You are on page 1of 55

Daftar skripsi Jurusan Tafsir Hadis

Mulai tahun 2005 – 2009 (wisuda angkatan ke 46 – 55)

No Periode Nama NIM Judul Skripsi


Wisuda
01 Ke 46 (april Dina 4199114 Term Ghoib dalam a-lQur’an
2005) Purnamasari
02 Silvia 4100078 Pembatalan perjanjian damai (studi kritis penafsiran sayyid utb ata
Manunggal attaubah ayat 1-4)
Dewi
03 Nina Agustina 4100024 Makanan yang diharamkan dalam al-Qur’an (studi komperatif tafsi
Jadhash dan tafsir al-qur’an)
04 Imam Mashadi 4199007 Ya’juj Ma’juj (Studi perbandingan atas penafsiran klasik dan moder

05 Maryanto 4199007 Etika Hutang Piutang dalam perspektif hadis nabi (studi tematik ha

06 Ahmad Fauzi 4199090 Persepsi Imam syafi’I tentang khabar wahid dan amal ahlu al-madi

07 Nurul Hidayah 4199145 Makna Kata Mushibah dalam al-Qur’an


08 Samsul 4199082 Takrif dalam al-Qur’an menurut pandangan mufassir (studi kompar
Mu’arifin antara tafsir sunni dan tafsir syi’i)
09 I’anah 4101128 Etika social dalam al-Qur’an surat a-Hujurat (Kajian tafsir kontekstu
Mardliyah
10 Rini Ismayanti 4199143 Mahar dalam perspektif para Mufassir
(studi komparatif antara syi’I dan sunni)
11 Ke 47 Nur Patoni 4199029 Konsep Fitnah tentang Kubur, Dajjal, kaya dan miskin dalam Hadits
(oktober
2005)
12 Retno Endah 4199069 Taubat dalam al-Qur’an (studi tematik)
Puryani
13 Siti 4199132 Mengurus anak Yatim dalam perspektif al-Qur’an
Kurnianingsih
14 Istianik 4100151 Ziarah Kubur dalam Perspektif Hadis

15 Siti Noor Ulfa 3199070 Penafsiran Tholut menurut musthofa al-Maraghi dan Prof. Hamka (
komparatif)
16 Umi Faridah 4100005 Yaum al-Hisab dalam tafsir Jami’ al-Bayan dan Tafsir al-Mizan (Stud
Komparatif)
17 Nanang 4100149 A critique of Dr. Muhibbin’s book by the title “Kritik atas keshahiha
Nurcholish Imam Bukhori (studi kritik atas kitab al-jami al-shahih)”
18 Muhammad 4199002 Dimensi mistik dalam al-Qur’an (studi hubungan manusia dengan T
Syukron
19 Sumarsih 4100004 Studi tentang metode penafsiran Muhammad Shahrur terhadap al
(Studi atas penafsiran ayat-ayat Poligami)
20 Sa’dah Zidni 4199033 Pemeliharaan anak Yatim dalam persektif Hadis Nabi (Studi kritik H
Elma
21 M. Sihabuddin 4100105 Muhammad Abduh wa tijahu al-fiqhiyah fi tafsir al-manar

22 Samsyiyatun 4100124 Kota-kota terkenal dalam al-Qur’an (Tinjauan sosisio cultural)


ma’rifah
23 Anis 4100148 Pemberdayaan masyarakat lemah (dhu’afa) dalam al-Qur’an
Mu’awanah
24 Ke- 48 Eni Puji Roini 4100147 Ibadah malam hari menurut al-Qur’an
(periode
April 2006)
25 Susi Ekawati 4101022 Studi kritis hadis tentang keutamaan sholawat dalam kitab Durratu

26 Mas’udah 4101146 Keistimewaan hari jum’at dalam perspektif Hadits (studi tematik)

27 Marhendro 4109906 Penggunaan tern Jauz imro’ah dan nisa’ dalam al-Qur’an

28 Muhammad 4100141 Hadis-hadis tentang anjuran Nikah (studi tahrij)


Jamali
29 Zakiyatu 4100027 Studi kritis hadis tentang keutamaan sholat perempuan di rumah
mubarokah
30 Abdul latif 4100094 Pengaruh paham theology dalam syarah Ibnu Hajar (studi kitab Fat
syarah shohih Bukhori)
31 Mulyani 4199005 Analisis semantik tentang azab dalam al-Qur’an

32 Irma suryani 4101020 Sakarotul mauta dalam perspektif al-qur’an dan hadits

33 Muawanah 4199142 Fitnah dalam al-Qur’an (studi tematik)


34 Siti masruroh 4199055 Al-Wail dalam al-Qur’an (studi tafsir maudhu’i)
35 Imron Jamil 4101009 Etika dalam Hadis (telaah terhadap etika senggama dalam kitan Qu
al-‘Uyyun)
36 Retno endah 4199069 Taubat dalam al-Qur’an (studi tematik)
Puryani
37 Kholifah 4198080 Pembacaan al-Qur’an (telaah terhadap qiro’ah, tilawah dan tartil)
38 Ke- 49 Ali Mas’adi 4101084 Annahyu an atshwir fi ahadis al-Nubuwiyah (aldirasah al-Hermeuni
(periode
september
2006)
39 Tri Nurhidayah 410012 Aktifitas perempuan berkabung dalam tinjauan hadis-hadis (studi m
Hadis)
40 Wahyu Ujianto 4102109 Pornografi dan pornoaksi menurut al-Qur’an

41 Salmah 4199068 Hanif dalam al-Qur’an (studi komparatif tafsir klasik dan modern)
42 Jarwono 4199030 Pandangan al-Qur’an terhadap anak angkat
43 Muh ali Ridho 4199080 Etika bertetangga dalam perspektif al_qur’an dan al-Hadits

44 Mufida ayu 4199051 Konsep sombong dalam al-Qur’an


maruti
45 Rusmadi 4101182 Tafsir Kontekstual (studi terapan hermenetika double movement F
Rahman terhadap ayat-ayat kisah kaum Nabi Luth AS dalam al-Qur
46 Wistianah 4199153 Al_Farj dalam al-Qur’an (studi tematik)
47 Enny Puji 4102138 Sunnatullah menurut Muhammad Quraish shihab dalam tafsir al-M
Astuti
48 Kafin 4100081 Fir’aun dalam perspektif al-Qur’an (studi tematik dan pendekatan h
47 Masrur Huda 4199094 Sifat amarah manusia dalam al-Qur’an (telaah sifat Ghadb, Ghaiz, s
48 Mr. Marope 4100052 Konsep Jihad dlam hadits Nabi (studi Kritis Hadis yang diriwayat ole
Maruwee al-Bukhori tentang Jihad)
49 Ke : 50 Khoirunisah 4100122 Kejiziman Allah SWT dalam al-Qur’an (studi penggunaan majaz dal
(periode Qur’an)
Maret 2007)
50 Mr. Yalee 4102026 Metode dan corak tafsir Nur al-Ihsan (Muhammad said bin Umar)
Mahamah
51 Naiev 4101127 Tindak kekerasan terhadap ulul azmi dalam al-Qur’an (studi temati
Zulkanaeen
Hassan
52 Muhammad 4100082 Metode corak tafsir Taj al-Muslimin min Kalaami Robbi al-Alamin k
Rifai Mishbah Zainal Mushthofa
53 Rina Marini 4101050 Perspektif al-Qur’an tentang al-zynah (studi tafsir tematik)
54 Siti maesaroh 4101111 Studi kualitas hadis tentang anjuran dan larangan yang berkaitan d
ibadah hari jum’at
55 Khoirunnisa 4100136 Waktu dalam perspektif al-Qur’an

56 Suliyah 4102007 Makna dan upaya meraih hidayah menurut M. Quraish shihab dala
al-mishbah
57 Ali saifuddin 4102076 Metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut ibnu Qutaiba
kitab ta’wil mukhtalif)
58 Ngatiwi 4101065 Al-Qur’an dalam menyelesaikan konflik rumah tangga (telaah atas
dan nusyuz dalam surat an-Nisa ayat 34, 35 dan 128)
59 Macmunah 4100143 Homo seks dalam al-Qur’an (telaah kritis penafsiran quraish shihab
tafsir al-Mishbah)
60 Ainul Barokah 4101155 Perkembangan kepribadian anak (studi terhadap anak ibu pekerja
desa wanarejo kec. Guntur demak )
61 Sofiatun 4102002 Pencapaian ilmu dalam perpekstif al-Qur’an

62 Nurul isna 4101031 Konsep qishosh dalam al-Qur’an (studi tematik dengan pendekatan
luthfiah sosiologis)
63 Suparmi 4101064 Rahasia di balik empat bulan yang dimuliakan Allah dalam tafsir al-
64 Hasibah 4100102 Bersolek dalam perspektif al-Qur’an
65 Ke: 51 Ulil af’idah 4102013 Telaah atas model pujian terhadap hamba-hamba allah pilihan (ter
(periode allahu alaihi wasallam (SAW), alaihi salam (AS), Radhiya allahu anh
agustus
2007)
66 Masruroh 4100011 Telaah atas hadits tentang Rukhsoh pelaksanaan sholat Id pada har
67 Abdul Wahid 4101101 Waktu sholat menurut syi’ah itsna asy’ariyah (telaah Kitab Tafsir al-
karya imam Muhammad Jawad Mughniyyah)
68 Nur wachid 4102089 Relasi manusia dan hewan dalam al-Qur’an (studi analisa tentang
hubungan rasul dan hewan)
69 Latifah 4102011 Penafsiran surat ar-Rahman analisis terhadap pengulangan ayat da
choerun nisa Ar-Rahman
70 Ahmad soim 4101024 Konsep Tabzir menurut al-Qur’an
71 Bunarti 4102018 Mu’jizat Nabi Musa AS dalam al-Qur’an
72 Jamal ainur 4102101 Misteri angka dan huruf dalam al-Qur’an (studi kajian tafsir Isyari m
rosyad al-ghozali dan al-Buni)
73 Akif fatwal 4100140 Signifikansi studi Hadis Mudraj
amin
74 Eny azizah 4101035 Dajjal dalam pemikiran Ibnu Hajjar al-Asqolani (studi kitab Fath al-B
syarh shahih al-Bukhari)
75 Alsuni 4102085 Konsep tabayyun dalam al-Qur’an

76 Ke : 52 Haning 4102001 Makna kata fasad dalam al-Qur’an (studi tematik)


(periode sulihtyani
Pebruari
2008)
77 Syaiful 4103007 Koreksi atas dakwah Nabi Muhammad SAW terhadap surat ‘abasa
amarudin (studi penafsirah Quraaish shihab dalam tafsir al-Mishbah)
78 Ainul Fuad 4103075 Kritik atas pemikiran Hadits Muhammad al-Ghozali (telaah kitab al-
al-Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits)
79 Siti muftikatul 4102021 Isti’dzan bertamu dalam as-sunnah
Karimah
80 Oko haryono 4102063 Hijamah (bekam) menurut Hadits Nabi SAW (studi tematik Hadis)

81 Futihatul aini 4103069 Ayat al-Qur’an sebagai mahar dalam pernikahan (studi ma’ani al-Ha

82 Khoirun 4103031 Malaikat dalam perspektif al-Qur’an (studi komparatif penafsiran


Nasihin Muhammad husein thabathaba’I dalam Tafsir al-Mizan dan Fakhr a
dalam Tafsir Mafatihu al-Ghoib)
83 Syaean Fariyah 4103026 Penafsiran Muhammad Quraish shihab terhadap ayat-ayat tentang
penciptaan alam semesta
84 Rofi’uddin 4103095 Kekekalan akhirat dalam al-Qur’an (studi tematik dengan pendekat
teologis filosofis)
85 Ke : 53 Mitrasari 4102052 Hadits tengtang berwudhu dalam melaksanakan aktifitas di luar sh
(periode Hidayati
Agustus
2008)
86 Zaenal 4102119 Ad’afan Mudha’afan dalam riba
Muttaqin
87 Agus Fitriyani 4103016 Dimensi Rasional pemahaman Muhammad Al-Gazali terhadap ked
perempuan dalam kehidupan social (studi kitab sunnah al-Nabawiy
ahl-fiqh wa ahl al-Hadits)
88 Nurul Umam 4102096 Kehidupan dunia perspektif al-Qur’an (Studi tafsir Maudhu’i)

89 Tri Haryono 4103082 Telaah penafsiran kata al-Maghdubi ‘alaihim dan al-dholin dalam su
fatihah ayat 7 menurut para mufassir
90 Ke : 54 Muksin 4103078 Pemahaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terhadap ayat-
(Periode Qur’an dan Hadits (Studi analisis Surat ali-Imran ayat 103 dan 104 s
Februari tentang al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu an Munkar dan Hadits te
2009) kesatuan ummat)
91 Kholil Amin 4103073 Kesaksian Jiwa (ruh) menurut al-Qur’an (analisis surah al-‘Araf ayat

92 Muhammad 4104017 Global Warming in The Qur’an : Thematic studies of the Qur’anic v
Ali Musthafa with Muhammad Shahrour Hermeneutic Approach)
Kamal
93 Ahmad Syarofi 4103061 Penafsiran Surat al-Fatihah dalam tafsir al-iklil dan Taj al-Muslimin
Misbah Mushtofa
94 Winarto 4104021 Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang keadilan dala
Qur’an
95 Makhrus 4103083 Berpikir dengan “jantung” (Studi terhadap relasi al-Aql dan Qalb da
Qur’an)
96 Sujatno 4104044 Kiprah Muhammad Quraish Shihab dalam membumikan al-Qur’an
Indonesia
97 Nur Hidayah 4102077 Penafsiran ayat-ayat sumph Allah dalam al-Qur’an (Studi kitab al-Ta
Bayani lil Qur’an al-Karim karya A’isyah al-Syathi’, tafsir Ibnu Katsir
Kitab Jami’ul Bayan an Ta’wiliyil Qur’an karya at-Tabari)
98 Dian Aristianto 4103066 Studi kritis terhadap hadits nabi tentang Talqin Mayyit dengan mem
Tahlil dan Yasin
99 Ke : 55 Fuad Saeful 024211062 Pola hidup hemat dalam al-Qur’an
(Periode Juli Anwar
2009)
100 Rokhmad 024211024 Jahiliyah dalam al-Qur’an (Studi tematis)

101 Mohammad 044211084 Studi Kritis konsep Makky dan Madany dalam pemikiran Nashr Ham
Ubaidillah Zayd
Mubarok
102 Ismawati 024211070 Kebahagiaan dunia dan akhirat dalam al-Qur’an (Studi komparatif t
Juwita Qur’an ayat 201 menurut tafsir al-Maraghy dan tafsir al-Azhar)
103 Ahmad 034211087 Pancasila dengan al-Qur’an menurut mufassir Indonesia
Suharno
104 Safie 024211094 Cinta dalam perspektif al-Qur’an (Studi tematik ayat-ayat Cinta)

105 Budiono 044211055 Konsep Bidadari dalam al-Qur’an (Tinjauan Tafsir Tematik)

106 Rizki 044211041 Nilai Hadits Nabi tentang larangan senda gurau
Amaluddin
107 Chizanatul 024211037 I’tikaf wanita dalam perspektif Hadits
Hikmah
108 Arif Rahman 034211086 Penafsiran Sayyid Qutub tentang ayat-ayat siyasah dalam tafsir fi D
Hakim Qur’an
Konsep Ummi dalam Al-qur'an

Kategori : Pendidikan | Oleh: Fitriliza, MA | Tgl posting: 24/07/2007 | Jumlah komentar: 0

KONSEP UMMI DALAM AL-QUR’AN

(Sebuah telaah Tematis)

Oleh: Fitriliza

Abstrak:

Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi yang ummi. Ke-ummi-annya ini membuktikan bahwa al-Qur’an
adalah otentik dari Allah SWT. Tetapi kata ummi ini tidak selalu berarti yang tidak dapat membaca dan
menulis (buta huruf). Dari sisi bahasa, kata ummi ini mempunyai banyak arti. Hal ini dapat kita lihat
ketika Allah mengungkapkan kata ummi dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, kata ummi ini tidak hanya
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW saja, tetapi juga kepada masyarakat Arab, dan kaum Yahudi.

Banyak ahli tafsir yang mengartikan ummi dengan buta huruf, tetapi beberapa ahli tafsir lainnya
berpendapat bahwa ummi bukan berarti buta huruf, melainkan diartikan sebagai orang yang tidak
mendapat al-kitab, dan orang yang tidak cakap menulis. Secara historis, masyarakat Arab pada masa
awal Islam adalah masyarakat yang sudah mengenal baca tulis. Maka jika kata ummi diartikan sebagai
orang yang buta huruf, ini bertentangan dengan realitas sejarah. Demikian sebagian ahli tafsir
berpendapat.
Pendahuluan

Perbincangan mengenai konsep ummi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam
pengkajian Islam. Konsep itu telah menjadi salah satu wacana intelektual semenjak ulama salaf.
Meskipun demikian, kajian tentangnya masih tetap merupakan tema yang menarik sampai sekarang.
Maka, tidaklah heran kalau kajian tentangnya tidak saja dilakukan oleh ulama Islam, tetapi juga oleh
kalangan orientalis.[1]

Persoalan ummi menjadi lebih menarik ketika dikaitkan dengan nabi Muhammad SAW. Pada salah satu
ayatnya, al-Qur’an mensifatinya dengan al-naby al-ummy. Para ulama umumnya menafsirkannya dengan
“yang tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf)”. Dengan demikian, Nabi yang ummi berarti Nabi
yang buta huruf. Penafsiran yang dianggap masyhur itu tentu saja menarik untuk dikaji ulang. Apakah
penafsiran itu ditopang oleh bukti-bukti historis? Atau, apakah semua ulama tafsir mempunyai
pandangan seperti itu? Bagaimanakah al-Qur’an menjelaskan kata itu sendiri?

