Professional Documents
Culture Documents
PERSYARIKATAN MUHAMMADIYAH
Pada hari Senin tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18
November 1912 Miladiyah, K. H. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan
dengan nama Muhammadiyah yang artinya adalah organisasi yang
bermaksud mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Apabila Boedi Oetomo kebanyakan anggotanya terdiri dari kaum
Priyayi Jawa, pegawai dan intelektual.
Syarikat Dagang Islam para pendukungnya kebanyakan terdiri dari
pengusaha, pedagang dan pekerja.
Sedangkan, Persyarikatan Muhammadiyah beranggotakan rakyat
awam, para santri kaum pengusaha dan cerdik pandai dari berbagai lapisan
dan kalangan ummat.
Kiyai Haji Abu Bakar adalah Khatib Amin Keraton Yogyakarta, yang
dalam logat Jawa sehari-hari disebut “Ketibamin”, setelah Kiyai H. Abu
Bakar wafat jabatan Ketibamin beralih kepada puteranya K. H. Ahmad
Dahlan.
Sesungguhnya jauh di balik itu kita ummat Islam memiliki suatu aset
besar. Masih sangat relevan kita ungkapkan sekarang, di saat persatuan
dan rasa ukhuwah serta kekerabatan hanya tampil dipermukaan, tidak
tampak berurat kedalam hati ummat.
Hari ini lahir pertanyaan, apakah yang dapat kita usahakan untuk
mencapai hubungan kekeluargaan, kekerabatan, ukhuwah yang menjadi
kunci persatuan dalam berbagai struktur kegiatan sosial, ekonomi, politik,
budaya dan kehidupan keberagamaan, dalam masa kita sekarang ini (era
globalisasi) ???.
Hasil besar ini di perdapat karena adanya satu landasan kuat (Tauhid,
Aqidah Islamiyah) di dukung oleh persatuan dan Ukhuwah Islamiyah serta
rasa kekeluargaan juga.
Tidak bisa dibantah, bahwa ruh persatuan dan kesatuan itu akan
berpengaruh besar bagi perkembangan iptek maupun HAM dan
demokratisasi itu.
1
Contoh sejarah menyebutkan, tatkala 19 Agustus 1928 di Bukititnggi (Fort de Kock) berlangsung satu
rapat besar "Majlis Permusyawaratan Ulama Minangkabau" pertama yang dihadiri 800 ulama-ulama, dan
200 utusan-utusan dari 115 Persyarikatan Ummat Islam di Minangkabau, dan menelorkan MOSI
MENOLAK GURU ORDONANSI 1925 yang terkenal itu.
Hanya selang tiga bulan berikut (3 - 4 Nopember 1928) di tempat yang sama (Surau Inyiak Jambek),
berlangsung lagi Permusyawaratan Ulama Mingakabau Kedua, dengan jumlah yang hadir lebih banyak
(1500 orang). Inilah buah dari keakraban iman.
---- (Mungkin di waktu peristiwa besar itu, sebagian besar dari kita belum lahir, namun dapat
terbaca kemabali di dalam buku PERINGATAN (Verslag) dari Majelis Permusyawaratan Oelama
Minangkabau, dikumpulkan oleh A. 'Imran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (Hamka), diterbitkan oleh
Bhoekandel en Taman Poestaka "Summatera Thawalib" Fort de Kock, di cetak pada Snelpers Drukkerij
Gebr. "LIE" Fort de Kock, 1928). ----
Bahwa para ulama, intelektual dan pemimpin Ummat Islam, Ninik Mamak dan Muslimat juga
telah terbisaa dengan perbentengan Adat dan Agama di Minangkabau, dapatlah terbukti dengan
diterbitkannya satu Seroean dan Harapan yang ditujukan kepada pemerintah (Penguasa Hindia Belanda)
pada tahun 1941. Seruan itu diterbitkan berkenan dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh
Resident Sumatera Barat tentang "Verordening betreffende vergrijpen tegen de adat" atau "Aturan
tentang melanggar adat" yang berdampak menghilangkan "nilai-nilai adat itu sendiri".
Yang sangat menarik dari seruan pemimpin ummat Islam Minangkabau (Sumatera Barat) tersebut
adalah persatuan yang mereka miliki. BIla penanda tanganan seraun itu terdiri dari lima orang ulama
besar (Syeikh Daoed Rasyidi, Syeik Mohammad Djamil Djambek, Syeik Mohammad Dajmil Djaho, Syeikh
Sulaiman ar Rasoeli, dan Syeik Ibrahim Moesa), lima orang Ninik Mamak Alam Minangkabau (Dt.
