You are on page 1of 165

Kebudayaan Jawa

IDENTIFIKASI
Daerah kebudayaan Jawa sangatlah luas meliputi seluruh bagian
tengah dan timur pulau Jawa. Ada daerah yang disebut daerah Kejawen
yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri.
Daerah di luar yang tersebut di atas disebut daerah Pesisir dan Ujung
Timur. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka seluruh kebudayan
Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah yakni
Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa. Sudah
barang tentu terdapat berbagai variasi dan perbedaan yang bersifat lokal
dalam beberapa unsur kebudayaannya di daerah yang tercakup dalam
kebudayaan Jawa. Namun, variasi dan perbedaan tersebut tidaklah besar
karena apabila diteliti, hal-hal itu masih menunjukkan satu pola ataupun
satu sistim kebudayaan Jawa.

Penduduk
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia.
Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta data pada tahun 2004. Mereka
berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu saja
Jakarta mereka banyak ditemukan. Selain suku Jawa baku terdapat
subsuku Osing dan Tengger.
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan
dan halus.Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup
dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa
yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik,
karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah
apabila terjadi perbedaan pendapat.
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam.
Tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak.
Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan
Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama

Page | 1
kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen.
Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan
pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat
sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan
menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala
menjadi kabur.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial
sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa
daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan
keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan,
berdasarkan usia ataupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada
dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya yaitu
bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk
orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda
usianya serta lebih rendah tingkatannya atau status sosialnya. Bahasa
Jawa Krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal
tetapi yang sebaya dalam umur dan derajat, juga terhadap orang yang
umurnya lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi.

Bentuk Desa
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang
Jawa, di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus
menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara
adminstratif desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah
kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah bagian desa ini
diketuai oleh seorang Kepala Dukuh. Di sini dijumpai sejumlah perumahan
penduduk beserta tanah-tanah pekarangannya, yang satu sama lain
dipisah-pisahkan dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Ada
di antara rumah-rumah itu yang dilengkapi dengan lumbung padi,
kandang-kandang ternak dan perigi, yang dibangun di dekat-dekat rumah
atau di halaman pekarangannya. Kemudian sebuah dukuh dengan dukuh
lainnya, dihubungkan oleh jalan-jalan desa, yang luasnya sering tidak lebih
dari 2 meter. Selain rumah-rumah tersebut yang tampak berkelompok,

Page | 2
dan yang sebagian berjajar menghadap jalan desa itu, ada juga Balai
Desa, tempat pemerintahan desa berkumpul, atau mengadakan rapat-
rapat desa, yang diadakan tiap-tiap 35 hari sekali. Untuk menampung
kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan, dan sosial ekonomi rakyat,
biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau masjid. Kecuali itu ada pasar
yang kelihatan ramai pada hari pasaran. Adapun kuburan desa berada di
lingkungan wilayah salah satu sebuah dukuh, sedangkan tanah pertanian
berupa sawah-sawah atau ladang-ladang terbentang di sekeliling desa.

SUB SUKU JAWA


1. SUKU OSING
Suku Osing
Jumlah populasi
-
Kawasan dengan jumlah
penduduk yang signifikan
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Bahasa
bahasa Osing
Agama
Sebagian besar Islam dan sebuah
minoritas beragama Hindu.
Kelompok etnis terdekat
suku Jawa, suku Tengger, suku Bali
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan
penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Sejarah
Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit
sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-
kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya
Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke
beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),
Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari
corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit.

Page | 3
Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah
kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan
Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas
Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang
menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah
menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang
menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan
yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing
mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini
sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai
kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana
tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur
bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak
persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.
Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan
langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing
sangat berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan
merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Kepercayaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku
Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun
berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam
dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam
dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga
dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan.
Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat
Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebaga
usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih
besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang
disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
Demografi

Page | 4
Suku Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten
Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan
Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan
Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan
Songgon.
Profesi
Profesi utama Suku osing adalah petani, dengan sebagian kecil
lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan,
guru dan pegawai pemda.
Stratifikasi Sosial
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial.
Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak
dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar
penduduknya. tetapi telah ditemukan perbedaan stratifikasi di Suku
tersebut, kaum Drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, kaum coliba.
mereka merupakan penduduk asli.
Seni
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur
mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya
antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong dan Jedor.
Desa Adat Kemiri
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku
osing yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiri di kecamatan
Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai
budaya Suku Osing. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup
diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival
budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.

2. SUKU TENGGER
Suku Tengger
Jumlah populasi
500.000.
Kawasan dengan jumlah

Page | 5
penduduk yang signifikan
gunung Bromo, Jawa Timur
Bahasa
bahasa Jawa
Agama
Sebagian besar Hindu dan sebuah
minoritas beragama Islam dan Kristen.
Kelompok etnis terdekat
suku Jawa

Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung


Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Suku Tengger,
konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di
Pegunungan Tengger dan sekitarnya.
Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama
Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama
Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini
sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro
An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai
gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara
Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang
berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak
gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari
setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo
(kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

MATA PENCAHARIAN
Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang.
Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang
Jawa. Meski banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku
Jawa, orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak

Page | 6
diantara suku Jawa bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja
indonesia seperti pembantu, dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang
mencapai hampir 6 juta orang. Dan tentunya kini semakin bertambah
banyak. Banyak variasi pekerjaan sesuai dengan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki.
Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan
kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, bertani adalah juga
merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar
masyarakat orang Jawa di desa-desa. Di dalam melakukan pekerjaan
pertanian ini, diantara mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya
untuk dibuat kebun kering ( tegalan ), terutama mereka yang hidup di
daerah pegunungan. Sedangkan yang lain, yaitu yang bertempat tinggal
di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah pertanian
tersebut untuk dijadikan sawah. Biasanya disamping tanaman padi,
beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman
utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu
musim kemarau dimana air sangat kurang untuk pengairan sawah-saah
itu. Tanaman penyela tersebut, diantaranya adalah ketela pohon, ketela
rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, kacang brol, dan lain-lain.
Sawah itu ada yang dimiliki sendiri dan sawah ini disebut sawah
sanggan dan sawah yasan. Pemilik yang kelebihan dapat menjual sawah
seperti itu kepada orang lain. Dalam hal ini dia bisa menjual secara adol
tahunan, ialah hanya menyewakan sawahnya untuk satu tahun, atau
secara adol ceplik, ialah menjual lepas sawahnya. Banyak orang di desa
tidak memiliki tanah-tanah pertanian yang luas, bahakna banyak juga
yang tidak mempunyaianya sama sekali. Orang seperti itu terpaksa
bekerja menjadi buruh tani, menyewa tanah, bagi hasil atau menggadai
tanah.
Orang yang menyewa tanah, karena ia kaya dapat memberikan
sejumlah uangnya kepada orang pemilik sawah yang memerlukan,
misalnya untuk satu masa panen, yang disebut adol oyodan. Apabila
orang yang tidak mempunyai tanah ingin mendapat hasil dengan cara
bagi hasil, artinya memperoleh separo bagian hasil panennya, maka