Tinjauan bibliografis menunjukkan adanya dua pendapat yang menjawab persoalan ini. Pendapat
pertama, yang dikatakan al-Farmawy sebagai pendapat yang mashur, mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ummi dalam semua konteks, baik berkaitan dengan Nabi, masyarakat Arab, maupun Yahudi,
adalah buta huruf. Pendapat kedua, seperti yang dikemukakan oleh Nasiruddin al-Ajad, membantah
pendapat pertama di atas. [2]

Tentu saja kedua pendapat di atas memiliki relativitas kebenaran masing-masing karena didukung pula
oleh argumentasi masing-masing. Mana di antara kedua pendapat itu yang mendekati penjelasan al-
Qur’an?

Pembahasan
A. Ummi dalam al-Qur’an di Mata Para Mufassir: Definisinya

Dalam al-Qur’an kata ummi beserta turunannya diulang dalam al-Qur’an sebanyak enam kali. Dua dalam
bentuk tunggal, yaitu pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158 (keduanya diturunkan di Mekah):

‫الذين يتبعون الرسول النبى األمى الذى يجدونه مكتوبا عندهم فى التوريةواإلنجيل يأمرهم بالمعروف وينهيهم عن المنكر‬
)158( ‫األم ّىالذى يؤمن بالله وكلميته واتبعوه لعلكم تهتدون‬
ّ ‫) …فأمنوا بالله ورسوله النبى‬157( .…

Empat lainnya dalam bentuk jamak, yaitu pada surat al-Baqarah ayat 78, surat Ali Imran ayat 20
dan 75, serta surat al-Jumu’ah ayat 2 (keempatnya diturunkan di Madinah) di bawah ini:

)78: ‫ومنهم أميون ال يعلمون الكتب إالّ أمانىّ وإن هم إالّ يظنون (البقرة‬

…)20: ‫وقل للذين أوتوا الكتاب واألميين أأسلمتم …(ال عمران‬

…)75: ‫ذلك بأنهم قالوا ليس علينا فى األميين سبيل … (ال عمران‬

‫هو الذى بعث فى األميين رسوال منهم يتلو عليهم ايته ويزكيهم ويعلمهم الكتب والحكمة وإن كانوا من قبل لفى ضالل مبين‬
)2 : ‫(الجمعة‬

Menurut para mufassir, bentuk tunggal ummi ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW[3]
dengan diperkuat oleh sabda Nabi sendiri:[4]

‫إنا أمية ال نكتب وال نحسب‬

Adapun dalam bentuk jamak yang terdapat pada surat Ali imran ayat 20 dan 75 dan surat al-
Jumu’ah ayat 2 ditujukan kepada masyarakat Arab[5], sedangkan bentuk jamak yang terdapat
pada surat al-Baqarah ayat 78 ditujukan kepada sekelompok Yahudi.[6] Dengan demikian,
dalam konteks al-Qur’an, kata ummi ditujukan kepada tiga obyek di atas.

Sebagaimana disebutkan di muka, para mufassir tidak sepakat dalam menjelaskan kata ummi.
Di antara mereka ada yang mendefinisikannya sebagai buta huruf seperti dikemukakan oleh
Rasyid Ridha[7] dan al-Thabathaba’i.[8] Pendapat mereka diperkuat oleh penulis kamus
berbahasa Arab seperti Lisan al-‘Arab yang disusun oleh Muhammad ibn Manzhur. [9]

Meskipun demikian, kata ummi dalam literatur tafsir tidak hanya memilki satu arti di atas. Ada
beberapa riwayat yang mendefinisikannya secara berlainan. Al-Qasimi umpamanya,
menafsirkan kata ummiyyin pada surat Ali Imran ayat 20 sebagai “kelompok yang tidak memiliki
kitab suci” (la kitaaba lahum). [10] Definisi-definisi lainnya dikemukakan oleh al-Thabari. Ia
mengutip pendapat Ibrahim (dari Mansyur, dari Sufyan, dari Ibn Mubarak, dari Suwaid bin
Nashr, dari al-Mutsanna) yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ummi adalah “orang
yang tidak cakap menulis” (‫)من اليحسن أن يكتب‬. [11] Ibnu Zaid mendefinisikannya sebagai “orang
yang tidak membaca al-kitab”. Ada riwayat lain berasal dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan
bahwa maksud kata ummi dalam al-Qur’an yang berbentuk jamak adalah “sekelompok orang
yang tidak membenarkan utusan Allah dan kitab yang dibawanya”.[12] Al-Thabari sendiri,
dengan mengutip pendapat al-Nakha’i, menjelaskan ummi dengan “orang yang tidak cakap
menulis”.

Dari jajak pendapat ahli tafsir di atas, kata ummi dalam al-Qur’an setidak-tidaknya mempunyai
lima pengertian, yaitu:

1. Tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf)

2. Tidak memiliki kitab suci.

3. Mengingkari kebenaran Rasul dan kitab yang dibawanya.

4. Tidak membaca al-kitab


5. Tidak cakap menulis.

B. Ke-ummi-an Yahudi dan Masyarakat Arab

Mana di antara kelima pengertian di atas yang menurut al-Qur’an sendiri cocok untuk
menjelaskan ke-ummi-an sekelompok Yahudi dan masyarakat Arab? Sebagian ahli tafsir
memilih pengertian pertama untuk menjelaskan ke-ummi-an sekelompok Yahudi sebagaimana
tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 78:

‫… ومنهم أميون ال يعلمون الكتاب‬

Ketidaktahuan mereka terhadap al-kitab dijelaskan karena mereka buta huruf. Namun, runtutan
ayat berikutnya, yaitu surat al-Baqarah ayat 79, tidak mendukung penafsiran di atas. Allah SWT
berfirman:

)79:‫فويل للذين يكتبون الكتب بأيديهم ثم يقولون هذا من عند هللا (البقرة‬

Jelaslah, ketidaktahuan mereka terhadap al-kitab bukan karena mereka buta huruf, tetapi
sebagaimana dijelaskan al-Thabari dengan mengutip Ibnu Zaid, karena mereka mengingkari
kerasulan Nabi dan kitab yang dibawanya serta tidak mau mempelajarinya. [13] Selanjutnya
mereka menulis dengan tangannya sendiri sebuah kitab versi mereka, lalu dikatakannya bahwa
itu semua berasal dari Allah demi memperoleh keuntungan yang sedikit.

Penafsiran Ummiyyin dengan buta huruf untuk masyarakat Arab, sebagaimana tercantum pada
surat Ali Imran ayat 20 dan 75 serta surat al-Jumu’ah ayat 2, juga tidak cocok bila melihat
konteks al-Qur’an sendiri. Dalam dua ayat pertama, kata Ummiyyin dikaitkan dengan Ahli Kitab
(Yahudi), tetapi dibedakan dari mereka. Sementara pada ayat terakhir, Nabi Muhammad SAW
disebut sebagai seorang utusan yang dibangkitkan “di antara ummiyyin”. Seluruh kenyataan di
atas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan ummiyyin pada ayat-ayat di atas adalah
non-Yahudi atau masyarakat Arab musyrikin yang di tangan mereka tidak tedapat kitab yang
berlawanan pula dengan yang diberikan kitab (utul kitab). Penafsiran ini didukung oleh riwayat
Qatadah yang dikutip oleh al-Thabari [14] dan al-Qasimi [15] dalam kitab tafsirnya masing-
masing.

Berdasarkan uraian di atas, tidak tepatlah mensifati masyarakat Arab sebagai buta huruf
dengan merujuk pada ayat-ayat di atas. Di samping itu, agaknya penyifatan itu kurang didukung
oleh bukti historis. Pendapat yang mengatakan tradisi tulis-menulis jarang terjadi di tengah
masyarakat Arab pada awal perkembangan Islam karena mereka lebih mengutamakan hafalan
bertentangan dengan pendapat penulis sejarah kenamaan, Ibnu Sa’ad. Dalam Thabaqat Kubro-
nya ia menyebutkan bahwa bangsa Arab Jahililiah dan permulaan Islam menilai bahwa orang
yang sempurna ialah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah.[16]

Al-Baladzuri dalam Futuh al-Buldan memang pernah mengatakan bahwa ketika Islam datang,
terdapat 17 orang yang dapat membaca dan menulis. Namun, menurut penilaian M. M. Azami,
jumlah itu belum termasuk orang-orang Mekah seperti Abu Bakar, Abdullah bin Amr bin Ash,
Umi Kultsum, Hafsah, Aisyah, dan lain-lain. [17] Perlu dicatat pula di sini bahwa pada
permulaan Islam sudah terdapat banyak pusat pengajaran tulis-menulis seperti Mekah, Thaif,
Madinah, Hirrah, dan Daumat al-Jandal.

C. Ke-ummi-an Nabi Muhammad

Predikat Nabi sebagai seorang yang ummi sebagaimana dijelaskan di atas, disebutkan dalam
al-Qur’an pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158. Oleh kebanyakan ulama, umumnya kata ummi
pada ayat-ayat di atas ditafsirkan dengan buta huruf.[18] Dengan demikian, Nabi yang ummi
berarti Nabi yang buta huruf. Ada dua alasan pokok yang dikemukakan oleh para
pendukungnya untuk menopang pendapat di atas. Pertama, Buta hurufnya Nabi dipandang
sebagai mukjizat terbesar dan salah satu tanda kerasulannya yang sekaligus membuktikan
bahwa al-Qur’an memang berasal dari Allah tanpa ada penambahan sedikitpun dari Nabi.[19]
Dalam istilah Nasr, Nabi harus buta huruf sebagaimana Maria harus perawan untuk
menunjukkan bahwa pesan Allah disampaikan melalui sesuatu yang murni.[20] Kedua, sabda
Nabi SAW. sendiri yang berbunyi:

‫إنا أمة ال نكتب وال نحسب‬


Untuk alasan pertama, karena tidak ada nash khusus yang mendukungnya dan karenanya pula
bersifat ijtihadi, tentu saja kita dapat mengajukan pertanyaan kepada para pendukungnya,
Apakah kalau Nabi tidak buta huruf, kemurnian al-Qur’an tidak terjamin lagi? Bukankah banyak
indikator lain yang menjaminnya?

Konteks surat al-A’raf ayat 157 dan 158 sama sekali tidak berkaitan dengan penjelasan
kemurnian al-Qur’an, tetapi berkaitan dengan perilaku umat Nabi Musa dan jaminan rahmat
Allah yang akan diberikan kepada mereka yang bertakwa (lihat kandungan surat al-A’raf ayat
150-160). Itu sebabnya, perintah untuk mengikuti nabi yang ummi merupakan manifestasi dari
ketakwaan itu.

Penafsiran kata ummiyyin dalam bentuk jamak sebagai non-Yahudi, seperti yang telah
dijelaskan, agaknya cocok pula untuk menjelaskan kata ummi pada surat al-A’raf itu. Dengan
mengikuti penafsiran di atas, maka ayat itu dapat dijelaskan demikian: Nabi Muhammad SAW.
bukanlah seorang Yahudi, atau ia adalah nabi pribumi yang diutus kepada orang-orang Arab
dan berasal dari kalangan mereka sendiri. Jadi, tidak ada argumen apa pun di sini yang
mengatakan bahwa Nabi sama sekali buta huruf, tetapi ayat ini setidak-tidaknya mengacu
kepada ketidaktahuan Nabi (karena tidak membaca) terhadap kitab-kita orang Yahudi dan
Nasrani.

Kesimpulan yang sama dapat ditarik dengan memeriksa ayat lainnya, yaitu surat al-Ankabut
ayat 48:

‫وما كنت تتلو من قبله من كتب وال تخطه بيمينك إذا الرتاب المبطلون‬

yang terkadang diterjemahkan: “Engkau tidak dapat membaca satu kitab pun sebelum ini, tidak
pula engkau dapat menulisnya dengan tangan kananmu…”. Padahal, terjemahan yang tepat
adalah: “Kamu tidak pernah membaca satu kitab pun sebelum al-Qur’an dan kamu tidak pernah
menulis satu kitab dengan tanganmu…”. Ayat tersebut, secara sederhana berarti Nabi bukanlah
seorang pembaca atau penulis kitab-kitab suci sebelumnya (sebagaimana halnya seorang
pendeta). Hal ini dijelaskan dengan kata-kata selanjutnya dari ayat itu: “…jika demikian halnya,
maka orang-orang yang mengingkarimu akan ragu-ragu.” Dalam ayat ini tidak terdapat sesuatu
yang secara mutlak mengandung makna bahwa Nabi tidak memiliki pengetahuan membaca
dan menulis.

Mengenai hadis Nabi di atas, menarik untuk dicatat pendapat Nasir al-Din al-Asad. Ia
menjelaskan bahwa:

a. Sabda Nabi itu berkaitan dengan hadis-hadis puasa, yakni tentang melihat bulan.

b. Dengan sabdanya itu, Nabi bermaksud menjelaskan disiplin ilmu penulisan dan perhitungan
khusus yang belum dikuasai orang Arab, yaitu ilmu al-hisab al-falaki.

c. Hadis itu tidak menafikan secara mutlak kemampuan menulis dan menghitung, tetapi yang
dimaksud adalah bahwa menulis dan menghitung belum terlembaga di kalangan orang Arab
sebagaimana bangsa lainnya.

Sementara tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa Nabi tidak dapat menulis dan membaca,
maka bukan merupakan suatu hal yang mustahil bahwa nabi mempunyai kemampuan itu. Ia
bisa saja telah mempelajari seni tulis menulis di Mekah karena pada masa mudanya ia
merupakan seorang pemimpin perdagangan untuk Khadijah dan mungkin atas namanya sendiri
yang tentu saja memerlukan catatan-catatan transaksi. Kandungan-kandungan surat al-Furqan
ayat 5, surat al-Kahfi ayat 109, dan surat Luqman ayat 20 meskipun tidak secara eksplisit
menunjukkan kemampuan Nabi menulis dan membaca, tetapi setidaknya memperlihatkan
bahwa pihak pengkritik Nabi memandang bahwa ia telah bekerja dengan sejenis bahan tertulis
dan bahwa pena serta tinta sudah digunakan saat itu.

Argumen yang lebih kuat tentang ini, meskipun tidak langsung, dapat diperoleh dari kisah
ekspedisi ke Nakhla, sekitar dua bulan sebelum perang Badar. Perlu dicatat, beberapa
ekspedisi terdahulu ternyata tidak begitu sukses lantaran beberapa orang Madinah tampaknya
membocorkan informasi kepada musuh-musuh kaum muslimin. Karena itu, untuk berjaga-jaga
terhadap kebocoran semacam itu, pemimpin ekspedisi di Nakhla diberi perintah dalam surat
tertutup yang tidak boleh dibuka hingga ia bergerak dua hari dari Madinah.[21] Tidak dapat
dipastikan bahwa pada tahap awal Nabi di Madinah, beliau telah memakai beberapa pembantu.
Dalam keadaan bagaimanapun juga, kerahasiaan yang demikian tidak dapat dipercayakan
walau kepada orang yang sangat loyal sekalipun. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang
mustahil jika Nabi menulis dengan tangannya sendiri surat itu.

Ada data historis lainnya yang mendukung kesimpulan di atas walaupun akurasinya masih perlu
dielaborasi. Dalam beberapa versi, kisah penandatanganan perjanjian Hudaibiyah pada tahun
628, dikatakan bahwa Nabi telah menulis dengan tangannya sendiri. Wakil-wakil orang Mekah
dalam perjanjian itu menolak pencantuman kata-kata “Rasulullah” dalam pembukaan dokumen
perjanjian. Nabi kemudian memerintahkan Ali yang bertindak sebagai pembantunya untuk
menggantikannya dengan kata-kata “Ibnu Abdillah”. Karena Ali menolaknya, maka Nabi
menggantikannya (menulisnya) dengan tangannya sendiri. [22]

Penutup

Demikianlah sekilas tentang kajian ummi dalam al-Qur’an. Dapat disimpulkan bahwa kata
ummi tersebut tidak diartikan dengan buta huruf, tetapi diartikan sesuai dengan konteks ayat
tersebut. Misalnya kata ummi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. yang tercantum
pada surat al-A’raf ayat 157-158, maksudnya adalah bahwa Nabi adalah seorang Nabi yang
bukan Yahudi yang juga tidak pernah mempelajari kitab-kitab suci sebelumnya, dan contoh
lainnya.

