You are on page 1of 14

PENDAHULUAN

Menurut Harun Nasution, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar
berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan seorang guru Mursyid.
Tarekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para
pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati
akhir. Di samping itu tarekat berusaha membuka pintu Surga bagi publik. Tarekat adalah
jalan untuk memastikan kesamaan peluang untuk masuk Surga bagi semua lapisan
masyarakat, baik yang alim, awam, kaya atau pun miskin.

Ruh sebelum masuk ke tubuh memag suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali
menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan diri pada Tuhan
yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Sufi-sufi besar kemudian
merintis jalan sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat
(jalan).

Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-
langkah yang membawa kepada kehadirat Tuhan sebagai jalan. Pembagian 3 (tiga) jalan
dalam agama Islam menjadi Syariat,Tarekat dan Hakikat. Jalan tri tunggal kepada Allah
dijelaskan dalam suatu hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut : “Syariat adalah
perkataanku (aqwali), tarekat adalah perbuatanku (Ahwali), dan hakikat adalah keadaan
batinku (Ahwali)." (anemari h. 123)

Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut Syar sedang anak jalanan disebut thariq.
Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik
merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi
setiap Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.

Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak ditaati
terlebih dahulu dengan seksama. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih
sulit dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan sufi) sampai secepat
mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa pengakuan berdasarkan
pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.

Di antara berbagai macam tarekat yang ada terdapat tarekat yang bernama Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan
penggabungan dari dua Tarekat besar yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Penggabungan kedua tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah
Tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Jadi tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia merupakan tarekat yang mandiri yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

ASAL USUL GERAKAN TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH


Jika ditelaah secara sosiologis yang lebih mendalam, lahirnya tarekat lebih dipengaruhi oleh
kondisi sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup sufistik tidak lepas
dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah
munculnya gerakan kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri (110 H)
dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup
hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyah.

Hasan al-Basri termasuk pendiri madzhab Basrah yang beraliran zuhud. Pendirian hidup
dan pengalaman tasawuf Hasan al- Basri itu dijadikan pedoman bagi ahli tasawuf.
Pandangan tasawuf Hasan al-Basri di antaranya pandangan dia terhadap dunia yang
diibaratkan sebagai ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa
maut.

Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu,
yaitu faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda krisis
hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi
serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang
dua abad (490-656 H / 1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.

Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan.
Ia melalap setiap wilayah jarahnya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat
kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena selalu terjadi
perebutan kekuasaan di antara dinasti-dinasti Turki. Keadaan ini menjadi sempurna
keburukannya dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulaqu Khan.

Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya
dengan berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan
damai dengan sesama muslim dalam kehidupan.

Umat Islam memiliki warisan kultural dari para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan
terutama di bidang tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya
tarekat-tarekat pada masa itu. Misalnya Abu Hamid al- Ghazali (wafat 505 H / 1111 M)
dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum al- Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
telah memberikan pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh
sufi berikutnya seperti Syekh Abd al- Qadir al- Jailani yang merupakan pendiri Tarekat
Qadiriyah.

Mula-mula tarekat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara
individual. Akan tetapi, kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekat-nya kepada murid
baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tarekat pun berarti
jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan
bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tarekat sebagai nama sebuah
organisasi sufi.

Pada dasarnya munculnya banyak tarekat dalam Islam secara garis besarnya sama dengan
latar belakang munculnya banyak mazhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam
fiqih berkembang mazhab-mazhab seperti : mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Zahiri,
dan Syi’i.

Di dalam kalam juga berkembang firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,


asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sementara mazhab dalam tasawuf disebut tarekat. Bahkan
tarekat dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab dalam fiqih maupun
firqah dalam kalam.
Di Indonesia terkenal sebuah Tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini
merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram
Mekah al- Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al- Sambasi al-
Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari
Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abd al-
Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abd al-Qadir al-Jailani selalu menyeru kepada
murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat
ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya
menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al-Jailani juga mengingatkan kepada
pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam.
Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tarekat dengan
menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan tarekatnya.

Tarekat Qadiriyah terus meluas jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk
Indonesia. Bahkan manaqib (sejarah kelahiran dan sejarah keistimewaanya), kini senantiasa
mewarnai prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tarekat ini
selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang
dikembangkan oleh sebuah institusi tarekat.

Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad


Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717-791 H./ 1317-1389 M. Ia
dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak beberapa kilometer dari
kota Bukhara, Rusia.

Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang
yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk
membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat
Qadiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat
mursyid. Dalam Tarekat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh
seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang syekh
Tarekat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau
memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syekh
Abdul Qadir al- Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi
mandiri sebagai syekh dan Allah lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.

