggeledahan dan
penyitaan.
e. Penyitaan
1) Penyitaan tanpa ijin KPN
Sebagaimana dalam penggeledahan maka untuk efisiensi,
penyitaan sebaiknya tidak diperlukan ijin penyitaan atau persetujuan
penyitaan dari KPN.
2) Penyitaan menjadi obyek praperadilan
Sebagaimana pula dalam penggeledahan, untuk menghindari
penyalahgunaan kewenangan dalam penyitaan, maka penyitaan
hendaknya juga menjadi obyek praperadilan.
3) Pemblokiran dan pemeriksaan rekening bank seseorang
Pemblokiran dana pada rekening seseorang di bank saat ini
belum diatur, sehingga perlu diatur secara sederhana, karena
kalau dibuat lagi prosedur yang sulit sebagaimana pemeriksaan
rekening, maka prosedur tersebut menjadikan serba sulitnya
audit investigasi dan penyidikan dalam kejahatan keuangan dan
perbankan yang pada umumnya menggunakan komputer.
Dalam era telebanking dan sistem informasi perbankan yang
canggih, kewajiban meminta ijin pemblokiran dan pemeriksaan yang
memakan waktu, memberikan peluang pemindahan dana pada
rekening seseorang dalam waktu yang hanya sekejap.
Pemblokiran rekening ini sangat sering dilakukan oleh
penyidik, maka pemblokiran rekening perlu diatur dalam KUHAP dan
menjadi kewenangan penyidik dalam penyidikan suatu tindak pidana.
4) Pemeriksaan rekening tanpa ijin Gubernur BI.
Berhubung semakin seringnya kejahatan yang melibatkan
transaksi keuangan melalui perbankan, terutama setelah
memasyarakatnya ATM, Credit Card, Debet Card, dan lain-lain,
maka pemeriksaan rekening bank seseorang yang memerlukan ijin
Gubernur BI yang memerlukan proses yang lama, mengakibatkan
penyidik sering ketinggalan dalam hal mengamankan barang bukti,
maka sebaiknya ijin pemeriksaan rekening seseorang menjadi
kewenangan penyidik tanpa harus minta ijin dari Gubernur BI.

20. Pemeriksaan tersangka dan saksi


a. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik dan menjamin
kejujuran serta keterbukaan, sebaiknya saksi-saksi dan tersangka
menuliskan sendiri tentang apa yang mereka ketahui, dengar, lihat dan
alami berkaitan dengan terjadinya tindak pidana yang ditangani penyidik.
b. Berita acara sebaiknya hanyalah untuk hal-hal yang spesifik
(istimewa) saja, misalnya masalah penyitaan barang bukti.
Segala sesuatu yang sudah dituangkan dalam surat perintah atau surat
lainnya tidak perlu dibuat berita acara lagi, agar tidak terjadi pengulangan
yang tidak perlu.
21. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Berita Acara Pemeriksaan
a. Untuk menghindarkan lamanya proses penyidikan karena bolak-
baliknya perkara antara penuntut umum dengan penyidik, baik karena
harapan pemberian sesuatu dari penyidik atau karena selera dan sentimen
pribadi, maka koreksi berkas perkara yang diajukan penyidik oleh jaksa
tidak diperlukan lagi. Jadi jaksa harus bulat-bulat menerima berita
acara dari penyidik.
b. Beban pembuktian bagi penyidik di sidang pengadilan
Supaya dapat meningkatkan tanggung-jawab penyidik dan agar tidak
apatis serta acuh tak acuh terhadap kinerja Polri, maka sebagai
kompensasi dari tidak adanya koreksi berkas perkara oleh penuntut
umum, maka penyidik diwajibkan ikut hadir dalam sidang pengadilan
dan membantu jaksa membuktikan keterlibatan seorang tersangka
dalam suatu tindak pidana.
c. Berkas Berita Acara Pemeriksaan diupayakan untuk
disederhanakan, dengan menghilangkan surat-surat dan atau berita acara-
acara yang tidak perlu. Surat-surat perintah cukup disatukan dalam surat
perintah penyidikan.
Wakajati Sumsel berpendapat bahwa, bila unsur-unsur tindak pidana dapat
dilengkapi dalam lima lembar, maka berkas tersebut layak diterima JPU.