Page | 7
sistem itu disebut maro. Kalau ia menerima sepertiga bagian saja, sistem
itu disebut mertelu. Sudah barang tentu cara-cara bagi hasil ini
tergantung kepada keadaantingkat kesuburan tanah pertanian tersebut.
Terutama untuk bagi hasil tanaman palawija kacang brol, si pemilik sawah
biasanya hanya akan menerima seperlima bagian dari seluruh hasil
panenan sawahnya.
Akhirnya jika orang hendak menggadai tanah, maka ada yang
disebut adol sende, artinya ia meminjamkan uang kepada orang lain,
dimana ia mendapat tanha pertanian sebagai barang gadaian untuk
diolah. Kemudian jika si peminjam uang dan pemilik sawah tersebut
berhasil mengembaikan uang pinjamannya pada suatu waktu, maka tanha
pertanian tadi diserahkan kembali kepadanya. Walaupun demikian ornag
yang menggadai tanah itu sudah dapat memungut hasil pertaniannya
setidak-tidaknya satu kali masa panen, sebagia bunganya. Hubungan
transksi semacam ini, umumnya dilakukan oleh kedua belah pihak dengna
disaksikan oleh salah seorang anggota Pamong Desa.
Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani
tersebut, adapula beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari
usaha-usaha kerja sambilan membuat makanna tempe, mencetak batu
merah, mbotok atau membuat minyak goreng kelapa, membatik,
menganyam tikar, dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi
sepeda dan lapangan-lapangan pekerjaan lain yang mungkin dikerjakan.

SISTEM KEMASYARAKATAN
 Lapisan sosial
 priyayi
Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang
secara harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja.
Namun menurut Robson (1971) kata ini bisa pula berasal dari kata
Sansekerta priyā, yang berarti kekasih
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru
merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan
bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki

Page | 8
keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi
Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi
bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan.
Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja
yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya.
Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia
bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara,
ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi
Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun)
bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan
telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki
gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki
jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti
Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan
memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.
Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan
penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan
mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri
dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang
yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan
digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri.
Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan
priyayi-non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang,
sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap
dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam
realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada
pula yang non muslim.

 Ningrat
Adalah keluarga keraton dan keturunan bangsawan lainnya. Yang
biasanya mempunyai gelar-gelar yang menandakan tingkat
kebangsawanannya. Misalnya seorang laki-laki ningrat yang merupakan

Page | 9
keturunan langsung (generasi pertama) dari raja/pemimpin yang
memerintah akan mendapat tambahan Bandara (baca "bandoro") di
depan gelarnya, sehingga menjadi Bandara Raden Mas (disingkat BRM).

 Wong Cilik
Merupakan golongan masyarakat yang paling bawah, biasanya
hidup didesa-desa dengan sesuai dengan mata pencaharian mereka
sebagai petani, tukang dan pekerja kasar lainnya. Golongan ini juga dapat
digolongkan lagi menjadi :
a. Wong baku
merupakan lapisan tertinggi dalam lingkungan desa di Jawa,
mereka adalah keturunan orang-orang yang dahulu yang pertama
kali menetap didesa, mereka memiliki sawah, rumah, serta
pekarangannya.
b. Kuli gandok atau lindung
Mereka adalah orang laki-laki yang sudah kawin, akan tetapi
tidak mempunyai tempat tinggal sendiri,sehingga terpaksa menetap
di kediaman mertuanya.
c. Joko, sinoman, atau bujangan
Mereka semua belum menikah, dan masih tinggal bersama
orang tuanya atau tinggal (ngenger) dirumah orang lain. akan tetapi
golongan bujang ini bisa mempunyai tanah baik dari pembelian atau
warisan.
Desa-desa di Jawa sering dibagi-bagi menjadi bagian-bagian
yang disebut dukuh, oleh karena itu dalam susunan kepemimpinan
desa tiap-tiap dukuh diketuai oleh kepala dukuh. Dalam hal
memelihara dan membangun masyarakat desanya, para pamong
desa harus sering menggerakkan masyarakat dengan gugur gunung
atau kerik desa guna bekerja sama membersihkan, memperbaiki
dan membuat sarana fasilitsa pedesaan.

Page | 10
SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan
bilateral. Semua kakak laki-laki atau wanita ayah dan ibu beserta istri
atupun suami masing – masing diklasifikasikan menjadi satu dengan
istilah siwa atau uwa. Adapun adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke
dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi
paman dan bibi.
Dalam adat masyarakat Jawa dikenal adanya ngarang wulu serta
wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda
dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi
merupakan pernikahan sororat. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan
lebih dari satu istri (poligami).
Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :
a. Pelamaran biasa
b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah
mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian
atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu,
misalnya keluarga keraton atau keluarga kyai agung.
d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang
melamar si jejaka.
e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan
wanita atas kemauan kedua orang tua mereka.
Menurut adat Jawa apabila akan diadakan suatu perkawinan,
terlebih dahulu diselenggarakan berbagai upacara-upacara sampai
dilaksanakannya peresmian perkawinan. Upacara- upacara tersebut
adalah
 Nakokake
Seorang pria pertama-tama datang ke kediaman orang tua si gadis
dengan didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya untuk
menanyakan kepadanya, apakah si gadis sudah ada empunya atau belum
(legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal, hal itu yang disebut

Page | 11
nakokake kepada wali, yakni anggota kerabat dekat menurut garis laki –
laki (patrilineal).
 Nontoni
Calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya.
 Persiapan
Penunjukkan Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi
pemimpin dari acara pernikahan. Dia mengurus dandanan dan pakaian
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda
selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian
pengantin, perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan.
Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta
pernikahan. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang terdiri dari
teman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu
tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya tamu yang di
undang (300, 500, 1000 atau lebih).
Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan
dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi,
pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi
dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama
dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri.
Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari
rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri
dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun), yaitu :

• Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti:


Suami akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang

Page | 12
sangat mudah tumbuh dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik
dan bahagia dimana saja.
• Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama
untuk bantuan nikah.
• Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain
dan akan merawat keluarga mereka.
• Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap
srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi
keluarga.

