You are on page 1of 18

BAB IV

PENGARUH TASAWUF SUNNI


TERHADAP PEMIKIRAN KEAGAMAAN NU

A. Tasawuf dalam NU
1. Tasawuf Sunni dalam NU
Ada dua kecenderungan umat Islam: satu pihak cenderung
mengutamakan pelaksanaan Islam secara lahiriyah, dan di pihak lain lebih
mengutamakan pengamalannya secara batiniyah. Kedua pengamalan
tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena Islam mengutamakan
keseimbangan antara dunia dan akhirat; lahir dan bathin; materiil dan
spiritual; syari’ah dan hakikat, sebagaimana diisyaratkan dalam al Qur’an
surah al A’raf/4: 117.
Dalam sejarah Islam, pengutamaan salah satu dari dua ajaran Islam:
tasawuf dan fikih, sempat menegang dan menimbulkan polemik
berkepanjangan. Mereka saling menyalahkan. Ulama yang sufi menuduh
fikih hanya beribadah secara formal. Sementara fuqaha’ menuduh seorang
sufi terjebak pada makna yang tersembunyi tanpa tahu formalitas dan
legalitas. Mereka (sufi) terjebak pada kemampuan intuitif pribadi dalam
mengenal Tuhan.
Dalam keadaan seperti ini, terjadi jurang pemisah yang semakin
dalam antara ilmu kalam (teologi) dan ilmu fikih (hukum). Ilmu fikih
mendasarkan diri pada akal, menggunakan dialektika, sementara ilmu
tasawuf menggunakan intuisi dan pengalaman ruhani. Dengan demikian,
kaum sufi banyak melakukan oposisi dari pihak kaum ortodoks (Nurcholish
Madjid: 1997). Padahal jauh sebelum mereka bertikai, sudah ada rambu-
rambu dari Abu yazid al Busthami tentang perlunya melaksanakan kedua
ajaran Islam tersebut secara bersamaan. Abu yazid al Busthami berkata:

“Apabila kamu sekalian melihat seseorang diberi karamah (kemuliaan/kelebihan)


sehingga dia mampu terbang di angkasa, maka jangan sekali-kali kamu tergiur
dengannya, sehingga kamu melihat bagaimana keadaannya dalam menjalankan
perintah dan meninggalkan larangan, serta bagaimana ia menjaga ketentuan-
ketentuan yang ada” (Al Qusyairi: 1940).

Imam Malik juga memandang perlunya pemaduan antara fikih dan


tasawuf. Dia mengatakan:

‫ ومن جامع بينهما فقد‬.‫ ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق‬.‫من تفقه وال يتصوف فقد تفسق‬
.‫تحقق‬

Halaman 47
“Siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka cenderung fasiq; siapa yang
bertasawuf dengan meninggalkan fikih, maka cenderung menjadi zindiq; siapa
yang memadukan keduanya, maka akan mencapai tingkatan hakikat” (Al Zabidi:
tt).

Namun seruan kedua ulama tersebut baru sebatas gagasan, belum


menyentuh pada masalah praksisnya. Dalam tataran teoritis telah banyak
usaha yang dilakukan untuk merekonsiliasi antara keduanya, namun belum
membuahkan hasil. Dalam sejarah intelektual Islam, tercatat al Qusyairi
dengan kitabnya: al Risalah al Qusyairiyah berhasil memadukan antara
kehidupan rasional dengan kehidupan intuitif. Setelah itu diteruskan oleh al
Ghazali. Dia adalah penerus usaha para pendahulunya, dan tercatat sebagai
ulama paling besar jasanya dalam memadukan rasionalitas dan intuisi. Al
Ghazali pun tercatat sebagai ulama yang paling berhasil.
Al Ghazali telah melakukan upaya mendekatkan syari’at dengan
hakikat. Dengan demikian, antara keduanya mengalami perpaduan, saling
menunjang. Oleh karena itu, dia dijuluki sebagai Hujjah al islam (argumentasi
Islam; pembela Islam). Wujud dari pemaduannya itu, dapat dibaca dalam
kitab monumentalnya: Ihya’ Ulum al Din dan kitab lain yang ditulisnya,
seperti Bidayah al Hidayah.1
Munculnya tasawuf yang dipelopori oleh ulama Sunni, khususnya al
Ghazali, tidak lepas dari dinamika masyarakat Islam pada waktu itu.
Masyarakat banyak mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi
syari’at, dan tenggelam dalam keasyikan filsafat (Nurcholish Madjid: 1995).
Akibatnya, muncul gerakan kembali ke syari’at dan tenggelam dalam ajaran
tasawuf, yang kemudian dikenal dengan tasawuf Sunni.
Di samping kitab-kitab ulama Sunni dibaca di pesantren-pesantren,
jalur transformasi intelektual dan spiritual mereka, khususnya al Ghazali,
bisa dilihat dari pemikiran mahasiswa Nidhamiyah (lembaga pendidikan
semacam universitas yang dipimpin al Ghazali—ed.). Nidhamiyah

1
Sebagian orang, termasuk Gus Dur dan Cak Nur dalam berbagai ceramahnya,
mengatakan: Tradisi NU itu Syi’i (maksudnya terpengaruh dengan tradisi orang-orang
Syi’ah—ed.). Ini terbukti, lanjut Gus Dur dan Cak Nur, dengan bacaan al Barzanji, cium
tangan, pembacaan puji-pujian sebelum shalat dengan nadham yang terkenal: Lil khamsatin
uthfi biha harra al waha li al khatimah, al Musthafa wa al Murtadha, wa Ibnahuma wa Fathimah (ada
lima hal yang bisa meredakan api bencana di hari akhir, yaitu: Nabi Muhammad saw; Ali
ibnu Abi Thalib; Hasan, Husen dan Sayyidah Fathimah).” Bagi penulis, ini harus dibedakan
antara Syi’ah dengan tasyayyu’. Syi’ah lebih cenderung ke pemikiran politis, meskipun ada
Syi’ah yang Sunni, seperti Syi’ah Alawiyah. Sedang tasyayyu’ adalah ekspresi cinta kepada
Nabi Muhammad dan Ahlul Bait. Oleh karena itu dikenal adanya kitab al Shillah baina
Tasawwuf wa al Tasyayyu’, ditulis oleh Ali Wardi. Sedangkan cium tangan merupakan
ekspresi ajaran fikih Syafi’i atau Syafi’iyyah, yang menaruh hormat kepada seorang tokoh
tertentu, yang memenuhi persyaratan tertentu, seperti wali dan kiai (termasuk guru yang
dihormati).