22. Hubungan antara Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik


a. Sejak diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP), seharusnya Kejaksaan segera menunjuk Jaksa Penuntut
Umumnya dan proaktif memberi Petunjuk pada Penyidik.
b. Demikian pula bagi penyidik, sedemikian tahu siapa JPU terhadap
Perkara yang ditanganinya, wajib secara aktif konsultasi dengan JPU agar
arah penyidikan lebih tajam dalam memenuhi unsur-unsur tindak pidana
yang disangkakan.
c. Jaksa Penuntut Umum dibantu (pasif) Penyidik di sidang Pengadilan
untuk membuktikan kesalahan tersangka.
Dengan demikian kekurangan-kekurangan yang dirasakan JPU, terutama
dengan penyederhanaan berkas dan tidak mengoreksinya lagi, akan
teratasi dengan kehadiran Penyidik di Sidang Pengadilan.
d. Wadah koordinasi aparat CJS perlu dikembangkan untuk mengatasi
kebuntuan / kekurangan-kekurangan pada KUHAP. Organisasi ini perlu
diawaki dengan baik dan didukung dana yang memadai, sehingga mampu
memberikan pelayanan yang terbaik pada pencari keadilan dan masyarakat
pada umumnya.

PELUANG DAN KENDALA

Sebagaimana dinyatakan dalam teori manajemen strategik bahwa analisa


peluang dan kendala diperlukan untuk menentukan strategi pencapaian tujuan.
Peluang dan kendala dalam bab ini harus diperhatikan dan dianalisa agar tujuan
mereformasi proses penyidikan Polri melalui reformasi KUHAP dan perubahan
Bujuk-Bujuk serta kultur aparat penyidik dapat terlaksana dengan baik.

23. Peluang
a. RUU Revisi KUHAP dalam proses
Pada saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang tentang
Revisi KUHAP yang melibatkan Polri, Kejaksaan Agung, Departemen
Hukum dan Perundang-Undangan dan HAM, Lembaga Bantuan Hukum
mewakili Pengacara, Para Pakar dari Perguruan Tinggi dan lain-lain. RUU
Revisi KUHAP tersebut sudah selesai di bahas pada tahap Departemen
Hukum dan Perundang-Undangan dan HAM, dan rencananya akan
diajukan ke DPR. Namun RUU tersebut belum sepenuhnya menampung
aspirasi dari para petugas di lapangan dalam rangka efisiensi KUHAP.
b. Berkembangnya budaya keterbukaan pada penegak hukum
Dengan mulai bergesernya paradigma baru penegakan hukum yang
mengarah kepada keterbukaan dan pelayanan prima kepada masyarakat,
ialah dengan pelayanan yang cepat, murah, dan sesuai hukum, maka akan
semakin memudahkan memasyarakatkan ide-ide efisiensi dalam KUHAP
yang baru.
Budaya keterbukaan ini juga mulai berkembang di lingkungan
petinggi Polri, sehingga memungkinkan untuk melakukan revisi berbagai
petunjuk teknis dan pelaksanaan yang ada dengan tidak mengedepankan
pengendalian yang formalistis dan sentralistis, yang akhirnya justru akan
menurunkan kinerja penegakan hukum itu sendiri.
c. Reformasi dan kemandirian Polri
Dengan adanya reformasi dan kemandirian Polri memberikan
peluang bagi Polri untuk mengemukakan pendapat dan aspirasi mengenai
hukum acara pidana yang efisien, tanpa harus tunduk kepada keinginan
departemen Hankam dan ABRI, terutama yang berkaitan dengan penyidik
tunggal dan kaitannya dengan penyidik angkatan laut, PPNS Bea Cukai dan
Pajak .
Himpunan Bujukmin, Bujuklak, Bujuklap. Dalam Proses penyidikan
tindak pidana akan mudah disederhanakan dengan mengacu pada KUHAP
baru yang efisien sehingga memberi peluang yang luas bagi penyidik untuk
menangani perkara-perkara lebih banyak lagi.

