You are on page 1of 18

BAB V

Menegakkan Etika Pers

Kompetensi Dasar
Setelah mempelajarai materi ini, mahasiswa bisa mengerti mengenai
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir pelanggaran dalam
meliput maupun menulis berita.

Pendahuluan
Leo Batubara, salah seorang anggota Dewan Pers pernah menyatakan
bahwa mayoritas wartawan dan pebisnis pers tidak memenuhi standar profesi. Hal
ini terindikasi dari 650 pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers selama lima
tahun terakhir ini. Pengaduan itu berkisar pada pemberitaan yang dinilai
melanggar UU No. 40/1999 (tentang pers) dan ketentuan-ketentuan kode etik
jurnalistik.
Jumlah di atas masih bisa lebih, karena masih banyak pelanggaran lain
yang tidak diadukan kepada Dewan Pers. Ada sebagian masyarakat yang merasa
dirugikan oleh pemberitaan pers, langsung membawa kasusnya ke pengadilan
tanpa harus mengadukan ke Dewan Pers. Selain itu, ada yang menyampaikan
keluhan langsung kepada media, dan merasa cukup dengan mendapat hak jawab
atau hak koreksi. Sebagian yang lain membiarkannya karena tidak ini dibuat
pusing oleh urusan-urusan pemberitaan.

5.1. Keharusan Mematuhi Etika Profesi


Pelanggaran-pelanggaran dalam pemberitaan yang kemudian berujung pada
pengaduan masyarakat seperti yang diungkapkan di atas sebenarnya bisa

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 44


dikurangi kalau insan pers dalam hal ini wartawan setidaknya mematuhi etika
profesi. Dalam hal ini kode etik induk organisasi kewartawanan yang diikutinya.
Seorang wartawan/jurnalis atau insan pers yang mematuhi kode etik
jurnalistik (dari organisasi manapun) tidak akan menyiarkan berita yang
memutarbalikkan fakta atau bersifat fitnah. Tidak akan ada pemberitaan yang
menyinggung perasaaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang
dilindungi UU. Tidak akan ada pemberitaan yang mencampuradukkan antara
fakta dan opini sendiri. Tidak akan ada berita yang mengabaikan asas praduga tak
bersalah. Atau pemberitaan suatu kejadian tanpa terlebih dahulu meneliti
kebenarannya.
Bahkan untuk menurunkan suatu berita, wartawan yang memenuhi kode etik
akan mempertimbangkan tentang patut atau tidaknya. Atau, kalau ada berita yang
diketahuinya ternyata keliru atau tidak akurat, maka atas kesadarannya sendiri
pers akan mencabut dan meralat. Kalau ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pemberitaan, wajib sifatnya memberikan kesempatan hak jawab atau hak koreksi
kepada sumber atau objek berita.
Kode etik merupakan salah satu bentuk pertanggunjawaban pers kepada
masyarakat. Kode etik merupakan salah satu usaha untuk menjaga kepercayaan
masyarakat sekaligus memelihara harkat dan martabat pers. Dapat dikatakan,
kepatuhan terhadap kode etik menjadi salah satu ukuran kedewasaan seorang
jurnalis. Kode etik jurnalistik ini ibarat lampu lalulintas (traffic light) yang
mengatur lalu lintas. Bisa dibayangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi
kalau di suatu perempatan tidak ada lampu lalu lintas dan polisi yang mengatur
lalu lintas. Semua pasti berjalan atas kemauan sendiri, dan akan banyak
kekacauan yang terjadi.