Interpretasi apapun yang ada dalam menjelaskan maksud kata ummi dalam al-Qur’an
mengandung kebenaran yang relatif. Oleh karenanya, al-Qur’an selalu mengajak semua
manusia untuk senantiasa berfikir dan bertafakkur sehingga dapat mencapai kebenaran yang
hakiki dari Allah SWT.

Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawy, Abd. Al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I: Dirasah Manhajiyyah


Maudhu’iyyah, Mesir: Maktabah Jumhuriyah, t.t.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, V, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiyyah, 1985

Al-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid I, Beirut: Dar El-Fikr, 1988

Al-Thabathaba’i, Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid I, Beirut: Muassasah al-
A’lam li al-Mathba’ah, t.t.

Jamal al-Din Muh. ibn Muharram ibn Manzhur, Abu al-Fadhl, Lisan al-“Arab, Jilid XII, Beirut: Dar
Sadir, t.t.

K. Hitti, Philip, History of The Arabs, London: Macmillan

M. Azami, M., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustofa Ya’qub, Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus, 1914

Nasr, S.H., Islam dalam Cita dan Fakta, Terj. Abdurrahman wahid, et. Al., Jakarta: Lappenas,
1983Paret, R., Ummi dalam Muhammad B. Tsabit al-Fanadi, et.al., (Ed), Dairah al-Ma’arif al-
Islamiyyah. Jilid I, Intisyarah Jahan, t.t.

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Manar, Jilid X, Dar al-Manar, 1367, hlm. 285; M. Jamal al-
Din al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, Jilid VII, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Isa al-Babi al-Halabi,
1957

Sahih Bukhari, Kitab “al-Shiyam”, bab 13; Sahih Muslim, kitab “al-Shiyam”, nomor hadits 4;
Sunan al-Nasa’i, kitab “al-Shiyam”, bab 17; Musnad Ahmad, Jilid II, h. 43, 52, 122,129.

Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, 1991

a
Judul buku : Nabi Muhammad Buta Huruf atau Genius; Mengungkap Misteri "Keummian"
Rasulullah

Penulis : Syekh Al-Maqdisi

Penerbit : Nun Publisher, Jakarta

Cetakan : Pertama, 2007

Tebal buku : 130 halaman

TIDAK diragukan lagi dalam al-Qur`an dan sejumlah hadits, nabi Muhammad disebut nabi yang
ummi. Tapi apakah sebutan ummi untuk rasul terakhir itu bisa dimaknai sebagai satu fakta
bahwa nabi Muhammad itu buta huruf atau tak bisa baca-tulis?

Sebagian besar umat Islam, dan ulama berani meneguhkan bahwa dalil al-Qur`an dan hadits
terkait kata 'ummi' itu sebagai bukti nyata bahwa nabi Muhammad buta huruf. Dengan
memaknai kata ummi dalam arti tidak bisa membaca-menulis (buta huruf), fakta itu tidak saja
meneguhkan bahwa al-Qur`an tak diragukan lagi merupakan kalamullah, melainkan juga
karena nabi Muhammad buta huruf, maka al-Qur`an --dengan demikian-- bukan hasil karya
atau rekayasa nabi Muhammad.

Tetapi bagi Syekh Al-Maqdisi, teori kebutahurufan nabi itu ternyata tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Karena, menurutnya, nabi bukan buta huruf, melainkan genius. Tidak salah, Syekh
Al-Maqdisi berusaha 'menyanggah' tuduhan itu. Melalui buku Nabi Muhammad Buta Huruf atau
Genius; Mengungkap Misteri "Keummian" Rasulullah ini, dengan dalil al-Qur`an, hadits dan
argumen sejarah dia membuktikan dan menepis bahwa nabi Muhammad benar-benar bukan
buta huruf.

Klaim yang sering dijadikan umat Islam menegaskan bahwa nabi Muhammad adalah buta huruf
itu didasarkan pada dalil QS Al-A`raf 157 dan 158 yang secara tegas menyebut nabi
Muhammad sebagai "nabi yang ummi". Juga, ayat lain yang secara tidak terang seperti QS. Al-
Ankabut: 48, QS. Al-Jumu`ah: 2. Tetapi menurut Syekh Al-Maqdisi, kata ummi itu ternyata
disalahpahami. Kata ummi diartikan "tidak bisa membaca dan menulis. Padahal kata "ummi"
bisa juga merujuk kata umm (ibu kandung). Atau bisa dimaknai orang yang belum membaca
kitab suci sebelumnya dan mereka itu belum kedatangan seorang nabi dengan segenap
ajarannya. Karena itulah, wajar al-Quran mengatakan Allah mengutus nabi kepada kalangan
yang ummi (hal. 29-30).
Dengan konteks arti ummi itulah, Syekh Al-Maqdisi menolak nabi disebut buta huruf. Apalagi,
QS. Al-A`raf 157 dan 158 yang dijadikan "klaim kebutahurufan" nabi itu, menurutnya, memiliki
"makna metaforis". Karena, merujuk ayat sebelum dan sesudahnya, Al-Qur`an menerangkan
dialog Musa dengan Tuhan dan tak ada sangkut paut dengan nabi Muhammad. Karena itu, bagi
penulis, klaim kebutahurufan nabi tak punya dasar yang kuat karena al-Qur`an, hadits dan bukti
sejarah justru menyanggah hal itu.

Isyarat al-Qur`an yang menyanggah kebutahurufan nabi itu dapat dilihat dalam QS. Al-Ankabut
48. Ayat ini sering dijadikan dasar sebagai ayat yang membuktikan nabi buta huruf. Tetapi
menurutnya, justru sebaliknya. Karena ayat tersebut tak menafikan kemungkinan nabi mampu
baca-tulis tetapi hanya menafikan pembacaan dan penulisan langsung oleh nabi. Sebab bagi
penulis nabi memang bukan dukun. Juga, dalam QS. Al-Alaq 1-5 yang jelas menegaskan
sebuah kesia-sian, jika Allah menyapa nabi dengan perintah membaca (padahal nabi buta-
huruf). Ayat lain lagi adalah QS Ali Imron: 164 dan QS Al-Jumu`ah 2 yang secara tegas
mengatakan nabi "membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya".

Selain itu, tidak sedikit riwayat menyanggah mitos kebuta-hurufan nabi. Salah satunya riwayat
dari Aisyah "Saat sakitnya mulai mengeras, nabi berkata kepada Abdurrahman bin Abu Bakar;
'Ambilkan aku secarik kertas atau lembaran, sehingga aku dapat menulis sesuatu untuk Abu
Bakar, sebuah kitab yang tak akan membuat persengketaan di kemudian hari." Bagaimana
mungkin nabi dapat disebut buta huruf jika dalam riwayat itu meminta secarik kertas untuk
menulis? Jelas, nabi tidak buta huruf.

Nabi disebut ummi karena nabi itu orang Makkah dan Mekkah adalah induk dari perkampungan
(ummul qura). Bahkan tak diragukan, bahwa nabi "punya pengetahuan dan wawasan luas".
Sejarah telah mencatat, sebelum diangkat jadi rasul, nabi Muhammad dikenal sebagai
pedagang yang mahir. Dari situ Khadijah kemudian menyewa nabi Muhammad untuk memimpin
kafilah dagang. Tentu kafilah dagang itu butuh perhutungan teliti. Fakta itu jelas menampik
tuduhan nabi buta huruf. Tak mustahil pula, berkat pengalaman berdagang itu, nabi mengerti
banyak keragaman dialek bahasa Arab dan bahasa non-Arab.

Kekuatan dalil al-Qur`an, hadits juga didukung argumen sejarah yang diungkapkan oleh Syekh
Al-Maqdisi dalam buku ini, jelas tidak menempatkan nabi sebagai seorang buta huruf. Dengan
ketelitian penulis menggali akar kata "ummi", buku ini menjadi satu bukti kepiawaian Syekh Al-
Maqdisi menyoroti sosok nabi Muhammad dalam baca-tulis mengenai manusia genius
pengubah sejarah yang mustahil tidak bisa membaca dan menulis. Karena, dalam sebuah
hadits diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Auf, "Nabi Muhammad tidak wafat, kecuali beliau
telah mampu membaca dan menulis."
Tetapi, sayang! Fakta itu justru tidak disadari sebagian umat Islam dan justru merasa bangga
dengan kebutahurufan nabi. Padahal kebutahurufan nabi itu jelas bisa menjadi satu
kekurangan. Karena sebagai utusan Allah, nabi telah dijaga (ma`sum) dari sifat-sifat buruk,
tidak terkecuali dari kebodohan akibat tidak bisa baca-tulis.

Di bagian akhir buku ini, pihak penerbit juga menyertakan beberapa pandangan ulama tentang
ke-ummi-an nabi Muhammad seperti pendapat dari Fakhrur Razi, Sayyid Al-Murtadha dan Dr
Muhammad Syahrur. Pendapat tiga ulama tersebut sepakat bahwa nabi tak buta huruf. Penerbit
menyertakan ketiga pendapat ulama itu, tidak ada maksud lain kecuali untuk meneguhkan
pendapat Al-Maqdisi sebagaimana dikupas di buku ini; menepis keraguan pembaca. Karena itu,
setelah pembaca digulung dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan argumen sejarah yang dikemukan
Syekh Al-Maqdisi dalam buku ini, masihkah ada setritik keraguan bahwa nabi Muhammad itu
buta Huruf?***

die_’s Blog

Menelaah Keummian Nabi Muhammad Saw

July 22, 2009 · Filed under Uncategorized

Menelaah Keummian Nabi Muhammad Saw

Pendahuluan

Nabi Muhammad adalah nabi yang ummi, hal ini tdak hanya tercantum di dalam Al Quran tetapi
juga tercantum dalam kitab-kitab lain yaitu Taurat dan Injil.

‫يل َيأْ ُم ُرهُم ِب ْال َمعْ رُوفِ َو َي ْن َها ُه ْم َع ِن ْالمُن َك ِر‬ ِ ‫ُون الرَّ سُو َل ال َّن ِبيَّ اأْل ُمِّيَّ الَّذِي َي ِج ُدو َن ُه َم ْك ُتوبًا عِ ن َد ُه ْم فِي ال َّت ْو َرا ِة َواإْل ِن ِج‬ َ ‫الَّذ‬
َ ‫ِين َي َّت ِبع‬
ُ‫صرُوه‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا ِب ِه َو َع َّزرُوهُ َو َن‬ َّ
َ ‫ت َعلَي ِْه ْم ۚ َفالذ‬ َّ َ ‫أْل‬
ْ ‫ض ُع َع ْن ُه ْم إِصْ َر ُه ْم َوا ْغاَل َل التِي َكا َن‬ ْ
َ ‫ت َوي َُحرِّ ُم َعلَي ِْه ُم ال َخ َبائ‬
َ ‫ِث َو َي‬ َّ
ِ ‫َو ُي ِح ُّل َل ُه ُم الط ِّي َبا‬
١٥٧﴿ ‫ُون‬ ْ
َ ‫ِك ُه ُم ال ُم ْفلِح‬ ُ
َ ‫نز َل َم َع ُه ۙ أولَ ٰـئ‬ ُ َّ َ ‫﴾ َوا َّت َبعُوا ال ُّن‬
ِ ‫ور الذِي أ‬

(157) (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka . Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-
orang yang beruntung.[1]

‫ِيت ۖ َفآ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه‬ُ ‫ض ۖ اَل إِلَ ٰـ َه إِاَّل ه َُو يُحْ ِيي َو ُيم‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬ ُ ‫قُ ْل َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ إِ ِّني َرسُو ُل هَّللا ِ إِلَ ْي ُك ْم َجمِي ًعا الَّذِي لَ ُه م ُْل‬
ِ ‫ك ال َّس َم َاوا‬
١٥٨﴿ ‫ون‬ َ ‫﴾ال َّن ِبيِّ اأْل ُمِّيِّ الَّذِي ي ُْؤمِنُ ِباهَّلل ِ َو َكلِ َما ِت ِه َوا َّت ِبعُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُد‬

(158) Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,
yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-
kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”.[2]

Berdasarkan kedua ayat di atas jelaslah bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang ummi.
Namun di dalam kedua ayat tersebut tidak disebutkan arti atau makna dari ummi.

Kuat tertanam dipikiran kita bahwa nabi besar kita, nabi semua umat islam, nabi yang telah
berhasil memimpin revolusi dunia, nabi penghujung para nabi, yaitu Nabi Muhammad Saw
adalah sosok yang ummi. Pengertian ummi yang lumrah diartikan oleh masyarakat secara
umum adalah tidak bisa membaca dan menulis.

Namun timbul pertanyaan besar, apakah nabi yang demikian dibangga-banggakan oleh umat
islam adalah nabi yang buta huruf? Apakah sosok pemimpin tersukses sepanjang sejarah umat
manusia ini adalah seorang yang tidak bisa baca tulis? Apakah nabi yang menjadai pamungkas
para nabi ini adalah seorang yang ummi (buta huruf)? Apakah nabi yang dengan segala
keistimewaanya itu adalah nabi yang tidak pandai membaca dan menulis? Lantas apakah
keummian Nabi Muhammad ini menjadi kelemahan dan kekurangan beliau atau
ketidaksempurnaan beliau? Atau malah justru sebaliknya, keummian ini merupakan salahsatu
kelebihan dari sekian banyak keitimewaan yang dimiliki beliau?Sederet pertanyaan pasti akan
muncul terkait dengan keummian Rasulullah ini.

Semua kalangan ulama sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang ummi, namun
terdapat perbedaan dianatara mereka dalam hal pengertian ummi tersebut. Pengertian dan
kadar keummian inilah yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
Sementara terjadi perdebatan tentang arti atau makna keummian tersebut lalu muncul
pertanyaan, apakah Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa beliau benar-benar tidak bisa
membaca dan menulis? Dan sebaliknya apakah Nabi pernah mengatakan bahwa beliau bisa
membaca dan menulis?

Menarik memang untuk menelaah masalah ini, untuk itu penulis mengangkat tema ini sebagai
tugas akhir Ujian Tengah Semeter Mata Kuliah Pendidikan Agama. Semoga tulisan ini
menambah wawasan bagi para pembaca. Amin…..

Perdebatan Makna Keummian Nabi Muhammad Saw

Sebagaimana telah diungkapkan diawal bahwa perdebatan yang terjadi adalah bukan
keummiannya akan tetapi lebih kepadamakna atau arti dari ummi itu sendiri. Perdebatannya
adalah terletak pada bisa atau tidak bisa-nya Nabi Muhammad membaca dan menulis.

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna ummi. Secara umum terdapat dua
penafisran tentang makna ummi. Untuk lebih jelasnya berikut akan dijelaskan satu persatu
mengenai perbedaan pemahaman makna ummi.

1.Orang yang tidak pandai membaca dan menulis

Penafsiran ini adalah penafsiran yang paling umum dan sering kita dengar. Penafsiran ini
diambil berdasarkan beberapa keterangan. Al-ummiy berarti orang yang tidak pandai membaca
dan menulis dinisbatkan kepada Al-Umm (ibu). Orang-orang Ahli kitab memeberi julukan
kepada bangsa Arab dengan Al-Ummiyin, sebagaimana firman Allah:

َ ‫ْس َعلَ ْي َنا فِي اأْل ُ ِّمي‬


‫ِّين َس ِبي ٌل‬ َ ِ‫َٰ‌ذل‬
َ ‫ك ِبأ َ َّن ُه ْم َقالُوا لَي‬

“Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-
orang ummiy (jika kamitidak membayar hutang kepada mereka)”[3]
Begitu juga dengan keterangan yang didapat dari tafsir yang lainnya yang mngeartikan ummiy
dengan seoarang yang tidak panadai membaca dan menulis. Kata ummiy terambil dari kata
um/ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Seakan-akan
keadaanya dari segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan menulis sama dengan
keadaan saat baru dilahirkan atau sama dengan keadaan ibunya yang tidak pandai membaca
dan menulis. Hal ini karena masyarakat Arab pada masa jahliyah, umumnya tidak panadai
membaca dan menulis, terlebih kaum wanitanya. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa kata
ummiy berasal dari kata umatyang menunjuk kepada masyarakat ketika turunnya Al Quran
yang digambarkan seperti sabda nabi: “ Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak
pandai membaca dan berhitung”.[4]

Para ulama Islam telah memahami makna “ummi” dengan pemahaman yang jelas, bahwa Nabi
Muhammad Saw memang tidak dapat membaca dan menulis. Ibnu Manzhur (m. 711 H),
menjelaskan, bahwa kata “ummi” berarti tidak dapat menulis. Allah mengutus Nabi Muhammad
dan beliau tidak dapat membaca dan menulis sebagai bukti kemukjizatannya, karena nabi Saw
mampu membaca Kitab Allah dengan sangat teratur, tepat, tidak kurang dan tidak lebih, ketika
Nabi Saw mengulang-ulanginya.

Selaras dengan konsep pemahaman makna ummi diatas, tafsir Al Quranul Majid An Nuur juga
mengungkapkan pngertian yang sama yaitu tidak pandai membaca dan menulis.