24. Kendala
a. Masih berkembangnya arogansi sektoral
Masih berkembangnya arogansi sektoral yang lebih mengedepankan
kepentingan departemennya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan
departemen dan fihak lain.
b. Kekurang percayaan kepada Polri & penegak hukum lainnya.
Kekurang percayaan kepada Polri dan penegak hukum lain,
sebagaimana stigma yang berkembang di masyarakat saat ini
mengakibatkan Polri mengalami kesulitan dalam menyampaikan aspirasi
para pelaksana di lapangan. Aspirasi Polri yang sepintas memudahkan
proses demi kepentingan produktivitas penyidikan, justru ditanggapi sinis
sebagai upaya untuk memudahkan penyalahgunaan kewenangan dalam
penanganan kasus-kasus pidana.
c. Pengabaian faktor sumberdaya dalam penegakan hukum
Kemampuan sumberdaya penegakan hukum selalu dilupakan dalam
setiap penyusunan perundang-undangan. Konsekuensi dari penegakan
hukum yang formalistis dan sentralistis akan mengakibatkan penggunaan
sumberdaya yang lebih besar pula. Sumberdaya ini termasuk manusia,
uang dan materiil. KUHAP dan petunjuk pelaksanaan yang formalistis akan
cenderung mengakibatkan pemborosan sumberdaya tersebut, sementara
jumlah tindak pidana semakin hari semakin besar kuantitas maupun
kualitasnya, yang dampaknya adalah semakin menurunnya kemampuan
penegakan hukum dan perlindungan hak azasi manusia itu sendiri.
d. Belum samanya visi dan persepsi para penegak hukum
Visi dan persepsi penegakan hukum yang masih berorientasi kepada
bagaimana mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya yang
terlegitimasi dalam KUHAP masih mewarnai berbagai perdebatan dalam
penyusunan KUHAP itu sendiri. Kalau ini berlanjut dan lepas dari pantauan
DPR dan masyarakat akan berakibat inefisiensi yang berulang pada
KUHAP yang baru nanti.
e. Belum dihayatinya doktrin, etika profesi Kepolisian oleh
penyidik dan belum adanya etika profesi penyidik, mengakibatkan
moral aparat penyidik rendah, disamping tentunya masalah kesejahteraan,
peralatan, dana penyidikan yang terbatas.

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI REFORMASI


PROSES PENYIDIKAN

25. Umum.
Strategi dan implementasi dalam bab ini membahas langkah-langkah dan
kebijaksanaan yang harus dilakukan oleh Polri agar ide-ide perubahan KUHAP,
petunjuk-petunjuk dalam rangka penyidikan serta kultur penyidik/penyidik
pembantu dapat ditindak lanjuti dengan sistematis dan berlanjut.
Reformasi nasional telah mendorong Polri untuk mereformasi diri sesuai
tuntutan perkembangan masyarakat yang lebih demokratis, adil, jujur dan
transparan.
Demikian pula dalam proses penyidikan, perlu segera dilakukan perubahan-
perubahan mendasar dengan mencari akar permasalahan yang menghambat
proses tersebut, baik terhadap aparat penyidiknya, ketentuan-ketentuan hukum
dan petunjuk pelaksanaannya serta cara-cara yang dilakukan dalam proses
dimaksud, untuk mewujudkan penyidik yang mandiri dan profesional.
Kemandirian penyidik disini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas
penyidikan tidak terpengaruh dan atau di pengaruhi oleh pihak lain, bebas dari
keterpengaruhan politis, bahkan oleh penguasa negara dan pimpinan sekalipun.
Selanjutnya konsep profesionalisme penyidik secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai kemahiran penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya di
dukung oleh pengetahuan dan keterampilan, wawasan serta ethos kerja yang
tinggi, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun taktik dan
teknik penyidikan secara benar dan tepat berdasarkan hukum dan Perundang-
undangan yang berlaku.

26. strategi reformasi proses penyidikan Polri


Untuk mewujudkan supremasi hukum, tentunya perlu pembenahan
beberapa aspek yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu aspek
Perundang-undangan, aspek aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta
budaya ,masyarakat. Keempat aspek tersebut saling mempengaruhi yang satu
dengan yang lainnya.
Dalam rangka pencapaian hasil penyidikan yang optimal, efektif dan efisien,
tentunya pembenahan keempat aspek itu tidak dapat dilaksanakan sekaligus, tapi
perlu pengaturan dan pemikiran prioritas yang tepat, bertahap dan berlanjut.
Untuk itu reformasi proses penyidikan Polri perlu memprioritaskan pembenahan
kultur penyidik, terutama yang berkaitan dengan moral dan etika agar tidak
melukai dan merugikan masyarakat pencari keadilan.
Disamping itu perlu perubahan perilaku, dari sikap membela penguasa
menuju ke pembelaan rakyat yang benar serta merubah sistem yang berlaku yang
telah diatur dalam KUHAP dan petunjuk-petunjuk penyidikan yang tidak efisien.
Dengan melalui perubahan-perubahan diatas diharapkan terwujud sosok
penyidik yang profesional, bersih, berwibawa dan dicintai rakyat yang dilindungi,
diayomi dan dilayani. Langkah-langkah tersebut akan tercermin pada integritas
pribadi setiap penyidik/penyidik pembantu yang mampu menjamin reputasi,
legitimasi, maupun kredibilitas penyidik secara utuh.

