You are on page 1of 16

Kebudayaan Sunda

Disusun oleh

Kelompok 5 (lima)

Anggota kelompok:

Alvian Fitriadi (05)

Jefri David Simanjuntak (23)

Mario Setiawan (28)

Nicko Yogha Marenta Utama (32)

Yudi Setiawan (40)

Sebagai salah satu tugas mata kuliah

Kebudayaan Nusantara

Kelas 3 (tiga) N

Akuntansi Pemerintah

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

2008
PENDAHULUAN

N
ama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M
untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara.
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan
keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada
tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya
punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh,
Kawali, Pakuan atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya
dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah
Galuh).
PEMBAHASAN

S
unda tidak sama dengan Jawa Barat dan Jawa Barat tidak sama dengan Sunda.
Sebagai sebuah etnis, warga Sunda bisa berada di mana saja, di Jakarta, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Papua, bahkan Eropa, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Warga Sunda adalah warga dunia. Sebagai sebuah wilayah, Tatar Sunda juga berbeda
dengan Jawa Barat.
Untuk menentukan sunda pun lebih sulit lagi, dan rasanya tak relevan lagi
menentukan wilayah yang disebut Tatar Sunda secara administratif. Jadi bagaimanakah
Sunda itu?

1. Lokasi dan Lingkungan Alam

Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku-bangsa


Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa
Sunda serta dialeknya dalarn kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di
daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Jadi
di dalam membahas lokasi dan lingkungan alam Sunda, maka tidak bisa dilepaskan dari
segi penggunaan bahasa Sunda itu sendiri.
Secara kulturel daerah Pasundan itu di sebelah Timur dibatasi oleh sungai-sungai
Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat
terdapat pula kampung-kampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti di kabupaten
Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah
Lampung Sumatra Selatan. Di daerah Jawa Barat sendiri, jika kita teliti jebih mendalam
lagi, tidak seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Di daerah pantai utara dan
di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda, sedang di daerah
Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipakai. Di daerah Jakarta dan sekitarnya,
masyarakatnya berbahasa Melayu Jakarta.
Jika kita kembali ke bagaimana cikal-bakal suku bangsa Sunda itu terbentuk, maka
kita akan memperhatikan fakta historis tentang kerajaan Tarumanegara dan pecahannya
yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh. Sebagai sebuah wilayah kerajaan, Sunda
mengalami pasang-surut. Pada awalnya, kerajaan Sunda hanya meliputi wilayah seluas
kira-kira separuh Jawa Barat, yakni dari Ujung Kulon hingga Citarum. Ketika Sunda d an
Galuh bersatu, wilayahnya pernah mencapai Banyumas dan Brebes. Kerajaan Sunda
mengalami kemunduran setelah Sri Baduga meninggal. Para penggantinya (Surwisesa dan
seterusnya) gagal mempertahankan kejayaan Sunda. Kerajaan ini pun makin lama makin
surut, hingga berakhir pada masa Ragamulya Suryakancana tahun 1579 M. Titi mangsa
inilah yang kita kenal sebagai saat runtuhna Pajajaran (Dinasti yang beribukotakan di
Pakuan, Bogor)
Sedangkan pembagian wilayah Galuh menurut sejarah kota Ciamis adalah sebagai
berikut:
• Galuh Pakuan beribukota di Kawali
• Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
• Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
• Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
• Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
• Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
• Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
• Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
• Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan

