Professional Documents
Culture Documents
3
Nama Catfish menjadi nama dagang internasional untuk lele dan beberapa genus lain
(Pangasius, macrones, Siluria dan sebagainya) (Suyanto, 2007).
4
II.1.3 Pola Hidup dan Perilaku
Lele pada dasarnya tergolong hewan karnivora, dengan makanan alami hewan kecil
seperti Daphnia, Cladosera, Copepoda, cacing, larva serangga, siput dan lain-lain. Namun
pada kondisi disekitar manusia, ikan lele memakan sisa limbah rumah tangga bahkan tinja.
Mereka mencari makan didasar kolam, namun jika ada makanan yang terapung akan diambil
pula. (Suyanto, 2007)
Lele bersifat nokturnal, sehingga saat siang hari akan cenderung berdiam ditempat
yang terlindung dari matahari. Tempat yang dijadikan sarang oleh lele biasanya adalah
berbentuk lubang atau semak-semak yang terlindung. Pemilihan tempat ini berhubungan pula
dengan perilaku kawin dari lele.
Biasanya saat masa kawin lele akan berpasangan. Kemudian pasangan jantan-betina
tersebut akan melakukan prosesi keluar-masuk sarang, hingga akhirnya keduanya berada di
dalam sarang. Induk lele tersebut akan melepaskan sperma dan telur pada saat yang hampir
bersamaan. Kemudian proses pembuahan terjadi, telur-telur tersebut akan dijaga oleh betina
hingga kuat untuk berenang keluar sarang (7-10 hari). Setelah 7 hari, biasanya induk lele
tidak lagi menghiraukan anaknya (Suyanto, 2007). Perilaku ini menjadi dasar pengembangan
teknologi pemijahan ikan lele budidaya.
5
1. Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut (DO) dipengaruhi faktor-faktor diantaranya suhu air, tekanan
atmosfir, kandungan garam-garam terlarut, kualitas pakan dan aktivitas biologi perairan (Reid
& Wood,1976 dalam Anonim, 2009). DO merupakan sumber oksigen utama bagi organisme
air dalam proses metabolismenya. Sama seperti organisme di darat, oksigen tersebut
dibutuhkan dalam proses pembentukan energi dari makanan. Selain itu, DO juga berperan
dalam penguraian bahan organik di perairan. Hal ini menyebabkan jumlah zat organik di
dalam air dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut untuk ikan budidaya. Alat untuk
mengukur DO adalah DO-meter baik jenis manual maupun digital.
Kondisi kurang oksigen (hipoksia) hingga ketiadaan oksigen (anoksia) berdampak
pada pertumbuhan abnormal dan dalam kondisi lebih buruk menyebabkan kematian ikan.
Kurangnya kadar DO juga menyebabkan aktivitas mikroba anaerob menjadi dominan. Hal ini
menyebabkan metabolit yang bersifat toksik seperti hidrogen sulfida dan amonia meningkat
yang memberikan dampak lebih buruk bagi ikan dan organisme lain (Bachtiar, 2007).
Keberadaan jumlah ganggang tidal dapat meningkatkan ketersediaan DO dalam air yang
berdampak baik bagi ikan dan organisme lain (Lesmana, 2006).
Ambang minimal kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bervariasi untuk setiap
jenis ikan. Ambang minimal tersebut dipengaruhi kebutuhan lingkungan dari tiap spesies dan
kebutuhan konsumtif (metabolisme) ikan. Namun setidaknya kadar yang dianjurkan minimal
5 mg/L atau 5 ppm (Lesmana, 2006) dan untuk budidaya intensif dianjurkan pada kisaran 5-8
ppm (Anonim, 2009). Prihatman (2000) menyebutkan lele dumbo masih dapat bertahan
dalam kadar oksigen hingga 0,3 ppm. Hal ini berarti lele dapat bertahan hidup dalam kondisi
DO lebih rendah dibanding ikan-ikan yang lain.
2. Suhu
Suhu merupakan variabel penting bagi organisme akuatik. Bagi ikan, perubahan suhu
mempengaruhi selera makan, respirasi (meningkatkan konsumsi oksigen) serta laju
pertumbuhan ikan tersebut. Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan aktivitas
metabolisme ikan, dan juga berpengaruh pada perilaku reproduksi ikan. Selain itu perubahan
suhu berbanding terbalik dengan ketersediaan oksigen terlarut. Maka dari itu, kestabilan suhu
dalam budidaya menjadi suatu hal yang penting, karena akan berdampak besar pada hasil
panen.
6
Tabel II.1 Hubungan antara suhu dan DO
Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.