Bertitik tolak dari bahasan diatas, maka strategi reformasi proses penyidikan
Polri dilaksanakan sebagai berikut :
a. Kembali kepada jati diri Polri selaku aparat penegak hukum sesuai
visi dan misinya, dengan mengutamakan perubahan perilaku penyidik.
Perilaku penyidik yang medesak harus dirubah adalah perilaku penguasa
(arogan) dan pemerasan atau meminta imbalan uang dan atau barang
dalam menangani perkara.
Pendekatan pencapaian tujuan hidup sejahtera dengan
mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya harus dirubah dengan pola
hidup prasaja dan berbudi luhur.
Untuk itu aparat penyidik / penyidik pembantu harus dikembalikan jati
dirinya menjadi pembela rakyat yang dirugikan orang lain, pelindung semua
warga dan pelurus warga yang tersesat perbuatannya, dengan memahami
dan menghayati kembali moral dan etika profesi kepolisian.
Setiap insan penyidik/penyidik pembantu harus memiliki kepribadian moral
yang kuat dan menghayati secara mendalam, norma-norma bagi penegak
hukum disamping Perundang-undangan dan taktik serta teknik penyidikan.
Budi luhur yang mendasari kepribadian yang kuat dan mantap adalah
sebagai berikut :
1) Kejujuran.
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral
adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat
maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita
sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya akan
kehilangan nilainya.
Ada dua sikap jujur yang penting: pertama, sikap terbuka;
kedua, sikap “fair” atau wajar. Sikap yang pertama mendasari
kesediaan penegak hukum untuk melayani pencari keadilan secara
seimbang dan tidak diskriminatif. Sikap kedua, yaitu sikap “berlaku
wajar” sebagai sesama warga negara, menghindarkan diri dari
perilaku “show” dan berlebihan, sehingga cenderung untuk otoriter
dan berlaku kasar/ menindas terhadap orang lain, bertindak
sewenang-wenang karena mumpung berkuasa.
2) Nilai-nilai Autentik
Autentik berarti : kita menjadi diri kita sendiri. Manusia
autentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri
sesuai dengan keasliannya, kepribadiannya yang sebenarnya.
Dalam diri para penegak hukum, autensitas pribadi tersebut
misalnya: tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan
pribadi maupun golongan, tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang merendahkan martabat penyidik selaku anggota masyarakat
dan warga negara, tidak mengisolir diri dari pergaulan sosial,
bersikap mendahulukan kepentingan klien serta tugas dan
kewajibannya, berani berbuat sendiri bukan karena semata-mata
telah diperintahkan oleh atasan atau karena peraturan/ketentuan
yang diberlakukan baginya, berani berinisiatif secara bijaksana.
3) Kesediaan untuk bertanggung jawab.
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi
operasional di dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Ini berarti
:
a) Kesediaan untuk melakukan apa saja yang harus
dilakukan dengan sebaik mungkin. Contoh : sikap tidak
diskriminatif yang wajib dilakukan dalam pelayanan oleh
penyidik.
b) Bertindak secara proporsional. Misalnya : tidak
dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-
biaya yang tidak perlu.
c) Tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi
urusan dan kewajibannya saja, melainkan merasa
bertanggung jawab bilamana saja ia diperlukan.
d) Kesediaan untuk meminta dan untuk memberikan
pertanggung jawaban atas tindakan-tindakannya, atas
pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Jika ia lalai, ia
bersedia untuk dipersalahkan dan tidak melemparkan
tanggung jawab kepada orang lain, apalagi bawahannya.
4) Kemandirian moral.
Yang dimaksudkan adalah bahwa penyidik tidak begitu saja
ikut-ikutan dengan pandangan-pandangan moral di lingkungannya,
melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri, serta
bertindak sesuai dengannya. Misalnya : perilaku moral yang