2. Bahasa dan
tulisan

Diyakini
bahwa masyarakat
sunda jaman kerajaan
Sunda dan kerajaan
Galuh telah memiliki
bahasa dan tulisan sendiri. Hal tersebut didasari bukti-bukti berupa peninggalan tertulis
(prasasti, naskah, dan catatan-catatan penjelajah) dan juga pengakuan masyarakat Sunda
bahwa mereka pada jaman dulu telah memiliki bahasa dan tulisannya. Dahulu bahasa dan
tulisan yang digunakan disebut bahasa dan tulisan Sunda Kuna. Sebutan ini dibuat untuk
membedakannya dengan bahasa Sunda saat ini yang termasuk bahasa Sunda modern.
Bentuk-bentuk tulisan Sunda Kuna dan kekayaan kata-kata bahasa Sunda Kuna
dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan tulisan Palawa yang berasal dari India.
Sayangnya bahasa dan tulisan Sunda Kuna tidak bertahan lama, karena pada akhir
abad ke-17 anak-anak muda Sunda lebih tertarik kepada bahasa dan tulisan baru dari luar.
Hal inilah yang membuat bahasa dan tulisan Sunda Kuna terputus dan tidak terbawa ke
jaman selanjutnya. Banyak yang menyangka, ketertarikan orang Sunda terhadap bahasa
dari luar dikarenakan bahasa Sunda Kuna sulit untuk diaplikasikan baik dalam percakapan
sehari-hari, kenegaraan, maupun untuk pendidikan. Sedikit sekali orang yang bisa
membaca tulisannya, dan banyak yang tidak mengerti bahasanya.
Perbedaan antara bahasa Sunda Kuna dengan bahasa Sunda modern dapat dilihat
dari contoh tulisan yang diambil dari sebuah prasasti Sunda Kuna yang berbunyi: “Nya
mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti,
purbajati. Sang disri enak masini, ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas.”
Jika ditranslate ke bahasa Sunda modern, perubahan kata dan struktur kalimatnya amatlah
jauh, berikut ini terjemahannya di dalam Sunda modern; “Mana sang rama tengtrem
nguruskeun bahan pangan. Sang resi tengtrem ngajalankeun palaturan karesianana,
ngamalkeun tali-paranti karuhun, adat baheula. Sang disri tengtrem ngaracik rupa-rupa
ubar. (Raja) ngalaksanakeun aturan kahirupan manusa, ngabagi-bagi leuweung jeung tanah
di sabudereunana.”
Tulisan Sunda Kuna dibuat setelah orang Sunda mengenal tulisan Palawa untuk
menulis bahasa Sanskerta, tulisan Palawa yang menjadi dasar dibuatnya tulisan Sunda
untuk membuat bahasa Sunda (Kuna) tertulis. Akhirnya tulisan Sunda lahir dengan abjad
yang berdasarkan suku kata yang berjumlah 25, yang berbunyi:
Puisi jaman dahulu dibuat dengan susunan baris demi baris dan tiap barisnya tak
lebih dari 8 suku kata. struktur puisi tersebut disebut cerita pantun. Pantun yang
merupakan seni pertunjukkan asli orang Sunda terdiri dari 3 baris, bukan 4 baris seperti
halnya pantun melayu. Juru pantun membawakan cerita pantun ini dengan iringan kecapi.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Ambuing karah sumanger
Pawekas pajeueung beungeut
Ambu kita deung awaking

Sapoe ayeuna dini


Pejeueung beungeut deung aing
Mo nyorang pacarek deui

Moma tina pangimpian


Pajeujeung bengeut di bulan
Patempuh awak di angin
3. Bentuk desa

Desa di Sunda biasa disebut dengan “kampung” atau sebutan “lembur”. Bentuk
desa yang tersebar di seluruh pelosok tatar Sunda memiliki ciri yang berbeda-beda, hal itu
tercermin pada sebuah paribasa, "ciri sabumi, cara sadesa", yang berarti tiap desa memiliki
adat istiadat-kebiasaan tersendiri (Edi S. Ekadjati; Kebudayaan Sunda (1), 2005). Namun
sistem pemerintahan yang ada pada garis besarnya sama. Sebuah desa dikepalai oleh
seorang “kuwu” yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam menjalankan tugasnya, kuwu
didampingi oleh seorang jurutulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang ulu-ulu,
seorang amil dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan Kepolisian dan dua
orang dari Angkatan Darat).
Adapun kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan
musyawarah dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga
desa, mengurus pekerjaan umum seperti jalan, dan selokan, serta mengurus harta benda
desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak
pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di Rukun Kampung yang
dipimpinnya, dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan dari
pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus administrasi desa,
arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu mempunyai togas mengurus
pembagian air dan meme-lihara selokan-selokan. Amil berkewajiban mengurus
pendaftaran kelahiran. kematian, nikah, talak, rujuk, mengucapkan do's dalam selamatan,
mengurus masjid dan langgar, serta memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara
keamanan, mengurus pelanggaran dan mem¬bantu pembina wilayah dan kepala desa
dalam hal keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikut sertakan pula anggota Hansip.
Dalam kehidupan masyarakat desa, terdapat keberadaan bale desa yang berfungsi
sebagai wahana masyarakat menuntut hak-haknya sebagai rakyat yang mesti memperoleh
perlakuan yang adil dari pemegang kebijakan melalui rapat desa.
Perumahan di tatar Sunda mempunyai gaya khas tersendiri. Di dalam rumah Sunda
dikenal adanya pembedaan ruang untuk fungsi dan pemakai. Pembedaan ruang ini
ditentukan oleh nilai yang berlalu termasuk perbadaan peran penghuni yang secara alami
dibedakan menurut jender, antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah).
Area depan seperti tepas ( teras dan ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang
pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) adalah wilayah perempuan. Ruang-ruang umum
seperti ruang tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluarga.
Meskipun terjadi perubahan pada bentuk dan material bangunan, kondisi pembagian ruang
ini masih tampak di desa ibu-Ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang
tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan
dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-
anak dapat terawasi orangtua.
Namun rumah orang Sunda dewasa ini
sebagian besar tidak lagi seperti model
tradisional, baik dalam penggunaan segala
jenis material maupun dalam bentuk dan
model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau
yang lain menjalani hidup dengan menerapkan
nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya,
rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu
saja masih layak disebut rumah Sunda.Hal ini
karena dalam semua kebudayaan termasuk
Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang
terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang
Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda
yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-
nilai lain sebagai pandangan hidup.

4. Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan orang sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara
turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang
Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya
kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda.
Perkawinan di tanah sunda misalnya, dilakukan baik secara adat, maupun secara agama
Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab-qabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di
dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama dan adat.
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan
dengan "pancakaki". Kamus Umum Basa Sunda (1993), mengartikan "pancakaki" dengan
dua pengertian. Pertama, "pancakaki" menunjukkan hubungan seseorang dalam garis
keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh).
Kita pasti mengenal istilah kekerabatan seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, Euceu,
anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, nini ti gigir, dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang
didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem
kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu seperti bibi,
emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, aki ti gigir.
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005) orang Sunda memperhitungkan
dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Berbeda dengan
sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan
matrianeal dan patrineal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu saja dan garis keturunan
bapak.
Sedangkan pada pengertian kedua, "pancakaki" bisa diartikan sebagai suatu proses
penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan).
Secara empiris, ketika kita menganjangi suatu daerah, maka pihak yang dianjangi akan
membuka percakapan: "Ujang teh timana, jeung putra saha?". Ini dilakukan untuk
mengetahui asal-usul keturunan tamu, sehingga sohibulbet atau pribumi, lebih akrab atau
wanoh kepada semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi.
Maka, "pancakaki" pada pengertian kedua adalah sebuah proses pengorekan
informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya,
hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa
antara si pemilik rumah dan dia ternyata ada ikatan persaudaraan. Maka, ada pribahasa
bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan anda – mungkin kalau ber-
pancakaki – ternyata dulur! Minimalnya sadulur jauh.
Menurut Ajip Rosidi (1996) "pancakaki" memiliki pengertian suatu hubungan
seseorang dengan seseorang, yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan.
Namun, menjadi adat-istiadat-kebiasaan yang penting dalam hidup orang Sunda, karena
selain menggambarkan sifat-sifat orang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, juga
merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam
menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, "pancakaki" sebagai produk kebudayaan Sunda, diproduksi oleh
karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang
harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin kan, jika
kita tahu si A atau si B itu memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, tapi
kita mencla-mencle berbicara tak sopan.

5. Sistem kemasyarakatan

Sebelum kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua, pusat kegiatan masyarakat


