1169/KMK.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep-1221MK/2/1974, No. 321MISKI 2/1974 dan No. 30/Kpb/l/74 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing” menyatakan: “Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”
Berikut ini adalah masalah-masalah perpajakan seputar Leasing (SGU):
A. Perbedaan Leasing (SGU) dengan Penjualan Kredit dan Angsuran
Perbedaan Leasing dengan penjualan kredit dan angsuran biasa adalah dalam penjualan kredit dan angsuran hanya terdapat 2 pihak yaitu penjual (supplier) dan pembeli (yang mengangsur/mencicil pembayaran kepada supplier). Maka konsuekensi pajaknya hanyalah antara 2 pihak tersebut. Atas barang modal yang dijual terutang objek PPN, Sedangkan laba penjualan (harga jual – harga pokok pembelian) masuk ke PPh badan supplier. Sedangkan pada leasing (SGU) terdapat 3 pihak: 1. lessor (biasanya bank atau lembaga keuangan lain yang memberi dana pada lessee untuk memperoleh aset/barang modal yang di-leasing-kan) 2. lessee (yang menggunakan aset/barang modal yang di-leasing-kan) 3. supplier (yang menjual/menyediakan aset/barang modal) Sehingga di sini terdapat 2 objek pajak yaitu: 1. Jasa pembiayaan, biasanya berupa imbalan bunga, dari lessor ke lessee (objek pajak PPN dan PPh 23) 2. Barang modal yang dijual dari supplier ke lessse (objek pajak PPN sedangkan laba penjualan masuk ke PPh badan supplier) Terdapat dampak perpajakan yang lain yaitu siapakah yang berhak mendepresiasi aset karena pada umumnya kepemilikan aset (dokumen legalnya) masih dimilki oleh lessor. Karena perbedaan konsuekensi pajak inilah, maka merangsang penyelundupan pajak (tax evasion). Misalnya leasing disamarkan menjadi penjualan kredit agar lessor terhindar dari konsuekensi pemajakan. Atau penjualan kredit agar penjual bisa membukukan pendapatan hanya sebesar imbalan bunga saja.
B. Perbedaan Pengakuan Pendapatan dan Beban antara Standar Akuntansi dan
Peraturan Perpajakan Secara garis besar, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: PSAK No. 30 (Revisi 2007) KMK No. tentang Sewa 1169/KMK.01/1991 Capital Lease Persyaratan 1. Penyewa guna usaha 1. jumlah pembayaran (Sewa Guna memiliki hak opsi untuk sewa-guna-usaha Usaha dengan membeli aktiva yang selama masa sewa- Hak Opsi) disewagunausaha pada akhir guna-usaha pertama masa sewa guna usaha ditambah dengan nilai dengan harga yang telah sisa barang modal, disetujui bersama pada saat harus dapat menutup dimulainya perjanjian sewa harga perolehan barang guna usaha. modal dan keuntungan 2. Seluruh pembayaran berkala lessor; yang dilakukan oleh 2. masa sewa-guna-usaha penyewa guna usaha ditetapkan sekurang- ditambah dengan nilai sisa kurangnya 2 (dua) mencakup pengembalian tahun untuk barang harga perolehan barang modal Golongan I, 3 modal yang disewa (tiga) tahun untuk gunausaha serta bunganya, barang modal sebagai keuntungan Golongan II dan III, perusahaan sewa guna usaha dan 7 (tujuh) tahun (full payout lease). untuk Golongan 3. Masa sewa guna usaha bangunan; minimum 2 (dua) tahun. 3. perjanjian sewa-guna- usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Pendapatan a. Selisih antara piutang sewa 1. penghasilan lessor & Biaya guna usaha ditambah nilai yang dikenakan Pajak Lessor sisa (harga opsi) dengan Penghasilan adalah harga perolehan aktiva yang sebagian dari disewagunausahakan pembayaran sewa guna diperlakukan sebagai usaha dengan hak opsi pendapatan sewa guna usaha yang berupa imbalan yang belum diakui (unearned jasa sewa guna usaha; lease income). 