Selain keterangan diatas yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang
tidak pandai membaca dan menulis, ada keterangan lain dari Al Quran yaitu saat turunnya
wahyu pertama, berdasarkan hadits kisahnya sebagai berikut:

“Rasulullah bersabda: Malaikat itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia
melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’Kujawab, Aku tidak dapat membaca. Ia mendekapku lagi
hingga akupun merasa tersesak. Ia melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’ Dan kembali
kujawab, aku tidak dapat membaca! Lalu, ketiga kalinya ia mendekapku dan seperti
sebelumnya, kemudian melepaskanku dan berkata………………”[5]

Hal ini menunjukkan bahwa nabi memang benar-benar ummi dalam artian tidak dapat
membaca dan menulis.

Sealin hadits tersebut diatas, hal ini dipertegas lagi dengan firman Allah:
٤٨﴿ ‫ون‬ َ ‫ِك ۖ إِ ًذا اَّل رْ َت‬
َ ُ‫اب ْال ُمبْطِ ل‬ َ ‫ب َواَل َت ُخ ُّط ُه ِب َيمِين‬
ٍ ‫نت َت ْتلُو مِن َق ْبلِ ِه مِن ِك َتا‬
َ ‫﴾ َو َما ُك‬

“Engkau tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran)sesuatu kitabpun dan engkau tidak
(pernah)menulisnya dengan tangan kananmu: andai kata (engkau pernah membaca dan
menulis)benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu).”[6]

Ayat Al Quran diatas lebih menegaskan lagi bahwa Nabi Muhammad adlah nabi yang ummi
dalam arttian tidak pandai membaca dan menulis. Hal ini sebagai bukti bahwa Al Quran adalah
firman Allah Swt bukan buatan ataupun tulisan tangan Nabi Muhammad Saw.

Selain fakta-fakata diatas, yang layak kita pertimbangkan adalah tentang kondisi beliau saat
masih kecil. Sebagaimana kita ketahui berdasarkan sirah Nabi bahwa masa kecil beliau penuh
dengan cobaan. Masa kecil Rasulullah tidak sama dengan kita yang serba berkecukupan. Kita
ketahui bersama bahwa beliau sudah menjadi yatim saat masih dalam kandunganm ibunya, kita
bisa bayangkan bagaimana keadaaan seorang anak yang ditinggal ayahnya saat masih dalam
kandungan sang ibu. Selain itu setelah beliau lahir beliau tidak diasuh oleh ibunya, melainkan
oleh ibu susu sampai usia beliau menginjak usia lima tahun. Baru setelah itu beliau
dikembalikan kepada ibunya. Tidak lama setelah kembali bersama-sama dengan ibunya, sang
bunda pun akhirnya menyusul sang ayah meninggal dunia saat beliau berusia 6 tahun. Coba
bayangkan jika keadaaan ini terjadi pada anak-anak jaman sekarang kemungkinan besar anak
akan menjadi anak yang tidak terurus, liar seperti anak jalaana, tetapi sangat berbeda dengan
rasul, rasul menjadi pribadi yang sopan, jujur, dan beakhlak mulia. Apalagi sepeninggal ayah
dan ibu, beliau tingggal bersama kakek kemudian pamannya, yang secara ekonomi sedang
tidak baik. Beliau malah ikut membantu walaupun hanya dengan menggembalakan domba
orang lain. Beliau juga ikut berdagang bersama sang paman. Dengan kondisi seperti itu, kecil
kemungkinan beliau dapat mengenyam pendidikan, jadi kecil pula kemungkinan beliau bisa
membaca dan menulis. Walaupun beliau pernah belajar kepada tukang pandai besi Nasrani,
namun cerita ini masih belum jelas kebenarannya.[7]

Kalau dilihat melalui sejarah bangsa Arab, memang pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-
orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dapat dikenal. Termasuk di
Makkah, ibu kota Hijaz. Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi pernah belajar
membaca dan menulis pada seorang guru, tentu beliau akan terkenal saat itu.

Walaupun ada anggapan bahwa bagaimana mungkin nabi menjadi pedagang kepercayaan
Khodijah jika nabi tidak pandai membaca dan menulis? Pandangan ini dapat terbantahkan saat
ada sekelompok pedagang yang tidak pandai membaca dan menulis tetpai mereka pandai
berdagang. Sebagai contoh kita lihat saja orang Madura, mereka tidak pandai membaca dan
menulis tepai mereka pandai berdagang. Contoh yang lain adalah pedagang-pedagang di
kampung atau pedesaan, banyak diantara mereka yang buta huruf, tetapi mereka pandai
berdagang.

2.Nabi bisa membaca dan menulis (tidak buta huruf)

Selain pemahaman ummi yang diartikan tidak bisa membaca dan menulis, adapula
pemahaman lain dari makna ummi, yaitu orang yang tidak diberi kitab, memang Nabi
Muhammad bukanlah dari golongan Yahudi ataupun Nasrani yang diberi kitab sehingga disebut
ummi. Hal ini sejalan dengan pandangan syekh Al-Maqdisi dalam bukunya Nabi Muhammad,
Buta Huruf atau Genius? Yang diterbitkan oleh Nun Publisher, Jakarta April, 2007 dengan judul
aslinya Khurafatu ‘Ummiyyati Muhmmad.

Menurut Syekh Al-Maqdisi Ada tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas Rasulullah,
khususnya dalam soal baca-tulis. Dan semua itu, bersumber dari kekeliruan kita dalam
menerejamahkan kata “ummi” dalam Al Quran maupun Hadis, yang oleh sebagian besar umat
Islam diartikan “buta huruf (tidak pandai membaca dan menulis)”.

Menurut Al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”,tapi ketika menyangkut Nabi
Muhammad, “ummi” di situ lebih berartiorang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani.
Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai
orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”. Termasuk Rasulullah dan orang Arab
lainnya. Selain itu, kata “ummi” di situ juga bisa merujuk pada kata “umm” atau ibu kandung.
Jadi, maknanya adalah “orang-orang yang seperti masih dikandung oleh rahim ibunya,
sehingga belum tahu apa-apa”.

Dalam buku ini, Syekh Al-Maqdisi menunjukkan bukti-bukti otentik (hadits) yang menunjukkan
fakta sebaliknya bahwa Rasulullah adalah sosok yang justru pintar membaca dan menulis.
Antara lain, sebuah hadis yang diungkapkan Zaid bin Tsabit bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika
kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanirrahim,maka perjelaslah huruf sin di situ.”

Mari kita renungkan, jika untuk soal huruf saja Nabi Muhammad memperhatikan, ibaratseorang
editor naskah, mungkinkah Nabi Muhammad seorang yang buta huruf? Buku Maqdisi ini, sekali
lagi, mematahkan semua kekeliruan sejarah ini.[8]
“Dengan bahasa yagn lugas Syekh Al-Maqdisi menggiring kita pada cara pandang yang
sungguh baru mengenai keummian Nabi Muhammad Saw.”[9]

“Nabi memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis.”[10]

“Makna kata ummi bukanlah tidak mampu membaca dan menulis, tapi merujuk pada kata umm
(ibu kandung).”[11]

Namun Habib Riziq menolak pendapat Nasaruddin Umar yang ditulis pada edisi September
2005 majalah Az-Zikra tentang pengertian “ummi” bagi Nabi Muhammad Saw. Menurut
Nasaruddin Umar, “ummi” bukanlah berarti “tidak dapat membaca dan menulis”, sebagaimana
yang dipahami para ulama Islam selama ini. Tapi, makna “ummi” yang benar ialah yang
disebutkan dalam bahasa Ibrani, yaitu “pribumi” (native). Kata Nasaruddin, profesor Ilmu Tafsir
di Universitas Islam Negeri Jakarta, “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti
pribumi,mengingat suku dan keluarga nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca
kitab.

Yang masyhur sebagai pembaca kitab (qari) pada waktu itu ialahkomunitas Yahudi dan
Nashrani. Mereka bukan warga native di dunia Arab. Jika pemahaman kita seperti ini, Nabi
Muhammad tentu bukan sosok yang belum menganut faham salah satu kitab suci. Karenanya
ia dipilih Tuhan untuk menjadi Nabi dan Rasul. Orang secerdas Nabi sulit dipahami sebagai
orang yang buta huruf atau orang yang tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis.”

Habib Rizieq menolak menolak pendapat Nasarudin Umar, dan menyatakan bahwa pendapat
itu adalah pendapat kaum syiah dan sejumlah orientalis.Meskipun antara syiah dan orientalis
memiliki motif yang berbeda dalam menolak pendapat bahwa “ummi” untuk Nabi Muhammad
Saw adalah tidak dapat membaca dan menulis. Kaum sunni, menurut Habib, sudah berijma’
bahwa makna “ummi” untuk Nabi Muhammad Saw bermakna “tidak dapat membaca dan
menulis”.

Dalam buku “Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran” (2005), Adnin Armas memaparkan
pendapat para orientalis Yahudi dan Kristen yang sejalan dengan pendapat Nasaruddin Umar
dalam memberikan definisi “ummi” untuk Nabi Muhammad Saw. Menurut mereka, tidak
mungkin Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis. Theodore Noldeke, misalnya,
menyatakan bahwa kata “ummi” dalam al-Quran merujuk kepada sebuah masyarakat tanpa
wahyu. Hirshfeld juga menyatakan, Muhammad bisa membaca dan menulis, dan mengerti
aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syria.

Menegaskan pengaruh agama Yahudi kepada Muhammad, Horovitz berpendapat, bahwa


Muhammad salah paham ketika mendengar kata “ummi” dari Yahudi di Madinah. Menurut
Horovitz, Muhammad menyebut dirinya sebagai “ummi” (dalam surat Al A’raf ayat 157 dan 158)
karena Muhammad berasal dari Arab, bukan dari Israel. Horovitz manafsirkan kata “ummi”
dalam ayat tersebut sebagai “ummot ha-olam”,yakni masyarakat yang tidak diberi kitab, yang
berbeda dengan umat terdahulu yang diberi kitab. PendapatHorovitz tentang “ummi” sejalan
dengan pendapat Nasaruddin Umar yang ditulis dalam majalah Az-Zikra tersebut.

Penutup

Sulit memang menyatukan pandangan orang yang berbeda menjadi satu arah pemikiran.
Konsep keummiyan masih menjadi perdebatan, namun disini penulis menekankan bahwa
perdebatan tersebut jangan sampai menjadi sumber perpecahan dikalangan umat islam sendiri.

Terlepas dari konsep keummian, baik itu yang menafsirkan buta huruf ataupun yang
menafsirkan warga pribumi atau orang yang tidak mendapat Al kitab (bisa membaca dan
menulis) hal tersebut tidak mengurangi keagungan Nabi Muhammad Saw sebagai nabi
pamungkas pentup para nabi. Wajar kalau Nabi memang tidak buta huruf, karena beliau adalah
sosok pemimpin besar, pemimpin revolusi dunia, sehingga beliau adalah sosok yang cerdas.
Namun wajar pula jika Nabi memang benar-benar ummi (tidak pandai membaca dan menulis),
hal ini untuk menjaga kemurnian Al Quran. Keummiyan nabi sebagai sebuah mukjizat yang
tidak dimiliki oleh nabi-nabi lain. Jika seandainya nabi bukan seorang ummi atu dengan kata
lain nabi mampu membaca dan menulis maka golongan kafir musyrik akan menuduh bahwa Al
Quran adalah buatan dan tulisan dari Nabi Muhammad. Dengan keummiyan nabi maka secara
tidak langsung membantah tuduhan orang-orang yang ingkar terhadap risalah Nabi Muhammad
Saw. Dengan kata lain jika Nabi sebagai seorang yang ummiy bisa sukses besar apalagi jika
Nabi bukan seorang yng ummiy. Allahu Akbar…. Inilah bagian rencana besar Allha Swt.

Namun semua kebenaran hanyalah milik Allah Swt. Wallahu a’lam…

Referensi
·Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan keserasian Al Quran. Jakarta: Lentera
Hati.

·Al Maragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra.

·Al-Mubarakfur, syeikh Shaifiyur Rahman, Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Robbani Press.

·www.opensubcriber.com

·www.gamexon.com

Nabi Muhammad: Buta Huruf atau Genius? Dec 17, '07 12:01 PM

for everyone

Category: Books

Genre: Nonfiction

Author:Syekh Al-Maqdisi

Akidah umum umat Islam menggariskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “ummi”: tidak
tahu tulis-baca. Keyakinan ini begitu melekat di alam bawah sadar mereka. Sehingga muncul
semacam keyakinan bahwa tanpa “keummian” beliau, wahyu tidak sempurna. Apakah benar
beliau “ummi” sejak kecil hingga menghadap Allah SWT? Atau sebaliknya? Beliau benar-benar
jenius.

Syek Al-Maqdisi, seorang pemikir Timur Tengah, menulis buku sangat kontroversial, ‘Khurâfatu
Ummiyati Muhammad’ (Mitos Keummian Muhammad) yang diterjemahkan oleh Abu Nayla
dengan judul “Nabi Muhammad: Buta Huruf atau Genius” (Jakarta: Nun Publisher, Cet. I, April
2007).

Lewat analisis-kritisnya, Syekh Al-Maqdisi menggugurkan keyakinan umat Islam tentang


keummian Nabi Muhammad SAW. Menurut beliau, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara
tentang keummian Nabi Muhammad, tapi disalahpahami. Yaitu: [1] Qs. Al-A‘râf: 157; [2] Qs. Al-
A‘râf: 158. Dua ayat ini lah yang secara terang-terangan menyebut tentang “keummian Nabi
Muhammad”.

Tapi, ada ayat lain yang secara implisit menyebutkan kata “ummi” di dalam redaksinya, yaitu: [1]
Qs. Al-‘Ankabût: 48; [2] Qs. Al-Jumu‘ah: 2.

Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang membantah dan menggugurkan dan
membantah kebutahurufan Nabi Muhammad SAW. Diantaranya: [1] Al-‘Ankabût: 48; [2] Qs.
Al-‘Alaq: 1-5; [3] Qs. Ali ‘Imrân: 164; [4] Qs. Al-Jumu‘ah: 2; [5] Qs. Ali ‘Imrân: 75.

Selain ayat-ayat Al-Qur’an di atas, untuk menyanggah keummian Nabi Muhammad, beliau
menyebutkan fakta-fakta rasional dan sejarah. Sebagai contoh, beliau mengutip pendapat al-
Zarqânî dalam “Manâhil al-‘Irfân” (I: 357) bahwa Nabi Muhammad pada akhirnya mengerti
baca-tulis tepat ketika beliau telah mendapat petunjuk dan gaung firman yang dibawanya
semakin menguat. Ketika itu, orang-orang Arab sudah tak mampu lagi menentang Al-Qur’an
dengan membuat satu surah saja sebagai tandingannya. Dan fakta kebutahurufan Nabi
Muhammad pada awal-awalnya hanyalah persoalan situasional yang diperlukan untuk
membangun argumen yang kuat, dan agar mukjizat tampak lebih jelas menunjukkan kejujuran
Nabi Muhammad dalam klaim kenabian dan risalahnya.

Bukti lain adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Shaduq dalam ‘Ilalus Syara‘i’ (Argumen-
Argumen Syariat). Abu Abdillah pernah meriwayatkan, “Sebagian dari apa yang telah
dianugerahkan Allah kepada Rasulullah adalah kemampuan membaca, walau tidak
kemampuan menulis. Dan tatkala Abu Sufyan hendak menyerahkan salah satu surat Abbas
kepada Nabi yang sedang menuju Madinah, beliau membacanya. Tetapi beliau tidak
mengabarkan hal itu kepada para sahabat, dan memerintah mereka untuk memasuki Madinah.
Setelah sampai di Madinah, beliau baru mengabarkan isi surat tersebut kepada para
sahabatnya. (Bihârul Anwar, XVI: 133).

Hemat saya, buku ini sangat menarik untuk ditelaah. Selain argumennya kuat dan kukuh,
kandungannya sangat ringkas dan padat. Sehingga, pembaca tidak merasa bosan. Di samping
itu, kritiknya benar-benar tajam dan “to the point”. Secara pribadi, saya semakin yakin bahwa
Nabi Muhammad itu benar-benar genius: bisa tulis-baca pasca-kenabiannya. Karena memang
tidak mungkin dia memerintahkan umatnya untuk membaca, sementara beliau tidak faham tulis-
baca. (Medan, Senin: 17 Desember 2007)

Cetak | Kirim | RSS | Kirim Pertanyaan


Apa Benar Rasulullah Ummi?

Senin, 19/05/2008 05:47 WIB

Assalamualaikum Ustadz.

Saya Lagi Bingung Ustadz. Ada teman yang tanya. Apa Benar Rasulullah itu tidak bisa baca
Tulis? Bagaimana Rasulullah menjalankan posisi beliau Sebagai pemimpin Negara dan
Ummat? Yang saya tau Rasulullah banyak memgirimkan utusan ke Negara tetangga dalam
syiar Islam.Kalau memeng benar, apa kondisi tersebut berlangsung sampai beliu wafat???
Mohon BAntuannya. Jazakallah khoir.....

nadia

Jawaban

Wa'alaikum salam wr wb.