berada di sepanjang daerah pesisir sehingga kegiatan yang paling mendukung
perekonomian saat itu adalah perniagaan. Daerah pantai utara menjadi jalur perdagangan
internasional yang menghubungkan wilayah nusantara dengan Asia selatan, Asia barat dan
Asia timur. Komoditi yang diperdagangakan adalah emas, rempah-rempah, kain dan beras.
Menurut catatan Tome Pires, seorang penjelah portugis tahun 1513, ada enam kota
pelabuhan sepanjang pesisir utara kerajaan sunda, menjajar dari timur yaitu Banten,
Pontang, Cikande, Sunda Kalapa, Karawang, dan Cimanuk. Sedangkan di pesisir utara
kerajaan Galuh terdapat pelabuhan Cirebon dan Japura.
Setelah pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, pusat kegiatan
masyarakat berpindah dari pesisir ke wilayah pegunungan sehingga masyarakat mulai
meninggalkan perniagaan dan lebih mengutamakan kehidupan bercocok tanam.
Orang sunda pada waktu itu menggunakan sistem cocok tanam berladang di lahan-
lahan pegunungan yang tinggi, bukan di sawah yang rendah ataupun rawa. Bertanam di
lahan yang tinggi dapat mereka lakukan karena tanah di wilayah sunda relatif subur karena
banyak yang berasal dari debu bekas letusan gunung berapi. Dari letusan berapi itu
pulalah, banyak muncul mata air di sana-sini sehingga pasokan air untuk pertanian sangat
melimpah.
Hasil-hasil pertanian tatar sunda bukan sekedar untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat sehari-hari, lebih dari itu untuk dijual ke kerajaan bahkan belahan dunia lain.
Karena lada, cengkeh, pala, akar wangi, dan rempah-rempah lainnya dari tatar sunda kala
itu telah dikenal oleh dunia internasional dan telah diperdagangakan sampai ke wilayah
Eropa.
Kerajaan diperintah oleh
raja. Jaman dahulu kedudukan
raja berdasarkan pada konsep
kultus dewaraja, yang
berpandangan bahwa raja
sebagai wakil dewa di bumi.
Karena itu raja begitu dihormati, bahkan disembah-sembah oleh rakyat layaknya dewa.
Raja memegang kekuasaan mutlak serta hak turun-temurun menduduki tahta kerajaan.
Lamanya seorang raja memerintah tidak dibatasi, biasanya hingga sang raja wafat atau
telah merasa terlalu tua.
Ada sebuah aturan yang mengatur penentuan seorang pengganti raja yang wafat
atau mengundurkan diri. Sebuah aturan yang menentukan daftar prioritas hak waris
berdasarkan pada tingkat kedekatan hubungan darah raja dengan si calon raja. Yang
pertama adalah putra sulung raja dari permaisuri, lalu kemudian turun ke putra sulung raja
dari selir. Bila mempunyai putra, maka hak waris bisa juga diturunkan kepada seorang
putri. Raja yang tidak mempunyai putra maupuan putri, jatuh hak warisna ke saudara
sedarah.
Pemerintahan kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh disusun dengan kerangka
federasi. Ada raja pemerintahan pusat yang berdiam di kawasan kerjaan (Pamwatan) yang
berlokasi di pusat negara, gelarnya maharaja. Ada pula raja-raja di daerah yang memegang
kekuasaan di daerah-daerah (Pangwereg). Umumnya raja di daerah masih bertalian kerabat
(darah atau pernikahan) dengan raja di pusat. Raja daerah diperkenankan untuk naik
pangkat menjadi maharaja, bila jabatan raja di pusat kosong. Misalnya Rakeyan
Darmasiksa, sebelum manjabat prabu di Pakuan, sebelumnya menjabat raja daerah
Saunggalah terlebih dulu.
Di sekitar raja ada pejabat-pejabat yang punya fungsi masing-masing, seperti patih
(urusan pemerintahan sehari-hari), mangkubumi (urusan tanah), lengser (pembantu pribadi
raja), tangga (urusan daerah), wado (pejabat pusat di daerah), hulujurit (panglima perang),
dan jurubasa darmamurcaya (penterjemah berbagai bahasa). Begitu pun di sekitar raja
daerah ada pejabat-pejabat yang membantu raja daerah, seperti pangurang dasa calagara