Halaman 48
berkembang pesat pada masa pemerintahan Nidhamul Muluk. Kampusnya
berdiri megah di pusat kota di Baghdad (Montgomery Watt: 1979).
Perguruan Tinggi ini mempunyai alumni yang tersebar di mana-
mana, termasuk di Makkah dan Madinah. Pola pemikiran mereka pun masuk
ke Indonesia.
Diceritakan bahwa setelah melakukan pengembaraan spiritual, al
Ghazali kembali lagi ke Thus, kota kelahirannya. 2 Di sini dia menempuh
hidup sebagai seorang sufi; sebagai seorang guru, dan hidup bersama murid-
muridnya dalam satu pondokan. Para muridnya itu menerima pelajaran dan
mempraktikkannya bersama sang guru (Montgomery Watt: 1979).
Gambaran pemikiran al Ghazali dapat dilihat dalam kitab Bidayah al
Hidayah dan kitab Ihya’ Ulum al Din. Kedua kitab ini, khususnya, sangat
berpengaruh di Indonesia. Kitab ini juga merupakan potret pemikiran dan
amaliyah praktis (hakekat)-nya (Montgomery Watt: 1979). Dan perlu dicatat
di sini, dalam deretan tarekat yang masuk kategori mu’tabarah, nomor ke 25
adalah tarekat Ghazaliyyah.3
Sebuah pertanyaan menggoda layak dilontarkan: Apakah al Ghazali
mempunyai andil langsung dalam perkembangan ini, atau sekedar sehelai
benang dalam berkas selendang kecenderungan yang semuanya menuju ke
satu arah?
Memang sulit di lacak, sejauh mana bentuk transmisi (silsilah) itu
terjadi. Montgomery Watt dalam buku Islamic Philosophy and Theology-nya
menyatakan: periode al Ghazali ke periode selanjutnya seolah-olah
merupakan perjalanan siang hari yang terang menuju kegelapan malam
(Montgomery Watt: 1979).
Pertanyaan tersebut akan menjadi jelas apabila dicatat, bahwa abad
ke-8 merupakan permulaan dari orde darwis (semacam rahib Islam), atau
tarekat. Pada waktu itu, Farmadhi (w. 1084 M), guru al Ghazali yang menjadi
pemimpin organisasi sufi (tarekat), merupakan orang yang mempengaruhi al
Ghazali. Sementara al Ghazali sendiri pernah mendirikan semacam pesantren
tasawuf yang membimbing para sufi. Pada abad ke-8 inilah telah terbentuk
tiga kelompok. Mula-mula dipimpin oleh Farmadhi sendiri, kemudian
dilanjutkan oleh al Ghazali (Montgomery Watt: 1979).
Pada akhir abad ke-19, di banyak tempat, sebagian besar orang awam
menganut tarekat itu, meskipun hanya sebatas simpatisan. Amaliyah mereka
adalah dzikir. Amalan dzikir ini dipandang lebih utama daripada ibadah

2
Sebagian sarjana mengatakan bahwa pengembaraan al Ghazali memakan waktu
10 tahun. Pengembaraan al Ghazali yang dilakukan tahun 1095 itu, satu sisi karena faktor
psikis, dan di sisi lain karena faktor politis.
3
Untuk tarekat Ghazaliyah ini penulis tidak mendapat informasi, baik mengenai
ajaran maupun silsilahnya. Hal ini semata-mata karena tidak populernya tarekat ini di
Indonesia.

Halaman 49
formal—meminjam istilah Montgomery Watt—sebagaimana tercantum
dalam syari’ah (Montgomery Watt: 1979).4
Transmisi itu juga bisa berasal dari Kiai Kholil dari Bangkalan (w.
1925 M). Tokoh kharismatik dan guru para pendiri NU ini belajar di Makkah
pada tahun 1860-an, dan kemudian kembali ke Madura sebagai guru, baik
ilmu lahir maupun ilmu bathin.
Beberapa kiai Jawa Timur dan Madura menganggapnya sebagai
nenek moyang spiritual5 dan intelektual mereka. Beberapa tokok pendiri NU
yang paling terkenal pernah belajar secara langsung kepadanya, seperti Kiai
Hasyim Asy’ari. Kemudian Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syamsuri
berguru pada Kiai Hasyim Asy’ari. Ketiga ulama ini tercatat sebagai pendiri
NU (Bruinessen: 1994).
Perjalanan intelektual al Ghazali bisa dikatakan tidak berjalan begitu
mulus. Dia menemui ganjalan dari seorang ortodoks (Sunni), seperti Ibnu
Taimiyyah. Sejarah mencatat Ibnu Taimiyah sebagai pengkritik pemikiran
dan praktik al Ghazali, meskipun keduanya merupakan tokoh sufi kenamaan
(Hamka: 1987).
Akibatnya, perbedaan pandangan ini mempengaruhi kecenderungan
pemikiran di dunia Islam terhadap tasawuf, yang seolah-olah terbagi
menjadi dua. Yaitu ada yang lebih beroreintasi ke pemikiran al Ghazali:
kelompok NU, dan ada yang cenderung ke pemikiran Ibnu Taimiyyah:
kelompok Muhammadiyah. Meskipun antara keduanya tidak bisa dibuat
garis pemisah secara tegas, tetapi perbedaan oreintasi itu sangat jelas terasa.
Dalam hal ini, Nurcholish Madjid menyontohkan sosok Hamka.
Tokoh sufi yang pernah hidup di alam modern ini lebih cenderung
mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyyah, namun dia sangat menghargai karya-
karya al Ghazali. Begitu juga dengan ajaran-ajaran esoterik Islam, pada
4
Yang perlu diingat, sepengetahuan penulis, al Ghazali tidak termasuk dalam
deretan mursyid tarekat yang sampai ke Indonesia. Hanya saja, mungkin transmisi—secara
tidak langsung—ke ulama Indonesia itu diperkirakan dari seorang mursyid tarekat bernama
Ahmad Khatib al Sanbasi. Dia adalah seorang pemadu tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah yang berasal dari Sambas, Kalimantan Barat. Ahmad Khatib ini pada
pertengahan abad ke-19 M mengajar dan menetap di Makkah al Mukarramah. Tarekat
Qadiriyah dan Naqayabandiyah sampai saat ini berkembang pesat dan hanya mendapat
pengikut di Indonesia. Ahmad Khatib melakukan pembai’atan kepada sejumlah murid yang
berasal dari Asia Tenggara untuk menjadi pengikut tarekatnya. Seorang Kiai yang mengikuti
tarekat Ahmad Khatib ialah Abdul Karim dari Banten. Oleh Khatib, dia kemudian ditunjuk
sebagai khalifahnya, setelah beliau wafat sekitar tahun 1878 (Bruinessen: 1995).
5
Martin Van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (1999),
mencatat bahwa Kiai Khalil dari Bangkalan mempunyai reputasi sebagai sufi besar. Namun
dia tidak berafiliasi kepada tarekat mana pun. Hal ini juga diakui oleh keturunannya, KH.
Abdullah Sahal dari Demangan dan Kiai Khalil Yasin dari Ketapang (keduanya bermukim di
Bangkalan, Madura—ed.), bahwa Kyai Khalil tidak pernah menjadi anggota tarekat tertentu
(Bruinessen: 1999). Menurut penulis, pencantuman nama Khalil dalam suatu tarekat semata-
mata untuk membesarkan tarekat itu.

Halaman 50
umumnya mengikuti al Ghazali, namun tidak seluruhnya setuju terhadap
ajaran tarekatnya (Nurcholish Madjid: 1995).
Ajaran tasawuf yang memadukan syari’at dipandang oleh kalangan
Nahdliyyin sebagai mu’tabarah (absah). Sedangkan yang menyimpang
dinyatakan ghairu mu’tabarah (tidak absah). Kalangan NU sangat
memperhatikan masalah ini dan membentuk organisasi yang dinamakan
Jam’iyyah ahl thariqah al mu’tabarah, yang kemudian pada kahir kalimat itu
ditambah dengan kata al nahdliyyah (secara harfiah bermakna berafiliasi ke
Nahdlatul Ulama—ed.).