• Bekletepe

Bleketepe yang berada di atas pintu gerbang berarti


menjauhkan dari gangguan roh jahat dan menunjukan di
rumah mana pesta itu diadakan.

Selain pemasangan tarub juga


dikenal adanya Kembar Mayang yang
merupakan karangan dari bermacam
daun (sebagian besar daun kelapa di
dalam batang pohon pisang). Itu
dekorasi sangat indah dan mempunyai
arti yang luas.

• Mempunyai bentuk seperti gunung.


Gunung itu tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya banyak
pengetahuan, pengalaman dan kesabaran.

Page | 13
• Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam
kehidupan, pintar dan bijaksana.
• Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan
hasrat untuk kehidupan yang baik.
• Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya.
• Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam
mengambil keputusan untuk keluarganya.
• Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang
tinggi.
• Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi
keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
• Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan.
• Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk
menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai
pikiran yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah.
• Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu
digunakan untuk melindungi gangguan setan.
• Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah
karangan.
Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat
hidangan spesial yang dinamakan Sajen. Tradisionil Sajen
(persembahan) dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah
simbol yang sangat berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami.
Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan untuk melindungi dari
gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di mana pesta
itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah pintu
gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-
lain.

Page | 14
Siraman sajen terdiri dari:
• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan.
• Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan: ayam, daging, tahu, telur.
• Tujuh macam bubur.
• Pisang raja dan buah lainnya.
• Kelapa muda.
• Kue manis, lemper, cendol.
• Teh dan kopi pahit.
• Rokok dan kretek.
• Lantera.
• Buna Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci.

 Siraman.

Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan


raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum
Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin
masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di

Page | 15
taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang
yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi
juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang
yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya
tujuh orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama
PITULUNGAN (berarti menolong). Yang harus dipersiapkan:
• Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau
perunggu. Air dari sumur atau mata air.
• Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur
dengan air.
• Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun.
• Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam
Jawa).
• gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama.
• Kursi kecil, ditutup dengan:
• Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo benglé (tanaman untuk
obat-obatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif
garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu).
• Memakai kain putih selama Siraman.
• Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari.
• Handuk.
• Kendi.
Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa
air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci
Perwitosari, berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini
diletakan di rumah pengantin laki-laki.
Dalam pelaksanaan upacara Siraman Pengantin perempuan/laki-laki
datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke
tempat Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki
dengan kain batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah
Siraman. Dia mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang
menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan

Page | 16
setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan Siraman. Orang
terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang sepesial
yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua
tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke
tangannya dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka
menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki
juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo dan
conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk
memecahkan kendi ke lantai dan berkata: 'Wis Pecah Pamore' - berarti
dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).
 Upacara Ngerik
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin.
Pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi
pewangi (ratus) di seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke
belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah itu Pemaes
membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani.
Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin. Dandanan itu
tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita
memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau
Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup.
 Upacara Midodareni
Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab
dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang
berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi
cantik sama seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan
datang dari kayangan. Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari
jam enam sore sampai tengah malam di temani dengan beberapa
wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan memberi saran dan
nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan
datang berkunjung; semuanya harus wanita.

Page | 17
Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan
untuk yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan
bertanggung Jawab.
Yang harus diletakan di kamar pengantin :

• Satu set Kembar Mayang.


• Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-
lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak.
• Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap
srep.
• Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga)
diletakan di bawah tempat tidur.
• Suruh Ayu (daun betel).
• Kacang Areca.
• Tujuh macam kain dengan corak letrek.
Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga
dan tamu dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman
dekat dari pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari
pengantin laki-laki.

 Peningsetan atau Srah-Srahan

Page | 18
Peningsetan berasal dari kata singset (berarti ikatan). Kedua
keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan.
Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari
pengantin perempuan. Mereka membawa hadiah:
• Suruh Ayu (daun betel), mengharapkan untuk keselamatan.
• Beberapa kain batik dengan corak berbeda,
mengharapkan untuk kebahagiaan dan kehidupan yang
baik.
• Kain Kebaya.
• Setagen putih untuk tanda kekuatan.
• Buah-buahan, mengharapkan kesehatan.
• Beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain, tanda dasar
kehidupan.
• Cincin untuk pasangan pengantin.
• Sumbangan uang untuk pesta pernikahan.
Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah.
Hanya pengantin laki-laki tidak bisa bertamu ke kamar pengantin
perempuan yang sudah bagus di dekorasi. Pengantin laki-laki tiba
bersama dengan keluarganya, tetapi dia tidak boleh masuk ke
rumah. Hanya keluarganya boleh masuk ke rumah. Dia duduk di
serambi depan rumah bersama dengan beberapa teman dan
keluarga. Selama itu, dia hanya diberi segelas air dan tidak boleh
merokok. Dia boleh makan hanya setelah malam hari. Dengan
maksud agar dia bisa menahan lapar dan godaan. Sebelum
keluarganya meninggalkan rumah, utusan dari keluarga pengnatin
laki-laki mengatakan kepada tuan rumah bahwa mereka akan

Page | 19
mengambil alih tanggungJawab pengantin laki-laki. Utusan
menyatakan bahwa pengantin laki-laki tidak kembali ke rumah.
Setelah pengunjung meninggalkan rumah, pengantin laki-laki boleh
masuk ke rumah, tetapi tidak ke kamar pengantin. Orangtua dari
pengantin perempuan akan mengurus penginapannya.
Itu disebut Nyantri. Nyantri dilakukan untuk keamanan dan
praktisnya, dengan pertimbangan bahwa besok dia harus
berpakaian pengantin dan siap untuk Ijab dan upacara pernikahan
lain.
 Upacara Ijab
Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting dalam
mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan
agama dari pasangan pengantin. Tempat di adakan Ijab diletakan
Sanggan atau Sajen disekitarnya. Pengantin wanita dengan
gelungan, minyak rambut mengkilap, perhiasan emas dan kebaya
untuk saat ini. Pengantin laki-laki juga berpakaian khusus untuk
upacara ini. Pasangan pengantin muncul terbaik. Mereka dihormati
seperti Raja dan Ratu di hari itu.

