You are on page 1of 16

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Biologi Ikan Lele (Clarias gariepinus)

II.1.1 Klasifikasi Ikan Lele


Menurut Weber de Beaufort (1965) dalam Suyanto (2007) di jelaskan bahwa lele
diklasifikasi menjadi:
Filum : Chordata (Bertulang belakang)
Kelas : Pisces (Ikan, bernafas dengan insang)
Subkelas : Teleostei (Ikan bertulang keras)
Ordo : Ostariophysi (dalam rongga perut atas terdapat tulang
Weber/Weberian oscicle, berfungsi sebagai alat
keseimbangan)
Subordo : Siluroidae, ikan dengan bentuk tubuh memanjang,
berkulit licin (tanpa sisik)
Famili : Clariidae (kepala pipih dengan lempeng tulang keras
sebagai batok kepala, bersungut 4 pasang, sirip
memiliki patil memiliki alat pernafasan tambahan di
depan rongga insang)
Genus : Clarias
Species : Clarias gariepinus L.
Sumber: Beaufort, 1965
Di Indonesia ada 6 (enam) jenis ikan lele yang dapat dikembangkan, yaitu Clarias
batrachus, C. teysmani, C. melanoderma, C. nieuhofi, C. loiacanthus dan C. gariepinus.
Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera Barat), ikan maut
(Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan). Pada Clarias batracus terdapat 3
variasi warna tubuh, yaitu hitam (kelabu), putih dan merah. Clarias teysmani, dikenal sebagai
lele Kembang (Jawa Barat), Kalang putih (Padang). Clarias melanoderma, yang dikenal
sebagai ikan duri (Sumatera Selatan), wais (Jawa Tengah), wiru (Jawa Barat). Clarias
nieuhofi, yang dikenal sebagai ikan lindi (Jawa), limbat (Sumatera Barat), kaleh (Kalimantan
Selatan). Clarias loiacanthus, yang dikenal sebagai ikan keli (Sumatera Barat), ikan penang
(Kalimantan Timur). Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai lele Dumbo (Lele Domba),
King cat fish, berasal dari Afrika.

Di Thailand, selain Clarias batracus, dibudidayakan pula Clarias macrocephalus.


Diluar jenis tersebut, ada ratusan jenis ikan lele yang tersebar dari Afrika hingga Amerika.

3
Nama Catfish menjadi nama dagang internasional untuk lele dan beberapa genus lain
(Pangasius, macrones, Siluria dan sebagainya) (Suyanto, 2007).

II.1.2 Habitat Hidup Lele


Habitat lele adalah perairan air tawar seperti sungai dengan arus tidak deras, kolam,
danau atau rawa. Dengan organ pernafasan tambahan didepan insangnya, lele dapat
memperoleh oksigen langsung dari udara. Karena itulah lele mampu hidup di perairan yang
beroksigen rendah. Lele tidak cocok dengan daerah tinggi (700 m dpl) dan tumbuh lambat
pada suhu dibawah 200 C.
Ikan lele hidup dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah yang tingginya
maksimal 700 m dpl. Elevasi tanah dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%.
Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos,
berlumpur dan subur. Lahan yang dapat digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah,
pecomberan, kolam pekarangan, kolamkebun, dan blumbang. Lokasi untuk pembuatan kolam
hendaknya di tempat yang teduh, tetapi tidak berada di bawah pohon yang daunnya mudah
rontok. Selain itu sebaiknya lokasi pembuatan kolam berhubungan langsung atau dekat
dengan sumber air dan tidak dekat dengan jalan raya.
Ikan lele dapat hidup dalam perairan agak tenang dan kedalamannya cukup, sekalipun
kondisi airnya jelek, keruh, kotor dan miskin zat O2. Perairan tidak boleh tercemar oleh bahan
kimia, limbah industri, merkuri, atau mengandung kadar minyak atau bahan lainnya yang
dapat mematikan ikan. Selain itu, perairan tersebut hendaknya banyak mengandung zat-zat
yang dibutuhkan ikan dan bahan makanan alami. Perairan tersebut bukan perairan yang
rawan banjir. Permukaan perairan tidak boleh tertutup rapat oleh sampah atau daun-daunan
hidup, seperti enceng gondok.
Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 derajat C, dengan suhu optimal antara 25-28
derajat C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26-30 derajat
C dan untuk pemijahan 24-28 derajat C. Air kolam budidaya sebaiknya memenuhi kriteria
fisika-kimia diantaranya, empunyai pH 6,5-9; kesadahan (derajat butiran kasar ) maksimal
100 ppm dan optimal 50 ppm; turbidity (kekeruhan) bukan lumpur antara 30-60 cm;
kebutuhan O2 optimal pada range yang cukup lebar, dari 0,3 ppm untuk yang dewasa sampai
jenuh untuk burayak; dan kandungan CO2 kurang dari 12,8 mg/liter, amonium terikat 147,29-
157,56 mg/liter. (Prihatman, 2000)