5.2. Menjaga Profesionalisme

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 45


Langkah lain yang bisa dilakukan untuk meminimalisir pelanggaran
adalah wartawan selalu menjaga profesionalisme.
Profesionalisme berarti paham yang menilai tinggi keahlian profesional
khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk
meraih keberhasilan. Menurut Djisman Simanjuntak, sebagai paham,
profesionalisme menyangkut bukan saja tata nilai yang dianut orang perorangan
atau organisasi melainkan juga mewujud dalam perilakunya (Sobur,2001:82).
Profesionalisme ini terkait dengan kecakapan dan kemahiran. Wartawan
yang profesional akan menyajikan berita terhindar dari berbagai kesalahan. Baik
kesalahan bahasa, data, fakta atau substansi. Oleh karena itu disamping
ketrampilan teknis jurnalistik, profesionalisme juga menjadi tuntutan. Itulah
sebabnya sejumlah organisasi kewartawanan menentukan persyaratan ijazah
minimal yang harus dimiliki anggotanya. Minimal berijazah SMU. Bahkan
beberapa penerbitan pers mensyaratkan sarjana (S-1) bagi wartawan yang bekerja
di perusahaannya. Ini memang sangat berkaitan erat dengan tugas pers yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan menjadi suatu persoalah bila persyaratan
minimal pendidikan formal ini tidak dimiliki oleh wartawan. Bisa dibayangkan,
bagaimana akan melakukan peran mendidik kalau mereka sendiri hanya
berpendidikan sekolah rendah.
Profesionalisme ini juga erat kaitannya dengan kesadaran dari seorang
wartawan/jurnalis mengenai apa pekerjaan mereka sesungguhnya.
Menurut Dadang Rahmat Hidayat (Dosen Universitas Padjadjaran Bandung),
seorang wartawan dikatakan profesional jika dia:
1. Menjalankan kaidah-kaidah jurnalisme
2. Menjalankan news value (nilai-nilai berita) dan news judgement (apakah
berita yang disampaikan mempunyai dampak negatif atau manfaat?)
3. Memahami hukum dan ethic mind (berpikir etis)

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 46


Berdasarkan UU No 40/1999 tentang Pers dan KEJ, profil Wartawan yang
memenuhi standar kompetensi keprofesionalan:
1. Melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur;
2. Kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi;
3. Menggunakan credible source, melakukan cover both sides
(berimbang);
4. Menguji inofrmasi/verifikasi/cek dan ricek;
5. Tampil imparcial, independe;
6. Untuk kepentingan umum;
7. Produk pers yang dihasilkan dimuat di media yang terbit/bersiat
teratur;
8. Wartawannya digaji tidak lebih dari kecil dari UMR.
Berkaitan dengan keahlian wartawan ada beberapa hal yang perlu ditekankan
untuk meningkatkan kebolehan wartawan:
1. Only the knowledge journalist can provide the knowledge media for the
knowledge society.
2. Mampu menghasilkan karya jurnalistik yang:
a. atraktif,
b. mencerahkan.
c. Taat kode etik
d. Dibutuhkan pasar (pembaca/pendengar/pemirsa/pengiklan)
3. Developing to be a professional journalist.
Upaya-upaya untuk memperbaiki pendidikan kewartawanan menunjukkan
bahwa profesionalisasi dapat diharapkan semakin meningkat dalam lapangan
pekerjaan jurnalisik, yang kemungkinan besar mengarah pda otonomi yang lebih
mantap dan kekuatan yang lebih besar untuk menahan tekanan-tekanan dan
pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 47


Profesionalisme akan menimbulkan dalam diri wartawan sikap menghormati
martabat individual dan hak-hak pribadi dalam personal warga masyarakat yang
diliputnya. Demikian pula, ia pun akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena
hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam
menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional.
Untuk mencapai hal itu, sudah tentu wartawan perlu memiliki kedewasaan
pandangan dan kematangan pikiran. Ini berarti bahwa wartawan harus memiliki
landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan rasa tanggung jawab atas
perkembangan budaya masyarakat di mana wartawan itu bekerja.
Landasan unsur-unsur yang sehat ini tidak hanya terdapat dalam norma-
norma yang tercantum dalam Kode etik saja, tetapi juga terdapat dalam norma-
norma teknis profesi wartawan itu sendiri. Misalnya, dalam mempertimbangkan
layak tidaknya suatu berita untuk dimuat. Salah satunya adalah unsur bahwa
berita itu harus adil dan berimbang.
• Pentingnya Kode Etik Untuk Wartawan
Kode etik jurnalistik menempati posisi yang sangat pentng bagi wartawan.
Bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan yang lainnya, yang .yang
memiliki sanki fisik sekalipun, di hati sanubari setiap wartawan seharusnya
Kode Etik Jurnalistik mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Wartawan
yang tidak memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik akan kehilangan
harkat dan martabatnys sebagai seorang wartawan.
Ada empat alasan mengapa Kode Etik Jurnalistik amat penting bagi para
wartawan:
1. Kode Etik Jurnalistik dibuat khusus dari, untuk, dan oleh kalangan
wartawan sendiri dengan tujuan untuk menjaga martabat atau kehormatan
profesi wartawan. Ini berarti, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik
adalah pelanggaran terhadap kehormatan profesi wartawan. Pelanggaran
terhadap kehormatan diri sendiri. Itulah sebabnya lembaga yang mengawasi