Setelah selesainya rangkaian persiapan maka dilanjutkan


dengan upacara perkawinan. Upacara perkawinan menurut adat
Jawa terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
 Upacara Panggih
Suara sangat bagus dan mistik dari Gamelan digabungkan
dengan tradisi Panggih atau Temu: pertemuan antara pengantin
wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan di
depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin laki-

Page | 20
laki di antar oleh keluarga dekatnya (tetapi bukan orangtuanya
karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba di rumah
dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu
gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan,
berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga
dekat berjalan di belakangnya. Di depannya dua puteri disebut
Patah, dengan membawa kipas. Dua wanita dituakan atau dua
putera membawa dua Kembar Mayang yang tingginya sekitar satu
meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-laki
berjalan keluar dari barisan dan memberi Sanggan ke ibu
pengantin perempuan, sebagai tanda dari penghargaan kepada tuan
rumah dari upacara. Selama upacara Panggih, Kembar Mayang di
bawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah,
melukiskan bahwa setan tidak akan menggangu selama upacara di
rumah dan di sekitarnya. Untuk dekorasi, dua Kembar Mayang
diletakan di samping kanan dan kiri dari kursi pasangan pengantin.
Dekorasi itu hanya digunakan bila pasangan pengantin sebelumnya
tidak pernah menikah.
 Upacara Balangan Suruh
Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka
mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulia
melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama
dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan
besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut
kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak
dari gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain,
itu akan mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati,
bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai
pengantin laki-laki atau perempuan.
 Upacara Wiji Dadi
Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya.
Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan
menggunakan air dicampur dengan bermacam bunga. Itu

Page | 21
melukiskan bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah yang
bertangung Jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia
suaminya.

 Upacara Sindur Binayang

Setelah upacara Wiji Dadi, ayah pengantin perempuan


mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin
perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan Sindur.
Itu berarti bahwa ayah akan menunjukan jalan kebahagiaan. Ibu
memberi dorongan moral.
 Upacara Timbang

Page | 22
Kedua pasangan pengantin duduk di atas pangkuan ayah dari
pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama
beratnya, berarti dia cinta mereka sederajat.
 Upacara Tanem
Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke
kursi pengantin. Itu melukiskan bahwa dia menyetujui perkawinan.
Dia memberi restu.
 Upacara Tukar Kalpika
Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.

 Upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya

Dengan dibantu oleh Pemaes,


pasangan pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari
kelingking ke tempat upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya. Di
sana, pengantin perempuan mendapat dari pengantin laki-laki
beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo
benglé, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya
(jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa suami
akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan
sangat berhati-hati dalam menerima pemberiannya di dalam kain

Page | 23
putih, di atas tikar yang sudah diletakan di pangkuannya. Dia akan
mengurus dan menjadi ibu rumah tangga yang baik.
 Upacara Dahar Klimah atau Dahar Kembul

Pasangan pengantin makan


bersama dan menyuapi satu sama lain. Pemaes, menjadi pemimpin
dari upacara, memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi
kuning, dadar telur, tahu, tempe, abon dan hati ayam). Pertama,
pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan
tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah
pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk
suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis.
Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan
menikmati hidup bahagia satu sama lain.
 Upacara Mertui
Orangtua pengantin wanita menjemput orangtua pengantin
laki-laki di depan rumah. Mereka berjalan bersama menuju ke
tempat upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua ayah
berjalan di belakang. Orangtua dari pengantin laki-laki duduk di
sebelah kiri dari pasangan pengantin. Orangtua dari pengantin
perempuan duduk di sebelah kanan dari pasangan pengantin.
 Upacara Sungkeman
Mereka bersujud untuk mohon doa restu dari orangtua
mereka. Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke
orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman, Pemaes
mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah Sungkeman,
pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya. Orantua pasangan
pengantin memakai motif batik yang sama (Truntum), berarti

Page | 24
pasangan akan selalu mempunyai cukup keuntungan untuk hidup
baik, mereka juga memakai Sindur seperti ikat pinggang. Warna
merah dari Sindur dengan pinggir berliku berarti bahwa hidup itu
seperti sungai mengalir di gunung. Orangtua mengantar mereka ke
kehidupan nyata dan mereka akan membentuk keluarga yang kuat.

Setelah upacara Pernikahan, dilanjutkan dengan pesta resepsi.


Pasangan pengantin baru bersama dengan orangtuanya menerima
ucapan selamat dari para tamu. Bersamaan dengan itu, beberapa
penari Jawa menpertunjukan (tari klasiek Gathot Kaca-Pergiwo,
fragment dari cerita wayang atau tari lebih modern Karonsih).
Semantara semua tamu menikmati pesta dan makan santapan,
diiringi suara gamelan di ruang resepsi.

Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya,


hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar, atau sama dengan lima
hari sejak mereka dipertemukan. Pemboyongan yang disertai pesta
upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut
ngunduh temanten.
Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai
masalah perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa
dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam

Page | 25
keadaan hamil dan di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya
dengan menjatuhkan talak. Sedangkan sebaliknya istri pun berhak
meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila seorang istri
meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu
kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama
Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan
memberi keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat
tersebut dinamakan rapak.
Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum
melebihi jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila
hal itu dijalankan melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik
rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga
kali, karena apabila sudah mencapai talak sebanyak tiga kali maka suami
istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam hubingan ini sorang janda
dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat masa iddahnya,
yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.
Dalam sebuah keluarga (kulawarga atau keluarga-batih) Jawa kepala
keluarga disebut somah. keluarga-batih dalam bentuk keluarga yang luas
adalah suatu pengelompokan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu
tempat tinggal. Suatu kekerabatan yang lain ialah sanak-sadulur yang
terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang
sampai derajat ketiga. Selain itu terdapat kelompok kekerabatan lain yang
disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh
turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya, yang tugasnya
memelihara makam leluhur.
Setelah pernikahan pasangan pengantin Jawa bebas menentukan
apakah ia akan menetap di sekitar tempat kediaman sendiri atau kerabat,
atau mereka memilih untuk tinggal di tempat tinggal yang baru. Adat
menetap sesudah nikah ada tiga sifat:
a. Utrolokal, artinya mempunyai tempat tinggal sendiri yang
terlepas dari tempat menetap kerabat masing-masing pihak.
b. Neolokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat
tempat kediaman kerabat suami.