4
II.1.3 Pola Hidup dan Perilaku
Lele pada dasarnya tergolong hewan karnivora, dengan makanan alami hewan kecil
seperti Daphnia, Cladosera, Copepoda, cacing, larva serangga, siput dan lain-lain. Namun
pada kondisi disekitar manusia, ikan lele memakan sisa limbah rumah tangga bahkan tinja.
Mereka mencari makan didasar kolam, namun jika ada makanan yang terapung akan diambil
pula. (Suyanto, 2007)
Lele bersifat nokturnal, sehingga saat siang hari akan cenderung berdiam ditempat
yang terlindung dari matahari. Tempat yang dijadikan sarang oleh lele biasanya adalah
berbentuk lubang atau semak-semak yang terlindung. Pemilihan tempat ini berhubungan pula
dengan perilaku kawin dari lele.
Biasanya saat masa kawin lele akan berpasangan. Kemudian pasangan jantan-betina
tersebut akan melakukan prosesi keluar-masuk sarang, hingga akhirnya keduanya berada di
dalam sarang. Induk lele tersebut akan melepaskan sperma dan telur pada saat yang hampir
bersamaan. Kemudian proses pembuahan terjadi, telur-telur tersebut akan dijaga oleh betina
hingga kuat untuk berenang keluar sarang (7-10 hari). Setelah 7 hari, biasanya induk lele
tidak lagi menghiraukan anaknya (Suyanto, 2007). Perilaku ini menjadi dasar pengembangan
teknologi pemijahan ikan lele budidaya.

II.2 Budidaya Lele

II.2.1 Faktor Fisika dan Kimia dalam budidaya Lele


Air sebagai habitat hidup bagi ikan budidaya, memiliki peran amat penting dalam
keberhasilan proses budidaya. Termasuk juga lele, karakteristik fisika dan kimia air
mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi fisiologis lele. Pada batas nilai tertentu, faktor-
faktor tersebut juga dapat menyebabkan kondisi yang fatal bagi lele, hingga menyebabkan
kematian. Sebagai contoh, Lestari (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kadar
amonia yang tidak terkontrol saat ikan dipindahkan ke sebuah akuarium baru dapat
menyebabkan fenomena yang disebut ‘sindrom akuarium baru’ (new tank syndrome), yaitu
kematian ikan secara serentak. Adapun faktor-faktor kimia air terkait dengan budidaya ikan
termasuk lele diantaranya yaitu oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen), suhu, kandungan N
(Nitrit, Nitrat dan Amonia) dan pH air. Sedangkan faktor fisika yang paling berperan dalam
budidaya adalah suhu.

5
1. Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut (DO) dipengaruhi faktor-faktor diantaranya suhu air, tekanan
atmosfir, kandungan garam-garam terlarut, kualitas pakan dan aktivitas biologi perairan (Reid
& Wood,1976 dalam Anonim, 2009). DO merupakan sumber oksigen utama bagi organisme
air dalam proses metabolismenya. Sama seperti organisme di darat, oksigen tersebut
dibutuhkan dalam proses pembentukan energi dari makanan. Selain itu, DO juga berperan
dalam penguraian bahan organik di perairan. Hal ini menyebabkan jumlah zat organik di
dalam air dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut untuk ikan budidaya. Alat untuk
mengukur DO adalah DO-meter baik jenis manual maupun digital.
Kondisi kurang oksigen (hipoksia) hingga ketiadaan oksigen (anoksia) berdampak
pada pertumbuhan abnormal dan dalam kondisi lebih buruk menyebabkan kematian ikan.
Kurangnya kadar DO juga menyebabkan aktivitas mikroba anaerob menjadi dominan. Hal ini
menyebabkan metabolit yang bersifat toksik seperti hidrogen sulfida dan amonia meningkat
yang memberikan dampak lebih buruk bagi ikan dan organisme lain (Bachtiar, 2007).
Keberadaan jumlah ganggang tidal dapat meningkatkan ketersediaan DO dalam air yang
berdampak baik bagi ikan dan organisme lain (Lesmana, 2006).
Ambang minimal kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bervariasi untuk setiap
jenis ikan. Ambang minimal tersebut dipengaruhi kebutuhan lingkungan dari tiap spesies dan
kebutuhan konsumtif (metabolisme) ikan. Namun setidaknya kadar yang dianjurkan minimal
5 mg/L atau 5 ppm (Lesmana, 2006) dan untuk budidaya intensif dianjurkan pada kisaran 5-8
ppm (Anonim, 2009). Prihatman (2000) menyebutkan lele dumbo masih dapat bertahan
dalam kadar oksigen hingga 0,3 ppm. Hal ini berarti lele dapat bertahan hidup dalam kondisi
DO lebih rendah dibanding ikan-ikan yang lain.