Ananda Nadia, sejarah memang mengatakan bahwa Rasulullah tidak dapat membaca dan
menulis hingga akhir hayatnya. Namun tahukah Anda bahwa Rasulullah mempunyai
kecerdasan yang komplit yang baru beberapa dekade terakhir ini sering didengungkan kembali
oleh para pakar SDM dan Motivator selama ini.

Anda mungkin sering mendengar istilah Kecerdasan Emosi (EQ), Kecerdasan Spritual (SQ),
Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan keuletan (AQ) dan kecerdasan lainnya tersebut ada di
dalam diri baginda Rasulullah saw.

Sebagai contoh, Rasulullah dapat menjadi penengah ketika kaum Quraisy ingin meletakkan
batu Ka'bah. Persaudaraan antara dua suku terbesar yakni kaum Muhajirin dan Anshar.
Rasulullah dapat bergaul tidak hanya kepada kaum bangsawan tetapi juga semua strata
kaumnya. Atau Rasulullah dapat membuat planning dengan menempatkan sahabat-sahabatnya
dengan posisi yang seusai sehingga para sahabatnya tersebut menjadi berkembang dan
mempunyai kepribadian yang cemerlang, seperti mengirimkan duta-duta seperti dalam
pertanyaan Anda tersebut.
Inilah yang jarang sekali dibahas oleh para pakar manajemen yang mempunyai latar belakang
keagamaan. Kepribadian yang utuh dimilikinya sehingga Allah pun menyuruh kita untuk
menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah.

Kiranya bila kita mengkaji secara menyeluruh kepribadian beliau, berbagai konsep kepribadian
yang ditawarkan saat ini pastilah telah dilakukan oleh beliau walaupun tentu kemasannya saja
yang berb

METODE PEMBELAJARAN MENURUT AL-QUR’AN

SURAH AN-NAHL AYAT 125

( Sebuah Metode Penafsiran Tahlili )

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran adalah aktivitas manusiawi yang berlangsung sejak awal penciptaan manusia,
sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 31 dan 151 :

}31{ ‫ِين‬
َ ‫صا ِدق‬ َ ‫َو َعلَّ َم آ َد َم األَسْ َماء ُكلَّ َها ُث َّم َع َر‬
َ ‫ض ُه ْم َعلَى ْال َمالَ ِئ َك ِة َف َقا َل أَ ِنب ُئونِي ِبأَسْ َماء َهـؤُ الء إِن ُكن ُت ْم‬

“Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian
mengemukannya kepada para Makaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah pada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (al-Baqarah 31)

َ ‫َو ُي َعلِّ ُم ُكم مَّا لَ ْم َت ُكو ُنو ْا َتعْ لَم‬


}151{ ‫ُون‬

“Dan Dia telah mengajarkan kepada kamu apa-apa yang kamu belum mengetahui” (al-Baqarah
151)

Menurut Mulyasa, pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam
pembelajaran tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang
datang dari diri individu, maupun faktor ekternal yang datang dari lingkungan individu.

Tidaklah mengherankan jika para pakar di bidang pendidikan sudah lama dan terus menerus
mengadakan riset tentang proses pembelajaran ini. Apalagi kalau istilah pembelajaran ini
disejejarkan dengan istilah yang sudah lama dikenal dalam dunia pendidikan, yaitu pedagogy
atau pedagogic yang merupakan dua istilah yang bermakna sama, yaitu ilmu pengetahuan,
seni, prinsip dan perbuatan mengajar.

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan lingkungan belajar yang diatur
oleh guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, posisi guru
dalam pembelajaran tidak hanya sebagai penyampai informasi melainkan sebagai pengarah
fasilitas terjadinya proses belajar.

Pembelajaran terkait dengan bagaimana membelajarkan siswa atau bagaimana membuat


siswa dapat belajar dengan mudah dan dorongan oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari
apa yang teraktualisasi dalam kurikulum sebagai kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu
pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum dengan
menganalisa tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi pendidikan yang terkandung
dalam kurikulum. Selanjutnya dilakukan kegiatan untuk memilih, menetapkan dan
mengembangkan cara-cara (strategi dan metode pembelajaran) yang tepat untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai dengan kondisi yang ada agar kurikulum dapat
diaktualisasikan dalam proses pembelajaran.

Harus diketahui bahwa keberhasilan suatu penyampaian sangat dipengaruhi oleh ketepatan
dalam pemilihan metode. Dalam arti bahwa dalam kegiatan pembelajaran harus ada
kesesuaian antara tujuan, pokok bahasan dengan metode, situasi dan kondisi (siswa maupun
sekolah) serta kepribadian guru yang membawakan pelajaran.

Dalam proses pembelajaran di sekolah selama ini masih sering kita dapati para guru lebih
menggunakan metode verbalistik, yaitu ceramah dan tanya jawab. Hal ini tidak berarti bahwa
metode ceramah tidak baik, melainkan pada suatu saat siswa akan menjadi bosan bila guru
berbicara terus sedangkan para siswa duduk diam mendengarkan. Selain itu kadang ada pokok
bahasan yang memang kurang tepat untuk disampaikan melalui metode ceramah dan lebih
efektif melalui metode lain.

Dewasa ini banyak sekali metode dan pendekatan yang terus bermunculan dan diterapkan
dalam pembelajaran berbagai bidang mata pelajaran. Diantaranya metode diskusi, eksperimen,
demonstrasi, pemberian tugas, karya wisata, discovery, problem solving dan sebagainya. Akan
tetapi perlu terus menerus dicari formula metode yang sesuai dengan kebutuhan agar ide-ide
yang ingin diberikan bisa diserap dengan lebih mudah dan lebih cepat.

Tentu banyak sekali objek yang bisa dijadikan bahan untuk memperoleh contoh-contoh metode
pembelajaran, baik yang berasal dari akal pikiran murni manusia maupun dari sumber lain. Dan
salah satu sumber yang utama itu adalah al-Qur’an, kitab suci pedoman umat Islam. Di
dalamnya pasti banyak contoh metode pembelajaran. Tergantung kita apakah mampu
menggalinya atau tidak.

Al-Qur'an merupakan.kitab suci yang berisi petunjuk untuk kehidupan umat manusia di dunia
ini. Dengan petunjuk AI-Qur'an, kehidupan manusia akan berjalan dengan baik. Manakala
mereka memiliki problem, maka problem itu dapat terpecahkan sehingga ibarat penyakit akan
ditemukan obatnya dengan AI-Qur'an itu. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita
sebagai umat Islam untuk memahami AI-Qur'an dengan sebaik-baiknya sehingga bisa kita
gunakan sebagai pedoman hidup di dunia ini dengan sebenar-benarnya.

Alloh berfirman :

}9{ ‫ِي أَ ْق َو ُم‬ َ ْ‫إِنَّ َهـ َذا ْالقُر‬


َ ‫آن ِي ْهدِي ِللَّتِي ه‬

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus.” (QS Al-Isra’ 9)

َ ‫ْك ْال ِك َت‬


}89{ ‫اب ِت ْب َيانا ً لِّ ُك ِّل َشيْ ٍء‬ َ ‫َو َن َّز ْل َنا َعلَي‬

“Kami menurunkan Al-Qur’an kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS An-Nahl 89)

Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengandung berbagai
ragam metode pembelajaran yang bisa dijadikan sebagai salah satu pilihan metode
pembelajaran saat ini. Metode pembelajaran yang sangat berharga dapat kita petik dari kisah
Nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah secara langsung untuk belajar kepada sang guru
pilihan Allah, yaitu Khidhir. Juga pembelajaran yang diberikan Luqman al-Hakim kepada
anaknya.

Al-Qur’an pasti mempunyai sumbangan yang sangat besar dalam suatu proses pembelajaran di
sekitar kita. Ia juga telah memberi banyak contoh yang bisa diambil sebagai bagian dari metode
pembelajaran. Umat Islam harus selalu berusaha menggali isi dan kandungan al-Qur’an
tersebut sebagai upaya untuk memberikan pengajaran kepada peserta didik agar ide-ide yang
ingin diberikan bisa diserap dengan mudah sesuai yang diharapkan.

Dalam usaha menyukseskan setiap pembelajaran, maka perlu ditopang dengan berbagai
metode dan strategi khusus. Untuk mendapatkan ragam metode dan strategi tersebut, perlu
kiranya selalu diadakan kajian-kajian di berbagai tempat dan kesempatan, selalu dicari formula
yang tepat sesuai kebutuhan, situasi dan kondisi. Dan salah satu sarana yang menjadi obyek
kajian paling utama adalah al-Qur’an.

Berangkat dari pemaparan tersebut di atas, penelitian ini akan mencoba ikut mencari konsep
metode pembelajaran yang ada dalam salah satu ayat al-Qur’an, dengan sebuah penelitian
berjudul : “METODE PEMBELAJARAN MENURUT AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125
(Sebuah Metode Penafsiran Tahlili)”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, ada permasalahan penting yang hendak diungkap dalam penelitian ini, yaitu
:
a. Bagaimanakah metode-metode dalam pembelajaran.

b. Bagaimanakah metode pembelajaran menurut al-Qur’an surah an-Nahl ayat 125.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang metode pembelajaran.

2. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang metode pembelajaran menurut al-Qur’an
surah an-Nahl ayat 125.

Sedangkan manfaat yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Menjadi sumbangan pemikiran kepada bagi mereka yang membutuhkannya.

2. Menambah wawasan penulis tentang ragam metode pembelajaran.

3. Menambah perbendaharaan referensi bagi perpustakaan IAIN Walisongo Semarang.

D. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman dan menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang judul
ini, maka kiranya perlu suatu penegasan istilah sebagai berikut :

a. Metode

Adalah urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna
mencapai tujuan yang direncanakan.

Dengan pengertian itu, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan
mengembangkan suatu gagasan sehingga bisa menghasilkan suatu tujuan tertentu dengan
lebih efektif dan efesien.

b. Pembelajaran

Adalah proses interaktif yang berlangsung antara guru dan siswa atau antara kelompok siswa
untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap serta memanfaatkan apa yang
dipelajari itu.

Dari sini dapat dilihat bahwa pembelajaran lebih mengarah pada usaha memperoleh perubahan
tingkah laku melalui berbagai proses yang dilaluinya.

c. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
mu’jizat dengan menggunakan bahasa arab yang mutawatir dan diawali dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas serta membacanya termasuk ibadah.

Jadi yang di maksud dalam judul penelitian ini adalah ragam metode yang bisa membantu
proses pembelajaran agar ide yang ingin diberikan bisa diserap oleh peserta didik secara lebih
efektif dan efesien, yang mana metode tersebut diambil secara langsung dari ajaran al-Qur’an
surah an-Nahl ayat 125.

E. Telaah Pustaka

Kajian tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan pembelajaran sudah banyak dilakukan,
terutama oleh tokoh-tokoh terkemuka, baik tokoh yang menguasai ilmu-ilmu secara menyeluruh
maupun yang bersifat spesialisasi. Banyak sekali mufassir (para penafsir al-Qur’an) yang
membahas masalah ini secara mendetail, termasuk pada surah an-Nahl ayat 125 ini. Di antara
mereka adalah Fahruddin al-Razy melalui tafsirnya yang terkenal dengan Mafatih al-Ghaib atau
Tafsir al-Razy. Dari ayat itu al-Razy menyatakan bahwa untuk menyampaikan suatu ide yang
diusung agar orang lain bisa segera menerima dan mengikutinya itu bisa dilaksanakan dengan
menggunakan beberapa metode dan tahapan. Diantaranya adalah dengan menggunakan dalil-
dalil yang jelas dan pasti serta bisa juga dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu
berdasarkan akal yang sehat agar misinya bisa tercapai sesuai dengan harapan. Seruan
dengan memakai dalil-dalil itulah yang disebut hikmah, dan seruan yang menggunakan logika
yang baik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan itulah yang disebut mauidhah hasanah.

Di Indonesia misalnya terdapat buku Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab. Dia menjelaskan
bahwa ayat itu mengandung tiga macam metode pembelajaran yang harus disesuaikan dengan
sasarannya. Terhadap cendikiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan
menyampaikannya dengan hikmah yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan
tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mauidhah
yakni memberi nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf dan
pengetahuan mereka yang sederhana. Sedangkan terhadap Ahl al-Kitab dan penganut-
penganut agama lain yang diperintahkan adalah jidal/perdebatan dengan cara terbaik, yaitu
dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.

Di samping itu ada buku berjudul Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan karya Abuddin Nata yang
memaparkan secara sederhana tentang metode pembelajaran yang hampir sama seperti
pemaparan Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya.

Satu lagi buku yang sangat penting adalah Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi karya
Hisyam Zaini dkk. Buku ini secara detail mengupas tentang langkah-langkah yang berhubungan
dengan metode pembelajaran, mulai dari pembahasan tentang asas, tujuan, penetapan strategi
sampai evaluasi hasil belajar. Dengan demikian maka patutlah buku ini dijadikan sebagi salah
satu buku panduan utama dalam penelitian ini.
F. Metode Penulisan

Merujuk pada kajian di atas, penulis menggunakan beberapa metode yang relevan untuk
mendukung dalam pengumpulan dan penganalisaan data yang dibutuhkan dalam penulisan
skripsi.

Metode yang diterapkan adalah :

1) Metode pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
research) , yaitu dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema
pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, dalam hal
ini ada tiga sumber, yaitu :

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data secara langsung dari tangan
pertama atau merupakan sumber asli. Dalam skripsi ini sumber primer yang dimaksud adalah
al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125.

b. Sumber skunder

Sumber skunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber yang lain yang tidak
diperoleh dari sumber primer. Dalam skripsi ini sumber-sumber skunder yang dimaksud adalah
kitab-kitab tafsir yang ada hubungannya dengan al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125.

c. Sumber tersier

Sumber tersier adalah sumber-sumber yang diambil dari buku-buku selain sumber primer dan
sumber skunder sebagai pendukung. Yang dimaksud sumber tersier dalam skripsi ini adalah
buku-buku lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan skripsi
ini.

Selanjutnya untuk memberi penjelasan atau penafsiran terhadap ayat tersebut, melalui metode
studi pustaka (library research), maka langkah yang ditempuh adalah dengan cara membaca,
memahami serta menelaah buku-buku, baik berupa kitab-kitab tafsir maupun sumber-sumber
lain yang berkenaan dengan permasalahan yang ada, kemudian dianalisa.

2) Metode analisa data

Guna mencari jawaban dari beberapa permasalahan yang ada di atas, penulis menggunakan
metode analitik (tahlili). Metode analitik adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.

Adapun langkah-langkahnya adalah :

1) Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat yang lain, maupun
satu surah dengan surah yang lain.
2) Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul).

3) Menganalisis kosa kata (mufradat) dan lafal dari sudut pandang bahasa arab.

4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.

5) Menerangkan unsur-unsur fashoha, bayan dan i’jaznya, bila dianggap perlu. Khususnya
apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balaghah.

6) Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat
yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam.

7) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
Sebagai sandarannya, mufasir mengambil keterangan dari ayat-ayat lainnya, hadis Nabi,
pendapat sahabat, tabi’in dan ijtihad mufasir sendiri.

Jadi dengan metode ini penulis akan mengulas ayat di atas dari berbagai sudut, terutama dari
bagian yang bisa secara langsung membantu untuk menarik kesimpulan ayat sehingga pada
akhirnya akan diperoleh suatu bentuk metode pembelajaran dari ayat tersebut yang nantinya
bisa dipakai sebagai salah satu alternatif pilihan metode dalam suatu pembelajaran.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan skripsi ini terbagi dalam lima pokok pikiran yang masing-masing
termuat dalam bab yang berbeda-beda. Secara rinci masing-masing bab akan membahas
tentang hal-hal sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan penelitia, penegasan
istilah, telaah pustaka, metode penulisan penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : TINJAUAN TENTANG METODE PEMBELAJARAN

Meliputi Pengertian, Landasan, Tujuan, Beberapa Metode Pembelajaran, Tehnik dan Strategi
Penggunaan Metode, Efektifitas Penggunaan Metode Pembelajaran.

Bab III : AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125

Meliputi gambaran umum ayat, mufradat, asbab al-nuzul dan munasabah ayat.

Bab IV : METODE PEMBELAJARAN MENURUT AL-QUR’AN SURAH AN-NAHL AYAT 125 :

a. Hikmah (Kebijaksanaan)
b. Mau’idhoh hasanah (Nasehat yang Baik)

c. Mujadalah (Dialog dan Debat)

Bab V : PENUTUP

Terdiri dari kesimpulan, saran dan penutup

Kemampuan Nabi Muhammad dalam hal baca tulis sampai saat ini memang tetap menjadi
sebuah polemik di dunia Islam. Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa nabi memang
buta huruf, sedangkan yang lain mencoba membantah ini. Masing-masing memiliki alasan yang
menurut mereka lebih kuat dibanding yang lain.