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 48


pelaksanaan ketaatan terhadap kode Etik Jurnalistik sering disebut “Dewan
Kehormatan”.
2. Wartawah harus memiliki ketrampilan teknis di bidang profesinya.
Ketidakahlian wartawan dalam profesinya dapat menyebabkan distorsi
sosial. Tanpa keahlian sesuai profesinya, wartawan yang seharusnya
menjadi sumber pembaharuan malah menjadi pengacau. Wartaan harus
berilmu, baik dalam penguasaan teknis jurnalistik maupuan sosial
kemasyarakatan. Kode Etik Jurnalistik dalam hal ini menjadi salahsatu dan
yang utama barometer profesionalisme wartawan.
3. Kode Etik Jurnalistik menyangkut hati nurani terdalam wartawan. Rumusan
Kode Etik Jurnalistik merupakan hasil pergumulan hati nurani wartawan.
Pelaksanaannya juga harus dilandasi dengan hati nurani. Maka pelanggaran
terhadap Kode Etik Jurnalistik, berarti pengkhianatan terhadaphati nurani
profesi wartawa.
4. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik juga merupakan perintah dari undang-
undang. Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
berbunyi, “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.” Ini
berarti, wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik sekaligus juga
melanggar undang-undang.

• Profesionalisme dalam Pemberitaan


1. Menyebut Nama dan Identitas
Profesionalisme dalam pemberitaan ditunjukkan dengan kaidah atau adab-
adab yang harus diikuti wartawan dalam pemberitaan mereka di bidang
hukum. Orang awam yang tidak memahami adab-adab dalam praktik
jurnalistik maupun soal-soal hukum dan peradilan, tentu akan bingung jika
membaca berbagai media yang sikapnya tidak sama dalam menyebut nama
dan identitas pelaku pelanggaran dalam berita-berita kepolisian dan

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 49


pengadilan. Beberapa surat kabar dan majalah hanya menuliskan singkatan
atau inisial nama dan identitas si pelaku, tetapi surat kabar dan majalah
lainnya dengan terang-terangan menuliskan namanya secara lengkap.
Bunyi pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI yang terbaru
menyebutkan:”Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang
diduga menyangkut pelanggaran hukum dan atau proses peradilan, harus
menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian
yang berimbang.”
Asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah
“presumption of innocent” dapat kita pahami kalau kita membaca isi pasal 8
UU No. 14 Tahun 1970. Dalam pasal itu, dikatakan bahwa “Setiap orang
yang disangka , ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan ke depan
Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebalum adanya putusan
Pengadilan yang menyatkan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.”
Menghormati asas praduga tak bersalah berarti bahwa wartawan wajib
melindungi tersangka/tertuduh/terdakwa pelaku suatu tindak pidana dengan
tidak menyebutkan nama dan identitasnya dengan jelas. Ini harus dilakukan
sebelum ada putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahan si pelaku dan
keputusan itu sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Yang lazim
dilakukan media adalah menyebut nama pelaku hanya dengan inisialnya atau
memuat foto pelaku dengan ditutup matanya atau hanya memperlihatkan foto
bagian belakang pelaku saja.
Mengenai penyebutan atau penulisan nama lengkap, dewasa terdapat dua
pendapat. Mantan Menteri Kehakiman Ali Said, misalnya, berpendapat justru
karena didasari oleh asas praduga tak bersalah itulah maka boleh ditulis nama
lengkap, bukannya inisialnya. Karena meski disebut namanya, yang
bersangkutan belum bersalah sebelum dinyatakan oleh putusan pengadilan