2. Pengertian dan Sebab Lahirnya Tarekat


Tarekat diderivasi dari bahasa Arab: thariqah yang berarti al khath fi al
syai’ (garis sesuatu). Persamaannya adalah kata al shirath dan al sabil
(keduanya bisa bermakna jalan—ed.). Kata ini (thariqah) juga bermakna
sebagai al hal (keadaan), seperti terdapat dalam kalimat huwa ‘ala thariqah wa
thariqah sayyi’ah, artinya berada dalam (keadaan) jalan yang baik dan jalan
yang buruk (Ibnu Mandhur: 1990).
Dalam literatur Barat, kata thariqah menjadi ‘tarika’, yang berarti
road/ jalan raya; way/ cara; dan path/ jalan setapak (Gibb: 1974). Dalam al
Qur’an, kata thariqah diartikan sebagai jalan atau cara yang dipakai oleh
seseorang untuk melakukan sesuatu.6 Sedang secara praktis, tarekat bisa
dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat esoteric, yang
dilakukan oleh seorang muslim dengan menggunakan amalan-amalan
berbentuk wirid dan dzikir, yang diyakini memiliki mata rantai secara
sambung-menyambung dari mursyid (guru) ke mursyid lainnya, dan terus
bersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw (Zamakhsyari Dhofir:
1994).
Secara terminologis, kata ini mengalami pergeseran makna. Pasca
abad ke-19 dan 20, tarekat merupakan a method of moral psychology for the
practical guidence of individuals who had a mystic call. Pengertian ini merupakan
perwujudan dari kristalisasi makna tarekat beberapa abad sebelumnya, yakni
periode pasca abad ke-11. Pada abad ini tarekat dipahami sebagai the wole
system of rits the spiritual training laid down for communal life in the varions
muslim relegious order which began to be founded at this time (Gibb: 1974).
Pengertian tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh seorang sufi
untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla merupakan metode
psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan (Ahmad
Tafsir: 1990).
Sedangkan tarekat sebagai bentuk organisasi persaudaraan para salik,
menurut Arberry, telah muncul sejak abad ke-6 H/12 M, kemudian
6
Dalam al Qur’an, kata thariqah disebut sebanyak 9 (sembilan) kali. Empat kali
dalam bentuk mudzakar mufrad: thariq; tiga kali berbentuk mufrad mu’anats: thariqah; dan dua
kali berbentuk jama’ taktsir: thara’iq (Fuad al Baqi: tt).

Halaman 51
berkembang menjadi induk tarekat yang lahir sesudahnya, seperti tarekat
Qadiriyyah, Suhrawardiyyah, Syadzaliyyah, dan sebagainya (Arberry: 1970;
Bruinessen: 1994).
Jika ditelusuri, secara sosiologis, nampak bahwa latar belakang
lahirnya trend dan pola hidup sufistik berkaitan erat dengan perubahan
dinamika dalam kehidupan masyarakat. Gerakan zuhud yang dipelopori
oleh Hasan al Basri, dan uzlah yang dilakukan Ibrahim ibnu Adham,
merupakan reaksi dari situasi dan kondisi sosial politik di waktu itu. Mereka
hidup dalam budaya hedonistik yang dipraktikkan oleh para pejabat Bani
Umayah.
Demikan pula berkembangnya tasawuf filosofis yang diseponsori
oleh Yazid al Busthami (w. 261 H) dan al Hallaj (w. 309 H), serta Ibnu Arabi
(w. 637 H), adalah karena setting sosialnya cenderung silau oleh pola hidup
rasional. Hal ini, menurut Ibrahim Madzkur, merupakan pengaruh dari
filosof parepatetik, seperti al Kindi, Ibnu Sina, al Farabi, dan lain sebagainya
(Ibrahim Madzkur: 1995).7
Demikian halnya dengan munculnya tasawuf Sunni yang dipelopori
oleh al Qusyairi, al Harawi dan al Ghazali, tidak lepas dari dinamika
masyarakat Islam pada waktu itu. Masyarakat banyak mengikuti pola
kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at dan tenggelam dalam filsafat
(Ibrahim Madzkur: 1995). Lahirlah gerakan kembali ke syari’at dalam ajaran
tasawuf, yang kemudian dikenal dengan tasawuf Sunni.
Adapun tarekat, sebagai gerakan kesufian populer, tampaknya juga
tidak begitu saja muncul. Kemunculannya lebih sebagai tuntutan sejarah.
Dari latar belakangnya pun akan menunjukkan bahwa kelahirannya
beralasan, baik secara sosiologis-kultural maupun politis-struktural.
Secara sosiologis-kultural, masyarakat Islam mewarisi kultur ulama
sebelumnya. Kultur itu adalah tasawuf, yang ikut membidani lahirnya
tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian
ulama sufi dalam memberi pengayoman kepada masyarakat Islam yang
sedang mengalami krisis moral.
Dengan dibukanya ajaran tasawuf untuk orang awam, maka secara
praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Mereka
kemudian berbondong-bondong memasuki majelis dzikir para sufi. Lama-
kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri, dan akhirnya
disebut tarekat.
Sedangkan secara struktural-politis, dunia Islam sedang mengalami
krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti Palestina, Syiria, dan Mesir
sedang menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal

7
Filsafat parepatetik (dalam bahasa Arab disebut masy sya’in) adalah filsafat sintesis
antara ajaran Islam dengan Aristotalianisme dan Neoplatonisme. Filsafat ini ditemukan pada
abad ke-3/10 (Nasr: 1995).

Halaman 52
dengan perang salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H/ 1096-1258
M) terjadi delapan kali peperangan dahsyat (Ali Yafi: 1990).
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang
haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah yang dijajahnya.
Demikian pula dengan Baghdad, pusat kekuasaan dan peradaban Islam,
situasi politiknya tidak menentu karena terjadi perebutan kekuasaan oleh
para Amir (Turki dan Dinasti Buwaihi).
Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa
yang sebenarnya adalah para amir dan sultan. Mereka membagi wilayah
kekhalifahan Islam menjadi daerah otonomi yang kecil-kecil. Keadaan ini
diperparah dengan penghancuran kota-kota di Baghdad oleh Hulagu Khan
pada tahun 1258 M (Harun Nasution: 1985).
Keadaan seperti ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat
Islam di wilayah tersebut. Mereka mengalami disintegrasi sosial.
Pertentangan antar golongan terjadi di mana-mana, seperti golongan Sunni
dan Syi’i, golongan keturunan Turki dengan golongan keturunan Arab dan
Persia. Ini masih ditambah dengan terjadinya banjir akibat luapan sungai
Dajlah yang mengakibatkan rusaknya tanah Irak. Akibatnya, kehidupan
sosial, ekonomi, dan keamanan terganggu (Ali Yafi: 1990). Dalam suasana
kekacauan seperti ini, spiritualitas tumbuh subur, yang akhirnya menjilma
menjadi tarekat.
Sebagaimana diketahui, tasawuf adalah ilmu yang bersifat elitis
(khawas, bahkan khawas al khawas). Tidak semua orang (awam) bisa
meraihnya. Namun pada saat demikian ada ulama yang mau membimbing
orang awam untuk ikut bersama-sama ambil bagian dalam menjalankannya,
dan menuntun mereka menuju ma’rifat. Kemudian dilakukan upaya praktis
menuntun teknik dzikir yang mereka ciptakan. Dengan jalan ini, mulailah
muncul ikatan-ikatan ketarekatan, yang oleh bahasa Barat disebut sufi orders
(Simuh; 1996).
Menurut Harun Nasution, secara garis besar perkembangan tarekat
dikelompokkan menjadi tiga tahap. Yaitu tahap khanaqah, tahap thariqah, dan
tahap tha’ifah. Tahap khanaqah adalah para guru (mursyid) memilih sejumlah
murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Di
sini, syaikh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan
spiritual dilakukan, baik secara individual maupun secara kolektif. Ini terjadi
sekitar abad ke-10 M. Gerakan ini mempunyai bentuk aristokrasi. Masa ini
disebut masa keemasan tasawuf.
Tahap thariqah (tarekat) terjadi sekitar abad ke-12 M. Pada masa ini
sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa
inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilah
masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan. Di sini, tasawuf telah mengambil bentuk
kelas menengah.