2. lessor tidak boleh b. Pendapatan sewa guna usaha menyusutkan atas yang belum diakui harus barang modal yang dialokasikan secara disewa-guna-usahakan konsisten sebagai dengan hak opsi; pendapatan tahun berjalan 3. lessor dapat berdasarkan suatu tingkat membentuk cadangan pengembalian berkala penghapusan piutang (periodic rate of return) atas ragu-ragu yang dapat penanaman neto perusahaan dikurangkan dari sewa guna usaha. penghasilan bruto, c. Apabila perusahaan sewa setinggi-tingginya guna usaha menjual barang sejumlah 2,5% (dua modal kepada penyewa guna setengah persen) dari usaha sebelum berakhirnya rata-rata saldo awal masa sewa guna usaha, maka dan saldo akhir piutang perbedaan antara harga jual sewa-guna-usaha dengan penanaman neto dengan hak opsi. dalam sewa guna usaha pada saat penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian periode berjalan. d. Pendapatan lain yang diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna Usaha harus diakui dan dicatat sebagai pendapatan periode berjalan. Biaya 1. Pembayaran sewa guna 1. selama masa sewa- Lessee usaha (lease payments) guna-usaha, lessee selama tahun berjalan yang tidak boleh melakukan diperoleh dari penyewa guna penyusutan atas barang usaha diakui dan dicatat modal yang disewa- sebagai pendapatan sewa. guna-usaha, sampai Pendapatan sewa harus saat lessee diakui dan dicatat menggunakan hak opsi berdasarkan metode garis untuk membeli; lurus sepanjang masa sewa 2. setelah lessee guna usaha, meskipun menggunakan hak opsi pembayaran sewa guna untuk membeli barang usaha mungkin dilakukan modal tersebut, lessee dalam Jumlah yang tidak melakukan penyusutan sama setiap periode. dan dasar 2. Penyusutan aktiva yang penyusutannya adalah disewagunausahakan harus nilai sisa (residual dilakukan dalam Jumlah value) barang modal yang layak berdasarkan yang bersangkutan; taksiran masa manfaatnya. 3. pembayaran sewa- guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna- usaha tersebut memenuhi ketentuan Operating Lease Persyaratan Kalau salah satu kriteria capital 1. jumlah pembayaran (Sewa Biasa) lease tidak terpenuhi maka sewa-guna-usaha transaksi sewa guna usaha selama masa sewa- dikelompokkan sebagai guna-usaha pertama transaksi sewa menyewa biasa tidak dapat menutupi (operating lease). harga perolehan barang modal yang disewa- guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor; 2. perjanjian sewa-guna- usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Pendapatan 1. Pembayaran sewa guna 1. seluruh pembayaran & Biaya usaha (lease payments) sewa-guna-usaha tanpa Lessor selama tahun berjalan yang hak opsi yang diterima diperoleh dari penyewa guna atau diperoleh lessor usaha diakui dan dicatat merupakan obyek sebagai pendapatan sewa. Pajak Penghasilan. Pendapatan sewa harus 2. lessor membebankan diakui dan dicatat biaya penyusutan atas berdasarkan metode garis barang modal yang lurus sepanjang masa sewa disewa-guna-usahakan guna usaha, meskipun tanpa hak opsi pembayaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode. 2. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilakukan dalam Jumlah yang layak berdasarkan taksiran masa manfaatnya. Biaya Pembayaran sewa guna usaha Pembayaran sewa-guna- Lessee selama tahun berjalan usaha tanpa hak opsi yang merupakan biaya sewa yang dibayar atau terutang oleh diakui dan dicatat berdasarkan lessee adalah biaya yang metode garis lurus selama masa dapat dikurangkan dari sewa guna usaha, meskipun penghasilan bruto. pembayaran sewa guna usaha dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
Perbedaan paling mendasar adalah tidak diperbolehkannya depresiasi
baik bagi lessor dan lessee dalam SGU dengan hak opsi dalam peraturan perpajakn di Indonesia. Namun sebenarnya peraturan pajak memberi pembebanan yang sama bagi lessee seperti pada PSAK dimana lessee diperbolehkan mengurangkan jumlah angsuran pembayaran leasing. Angsuran ini jumlahnya akan sama dengan biaya bunga dan biaya depresiasi karena jumlah utang leasing adalah nilai aktiva ditambah dengan bunga leasing. Utang Leasing = Harga Pembelian Aktiva + Bunga Leasing —————————————————————- (Dibagi masa angsuran) Angsuran Leasing per bulan = Depresiasi Aktiva per bulan + Bunga Lesaing per bulan
C. Potensi Double Taxation atau Double Dipping dalam Perpajakan
Internasional Double Taxation (pemajakan berganda) atas leasing dapat terjadi bila negara lessor dan negara lessee sama-sama tidak boleh mendepresiasi aset leasing sedangkan double Dipping (pembebanan berganda) atas leasing terjadi bila baik lessor dan lessee diperbolehkan untuk mendepresiasi aset leasing. Hal ini dapat dilakukan untuk penghindaran pajak (tax avoidance) berkala internasional untuk leasing antara induk dan anak perusahaan.