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 50


yang memiliki kekuatan tetap bahwa dia bersalah. Majalah Tempo, misalnya,
memilih sikap menyebut nama tersangka atau tertuduh secara lengkap dengan
pertimbangan di atas. Sementara Harian Kompas akan memuat nama lengkap
tertuduh dalam kasus-kasus politik, namun selebihnya tetap memuat inisialnya
saja.
Dalam Pedoman Penulisan tentang Hukum Nomor 2 memang
dimungkinkan menyebut secara lengkap nama tersangka, dengan catatan, hal
itu demi kepentingan umum. Meski demikian, dalam hal ini pun kepentingan
pribadi si tersangka tetap harus dipertimbangkan.

2. Menyebut Nama dalam Kejahatan Susila


Tentang pemberitaan dalam kejahatan susiala atau kejahatan seks pun,
wartawan harus tetap dalam sikap profesinalnya. Sikap profesional ini tercermin
dalam tindakan wartawan dalam memberitakan peristiwa tersebut yang tetap
harus mengacu pada Kode Etik Jurnalistik. Hal ini tergambar dalam pasal 8 Kode
Etik Jurnalistik PWI, yang berbunyi:”Wartawan dalam pemberitaan kejahatan
susila tidak merugikan pihak korban.” Dalam Penjelasan pasal ini dikatakan,
”Tidak menyebutkan nama atau identitas korban, artinya pemberitaan tidak
memberikan petunjuk tentang siapa korban perbuatan susila tersebut, baik wajah,
tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal. Namun boleh hanya
menyebutkan jenis kelamin dan umur korban. Kaidah-kaidah ini juga berlaku
dalam kasus kejahatan di bawah umur (di bawah 16 tahun).
Wartawan mempunyai alasan kuat untuk menyembunyikan nama-nama
wanita yang menjadi korban perkosaan atau anak-anak yang dianiaya secara
seksual. Tujuanya untuk melindungi korban dari pencemaran namanya atau
tercoreng aib. Tetapi, dalam hal larangan menyebut nama dan identitas pelaku
kejahatan yang masih di bawah umum, dasarnya semat-mata pertimbangan
kemanusiaan, berdasarkan nasib serta hari esok korban beserta keluarganya.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 51


Kalau sampai nama, identitas, dan potret si korban terpampang dengan jelas
dalam suratkabar, maka wartawan yang menurunkan berita semacam itu jelas
sudah mengkhianati tugas profesionalnya yang bebas dan bertanggungjawab.

5.3. Sembilan Prinsip Jurnalisme


Dalam bukunya The Elements of Journalism Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
(2006) menyebutkan bahwa tujuan utama dari jurnalisme adalah menyediakan
informasi yang akurat dan terpercaya kepada masyarakat agar dengan informasi
tersebut mereka dapat berperan membangun sebuah masyarakat yang bebas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 9 prinsip jurnalisme yang
harus dikembangkan:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran
Jurnalisme bukan mengejar kebenaran dalam pengertian yang absolut atau
filosofis, tetapi harus mengejar kebenaran dalam pengertian yang praktis.
Kebenaran jurnalistik ini merupakan suatu proses yang dimulai dengan
disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi fakta.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat
Untuk menyediakan berita tanpa rasa takut atau memihak (without fear or
favor), wartawan harus memelihara kesetian kepada warga masyarakat
dan kepentingan publik yang lebih luas di atas yang lainnya.Prioritas
komitmen kepada warga masyarakat ini adalh basis dari kepercayaan
sebuah organisasi berita. Media harus dapat mengatakan dan menjamin
kepada audiences-nya bahwa liputan itu tidak diarahkan demi kawan dan
pemasang iklan.
3. Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi
Wartawan mengandalkan diri pada disiplin profesional untuk
memverifikasi informasi. Dalam mencari berbagai saksi, menyingkap