Syekh Khatib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan
Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan
mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru tarekat dan
mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syekh
Nawawi al-Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi
(w. 1923 M), dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan
murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas yang menonjol adalah di
bidang tasawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat Qadiriyah yang berpusat di
Mekah pada waktu itu. Di samping itu beliau juga sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan
Madinah sehingga sangat memungkinkan ia mendapat baiat tarekat Naqsyabandiyah dari
kemursyidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut,
yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-
muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadu dan ta’zim Syekh Khatib Sambas kepada
pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya
pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual
tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Tarekat
Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari ijtihadnya.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya


merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-
sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya
unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu
yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan
strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis
dzikir dan metodenya.

Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadkan
kalimat lailahailalah dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah
menekankan pada dzikir siri ismu dzat yaitu melafadkan kalimat Allah dalam hati.

Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-
19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di
Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, tarekat ini disebarkan oleh kedua
orang muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad
Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti
pesantren maka tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan
perkembangan yang berarti.

Lain halnya di pulau Jawa tarekat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan
dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib
Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad
Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh
Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib Sambas menjadi
penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini yang berkedudukan
di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia
menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama asal Banten tersebut.

Khalifah dari Kyai Tholhah Cirebon yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok,
belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Abdul
Karim Banten di Mekah. Pada dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya K.H.A.
Sohibul Wafa Tadjul Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga
sekarang Abah Anom Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
kemursyidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyadah dalam
tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para
remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat yang
terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya.

Sampai sekarang di Indonesia ada 3 (tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat
penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yaitu :

1. Pondok Pesantren Rejoso, Jombang - Jawa Timur,


Pondok Pesantren Mranggen, Jawa Tengah,
2. Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya - Jawa Barat.
POKOK-POKOK AJARAN TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki
beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian.
Ada beberapa ajaran yang diyakini paling efektif dan efesian sebagai metode untuk
mendekatkan diri dengan Allah. Pada umumnya metode yang menjadi ajaran dalam tarekat
ini didasarkan pada al-Qur’an, Hadis, dan perkataan para sufi.

Ada beberapa pokok ajaran dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di antaranya


ajaran tentang :
1. KESEMPURNAAN SULUK,
ADAB KEPADA PARA MURSYID,
2. DZIKIR.
1. KESEMPURNAAN SULUK, Ajaran yang sangat ditekankan dalam Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan
kesufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah), adalah jika berada dalam 3 (tiga)
dimensi keimanan, yaitu : Islam, Iman, dan Ikhsan. Ketiga term tersebut biasanya dikemas
dalam satu jalan three in one yang sangat populer dengan istilah syariat, tarekat,dan
hakikat .

Syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan ketentuan yang


telah ditentukan oleh Allah, melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. baik yang berupa perintah
maupun larangan. Tarekat merupakan dimensi pelaksanaan syari’at tersebut. Sedangkan
hakikat adalah dimensi penghayatan dalam mengamalkan tarekat tersebut, dengan
penghayatan atas pengalaman syari’at itulah, maka seseorang akan mendapatkan manisnya
iman yang disebut dengan ma’rifat.

Para sufi menggambarkan hakikat suluk sebagai upaya mencari mutiara yang ada di dasar
lautan yang dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, tarekat, dan hakikat) menjadi mutlak
penting karena berada dalam satu sistem. Syariat digambarkan sebagai kapal yang berfungsi
sebagai alat transportasi untuk sampai ke tujuan. Tarekat sebagai lautan yang luas dan
tempat adanya mutiara. Sedangkan hakikat adalah mutiara yang dicari-cari. Mutiara yang
dicari oleh para sufi adalah ma’rifat kepada Allah. Orang tidak akan mendapatkan mutiara
tanpa menggunakan kapal.
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diajarkan bahwa tarekat diamalkan justru
dalam rangka menguatkan syari’at. Karena bertarekat dengan mengabaikan syariat ibarat
bermain di luar sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.

Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh
pendiri tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hal ini dapat dimaklumi,
karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqih.

2. ADAB KEPADA PARA MURSYID, Adab kepada mursyid (syekh), merupakan ajaran yang
sangat prinsip dalam tarekat. Adab atau etika murid dengan mursyidnya diatur sedemikian
rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi Muhammad SAW. Hal ini
diyakini karena muasyarah (pergaulan) antara murid dengan mursyid melestarikan sunnah
(tradisi) yang dilakukan pada masa nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat
sedang kedudukan mursyid menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim
(pengajaran).

Seorang murid harus menghormati syekhnya lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa
maksudnya tidak akan tercapai melainkan ditangan syekh, serta menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang dibenci oleh syekhnya.

3. DZIKIR, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga


dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam tarekat. Dalam suatu tarekat dzikir dilakukan
secara terus-menerus (istiqamah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis
(riyadah al-nafs) agar seseorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan.
Dzikir merupakan makanan spiritual para sufi dan merupakan apresiasi cinta kepada Allah.
Sebab orang yang mencintai sesuatu tentunya ia akan banyak menyebut namanya.