didasarkan pada perasaan malu, oportunis, malas, emosi,
pertimbangan untung rugi. Mandiri secara moral berarti bahwa
penentuan sikap kita tidak dapat “dibeli” oleh pendapat mayoritas;
atau kita mungkin tidak akan pernah dapat rukun hanya demi
kebersamaan, apalagi kalau sampai melanggar keadilan. Dalam hal
ini seorang penyidik harus memiliki integritas moral, dalam arti segala
pertimbangan moral harus melandasi tugas-tugas profesionalnya.
Pertimbangan moral profesional ini harus diselaraskan dengan nilai-
nilai sopan santun serta nilai-nilai agama.
5) Keberanian moral.
Keberanian moral pada prinsipnya merupakan kemampuan
untuk selalu membentuk penilaian terhadap suatu masalah moral
atas dasar keutamaan intelektual. Keberanian moral adalah
kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam atau
melalui kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian
semacam ini misalnya terungkap dalam : sikap para penegak
keadilan atau para penegak hukum untuk menolak segala macam
bentuk tindak korupsi atau penyuapan.
6) Kerendahan hati
Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti kita
menyadari akan keterbatasan diri kita sendiri, melainkan juga sadar
akan kemampuan kita sendiri untuk memberikan penilaian moral
yang terbatas. Jadi atas dasar kesadaran ini, kita tidak perlu
memutlakan pandangan moral kita sendiri pada orang lain.
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut juga sikap
realistis dan kritis. Ini dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan
untuk menciptakan suatu keadaan masyarakat yang memberi
peluang kepada setiap anggota masyarakat untuk hidup secara lebih
bebas (Lih. Magnis-Suseno, 1987, hal 141-150).
Disamping kriteria kepribadian moral yang kuat, para
penyidik/penyidik pembantu juga wajib mentaati norma-norma bagi penegak
hukum pada umumnya, terutama dalam menggembalakan hukum,
menyusun serta memelihara hukum.
Norma-norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu :
1) Kemanusiaan.
Norma kemanusiaan menuntut penyidik untuk senantiasa
memperlakukan manusia secara manusiawi, sebab dia memiliki
kedudukan keluhuran budi. Mereka harus dihormati sebagai pribadi
dan sekaligus makhluk sosial.
Hukum yang ada harus dilihat sebagai pembatasan kebebasan
setiap orang untuk menjadikannya benar-benar bebas, pandangan
tersebut menjadi dasar dalam rumusan hak-hak manusia yang azasi.
Jadi, didalam kehidupannya manusia selalu berusaha untuk
menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya terhadap dunia dan
lingkungannya untuk menjaga nilai-nilai moral yang berlaku dalam
masyarakat.
2) Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang kekal untuk memberikan
kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya. Seseorang
disebut adil bila ia dapat mengenali dan mengakui yang lain, yang
berbeda dari dirinya sendiri. Keadilan itu dapat ditentukan didalam
kehidupan bersama antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Untuk memenuhi rasa keadilan, seorang penyidik dituntut untuk
mentaati ketentuan-ketentuan dan norma-norma secara hukum dan
secara moral.
3) Kepatutan
Kepatutan adalah hal yang wajib dipelihara dalam
pemberlakuan Undang-Undang dengan maksud untuk
menghilangkan ketajamannya.
Hukum pada hakekatnya berlaku umum, namun dalam realitas hidup
manusia, banyak terdapat hal-hal yang tidak mungkin disebut dengan
ukuran umum/universal. Pemberlakuan hukum pada dasarnya
untuk mengoreksi perbuatan seseorang. Namun dalam banyak hal,
yang patut itu belum tentu adil menurut hukum. masalah tersebut
perlu dilihat dari sebab-sebab yang melatar belakangi perbuatan
seseorang. Disamping banyak hal yang belum diatur dalam hukum.
Oleh sebab itu, kepatutan juga wajib dipelihara dalam pemberlakuan
hukum dan Perundang-undangan dengan maksud untuk mengurangi
dan bahkan menghilangkan ketajaman hukum itu sendiri.