2. Suhu
Suhu merupakan variabel penting bagi organisme akuatik. Bagi ikan, perubahan suhu
mempengaruhi selera makan, respirasi (meningkatkan konsumsi oksigen) serta laju
pertumbuhan ikan tersebut. Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan aktivitas
metabolisme ikan, dan juga berpengaruh pada perilaku reproduksi ikan. Selain itu perubahan
suhu berbanding terbalik dengan ketersediaan oksigen terlarut. Maka dari itu, kestabilan suhu
dalam budidaya menjadi suatu hal yang penting, karena akan berdampak besar pada hasil
panen.

6
Tabel II.1 Hubungan antara suhu dan DO

Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.

Percampuran/pergantian air dapat membantu menjaga kestabilan suhu.


Turbulensi/pergerakan air karena adanya aerator dalam akuarium atau kolam dapat
dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan suhu lingkungan bagi ikan budidaya. Rentang
toleransi ikan terhadap suhu lingkungan berbeda-beda pada tiap spesies dan tahapan (stadia)
pertumbuhan ikan (Anonim, 2009). Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 derajat C, dengan
suhu optimal antara 25-28 derajat C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran
suhu antara 26-30 derajat C dan untuk pemijahan 24-28 derajat C (Anonim, 2007).

3. Kandungan N (Amonia, Nitrit dan Nitrat)


Amonia merupakan produk akhir dekomposisi protein pada ikan dan organisme air
lainnya. Pada budidaya ikan, kadar amonia meningkat seiring jumlah pakan yang diberikan
pada ikan. Amonia akan terakumulasi dari feces dan pakan berlebih yang terdekomposisi oleh
mikroba. Peningkatan kadar amonia secara tiba-tiba dalam kondisi basa dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan insang dan kematian. Fenomena ini sering sering terjadi pada akuarium
yang baru diisi ikan. Peningkatan kadar amonia secara tiba-tiba yang menyebabkan kematian
ikan serentak dikenal dengan istilah New Tank Syndrome (Lestari, 2009).
Pada pH normal, amonia (NH3) yang bersifat racun bagi ikan akan terionisasi
sepenuhnya menjadi amonium (NH4+) yang relatif tidak beracun, namun pada kondisi basa
amonium akan kembali menjadi amonia. Kadar amonia yang masih dapat ditoleransi dalam
budidaya lele berkisar antara 147,29 – 157,56 mg/L (Prihatman, 2000).
Nitrit (NO2-) terdapat di perairan secara alami sebagai hasil oksidasi amonia oleh
Nitrosomonas sp. Meski toksisitasnya lebih rendah dari amonia, namun pada konsentrasi
tinggi, nitrit menyebabkan stress pada ikan yang berdampak pada penurunan imunitas
terhadap mikroba patogen (Owsley et al., 2000 dalam Sidhi, 2009). Dibandingkan Nitrit dan
Amonia, Nitrat (NO3-) memiliki sifat toksik yang jauh lebih rendah. Namun pada konsentrasi

7
tinggi nitrat akan menyebabkan stress hingga menghambat pertumbuhan ikan. Nitrat
merupakan hasil dari oksidasi nitrit oleh mikroba autotrof, diantaranya Nitrobacter sp.

4. pH
Derajat keasaman (pH) merupakan nilai yang menunjukkan kandungan ion H + dalam
air. Kondisi saat ion H+ tinggi disebut dengan asam dan kondisi sebaliknya disebut dengan
basa. Kondisi dapat memengaruhi perilaku dan pertumbuhan ikan. Nilai pH rendah
(keasaman tinggi) berdampak pada penurunan DO, penurunan konsumsi O2 ikan,
peningkatan aktivitas pernafasan, dan penurunan selera makan ikan. Secara umum rentang
toleransi pH pada ikan ada pada kisaran 6,5 – 9,0 dengan kondisi optimalnya ada pada
kisaran 7,0 – 8,5 (Anonim, 2009). Korelasi antara pH air dengan kehidupan ikan dapat
gambarkan seperti pada tabel II.2.
Tabel II.2 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidaya

Sumber: Anonim, 2009; Materi Kuliah Program Alih Jenjang D4 Akuakultur, SITH ITB.