Yang dimaksud dzikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah
(lisan) maupun hati (batin) sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh mursyid.

Dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu
1. Dzikir nafi isbat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “lailahaillallah”.
Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr
(dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn Abi
Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yasrib (madinah)
di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati tempat tidur dan memakai selimut
Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali mempunyai keberanian dan tawakaal kepada
Allah yang luar biasa dalam menghadapi maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan
dzikir keras adalah karena karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang,
terbuka, serta suka menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat
syahadat dengan suara keras.
2. Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara
sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan
merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sedangkan dzikir ismu dzat
dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika sedang
menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran
para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus
kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan sekaligus oleh seorang mursyid pada waktu baiat yang
pertama kali. Dapatlah difahami bahwa tarekat adalah cara atau jalan bagaimana seseorang
dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal munculnya, tarekat hanya sebuah
metode bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri dengan Allah dan masih belum
terikat dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi pada perkembangan berikutnya tarekat
mengalami perkembangan menjadi sebuah pranata kerohanian yang mempunyai elemen-
elemen pokok yang mesti ada yaitu: mursyid, silsilah, baiat, murid, dan ajaran-ajaran.

Tujuan seseorang mendalami tarekat muncul setelah ia menempuh jalan sufi (tasawuf)
melalui penyucian hati (Tasfiyatul Qalb). Pada prakteknya tasawuf merupakan adopsi ketat
dari prinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar
mencapai ridha Allah.

[Ditulis : Kurniawan, alumni Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Sosiologi Agama. Pernah menjadi wartawan di salah satu media cetak
nasional dan saat ini tengah menempuh Program Magister]
______________
DAFTAR PUSTAKA :
1. Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980)
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo: Ramadhani,
1995), cet. ke-2
Al-Barsany, Nur Iskandar, Tasawuf, Tarekat, dan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), cet. ke-1
AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2002), cet. ke-2
Akib, Kharisudin, Al- Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), cet. ke- 1
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, ( Bandung: Pustaka, 1985) Arifin, Sohibul Wafa
Tajul, Mifatahus Shudur diterjemahkan oleh Abu Bakar Aceh dengan judul Kunci Pembuka
Dada, (Suryalaya: Yayasan Serba Bhakti, 1974)
Bruinessen, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet.
ke-4
Dahlan, Abdul Aziz, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis dalam Tasawuf
(Jakarta: Paramadina, tt)
Dofir, Zamahsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES,
1996)
Jalaluddin, Sinar Keemasan, Jilid I, ( Ujungpandang: PPTI, 1987)
--------------, Sinar Keemasan, jilid II, (Ujungpandang: PPTI, 1987)
Nasution, Harun, ed, Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah; Sejarah Asal-usul dan
Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1991)
----------------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1990)
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
cet. ke-4
Said, H.A. Fuad, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996), cet.
ke-2
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 200)
Shihab, Alwi, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka, 2001)
Syata, Sayid Abu Bakar ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, (Surabaya: Dunia Ilmu,
1997), cet. ke-1
Tafsir, Ahmad, Tarekat dan Hubungannya dengan tasawuf, dalam Harun Nasution, ed,
Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabndiyah: Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya
(Tasikmalaya: IAILM, 1991)
2. Yahya, Zurkani, Asal-usul Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyah, dalam Harun
Nasution, ed, Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyyah: Sejarah, Asal-usul, dan
Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1990)

Tarekat Qadiriyah
Diposkan oleh Muryan Awaludin On 09:32:00
Pengertian tarekat menurut Prof.Dr.H.Abubakar Aceh ialah : “jalan ,petunjuk dalam melakukan sesuatu
ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan
dikerjakan oleh Sahabat, tabi’in , dan tabi’it tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung
menyambung dan rantai berantai”. Dari Abu Al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani mengatakan :

“kata Tariqat pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah probadi sufi yang bergabung dengan
seorang guru( Syekh) dan tunduk dibawah aturan-aturan terperinci dengan jalan rohaniyah ,yang hidup
secara kolektif secara zawiyah, ribath dan khanaqah, atau berkumpul secara periodic dalam acara-acara
tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniyah yang teratur”.

Adapun pengertian Tareqat Qodiriyah ialah : seperti yang telah dikatakan oleh
Prof.Dr.Hamka,”tharekat-tharekat itu berdiri sendiri, dibawah pimpinan syekh dan memakai nama
dibangsakan kepada syekh-syekhnya itu. Yang sangat terkenal ialah tareqat Qodiriyah yang didirikan
dan dibangsakan kepada sayyid Abdul Qodir Jailani di negeri Baghdad.”.