7
tinggi nitrat akan menyebabkan stress hingga menghambat pertumbuhan ikan. Nitrat
merupakan hasil dari oksidasi nitrit oleh mikroba autotrof, diantaranya Nitrobacter sp.
4. pH
Derajat keasaman (pH) merupakan nilai yang menunjukkan kandungan ion H + dalam
air. Kondisi saat ion H+ tinggi disebut dengan asam dan kondisi sebaliknya disebut dengan
basa. Kondisi dapat memengaruhi perilaku dan pertumbuhan ikan. Nilai pH rendah
(keasaman tinggi) berdampak pada penurunan DO, penurunan konsumsi O2 ikan,
peningkatan aktivitas pernafasan, dan penurunan selera makan ikan. Secara umum rentang
toleransi pH pada ikan ada pada kisaran 6,5 – 9,0 dengan kondisi optimalnya ada pada
kisaran 7,0 – 8,5 (Anonim, 2009). Korelasi antara pH air dengan kehidupan ikan dapat
gambarkan seperti pada tabel II.2.
Tabel II.2 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidaya
Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.
8
serta ketersediaan pakan alami di kolam. Beberapa hal penting dalam persiapan kolam
diantaranya adalah pengeringan kolam, pemupukan dengan pupuk organik, pengapuran jika
diperlukan serta penambahan air baru yang telah difilter sehingga kolam tidak dihuni oleh
organisme yang tidak diharapkan. Jenis pakan tambahan yang bisa diberikan sebaiknya dari
banyak mengandung protein hewani seperti bekicot, belatung, bangkai ayam, tepung darah,
dll.
Setelah pemanenan tahap pertama, ikan dibesarkan selama 4-6 bulan hingga ukuran
20-25 cm. Padat tebar pada tahap kedua adalah 6-10 ekor/m 2. Karena hewan ini memiliki
patil yang dapat digunakan untuk melompat dan memanjat, dinding kolam harus dirancang
tegak dan cukup tinggi. Bahan pakan yang diberikan adalah daging-dagingan dengan waktu
pemberian pagi dan sore hari secara merata keseluruh kolam. Untuk menekan biaya, pakan
bisa berasal dari limbah rumah makan atau bangkai hewan dari peternakan/rumah jagal. Pada
akhir tahap ini akan diperoleh lele siap panen dengan berat rata-rata sekitar 200 gram.
9
Bahan baku dari pellet untuk ikan lele yang dikeluarkan BAPPENAS (2008)
menyebutkan komposisi bahan baku pellet seperti disebutkan dalam tabel berikut:
Tabel II.3 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidaya
Komposisi % berat
tepung ikan 27,00
bungkil kacang kedele 20,00
tepung terigu 10,50
bungkil kacang tanah 18,00
tepung kacang hijau 9,00
tepung darah 5,00
dedak 9,00
vitamin 1,00
mineral 0,50
Sumber: BAPPENAS, 2008
Disebutkan bahwa komponen terbesar dalam pelet untuk lele pada umumnya adalah
tepung ikan (27 % berat), kemudian disusul bungkil kacang kedele dan bungkil kacang tanah
(20 dan 18 % berat). Penggunaan tepung ikan berlebihan secara ekonomis kurang
menguntungkan mengingat harganya yang mahal karena sebagian masih mengandalkan
produk impor. Salah satu solusi yang dapat diberikan, adalah mengganti tepung ikan dengan
sumber protein hewani lain seperti ikan rucah/afkir (Anonim, 2010; wawancara langsung
dengan petani).
II.3 Pakan
Pakan ikan dapat diklasifikasikan menjadi pakan alami dan pakan buatan. Pakan
alami merupakan sumber pakan yang langsung diambil dari organisme hidup, tanpa
mengalami proses pengolahan lebih lanjut, contohnya plankton, bentos, larva serangga atau
hewan-hewan kecil lainnya. Pakan buatan merupakan pakan yang mengambil bahan dari
sumber nabati dan hewani yang diproses lebih lanjut, biasanya komposisi nutrisi pakan
buatan lebih terukur. Pakan buatan dapat berupa larutan, tepung halus, tepung kasar, remah,
pellet atau waver (Anonim, 2000).
Pakan buatan dapat lebih menguntungkan dari segi kualitas, karena adanya proses
pengolahan lebih lanjut dari bahan-bahan alaminya. Dalam pengolahan tersebut selain
terdapat pengaturan komposisi yang lebih baik, dapat pula dilakukan pengayaan nutrisi.
Dapat diambil contoh dalam rekayasa pakan ini adalah penambahan pigmen Astaxantin
(karoten) yang berkaitan dengan kualitas warna ikan saat dipanen sehingga mempengaruhi
nilai ekonomis ikan tersebut (Kurnia, 2006).