II.2.2 Tahapan Budidaya Lele


Proses budidaya ikan lele secara garis besar terbagi menjadi dua tahapan, yaitu
pembibitan dan pembesaran. Pembibitan mencakup seleksi terhadap calon induk, pemijahan
dan pemeliharaan/pendederan anak lele (burayak). Pembesaran mencakup proses pembesaran
bibit hingga menjadi ikan lele siap panen. Pada proses pembesaran ini bibit ikan lele yang
awalnya berukuran 3-5 cm akan tumbuh hingga ukuran 25 cm dengan berat berkisar antara
150-200 gram per ekor.
Proses pembesaran sejak dari bibit ukuran 3-5 cm dibagi lagi menjadi dua tahapan
(Suyanto, 2007). Pembagian ini bertujuan agar perkembangan ikan dan laju mortalitas dapat
dikontrol dengan baik. Ukuran per individu dan kepadatan kolam dapat diketahui dengan
baik dengan adanya pembagian tahap pembesaran ini. Jika pada tahap pertama ditemukan
laju mortalitas tinggi maka penyebab kematian bisa terdeteksi lebih dini dan dapat dicegah
semakin menyebar.
Penebaran pertama merupakan tahap pembesaran lele 3-5 cm menjadi benih ukuran
12 cm. Untuk patokan, 3000-4000 ekor dapat ditebar dalam kolam 100 m 2 dengan tinggi
kolam 60-80 cm. Padat tebar ini bisa ditambah atau dikurangi tergantung besar rata-rata benih

8
serta ketersediaan pakan alami di kolam. Beberapa hal penting dalam persiapan kolam
diantaranya adalah pengeringan kolam, pemupukan dengan pupuk organik, pengapuran jika
diperlukan serta penambahan air baru yang telah difilter sehingga kolam tidak dihuni oleh
organisme yang tidak diharapkan. Jenis pakan tambahan yang bisa diberikan sebaiknya dari
banyak mengandung protein hewani seperti bekicot, belatung, bangkai ayam, tepung darah,
dll.
Setelah pemanenan tahap pertama, ikan dibesarkan selama 4-6 bulan hingga ukuran
20-25 cm. Padat tebar pada tahap kedua adalah 6-10 ekor/m 2. Karena hewan ini memiliki
patil yang dapat digunakan untuk melompat dan memanjat, dinding kolam harus dirancang
tegak dan cukup tinggi. Bahan pakan yang diberikan adalah daging-dagingan dengan waktu
pemberian pagi dan sore hari secara merata keseluruh kolam. Untuk menekan biaya, pakan
bisa berasal dari limbah rumah makan atau bangkai hewan dari peternakan/rumah jagal. Pada
akhir tahap ini akan diperoleh lele siap panen dengan berat rata-rata sekitar 200 gram.

II.2.3Pakan dalam Budidaya Lele


Pada saat embrio lele berusia 1-3 hari, mereka mendapat makanan dari dalam yolk-
nya. Mulai hari keempat hingga dewasa mereka mulai mencari makanan dari alam. Untuk
keperluan budidaya pakan alami lele digantikan dengan ransum pakan buatan. Pakan buatan
yang berupa tepung diberikan mulai akhir minggu ketiga. Pakan berupa pellet apung mulai
dapat diberikan pada pekan keenam. (Anonim, 2007)
Makanan lele dalam pemeliharaan amat bervariasi, dari sisa-sisa limbah rumah tangga
dan tinja hingga pakan buatan yang terukur komposisinya. Pakan buatan dapat dijadikan
sebagai makanan tambahan atau sebagai makanan utama lele. Pada dasarnya komposisi
bahan pakan buatan ditekankan pada kecukupan asupan protein (terutama sumber hewani)
yang proporsinya minimal 25% dari keseluruhan bahan. Bahan yang digunakan dalam pakan
buatan diantaranya daging bekicot, tepung ikan, tepung darah, dedak, bekatul, ikan rucah
(sisa) dan lain-lain. Bahan ini dapat diberikan dalam bentuk campuran biasa atau diproses
menjadi pellet.
Pellet untuk ikan lele tergolong jenis pellet keras, yaitu pellet yang memiliki kadar air
amat rendah. Proses pembuatannya adalah bahan padat dicampurkan dengan mixer
berkecepatan tinggi lalu ditambahkan air 4-6% dalam bentuk uap. Cara ini akan memudahkan
proses penekanan dan ekstrusi, bersama panas yang timbul akan menyebabkan gelatinisasi.
Gelatinisasi akan menstabilkan dan mengikat air dalam komponen pakan. (Afrianto, 2005)

9
Bahan baku dari pellet untuk ikan lele yang dikeluarkan BAPPENAS (2008)
menyebutkan komposisi bahan baku pellet seperti disebutkan dalam tabel berikut:
Tabel II.3 Hubungan antara pH air dengan kehidupan ikan budidaya
Komposisi % berat
tepung ikan 27,00
bungkil kacang kedele 20,00
tepung terigu 10,50
bungkil kacang tanah 18,00
tepung kacang hijau 9,00
tepung darah 5,00
dedak 9,00
vitamin 1,00
mineral 0,50
Sumber: BAPPENAS, 2008

Disebutkan bahwa komponen terbesar dalam pelet untuk lele pada umumnya adalah
tepung ikan (27 % berat), kemudian disusul bungkil kacang kedele dan bungkil kacang tanah
(20 dan 18 % berat). Penggunaan tepung ikan berlebihan secara ekonomis kurang
menguntungkan mengingat harganya yang mahal karena sebagian masih mengandalkan
produk impor. Salah satu solusi yang dapat diberikan, adalah mengganti tepung ikan dengan
sumber protein hewani lain seperti ikan rucah/afkir (Anonim, 2010; wawancara langsung
dengan petani).