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 52


sebanyak mungkin sumber, atau bertanya berbagai pihak untuk komentas,
semua mengisyaratkan adanya standar yang profesional.
4. Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka
liput
Kebebasan jiwa dan pemikiran adalah prinsip yang harus dijaga oleh
wartawan. Walaupun editorialis dan komentas tidak netral, namun sumber
dari kedibilitas mereka adalah akurasi, kejujuran intelekual, dan
kemampuan untuk menyampaikan informasi, bukan kesetiaan pada
kelompok atau hasil tertentu.
5. Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas
terhadap kekuasaan
Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjaga-watchdog. Wartawan
wajib melindungi kebebasan peran jaga ini dengan tidak merendahkannya,
misalnya dengan menggunakan secara sembarangan atau
meneksploitasinya untuk keuntungan komersial.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentas
publik
Diskusi publik ini bisa melayani masyarakat dengan baik jika mereka
mendapatkan informasi berdasarkan fakta, dan bukan berdasarkan
prasangka atau dugaan-dugaan. Berbagai pandangan dan kepentingan
dalam masyarakat harus terwakili dengan baik.
7. Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik
dan relevan
Jurnalisme adalah bercerita dengan suatu tujuan. Jurnalisme harus
mengimbangi antara apa yang menurut pengetahuan pembaca mereka
inginkan, dengan apa yang mereka tidak bisa harapkan tetapi
sesungguhnya mereka butuhkan. Kualitasnya diukur dari sejauh mana
suatu karya melibatkan audiences dan mencerahkannya.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 53


8. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan
komprehensif
Prinsipnya ”jurnalisme adalah suatu bentuk dari kartografi”: menciptakan
sebuah peta bagi warga masyarakat guna menentukan arah kehidupan.
Menjaga berita agar tetap proporsional dan tidak menghilangkan hal-hal
yang penting.
9. Wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya
Setiap wartawan harus memiliki rasa etik dan tanggung jawab (sebuah
kompas moral). Wartawan harus mau, bila rasa keadilan dan akurasi
mewajibkan, untuk menyuarakan perbedaan dengan rekan-rekannya,
apakah itu di ruang redaksi atau di kantor eksekutif.

5.4. Hak dan Kewajiban Pers


• Hak Pers
Hak pers diartikan sebagai :”kekuasaan, keistimewaan, dan tuntutan pers
untuk melakukan sesuatu yang saling terikat antara pihak yang satu dan
lainnya, atau antara pers, pemerinta, dan masyarakat berdasarkan hukum”.
Hak pers ini meliputi:
1. Hak memperoleh dan menyampaikan informasi
Sarana untuk merealisasi hak informasi itu ialah freedom of the press
(kebebasan pers).
2. Hak kritik dan Kontrol sosial
Kritik yang baik adalah kritik yang membangun, bukan yang
menjatuhkan/menghancurkan. Metode kritik yang relevan sangat
dibutuhkan. Agar suatu kritik sosial berjalan efektif -sampai ke alamat,
diterima, dan tidak serta merta ditolak- harus memenuhi beberapa
langkah dan syarat, salah satunya harus melembagakan diri, misalnya
lewat pers

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 54


Kontrol sosial adalah pengawasan masyarakat terhadap lembaga-
lembaga dan aparatur negara. Untuk melaksanakan fungsi kontrol sosial,
pers harus mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
masyarakat melalui pemberitaan dan pembentukan opini publik.
Tujuannya, supaya aspirasi itu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh
pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan dan dalam
penyelesaian sengketa yang timbul.
Dalam pasal 4 Undang-Undang No. 40/1999, ditegaskan bahwa:
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negaara
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pemberedelan,dan pelarangan penyiaran
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan
dan informasi
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak
Makna ayat (1) menunjukkan bahwa kebebasan menyatakan
pendapat dan kebebasan informasi merupakan satu tonggak penting
sebuah sistem Demokrasi. Salah satu prinsip yang pada umumnya diakui
oleh semua negara demokratis, ialah bahwa campur tangan pemerintah
dalam bentuk sensor, prasensor, izin wajib untuk media cetak, pembatasan
impor produk media dari luar negeri atau pelarangan pos secara
administratif dianggap sebagai pelanggaran-pelangggaran berat pada hak-
hak kebebasan menyatakan pendapat dan informasi.
Sejak Soeharto mundur dari jabatannya sebgai presiden pada 21
Mei 1998, ruang gerak kebebasan berpendapat, khususnya media massa,
semakin terbuka. Berbagai topik yang selama tiga dekade lebih dianggap