Simarajo Simabur Pariangan Padang panjang, Datuk Maharajo Dirajo Batipuh, Datuk Tungga Air Angat,
Datuk Bandaro Sati bukit Surungan, dan Datuk Majo Indo Batu Sangkar). Kemudian di tambah oleh para
intelektual, organisator, para pendiri pendidikan, saudagar (pedagang), yang dapat digolongkan
cendikiawan di masa itu. Tokoh-tokoh berbobot di zamannya itu adalah A.R. St. Mansoer
(Muhammadiyah), Anwar (Bank Nasional), S.J. St. Mangkoeto (Bank Moeslimin Indonesia), Rky. Rahmah
el Junusijjah (Muslimat, Diniyah Putri), A. Kamil dan Zoelkarnaini (Angkatan Moeda Muhammadiyah) -
Buya Zoel (?).
Akibat nyata dari Seruan bertanggal 1 Januari 1941 itu, maka Resident Sumatera Barat tidak
jadi mengeluarkan undang-undang yang membatasi wewenang adat ini.
(lihat Typ. Tandikat PP - 1941).
Tujuan kita sudahlah jelas. Wijhah itu adalah satu. Yaitu "keridhaan
Allah" semata.
Keridhaan Allah itu lah bagi kita yang menjadi motivasi bagi
mewujudkan amal nyata "membentuk masyarakat utama" (khaira ummah)
yang memotivasi kita untuk memilih berbuat atau tidak berbuat, bahkan
memotivasi untuk bertindak dan kalau perlu adamasanya mesti diam.
Bukan keredhaan orang lain. Bukan pula asal aku senang, atau juga
tidak karena demi golongan.2
2
Perlu kita simak kembali pesan Bapak M. Natsir, "carilah keredhaan Allah Yang Satu, supaya
kita dapat bersatu".
Atau apa yang diamanatkan Ki Bagus Hadikusumo, 50 tahun silam "jangan cari
benda-benda bertebaran, nanti kita akan bertebarab lantarannya".
3
Diantara tahun 1966 - 1980 sering sekali dilakukan kunjungan kepelosok-pelosok desa -- oleh para da'i
dan mubaligh --, mengunjungi ummat. Di kala itu, hubungan kedesa-desa sangat sulit. Tidak jarang
harus ditempuh berjalan kaki, paling-paling berboncengan dengan sepeda, di sambung bendi atau
pedati. Program waktu itu sedrhana sekali, "hidupkan dakwah bangun negeri". Begitu yang dilakukan
kedaerah-daerah di Binjai, Rao Mapat Tunggul, Lawang dan Baringin, terus ke Palembayan dan
Tantaman. Dari Maninjau, Lubuk Basung, terus ke Padusunan dan Pariaman dan Kurai Taji. Menyatu
kunjungan-kunjungan itu ke Guguk Kubang tujuh Koto, ke Pangkalan Muara Paiti, bahkan sampai ke
Muara Mahat dan Bangkinang. Sama juga halnya ke Taram, Situjuh dan Lintau serta selingkar Padang
Panjang dan Tanah datar, hingga ke Koto Baru dan Sungai Rumbai di Sijunjung, malah tidak jarang
diteruskan pula ke Muara Bungo.
b. pemantapan kaderisasi,
Satu suasana yang indah, bila kita ungkapkan yang sudah terjadi
"masa doeloe" dari pimpinan-pimpinan pergerakan dakwah persyarikatan. ,
sebatas yang kita kutip dari pengalaman pendahulu-pendahulu kita.4
4
Suatu ketika, pada hari pekan di Padang Panjang, konsul Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera
Barat) yaitu Buya A.R. St. Mansur bertemu dengan pimpinan Muhammadiyah dari Lintau. Beliau
bertanya "Bagaiman perkembangan sekolah di Lintau". Sekolah yang ditanyakan itu, tentulah sekolah
Muhammadiyah, yang merupakan satu sarana amal usaha Muhammadiyah. Sang pengurus
Muhammadiyah Lintau ini, menjawab dengan gugup, sebab perkembangannya sedikit menurun, karena
murid mulai kurang dan dan guru Muhammadiyah mulai pindah ke daerah lain. Mendengar ini Buya A.R.
St. Mansur berkata, "Baiklah Insya Allah hari Kamis depan saya akan ke Lintau".
Berita tersebut segera menyebar di sekeliling Lintau, sejak dari Batu Bulek sampai ke buo,
bahwa Konsul Muhammadiyah akan datang. Sibuklah masyarakat -- ummat utama -- itu, dan tepat pada
hari yang dijanjikan Buya A.R. St. Mansur datang di Lintau, dan menginap di rumah pegurus
Persyarikatan.
Pimpinan-pimpinan persyarikatan dari daerah sekeliling menyempatkan betul untuk hadir,
bahkan ada yang dari Halaban sampai ke Tanjung Ampalu. Ummat umumpun merasakan nikmat
kehadiran beliau dengan satu "tabligh besar". Beliau telah menanamkan urat di hati ummat. Akhirnya
persoalan segera teratasi.
Bagaimana sekarang ?,
Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal saleh - dari mereka,
keampunan dan ganjaran yang besar .-----"
(Al Fath - 20)