II.3 Pakan
Pakan ikan dapat diklasifikasikan menjadi pakan alami dan pakan buatan. Pakan
alami merupakan sumber pakan yang langsung diambil dari organisme hidup, tanpa
mengalami proses pengolahan lebih lanjut, contohnya plankton, bentos, larva serangga atau
hewan-hewan kecil lainnya. Pakan buatan merupakan pakan yang mengambil bahan dari
sumber nabati dan hewani yang diproses lebih lanjut, biasanya komposisi nutrisi pakan
buatan lebih terukur. Pakan buatan dapat berupa larutan, tepung halus, tepung kasar, remah,
pellet atau waver (Anonim, 2000).
Pakan buatan dapat lebih menguntungkan dari segi kualitas, karena adanya proses
pengolahan lebih lanjut dari bahan-bahan alaminya. Dalam pengolahan tersebut selain
terdapat pengaturan komposisi yang lebih baik, dapat pula dilakukan pengayaan nutrisi.
Dapat diambil contoh dalam rekayasa pakan ini adalah penambahan pigmen Astaxantin
(karoten) yang berkaitan dengan kualitas warna ikan saat dipanen sehingga mempengaruhi
nilai ekonomis ikan tersebut (Kurnia, 2006).

10
II.3.1 Pakan dan Nutrisi
Secara umum, ada lima patokan yang digunakan dalam pemilihan pakan, yaitu
kandungan gizi, ukuran pakan, water stability, penampakan permukaan dan aroma. Kelima
aspek tersebut dapat menjadi pertimbangan awal dalam memilih pakan yang optimal bagi
perkembangan ikan.
Pada dasarnya pakan ikan (seperti juga pakan ternak lainnya) harus memenuhi asupan
Karbohidrat, protein dan lemak yang seimbang. Kandungan ketiga unsur tersebut berkaitan
dengan Rasio Konversi Makanan (FCR, Food Conversion Ratio) yang menentukan tingkat
efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan ikan. Selain itu kandungan vitamin dan
nutrisi lainnya juga harus mencukupi agar hasil panen dapat optimal. Kedua hal ini akan
menentukan nilai ekonomis dari usaha budidaya ikan tersebut.
Urgensi dari FCR sendiri dapat dideskripsikan dengan suatu perbandingan keadaan
pemeliharaan saat komposisi dalam kondisi berimbang dan tidak berimbang. Jika kondisi
pakan lebih dari optimum, FCR meningkat dan penggunaan pakan tidak efisien. Efek negatif
lainnya adalah air kotor serta berpotensi toksik (dari sisa pakan), pertumbuhan
terhambat,sintasan rendah, penyakit timbul dengan cepat dan kualitas ikan yang dihasilkan
rendah. Sebaliknya jika rasio pakan kurang dari optimum, pertumbuhan lambat atau berhenti
sama sekali (nutrisi hanya cukup untuk mempertahankan kebutuhan tubuh), FCR naik dan
muncul kanibalisme (Anonim, 2007).

Tabel II.4 Kandungan Nutrisi beberapa bahan baku pakan ikan


Nutrisi Bahan Protein Lemak Air Abu
Tepung Kedelai 35,72 2,23 7,57 2,23
Tepung Jagung 6,30 3,99 9,01 3,99
Tepung Dedak 13,73 14,32 7,70 14,32
Tepung Ikan 53,71 4,24 14,95 7,09
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003

Tabel II.5 Kandungan Nutrisi dari berbagai Minyak Olahan


Nutrisi Bahan Protein Lemak Air Abu
Minyak Kelapa 1,16 11,51 0,89 2,49
Minyak Jagung 1,18 9,09 1,23 2,50
Minyak Kedelai 1,74 9,05 0,39 2,56
Minyak Sawit 0,35 17,28 0,22 1,84
Minyak Sayur 0,78 8,56 0,62 2,46
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003

