Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh
Kelompok 5 (lima)
Anggota kelompok:
Kebudayaan Nusantara
Kelas 3 (tiga) N
Akuntansi Pemerintah
2008
PENDAHULUAN
N
ama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M
untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara.
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan
keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada
tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya
punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh,
Kawali, Pakuan atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya
dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah
Galuh).
PEMBAHASAN
S
unda tidak sama dengan Jawa Barat dan Jawa Barat tidak sama dengan Sunda.
Sebagai sebuah etnis, warga Sunda bisa berada di mana saja, di Jakarta, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Papua, bahkan Eropa, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Warga Sunda adalah warga dunia. Sebagai sebuah wilayah, Tatar Sunda juga berbeda
dengan Jawa Barat.
Untuk menentukan sunda pun lebih sulit lagi, dan rasanya tak relevan lagi
menentukan wilayah yang disebut Tatar Sunda secara administratif. Jadi bagaimanakah
Sunda itu?
2. Bahasa dan
tulisan
Diyakini
bahwa masyarakat
sunda jaman kerajaan
Sunda dan kerajaan
Galuh telah memiliki
bahasa dan tulisan sendiri. Hal tersebut didasari bukti-bukti berupa peninggalan tertulis
(prasasti, naskah, dan catatan-catatan penjelajah) dan juga pengakuan masyarakat Sunda
bahwa mereka pada jaman dulu telah memiliki bahasa dan tulisannya. Dahulu bahasa dan
tulisan yang digunakan disebut bahasa dan tulisan Sunda Kuna. Sebutan ini dibuat untuk
membedakannya dengan bahasa Sunda saat ini yang termasuk bahasa Sunda modern.
Bentuk-bentuk tulisan Sunda Kuna dan kekayaan kata-kata bahasa Sunda Kuna
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan tulisan Palawa yang berasal dari India.
Sayangnya bahasa dan tulisan Sunda Kuna tidak bertahan lama, karena pada akhir
abad ke-17 anak-anak muda Sunda lebih tertarik kepada bahasa dan tulisan baru dari luar.
Hal inilah yang membuat bahasa dan tulisan Sunda Kuna terputus dan tidak terbawa ke
jaman selanjutnya. Banyak yang menyangka, ketertarikan orang Sunda terhadap bahasa
dari luar dikarenakan bahasa Sunda Kuna sulit untuk diaplikasikan baik dalam percakapan
sehari-hari, kenegaraan, maupun untuk pendidikan. Sedikit sekali orang yang bisa
membaca tulisannya, dan banyak yang tidak mengerti bahasanya.
Perbedaan antara bahasa Sunda Kuna dengan bahasa Sunda modern dapat dilihat
dari contoh tulisan yang diambil dari sebuah prasasti Sunda Kuna yang berbunyi: “Nya
mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti,
purbajati. Sang disri enak masini, ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas.”
Jika ditranslate ke bahasa Sunda modern, perubahan kata dan struktur kalimatnya amatlah
jauh, berikut ini terjemahannya di dalam Sunda modern; “Mana sang rama tengtrem
nguruskeun bahan pangan. Sang resi tengtrem ngajalankeun palaturan karesianana,
ngamalkeun tali-paranti karuhun, adat baheula. Sang disri tengtrem ngaracik rupa-rupa
ubar. (Raja) ngalaksanakeun aturan kahirupan manusa, ngabagi-bagi leuweung jeung tanah
di sabudereunana.”
Tulisan Sunda Kuna dibuat setelah orang Sunda mengenal tulisan Palawa untuk
menulis bahasa Sanskerta, tulisan Palawa yang menjadi dasar dibuatnya tulisan Sunda
untuk membuat bahasa Sunda (Kuna) tertulis. Akhirnya tulisan Sunda lahir dengan abjad
yang berdasarkan suku kata yang berjumlah 25, yang berbunyi:
Puisi jaman dahulu dibuat dengan susunan baris demi baris dan tiap barisnya tak
lebih dari 8 suku kata. struktur puisi tersebut disebut cerita pantun. Pantun yang
merupakan seni pertunjukkan asli orang Sunda terdiri dari 3 baris, bukan 4 baris seperti
halnya pantun melayu. Juru pantun membawakan cerita pantun ini dengan iringan kecapi.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Ambuing karah sumanger
Pawekas pajeueung beungeut
Ambu kita deung awaking
Desa di Sunda biasa disebut dengan “kampung” atau sebutan “lembur”. Bentuk
desa yang tersebar di seluruh pelosok tatar Sunda memiliki ciri yang berbeda-beda, hal itu
tercermin pada sebuah paribasa, "ciri sabumi, cara sadesa", yang berarti tiap desa memiliki
adat istiadat-kebiasaan tersendiri (Edi S. Ekadjati; Kebudayaan Sunda (1), 2005). Namun
sistem pemerintahan yang ada pada garis besarnya sama. Sebuah desa dikepalai oleh
seorang “kuwu” yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam menjalankan tugasnya, kuwu
didampingi oleh seorang jurutulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang ulu-ulu,
seorang amil dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan Kepolisian dan dua
orang dari Angkatan Darat).