10
II.3.1 Pakan dan Nutrisi
Secara umum, ada lima patokan yang digunakan dalam pemilihan pakan, yaitu
kandungan gizi, ukuran pakan, water stability, penampakan permukaan dan aroma. Kelima
aspek tersebut dapat menjadi pertimbangan awal dalam memilih pakan yang optimal bagi
perkembangan ikan.
Pada dasarnya pakan ikan (seperti juga pakan ternak lainnya) harus memenuhi asupan
Karbohidrat, protein dan lemak yang seimbang. Kandungan ketiga unsur tersebut berkaitan
dengan Rasio Konversi Makanan (FCR, Food Conversion Ratio) yang menentukan tingkat
efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan ikan. Selain itu kandungan vitamin dan
nutrisi lainnya juga harus mencukupi agar hasil panen dapat optimal. Kedua hal ini akan
menentukan nilai ekonomis dari usaha budidaya ikan tersebut.
Urgensi dari FCR sendiri dapat dideskripsikan dengan suatu perbandingan keadaan
pemeliharaan saat komposisi dalam kondisi berimbang dan tidak berimbang. Jika kondisi
pakan lebih dari optimum, FCR meningkat dan penggunaan pakan tidak efisien. Efek negatif
lainnya adalah air kotor serta berpotensi toksik (dari sisa pakan), pertumbuhan
terhambat,sintasan rendah, penyakit timbul dengan cepat dan kualitas ikan yang dihasilkan
rendah. Sebaliknya jika rasio pakan kurang dari optimum, pertumbuhan lambat atau berhenti
sama sekali (nutrisi hanya cukup untuk mempertahankan kebutuhan tubuh), FCR naik dan
muncul kanibalisme (Anonim, 2007).
11
II.3.2 Uji Kimiawi Pakan
Untuk mengetahui komposisi susunan kimia dan kegunaannya suatu bahan pakan
dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dan Weende
Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan
menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Adapun komponen dari uji proksimat
adalah sebagai berikut:
1. Bahan kering
Jumlah bahan kering adalah jumlah padatan yang tersisa setelah kandungan air
dalam sampel diuapkan. Caranya adalah dengan memanaskan bahan pakan 1050 C selama
beberapa jam sehingga semua air yang ada menguap. Kondisi ini disebut juga kering
mutlak, kering oven, kering mutlak atau dry matter. Hijauan pakan segar berkadar air
sangat tinggi dikeringkan pada suhu 5500 C sampai beratnya tetap disebut juga berat
kering atau dry weight. Bahan pakan yang dikeringkan tanpa proses pemanasan disebut
kering angin. Bahan pakan konsentrat pada umumnya berada pada kondisi ini dan sering
disebut kondisi as fed (keadaan apa adanya).
2. Abu
Abu atau mineral diperoleh dengan jalan membakar sempurna bahan pakan pada
temperatur 5500 C sampai semua bahan oganik terbakar.
3. Ekstrak ether (EE)
Semua bahan organik yang larut dalam pelarut lemak termasuk lipida dan zat yang
tidak berlemak. Dengan demikian bukan gambaran lemak yang sebenarnya (gliserol dan 3
asam lemak).
4. Serat kasar (SK)
Serat kasar (SK) : adalah bahan organik yang tahan terhadap hidrolisis asam dan
basa lemah.
5. Protein kasar (PK)
Protein kasar diperoleh dan hasil penetapan N X 6,25 (protein rata-rata mengandung
N 16 %). Energi protein 5,50 kcal/g, bila digunakan sebagai energi 1,25 kcal/g keluar
sebagai urea dan setiap unit protein, tinggal 4,25 kcal/g. Oleh karena protein tidak tercerna
dengan sempurna, nilai energi berkurang 0,25 kcal/g jadi tinggal 4 kcal/g.
6. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
12
Ektrak tanpa nitrogen diperoleh dengan jalan sbb: 100 - (5K + FE + PK + Abu).
Ekstrak tanpa nitrogen terdiri dan karbohidrat yang mudah larut terutama pati yang
kecernaannya tinggi. Energi yang dihasilkan sekitar 3,75-4,75 kcal/g. Rata-rata
karbohidrat mengandung energi 4 kcal/g.
II.4Herba
13
dan meningkatkan kekebalan imun tubuh. Dalam konsentrasi tinggi, Hedyotis corymbosa
diketahui menghambat limfositik akut dan leukimia granulositik akut. Berfungsi efektif
dalam penyembuhan radang usus buntu (Appendicitis), penawar gigitan ular dan menghambat
produksi sperma (Anonim, 2009; www.alternativehealing.org).