Halaman 53
Sedangkan tahap tha’ifah terjadi pada abad ke-15 M. Di sini terjadi
transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul
organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di beberapa
tempat. Pada tahap ini tarekat mempunyai arti lain, yaitu organisasi sufi
yang melestarikan ajaran syaikh tertentu. Maka muncullah tarekat-tarekat,
sperti Qadiriyyah, Syadzaliyyah, Naqsyabandiyyah dan lain-lain (Saiful
Muzani (ed.): 1996; Bruinessen: 1966).
Apabila tasawuf pada awalnya dimulai dengan kehidupan zuhud,
maka tarekat merupakan perkembangan lebih lanjut dari tasawuf. Dalam
tarekat terdapat beberapa unsur yang menentukan, yakni adanya doktrin,
guru (syaikh/mursyid), murid, bai’at dan silsilah, yang semuanya harus ada
dalam dunia tarekat.
Doktrin dalam tarekat adalah suatu ajaran yang harus ditaati oleh
seorang guru maupun murid dalam menjalankan tarekat tertentu. Mursyid
adalah seorang yang mempunyai otoritas penuh dalam bidang tasawuf. Dia
membimbing rohani murid melalui tingkatan-tingkatan (maqamat)8 secara
berurutan untuk merasakan hakekat Tuhan,9 sebagai wujud pengalaman
keagamaan (religious experience), sehingga pada suatu saat akan mencapai
keadaan jiwa tertentu, yang dalam tasawuf disebut ahwal.
Adapun murid adalah seseorang yang bersedia menerima apa saja
yang (baik dan tidak melanggar syara’) dilakukan dan diberikan seorang
mursyid kepadanya.
Bai’at adalah sumpah setia seorang murid untuk menjalankan
amalan-amalan tarekat tertentu. Biasanya, bai’at didahului dengan membaca
firman Allah, surat al-Fath/48: 10:

َ ‫ك إِنَّ َما ُيبَ ايِعُو َن اللَّهَ يَ ُد اللَّ ِه َف ْو َق أَيْ ِدي ِه ْم فَ َمن نَّ َك‬
ُ ‫ث فَِإنَّ َما يَن ُك‬
‫ث َعلَى‬ َ َ‫ين ُيبَايِعُون‬ ِ َّ
َ ‫إِ َّن الذ‬
ً‫َجراً َع ِظيما‬ ِ
ْ ‫س ُي ْؤتِيه أ‬ َّ
َ َ‫اه َد َعلَْيهُ اللهَ ف‬
ِِ
َ ‫َن ْفسه َو َم ْن أ َْوفَى بِ َما َع‬

8
Ulama sufi berbeda pandangan dalam mengartikan maqam dan hal. Ada yang
mengartikan maqam atau maqamat sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf, seperti taubat,
zuhud, qana’ah, sabar, ridha, yang bisa diusahakan seorang sufi. Sedang hal atau ahwal adalah
suatu kondisi kejiwaan yang sifatnya pemberian dari Tuhan, seperti ma’rifat, uns (intim) dan
sebagainya.
9
Para mursyid mengajarkan doktrin tasawuf kepada murid-muridnya, baik secara
pribadi maupun kelompok. Pengikut tasawuf (murid) ini pada abad ke-5 H/ 11 M menjadi
suatu komunitas kekerabatan yang khas antara mursyid dan murid. Hal ini disusul dengan
pendirian pondok-pondok (ribath, khanqah). Di dalamnya ditetapkan seorang wali terkemuka
bersama sekelompok pengikutnya, yang dalam waktu singkat atau lama belajar di bawah
tuntunannya dan beribadah bersamanya. Pengenalan kepada dunia tasawuf ditandai dengan
pentahbisan dengan sebuah jubah khas (khirqah), sebagai simbol diterimanya sang murid
untuk mengikuti dan melanjutkan ajaran tarekat tertentu (Arberry: 1970).

Halaman 54
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka
barang siapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri, dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka
Allah akan memberinya pahala yang besar”.

Setelah itu, ia (murid) menerima pelajaran esoterik yang pertama


berupa talqin.10
Ijazah adalah pesan dari guru kepada murid untuk menjalankan
amalan tarekat tertentu. Selain ijazah, ada juga yang mirip dengannya, yakni
khirqah, yaitu sobekan kain yang diberikan oleh mursyid kepada murid
tertentu yang dianggap mampu melakukan bai’at kepada murid-murid lain.
Dengan adanya ijazah ini maka muncullah silsilah (transmisi) yang sambung
menyambung sampai dengan Nabi Muhammad, Jibril Alaih al salam dan
Allah Azza wa Jalla.

3. NU dan Lembaga Tarekat


Mayoritas warga Nahdlatul Ulama adalah berkultur tradisional.
Karenanya, tradisi klasik, seperti fikih dan tasawuf sangat kuat dalam
mempengaruhi gaya berfikirnya. Tasawuf yang berkembang di lingkungan
NU adalah dalam bentuk tarekat. Namun tidak semua tarekat diakui secara
institusional oleh NU. Hal ini karena ada kriteria tertentu yang menjadi
syarat sebuah tarekat diterima dan diakui oleh NU. Tarekat yang memenuhi
syarat itu disebut tarekat mu’tabarah.
Mu’tabarah (bermakna absah; bonafid; sunni), satu sisi dimaksudkan
sebagai tarekat yang mengindahkan syari’at, Ahlus sunnah wal jama’ah, dan
mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad. Di sisi lain, untuk
membedakannya dari ghairu mu’tabarah (berarti tidak abash; bid’i), tarekat
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Adapun tarekat yang diakui NU ialah: 1. Rumiyyah, 2. Rifa’iyyah, 3.
Sa’diyyah, 4. Bakriyyah, 5. Justiyyah, 6. Umariyyah, 7. Alawiyyah, 8.
Abbasiyyah, 9. Zainiyyah, 10. Dasuqiyyah, 11. Akbariyyah, 12. Bayumiyyah,
13. Malamiyyah, 14. Ghayyah, 15. Tijaniyyah, 16. Uwaisiyyah, 17. Idrisiyyah,
18. Sammaniyyah, 19. Buhuriyyah, 20. Usyaqiyyah, 21. Kubrawiyyah, 22.
Maulawiyyah, 23. Jalwatiyyah, 24. Baerumiyyah, 25. Ghazaliyyah, 26.
Hamzawiyyah, 27. Haddadiyyah, 28. Matbuhiyyah, 29. Sumbuhiyyah, 30.
Idrusiyyah, 31. Utsmaniyyah, 32. Syadzaliyyah, 33. Sya’baniyyah, 34.
Kalsaniyyah, 35. Qadiriyyah, 36. Sattariyyah, 37. Khalwatiyyah, 38.
Bahdasiyyah, 39. Syuhrawardiyyah, 40. Ahmadiyyah, 41. Isawiyyah
Ghaibiyyah, 42. Thuruq Akabir al Auliya’, 43. Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah, 44. Khalidiyyah wa Naqsyabandiyyah, dan 45. Ahl
10
Talqin di sini berarti bimbingan lisan, yang dilakukan oleh seorang mursyid dan
ditirukan oleh murid, baik dalam lisan maupun hati.