Perubahan aspek budaya penyidik ini akan secara langsung


ditanggapi oleh masyarakat, baik dengan pujian, perasaan puas atau
sebaliknya dengan celaan atau kekecewaan masyarakat.
b. Revisi KUHAP dan Petunjuk-petujuk Penyidikan.
Aturan-aturan tertentu dalam KUHAP baik yang berkaitan dengan
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan/penyitaan dan
pemeriksaan saksi-saksi/tersangka serta penyerahan berkas BAP banyak
yang tidak efisien dan menjadi beban penyidik, yang akhirnya menghambat
proses penyidikan dan bahkan berakibat terabaikannya perlindungan hak
azasi baik tersangka, korban maupun saksi.
Dengan penyederhanaan prosedur penyidikan melalui refisi KUHAP,
memberi dasar dan peluang bagi Polri untuk menyederhanakan petunjuk-
petunjuk teknis dan petunjuk-petunjuk penyidikan lainnya guna mewujudkan
proses penyidikan yang efektif, efisien, cepat, murah dan sederhana.
Diharapkan proses penyidikan yang akan datang tidak lebih dari dua
puluh hari dan berkas tidak lebih dari lima belas lembar.
Sehingga penggunaan sumber daya organisasi baik yang menyangkut
dana, personil, peralatan dan waktu akan dapat dihemat dan digunakan
untuk menangani perkara-perkara yang lebih banyak lagi.
Agar ide-ide efisiensi KUHAP dapat diterima oleh pemerintah, DPR
dan masyarakat, perlu langkah-langkah untuk mencari dukungan baik dari
lingkungan akademisi, masyarakat maupun anggota DPR itu sendiri.

1) Dukungan akademisi
Gagasan Polri untuk merevisi KUHAP perlu “dijual” kepada
para pakar hukum dan akademisi.
Bahkan sejak menyusun konsep awal para pakar sudah harus
dilibatkan, guna mendapatkan akuntabilitas publik melalui aktivis dan
para akademisi.

2) Dukungan masyarakat.
Untuk memasukkan gagasan-gagasan tentang revisi, KUHAP
dikaitkan dengan pertumbuhan demokrasi, maka dukungan
masyarakat mutlak diperlukan. Mereka dapat membantu dengan
mengajukan aspirasinya dan harapan-harapannya untuk
mendapatkan pelayanan dibidang hukum dengan cepat, murah dan
sederhana.
Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, Polri harus aktif
memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat tentang
pentingnya penyederhanaan proses penyidikan dan pendewasaan aparat-
aparat penyidiknya serta diikuti dengan kontrol, keterampilan dan
pertanggung jawaban publik.