Dalam Indian Medicinal Plants (Khare, 2007) disebutkan beberapa khasiat lain dalam
pengobatan tradisional India, diantaranya membersihkan darah, meningkatkan kerja sistem
pencernaan dan menstimulasi kerja liver. Disebutkan pula tentang adanya kandungan
beberapa macam senyawa asam fumarat, kafein serta Iridoidoglukosida, ekstrak cairnya
mengandung ramnosa, arabinosa, silosa, manosa, galaktosa dan glukosa. Selain itu,
dilaporkan bahwa di Cina herba ini digunakan dalam pengobatan beberapa tumor karena
memiliki aktivitas potensiasi imun.
Taksonomi dari Hedyotis corymbosa (L.) Lam. adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Asteridae
Sub-order : Rubiales
Family : Rubiaceae
14
yang diekstrak dari nimba digunakan sebagai kontrasepsi intravagina, pengobatan terhadap
infeksi vagina, dan pengusir nyamuk.
Senyawa tetranortriterpenoid dari nimba telah diuji secara intensif memiliki khasiat
antibiotik. Ekstrak metanolat dari batangnya menunjukkan khasiat anti malaria melawan
Plasmodium falciparum. Ekstrak cair dari daun menunjukkan khasiat menghentikan
penanahan dan aktivitas peradangan. Bagian dari ekstrak alkoholik yang terlarut air
menurunkan kadar gula darah dan adrenalin yang menginduksi hiperglikemia pada tikus.
Fraksi volatil dari minyak nimba memiliki fungsi spermisida pada manusia pada dosis diatas
25 mg/ml serta memperlambat persebaran HIV. Tumbuhan ini beracun dalam dosis tinggi.
(Khare, 2007)
Taksonomi dari Azadirachta indica A. Juss. adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Rosidae
Sub-order : Sapindales
Family : Meliaceae
Genus : Azadirachta
15
mengandung senyawa flavon, epigenin dan luteolin serta antosianin. Daun dapat
menyebabkan iritasi mulut, namun setelah direbus menjadi suplemen makanan berserat yang
baik membantu menurunkan gula darah bagi penderita diabetes. Ditemukan adanya
pertambahan lemak, kolesterol dan kadar trigliserida pada mencit yang diberikan ekstrak
kering daun talas. Sari perasan dari petiola berfungsi sebagai astringen dan styptic. Dari riset
juga berhasil diisolasi dua jenis dihidroksisterol, selain juga beta-sitosterol, dan stigmasterol
serta senyawa penghambat trypsin dari umbi. Lima senyawa alifatik baru juga ditemukan.
(Khare, 2007)
Taksonomi dari Colocasia esculenta (L.) Schott adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Order : Arales
Family : Araceae
Genus : Colocasia
II.5Fermentasi Pakan
II.5.1 Fermentasi
Fermentasi adalah “proses dekomposisi senyawa organik yang berjalan lambat yang
di gerakkan oleh mikroorganisme atau komplek senyawa nitrogen (enzim) dari hewan atau
tumbuhan” (Walker, 1988). Istilah fermentasi sendiri berasal dari bahasa latin Fervere yang
berarti mendidihkan. Istilah ini awalnya hanya digunakan pada proses perubahan gula
menjadi alkohol secara anaerob. Definisi fermentasi kemudian meluas menjadi semua proses
yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan produk metabolit primer dan sekunder
dalam lingkungan yang dikendalikan.
Fermentasi merupakan proses yang terjadi melakui kerja mikroorganisme atau enzim
untuk mengubah bahan-bahan komplek seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi
molekul yang lebih sederhana (Amri, 2007). Prinsipnya, fermentasi dapat mengaktifkan
pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang dibutuhkan sehingga membentuk produk yang
16
berbeda dengan bahan bakunya. Pengaruh positifnya antara lain meningkatkan nilai gizi,
membuat nutrisi mudah dicerna,dan munculnya aroma serta rasa yang khas (Amri, 2007).
Dalam konteks pakan ternak, teknologi fermentasi terutama ditujukan untuk
meningkatkan daya cerna terhadap nutrisi-nutrisi tertentu dengan harapan meningkatkan rasio
konversi pakan. Oleh karena itu metode fermentasi dan penggunaan mikroba disesuaikan
dengan kandungan nutrisi yang diharapkan bertambah atau tereduksi. Untuk pakan ternak,
aplikasi fermentasi terutama difokuskan pada 3 komponen nutrisi utama yaitu Protein,
Karbohidrat dan Lemak.
17
Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang diperoleh dari pengurangan biaya produksi
untuk pakan.
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Order : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces
18