(penagih pajak). Raja daerah punya hak untuk memungut pajak ke rakyat. Sebagaian dari
pajak tersebut digunakan untuk menjalankan pemerintahan di daerah, sebagian lagi disetor
ke pemerintah pusat. Sebaliknya, raja daerah memiliki kewajiban untuk datang ke daerah
pusat sebagai tanda setia ke maharaja sembari menyerahkan pajak dan upeti yang
merupakan hasil bumi dari daerah tersebut.
Masyarakat tatar sunda begitu memperhatikan aturan hukum. Pemerintahan diatur
oleh berbagai undang-undang (Papagon) yang berbeda-beda pada tiap generasi. Undang-
undang yang pertama yaitu Sanghiang Watangageung yang disusun oleh Rahiyangta Ri
Medangjati kira-kira pada abag ke-7. Kemudian undang-undang tersebut dilengkapi terus
secara periodik, sampai tersusunlah undang-undang yang mengatur kegiatan beragama
(Dewasasana), pemerintahan (Rajasasana), dan kehidupan rakyat keseluruhan
(Manusasasana). Aturan-aturdan tersebut berdasarkan dua sumber hukum, yaitu ajaran
agama (Hindu, Budha, Jatisunda) dan ajaran leluhur (Patikrama, Purbastiti, Purbajati).
Sesudah Perang Dunia ke-II dan sesudah Zaman Revolusi, masyarakat desa di
Indonesia pada urnumnya dan di Jawa Barat pada khususnya, telah mengalami banyak
perubahan. Isolasi, keseimbangan dan ketenangan sebetulnya telah ditrobos oleh pengaruh-
pengaruh baru dari luar. Ekonomi, politik dan ideologi modem, administrasi pemerintahan,
komunikasi, pendidikan telah menyebabkan suatu lapisan atas, yang terdiri dari pamong
desa, para guru, juru penerang, pegawai-pegawai jawatan, pelajar, tentara, pedagang dan
pengusaha, yang semua mempunyai orientasi keluar. Sebaliknya ada suatu lapisan bawah.
ialah kaum petani, yang jumlahnya besar, yang kebanyakan masih butahuruf dan yang
dalam cara hidupnya masih tradisionil. Orang lapisan atas mempunyai kecakapan
berekonomi berdasarkan prinsip mencari untung, mempunyai hubungan dengan tengkulak-
tengkulak dan pedagang-pedagang besar di kota. Dapat juga dikatakan bahwa pada lapisan
atasan desa inilah terpusat segala kekuasaan ekonomi desa, dan pada umumnya ikatan
golongan atas dan bawah itu berbentuk hutang atau kontrak-kontrak yang tidak
menguntungkan lapisan bawah yang lemah ekonominya
6. Sistem Religi
Kehidupan tatar sunda begitu menyatu dengan agama, semenjak dahulu hingga saat
ini. Jaman dahulu sebagian kecil menganut ajaran agama Hindu dan agama Budha yang
berasal dari India. Dua agama tersebut masuk ke tatar sunda sebelum berdirinya kerajaan
Tarumanagara. Bukti-bukti berkaitan hal tersebut yaitu candi Cangkuang di Garut, candi
Batujaya di Karawang, patung Budha di Talaga (Majalengka), dan arca Syiwa di Kendan
(Bandung). Berbeda dibandingkan dengan pengaruh agama Hindu dan Budha yang kuat di
tanah jawa lainnya (Mataram, Kediri, Singasari, Majapahit), pengaruh dua agama tersebut
di tatar sunda termasuk amat kecil.
Dinilai dari berbagai rupa peninggalan punden berundak, kabuyutan, arca tipe
Polnesia, dan naskah yang memperlihatkan sebagian besar masyarakat Sunda dan Haling
menganut agama Jatisunda, yaitu agama hasil sinkretisme kepercayaan pada arwah
leluhur, ajaran Hindu, dan ajaran Budha. Dalam hal ini orang sunda pada waktu itu telah
memiliki konsep tersendiri mengenai agama yang menyangkut tiga hal, yaitu:
• Konsep Ketuhanan Jatisunda
Tiga dewa (Ttimurti) yang dianggap dewa tertinggi agama Hindu (Brahma, Wisnu,
dan Syiwa), posisinya di dalam ajaran Jatisunda berada di bawah Sang Hiyang. Jadi, Sang
Hiyang adalah unsur kekuasaan tertinggi. Sang Hiyang menciptakan seluruh alam dan
mengatur semua makhluk. Secara mutlak Sang Hiyang memegang kekuasaan di jagat raya.