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 55


tabu, seperti korupsi dan kolusi di kalangan pejabat, kekerasan aparat,
bahkan kritik mengenai dasar-dasar bernegara mulai diberitakan secara
terang-terangan. Undang-undang Pokok Pers No 21/1982 telah diganti,
Departemen penerangan juga dilikuidasi. Apakah kebebasan pers di
Indonesia sudah benar-benar berlangsung?
Pada umumnya ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia
datang dari tiga pihak: penguasa, pemodal, dan masyarakat. Ancaman
pertama dan kedua terjadi pada masa orde Baru, sementara ancaman
ketiga merupakan fenomena yang terjadi pada era reformasi. Ancaman
atau tekanan dominasi kepentingan pemilik modal mempengaruhi kualitas
kebebasan pers dari berbagai segi. Misalnya, isu-isu permasalahan yang
ditampilkan pers atau media cenderung terbatas hanya pada isu-isu yang
tidak bertentangan dengan kepentingan ekspansi dan akumulasi modal di
sekitar industri pers.

• Kewajiban Pers
Pada dasarnya, kewajiban pers merupakan hal yang seirama
dengan tujuan negara, yakni tercapainya masyarakat yang adil dan makmur
melalui proses tahapan pembangunan yang mengintegrasikan seluruh
potensi yang ada. Pers nasional harus memotivasi masyarakat ke arah
tercapainya kesatuan dan persatuan yang utuh.
Pasal 5 UU No 40/1999, menegaskan kewajiban-kewajiban pers sebagai
berikut:
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwadan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah
(2) Pers wajib melayani hak jawab
(3) Pers wajib melayani hak Koreksi

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 56


5.5. Aspek Hukum dalam Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik selain memuat hal-hal yang sifatnya murni (etik
normatif) pada dasarnya menyebut hal-hal yang dapat dikaitkan dengan persoalan
hukum. Misalnya, dalam mempertimbangkan patut atau tidaknya memuat berita
mengenai hal-hal yang menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan dst.
Kode etik jurnalistika menjungjung tinggi hukum. Asas supremasi hukum ini
antara lain tercermin dari:
a. Pers menerapkan asas praduga tidak bersalah
b. Pers tidak membuat berita bohong dan fitnah
c. Wartawan tidak boleh melakukan plagiat
d. Wartawan tidak menerima suap
e. Wartawan memiliki hak tolak.
• Asas Praduga Tak Bersalah
Pers bukanlah profesi yang imun atau kebal dari hukum. Dalam
melaksanakan profesinya, wartawan juga dituntut untuk patuh dan tunduk kepada
hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu misalnya, wartawan juga
diwajibkan menghormati asas praduga tidak bersalah. Bagi wartawan asas ini
tidak hanya wajib diterapkan dalam berita yang menyangkut dalam proses hukum
saja, tapi dalam semua pemberitaan wajib menjaga asas praduga tidak bersalah
ini. ”Labeling” buruk dan stigmanisasi negatif yang tidak berdasar juga dilarang.
Penghakiman juga dilarang. Hal ini menunjukkan penghargaan wartawan
terhadap hukum.
Bagi wartawan profesional penghormatan terhadap asas praduga tidak bersalah
sebagai salah satu cermin penghormatan pers terhadap supremasi hukum, tidaklah
berarti membelenggu kemerdekaan pers. Kendati pers harus menghormati asas
praduga tidak bersalah, pers tetap dan bahkan wajib memberitakan fakta dan data
sesuai dengan kenyataan. Memberikan suatu data atau fakta tidaklah sama artinya