Halaman 55
Mulazamat al Qur’an wa al Sunnah wa Dala’il al Khairat wa Ta’lim Fath al
Qarib ‘an Kifayat al Awam.
Secara organisatoris, tarekat diakui dan dilindungi oleh NU. Hal ini
terlihat dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) NU, dalam pasal yang
menempatkan Jam’iyyah Ahl al Thariqah al Mu’tabarah al Nahdliyah sebagai
salah satu badan otonom NU. Badan otonom ini sejajar dengan badan
otonom yang lain, seperti Muslimat, Fatayat, GP Ansor, dan lain sebagainya
(Anggaran Rumah Tangga NU: pasal 21).
Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa latar belakang
munculnya kelembagaan tarekat dalam tubuh NU, karena Jam’iyyah Ahl al
Thariqah al Mu’tabarah yang didirikan oleh kiai tarekat Jawa, ingin secara jelas
membedakan diri dari berbagai sekte yang sinkretik. Mereka ingin
menegaskan bahwa hanya akidah dan amalannya yang mu’tabarah
(Bruinessen: 1994).
Jam’iyyah ini didirikan pada tanggal 10 Oktober 1957 oleh sejumlah
kiai tarekat senior yang berafiliasi dengan NU. Tujuannya adalah untuk
mempersatukan semua tarekat yang mu’tabar, demi mempertahankan
kepentingan bersama (Bruinessen: 1994).
Dengan kata mu’tabarah berarti mengindahkan syari’at, termasuk
Ahlus sunnah wal jama’ah, dan harus mempunyai silsilah yang sah. Tarekat ini
juga membedakan diri dari aliran kebatinan, gerakan mistisisme sinkretik,
dan tarekat lokal yang tidak jelas silsilahnya, seperti Wahidiyyah, 11 dan
Shidiqiyyah.12
Pada awalnya, tarekah mu’tabarah hanya terbatas di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Tetapi lama kelamaan menjadi blok yang sangat menentukan
di kalangan NU, dan menjalar sampai ke berbagai wilayah di Indonesia.
Sejak awal berdirinya, pimpinan tertinggi jam’iyah ini adalah para
kiai besar di Jawa, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka
adalah pemimpin tarekat di daerahnya masing-masing, di samping sebagai
pemimpin penting dalam organisasi NU.
Salah satu ulama yang pada tahun 60-an mempunyai peranan
menonjol pada lembaga tarekat mu’tabarah ini ialah Kiai Musta’in Ramli.
Popularitas kiai ini mencapai puncaknya pada pertengahan dasawarsa 70-an.
Pada muktamar Jam’iyyah Ahl Thariqah al Mu’tabarah ke-5 di Madiun, tahun
1975, dia terpilih sebagai ketua umum. Pesantren yang dia asuh, saat itu,
menjadi pusat tarekat yang paling terkenal di tingkat nasional. Di samping
itu, dia menjadi pemimpin yang sangat di perhatikan oleh pemerintah.
Dia telah dihadiahi sebidang tanah dan bantuan berupa dana untuk
mendirikan sebuah perguruan tinggi di Jombang. Lembaga pendidikan
11
Wahidiyyah adalah tarekat yang didapat berdasarkan suatu pengamalan esoterik
yang didirikan oleh Kiai Abdul Madjid di Donglo, Kediri, Jawa Timur.
12
Shidiqiyyah adalah tarekat yang didirikan oleh Kiai Mukhtar Mu’thi di Losari,
Ploso, Jombang, Jawa Timur.

Halaman 56
tinggi itu tidak lain adalah Universitas Darul Ulum Jombang, yang mulai
dibuka pada tahun 1975. Kebaikan tersebut nampaknya harus ada
imbalannya. Terbukti pada tahun 1977, kiai tersebut mempertaruhkan
popularitasnya dengan masuk ke partai pendukung utama orde baru,
Golkar.
Dalam suasana demikian, pembelotannya ke Golkar merupakan
‘pengkianatan’. Karena saat itu NU terwakili dalam PPP. Kiai Musta’in
dinilai telah menyalahgunakan kedudukannya sebagai ketua umum
jam’iyah. Karena itu diputuskanlah untuk mencopotnya dari kedudukan
sebagai ketua umum. Sejarah mencatat, gagasan pencopotan ini dipelopori
pondok pesantren Tebuireng, Jombang.
Tebuireng dinilai ambivalen (bertentangan—ed.) terhadap tarekat;
karena Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan para penggantinya tidak
pernah dan mengajarkan tarekat. Namun secara perorangan para santri
diperbolehkan mempelajarinya di tempat lain, asal mereka dianggap telah
matang oleh para guru. Oleh karena itu, tidak sedikit para alumnus pondok
pesantren Tebuireng yang menjadi pengikut, bahkan menjadi pengajar
(mursyid) tarekat.
Dari sekitar delapan puluh badal kiai Musta’in Ramli, tidak kurang
dari enam puluh empat orang telah belajar di Tebuireng. Bahkan Kiai Adlan
Ali (dari pesantren Cukir, Jombang) menjadi pengajar di pesantren ini
(Bruinessen: 1994).
Ketika Kiai Musta’in ‘membelot’ ke Golkar, justru Kiai Adlanlah yang
mendorong untuk melepaskan diri dari Kiai Musta’in, dan selanjutnya Kiai
Adlan menggantikan Kiai Musta’in sebagai mursyid di daerah Jombang,
Jawa Timur.
Karena kedudukannya sebagai badal dan belum mendapat ijazah
untuk membai’at, maka Kiai Adaln mencari ijazah dari mursyid kenamaan,
yaitu Kiai Muslih dari Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Karena itulah,
akhirnya loyalitas sebagian badal Kiai Musta’in beralih ke Kiai Adlan,
terutama yang pernah belajar di pesantren Tebuireng. Sedangkan sisanya ada
yang ke khalifah senior Kiai Romli Tamim, yakni Kiai Utsman al Ishaqi dari
Surabaya.
Tindakan menentang Kiai Musta’in mencapai klimaksnya pada
Muktamar NU tahun 1979 di Semarang. Kebanyakan kiai-kiai yang datang di
Muktamar Madiun hadir kembali di Muktamar ini dan memilih pengurus
baru. Mereka bersepakat menambah kata baru, yakni al Nahdliyyah,
sehingga menjadi: Jam’iyyah Ahl al Thariqah al Mu’tabarah al Nahdliyyah.
Dengan ditambahnya kata “al Nahdliyah” berarti organisasi ini tetap berada
dalam naungan NU. Di sini, Kiai Adlan Ali terpilih sebagai wakil presiden. 13
13
Pada waktu itu Kiai Syamsuri Badawi dan Idham Cholid mendapat posisi
penting dalam organisasi ini. Beberapa kiai memilih menjalin hubungan baik dengan
keduanya. Namun jam’iyah yang dipimpin kiai Musta’in ini berangsur-angsur melemah