11
II.3.2 Uji Kimiawi Pakan
Untuk mengetahui komposisi susunan kimia dan kegunaannya suatu bahan pakan
dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dan Weende
Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan
menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Adapun komponen dari uji proksimat
adalah sebagai berikut:
1. Bahan kering
Jumlah bahan kering adalah jumlah padatan yang tersisa setelah kandungan air
dalam sampel diuapkan. Caranya adalah dengan memanaskan bahan pakan 1050 C selama
beberapa jam sehingga semua air yang ada menguap. Kondisi ini disebut juga kering
mutlak, kering oven, kering mutlak atau dry matter. Hijauan pakan segar berkadar air
sangat tinggi dikeringkan pada suhu 5500 C sampai beratnya tetap disebut juga berat
kering atau dry weight. Bahan pakan yang dikeringkan tanpa proses pemanasan disebut
kering angin. Bahan pakan konsentrat pada umumnya berada pada kondisi ini dan sering
disebut kondisi as fed (keadaan apa adanya).
2. Abu
Abu atau mineral diperoleh dengan jalan membakar sempurna bahan pakan pada
temperatur 5500 C sampai semua bahan oganik terbakar. 
3. Ekstrak ether (EE)
Semua bahan organik yang larut dalam pelarut lemak termasuk lipida dan zat yang
tidak berlemak. Dengan demikian bukan gambaran lemak yang sebenarnya (gliserol dan 3
asam lemak). 
4. Serat kasar (SK)
Serat kasar (SK) : adalah bahan organik yang tahan terhadap hidrolisis asam dan
basa lemah.
5. Protein kasar (PK)
Protein kasar diperoleh dan hasil penetapan N X 6,25 (protein rata-rata mengandung
N 16 %). Energi protein 5,50 kcal/g, bila digunakan sebagai energi 1,25 kcal/g keluar
sebagai urea dan setiap unit protein, tinggal 4,25 kcal/g. Oleh karena protein tidak tercerna
dengan sempurna, nilai energi berkurang 0,25 kcal/g jadi tinggal 4 kcal/g.
6. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)

12
Ektrak tanpa nitrogen diperoleh dengan jalan sbb: 100 - (5K + FE + PK + Abu).
Ekstrak tanpa nitrogen terdiri dan karbohidrat yang mudah larut terutama pati yang
kecernaannya tinggi. Energi yang dihasilkan sekitar 3,75-4,75 kcal/g. Rata-rata
karbohidrat mengandung energi 4 kcal/g.

Berdasarkan hasil analisis proksimat (analisis Weende) diperoleh nutrien yang


terbagi dalam 7 komponen, yaitu zat organik (karbohidrat, lemak, protein, vitamin) dan zat
anorganik (air, udara/gas, mineral). Selain analisis proksimat yang dikembangkan
Weende, dapat pula dilakukan pemisahan komponen bahan pakan menggunakan pelarut
detergent yang dikembangkan oleh Van Soest dan More (Utomo, 2004). Mereka
menemukan ternyata ada korelasi antara kecernaan in vivo dengan isi sel (Cell contents =
neutral detergent solubies = NDS dinding sel (Cell walls = neutral detergent insoluble
fiber = NDF). Hasil analisis Weende bahan pakan dapat dibuat secara skematis
sebagaimana tertera pada tabel II.6.

Tabel II.6 Hasil analisis Weende terhadap bahan pakan


Fraksi Komponen
Air Air dan asam-asam yang menguap serta basa-basa, jika ada
Abu Mineral esensial dan Mineral non esensial
Protein kasar Protein, asam amino, amine, nitrat, vitamin B, asam nukleat
Ekstrak ether Lemak, minyak, lilin, organic, pigmen, sterol, vitamin A,D,E,
dan K
Serat kasar Selulosa, hemiselulosa, lignin
Ekstrak tanpa N Selulosa, hemiselulosa, lignin, pati, gula fruktan, pektin, asam
organik, resin, tanin, pigmen, vitamin yang larut dalam air.
  Sumber: Fakultas Peternakan UGM, 2009; Materi Kuliah Pakan

II.4Herba

II.4.1 Hedyotis corymbosa (L.) Lam.


Tumbuhan ini memiliki sebutan lokal rumput mutiara. Tumbuhan ini telah lama
dikenal di daratan Cina dengan sebutan baihuasheshecao (kadang ditulis Bai Hua She She
Cao 白 花 蛇 舌 草 ) yang berarti obat untuk gigitan ular karena khasiatnya (Dharmananda,
2004). Hasil riset modern seputar Hedyotis corymbosa menemukan bahwa Hedyotis
corymbosa dapat mengaktivasi sistem reticuloendothelia dan meningkatkan fagositosis oleh
limfosit. Menurut Complementary and Alternative Healing University, tumbuhan ini
diketahui memiliki fungsi medis sebagai anti-bakteria, anti-peradangan, anti-tumor, anti-virus

13
dan meningkatkan kekebalan imun tubuh. Dalam konsentrasi tinggi, Hedyotis corymbosa
diketahui menghambat limfositik akut dan leukimia granulositik akut. Berfungsi efektif
dalam penyembuhan radang usus buntu (Appendicitis), penawar gigitan ular dan menghambat
produksi sperma (Anonim, 2009; www.alternativehealing.org).
Dalam Indian Medicinal Plants (Khare, 2007) disebutkan beberapa khasiat lain dalam
pengobatan tradisional India, diantaranya membersihkan darah, meningkatkan kerja sistem
pencernaan dan menstimulasi kerja liver. Disebutkan pula tentang adanya kandungan
beberapa macam senyawa asam fumarat, kafein serta Iridoidoglukosida, ekstrak cairnya
mengandung ramnosa, arabinosa, silosa, manosa, galaktosa dan glukosa. Selain itu,
dilaporkan bahwa di Cina herba ini digunakan dalam pengobatan beberapa tumor karena
memiliki aktivitas potensiasi imun.
Taksonomi dari Hedyotis corymbosa (L.) Lam. adalah:
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Asteridae

Sub-order : Rubiales

Family : Rubiaceae

Genus : Hedyothis atau Oldenlandia

Species : Hedyotis corymbosa (L.) Lam.