Sang Hiyang berada di Kahiyangan yang terletak di luar alam dunia.
• Konsep kehidupan setelah mati Jatisunda
Kahiyangan merupakan alam yang suci, sepi, dan abadi tanpa gangguan kehidupan
dunia. Memasuki Kahiyangan merupakan tujuan manusia, turut hidup menyatu dengan
Hiyang setelah nyawa meninggalkan raga, karena terdapat kebahagiaan abadi di dalamnya.
Tujuan tersebut dapat terwujud, apabila manusia selama hidup di dunia mengagungkan
dan menyembah Hiyang dan banyak berbuat baik terhadap manusia, bertutur sikap baik,
hidup dengan benar dan lurus.
• Konsep hidup selamat di dunia maupun hidup di alam setelah mati
Keselamatan dan kebahagiaan hidup di alam sementara (dunia) dan di alam abadi
(akhirat) tergantung pada ajian tapa seseorang yang dilakoni sepanjang hidup di dunia.
Tapa adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan pekerjaan masing-masing.
Jika tapa tersebut baik, kehidupan di dunia dan di akhiratnya akan memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan. Tapi sebaliknya, jika tapa tersebut buruk, hidup di dunia
dan akhiratnya akan sengsara dan celaka karena keburukannya.
Baru menjelang abad ke-13, Islam masuk ke Tatar Sunda. Dikisahkan Bratalegawa,
salah satu putra Raja Mangkubumi Bunisora Suradipati, seorang saudagar (pedagang) yang
menjadi tokoh Islam pertama di tatar sunda. Namun setelah menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci Makah, ia lebih terkenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia tertarik dan masuk
Islam karena perjumpaannya dengan pedagang-pedangang Arab yang kemudian menikah
dengan wanita asal Gujarat, yang juga beragama Islam.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Bratalegawa kemudian mengajak keluarga
(termasuk raja Prabu Niskala Wastu), dan saudara-saudaranya untuk memeluk agama
Islam. Sekalipun tidak banyak mendapat respons, tetapi Prabu Niskala Wastu mengizinkan
Haji Purwa tinggal di sana sehingga tidak heran jika di Cirebon Girang, tempat tingal Haji
Purwa, sejak tahun 1337 Masehi, ajaran Islam sudah dikenal oleh masyarakat setempat.
Agama Islam terus berkembang, apalagi setelah diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif
Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati, pengganti dan keponakan
Pangeran Walangsungsang, yang juga memiliki hubungan darah dengan para raja
Padjajaran.
Sunan Gunung Djati-lah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten.
Oleh karena kedudukannya sebagai Wali Songo, ia pun mendapat penghormatan dari raja-
raja lain di Jawa seperti Demak dan Pajang. Dari Cirebon Sunan Gunung Djati
mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Atas jasa-jasa Sunan Gunung Djati inilah,
Agama Islam begitu mudah diterima oleh orang Sunda karena karakter agama
Islam tidak jauh berbeda dengan karakter Jatisunda. Sedikitnya ada dua hal yang
menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh orang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam
itu sendiri yang sederhana mudah diterima oleh kebudayaaan Sunda yang juga sederhana.
Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa
orang Sunda yang dinamis dan feminis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi
‘bungkus’ agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi orang Sunda.
Islam kemudian menyebar ke seluruh daerah Tatar Sunda dan selanjutnya menjadi
pandangan hidup yang terus-menerus iinternalisasi, dieksternalisasi, dan diobjektivasikan,
hingga akhirnya membentuk kebudayan religius. Oleh karena itu, ketika orang Sunda
membentuk jati dirinya bebarengan dengan proses islamisasi, agama Islam merupakan
bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas mereka.