Page | 26
c. Uxorilokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat
tempat kediaman kerabat istri.
Dalam pembagian warisan harta peninggalan orang tua dikenal
adanya 2 macam cara yaitu perdamaian dan sepikul segendongan.
Menurut cara perdamaian, pembagian harta dilakukan melalui
permusyawaratan antara para ahli waris. Biasanya orang tua cenderung
memberikan rumah kediamannya kepada tabon, yaitu seorang anak laki-
laki atau perempuanyang tetap tinggal di rumah bersama orang tua.
Pemeliharaan benda pusaka diserahkan kepada anak laki-laki tertua,
sedangkan ternak dibagikan sama sesuai jumlah yang ada.
Menurut cara sepikul segendongan, anak laki-laki ditetapkan
mendapat bagian 2/3 sedangkan perempuan 1/3 dari seluruh jumlah
warisan orang tua. Biasanya dipergunakan untuk pembagian warisan
tanah pekarangan. Besarnya jumlah pembayaran pajak dituliskan dalam
surat tanda pembayaran pajak yang disebut kohir (petuk) yang biasanya
dipegang ahli waris yang paling tua.
Tanah pertanian (sawah) yang bisa diwariskan adalah sawah
sanggan (milik pribadi) yang terdiri atas tiga macam yaitu:
a. Sawah gantungan, merupakan sawah bagian warisan dari
seseorang yang pergi meninggalkan sawah tadi, sehingga harus
dipelihara dan digarap oleh saudaranya sendiri, tetapi setelah ia
datang hak dan kewajiban tanah pertanian itu kembali
kepadanya.
b. Sawah dunungan, sesungguhnya belum menjadi harta
warisan namun sudah ditunjuk kepada siapa masing-masing
bagian sawah itu akan diberikan. Biasanya anak yang lebih tua
mendapat bagian di sebelah barat dan anak yang muda di
sebelah timur.
c. Sawah garapan, sawah ini juga belum menjadi benda
warisan tetapi sudah diberi ijin dari orang tua untuk digarap oleh
anak-anak atau menantu laki-lakinya dan setelah orang tua
meninggal akan menjadi warisan bagi penggarapnya.

Page | 27
Dalam adat Jawa dikenal adanya pembedaan harta benda milik
suami sendiri sebelum kawin (benda gawan) dan harta kekayaan yang
diperoleh selama hidup bersama (benda gana gini) keduanya dapat
diwariskan. Benda gawan kembali kepada kerabat masing-masing apabila
suami istri tidak mempunyai anak, sedangkan benda gana gini baru
dipersoalkan pembagiannya jika kedua orang tersebut bercerai, yaitu
banda gana untuk suami dan banda gini untuk istri.

BAHASA DAN AKSARA JAWA


Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk
suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu
Ngoko dan Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak
langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus
( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi
Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun
agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan
Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun
berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan
Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk
pulau Jawa. Bahasa Jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang
dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubah
sesuai dari huruf Arab.
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek,
yakni :
• Dialek daerah, dan
• Dialek sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat
berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong
rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada

Page | 28
wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu
dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan
dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M.
Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the
Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
1. Dialek Banten
2. Dialek Indramayu-Cirebon
3. Dialek Tegal
4. Dialek Banyumasan
5. Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
1. Dialek Pekalongan
2. Dialek Kedu
3. Dialek Bagelen
4. Dialek Semarang
5. Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Dialek Blora
7. Dialek Surakarta
8. Dialek Yogyakarta
9. Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya
dialek Surakarta dan Yogyakarta.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :


1. Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
2. Dialek Surabaya
3. Dialek Malang
4. Dialek Jombang
5. Dialek Tengger
6. Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Page | 29
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
1. Ngoko
2. Ngoko Andhap
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Kromo
6. Kromo Inggil

Kromo Inggil adalah suatu tingkatan kehalusan bahasa Jawa tutur.


Dipakai oleh penutur untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang:
a. dianggap jelas lebih tua, seperti ayah, ibu, kakek.
b. dihormati.
c. dianggap memiliki kedudukan/kekuasaan/pendidikan lebih tinggi,
seperti majikan, Pak Guru, Pak Lurah.

7. Bagongan
8. Kedhaton

Beberapa jenis dialeg Jawa :


♦ Dialeg Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa
Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang
dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan
sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan
dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun
demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih
dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk
penghormatan atas orang lain.
Pada umumnya menganggap dialek suroboyoan adalah yang
terkasar tapi sebenarnya itu menunjukkan sikap tegas, lugas,
dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan
wong Jawa, tidak berlaku di kehidupan arek suroboyo.

Page | 30
misalnya dalam berbicara, wong Jawa menekankan tidak boleh
memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang
dituakan atau pemimpin, karena dianggap tidak sopan. Tapi
dalam budaya arek suroboyo, itu tanda bahwa orang tersebut
sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata
lawan bicara
♦ Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
dituturkan di Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan
dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah
pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah
lainnya, Yogyakarta, Solo, Boyolali dan Salatiga. Walau letak
daerah Semarang yang heterogan dari pesisir
(Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah
bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai
memiliki kata ngoko, ngoko andhap dan madya di Semarang
ada di zaman sekarang. Para pemakai dialek Semarang juga
senang menyingkat frase, misalnya Lampu abang ijo (lampu
lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah)
menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus
(100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua
frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan
dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana
yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat
"Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
♦ Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak
Ngapak adalah kelompok bahasa Jawa yang dipergunakan di
wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan
dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah
Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding
dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa
Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa
Kuna (Kawi). Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek
Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali

Page | 31
bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap
diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego'
(nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu,
kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya
kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam
dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang
jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan
bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki
kesamaan dengan bahasa Jawa standar
(Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.

Banten Cirebon Banyumasan & Indonesi


Jawa Standar
Utara an Tegalan a
sire sira/rika sira/rika kowe kamu
pisan pisan Pisan banget sangat
keprime keprimen/kepriben/kep piye/kepriye/kepri bagaiman
kepriben
n riwe pun a

♦ Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen:
Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab
merupakan pertemuan antara dialek "bandek" (Yogya-Solo)
dan dialek "ngapak" (Banyumas). Contoh: Kata-katanya masih
menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
 "Nyong": aku, tetapi orang Magelang memakai "aku"
orang Temanggung yang di kotanya juga menggunakan "aku"
di Parakan juga sebagian kecil menggunakan "aku"

Page | 32
 "njagong": duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
 "Trus Priben": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar:
"banjur piye" atau "terus piye")
 "gandhul": pepaya
♦ Dialek Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan
bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian
utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat,
menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah
lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek
Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain
Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama
dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-
merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara
lain: perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.

Ciri khas
Selain pada intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pada
pengucapan setiap frasanya, yakni apa yang terucap sama
dengan yang tertulis. Untuk lebih jelas, mari kita amati
beberapa contoh dan tabel berikut ini:

Dialek Tegal Bahasa Jawa Standar


padha Podho
saka Soko
sega Sego
apa Opo
tuwa Tuwo

Salah satu persoalan yang selalu dihadapi oleh para siswa


sekolah (SD sampai SMA) adalah dalam hal mata pelajaran
bahasa daerah (Jawa). Kurikulum yang mereka terima seolah-
olah merupakan 'paksaan' agar menggunakan menggunakan
dialek Jawa Tengah dan Yogyakarta yang bukan merupakan
bahasa ibu mereka.