Menurut Huston Smith dalam The Concise Encyclopedia of Islam, bahwa Syekh Abdul Qodir Jailani
adalah peletak dasar-dasar tareqat Qodiriyah.tariat ini adalah yang pertama lahir dengan memiliki
bentuk dan karakteristik tersendiri.Menurut keterangan lain bahwa tareqat ini lahir setelah wafatnya
Syekh Abdul Qodir Jailani dan dibangun oleh orang-orang yang menganut dan meneruskan ajarannya.
Dengan kata lain dia tidak mendirikan tareqat Qodiriyah.

Tareqat Qodiriyah bermula dari ribath dan madrasah Syekh Abdul Qodir Jailani, tempat dia
menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya. Dia memimpin tempat tersebut sejak tahun 521 H hingga
wafatnya tahun 561 H .setelah itu ribath diteruskan kepemimpinannya oleh anak-anaknya kemudian
dilanjutkan oleh murid-muridnya dengan zawiyah sebagai pusat kegiatannya, yaitu suatu tempat
dimana para sufi melatih diri dalam bertasawuf.Dari zawiyah inilah tareqat Qodiriyah mengalami
perkembangan pesat.

Ditempat tersebut para murid mendapatkan ajaran dan pembinaan ruhani yang sesuai dengan
ajarannya, bagi murid yang sudah tamat akan diberikan ijazah yang berupa Khirqah dengan melakukan
janji untuk meneruskan ajarannya yang telah didapat. Bagi Syekh Abdul Qodir Jailani sendiri tentang
perolehan khirqah tidak terlalu penting, pembentukan jiwa sufi lebih utama dan dianggap cukup.

Murid-muridnya banyak memegan peran penting dalam penyebaran ajaran tasawufnya.ada beberapa
nama muridnya yang diketahui menyebarkan ajaranya yaitu : Muhammad ibn Abd al-Samad di Mesir,
Muhammad al-Bata’ihi dan Taqiy al-Dina al-Yunini di Suriah, dan Ali al-Hadad di Yaman. Pada abad
ke-15,tarekat ini masuk dan berkembang di anak benua India.

Perkembangan yang sama terjadi di Afrika Utara.Pada tahun 1550 M, tarekat ini tersebar di Afrika
Timur.Pada abad ke-17, tarekat ini mulai masuk ke Turki.Penyebar didaerah ini bernama Ismail Rumi
(wafat 1631 atau 1643 M), dia kira-kira mendirikan 40 pusat tarekat di Istambul dan sekitarnya. Tareqat
Qodiriyah tersebar di Asia Kecil dan Eropa Timur, setelah beberapa desawarsa kemudian di Indonesia
tareqat ini adalah yang pertamakali masuk menurut sumber-sumber yang ada di Indonesia.Orang yang
pertama menganut tarekat Qodiriyah dari Indosesia ialah Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590 M) dia
masuk tarekat Qodiriyah antara Baghdad dan Syahr-I Naw (Ayuthia, ibukota Muangrtai). Hamzah
memperoleh ilmu Syekh Abdul Qodir Jailani melalui jalan ruhani.setelah Hamzah Fansuri tarekat ini
berkembang di Aceh.Syekh Yusuf Makasari adalah orang yang masuk tarekat didaerah tersebut. Tarekat
Qodiriyah di Aceh berhubungan dengan tarekat yang lahir di India (Gujarat)tarekat di Indonesia juga
mendapat pengaruh dari Yaman.

Di Indonesia tarekat Qodiriyah bergabung dengan tarekat Naksabandiyah. Pengabungan kedua tarekat
ini dilakukan oleh tokoh asal Indonesia, Ahmad Khatib ibn Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim
dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19 berasal dari Kalimantan barat, akan tetapi
meninggal di Mekkah tahun 1878 M.
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah: Abd Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang
menyebarkan dan mempopulerkan tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah
dari Cirebon yang mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang
dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat Naqsabandiyah di
Indonesia.Martin Van Bruinessen mengatakan:

“ Khalifah dari Kiyai Tolhah Cirebon yang paling penting ialah Abdallah Mubarak, belakang dikenal
sebagai Abah sepuh.Abdallah melakukan baiat ulang dengan Abd Karim Banten di Mekkah, dan pada
tahun 1905M mendirikan pesantren Suryalaya di Pangerageung, dekat Tasikmalaya ( Jawa
Barat ).Dibawah pimpinan putranya dan penerusnya Abah Anom (atau lebih gagah ,K.H.A.
Shahibilwafa Tadjul Arifin) pesantren ini menjadi lebih terkenal secara nasional karena pengobatan
yang dilakukan terhadap para korban Narkotika, penderita gangguan kejiwaan dan macam-macam
penyakit lainya dengan mengamalkan dzikir tarekatnya. Abah Anom banyak mendapatkan patronase
dari para pejabat tinggi dari Golkar yang telah dimasukinya hamper sejak permulaan berdirinya
organisasi tersebut. Khalifahnya ada diseluruh jawa di Singapura di Sumatra Timur, Kalimantan Barat
dan Lombok.