Halaman 57
Sejak saat itu, NU mempunyai dua organisasi: satu dipimpin Kiai Musta’in
Romli, dan yang lain dipimpin Kiai Adlan Ali.
Muktamar berikutnya dilaksanakan di Situbondo. Pada saat ini juga
terjadi konflik, yaitu usulan agar tarekat Tijaniyyah 14 dicoret dari kategori
tarekat yang mu’tabarah. Dua dari sekian banyak sebab ialah karena tarekat
ini mengalami perkembangan pesat di Jawa Timur, terutama bagian Timur
(kalangan orang-orang Madura yang berada di wilayah Pasuruan sampai
Probolinggo). Sebab lain ialah karena tarekat ini tidak menerima kesetiaan
ganda. Konon, terjadinya konflik ini karena persaingan antar kiai. Namun,
konflik ini berhasil diredakan secara internal. Di sini, nampak adanya faktor
politis.15
Nuansa politisnya menjadi lebih besar ketika Idham Cholid naik
sebagai ketua umum Partai Persatuan Pembangunan atau PPP (1989).
Kondisi ini memicu permasalahn tersendiri ketika disadari bahwa Idham
Cholid mempunyai pengaruh besar di kalangan NU dan tarekat. Dia
merupakan sosok yang dianggap mursyid, yang ucapan dan prilakunya
mengharuskan untuk ditaati. Namun pada Muktamar ke-9 di Pekalongan
dinyatakan bahwa mursyid yang mengarah dukungan ke salah satu partai
politik, hukumnya tidak wajib ditaati.16

B. Tradisi Sunni di Kalangan NU


Tradisi Ahlus sunnah wal jama’ah di kalangan NU sangat dominan.
Setiap momen pengambilan keputusan selalu mengambil jalan tengah
(tawazun, tawasuth dan i’tidal) dan didasarkan kepada kaidah yang berbunyi:
al muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah
(mempertahankan warisan lama yang masih baik, dan mengambil hal baru
yang lebih baik).17

(Bruinessen: 1994).
14
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Ahmad al Tijani (w. 1815). Dia mengaku
menerima pelajaran langsung dari Nabi Muhammad dalam kondisi terjaga. Menurut
ajarannya, membaca wirid lebih utama dari pada membaca al Qur’an. Tarekat ini
menganjurkan agar para pengikutnya melepaskan diri dari tarekat lain. Selain itu juga
melarang ziarah ke makam wali. Dengan demikian, banyak terjadi pemutusan hubungan
dengan guru terdahulu (Bruinessen: 1994).
15
Aroma politisnya menjadi lebih kentara karena jam’iyah ini hanya mengakui
tarekat yang bersifat internasional. Sedang tarekat lokal, seperti shiddiqiyyah dan
Wahidiyyah tidak diakui.
16
Ketidak-wajiban menaati peraturan perintah mursyid merupakan suatu
kemajuan. Dalam tarekat masih berlaku ketaatan (taqlid) buta terhadap fatwa mursyid. Satu
sisi mencontoh kepada Nabi Musa dengan Nabi Kidhir (al Qur’an surat Kahfi/18: 60-82), dan
di sisi lain, ada sementara orang yang menganggap negatif terhadap kaidah hubungan guru-
murid: man qala lisyaikhihi lima, inqatha’at masyayikhuhu, artinya barang siapa yang berkata
kepada syaikhnya ‘mengapa’, maka terputuslah hubungan guru dan murid.
17
Kaidah (fiqhiyyah) ini sangat populer di kalangan warga Nahdliyyin. Namun,
sampai penelitian ini ditulis belum ditemukan sumber aslinya, baik dalam kitab al Asybah wa

Halaman 58
Salah satu tradisi sunni pada masa awal sejarah Islam ialah ketika
terjadi konflik internal umat Islam, maka dilakukan upaya rekonsiliasi untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi. Ini dilakukan ketika kondisi saat itu
sedang mengalami fanatisme terhadap sistem kesukuan/kefamilian
(nepotisme), terutama yang terjadi pada masa Utsman ibnu Affan dan Ali ibnu
Abi Thalib.
Pada puncaknya, perebutan kekuasaan tidak terelakkan antara
kelompok pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah. Maka pada saat itu
muncul kelompok yang ingin menyelamatkan dan terbebas dari konflik, baik
dalam Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Inilah yang—oleh ahli sejarah
Islam—disebut Mu’tazilah sebelum Hasan al Bashri, kelompok yang tidak
ikut serta (bebas) dalam persengketaan yang terjadi sesudah kematian
Utsman ibnu Affan (Ahmad Amin: 1955; A. Hanafi: 1970).
Konflik yang terjadi antara Thalhah dan Zubair (di satu pihak) dan
Ali ibnu Abi Thalib versus Mu’awiyah (di pihak yang lain), semuanya timbul
pada masa sekitar pembunuhan atas Khalifah Utsman ibnu Affan dan
Khalifah Ali (Syalabi: 1970).
Sebenarnya hal ini adalah persoalan politik. Namun bagaimana pun
akan mempunyai corak agama, sebab semua persoalan hidup dalam Islam,
baik sosial, ekonomi, politik dan sebagainya ditandai dengan corak agama.
Alasan dari golongan ini ialah, kebenaran tidak mesti berada pada
salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah.
Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi mereka yang
menyeleweng. Kalau keduanya menyeleweng atau tidak diketahui siapa
yang menyeleweng, maka harus menjauhkan diri atau i’tizal (A. Hanafi:
1970).
Kelompok inilah yang selanjutnya disebut ahlul zuhud (kelompok
zahid), yaitu orang-orang yang menarik diri dari pertikaian politik dan
perebutan kekuasaan. Montgomery Watt menyebutnya suatu kelompok yang
diketuai oleh Abdullah ibnu Umar, yang berdiri di Madinah pada awal
pemerintahan Ali ibnu Abi Thalib. Pada tahun-tahun terakhir, sarjana Barat
menyebutnya sebagai oposisi ulama. Saat itu, di berbagai negara pada pusat
kegiatan ulama, terutama di Madinah, Damaskus, Basrah dan Kufah, banyak
orang berkumpul di masjid untuk membicarakan masalah-masalah agama
(Montgomery Watt: 1979).
Dengan demikian, sunnisme (sunni sebagai isme; ideologi)
merupakan fenomena sejarah yang mengandung semangat wacana

al Nazha’ir dan Fara’id al Bahiyyah. Nurcholish Madjid, misalnya, mengutip kaidah ini dalam
bukunya: Tradisi Islam (1997) dan M. Ali Haidar juga menyebut dalam bukunya: Nahdlatul
Ulama dan Islam di Indonesia (1994). Sepengetahuan penulis, belum ada seorang kiai pun yang
tergabung dalam Pengurus Syuriah NU Jawa Tengah bisa memberi jawaban kitab rujukan
secara pasti.