Page | 33
Bilangan dalam bahasa Jawa
Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa
Jawa memiliki system bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jawa tel ne wwal sang sapulu
sa rwa pat lima pitu
Kuna u m a hu
sapt naw
Kawi eka dwi tri catur panca sad as.t.a dasa
a a
setung kali tig sekaw gangs ne sang sedas
Krama pitu wolu
gal h a an al m a a
tel ne sang sepulu
Ngoko siji loro papat lima pitu wolu
u m a h
Fraksi
• 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
• 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
• 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
• 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)

Aksara Jawa
Hanacaraka atau dikenal dengan nama caraka adalah abjad / alat
tulis yang digunakan oleh suku Jawa (juga Madura, Sunda, Bali,
Palembang, dan Sasak). Aksara Jawa bila diamati lebih lanjut memiliki sifat
silabik (kesuku-kataan). Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing
huruf yang paling tidak mewakili 2 buah huruf (aksara) dalam huruf latin.
Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan
merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata
"hari". Aksara Na yang mewakili dua huruf yakni N dan A, dan merupakan
satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "nabi".
Beberapa buah aksara itu bisa digabungkan secara langsung untuk
membentuk sebuah kata. Sebagai contoh :

Page | 34
Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat:
Hana Caraka (Terdapat Pengawal); Data Sawala (Berbeda Pendapat);
Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya); Maga Bathanga (Keduanya mati).

Adapula tafsir berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja


Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
 Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya
ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang
dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia
dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).

 Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya
( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan
segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan
menjalankan kehendak Tuhan.

 Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi
hidup ( makhluk ). Maksudnya padha " sama " atau sesuai,
jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan
berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul "
sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang
" atau menang tidak sportif.
 Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah,

Page | 35
sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk
mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Jumlah aksara / huruf pada hanacaraka berjumlah 20 buah tampak


pada gambar berikut.

Makna Huruf
 Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari
yang Maha Suci
 Na Nur candra, gaib candra, warsitaning candara - pengharapan
manusia hanya selalu ke sinar Illahi
 Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi - arah dan tujuan pada
Yang Maha Tunggal
 Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih
nurani
 Ka Karsaningsun memayu hayuning bawana - hasrat diarahkan
untuk kesejahteraan alam
 Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa
adanya
 Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar, totalitas, satu visi,
ketelitian dalam memandang hidup
 Sa Sifat ingsun handulu sifatullah - membentuk kasih sayang seperti
kasih Tuhan
 Wa Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas
namun implikasinya bisa tanpa batas
 La Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada
tuntunan Illahi

Page | 36
 Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
 Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu
dimulai dari dasar
 Ja Jumbuhing kawula lan Gusti - Selalu berusaha menyatu
memahami kehendak-Nya
 Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas
titah/kodrat Illahi
 Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat
kehidupan
 Ma Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin/mantap dalam
menyembah Ilahi
 Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani
 Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
 Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan
 Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi
manusia

Pasangan
Jika Carakan / aksara Jawa lebih bersifat silabis (kesuku-kataan),
bagaimana Carakan bisa menuliskan huruf mati. Hal ini bisa diJawab
dengan adanya pasangan. Pasangan memiliki fungsi untuk
menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri) konsonan dengan suku
kata berikutnya.
Sebagai contoh kata "banda" yang bila dipisahkan menurut
silabiknya adalah "ban" dan "da". Suku kata yang pertama suku kata ban.
Untuk menuliskan ban ini pertama-tama adalah dengan menuliskan
aksara Ba terlebih dahulu. Kemudian menuliskan aksara Na karena aksara
Na mewakili dua buah huruf latin yakni N dan A sehingga kita tidak bisa
langsung menuliskan aksara da. Untuk mematikan huruf Na, maka kita
harus menuliskan bentuk pasangan da.
Bentuk pasangan disebutkan memiliki fungsi untuk menghubungkan
suku kata yang tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya. Artinya

Page | 37
bahwa huruf yang diikuti pasangan akan dimatikan sehingga menjadi
konsonan. Pada kasus di atas aksara Na diikuti pasangan Da yang berarti
Na akan dibaca sebagai N.
Semua aksara pokok yang ada di Carakan memiliki pasangannya
masing-masing. Bentuk pasangan ini ada yang dituliskan di bawah dan
ada juga yang di atas sejajar dengan aksara.

Bentuk-bentuk pasangan itu adalah:

Aksara Murda
Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara
dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-
kata yang menunjukkan :
 Nama Gelar
 Nama Diri
 Nama Geografi
 Nama Lembaga Pemerintah
 Dan Nama Lembaga Berbadan Hukum.
(Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal
diatas biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada
perangkat lunak ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara
murda atau pasangannya).
Aksara Murda dan pasangannya

Page | 38
Aturan Pengunaan
Untuk aturan penulisan Aksara murda ini hampir sama dengan
penulisan aksara-aksara pokok di Hanacaraka, ditambah dengan beberapa
aturan tambahan yakni :
a. Murda tidak dapat dipakai sebagai sigeg (konsonan penutup suku
kata).
b. Bila ditemui aksara murda menjadi sigeg, maka dituliskan bentuk
aksara pokoknya.
c. Bila dalam satu kata atau satu kalimat ditemui lebih dari satu aksara
murda, maka ada dua aturan yang dapat dipergunakan yakni dengan
menuliskan aksara murda terdepannya saja, atau dengan menuliskan
keseluruhan dari bentuk aksara mudra yang ditemui.
Contoh Pemakaian Aksara Murda
Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh
berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.
Contoh:

Page | 39
Aksara swara
Kegunaan Aksara Swara
Aksara Swara sebagaimana aksara Murda memiliki fungsi dan
kegunaan tertentu. Aksara Swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan
untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang
berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya.
Bentuk Aksara Swara
Aksara Swara tidak seperti aksara-aksara yang lain. Aksara ini tidak
dilengkapi dengan bentuk pasangan. adapun bentuk Aksara Swara ini
adalah sebagai berikut :

Aturan Penulisan Aksara Swara


Dalam menuliskan Aksara Swara, diikuti aturan penulisan aksara
swara sebagai berikut :
a. Aksara swara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan.
b. Bila aksara swara menemui sigegan (konsonan pada akhir suku kata
sebelumnya), maka sigegan itu harus dimatikan dengan pangkon.
c. Aksara swara dapat diberikan sandangan wignyan, layar, cecak, suku,
wulu dan lainnya.
Contoh Penggunaan Aksara Swara
Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh
berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.
Contoh:

Page | 40
Sandangan
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di
dalam tulisan Jawa. Di dalam tulisan Jawa, aksara yang tidak mendapat
sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a.
Vokal a di dalam bahasa Jawa mempunya dua macam varian, yakni / / dan
/a/.
 Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh
doi dalam bahasa Indonesia, misalnya :
 Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua
di dalam bahasa Indonesia, misalnya :
Sandangan di dalam aksara Jawa dapat dibagi menjadi tiga golongan
yakni sebagai berikut :
1. Sandangan Bunyi Vokal (Sandhangan Swara)
Sandangan bunyi vokal ada lima buah. Adapun bentuk dari
sandangan bunyi vokal ini adalah :
Pemakaian Sandangan Wulu
Sandangan Wulu dipakai untuk melambangkan vokal ( i ) di dalam
suatu suku kata. Sedangkan wulu ditulis di bagian atas akhir suatu aksara.
Apabila selain wulu juga terdapat sandangan yang lain, maka sandangan
wulu digeser sedikit ke kiri.
Pemakaian Sandangan Suku
Penulisan sandangan suku dapat dituliskan dalam dua keadaan yaitu :
1. Penulisan sandangan suku pada aksara. Sandangan suku dipakai
untuk melambangkan bunyi vokal u yang bergabung dengan bunyi
konsonan di dalam suatu suku kata, atau vokal U yang tidak
dituliskan dengan aksara swara.Sandangan suku dituliskan
serangkai di bagian bawah akhir aksara yang mendapatkan
sandangan itu.
2. Penulisan sandangan suku pada pasangan. Sandangan suku pada
pasangan dituliskan mengikuti letak penulisan pasangan itu. Letak
sandangan sukunya sendiri tetap berada pada bagian bawah akhir
dari pasangan. Apabila sandangan suku mengikuti pasangan aksara
(ka), (ta), atau (la), maka pasangan ini harus dirubah dulu ke dalam

Page | 41
bentuk aksara pokoknya dahulu, baru kemudian diberikan
sandangan suku.
Pemakaian Sandangan Pepet
Kegunaannya untuk dipakai untuk melambangkan vokal e di dalam
suatu suku kata. Aturan penulisan sandangan pepet tertera sebagai
berikut:
Sandangan pepet ditulis di bagian atas akhir aksara. Apabila selain
pepet juga terdapat sandangan layar, maka sandangan pepet digeser
sedikit ke kiri dan sandangan layar ditulis di sebelah kanan pepet. Apabila
selain pepet juga terdapat sandangan cecak, maka sandangan pepet
digeser sedikit ke kiri dan sandangan cecak ditulis di dalam pepet.
Penempatan sandangan pepet pada aksara yang mendapatkan pasangan
dituliskan sesuai dengan aturan di atas, kecuali untuk aksara yang
mendapatkan pasangan yang dituliskan di atas seperti sandangan (ha),
(sa), dan (pa). Untuk aksara yang mendapatkan pasangan ini, maka
penulisan pepet berada di atas pasangannya.
Pengecualian: Sandangan pepet tidak dipakai untuk menuliskan suku
kata re dan le yang bukan sebagai pasangan. Sebab suku kata re dan le
yang bukan pasangan dilambangkan dengan tanda pacerek (re) dan Nga
lelet (le).
Pemakaian Sandangan Taling
Untuk membedakan penggunaan sandangan pepet dengan taling,
maka dibedakan sebagai berikut ;
 é untuk penulisan sandangan pepet
 e untuk penulisan sandangan taling
Pemaikaian Sandangan Taling Tarung
Sandangan taling tarung dipakai untuk melambangkan bunyi vokal
O yang tidak dituliskan dengan aksara swara di dalam suatu suku kata.
Untuk Sandangan taling tarung dituliskan mengapit aksara yang dibubuhi
sandangan itu.
Sandangan taling tarung untuk aksara pasangan di tuliskan
mengapit aksara yang dimatikan (yang menjadi sigeg). Untuk aksara
pasangan yang ada di atas seperti pasangan (ha), (sa), dan (pa), maka

Page | 42
taling ditaruh didepan aksara sigeg, sedangkan tarung ditaruh di belakang
aksara pasangan.

2. Sandangan Konsonan Penutup Suku Kata (Sandhangan


Panyigeging Wanda)
Sandangan penutup suku kata ada 4 buah.
Pemakaian Sandangan Wignyan
Sandangan wignyan adalah pengganti sigegan ha (konsonan ha di
akhir suku). Penulisan wignyan diletakkan di belakang aksara yang
dibubuhi sandangan itu.
Pemakaian Sandangan Layar
Hampir sama dengan sandangan wignyan, sandangan layar
digunakan untuk pengganti sigegan ra (konsonan ra di akhir suku).
Penulisan layar ditulis dibagian atas akhir aksara yang mengikuti.
Pemakaian Sandangan Cecak
Sandangan cecak digunakan untuk menuliskan sigegan ng
(sepasang konsonan nga di akhir suku kata). ada tiga buah kondisi dalam
menuliskan sandangan cecak, yakni :
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara. Sandangan cecak
dituliskan menurut aturan ini bila menemui keadaan aksara yang
diikuti tidak memiliki sandangan di atas aksara selain dirinya.
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara belakang sandangan
wulu. Apa bila sandangan cecak mengikuti sandangan wulu,
maka sandangan cecak dituliskan di belakang sandangan wulu.
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara di dalam pepet.
Sandangan cecak apabila mengikuti sandangan pepet, maka
penulisan cecak di taruh di dalam sandangan pepet.
Pemakaian Sandangan Pangkon
Tidak seperti ketiga sandangan sebelumnya, sandangan pangkong
memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itu adalah :
 Sandangan pangkong dipakai sebagai penanda bahwa aksara
yang dibubuhi sandangan pangkon itu merupakan aksara mati,
aksara penutup suku kata, atau aksara penyigeging wanda.