Zikir kepada Allah dengan mengucap Laailaaha illallah , adalah amalan utama di Pondok Pesantren
Suryalaya sejak masa Abah Sepuh hingga Abah Anom.zikir tersebut diamalkan setelah shalat wajib
sebanyak 165 kali atau lebih.diluar shalat wajib ,zikir tersebut tidak dilarang untuk diamalkan,bahkan
dianjurkan.zikir ini dinamakan zikir Jahar, yakni zikir yang diucapkan dengan suara keras.zikir yang
lain yaitu Zikir Khafi, yaitu zikir yang dibaca dalam hati.ini juga menjadi amalan pokok sebagai
realisasi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.

Zikir pokok tarekat Qadiriyah yaitu membaca Istighfar paling sedikit dua kali atau duapuluh kali
dengan lafadz Astaghfir Allah al-ghafur al-Rahim. Kemudian membaca shalawat sebanyak itu pula
dengan lafadsz Allahuma shali’ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi wa sallim. Setelah
itu membaca La ilaha illallah seratus enampuluh kali setelah selesai shalat fardhu. Pengucapan lafadz
Lailaha illallah memiliki cara tersendiri, yaitu kata la dibaca sambil dibayangkan dari pikiran ditarik
dari pusat hingga otak, kemudian kata ilaha dibaca sambil menggerakkan kepala kesebelah kanan, lalu
kata illallah dibaca dengan keras sambil dipukulkan kedalam sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri.
Setelah selesai melakukan zikir itu lalu membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah Shalallah ‘alaihi
wa sallam.lalu membaca shalawat Allahuma shalli’ala sayyidina Muhammad shalatan Tunjina biha min
jami al-ahwal wa al-afat hingga akhirnya.kemudian membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada
Rasulullah SAW dan kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para pengikutnya juga
seluruh oragn islam baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

Sebelum dan ketika melakukan zikir tersebut seorang murid membayangkan wajah guru(mursyid)
didepanya dan limpahan karunia Allah kepada Nabi dan Syekh.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah harus berpegang kepada akidah para sahabat,
tabi’in dan tabi;it tabi;in yaitu yang disebut akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan
sunnah Rasulullah SAW, agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi, agar
memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus kejahatan, sabar dalam
kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesame ikhwan, memberi nasihat kepada orang
kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.

Selain persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang hendak mengikuti tarekat Qadiriyah harus
menjalani dua tahapan.
Pertama , yaitu tahap permulaan yang terdiri dari :
1.Mengikuti dan menerima bay’at guru sebagai pertemuan pertama antara guru dan murid.
2.Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid.
3.Pernyataan guru membay’at muridnya diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu.
4.Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari do’a umum dan do’a khusus.
5.Pemberian minum oleh guru kepada murid sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
Setelah pemberian minum tersebut ,maka selesailah tahap permulaan.dan dengan demikian maka
resmilah seorang murid menjadi pengikut tarekat Qadiriyah.

Kedua, tahap perjalanan, maksudnya ialah tahap murid menuju Allah melaluyi bimbingan guru. Murid
harus melalui tahap dalam waktu yang bertahun-tahun sebelum ia memperoleh karunia Allah yang
dilimpahkan kepadanya.selama perjalanan itu,murid masih menerima ilmu hakikat dari gurunya.selain
itu dia dituntut untuk berbakti kepadanya, dan menjauhi larangannya.murid harus terus berjuang untuk
melawan nafsunya dan melatih diri (mujahadah dan Riyadhah ).

Apabila murid telah berhasil melalui tahapan tersebut, maka guru memberikan ijazah dan memberikan
talqin tauhid kepada muridnya, dengan telah diterima ijazahnya maka murid menyandang gelar guru
atau syekh dalam tarekat Qadiriyah.
Seorang murid yang telah menjadi syekh sudah tidak terikat lagi dengan gurunya, akan tetapi dia masih
boleh untuk mengikutinya. Dan berdasarkan petuah Syekh Abdul Qodir Jailani bahwa murid yang telah
menjadi syekh boleh mandiri dan yang menjadi walinya adalah Allah.
Mengenai corak tarekat Qodiriyah ,Syekh Ali ibn al-Haiti ra. Memberikan komentar,”Tarekat adalah
tauhid semata dan pentauhidan diri serta menghadirkannya dalam segala sikap ubudiyah dengan
melepaskan dari segala sesuatu dan untuk sesuatu”. Selain itu syekh Abdi ibn Musafir ra. Juga
memberikan komentar ”Tarekatnya adalah kepasrahan kepada alur-alur takdir dengan keselarasan hati
dan ruh, pernyataan lahir dan batin, dan pembersihan jiwa dari sifat-sifat kedirian(nafs) serta
mengasingkannya dari memandang manfaat, mudharat, kedekatan dan rasa jauh”.
Adapun pokok-pokok ajaran Tarekat Qadiriyah yaitu ada lima macam, pertama Tinggi cita-cita, Kedua
Memelihara kehormatan Ketiga Memelihara nikmat, Keempat Melaksanakan maksud dan Kelima
Mengagungkan nikmat.

http://www.muryanawaludin.co.cc/2009/07/tarekat-qadiriyah.html, selasa, 23 Maret 2010 11:56

Majalah Gatra, Nomor 46/VI, 30 September 2000.