c. Dukungan DPR.
Anggota DPR perlu didekati dengan diberi pemahaman yang mantap
tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi penyidik di lapangan
serta harapan-harapan masyarakat terhadap pelayanan penyidik.
Mereka harus diberikan wawasan tentang penegakan hukum yang baik dan
efektif ditinjau dari aspek hukum maupun manajemen dengan mengacu
kepada kondisi aktual di lapangan.
27. Implementasi Reformasi Proses Penyidikan Polri.
Untuk memulai suatu reformasi yang berhubungan dengan pembinaan
sumber daya manusia maka perlu inventarisasi kembali semua sistem yang terkait
dengan segala perinciannya antara lain sistem pendidikan dan latihan.
Disamping itu perlu pula dilihat dan dikaji kembali keadaan sarana
prasarana, keuangan, sistem pengawasan dan lain-lain.
Dalam rangka melaksanakan strategi reformasi proses penyidikan Polri,
maka implementasinya yang harus dilakukan adalah :
a. Agenda Jangka Pendek.
Agenda yang harus segera dilakukan adalah menyusun konsep etika
profesi penyidik dan konsep usulan revisi KUHAP.
Kedua konsep tersebut perlu dimintakan masukan dan tanggapan dari
masing-masing lingkungan komunitinya, dengan saresehan atau seminar,
tatap muka, diskusi dsb.
Kedua rumusan diatas juga perlu disosialisasikan kepada aparat CJS
untuk memberikan pemahaman yang sama tentang maksud dan tujuan
perubahan-perubahan tersebut.
Etika profesi atau pedoman kerja penyidik perlu dilatihkan di
kesatuan-kesatuan Polri, kerja sama dengan Lemdiklat.
b. Agenda Jangka Sedang
Setelah dikaji secara mendalam dan diputuskan pemberlakuannya,
maka etika profesi penyidik harus diberikan / diajarkan pada setiap
pendidikan dan pelatihan penyidik. Sedangkan doktrin induk, Tribrata dan
Catur Prasetya diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan pembentukan
(SPN, AKPOL). Dengan demikian diharapkan terjadi perubahan perilaku
aparat penyidik, agar tidak lagi bersikap sebagai penguasa, militeristik dan
materialistik, tetapi berangsur-angsur menjadi pelindung, pengayom
masyarakat melalui penegakan hukum yang profesional, efektif dan efisien.
Upaya diatas harus dibarengi dengan pembenahan diberbagai
bidang, terutama sarana dan prasarana, anggaran, kesejahteraan penyidik
dan pengawasan yang seimbang.
Untuk pembangunan sarana dan prasarana, seharusnya diserahkan pada
Corps Reserse, karena merekalah yang tahu banyak tentang segala
sesuatu yang diperlukan untuk mendukung operasionalnya.
Demikian pula dibidang anggaran, sudah waktunya para penyidik diberi
kebebasan menentukan dan menggunakan anggaran yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan-kegiatannya. Masing-masing penyidik diberi ATM
untuk memudahkan penyediaan dana operasional dan administrasi setiap
saat. Hal ini penting agar kepatuhan mereka terhadap etika profesinya
dapat terjaga dengan baik. Sebagai sarana pengawasan, pada setiap
akhir bulan diadakan gelar operasional dan pembinaan untuk meminta
pertanggung jawaban para penyidik terhadap penggunaan dana dan hasil-
hasil kegiatan yang telah mereka lakukan. Tentu cara diatas juga harus
dikaitkan dengan keterbatasan dana kesatuan.
Dibidang kesejahteraan penyidik, perlu dirumuskan tunjangan
fungsional bagi penyidik maupun penyidik pembantu.
Orang semua tahu bahwa pelaksanaan tugas penyidik dari waktu ke waktu
penuh dengan resiko, baik jiwa / keselamatan diri dan keluarga,
keselamatan masa depan/ karier dan keselamatan masa depannya.
Maka sudah pada tempatnyalah bila perhatian pemerintah, rakyat dan
pimpinan Polri “sedikit lebih” dari anggota lainnya.
Sekali lagi, bila penyimpangan-penyimpangan penyidik terutama yang
mengarah ke pungutan-pungutan liar, KKN perlu ditiadakan.
Sedangkan rumusan rancangan revisi KUHAP sudah harus
diusulkan kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti sesuai prosedurnya
dengan harapan KUHAP yang efisien khususnya yang berkaitan dengan
proses penyidikan dapat terwujud.
c. Agenda Jangka Panjang
Implementasi reformasi proses penyidikan Polri jangka panjang
sudah harus didasarkan pada pola pembinaan dan pengembangan yang
merupakan bagian dari strategi pembangunan Polri jangka panjang.
Reformasi yang dilakukan juga harus tetap mengacu pada tantangan
yang dihadapi dan yang akan datang. Pengaruh lingkungan strategik, baik
global, regional maupun nasional, terutama dengan kebijakan otonomi
daerah, menuntut pengetahuan mengenai karakteristik daerah dan
masyarakatnya.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keberhasilan
penyidik dalam mengungkapkan perkara justru diperoleh dari partisipasi
masyarakat sebagai buah komunikasi yang baik.
Untuk itu maka dalam implementasi operasional tugas-tugas
penyidik, selain harus profesional dalam arti mahir dan terampil dalam
menerapkan teknik dan taktik penyidikan, jangan mengenyampingkan hal
penting yang harus menjadi pegangan, yaitu dukungan dari masyarakat,
khususnya tokoh-tokoh agama, Pemuda, pengusaha maupun birokrat-
birokrat yang ada dalam masyarakat tersebut.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan kunci pokok
dalam mengoptimalkan kegiatan-kegiatan penyidikan.
Strategi penyelenggaraan penyidikan lebih dititik beratkan ke Polres-
Polres sebagai kesatuan operasional dasar. Namun di tingkat pusat
maupun Polda-Polda harus disiapkan satuan-satuan kecil dengan
kemampuan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang kompleks dan
berdampak luas maupun kejahatan-kejahatan terorganisir dan berdimensi
baru.
Dengan demikian moral dan etika profesi yang mantap disertai
prosedur penyidikan yang sederhana, dukungan sarana prasarana,
anggaran dan potensi masyarakat diharapkan mampu mewujudkan
supremasi hukum di Indonesia guna memenuhi harapan masyarakat untuk
mendapat pelayanan hukum dengan murah, cepat dan sederhana.
Disamping pembenahan pada aspek kultural dan instrumental diatas,
perlu pula perubahan dibidang struktural, baik menyangkut struktural
organisasi maupun hubungan dan tata cara kerja dengan instansi lain yang
terkait. Validasi Corps Reserse perlu dijabarkan sampai tingkat Polsek
sebagai ujung tombak pelayanan Polri.
Struktur organisasi sat Serse pada Polwiltabes, Poltabes, dan Polres/Ta
dan gelar kekuatannya perlu disusun selengkap mungkin, karena di
kesatuan-kesatuan tersebut harus mampu melaksanakan penyidikan sesuai
dengan ancaman faktual di daerahnya.