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 57


dengan melanggar asas praduga tidak bersalah atau tidak menghormati hukum.
Menjelaskan siapa yang menjadi tersangka di polisi atau terdakwa di pengadilan,
sama sekali tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Tetapi jika pemberitaan
itu diikuti oleh pernyataan penghakiman, barulah melanggar asas praduga tidak
bersalah.
Jika wartawan menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri sebuah
peristiwa pembunuhan dan kemudian melaporkan kenyataan siapa yang telah
melakukan pembunuhan juta tidak termasuk pelanggaran asas praduga tidak
bersalah. Tetapi jika wartawan sampai menghakimi dengan kategori bersalah atau
tidaknya pelaku, hal itulah yang sudah merupakan perbuatan melanggar asas
praduga tidak bersalah. Di sinilah Kode Etik jurnalistik menggariskan wartawan
harus dapat secara profesional menarik garis batas mana yang merupakan
”melakukan pemberitaan sesuai dengan fakta dan data yang ada” dengan
”melakukan perbuatan melanggar asas praduga tidak bersalah”.

• Fitnah
Penghargaan terhadap hukum jelas pula tercermin dari dilarangnya
wartawan untuk menyiarkan berita bohong dan fitnah. Kebohongan merupakan
”dosa besar” bagi pers. Oleh karena itu kebohongan mutlak harus dijauhi oleh
wartawan. Ini pelajaran pertama yang mendasar bagi wartawan. Asas
profesinalitas wartawan menempatkan kebohongan sebagai peringkat pertama
dari ketidakprofesionalitasn wartawan.
Fitnah adalah bagian dari kebohongan yang menyangkut reputasi
seseorang. Memfitnah orang artinya memberitakan kebohongan tentang
seseorang. Kebanyakan wartawan merasa adalah menjadi tugas mereka untuk
mengungkap hal-hal tidak benar yang terjadi di masyarakat. Wartawan ingin
mengungkap siapa yang bersalah melakukan tindakan korupsi penyuapan,
eksploitasi atau pelanggaran hak azasi manusia meskipun tindak kejahatan itu

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 58


belum dibuktikan di pengadilan. Kalau liputan semacam itu tidak didukung oleh
bukti nyata – walaupun berdasarkan penelitian yang seksama – maka bisa jadi
seseorang yang tidak bersalah menjadi sasaran tuduhan dan serangan di
media.Akibatnya reputasi orang itu menjadi rusak selamanya.
Membuat tuduhan buruk terhadap seseorang melalui omongan dari mulut
dikenal dengan istilah defamasi (defamation). Tindakan fitnah lainnya disebut
libel – yaitu jika pernyataan fitnah tadi dibuat dalam bentuk permanen – tidak
sekadar diomongkan saja. Suratkabar, buku, dan media cetak lainnya, televisi,
radio, film dan bahkan internet dianggap sebagai bentuk permanen. Fitnah atau
pernyataan defamasi yang diterbitkan atau disiarkan melalui berbagai media tadi
dapat dikategorikan sebagai libel.
Undang-undang tentang libel biasanya merupakan bagian dari undang-
undang sipil dan bukan bagian dari undang-undang media khusus. Dengan kata
lain, hukum tadi berlaku bagi semua warga; rakyat biasa maupun wartawan akan
menghadapi tuntutan jika mereka menyebarkan desas desus yang merusak dan
tidak benar.
Berdasarkan UU Inggris, pernyataan seseorang dianggap fitnah (defamasi) jika
mengandung unsur-unsur berikut:
- Membuat orang itu bisa menjadi sasaran kebencian, cemoohan atau hinaan
- Membuat orang itu dihindari oleh anggota masyarakat lainnya
- Membuatnya direndahkan dalam jajaran masyarakat
- Merusak pekerjaan atau profesinya
Keputusan tentang pernyataan mana yang dianggap sebagai fitnah
(defamasi) atau libel dapat berubah dengan berlalunya waktu, tergantung sikap di
dalam masyarkat. Namun ada tuduhan yang tidak akan berubah dengan
berlalunya waktu. Menuduh seseorang telah melakukan tindak kejahatan, korupsi

