You are on page 1of 7

MAQAMAT DAN TINGKATANNYA

MAKALAH

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Tasawuf Akhalaki
Dosen pengampu: Ibu Arikhah

Oleh:

Ahmad Safi’i (084411005)

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO


SEMARANG

2009
MAQAMAT DAN TINGKATANNYA

I.Pendahuluan
Untuk mencapai tujuan tasawuf, seorang mubtadi harus menempuh jalan yang panjang
dan berat, melakukan berbagai macam usaha dan amal baik yang bersifat amal zhahir maupun
amal bathin. Walaupun pengetahuan dalam dunia tasawuf itu pada dasarnya bersifat repetitive,
tetapi ia dapat dipelajari melalui tahap-tahap tertentu atau yang biasa disebut dengan istilah
maqam.1
Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri, guna lebih mendekatkandiri pada Ilahi.
Berbagai tingkatan (maqam) dilalui untuk mencapai tinkatan tertinggi (tujuan). Dengan berbagai
macam usaha pensucian diri, maka bertambahlah cerahnya mata batin dalam melihat
kemakhlukan diri (terbukanya hijab). Dikarekan pengetahuan tasawuf bersifat pengalaman, maka
tingkatan maqamat sendiri tak bisa disamakan antara sufi satu dengan sufi yang lain.

II.Rumusan masalah
1. Maqamat
2. Taubat
3. Zuhud
4. Wara’
5. Faqir

III.Pembahasan
1. Pengertian Maqam
Maqam berasal dari bahasa arab (‫مقام ج مقامات‬-‫ )فام – يقوم‬yang artinya tingkatan.
Sedangkan menurut para sufi, maqam ialah tingkatan seorang hamba Allah dihadapan-Nya,
dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
Menurut Harun Nasution, maqamat adalah jalan ruhani yang harus dilewati oleh

1 Mufazi. Blogspot.com/tahapan maqamat.html


calon sufi, dan jalan tersebut dibagi dalam beberapa tingkatan (station)2, tempat seorang sufi
menunggu sambil berusaha keras membersihkan dirinya agar dapat melanjutkan ke station
berikutnya. Sedangkan menurut Jalaluddin Rahmat3, maqamat lebih merupakan derajat
ruhani yang harus dilewati oleh seorang salik ketika menuju pada Allah.
Perkataan maqam dapat diartikan dengan station, tahapan atau tingkatan, yakni
tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Dan atau tingkatan sikap hidup yang
telah dapat dicapai seseorang dengan kesungguhan dan latihan yang terus menerus. Hal
merupakan kondisi mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya
Tentang jumlah tingkatan maqam, para ulama tasawuf berbeda pendapat. Ini
dikarenakan oleh pengalaman religius masing-masing. Al-Ghozali menyebutkan ada
sembilan tingkatan maqamat4, yaitu: taubat, sabar, faqir, zuhud, takwa, tawakal, mahabbah,
ma’rifah dan ridhoh. Abu Nasr Al-Sarraj menyatakan ada tujuh tingkatan maqamat: taubat,
asketis, wara’, faqir, sabar, ridho dan tawakkal. Sedangkan menurut Abu Sa’id bin Abi al-
Khair terdapat empat puluh tingkatan maqamat, bahkan menurut Khowajah Abdullah Al-
Anshary terdapat seratus tingkatan.
Meski terdapat beragam pendapat mengenai tingkatan, para ulama sependapat
bahwa, pada tahap awal seseorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus mengetahui dan
menjalankan syari’at berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
2. Taubat
Menurut orang sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa,
sebab dosas adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci.
Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepadaNya, maka ia harus terlebih
dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertaubah.5
Taubat berasal dari kata ( ‫ توبة‬- ‫ يتوب‬- ‫ )تاب‬yang artinya kembali. Dari kata tersebut
mengandung tiga maksud yaitu kembali kepada kebenaran, janji untuk tidak melakukan dosa
lagi, dan menyesal telah melakukan dosa.
Menurut para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian taubat, akan tetapi secara
garis besar pengertian taubat dibagi dalam tiga kategori:

2 Dr. Asep Umar Ismail, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005, hlm. 112.
3 Ibide
4 Ibide
5 Media-Sufi.com
a. Taubat dalam arti meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebaikan
secara terus-menerus;
b. Taubat ialah kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena takut kepada
kemurkaan Allah;
c. Terus menerus melakukan taubat walaupun tidak melakukan dosa.
Sementara menurut Dzun Nun Al-Mishri, taubat dibagi menjadi dua:
a. Taubat orang awam, yaitu taubat dari dosa;
b. Taubat khawas, adalah taubat dari kelalaian.
Menurut Harun Nasution pembagian maqam taubat menjadi tiga tingkatan:
a. Seorang calon sufi harus bertauba dari dosa-dosa besar yang telah
dilakukannya;
b. Bertaubat dari dosa-dosa kecil;
c. Bertaubat dari hal-hal yang bersifat makruh dan subhat.
Dalam dunia sufi yang dimaksud taubat disini adalah taubat nasukha, yaitu berusaha
semaksimal mungkin untuk mengulangi dosa-dosa yang dilakukan. Untuk mencapai kondisi
taubat diperlukan waktu yang panjang. Sebagtai mana hadits Rasul yang artinya “Demi
Allah, saya memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya dalam sehari lebi dari
tujuh puluh kali”.
Fungsi taubat bagi para sufi tidak hanya sebagai penghapus dosa, akan tetapi sebagai
sarat mutlak dan syarat pertama agar lebih dekat kepada Allah. Dengan demikian taubat yang
dilakukan para sufi diartikan dengan lupa segala sesuatu selain Allah.
Orang yang taubah, kata al-Hujwiri, adalah orang yang cinta kepada Allah. Orang
cinta kepada Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah. Taubah merupakan
tahapan pertama yang harus dilewati oleh seorang pengamal ajaran tasawuf. Inilah yang
disebut sebagai perubahan (konversi) dan merupakan pertanda dari kehidupan baru. Namun,
seseorang tetap dianggap belum bertaubat, hingga: (1) ia segera meninggalkan dosa, baik
yang disadari atau tidak, dan (2) berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan mengulangi dosa-
dosa tersebut di masa mendatang.6
3. Zuhud
Zuhud merupakan tingkatan lanjutan dari taubat. Artinya, apabila seorang salik telah