Minat masyarakat perkotaan untuk mengkaji dan mengamalkan ajaran sufi makin marak. Ada yang
memasuki tarekat tertentu. Ada yang menyukai wirid-wirid pendek. Silakan pilih.
DALAM dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi mewarnai kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari
kalangan eksekutif dan selebriti menjadi peserta kursus atau terlibat dalam suatu komunitas tarekat
tertentu. Alasan mereka mencebur ke sana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar ketenangan
batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.
Gerakan bersufi-ria itu terekam dari kegiatan diskusi serta seminar yang bertemakan tasawuf. Jumat
malam dua pekan lalu, misalnya, kala “membedah” pemikiran Jalaluddin Rumi di Hotel Regent
Jakarta, pesertanya membludak. Anand Krishna, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Prof. Nurcholish
Madjid hadir sebagai pembicara. Panitia yang menyediakan tempat duduk 250-an tak mampu
menampung pengunjung yang sekitar 400 orang. Mereka pun rela duduk di lantai atau berdiri
berimpitan.
Situasi serupa terjadi pada 25 Februari lalu, kala Annemarie Schimmel berbicara tentang sufisme di
Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Guru besar kultur indo-Islam dari Universitas
Harvard, Amerika Serikat, itu seolah menyihir ratusan peserta diskusi untuk tak beranjak dari tempat
duduknya hingga acara usai.
Bukan hanya kursus, diskusi, atau seminar yang diminati banyak peserta. Buku-buku terbitan Mizan
(Bandung), Pustaka Progressife (Surabaya), serta Paramadina dan Gramedia -keduanya di Jakarta-
yang berkaitan dengan tasawuf selalu laris manis. Pembaca seakan tetap diburu kehausan, kendati
sudah dijejali berbagai bacaan tasawuf.
Tak mengherankan jika Sufi -majalah bulanan yang terbit sejak Mei lalu- dalam waktu singkat bisa
bertiras 20.000 eksemplar. “Dari nomor ke nomor, tirasnya terus bertambah,” kata Mohammad Luqman
Hakiem, Kepala Editor Sufi, kepada Gatra. “Para pelanggannya justru banyak dari mereka yang
berkantor di Jalan Sudirman, Thamrin, dan Rasuna Said,” Amal Alghozali, Pemimpin Perusahaan Sufi,
menimpali.
Itu pula sebabnya, gejala “sufisme kota” di Indonesia menarik diteliti. Dua perguruan tinggi Indonesia
dan Australia pun bekerja sama untuk mengadakan penelitian. Selama dua hari, 8-9 September lalu,
berlangsung research workshop antara IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Universitas Griffith
Brisbane, Australia.
Acara yang berlangsung di lantai III Gedung Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, IAIN Jakarta, ini
menghadirkan sejumlah pakar tasawuf (Jalaluddin Rakhmat, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat,
Kautsar Azhari Noor, Moeslim Abdurrahman, dan Julia D. Howell). Mereka berdiskusi dan merancang
desain penelitian tentang peta model-model sufisme perkotaan di Indonesia.
Secara antropologis, sufisme kota dikenal sebagai trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini.
Sebelumnya, sufisme lebih dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Moeslim
Abdurrahman, bisa terjadi minimal karena dua hal.
Pertama, hijrahnya para pengamal tasawuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus
tasawuf. Kedua, sejumlah orang kota “bermasalah” tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawuf
di desa. Adapun sufisme secara sederhana didefinisikan sebagai gejala minat masyarakat pada tasawuf.
Sufisme adalah istilah yang populer dalam literatur Barat (sufism), sedangkan dalam literatur Arab dan
Indonesia hingga 1980-an adalah “tasawuf”.
Direktur Tazkiya Sejati, Jalaluddin Rakhmat, berpendapat bahwa sufisme diminati masyarakat kota
sebagai alternatif terhadap bentuk-bentuk keagamaan yang kaku. “Sufisme juga menjadi jalan untuk
pembebasan,” katanya.
Adalah Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, yang memetakan dua model utama sufisme masyarakat
kota dewasa ini. Pertama, sufisme kontemporer -biasanya berciri longgar dan terbuka (siapa pun bisa
masuk)- yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam
kelompok-kelompok pengajian “eksekutif”, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, Grand Wijaya, dan
IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum.
Kedua, sufisme konvensional. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati
kembali. Model ini ada yang berbentuk tarekat (Qadiriyah wa-Naqsabandiyah, Syatariyah, Syadziliyah,
dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak dianut kalangan Muhammadiyah yang merujuk pada
tasawuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Di kalangan elite di Jakarta, selain Paramadina, Tazkiya Sejati, dan IIMaN, juga ada kelompok
pengajian Grand Wijaya yang berlokasi di daerah Melawai, Jakarta Selatan. Diasuh oleh Asep Usman
Ismail, MA, dengan jumlah peserta mencapai 30 orang, dari kalangan menengah-atas. Pendidikan
mereka minimal sarjana, bahkan ada beberapa yang lulusan S-2 atau S-3. Mereka bekerja di sektor
pemerintah atau badan usaha milik negara. Banyak juga pensiunan. Ada mantan Kepala Kantor
Wilayah Bea Cukai, mantan pejabat eselon II di Departemen Keuangan, dan mantan pengacara. Ibu
rumah tangga juga tak sedikit.
Sementara itu, di Jalan Gaharu I Nomor 9, Cipete, Jakarta Selatan, tak kurang dari 100 jamaah
berpakaian putih (dilarang berpakaian merah) setiap malam memadati rumah berlantai dua milik Haji
Bambang Widiarsono, 53 tahun. Mereka adalah jamaah Majlis Tasbih, kelompok tasawuf yang tiap
malam melakukan zikir dan doa sehabis salat magrib dan isya. Khusus untuk malam Jumat, jamaahnya
mencapai 300 orang. Selain berzikir, mereka juga melakukan salat tasbih dua rakaat.
Jamaah yang menjadi anggota majlis ini adalah mereka yang pernah berkonsultasi untuk penyembuhan
penyakit yang dideritanya. Mereka mendapat terapi penyembuhan melalui zikir sehabis salat isya.
“Lamanya zikir tergantung tingkat masalah dihadapi pasien,” ujar Bambang. “Kalau yang ringan,
cukup mengikuti zikir selama seminggu, sedangkan yang berat bisa sampai 40 hari,” ujarnya. Selagi
berdoa dan berzikir, mereka dibimbing seorang imam.
Di kalangan mahasiswa, antara lain, ada Forum Kajian Tazkiyatun Nafs Universitas Indonesia (FKTN-
UI). Ini forum pengajian terstruktur Islam dengan pendekatan tasawuf. Tujuannya, memberi
pemahaman pengetahuan bertobat, pengetahuan membersihkan hati dan jiwa, serta pengetahuan
tentang jalan menuju Allah. Setelah mengikuti kajian, peserta diharapkan menjadi lebih sadar tentang
dirinya dan tugasnya di dunia.
“Forum ini tidak mengikat dan tidak mengarahkan peserta ke dalam jamaah apa pun serta ordo tarekat
mana pun,” kata Herry Mardianto, 26 tahun, salah seorang pendiri FKTN-UI. Setelah materi pengajian
selesai, peserta dibebaskan berpencar mencari jalan masing-masing, dengan harapan menjadi lebih
tergugah untuk memperbaiki diri dan memulai hidupnya dengan lebih Islami secara menyeluruh.
Di Bandung, ada Paramartha International Centre for Tashawwuf Studies (PICTS), yang bermarkas di
Jalan Dago Pojok 37E/161B. PICTS adalah satu divisi di bawah Yayasan Islam Paramartha, yang
khusus bergerak dalam kajian tasawuf. Khazanah tasawuf bertebaran di berbagai pelosok dunia Islam
bak mutiara terpendam. Kekayaan ini menunggu diangkat, ditelaah, dan diintegrasikan satu sama lain
agar membentuk kalung mutiara, yang bisa dinikmati dan didudukkan dalam konteks Islam yang
semestinya. Itulah obsesi PICTS.
Maka, PICTS mencoba mengangkat khazanah tasawuf Indonesia ke tataran internasional. Khazanah
Bhagdadi (Timur Tengah), yang selama ini mendominasi kajian tasawuf, dirasa makin lengkap bila
ditautkan padanya berbagai mutiara lain yang selama ini “terpinggirkan”, seperti halnya khazanah
tasawuf di Tanah Air.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, ada Forum Kajian Tasawuf Makassar dengan nama kajian “Serambi
Suluk”. Menurut Imam Suhadi, mentor forum kajian itu, umumnya peserta yang memasuki forum
kajian ini merasakan bahwa ajaran agama yang mereka peroleh terasa kering. “Mereka merasa kering
dengan ritualitas-ritualitas keagamaan yang mereka tak mengerti visi dan tahapannya,” kata Imam
kepada Zaenal Dalle dari Gatra. Jumlah anggotanya sekitar 30 orang.
Karena itu, kajian Serambi Suluk mempunyai beberapa tujuan, antara lain membuka wawasan dalam
memandang ad-dien Islam dalam perspektif tasawuf, dan menuntun para pencari jalan menuju Allah
Ta’ala. Sesuai dengan namanya, Serambi Suluk, menurut Imam, bermakna persiapan untuk berjalan
menuju Allah Ta’ala.
Ada beberapa aktivitas yang dilakukan Forum Kajian Tasawuf Makassar, antara lain melakukan kajian
darat Serambi Suluk setiap Sabtu dan Minggu, diskusi virtual melalui mailing list suluk@egroups.com,
memublikasikan kajian-kajian melalui internet dengan alamat http://suluk.paramartha.org. Forum
kajian ini, pekan lalu, meluncurkan jurnal dwimingguan, Risalah Taubat.
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat terbesar di Indonesia adalah Qadiriyah wa-Naqsabandiyah