Sumber: USDA, 2009; http://plants.usda.gov

II.4.2 Azadirachta indica A. Juss.


Herba yang memiliki nama lokal nimba ini diketahui berasal dari Burma (Khare,
2007), dan Semenanjung India (Singh, 2007). Memiliki nama sinonim Melia azadirachta dan
banyak sebutan lokal di semenanjung India dan Asia Tenggara. Memiliki beberapa khasiat,
diantaranya sebagai anti mikroba, anti fungi, anthelmintic, insektisida, anti virus, anti piretik,
anti malaria, anti periodik, larvasida nyamuk, anti peradangan, anti fertilitas, spermisida,
hipoglikemis. Tumbuhan ini digunakan pada peradangan di daerah mulut, gingivitis,
periodonitis, pembesarang ginjal, malaria, demam saat melahirkan, dan cacar air. Minyak

14
yang diekstrak dari nimba digunakan sebagai kontrasepsi intravagina, pengobatan terhadap
infeksi vagina, dan pengusir nyamuk.
Senyawa tetranortriterpenoid dari nimba telah diuji secara intensif memiliki khasiat
antibiotik. Ekstrak metanolat dari batangnya menunjukkan khasiat anti malaria melawan
Plasmodium falciparum. Ekstrak cair dari daun menunjukkan khasiat menghentikan
penanahan dan aktivitas peradangan. Bagian dari ekstrak alkoholik yang terlarut air
menurunkan kadar gula darah dan adrenalin yang menginduksi hiperglikemia pada tikus.
Fraksi volatil dari minyak nimba memiliki fungsi spermisida pada manusia pada dosis diatas
25 mg/ml serta memperlambat persebaran HIV. Tumbuhan ini beracun dalam dosis tinggi.
(Khare, 2007)
Taksonomi dari Azadirachta indica A. Juss. adalah:
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Rosidae

Sub-order : Sapindales

Family : Meliaceae

Genus : Azadirachta

Species : Azadirachta indica A. Juss.

II.4.3 Colocasia esculenta (L.) Schott


Tumbuhan dengan nama lokal talas ini memiliki sinonim Colocasia antiquorum
Schott dan dikenal secara umum dengan nama internasional Taro. Termasuk jenis talas-
talasan (Araceae) dan herba menahun yang tersebar secara luas di Asia Tenggara, Cina,
Jepang dan Kepulauan Pasifik. Akarnya yang berbentuk silinder atau bulat diketahui
mengandung Asam Perusi (asam biru atau HCN) namun menjadi makanan yang umum
didaerah persebarannya. Karakteristik khas lainnya adalah daun berbentuk perisai atau hati
dengan tangkai mencapai 1 meter. (Prihatman, 2000)
Umbinya diketahui memiliki khasiat sebagai obat berak darah, dan kulit tangkai
daunnya yang mengandung polifenol sebagai pembalut luka baru (Anonim, 2008). Daun talas

15
mengandung senyawa flavon, epigenin dan luteolin serta antosianin. Daun dapat
menyebabkan iritasi mulut, namun setelah direbus menjadi suplemen makanan berserat yang
baik membantu menurunkan gula darah bagi penderita diabetes. Ditemukan adanya
pertambahan lemak, kolesterol dan kadar trigliserida pada mencit yang diberikan ekstrak
kering daun talas. Sari perasan dari petiola berfungsi sebagai astringen dan styptic. Dari riset
juga berhasil diisolasi dua jenis dihidroksisterol, selain juga beta-sitosterol, dan stigmasterol
serta senyawa penghambat trypsin dari umbi. Lima senyawa alifatik baru juga ditemukan.
(Khare, 2007)
Taksonomi dari Colocasia esculenta (L.) Schott adalah:
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Order : Arales

Family : Araceae

Genus : Colocasia

Species : Colocasia esculenta (L.) Schott

II.5Fermentasi Pakan

II.5.1 Fermentasi
Fermentasi adalah “proses dekomposisi senyawa organik yang berjalan lambat yang
di gerakkan oleh mikroorganisme atau komplek senyawa nitrogen (enzim) dari hewan atau
tumbuhan” (Walker, 1988). Istilah fermentasi sendiri berasal dari bahasa latin Fervere yang
berarti mendidihkan. Istilah ini awalnya hanya digunakan pada proses perubahan gula
menjadi alkohol secara anaerob. Definisi fermentasi kemudian meluas menjadi semua proses
yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan produk metabolit primer dan sekunder
dalam lingkungan yang dikendalikan.
Fermentasi merupakan proses yang terjadi melakui kerja mikroorganisme atau enzim
untuk mengubah bahan-bahan komplek seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi
molekul yang lebih sederhana (Amri, 2007). Prinsipnya, fermentasi dapat mengaktifkan
pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang dibutuhkan sehingga membentuk produk yang