Baik kelompok yang menolak maupun yang menerima ke-ummi-an nabi sebagai sebuah
kebutahurufan sama-sama berangkat dengan menggunakan ayat yang sama dalam perdebatan
mereka. Yaitu: “orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka…..”

Berkenaan dengan hal ini Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya menyatakan
bahwa; “Kata ummi terambil dari kata umm/ ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai
membaca dan menulis. Seakan-akan keadaanya dari segi pengetahuan atau pengetahuan
membaca dan pengetahuan menulis sama seperti keadaan ibunya yang tidak pandai baca-
tulis.” Selain itu, masih menurut beberapa mufasirin kata ummi ini berasal dari kata ummah
yang menunjukkan bahwa masyarakat pada masa sebelum al-Qur’an turun memang dalam
kondisi buta huruf. Namun Prof. Dr. Quraish Shihab menegaskan bahwa memang Rasulullah
memang benar-benar ummi dalam artian buta huruf. Hal ini dikarenakan untuk menjaga
otentitas al-Qur’an itu sendiri. Ini dipertegas al-Qur’an sendiri. “Dan kamu tidak pernah
membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu
Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar
ragulah orang yang mengingkari(mu).”
Kalau dilihat melalui sejarah bangsa Arab, memang pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-
orang yang pandai memang sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dapat dikenal.
Termasuk di Makkah, ibu kota Hijaz. Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi pernah
belajar membaca dan menulis pada seorang guru, tentu beliau akan terkenal saat itu.
Seandainya kita tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya
menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah masyarakat tidak akan protes
kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan indikasi yang jelas
akan keummiannya.

Pendapat di atas tentu juga menui kritik. Salah satunya dari Syeikh al-Maqdisi, penulis buku
Nabi Muhammad, Buta Huruf atau Genius?. Ia mengatakan bahwa para ulama telah melakukan
kekeliruan dalam menafsirkan kata ummi dalam al-Qur’an. Al-Maqdisi tidak bisa menerima jika
Nabi adalah seorang yang buta huruf dan aksara. “Bagaimana mungkin seorang yang ummi
dapat memimpin dan mengajarkan ajaran Tuhan dengan baik jika ia tidak berpengetahuan dan
berilmu.” Katanya.

Untuk memperkuat argumennya al-Maqdisi menggunakan hadis yang diriwayatkan Zaid bin
Tsabit bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanir rahim,
maka perjelaslah huruf sin di situ.” Hadis ini menunjukkan bahwa nabi pandai membaca dan
menulis. Jadi lagi-lagi tidak mungkin orang yang tidak dapat baca dan tulis dapat mengajar
umatnya.

Menurut al-Maqdisi kesalahan yang dibuat oleh para ulama pada dasarnya terajadi karena
kesalahan pemaknaan pada kata ummi itu sendiri. Kata ummi terlalu diartikan secara letterlock
oleh para ulama sehingga apa yang dihasilkannyapun juga literar seperti apa adanya. Kata
ummi akan lebih tepat jika diartikan sebagai orang-orang di Arab selain Yahudi dan Nasrani.
Karena kedua golongan ini menyebut orang-orang di luar diri mereka sebagai ummi. Jadi
seperti itulah pemaknaan yang sesuai mengenai kata ummi ini. Dengan menafsirkan kata ummi
ini dengan golongan non-Yahudi dan non-Nasrani, maka kepribadian Nabi sebagai uswatun
hassanah tidak akan terkoyak.

Namun, dari kritik inipun saya melihat bahwa al-Maqdisi dalam bukunya itu terlalu berspekulasi
dengan tidak melihat kondisi yang ada pada saat itu secara detail. Meskipun pendapatnya juga
tidak begitu salah dalam artian pernyataan bahwa ummi itu adalah orang-orang selain Yahudi
dan Nasrani, namun, itu belum cukup membuktikan Nabi dapat membaca dan menulis atau
tidak. Apalagi jika kita melihat tulisan Martin Lings dalam Muhammad yang menggambarkan
kondisi sewaktu Nabi Muhammad masih kecil paska kematiannya kakeknya, beliau harus
bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri dengan menggembalakan kambing. Ini
dikarenakan baik kondisi ekonominya sendiri maupun pamannya, abu Thalib, dalam keadaan
yang sangat memprihatinkan. Jadi praktis kehidupan Muhammad hanya berkutat pada
pegunungan dan lereng-lereng padang rumput di Hijaz. Dan kemungkinan untuk belajar pada
seorang yang pandai di Hijaz pada waktu itupun begitu kecil. Meskipun pernah diriwayatkan ia
pernah belajar pada seorang Nasrani yang bekerja sebagai pandai besi, namun riwayat inipun
masih diragukan.

Namun ada satu pendapat lagi yang menurut saya menarik. Pendapat ini muncul di kalangan
orang-orang Syiah yang meski tetap berpendapat bahwa Nabi memang tidak bisa membaca
dan menulis namun mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki kemampuan khusus dalam
memperoleh kebenaran. Kemampuan itu mereka sebut sebagai intuisi, yaitu kemampuan untuk
memahami sesuatu tanpa memerlukan pengenalan langsung pada apa yang dikenalnya itu.
Jadi ketika nabi mengajar dan memberi pelajaran pada para sahabat Nabi tidak perlu bisa
membaca dan menulis terlebih dahulu untuk melakukan itu, karena Nabi sendiri adalah ibarat
tulisan dan sumber pengetahuan itu sendiri.

Selain itu sebuah riwayat dari Imam Bukhari yang menyebutkan bahwa, “Rasulullah bersabda:
Malaikat itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata,
‘Bacalah!’Kujawab, Aku tidak dapat membaca. Ia mendekapku lagi hingga akupun merasa
tersesak. Ia melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’ Dan kembali kujawab, aku tidak dapat
membaca! Lalu, ketiga kalinya ia mendekapku dan seperti sebelumnya, kemudian
melepaskanku dan berkata………………” Ini menunjukkan bahwa nabi memang seorang yang
ummi dalam artian tidak bisa membaca dan menulis. Namun tidak menutup kemungkinan
lainnya untuk terjadi, karena sejarah bisa saja diutak-atik. Maka dari itu sejarah selalu
membutuhkan sikap kritis kita dalam mempelajarinya.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim, terjemahan

Lings, Martin, Muhammad, Jakarta: Serambi, 2002

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati, jilid 5, 2002

Syeikh al-Maqdisi, Nabi Muhammad, Buta Huruf atau Genius, Jakarta: Nun Publisher, 2007

2. Ke-ummi-an Nabi saw

Kendati ukurannya tidaklah besar, Al-Qur'an adalah kitab suci yang mancakup berbagai pengetahuan,
hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk mengkaji secara mendalam
setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok yang terdiri dari para ahli di bidangnya
masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa yang lama agar dapat diungkap secara bertahap
sebagian rahasianya, dan agar hakikat kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah,
kecuali bagi orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari
Allah SWT.

Al-Qur'an mengandung berbagai ilmu pengetahuan yang paling tinggi, paling luhur dan berharga nilai-
nilai akhlaknya, paling adil dan kokoh undang-undang pidana dan perdatanya, paling bijak tatanan
ibadah, hukum-hukum pribadi dan sosialnya, paling berpengaruh dan bermanfaat nasehat-nasehat dan
wejangannya, paling menarik kisah-kisah sejarahnya, dan paling baik metode pendidikan dan
pengajarannya. Singkat kata, Al-Qur'an mengandung seluruh dasar-dasar yang dibutuhkan oleh setiap
manusia untuk merealisasikan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Semuanya itu dirangkai dengan
susunan yang indah dan menarik yang tidak ada bandingannya, sehingga semua lapisan masyarakat
dapat mengambil manfaat darinya sesuai dengan potensi mereka masing-masing.

Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini mengungguli
kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan menakjubkan adalah bahwa kitab
agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak pernah belajar dan mengenyam pendidikan
sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak pernah—walaupun hanya sejenak—memegang pena dan
kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.

Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, ia tidak pernah terdengar
ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan wahyu Ilahi yang beliau sampaikan
pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata yang khas dan berbeda sama sekali
dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan yang jelas antara kitab tersebut dengan
seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan
dengan ini, Allah SWT berfirman, "Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu
tidak pernah menulis satu buku dengan tanganmu. Karena jika kamu pernah membaca dan menulis,
maka para pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu [terhadap Al-Qur'an]". (QS. Al-'Ankabut: 48)

Pada ayat yang lainnya Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Jikalah Allah menghendaki, niscaya aku tidak
membacakannya kepadamu dan Allah tidak pula memberi tahukannya kepadamu.' Sesungguhnya aku
telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?"
(QS.Yunus: 16)

Dan kemungkinan besar bahwa ayat 23 surah Al-Baqarah yang menegaskan, "Dan jika kalian masih
merasa ragu terhadap apa yang kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah yang serupa
dengannya," menunjukan unsur kemukjizatan ini. Yakni, kemungkinan besar kata ganti "nya" yang
terdapat pada kata "serupa dengannya" itu kembali kepada kata "hamba Kami".

Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi—tentu mustahil—bahwa ratusan kelompok yang terdiri dari
para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling membantu itu mampu
membuat kitab yang serupa dengan Al-Qur'an. Namun, tidak mungkin bagi satu orang yang ummi (tidak
belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Qur'an
dengan segenap keistimewaan dan keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari
kemukjizatan kitab suci itu.

3. Konsistensi Kandungan Al-Qur'an

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?? - [s]Trezz - 22 Mar 2008 12:23

Kemampuan Nabi Muhammad dalam hal baca tulis sampai saat ini memang tetap menjadi sebuah
polemik di dunia Islam. Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa nabi memang buta huruf,
sedangkan yang lain mencoba membantah ini. Masing-masing memiliki alasan yang menurut mereka
lebih kuat dibanding yang lain.

Baik kelompok yang menolak maupun yang menerima ke-ummi-an nabi sebagai sebuah kebutahurufan
sama-sama berangkat dengan menggunakan ayat yang sama dalam perdebatan mereka. Yaitu: “orang-
orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka…..”

Berkenaan dengan hal ini Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya menyatakan bahwa; “Kata
ummi terambil dari kata umm/ ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis.
Seakan-akan keadaanya dari segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan pengetahuan menulis
sama seperti keadaan ibunya yang tidak pandai baca-tulis.” Selain itu, masih menurut beberapa
mufasirin kata ummi ini berasal dari kata ummah yang menunjukkan bahwa masyarakat pada masa
sebelum al-Qur’an turun memang dalam kondisi buta huruf. Namun Prof. Dr. Quraish Shihab
menegaskan bahwa memang Rasulullah memang benar-benar ummi dalam artian buta huruf. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga otentitas al-Qur’an itu sendiri. Ini dipertegas al-Qur’an sendiri. “Dan kamu
tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu
Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah
orang yang mengingkari(mu).”

Kalau dilihat melalui sejarah bangsa Arab, memang pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-orang yang
pandai memang sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dapat dikenal. Termasuk di Makkah, ibu
kota Hijaz. Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi pernah belajar membaca dan menulis pada
seorang guru, tentu beliau akan terkenal saat itu. Seandainya kita tidak menerima kenabiannya,
bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah
masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan
indikasi yang jelas akan keummiannya.

Pendapat di atas tentu juga menui kritik. Salah satunya dari Syeikh al-Maqdisi, penulis buku Nabi
Muhammad, Buta Huruf atau Genius?. Ia mengatakan bahwa para ulama telah melakukan kekeliruan
dalam menafsirkan kata ummi dalam al-Qur’an. Al-Maqdisi tidak bisa menerima jika Nabi adalah seorang
yang buta huruf dan aksara. “Bagaimana mungkin seorang yang ummi dapat memimpin dan
mengajarkan ajaran Tuhan dengan baik jika ia tidak berpengetahuan dan berilmu.” Katanya.

Untuk memperkuat argumennya al-Maqdisi menggunakan hadis yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit
bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanir rahim, maka perjelaslah
huruf sin di situ.” Hadis ini menunjukkan bahwa nabi pandai membaca dan menulis. Jadi lagi-lagi tidak
mungkin orang yang tidak dapat baca dan tulis dapat mengajar umatnya.

Menurut al-Maqdisi kesalahan yang dibuat oleh para ulama pada dasarnya terajadi karena kesalahan
pemaknaan pada kata ummi itu sendiri. Kata ummi terlalu diartikan secara letterlock oleh para ulama
sehingga apa yang dihasilkannyapun juga literar seperti apa adanya. Kata ummi akan lebih tepat jika
diartikan sebagai orang-orang di Arab selain Yahudi dan Nasrani. Karena kedua golongan ini menyebut
orang-orang di luar diri mereka sebagai ummi. Jadi seperti itulah pemaknaan yang sesuai mengenai kata
ummi ini. Dengan menafsirkan kata ummi ini dengan golongan non-Yahudi dan non-Nasrani, maka
kepribadian Nabi sebagai uswatun hassanah tidak akan terkoyak.

Namun, dari kritik inipun saya melihat bahwa al-Maqdisi dalam bukunya itu terlalu berspekulasi dengan
tidak melihat kondisi yang ada pada saat itu secara detail. Meskipun pendapatnya juga tidak begitu salah
dalam artian pernyataan bahwa ummi itu adalah orang-orang selain Yahudi dan Nasrani, namun, itu
belum cukup membuktikan Nabi dapat membaca dan menulis atau tidak. Apalagi jika kita melihat tulisan
Martin Lings dalam Muhammad yang menggambarkan kondisi sewaktu Nabi Muhammad masih kecil
paska kematiannya kakeknya, beliau harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri dengan
menggembalakan kambing. Ini dikarenakan baik kondisi ekonominya sendiri maupun pamannya, abu
Thalib, dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Jadi praktis kehidupan Muhammad hanya berkutat
pada pegunungan dan lereng-lereng padang rumput di Hijaz. Dan kemungkinan untuk belajar pada
seorang yang pandai di Hijaz pada waktu itupun begitu kecil. Meskipun pernah diriwayatkan ia pernah
belajar pada seorang Nasrani yang bekerja sebagai pandai besi, namun riwayat inipun masih diragukan.

Namun ada satu pendapat lagi yang menurut saya menarik. Pendapat ini muncul di kalangan orang-
orang Syiah yang meski tetap berpendapat bahwa Nabi memang tidak bisa membaca dan menulis
namun mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki kemampuan khusus dalam memperoleh kebenaran.
Kemampuan itu mereka sebut sebagai intuisi, yaitu kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa
memerlukan pengenalan langsung pada apa yang dikenalnya itu. Jadi ketika nabi mengajar dan memberi
pelajaran pada para sahabat Nabi tidak perlu bisa membaca dan menulis terlebih dahulu untuk
melakukan itu, karena Nabi sendiri adalah ibarat tulisan dan sumber pengetahuan itu sendiri.

Selain itu sebuah riwayat dari Imam Bukhari yang menyebutkan bahwa, “Rasulullah bersabda: Malaikat
itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’Kujawab,
Aku tidak dapat membaca. Ia mendekapku lagi hingga akupun merasa tersesak. Ia melepaskanku dan
berkata, ‘Bacalah!’ Dan kembali kujawab, aku tidak dapat membaca! Lalu, ketiga kalinya ia mendekapku
dan seperti sebelumnya, kemudian melepaskanku dan berkata………………” Ini menunjukkan bahwa nabi
memang seorang yang ummi dalam artian tidak bisa membaca dan menulis. Namun tidak menutup
kemungkinan lainnya untuk terjadi, karena sejarah bisa saja diutak-atik. Maka dari itu sejarah selalu
membutuhkan sikap kritis kita dalam mempelajarinya.

Dari Konteks keumian nabi ini saya melihat bahwa nabi mengalami beberapa fase dalam kehidupan
beliau. fase pertama, saat masih kecil dan usia remaja, hingga masa-masa umur dua puluhan. Fase ini,
sosok nabi adalah seorang yang memang benar dikatakan buta huruf.

Setelah fase inilah kemudian spekulasi dapat dimunculkan. masa perkenalannya dengan Khadijah,
dijadikan manager khalifah dagang wanita kaya ini. Cukup sulit dikatakan bahwa nabi buta huruf pada
sosok nabi sebagai ahli dagang. meski kemudian dapat dimunculkan pula bahwa bisa saja seseorang
menjadi pedagang tanpa harus bisa membaca dan menulis. namun sebagai orang kepercayaan khadijah
saya pikir Nabi tidak lagi buta huruf, paling tidak beliau telah bisa membaca

sumber :

http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/09/benarkah-nabi-muhammad-buta-huruf/

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?? - [s]Trezz - 22 Mar 2008 12:27

Runtuhnya Mitos Kebutahurufan Nabi Muhammad

Ajaran bahwa Rasulullah tidak mampu baca-tulis adalah sebuah kekeliruan tafsir sejarah yang konyol.
Inilah buku kontroversial yang mematahkan mitos kebutahurufan Nabi Muhammad.

Kalau ada umat yang begitu bangga menerima kenyataan bahwa pemimpin atau nabi-nya sebagai sosok
yang buta huruf, itulah umat Islam. Tak ada lain. Sejak kecil, ketika seorang anak muslim mulai mengenal
baca-tulis, ajaran bahwa Nabi adalah sosok yang buta huruf selalu ditekankan.