(TQN). Tarekat inilah yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini, lokasi
pembacaan manakib (biografi Abdul Qadir Jailani) dan khataman TQN tak kurang dari 110 tempat di
Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk manakiban dan khataman. Mereka dibimbing sekitar
30 mubalig. Sesepuh TQN se-Jakarta dan sekitarnya adalah KH Abdul Rosyid Effendy, 61 tahun.
Jumlah jamaah TQN se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se-Indonesia sekitar tiga juta orang. Dalam tiap
malam, manakiban di Jakarta, kata Rosyid, kini diikuti 20-30 orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari semua lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut
Ketua Wilayah TQN Jakarta Utara, Maksum Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN di wilayahnya
banyak dari kalangan nelayan dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti
pengusaha kerupuk dan kondektur bus. Di samping itu, banyak juga mantan menteri, artis, pengusaha,
dan pejabat tinggi negara yang bersedia dibaiat menjadi jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai Wakil Talqin (Khalifatul Mursyid) Abah Anom
-yang bermukim di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat- di Jakarta ini, masuk TQN tidak sulit. Cukup
mengikuti acara manakiban, lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalkin zikir sekitar lima
menit, dan dibaiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk menjalani amalan dalam TQN. Amalan itu
intinya berisi zikir dzahir (bersuara) dan khafi (tak bersuara).
Di Jawa Timur, juga banyak aliran tarekat yang diserbu pengikut. Termasuk tarekat langka yang lama
tenggelam. Di Dukuh Selamet, Desa Wringin Anom, Kecamatan Tumpang, Malang, ada tarekat
Akmaliyah. Tarekat ini melanjutkan ajaran Syekh Siti Jenar, yang dipopulerkan Sultan Hadiwijoyo
(Joko Tingkir, Raja Pajang).
Tarekat Akmaliyah menganut paham teologi pembebasan. Bahwa setiap manusia berhak bertemu
Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana aliran lainnya. Hanya ada semacam
koordinator, dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa di Desa Wringin Anom itu. Lelakunya
ringan, jumlah zikirnya tak dibatasi bilangan, disesuaikan dengan kemampuan, dan waktunya bebas.
Alumninya berjumlah ratusan. Antara lain Drs. Agus Sunyoto, MPd, 41 tahun. Dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Malang ini bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarikat ini tak
mengenal pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan Kiai Amad untuk meluruskan
persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. “Tarekat ini cocok untuk orang sibuk,” ujar Agus.
Menurut dia, tarekat Akmaliyah mampu menghubungkan manusia kepada roh Allah. “Akibatnya, hidup
jadi lebih ringan,” katanya.
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawuf dari IAIN Jakarta, menilai bahwa tasawuf model
tarekat lebih diterima kalangan menengah ke bawah. “Sementara kalangan menengah ke atas
cenderung memilih tasawuf nontarekat,” tuturnya.
“Tasawuf yang diminati masyarakat kota jelas bukan model tarekat,” kata Asep. Mereka tidak
berorientasi pada tasawuf klasik, seperti model tarekat dengan segala riyadhah-nya (pelatihan). “Itu
tidak diminati, kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan,” ia menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instan. Dunia tasawuf bagi masyarakat kota, masih kata
Asep, semacam obat gigi. “Saya resah, saya menemukan problem, saya stres, maka saya belajar
tasawuf agar memperoleh ketenangan,” ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di
kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat: mursyid, murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang
paling berat bagi masyarakat kota adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling tidak
masuk dalam logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru. “Mereka ingin bebas tanpa
baiat, dan tak mau terjebak kultus,” kata Asep. Orang-orang kota juga tidak berminat pada zikir yang
panjang-panjang, apalagi harus berpuasa.
Nah, banyak jalan menuju sufisme, silakan Anda pilih yang sesuai dengan selera.***[]
(Herry Mohammad, Asrori S. Karni, Kholis Bahtiar Bakri, dan Mujib Rahman)
Dikutip dari www. Suluk.blogsome.com
Posted by Herry @ 13:34 | in Artikel | e-mail this article | + to del.icio.us | TrackBack

http://waroengbejatz.wordpress.com/tag/fenomena/

You might also like