7. Pembangunan dan modernisasi


Dalam proses modernisasi yang makin gencar dan globalisasi yang makin kuat dan
meraksasa, daerah tatar Sunda ikut serta berupaya dan membangun diri untuk menjadi
daerah yang lebih baik serta senantiasa memperbaiki SDM di dalamnya. Banyak
kemajuan baik itu fisik maupun intelektual yang telah tercapai, terbukti dengan
keberhasilan Jawa Barat dalam fungsinya sebagai daerah penyokong pemerintahan pusat.
Hampir tidak ada desa terpencil yang belum tersentuh oleh listrik, kecuali daerah yang
memang sengaja menolak adanya listrik. Berbagai fasilitas hi-tech pun banyak dibangun di
tatar Sunda, seperti halnya IPTN (dahulu, sebelum dibubarkan), Boscha, Batan, Taman
Mekarsari, Botanical garden, dan lain sebagainya menjadi bukti kemajuan tatar Sunda.
Namun di balik semua kemjuan yang dicapai itu, kebudayaan Sunda menghadapi
problem yang sangat berat yaitu terseret ke dalam proses kepunahan. Bukan mustahil suatu
saat akan menghilang dari khazanah kebudayaan dunia. Gejala-gejala ke arah itu tampak
terus semakin menguat seperti kita lihat dari uraian di bawah ini:
• Desundanisasi Tradisi dan Kesenian
Modernisasi dan globalisasi telah menggeser kebudayaan lokal pribumi ke
pinggiran budaya dan ke pojok-pojok memori kolektif masyarakat. Reog, calung,
angklung, arumba, kacapi suling, wayang, kuda lumping dan lain-lain memang masih
ditemukan dalam acara-acara seremonial tertentu seperti perkawinan, sunatan, agustusan,
syukuran, penyambutan pejabat dll. Tapi, tampaknya tak sulit disepakati bahwa intensitas
hadirnya kesenian-kesenian itu semakin jarang dan terus berkurang.
Kalau tidak ada “the saviour” dalang
Asep Sunarya yang telah mereformasi
wayang jauh sebelum reformasi Orde Baru,
mungkin wayang sekarang sudah semakin
tidak populer ditinggalkan masyarakat
Sunda modern. Asep Sunarya telah
menyisakan minat orang Sunda modern
pada wayang pada aspek-aspek bodornya
terutama pada tokoh si Cepotnya.
• Lunturnya Penggunaan Bahasa Sunda
Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah diantara pelajaran yang
tidak menarik dan dianggap “kurang penting” bagi siswa-siswa di sekolah-sekolah. Karena
problematika ini sudah berjalan beberapa generasi, maka semakin langka lah guru bahasa
Sunda yang qualified. Sastrawan Sunda apalagi.
Penggunaan basa Sunda (terutama yang halus) semakin lama semakin berkurang.
Tentu saja ini tidak terjadi pada semua orang Sunda, tetapi ini adalah kecenderungan
umum dan sudah sering terdengar.
• Miskinnya Historiografi Sunda
Seorang sejarawan Belanda, Hans Kahler, menulis bahwa sejak dikalahkannya
Sunda oleh Madjapahit, sejak itu Sunda menghilang dari sejarah dan berganti identitas
menjadi Sunda Islam sejak 1526. Kerajaan Sunda Islam seperti Banten dan Cirebon pun
tidak pernah menjadi besar dalam artian politik kecuali luasnya pengaruh agama dan
perdagangan. Kondisi prihatin ini didukung oleh sangat sedikitnya historiografi Sunda,
baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing.

Dari ketiga contoh kasus tersebut, nampak bahwa kebudayaan Sunda tengah
mengalami proses desundanisasi yang dahsyat. Proses ini suatu saat bukan mustahil akan
berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda di masa mendatang. Hedonisme yang kini
melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter-paremeter di dalam
Kebudayaan Sunda. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau
tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda.
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Walaupun budaya Sunda hanya berlokasi di daerah Jawa Barat dan sekitarnya, dan
bukan suatu budaya yang amat tersohor, namun memiliki sejarah yang teramat panjang
sehingga bisa terbentuk suatu komunitas Sunda. Komunitas yang amat adaptatif dan
seringkali berubah, namun tanpa meninggalkan corak yang telah menjadi jati dirinya.

2. Saran

Secara fisikal, orang Sunda tentu akan tetap ada menghuni kawasan yang disebut
Jawa Barat ini, tetapi secara kultural mereka telah kehilangan jatidirinya sebagai orang
Sunda dan tidak lagi mengekspresikan identitas kebudayaannya. Kepunahan budaya bukan
hal yang mustahil, maka adalah tugas para inohong, pemikir, pemerintah dan elit Sunda
untuk memikirkan suatu strategi budaya agar kebudayaan Sunda bisa tetap bertahan dalam
arus perubahan dan tantangan zaman, agar kesundaan tetap identik dengan kemajuan dan
kemodernan.

SUMBER

(Diambil dari puluhan sumber yang penulis tidak bisa catatkan)

You might also like