6 Ibide
bertaubat, maka dia dapat menuju maqam berikutnya, zuhud. Menurut bahasa, zuhud berasal
dari kata ( ‫ زهدا‬- ‫ ) زهد – يزهد‬yang artinya tidak ingin.
Istilah zuhud sering disebut dengan asketisme yaitu keadaan meninggalkan dunia dan
hidup kematerian. Makna zuhud lebih diartika sebagai sifat menjauhkan diri dan melepaskan
diri dari ketergantungan tehadap kehidupan duniawi dan semua hal yang bersifat bendawi
dan mengutamakan kehidupan ukhrawi.
Biasanya sifat demikian ditunjukan dengan jalan mengasingkan diri atau uzlah
dengan menjalankan serangkaian ibadah.
Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan
hati untuk melepaskan ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf zuhud diberi
pengertian dan diamalkan secara bertingkat.
Menurut al-Ghazai dalam mutiara ihya’ ulumuddin7, derajat zuhud tertinggi adalah
tidak menyujai segala sesuatu selain Allah, bahkan terhadap akherat.
Ada tiga derajat kezuhudan, yaitu:
a. Memaksa diri untuk menjauhi keduniaan dengan memerangi nafsunya padahal ia
sangat menginginkannya.;
b. Menjauhkan diri dari keduniaan secara suka-rela karena ia merendahkannya untuk
memperoleh apa yang sangat diharapkannya, akherat;
c. Berlaku zuhud secara sukarela dan menjauhkan diri didalam kezuhudannya,
sehingga ia tidak merasa meninggalkan sesuatu karena mengetahui bahwa dunia
ada nilainya.
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak
bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama
saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun
kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh
lezatnya ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau
cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.
Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.
4. Wara’

7 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 334


Menurut bahasa, wara’ berasal dari, ( ‫ وراء‬- ‫) وارء – يورأ‬, yang berarti menjauhkan
diri dari segala dosa.
Yang dimaksud dengan wara’ ialah menghindari apa saja yang tidak baik, wara’
merupakan sikap menjauhkan diri atau sikap yang sangat berhati-hati dan selalu waspada
terhadap segala hal yang didalamnya terdapat syubhat. Hal ini dikarenakan sesuatu yang
mengandung syubhat seringkali menjeruskan menusia ke sesuatu yang haram. Sesuatu yang
syubhat menurut para sufi juga dapat mengotori hati dan menghalangi cahaya yang akan
dipancarkan Tuhan pada hati sanubari manusia.
Menurut Qomar kailani, wara’ dibagi menjadi dua; wara’ al-zhahiri (tidak
menggunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhoi Allah) dan wara’ al-
bathini (suatu usaha untuk tidak menempatkan atau mengisi batinya kecuali Allah).
Abdul Halim Mahmud8 berbeda pendapat, wara’ dibagi menjadi tiga bagia; wara’
dalam perkataan (menahan diri dari ucapan-ucapan yang sia-sia dan tidak bermanfaat), wara’
dalam hati (mencegah diri dari segala Sesuatu yang selain Allah), wara’ dalam perbuatan
(kewaspadaan terhadap segala hal yang berkaitan dengan makanan, minuman, pakaian dan
sebagainya sehingga diperoleh keyakinan yang jelas akan halalnya segala sesuatu yang
berkaiatan dengan diri.
Secara garis besar wara’ sangat mewaspadai terhadap:
a. Fatwa-fatwa yang indikasinya menuju keharam;
b. Sesuatu yang masih syubhat;
c. Menghindari diri terhadap sesutu yang halalnya hanya sebagian, dan sebagian
yang lain haram;
d. Menghindari segala sesutu yang bukan karena Lillah.
5. Faqir
Ke-fakir-an itu ibarat daripada ketiadaan apa yang dibutuhkan. Adapun ketiadaan apa
yang tidak dibutuhkan, maka itu bukan disebut fakir. Apabila kitapaha dengan kalimat itu,
niscaya kita tidak ragu lagi, bahwa setiap yang maujud, selain Allah adalah fakir, karena ia
memerlukan kepada kekekalan wujud (Allah).9
Jika pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari
yang jelas, kemudian dengan zuhud telah mulai menjauhi keinginan terhadap yang halal-
8 Op. Cit. Hlm. 116
9 Al-Ghazali, Ihya’ al- Ghazali, Jakarta: Faizan, 1985, hlm. 135.
halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan hidupnya, di dalam maqam fakir telah
sampai puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa
saja selain Tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi bi ‘i-
kulliyati ‘an ma siwa ‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain
tuhan. Yang dituju dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati
dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan
makrifat pada Zat Tuhan saja di sepanjang keadaan.

IV.Penutup
Demikian makalah ini kami sampaikan, semoga melalui pengetahuan ini dapat
menambah ketaqwaan kita terhadap Allah, dan dapat menuju puncak keindahan dalam dunia
tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Asep Umar Ismail, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005
Mufazi. Blogspot.com/tahapan maqamat.html
Media-Sufi.com
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin, Bandung: Mizan, 2003
Al-Ghazali, Ihya’ al- Ghazali, Jakarta: Faizan, 1985

You might also like