P E N U T U P

28. Kesimpulan
a. Proses penyidikan Polri yang dilakukan saat ini masih banyak
penyimpangan-penyimpangan dan kurang efisien. Hal ini mengakibatkan
timbulnya kekecewaan masyarakat dan hilangnya kepercayaan mereka
terhadap lembaga maupun aparat penegak hukum, khususnya terhadap
penyidik Polri.
b. Penyimpangan-penyimpangan oknum penyidik disebabkan kurang
dihayatinya pedoman-pedoman/ajaran-ajaran dalam Tri Brata maupun
Catur Prasetya. Etika Profesi Penyidik belum mereka kenal. Sehingga
tindakan-tindakan yang penyidik lakukan lebih mengarah pada membela
kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat.
c. Bentuk penyimpangan pada umumnya berupa kekerasan /
penganiayaan, arogan, tidak sopan dalam melayani pencari keadilan.
Disamping itu juga masih banyak perbuatan-perbuatan oknum penyidik
yang merugikan masyarakat dengan meminta imbalan dalam
menyelesaikan perkaranya.
d. Disisi lain ditemukan aturan-aturan dalam UU No. 8 / 1981 tentang
KUHAP, khususnya yang mengatur tentang pelaksanaan proses
penyidikan, baik dalam kegiatan penyelidikan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan tersangka dan saksi serta
penyerahan berkas perkara pemeriksaan ke Jaksa Penuntut Umum banyak
yang tidak efisien. Yang berakibat pada rendahnya produktivitas penyidik.
e. Untuk mewujudkan harapan masyarakat dalam menegakkan
supremasi hukum dengan murah, cepat dan sederhana, perlu dilakukan
reformasi dalam proses penyidikan, terutama pasal-pasal KUHAP yang
tidak efisien.
f. Reformasi yang mendasar harus dimulai dari merubah perilaku
penyidik/penyidik pembantu dengan mengembalikan jati dirinya sebagai
petugas yang membela kepentingan rakyat lemah dan dirugikan melalui
pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan ajaran-ajaran etika profesi
penyidik.
g. Disisi lain, dalam rangka meningkatkan produktivitas penyidik, perlu
diadakan perubahan sistem peradilan pidana dengan merubah pasal-pasal
dalam KUHAP yang tidak efisien serta perbaikan petunjuk-petunjuk
penyidikan ke arah yang lebih sederhana tanpa harus mengurangi bobot
pembuktian materiil di sidang pengadilan.
h. Perubahan-perubahan tersebut perlu dirumuskan secara konseptual,
terencana dan berlanjut, agar implementasi strategis sampai jangka
panjang dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien dan supremasi
hukum dapat diwujudkan.

29. Saran
a. Polri perlu segera menyusun team untuk mengkaji dan
mempersiapkan konsep rumusan etika profesi penyidik dan refisi KUHAP
untuk diajukan ke pemerintah dan dibahas di DPR.
b. Polri perlu segera memperbaiki pengelolaan sumber daya organisasi,
terutama anggaran dan kesejahteraan penyidik untuk mendukung
pelaksanaan ajaran-ajaran dalam etika profesi penyidik.
c. Perlu dilakukan studi banding ke beberapa negara lain yang lebih
maju untuk mendalami proses penyidikan yang mereka lakukan serta
merubah pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak efisein.

Lembang, Januari 2002

Penulis

You might also like