Kebutahurufannya seakan menjadi kenyataan yang patut dibanggakan dan bisa membangun
kepercayaan diri umat Islam! Pertanyaannya, benarkah ajaran itu? Atas dasar apa Nabi dianggap sebagai
sosok yang buta huruf? Apakah ia pernah menyatakan dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan
menulis sejak kecil hingga akhir hayatnya? Lalu, jika ada anggapan ia mampu membaca dan menulis,
apakah itu akan mengurangi keabsahannya sebagai utusan Allah?
Bagi Syekh Al-Maqdisi, jawabannya cukup jelas: Ada tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas
Rasulullah, khususnya dalam soal baca-tulis. Dan semua itu, bersumber dari kekeliruan kita dalam
menerejamahkan kata “ummi” dalam Alquran maupun Hadis, yang oleh sebagian besar umat Islam
diartikan “buta huruf”.

Menurut Al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tapi ketika menyangkut Nabi
Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa
itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau
“non-Yahudi dan non-Nasrani”. Termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya.

Selain itu, kata “ummi” di situ juga bisa merujuk pada kata “umm” atau ibu kandung. Jadi, maknanya
adalah “orang-orang yang seperti masih dikandung oleh rahim ibunya, sehingga belum tahu apa-apa”.

Dalam buku ini, Syekh Al-Maqdisi menunjukkan bukti-bukti otentik (hadis) yang menunjukkan fakta
sebaliknya bahwa Rasulullah adalah sosok yang justru pintar membaca dan menulis. Antara lain, sebuah
hadis yang diungkapkan Zaid bin Tsabit bahwa Nabi pernah bersabda: ”Jika kalian menulis kalimat
Bismillahirrahmanirrahim, maka perjelaslah huruf sin di situ.”

Pikirkan, kalau untuk soal huruf saja ia memperhatikan, ibarat seorang editor naskah, mungkinkah Nabi
seorang yang buta huruf? Buku Maqdisi ini, sekali lagi, mematahkan semua kekeliruan sejarah ini.

sumber :

http://www.kaylapustaka.com/content/view/1/1/

Segala yg benar datangnya dari Allah yg salah dari saya sendiri...

Bahaya Berhukum kepada Untaian Tulisan (Bagian II)

Salah satu sunatullah yang secara disadari atau tidak, telah diabaikan oleh ummat modern adalah
Paradigma UMMI pada diri Rasululloh......
Dijaman modern seperti kita alami saat, dimana budaya literal dianggap sebagai sokoguru kehidupan
manusia modern..... maka fenomena UMMI seakan tidak memperoleh tempat untuk bersemayam dalam
qolbu setiap insan. Hal ini sedikit banyaknya terkait dengan pencitraan UMMI sebagai kondisi "buta
huruf" semata dan sering dijadikan ciri "kebodohan" seseorang.

Padahal Sejarah telah mencatat bahwa seorang Rasul Penyempurna Dienul Islam dan Akhlaq manusia
adalah seorang "UMMI"..... Namun ummat tidak mau menarik hikmah agung dari ke-UMMI-an
Rasululloh.... dan salah satu sebabnya adalah pencitraan yang salah tentang Paradigma UMMI yang
terlanjur digembar-gemborkan sebagai keadaan "Buta Huruf" semata.

Iqro-lah terhadap proses tumbuh-kembangnya seorang manusia..... sehebat apapun Tokoh besar yang
pernah berjaya di dunia ini, awalnya adalah sesosok bayi mungil yang memerlukan buaian kasih sayang
dari UMMI-nya.... semua bayi sehat pasti akan menetek, tetapi Instint meneteknya itu bukanlah
diakibatkan karena membaca tulisan "hey bayi meneteklah"..... Ketika dia mengenal wajah UMMI-nya ...
tidak pernah daya mengenalnya itu diakibatkan dari membaca rangkaian tulisan "Ini Ummi-mu hey
bayi".... Ketika UMMI-nya mencurahkan segala kasih sayang tak terperi kepada si bayi... tidaklah mungkin
segala bentuk kasih-sayang itu diungkapkan kepada si bayi dengan untaian tulisan "ummi sayang kamu
wahai bayiku"..... Ketika dia belajar makan, minum, belajar berjalan tertatih-tatih.... maka semua upaya
untuk belajarnya itu tidak pernah diawali oleh untaian tulisan untuk bayi agar mau belajar ini-itu....
Pendek kata segala hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang, kemampuan dan pengetahuan si bayi
tidaklah mungkin diawali oleh penyampaian pengetahuan melalui media tulisan.... Semua manusia ...
apapun dia.... siapun dia.... pada masa awalnya adalah seorang "UMMI"..... dia tidak akan pernah
membutuhkan untaian tulisan sebagus apapun untuk memperoleh pengetahuan dan bertumbuh
kembang selain karena dianugrahi dari Alloh Azza wa Jalla dengan pendengaran, penglihatan dan "Fuad"
dan berkembanglah dia dikemudian hari menjadi sesosok ulamakah... pejabatkah... presidenkah... atau
apapun dia ... Tetapi yang pasti pada awalnya dia "pasti" seorang UMMI.... yaitu insan yang tidak
bertumpu kepada untaian tulisan untuk dapat menggapai segala bentuk pengetahuan, karunia dan
kenikmatan yang dilimpahkan Alloh SWT di dunia fana ini.

Itulah sekelumit gambaran singkat kenapa Rasul ditetapkan sebagai seorang UMMI ... yaitu suatu
kemampuan azali manusia yang tak pernah terlalu bergantung secara sepenuhnya kepada piranti buatan
akal budi manusia yaitu "untaian tulisan"..... substansi UMMI sebenarnya bertautan dengan fenomena
interaksi antara bayi dan UMMI-nya..... dan inilah Paradigma UMMI yang seharusnya kita pegang untuk
diambil hikmahnya.... dan tingkalkanlah pencitraan UMMI sebagai kondisi "buta huruf"..... karena
sejatinya dalam beberapa episode hidup sang rasul, sering pula diperintahkan mencatat transaksi
hutang-piutang.... ditemukan pula episode mengenai perintah pencatatan wahyu-wahyu kepada
sahabat-sahabat yang bisa menulis. Semua episode tersebut menunjukkan bahwa rasul pun mengenal
upaya baca tulis..... tetapi beliau tidaklah seperti golongan ahli kitab.... yang mengantungkan segala hal
dan urusan, termasuk kebenaran wahyu-wahyu Ilahi, melalui untaian tulisan dalam kitab-kitab hasil akal
budi manusia.

Salah satu hikmah agung dari paradigma UMMI adalah kebergantungan yang kokoh kepada suatu bentuk
"USWAH"....

Tenggoklah perintah dalam bentuk untaian Tulisan "BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPAT" .... maka serta
merta orang-orang yang membacanya dapat mengabaikan perintah tersebut....

Tetapi beda efeknya dengan USWAH..... sekali ibu-bapak dari seorang balita membuang sampah pada
tempatnya .... maka sang balita akan terbimbing kepada uswah yang ditunjukkan oleh orang tuanya....
tanpa perlu susah payah memasang papan pengumuman "BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA" dan
kebiasaan membuang sampah pada tempatnya-pun akan mudah terwujud dan membudaya secara
kokoh pada diri sang balita.

Maka seharusnya pulalah para pemimpin memberi uswah..... setiap kali seorang presiden berangkat ke
kantornya dengan menaiki kendaraan umum..... maka tak perlu UU khusus-pun rakyatnya akan meniru
uswah tersebut.

Setiap kali seorang presiden sangat berpantang kepada prilaku tidak senonoh dalam bentuk apapun.....
maka tak perlu lagi UU pornografi yang kontroversial.... dan begitulah selanjutnya..... apapun urusannya
dapat dengan mudah ditempuh secara UMMI dengan mengedepankan "Uswah" sebagai sokoguru
kehidupan dengan tidak terlalu sepenuhnya mengantungkan upaya lahir kepada untaian tulisan yang
dapat ditulis oleh seorang manusia yang "pasti" tidak pernah terbebas dari subyektifitas-nya.......
bersambung

Monday, June 8, 2009 at 10:10pm

Kemampuan Nabi Muhammad dalam hal baca tulis sampai saat ini memang tetap menjadi sebuah
polemik di dunia Islam. Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa nabi memang buta huruf,
sedangkan yang lain mencoba membantah ini. Masing-masing memiliki alasan yang menurut mereka
lebih kuat dibanding yang lain.

Baik kelompok yang menolak maupun yang menerima ke-ummi-an nabi sebagai sebuah kebutahurufan
sama-sama berangkat dengan menggunakan ayat yang sama dalam perdebatan mereka. Yaitu: “orang-
orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka…..”

Berkenaan dengan hal ini Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya menyatakan bahwa; “Kata
ummi terambil dari kata umm/ ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis.
Seakan-akan keadaanya dari segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan pengetahuan menulis
sama seperti keadaan ibunya yang tidak pandai baca-tulis.” Selain itu, masih menurut beberapa
mufasirin kata ummi ini berasal dari kata ummah yang menunjukkan bahwa masyarakat pada masa
sebelum al-Qur’an turun memang dalam kondisi buta huruf. Namun Prof. Dr. Quraish Shihab
menegaskan bahwa memang Rasulullah memang benar-benar ummi dalam artian buta huruf. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga otentitas al-Qur’an itu sendiri. Ini dipertegas al-Qur’an sendiri. “Dan kamu
tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu
Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah
orang yang mengingkari(mu).”

Kalau dilihat melalui sejarah bangsa Arab, memang pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-orang yang
pandai memang sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dapat dikenal. Termasuk di Makkah, ibu
kota Hijaz. Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi pernah belajar membaca dan menulis pada
seorang guru, tentu beliau akan terkenal saat itu. Seandainya kita tidak menerima kenabiannya,
bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah
masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan
indikasi yang jelas akan keummiannya.

Pendapat di atas tentu juga menui kritik. Salah satunya dari Syeikh al-Maqdisi, penulis buku Nabi
Muhammad, Buta Huruf atau Genius?. Ia mengatakan bahwa para ulama telah melakukan kekeliruan
dalam menafsirkan kata ummi dalam al-Qur’an. Al-Maqdisi tidak bisa menerima jika Nabi adalah seorang
yang buta huruf dan aksara. “Bagaimana mungkin seorang yang ummi dapat memimpin dan
mengajarkan ajaran Tuhan dengan baik jika ia tidak berpengetahuan dan berilmu.” Katanya.

Untuk memperkuat argumennya al-Maqdisi menggunakan hadis yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit
bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanir rahim, maka perjelaslah
huruf sin di situ.” Hadis ini menunjukkan bahwa nabi pandai membaca dan menulis. Jadi lagi-lagi tidak
mungkin orang yang tidak dapat baca dan tulis dapat mengajar umatnya.

Menurut al-Maqdisi kesalahan yang dibuat oleh para ulama pada dasarnya terajadi karena kesalahan
pemaknaan pada kata ummi itu sendiri. Kata ummi terlalu diartikan secara letterlock oleh para ulama
sehingga apa yang dihasilkannyapun juga literar seperti apa adanya. Kata ummi akan lebih tepat jika
diartikan sebagai orang-orang di Arab selain Yahudi dan Nasrani. Karena kedua golongan ini menyebut
orang-orang di luar diri mereka sebagai ummi. Jadi seperti itulah pemaknaan yang sesuai mengenai kata
ummi ini. Dengan menafsirkan kata ummi ini dengan golongan non-Yahudi dan non-Nasrani, maka
kepribadian Nabi sebagai uswatun hassanah tidak akan terkoyak.

Namun, dari kritik inipun saya melihat bahwa al-Maqdisi dalam bukunya itu terlalu berspekulasi dengan
tidak melihat kondisi yang ada pada saat itu secara detail. Meskipun pendapatnya juga tidak begitu salah
dalam artian pernyataan bahwa ummi itu adalah orang-orang selain Yahudi dan Nasrani, namun, itu
belum cukup membuktikan Nabi dapat membaca dan menulis atau tidak. Apalagi jika kita melihat tulisan
Martin Lings dalam Muhammad yang menggambarkan kondisi sewaktu Nabi Muhammad masih kecil
paska kematiannya kakeknya, beliau harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri dengan
menggembalakan kambing. Ini dikarenakan baik kondisi ekonominya sendiri maupun pamannya, abu
Thalib, dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Jadi praktis kehidupan Muhammad hanya berkutat
pada pegunungan dan lereng-lereng padang rumput di Hijaz. Dan kemungkinan untuk belajar pada
seorang yang pandai di Hijaz pada waktu itupun begitu kecil. Meskipun pernah diriwayatkan ia pernah
belajar pada seorang Nasrani yang bekerja sebagai pandai besi, namun riwayat inipun masih diragukan.

Namun ada satu pendapat lagi yang menurut saya menarik. Pendapat ini muncul di kalangan orang-
orang Syiah yang meski tetap berpendapat bahwa Nabi memang tidak bisa membaca dan menulis
namun mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki kemampuan khusus dalam memperoleh kebenaran.
Kemampuan itu mereka sebut sebagai intuisi, yaitu kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa
memerlukan pengenalan langsung pada apa yang dikenalnya itu. Jadi ketika nabi mengajar dan memberi
pelajaran pada para sahabat Nabi tidak perlu bisa membaca dan menulis terlebih dahulu untuk
melakukan itu, karena Nabi sendiri adalah ibarat tulisan dan sumber pengetahuan itu sendiri.

Selain itu sebuah riwayat dari Imam Bukhari yang menyebutkan bahwa, “Rasulullah bersabda: Malaikat
itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata, ‘Bacalah!’Kujawab,
Aku tidak dapat membaca. Ia mendekapku lagi hingga akupun merasa tersesak. Ia melepaskanku dan
berkata, ‘Bacalah!’ Dan kembali kujawab, aku tidak dapat membaca! Lalu, ketiga kalinya ia mendekapku
dan seperti sebelumnya, kemudian melepaskanku dan berkata………………” Ini menunjukkan bahwa nabi
memang seorang yang ummi dalam artian tidak bisa membaca dan menulis. Namun tidak menutup
kemungkinan lainnya untuk terjadi, karena sejarah bisa saja diutak-atik. Maka dari itu sejarah selalu
membutuhkan sikap kritis kita dalam mempelajarinya.

Dari Konteks keumian nabi ini saya melihat bahwa nabi mengalami beberapa fase dalam kehidupan
beliau. fase pertama, saat masih kecil dan usia remaja, hingga masa-masa umur dua puluhan. Fase ini,
sosok nabi adalah seorang yang memang benar dikatakan buta huruf.

Setelah fase inilah kemudian spekulasi dapat dimunculkan. masa perkenalannya dengan Khadijah,
dijadikan manager khalifah dagang wanita kaya ini. Cukup sulit dikatakan bahwa nabi buta huruf pada
sosok nabi sebagai ahli dagang. meski kemudian dapat dimunculkan pula bahwa bisa saja seseorang
menjadi pedagang tanpa harus bisa membaca dan menulis. namun sebagai orang kepercayaan khadijah
saya pikir Nabi tidak lagi buta huruf, paling tidak beliau telah bisa membaca

sumber: Benarkah Nabi Muhammad Buta HUruf? Poetraboemi


DIMOHON JUGA SEBELUM BERKOMENTAR BACA PAGE 1 NYA. KARENA TIDAK MUAT MAKA AKU
BEBERAPA KALI POSTING INFO PENTING DI PAGE 1.

Updated about 7 months ago · View Original Post

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?

10 04 2008

MEMBACA tulisan Prof Achmad Ali lewat kolom Hukum dan 1001 Masalah Kemasyarakatan di koran ini
edisi 31 Oktober lalu yang menyoal benar tidaknya Nabi Muhammad saw buta huruf, memancing saya
untuk menuliskan juga unek-unek saya tentang salah satu mitos yang masih dipegang kukuh oleh
sebagian besar umat Islam ini.

Suatu hal yang disadari atau tidak, mitos tersebut justru menjadikan musuh-musuh Islam punya dalih
menjelek-jelekkan agama Islam dan umatnya dengan menyebutkan bahwa nabinya saja bodoh, tidak
tahu membaca dan menulis, apalagi umatnya.Karena itu, bukanlah suatu keanehan kalau umat Islam
justru mengalami evolusi regresif, yakni berkembang ke arah keburukan, bukannya evolusi progresif,
yakni makin lama makin baik, makin cerdas, makin berilmu. Ironisnya lagi, kebutahurufan nabi seakan
menjadi kenyataan yang patut dibanggakan dan bisa membangun kepercayaan diri umat Islam.

Sebagai contoh, anak-anak kita ajari membaca dan menulis dan pada saat yang sama kita suguhkan
cerita tentang nabi yang tidak tahu membaca dan menulis. Kebutahurufan Nabi Muhammad sepertinya
sengaja dibangun untuk mengetengahkan sebuah argumen tentang betapa hebatnya mukjizat Alquran
yang bersumber dari sesuatu yang Ilahi. Dengan teori “nabi yang buta huruf”, mukjizat terkesan semakin
mencengangkan. Celakanya lagi, kebutahurufan dijadikan dalil untuk keabsahan risalah kenabian Nabi
Muhammad, sesuatu yang tidak menjadi syarat keabsahan nabi-nabi sebelumnya.