Adapun kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan
musyawarah dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga
desa, mengurus pekerjaan umum seperti jalan, dan selokan, serta mengurus harta benda
desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak
pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di Rukun Kampung yang
dipimpinnya, dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan dari
pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus administrasi desa,
arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu mempunyai togas mengurus
pembagian air dan meme-lihara selokan-selokan. Amil berkewajiban mengurus
pendaftaran kelahiran. kematian, nikah, talak, rujuk, mengucapkan do's dalam selamatan,
mengurus masjid dan langgar, serta memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara
keamanan, mengurus pelanggaran dan mem¬bantu pembina wilayah dan kepala desa
dalam hal keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikut sertakan pula anggota Hansip.
Dalam kehidupan masyarakat desa, terdapat keberadaan bale desa yang berfungsi
sebagai wahana masyarakat menuntut hak-haknya sebagai rakyat yang mesti memperoleh
perlakuan yang adil dari pemegang kebijakan melalui rapat desa.
Perumahan di tatar Sunda mempunyai gaya khas tersendiri. Di dalam rumah Sunda
dikenal adanya pembedaan ruang untuk fungsi dan pemakai. Pembedaan ruang ini
ditentukan oleh nilai yang berlalu termasuk perbadaan peran penghuni yang secara alami
dibedakan menurut jender, antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah).
Area depan seperti tepas ( teras dan ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang
pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) adalah wilayah perempuan. Ruang-ruang umum
seperti ruang tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluarga.
Meskipun terjadi perubahan pada bentuk dan material bangunan, kondisi pembagian ruang
ini masih tampak di desa ibu-Ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang
tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan
dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-
anak dapat terawasi orangtua.
Namun rumah orang Sunda dewasa ini
sebagian besar tidak lagi seperti model
tradisional, baik dalam penggunaan segala
jenis material maupun dalam bentuk dan
model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau
yang lain menjalani hidup dengan menerapkan
nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya,
rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu
saja masih layak disebut rumah Sunda.Hal ini
karena dalam semua kebudayaan termasuk
Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang
terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang
Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda
yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-
nilai lain sebagai pandangan hidup.
4. Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan orang sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara
turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang
Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya
kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda.
Perkawinan di tanah sunda misalnya, dilakukan baik secara adat, maupun secara agama
Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab-qabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di
dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama dan adat.
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan
dengan "pancakaki". Kamus Umum Basa Sunda (1993), mengartikan "pancakaki" dengan
dua pengertian. Pertama, "pancakaki" menunjukkan hubungan seseorang dalam garis
keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh).
Kita pasti mengenal istilah kekerabatan seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, Euceu,
anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, nini ti gigir, dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang
didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem
kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu seperti bibi,
emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, aki ti gigir.
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005) orang Sunda memperhitungkan
dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Berbeda dengan
sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan
matrianeal dan patrineal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu saja dan garis keturunan
bapak.
Sedangkan pada pengertian kedua, "pancakaki" bisa diartikan sebagai suatu proses
penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan).
Secara empiris, ketika kita menganjangi suatu daerah, maka pihak yang dianjangi akan
membuka percakapan: "Ujang teh timana, jeung putra saha?". Ini dilakukan untuk
mengetahui asal-usul keturunan tamu, sehingga sohibulbet atau pribumi, lebih akrab atau
wanoh kepada semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi.
Maka, "pancakaki" pada pengertian kedua adalah sebuah proses pengorekan
informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya,
hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa
antara si pemilik rumah dan dia ternyata ada ikatan persaudaraan. Maka, ada pribahasa
bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan anda – mungkin kalau ber-
pancakaki – ternyata dulur! Minimalnya sadulur jauh.
Menurut Ajip Rosidi (1996) "pancakaki" memiliki pengertian suatu hubungan
seseorang dengan seseorang, yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan.
Namun, menjadi adat-istiadat-kebiasaan yang penting dalam hidup orang Sunda, karena
selain menggambarkan sifat-sifat orang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, juga
merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam
menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, "pancakaki" sebagai produk kebudayaan Sunda, diproduksi oleh
karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang
harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin kan, jika
kita tahu si A atau si B itu memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, tapi
kita mencla-mencle berbicara tak sopan.
5. Sistem kemasyarakatan
Dari ketiga contoh kasus tersebut, nampak bahwa kebudayaan Sunda tengah
mengalami proses desundanisasi yang dahsyat. Proses ini suatu saat bukan mustahil akan
berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda di masa mendatang. Hedonisme yang kini
melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter-paremeter di dalam
Kebudayaan Sunda. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau
tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Walaupun budaya Sunda hanya berlokasi di daerah Jawa Barat dan sekitarnya, dan
bukan suatu budaya yang amat tersohor, namun memiliki sejarah yang teramat panjang
sehingga bisa terbentuk suatu komunitas Sunda. Komunitas yang amat adaptatif dan
seringkali berubah, namun tanpa meninggalkan corak yang telah menjadi jati dirinya.
2. Saran
Secara fisikal, orang Sunda tentu akan tetap ada menghuni kawasan yang disebut
Jawa Barat ini, tetapi secara kultural mereka telah kehilangan jatidirinya sebagai orang
Sunda dan tidak lagi mengekspresikan identitas kebudayaannya. Kepunahan budaya bukan
hal yang mustahil, maka adalah tugas para inohong, pemikir, pemerintah dan elit Sunda
untuk memikirkan suatu strategi budaya agar kebudayaan Sunda bisa tetap bertahan dalam
arus perubahan dan tantangan zaman, agar kesundaan tetap identik dengan kemajuan dan
kemodernan.
SUMBER