16
berbeda dengan bahan bakunya. Pengaruh positifnya antara lain meningkatkan nilai gizi,
membuat nutrisi mudah dicerna,dan munculnya aroma serta rasa yang khas (Amri, 2007).
Dalam konteks pakan ternak, teknologi fermentasi terutama ditujukan untuk
meningkatkan daya cerna terhadap nutrisi-nutrisi tertentu dengan harapan meningkatkan rasio
konversi pakan. Oleh karena itu metode fermentasi dan penggunaan mikroba disesuaikan
dengan kandungan nutrisi yang diharapkan bertambah atau tereduksi. Untuk pakan ternak,
aplikasi fermentasi terutama difokuskan pada 3 komponen nutrisi utama yaitu Protein,
Karbohidrat dan Lemak.

II.5.2 Perkembangan Teknologi Fermentasi Pakan di Indonesia


Pengolahan pakan buatan dengan teknologi fermentasi telah banyak diterapkan dalam
peternakan secara umum. Tujuan dan pemanfaatnya pun beragam, namun pada umumnya
masih berkaitan dengan rekayasa komposisi nutrisi dari pakan tersebut. Dengan bantuan
mikroba tertentu, ada beberapa komponen dari pakan tersebut yang bertambah atau tereduksi
sehingga proses pemeliharaan/budidaya lebih optimal.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Sujono, dosen Fakultas Peternakan Universitas
Muhammadiyah Malang (Fapet UMM), menghasilkan solusi untuk menurunkan kadar
kolesterol dari produk ayam pedaging dan petelur dengan mengkonversi kadungan asam
lemak jenuh dalam pakan menjadi asam lemak tak jenuh. Proses tersebut dilakukan dengan
mengandalkan fermentasi pada bekatul yang merupakan komponen utama pakan (10-15%),
dengan menggunakan Rhizopus oligosporus dan Aspergillus niger dalam kondisi anaerob.
Bekatul fermentasi kemudian ditambahkan dengan jagung, tepung ikan, vitamin, polar dan
bahan lainnya. Penelitian ini selain terbukti menurunkan kadar kolesterol daging dan telur,
juga meningkatkan kadar DHA dan Omega 3 dalam pakan ternak (Yusniar, 2007).
Salah satu penelitian tentang pakan ikan dilakukan oleh Amri (2007) menggunakan
Rhizopus oligosporus pada bungkil inti sawit untuk pembuatan pakan ikan mas. Penelitian
yang dilakukan pada tahun 2004 ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas bungkil inti sawit
(BIS) sebagai alternatif pengganti untuk beberapa bahan baku pakan seperti jagung atau
bungkil kedelai yang masih harus diimpor. BIS sendiri potensial karena kandungan protein
kasarnya yang tinggi, hingga mencapai 15,43%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum meningkat seiring
penambahan BIS terfermentasi hingga kadar 18%, diatas angka tersebut konsumsi menurun
karena kadar serat kasar yang semakin tinggi. Ditemukan pula adanya peningkatan rataan
berat ikan, serta menghasilkan Income Over Feed Cost tertinggi yaitu mencapai Rp. 558,93.

17
Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang diperoleh dari pengurangan biaya produksi
untuk pakan.

II.5.3 Saccharomyces cerevisiae


Saccharomyces cerevisiae merupakan ragi uniseluler yang dianggap sebagai salah
satu jenis ragi paling penting dalam peradaban manusia. Sejak dahulu, ragi ini telah dikenal
karena berperan dalam proses pembuatan minuman beralkohol dan roti. Umumnya S.
cerevisiae ditemukan pada permukaan buah-buahan, nektar bunga, dan dalam cairan yang
mengandung gula (Prescott & Dunn, 1959).
Secara umum ukuran sel Saccharomyces cerevisiae 3-10 x 4-30 µm dengan bentuk
bulat atau oval. Reproduksi vegetatif Saccharomyces cerevisiae dilakukan dengan pertunasan
multilateral. Kondisi fisika-kimia lingkungan yang dibutuhkan ragi ini yaitu pH optimum 4-5,
temperatur optimum 30 0C, dengan minimum 9-11 0C dan maksimum 35-37 0C, serta
kebutuhan akan oksigen terutama pada awal pertumbuhan (Prescott & Dunn, 1959).
Taksonomi dari Saccharomyces cerevisiae adalah:
Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Order : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Saccharomyces

Species : S. Cerevisiae Meyen ex E.C. Hansen


Sumber: Wikipedia

18

You might also like