D. Peraturan Perpajakan Mengenai Leasing (SGU) yang Saling Bersebrangan
Di Indonesia, perpajakan atas leasing diatur dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991 bertentangan dengan UU PPh pasal 11 yang berlaku saat ini (UU PPh No 36 tahun 2008): ”masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan; Hal ini melandasi SE-10/PJ.42/1994 membuat pengelompokan harta untuk depresiasi tidak sesaui UU PPh pasal 11 dimana: Golongan I mempunyai manfaat 4 tahun Golongan II mempunyai masa manfaat > 4 sd 8 tahun Golongan III mempunyai manfaat > 8 tahun Keputusan Menteri Keuangan yang menjadi dasar dari Surat Edaran tersebut adalah ”Keputusan Menteri Keuangan tahun 1991, jadi dasar hukumnya adalah UU PPh sebelum diubah dengan UU Nomor 10 tahun 1994 dimana pasal 11 menyatkan pengelompokkan aset sebagai berikut: Bukan bangunan o Kelompok 1 mempunyai manfaat 4 tahun o Kelompok 2 mempunyai manfaat 8 tahun o Kelompok 3 mempunyai manfaat 16 tahun o Kelompok 4 mempunyai manfaat 20 tahun Bangunan o Permanen mempunyai manfaat 20 tahun o Tidak Permanen mempunyai manfaat 10 tahun
E. Sales and lease back
Sepintas tipe leasing ini seperti pegadaian. Pada transaksi ini, lessee menjual aktiva pada lessor lalu menyewanya kembali sampai akhir periode leasing. PSAK No. 30 menyatakan: “Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and leaseback) maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang disewagunausaha apabila leaseback merupakan capital lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan operating lease. KMK No. 1169/KMK.01/1991 tidak mengatur khusus masalah ini sehingga dalam prakteknya sering terjadi kesalahpahaman. Leasing ini dianggap sama seperti pegadaian sehingga tidak terdapat PPN terutang saat aktiva leasing dijual lessee ke lessor sebelum dileasing kembali. Berdasarkan UU PPN No. 42 tahun 2009 Pasal 1A ayat 2, tidak ada pembebasan PPN atas jenis penyerahan ini. Namun dalam penjelasan UU PPN pasal 1A ayat 1-h, penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam perjanjian leasing, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak dalam hal ini dari supplier ke lessee. Sehingga penyerahan BKP dari lesee ke lessor dalam sales and leaseback tidak termasuk dalam positive list dan negative list dalam UU PPN.
F. Muharabah vs Capital Lease (SGU dengan hak opsi)
Murahabah (transaksi pembiayaan bank syariah) sepintas mirip leasing karena melibatkan 3 pihak yaitu pembeli, bank dan supplier. Yang membedakan adalah jenis penghasilannya, leasing mengambil laba dari bunga atas uang yang dipinjamkan lessor pada lessee sedangkan muharabah merupakan akad jual beli biasa dengan margin profit dengan cicilan pembayaran. Sehingga seakan-akan bank syariah merupakan agen penjual maka terjadilah pemajakan PPN berganda karena terdapat PPN dari supplier ke pembeli lalu terdapat lagi PPN dari bank ke pembeli. Semestinya yang dipajaki margin profitnya saja karena bank syariah tidak bisa mengkreditkan PPN masukan dari supplier. Namun untuk memenuhi asas netralitas, agar tidak ada diskriminasi antara bank syariah dan bank komersil, baik bunga leasing maupun margin profit muharabah dibebaskan dari PPN. Pada UU PPN 2009 pasal 1A menyebutkan: ”h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak” Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa: ”Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.” Dari pasal tersebut, dapat dinyatakan, penyerahan yang kena PPN dari supplier ke pembeli, dari bank ke pembeli tidak ada PPN, sama seperti leasing bank biasa. Hal ini dipertegas lagi Penjelasan Pasal 4a ayat 3 tentang jenis jasa yg tidak dikenai PPN ”3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, a) sewa guna usaha dengan hak opsi;”