Pertanyaannya, benarkah ajaran itu? Atas dasar apa nabi dianggap sebagai sosok yang buta huruf?
Apakah ia pernah menyatakan dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan menulis sejak kecil hingga
akhir hayatnya? Lalu, jika ada anggapan ia mampu membaca dan menulis, apakah itu akan mengurangi
keabsahannya sebagai utusan Allah?

Makna Ummi

Oleh beberapa yang disebut ulama Islam sejak dahulu, makna perkataan ummi dalam beberapa surah
Alquran, misalnya Surah Al-A’raf 157 “nabi yang ummi” diartikan buta huruf, tidak pandai membaca dan
menulis. Dan ajaran mereka diterima tanpa ragu

oleh hampir seluruh umat Islam sejak dari zaman dahulu hingga ke hari ini. Bahkan oleh ulama-ulama
kemudian berusaha membenarkan dan mempertahankan mitos ini, termasuk yang dilakukan Prof
Achmad Ali, yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi polemik dalam diri beliau, karena
sesungguhnya bagi siapapun, pendapat bahwa Nabi Muhammad buta huruf, tidak tahu membaca dan
menulis adalah suatu kenyataan menyakitkan dan sangat sulit diterima.

Tidak ada larangan untuk meninjau kembali pandangan tersebut, apalagi itu hanyalah pendapat
beberapa ulama. Pendapat ulama bukanlah sesuatu yang sakral. Kita bisa membandingkannya dengan
pandangan Alquran dalam hal ini ayat-ayat Alquran yang mengandung kalimat “ummi” yang akan
membuktikan bahwa pandangan Nabi Muhammad buta huruf bukan saja tidak sesuai kenyataan, tetapi
juga berbau fitnah yang amat besar dalam Islam. Antara lain ayat yang dimaksudkan berbunyi; “Dialah
yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang “ummi” dari kalangan mereka

sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, mengajarkan kepada
mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata” (Qs. Al-Jumuah :
2).

Kaum yang “ummi” yang disebut dalam ayat tersebut adalah kaum Arab. Orang-orang Arab pada zaman
Nabi Muhammad diceritakan dalam buku sejarah, berada pada tahap tinggi dalam kesusasteraan dengan
karya-karya sastera yang berkualitas dipamer dan ditempelkan di dinding Kakbah. Tentu itu tidak
menggambarkan orang Arab jahiliah ketika itu berada dalam keadaan buta huruf. Mereka dikatakan
jahiliah hanya dalam

persoalan aqidah dan kepercayaan, bukan dalam pelbagai bidang lain.

Kata “ummi”, menurut Alquran adalah orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh
Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka
di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya: “Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab, dan orang-orang “ummi” (yang tidak diberi
kitab), sudahkah kamu tunduk patuh?” (Qs Ali Imran: 20).

Maka jelaslah, tidak seluruhnya kata “ummi” itu bermakna buta huruf. Lantas, apakah Rasulullah buta
huruf? Alquran membantah pendapat ini secara terang-terangan dan

berkali-kali. Banyak ayat di dalam Alquran yang mengisahkan nabi diperintahkan supaya membaca ayat-
ayat-Nya kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini menunjukkan nabi pandai membaca.

Contoh ayat dimaksud antara lain; “Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah, aku bacakan apa yang
diharamkan Tuhan kepadamu….” (QS 6:151). Atau, “Demikianlah Kami mengutus kamu (Muhammad)
kepada satu umat yang sebelumnya beberapa umat telah berlalu, agar engkau bacakan kepada mereka
(Alquran) yang Kami wahyukan kepadamu.…” (QS 13:30). Atau, : “Dia yang mengutus kepada kaum yang
ummi (orang Arab) seorang rasul (Muhammad) di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka,” (QS 62:2). Baca juga dalam QS 5:27, QS 17:106, 27:91-92, QS 33:33-34, QS 39:71.

Tambahan pula, sulit menerima hakikat bahwa seorang Nabi pilihan-Nya tidak tahu membaca padahal
ayat yang diturunkan pertama kali adalah perintah membaca, “Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang menciptakan” (QS 96:1). Ayat Alquran yang pertama sudah menyiratkan bahwa bahwa
Nabi Muhammad tidak buta huruf. Sebab, sebuah kesia-siaan saja bila Allah menyapa Nabi Muhammad
dengan perintah untuk membaca (kalau beliau dianggap buta-huruf). Karenanya, bagi Syekh Al-Maqdisi,
penulis buku Nabi Muhammad, Buta Huruf atau Genius? (Mengungkap Misteri “Keummian” Rasulullah)
jawabannya jelas: Ada tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas Rasulullah, khususnya dalam soal
baca-tulis. Dan semua itu, bersumber dari kekeliruan kita dalam menerjamahkan kata “ummi” dalam
Alquran maupun Hadis, yang oleh sebagian besar umat Islam diartikan “buta huruf”.

Menurut Al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tapi ketika menyangkut Nabi
Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa
itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau
“non-Yahudi dan non-Nasrani”, atau orang-orang yang tidak diberi kitab. Termasuk Rasulullah dan orang
Arab lainnya.

Alquran tidak hanya menjelaskan nabi pandai membaca, tetapi pandai menulis. Dalam

Alquran dijelaskan orang-orang kafir menuduh Rasul menulis dongeng-dongeng orang terdahulu dan
disebutnya firman-firman Tuhan: “Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang
terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan
petang.” (QS Al-Furqan : 5).

Dan terakhir, terdapat sebuah ayat lagi yang insya Allah dapat menepis sama sekali keraguan terhadap
Nabi yang dikatakan tidak pandai membaca dan menulis. Firman-Nya: “Dan engkau (Muhammad) tidak
pernah membaca suatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan
tangan kananmu, sekiranya engkau pernah membaca dan menulis niscaya ragu orang-orang yang
mengingkarinya.” (QS Al-Ankabut : 48).

Ayat ini menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis satupun Kitab sebelum menerima
Alquran. Maksudnya, setelah menerima Alquran, Rasul membaca dan menulis Kitab dengan tangan
kanannya. Ayat ini pun menunjukkan, dengan tidak pernahnya Rasullullah membaca atau menulis satu
kitab pun semisal Alquran, bukan berarti Rasulullah tidak tahu membaca dan menulis. Misalnya
membaca dan menulis dalam urusan perdagangannya. Nabi adalah seorang pedagang yang terkenal.
Dan para ahli sejarah sepakat, pada zaman Nabi tidak menggunakan angka-angka; huruf huruf abjad
telah digunakan sebagai angka-angka. Sebagai seorang pedagang yang berurusan dengan nomor-nomor
atau angka-angka setiap hari, Nabi tentunya tahu tentang abjad, dari satu sampai keseribu. Karenanya,
tidak ada dalih yang kuat apalagi untuk mempertahankan pendapat Nabi Muhammad buta huruf.

Ini bukan persoalan sederhana, manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya
berdasarkan cerita yang dipercayainya. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik
hidup kita yang berserakan. Naratif, kata filusuf Jerman Dilthey, adalah pengorganisasian hidup
(Zusammenhang des Lebens).

Apa pun yang membantu kita memberikan makna –pendapat, aliran pemikiran, mazhab, agama- selau
didasarkan pada cerita-cerita besar, grand narratives. Cerita yang kita dapat tentang Nabi buta huruf
yang wajib diteladani akan berpengaruh terhadap bagaimana kita menjalani dan melakukan
pengorganisasian hidup.

Dr Muhammad Syahrur, Penulis Al-Kitab wal Quran tidak mau menerima cerita tentang buta hurufnya
Nabi. Karenanya ia mengatakan, “Nabi memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis.”
Kalau keraguan masih ada, izinkan saya meminta untuk kembali membaca, surat pertama Tuhan kepada
kekasih-Nya, “Bacalah (Muhammad) dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan….!” Wallahu
‘alam. *

Ismail Amin, Mahasiswa Institute for Language and Islamic Studies, Republik Islam Iran

Pernah dimuat di Harian Fajar http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=45001

Obat Jerawat Alami

artikel ini aku ambil dari harian sinar harapan medio 2003 kalo gak salah. artikel ini sangat aku perlukan,
karena aku sangat bermasalah dengan kulit muka, jerawat, komedo, flek hitam. duhhh...hancur deh
pokoknya. so.. biar tetap bisa jadi referensi aku tuk "permak" wajah makanya aku posting kesini. dan
mudah-mudahan teman-teman lain yang memiliki maslah yang sama bisa saling bertukar informasi
disini.

Mengobati Jerawat dengan Cara Alami

Jerawat merupakan jenis penyakit kulit yang biasa ditemukan di semua kalangan, terutama remaja.
Penyebabnya antara lain faktor keturunan, ketidakseimbangan hormon, bakteri, tekanan psikologis, dan
cuaca.

Umumnya jerawat muncul pada masa remaja, tapi tidak jarang orang dewasa yang mengalaminya. Bagi
kaum perempuan jerawat bisa muncul apabila datang haid atau hamil dan bisa muncul di bagian tubuh
mana saja, tidak hanya di wajah. Selain itu alergi terhadap obat tertentu juga dapat merangsang
tumbuhnya jerawat.

Munculnya jerawat juga sering dikaitkan dengan konsumsi makanan tertentu seperti kacang-kacangan,
cokelat, atau goreng-gorengan. Meski demikian belum ada hasil penelitian yang menguatkan dugaan ini.

Semua tipe jerawat —baik komedo, jerawat biasa, maupun jerawat batu— memang sangat mengganggu.
Namun cara-cara berikut ini dapat dilakukan sendiri guna mencegah maupun mengobati jerawat. Bahan-
bahan berasal dari sekitar kita dengan cara yang tidak sulit dan menyita waktu.

Cuci Muka

Kulit wajah yang berminyak atau wajah yang mempunyai kecenderungan muncul jerawat harus
dibersihkan dua kali sehari. Sangat dianjurkan mencuci muka dengan pembersih yang PH-nya sedikit
asam untuk menjaga kebersihan wajah yang berjerawat.

Air seduhan 7-10 lembar daun sirih (Piper betle) mujarab untuk mematikan bakteri yang menyebabkan
jerawat sehingga dapat digunakan untuk mencuci muka sebanyak dua atau tiga kali sehari.

Menurut pengalaman beberapa orang, membasuh wajah dengan air es juga dapat mengurangi
timbulnya jerawat. Hal ini dipercaya dapat mengurangi minyak pada wajah.

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), yang ditumbuk halus dan dicampur dengan sedikit air garam juga
dapat digunakan untuk membersihkan wajah berjerawat. Menurut beberapa ahli kulit, belimbing wuluh
bersifat sejuk, dan berkhasiat sebagai antiradang dan astrigen (memperkecil pori-pori kulit wajah).

Wajah berjerawat juga lebih segar jika diuapi dengan seduhan satu bungkus daun teh. Sebungkus kecil
daun teh yang diseduh dengan air panas baru mendidih, lalu uapkan pada wajah yang berjerawat.
Masker

Sementara buah mengkudu dapat dimanfaatkan sebagai masker pemulus wajah. Masker mengkudu
tidak hanya mengatasi jerawat, panu, kulit yang keriput dan kering pun hilang lenyap, otot-otot muka
menjadi lebih relaks.

Jeruk nipis (Citrus aurantium) yang dioleskan pada wajah malam hari sebelum tidur dan baru dibersihkan
pada pagi harinya, dapat digunakan untuk menghilangkan jerawat. Hal yang sama juga dapat dilakukan
dengan buah tomat (Solanum lycopersicum).

Masker lain yang dapat digunakan mengatasi jerawat adalah masker temulawak (Curcuma xanthorizza).
Kompres wajah dengan air es setelah menggunakan masker akan membantu meningkatkan hasilnya.

Daun dewa dan mahkota dewa juga berkhasiat sebagai obat jerawat. Tanaman lain yang dapat
dimanfaatkan sebagai masker antijerawat adalah tumbukan pucuk daun jambu batu (Psidium guajava).
Lidah buaya (Aloe vera) yang terkenal dapat menghaluskan kulit juga dapat digunakan sebagai masker
penghilang jerawat.

Kentang (Potato solanum tuberosum) juga dapat dikompreskan pada jerawat. Potongan kentang yang
diiris tipis-tipis ditempelkan pada kulit yang meradang karena jerawat hingga warna kentang keabu-
abuan dan kering.

Sedangkan flek-flek hitam di wajah bekas jerawat dapat dihilangkan dengan masker jagung (Zea mays)
muda atau bengkoang. Parutan jagung muda atau bengkoang dioleskan ke bagian-bagian yang hitam lalu
diamkan sampai mengering.

Jerawat jenis komedo dapat dihilangkan dengan masker peel off dari gelatin buatan sendiri. Bahan-
bahannya: satu sendok makan bubuk gelatin yang bisa dibeli di pasar swalayan, dua sendok makan susu
cair dingin, dan satu butir putih telur. Susu cair dingin dan gelatin dicampur lalu dipanaskan, jaga jangan
sampai menggumpal. Setelah leleh, dinginkan sampai hangat, lalu campurkan dengan putih telur.
Oleskan adonan tadi ke wajah, kecuali seputar mata dan bibir. (nat)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Cara alami menghilangkan jerawat. Bagi kaum remaja jerawat merupakan hal yang sangat ditakutkan.
Tapi tenang ada cara alami untuk menghilangkan jerawat kok, kamu tidak perlu takut lagi akan efek
samping yang ditimbulkan oleh obat penghilang jerawat. Kebanyakan apabila seseorang menggunakan
obat penghilang jerawat, maka akan timbul efek samping pada kulit wajah mereka. Oleh karena itu,
aneka tips menyarankan agar gunakan cara alami, karena disamping cara ini ampuh, cara ini juga tidak
menimbulkan efek samping seperti yang ditakutkan. Silahkan mencoba tips di bawah ini, semoga jerawat
yang selalu membuat kamu tidak Pd atau kurang percaya diri dapat diatasi. Yuk baca cara alami
menghilangkan jerawat.
Cara alami menghilangkan jerawat

A. Dari bahan-bahan atau rempah-rembah.

# Bawang Putih

Ada dua pilihan dalam menggunakan bawang putih untuk menghilangkan jerawat. Pertama dengan
menumbuk dua atau lebih bawang putih hingga cukup halus lalu dioleskan ke bagian wajah yang
berjerawat. Diamkan selama 10 menit lalu bilas. Sedangkan cara kedua adalah dengan memakan satu
atau lebih bawang putih setiap hari.

Banyak yang mengatakan kedua cara ini cukup efekktif, namun bagi kalian yang tidak menyukai bau
bawang putih mungkin lebih baik menempuh cara yang lain. Jangan khawatir masih banyak cara alami
lainnya yang akan saya jelaskan di bawah ini.

# Putih Telur

Bagaimana caranya? Mudah saja. Pisahkan kuning telur dan ambil putih telurnya saja. Kocok sebentar
lalu oleskan ke wajah dan diamkan selama 15 menit. Putih telur ini akan membantu mengurangi minyak
di wajah yang seringkali menyebabkan timbulnya jerawat.

# Pasta Gigi

Satu hal yang perlu diingat disini pasta gigi yang digunakan adalah yang bentuknya pasta(seperti
Pepsodent) bukan yang bentuknya gel (seperti Close Up). Caranya hampir sama denga kedua cara di atas.
Oleskan pasta gigi ke jerawat dan bagian lain di sekitar jerawat tersebut sebelum tidur. Biarkan
semalaman/sampai pagi kemudian bilas dengan air bersih.

# Lidah Buaya

Ambil satu daun lidah buaya, potong beberapa bagian, kelupas kulit luarnya, oleskan di bagian yang
muncul jerawat, dan ulangi melakukan cara ini tiap pagi dan sore. Jika kalian cukup telaten, jerawat
mungkin akan dapat mongering dan mengelupas selama 3 hari. Selain itu lidah buaya juga mampu
menghilangkan bekas jerawat yang membandel. Sekali lagi kuncinya hanya satu, TELATEN!

# Tomat

Buah yang satu ini selain bagus untuk kesehatan mata juga cukup efektif menghilangkan komedo
hitam(blackheads). Yang pertama harus dilakukan adalah mengiris tomat menjadi dua lalu oleskan ke
seluruh wajah yang berjerawat dan biarkan selama 15 menit – 1 jam kemudian bilas.

# Lemon/Jeruk Nipis + Air Mawar

Lemon, jeruk nipis dan buah-buah sebangsanya mengandung citric acid yang sangat kaya, dimana citric
acid ini sangat baik untuk memindahkan sel-sel kulit yang mati yang bisa menyebabkan jerawat. Caranya
yaitu dengan mencampurkan jus/perasan lemon dengan air mawar kemudian oleskan di wajah dan
biarkan selama 10-15 menit. Setelah itu bilas dengan air hangat.

You might also like