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 59


atau membunuh dapat bersifat fitnah dimana pun di mana pun dan kapan pun jika
hal itu tidak disertai bukti nyata.
Tuduhan itu tidak selalu harus kuat. Misalnya seorang pemilik restoran
membagi selebaran yang menyebutkan, secara tidak benar, bahwa restoran
saingannya menjual daging babi yang kepada pelanggan dikatakannya daging
sapi. Saingannya ini tentu sangat tidak senang kasus ini ke pengadilan. Kalau dia
tidak menantang tuduhan itu, maka dia dapat kehilangan pelanggan, kehilangan
penghasilan dan mata pencaharian.
Sangat penting untuk dipahami wartawan bahwa mengulangi suatu
penyataan, anda tidak bisa membela diri dengan mengatakan “Kami hanya
mengutip apa kata si A, jadi bukan kami sendiri yang mengatakannya.” Kalaupun
orang lain yang membuat pernyataan fitnah, jika anda mencetak atau
menyiarkannya, maka anda dan surat kabar atau media elektronik andan
bertanggung jawab atas tersebarnya fitnah itu.
Libel dapat juga terjadi karena implikasi. Jika sebuah stasiun televisi
menyiarkan gambar seseorang sedang ditangkap polisi, pemirsa mungkin mengira
bahwa orang tersebut telah melakukan tindak kejahatan. Jika orang tadi kemudian
dinyatakan bersalah, dia tidak akan memiliki alasan untuk memprotes siaran
televisi yang memperlihatkan gambarnya.
Tetapi jika dia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, dia dapat
menyatakan bahwa kawan-kawan dan koleganya tidak lagi menghargainya akibat
siaran televisi itu. Orang tadi mungkin akan mengajukan tuntutan libel dan
memenangkan tuntutan itu, Untuk menghindari resiko ini, para pembuat program
harus memastikan agar dlam narasi atau keterangan yang menyertai gambar
menyebutkan bahwa orang yang tampak sedang ditangkap polisi dalam tayangan
televisi itu belum divonis bersalah dan bisa jadi dia akan dinyatakan tidak
bersalah.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 60


Pengelola televisi juga harus berhati-hati dalam memilih gambar yang
anda tayangkan sebagai ilustrasi berita. Misalnya, sebuah stasiun televisi atu
suratkabar menyiarkan berita tentang adanya pekerja urusan bagasi bandar udara
yang menyelundupkan senjata teroris, sementara gambar yang digunakan adalah
gambar karyawan bandara yang diambil dari perpustakaan dan tidak ada
kaitannya dengan cerita yang sedang disiarkan, maka orang yang terlihat pada
gambar itu dapat mengajukan tuntutan libel.

• Plagiat
Wartawan dilarang melakukan plagiat baik terhadap karya sesama
wartawan sendiri maupun terhadap pihak ketiga di luar lingkungan pers. Inilah
juga salah satu aspek yang harus dipatuhi wartawan. Apabila sebuah data atau
fakta diperoleh dari suatu sumber, wartawan harus jujur menyebut darimana
diperolah data atau fakta itu. Melakukan plagiat jelas melanggar hukum karena
melanggar kepatutan, kepantasan, dan nilai-nilai kejujuran serta dapat merugikan
pihak lain. Dalam kaitan penghormatan terhadap hukum, wartawan dilarang
melakukan tindakan plagiat.

Penutup
1. Bagaimana cara wartawan memenuhi etika profesi?
2. Jelaskanlah cara wartawan menjaga sikap profesinalnya!
3. Jelaskan tentang sembilan elemen jurnalisme!
4. Jelaskan tentang hak dan kewajiban pers/wartawan!
5. Bagaimana profesi wartawan bila ditinjau dari segi hukum?

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 61

You might also like