Halaman 59
membuka dialog toleran dan rekonsiliasi, serta mengakui semua kelompok
yang bersengketa sebagai umat yang satu.
Dari peristiwa sejarah ini, selanjutnya terlihat benang merah hasil
pemikiran Sunni yang mencoba tetap berada di tengah-tengah untuk
menengahi konflik, baik politik, sosial, maupun keagamaan. Antara lain
terlihat pada konsep irja’ yang berasal dari konsep Murji’ah (dari akar kata
raja’a, artinya kembali—ed.), kelompok status quo yang dalam bidang politik
menganggap rezim Bani Umayyah telah ditaqdirkan oleh Tuhan menjadi
kepala negara, dan oleh karena itu dosa-dosa yang dilakukan tidak perlu
dipertanyakan. Hal ini bertentangan dengan paham kehendak bebas dan
adanya taklif (beban dan tanggung jawab penuh pada pelaku dosa).
Kelompok ini (Murji’ah) berusaha mengembalikan dosa seseorang
kepada Allah. Artinya, dia mengelak untuk menghakimi keimanan seseorang
dan menyerakannya kepada Allah.
Tradisi Sunni yang lain ialah adanya keyakinan bahwa seseorang
masuk surga bukan karena amalnya, namun karena rahmat Allah swt.
Dengan demikian seorang Sunni diharapkan tidak sombong dengan
amalnya, namun penuh tawadhu’ (sopan santun) dalam berbuat. Demikian
halnya dengan keyakinan Sunni, bahwa sunnatullah atau hukum alam itu
adalah suatu kebiasaan yang berjalan (ijra’ al ‘adah) semata, atau dengan kata
lain, Sunni tidak mengakui bahwa sunnatullah berlaku mutlak, sehingga
seseorang akan mengkaitkan segala sesuatu kepadanya, bukan kepada takdir
Allah swt.
Tradisi Sunni yang lain ialah adanya pertentangan antara Jabariyah
dengan Qadariyah. Yang pertama menyatakan bahwa manusia terpaksa
dalam melaksanakan perbuatannya. Sedangkan paham kedua menyatakan
bahwa manusia bebas menjalankan perbauatannya di dunia, karena mereka
telah diberi potensi akal oleh Allah.
Datanglah Imam al Asy’ari dengan teori kasabnya. Dia menyatakan
bahwa manusia itu diberi masyi’ah dan qudrah (kehendak dan kekuatan) oleh
Allah, ketika dan untuk melakukan sesuatu (‘inda al fi’li wa lil al fi’li).
Meskipun teori ini lebih cenderung ke arah Jabariyah (karena perbuatan
manusia [secara nisbi] itu murni dari-Nya), namun secara hakiki adalah
perbuatan Allah. I’tikad dan niat yang baik untuk keluar dari kemelut
perdebatan telah dilakukan oleh teori ini.
Hal yang sama juga terjadi pada NU yang menyatakan bermadzhab
fikih, memberi kemungkinan variasi pemecahan hukum sesuai dengan
lingkungan dan kondisi zaman. Tradisi semacam inilah yang hendak
dicobakembangkan NU dalam menyikapi interaksi sosial-budaya di tengah
masyarakat yang plural (M. Ali Haidar: 1994).
Semangat rekonsiliasi, toleransi dan dialog sebagai tradisi Sunni,
nampak jelas di kalangan NU. Meskipun di sana-sini masih nampak adanya
ketegangan eksternal maupun internal. Namun NU tetap memberi ruang

Halaman 60
dialog, sehingga tidak ada klaim kebenaran baginya. Salah satu contoh
adalah sikap NU ketika merumuskan dan mengesahkan UUD 1945, sebagai
kemelut politik tahun lima puluhan, dan terakhir tentang asas tunggal
Pancasila (M. Ali Haidar: 1994).
Dalam hal kepemimpinan, NU mempunyai budaya yang khas. Kiai
pesantren dan ulama memiliki kharisma luar biasa di mata para anggota NU.
Karena itu, para kiai ini sangat mudah dipatuhi oleh pengikutnya. Maka tak
mengherankan jika para kiai mudah memobilisasi umatnya, karena
kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap fatwa-fatwa.
Pola ini pula yang banyak menghantarkan NU pada prestasi politik
di kemudian hari. Hal ini terbukti pemilu tahun 1952, NU mampu
‘mengangkat’ kredibilitasnya. Biarpun usia masih 3 tahunan, namun mampu
menaikkan 500 persen perolehan kursi (dibandingkan perolehannya ketika
masih bergabung dengan Masyumi).
Tradisi Sunni di kalangan NU juga bisa diamati, misalnya, ketika
Soekarno mengambil kebijakan pemersatuan dalam slogan Nasakom
(Nasionalis, Agama dan Komunis). Dalam suasana politik seperti ini
(demokrasi terpimpin), ternyata unsur agama semakin lemah. Sementara
komunis semakin mendapat angin. Umat Islam saat itu mengalami tekanan
mental yang luar biasa. Dengan mudahnya partai Masyumi yang kritis,
dibubarkan oleh Pemerintah pada tahun 1960. Umat Islam memang masih
memiliki partai NU. Namun harus dimengerti, bahwa watak partai NU jauh
berbeda dengan Partai Masyumi.
Nampaknya NU belajar dari kegagalan-kegagalan politik Islam yang
oposan. Di sini NU tampil dengan manuver-manuver yang sama sekali baru.
NU justru menjadi partner pemerintah dalam pembangunan politik nasional,
sehingga banyak dikecam oportunis (ingin enaknya sendiri—ed.) oleh
mantan aktivis Masyumi.18 Namun bagi NU, keputusan yang dipilihnya
merupakan strategi yang paling mungkin untuk dilakukan.
Pilihan ini didasarkan kepada kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: Dar’ul
mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih, artinya menghindari bahaya lebih
didahulukan ketimbang menjangkau yang baik). 19 Dengan demikian, NU
bermaksud melakukan perubahan dari dalam, karena mustahil
melakukannya jika berada di luar (Laode Ida: 1996).
18
Tahun 1960 Presiden Sukarno membubarkan parlemen (Dewan Konstituante).
Pembubaran itu dinilai NU akan membawa akibat masa vakum yang membahayakan
demokrasi. Maka NU mengirim wakil untuk menghadiri undangan presiden ke pertemuan
di Tambak Siring yang keputusannya membentu DPR-GR. Nahdlatul Ulama akhirnya
bersedia menerima keputusan ini (M. Ali Haidar: 1994). Di samping itu, NU mau menerima
konsep Nasakom dan demokrasi terpimpin yang ditentang oleh Masyumi, sehingga terkesan
bersikap mencari selamat demi kepentingan politik para tokohnya.
19
Juga ada kaidah fikih yang sangat dipegangi oleh para pemuka NU, yang
berbunyi: Mala yudaraku kulluhu, la yutraku kulluh, artinya sesuatu yang tidak bisa dicapai
secara keseluruhan, tidak boleh ditinggalkan semua. (Ali Haidar: 1994).

Halaman 61
Sementara itu, walaupun NU menerima Nasakom-nya Soekarno,
namun hubungan NU dengan PKI sangat dingin. Ini karena sebenarnya NU
menentang keikutsertaan PKI dalam pemerintahan. Maka, ketika di tahun
1964 PKI menggelar propaganda anti agama, ditambah pemberontakan G 30
S/PKI tahun 1965, maka NU—terutama Gerakan Pemuda Ansharnya—
tampil sebagai kekuatan yang menghancurkan ide PKI itu. Peristiwa ini
terjadi karena PKI ingin mengganti politik aliran yang didukung oleh
strategic group, dengan politik berdasarkan kepentingan kelas. Upaya ini pun
berhasil digagalkan oleh kalangan agamawan, terutama NU dan militer
(Dieter Evars: 1975).
Selain berwatak kooperatif, NU menamakan dirinya sebagai Ahlus
sunnah wal jama’ah, yang dalam bidang fikih menganut salah satu dari empat
madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dalam bidang akidah
mengikuti faham Asy’ariyah dan Maturidiyah, dalam tasawuf mengikuti
faham al Junaidi dan al Ghazali (Masyhur Amin: 1996).
Karena mengklaim diri sebagai Sunni, maka ijtihad NU selalu
konsisten dengan paham Sunni pada umumnya; selalu mengambil jalan
tengah (moderat). Ijtihad kaum Sunni menyatakan bahwa satu jam tanpa
kepala negara lebih baik dipimpin oleh seorang kepala negara yang dzalim.
Sikap-sikap tersebut mendorong para pengamat menilai bahwa NU
lebih cenderung ke masalah fiqhiyyah, tepatnya fikih siyasah (fikih politik)
daripada pendekatan kalam dan tasawuf. Namun, apabila dikaji secara
mendalam, maka dapat dikatakan sebenarnya sikap pluralis, toleran dan
akomodatif seperti itu dapat pula di-ilhami pandangan tasawuf sunninya.
Terbukti, tasawuf lebih egaliter dibanding kedua disiplin lainnya.
Sikap pluralis, akomodatif dan toleran itu juga terbukti ketika Islam
masuk ke Indonesia, khususnya ke Jawa melalui ‘kendaraan’ tasawuf. Karena
tasawuf lebih menekankan pendekatan subtantif daripada pendekatan
formal. Dengan pola pendekatan tasawuf itulah NU bisa melakukan
ijtihadnya sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan, sepanjang tidak
menyangkut masalah prinsip agama dan garis perjuangannya.
Usaha NU, khususnya yang sudah dilakukan oleh Abdurrahman
Wahid untuk mempertahankan tradisi (terutama keilmuan), menjadikan NU
mampu menatap fenomena kehidupan negara modern di Indonesia. Tradisi
keilmuan itu melahirkan satu sikap yang menekankan keterpautan antara
duniawi dan ukhrawi, tanpa menolak salah satunya (Fahri Ali dan Bahtiar
Effendi: 1993).
Di lain pihak, tradisi Sunni di kalangan NU lebih memilih pada
proses subtansial ajaran Islam melalui pendekatan budaya. NU
menginginkan adanya perubahan masyarakat secara berangsur-angsur.
Karena itu, NU tidak mementingkan sikap masuk atau tidak masuk ke dalam
sistem kekuasaan, tetapi yang lebih penting ialah bagaimana
mengembangkan masyarakat untuk kritis terhadap struktur budaya yang

Halaman 62
melingkupi. Dalam hal ini, NU lebih banyak mempertimbangkan segi
kepentingan bangsa secara luas.
Tradisi seperti itu sangat kondusif bagi perkembangan kesadaran
masyarakat dan demokratisasi, dengan upaya melakukan transformasi
komitmen NU dari organisasi keagamaan kemudian ditransformasikan ke
arah kemanusiaan. Sikap ini sejalan dengan tujuan diturunkannya Islam:
untuk menyejahterakan umat manusia (rahmah lil alamin).
Secara esensial, NU telah menerapkan konsep pluralisme dalam
berbangsa dan bernegara. Pluralisme betul-betul diterapkan oleh NU dalam
segi-segi kehidupan ini. Hanya saja, sosialisasi terhadap konsep pluralisme
internal yang masih perlu terus menerus dilakukan, guna menggalang
kerukunan sesama warga NU sendiri.
Adapun secara eksternal, NU berupaya menghilangkan sekat-sekat
yang didasarkan kepada agama, ras dan antar golongan (Sara), tanpa niat
untuk mengeliminir. Hal ini diformulasikan dalam bentuk kesepakatan
PBNU untuk membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang
dideklarasikan oleh ketua PBNU sendiri, Abdurrahman Wahid. Memang
PKB tidak secara formal memasukkan Islam sebagai dasar partai politik ini,
namun secara informal tentu dia (PKB) memperjuangkan kepentingan Islam
(AD/ART PKB: 1998).
Tampilan PKB yang wel come terhadap kehadiran berbagai pihak
dengan latar belakang yang beragam, menunjukkan bahwa wawasan
kebangsaan lebih dikedepankan. Oleh karena itu, PKB dikualifikasikan
sebagai partai politik nasionalis-sekuler.
Kehadiran partai politik semacam PKB di kancah perpolitikan
Indonesia memang diperlukan, baik oleh warga NU yang butuh wadah
politik formal, maupun oleh bangsa yang mayoritas muslim. Adalah sebuah
prestasi yang membanggakan, ketika partai pendatang baru bernomor urut
35 di Pemilu tahun 1999, ini masuk sebagai 5 besar, setelah PDI-P, Golkar,
dan PPP.
Di samping itu, NU menaruh perhatian terhadap berkah (barokah),
termasuk berkah ulama dan wali (walisongo), yang diyakini memberi makna
tertntu bagi kehidupan. Keprcayaan seperti inilah yang membentuk
kepribadian warga Nahdliyyin untuk ta’at dan patuh, yang kadang-kadang
berlebih-lebihan, terutama bagi pengikut tarekat.
Di kalangan Nahdliyyin, banyak kiai yang mengikuti tarekat,
khususnya tarekat yang populer di Indonesia, seperti Qadiriyyah-
Naqsyabandiyyah, Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah. Mereka, para kiai,
kemudian mengajarkan tarekat kepada para santrinya untuk mengamalkan
sufistik yang khas.
Perjalanan tasawuf ini sangat didominasi oleh karya al Ghazali
melalui kitabnya, seperti Ihya’ Ulum al Din, Bidayah al Hidayah dan Minhaj
al Abidin. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya kitab

Halaman 63
lain, seperti: Awarif al Ma’arif karya al Shuhrawardi. Maka, tidak berlebihan
apabila dinyatakan: Pemikiran al Ghazali banyak mempengaruhi dunia Islam
bagian timur, termasuk Indonesia, khususnya pola pemikiran Islam
Tradisional (warga Nahdliyyin).

Halaman 64

You might also like