Page | 43
Sandangan pangkong ditulis di belakang aksara yang di bubuhi
sandangan itu.
 Sandangan pangkon dapat juga dipakai sebagai pembatas bagian
kalimat atau rincian yang belum selesai, senilai dengan pada
lingsa, atau tanda koma (,) di dalam ejaan latin, di samping untuk
mematikan aksara. Pada kasus ini pangkong berfungsi ganda.
o Contoh: bapak macul, aku angon sapi, adhiku dolanan ijen.
Sandangan pangkon dapat ditulis untuk menghindarkan penulisan
aksara yang bersusun lebih dari dua tingkat.
o Contoh : benik klambi

3. Sandangan Gugus Konsonan


Gugus konsonan adalah kumpulan dari dua konsonan dalam
Hanacaraka yang akan membentuk suatu suku kata. sebagai contoh
kraton yang dapat dipisah menjadi kra-ton. suku kata kra memiliki gugus
konsonan kr. Di dalam Hanacaraka ada lima buah gugus konsonan yang
digunakan dalam bentuk sandangan.
Sandangan Cakra
Sandangan cakra merupakan penanda gugus konsonan yang unsur
terakhirnya berwujud konsonan r. Tanda cakra ditulis serangkai di bawah
bagian akhir aksara yang diberi tanda cakra itu.
Aksara yang sudah diberikan cakra dapat diberikan sandangan lagi
selain sandangan cakra, cecak, cakra la, cakra wa. Dan apa bila
sandangan itu adalah pepet, maka sandangan cakra dan pepet ditulis
menjadi cakra keret.
Sandangan Cakra Keret
Sandangan Cakra Keret dipakai untuk melambangkan gugus
konsonan yang berunsur akhir konsonan r dengan diikuti vokal e pepet.
Dengan kata lain cakra keret digunakan sebagai ganti tanda cakra yang
mendapatkan penambahan sandangan pepet. Tanda cakra keret ditulis
serangkai di bawah bagian akhir aksara yang diberikan tanda keret itu.

Page | 44
Sandangan Pengkal
Sandangan Pengkal dipakai untuk melambangkan konsonan y yang
bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu suku kata. Tanda
pengkal ditulis serangkai di belakang aksara yang diberi tanda pengkal.

Tanda Baca
Dalam Hanacaraka terdapat pula tanda-tanda baca yang digunakan
dalam penulisan kalimat, paragraf dan lainnya. Bentuk tanda baca yang
ditangani dalam perangkat lunak ini ada 4 buah yakni :
1) Adeg-adeg
Adeg adeg dipakai di depan kalimat pada tiap-tiap awal alinea.
2) Pada Lingsa
Pada lingsa dipakai pada akhir bagian kalimat sebagai tanda
intonasi setengah selesai. Tanda ini hampir setara dengan
penggunaan koma(,).
Contoh: wong gedhe, dhuwur, lan pakulitane ireng.

3) Pada Lungsi
Pada lungsi dipakai pada awal suatu kalimat. Tanda ini hampir
setara dengan titik.
Contoh: wis meh jam telu esuk, sumini durung bisa turu. pikirane
goreh. goreh amarga mikirna bojone kang wis telung dina iki durung
mulih.
4) Pada Pangkat
 Pada pangkat dipakai pada akhir pernyataan lengkap jika
diikuti rangkaian atau pemerian. Contoh: aku arep tuku bala
pecah : mangkok, piring, lan gelas.
 Pada pangkat dipakai untuk mengapit angka. Contoh: Ibu
mundhut emas 75 gram.
 Pada pangkat dipakai untuk mengapit petikan langsung.
Contoh: Ibu ngendika, "sapa kancamu"

Page | 45
SISTEM KEPERCAYAAN
Agama Islam berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa. Selain
itu, terdapat pemeluk agama nasrani dan agama besar lainnya.Pemeluk
agama Islam pada masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu :
• Islam Santri
adalah penganut agama Islam Jawa yang secara patuh dan teratur
menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya.
• Islam Kejawen
penganut agama Islam ini beranggapan walaupun tidak
menjalankan shalat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji,
tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam. Kecuali
itu mereka tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Tuhan mereka
sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi.
Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini
sudah diatur dalam alam semesta sehingga mereka memiliki sikap nerima
yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Selain itu, orang Jawa pada suatu
kekuatan yang disebut kasakten, arwah atau roh leluhur, dan makhluk
halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan
lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggalnya. Menurut
kepercayaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses,
kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, namun sebaliknya
mereka juga dapat menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan
kematian. Maka apabila seorang Jawa hidup tanpa menderita gangguan ia
harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya
dengan berpuasa, pantang makan makanan tertentu, berselamatan, dan
bersaji.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang makanannya telah
diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Hampir semua selamatan ditujukan
untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan
apapun. Upacara ini dipimpin oleh modin, yaitu seorang pegawai masjid
yang berkewajiban mengumandangkan adzan karena dianggap mahir
membaca do keselamatan dari dalam ayat-ayat Al Quran.

Page | 46
Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam
sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari,
yakni:
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti hamil
tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara
menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga,
serta upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat
sesudahnya.
Upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat
sesudahnya dilakukan karena orang Jawa sangat menghormati
arwah orang meninggal dunia, terutama keluarganya. Rangkaian
upacara selamatan (sedekahan) yang ditujukan untuk menolong
keselamatan roh nenek moyang tersebut di dalam akhirat ialah:
a. Sedekah Surtanah atau Geblak yang diadakan pada saat
meninggalnya seseorang. Upacara adat ini diselenggarakan
setelah acara penguburan jenazah. Tujuannya untuk
memberikan doa supaya arwah dari orang yang meninggal itu
mendapat pengampunan. Upacara surtanah ini
diselenggarakan secara sederhana, yang hadir umumnya
adalah saudara, tetangga yang dekat dan ulama yang
diundang. Selain doa biasanya juga ada acara tahlilan yang
dilanjutkan dengan mengaji bersama. Tidak ada undangna
khusus untuk acara ini, umumnya tetangga hadir dengan
membawa bahan-bahan panganan ( beras, telur, bahan untuk
sayur, gula, kopi ataupun uang dan lain-lain )yang tujuannya
untuk meringankan beban keluarga.
Inti dari upacara surtanah adalah berdoa, yang
diutamakan untuk berdoa adalah putra-putri dari orang yang
meninggal, saudara dekat, teman atau tetangga atau siapa
saja yang mau ikut berdoa. Tidak ada acara kendhuren, jika
ada hidangna yang disajikan itu hanya seadanya. Bisa juga
jika keluarga yang ”kesripahan” ingin sodaqoh bisa dengan
membuat makanan yang banyak atau menyiapkan besek

Page | 47
untuk dibawa pulang yang hadir tapi itu tidak wajib. Yang
dianjurkan adalah orang lain yang membawa bantuan untuk
keluarga yang ”kesripahan”.
b. Sedekah Nelung dina ialah upacara selamatan kematian yang
diselenggarakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya
seseorang.
c. Sedekah Mitung dina ialah upacara selamatan saat sesudah
menginggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh.
d. Sedekah Matangpuluh dina atau upacara keselamatan
kematian seseorang pada hari keempat puluh.
e. Sedekah Nyatus yakni upacara keselamatan kematian yang
diadakan sesudah hari keseratus sejak saat kematiannya.
f. Sedekah Mendak sepisan dan Mendak pindo, masing-masing
upacara selamatan kematian yang dilakukan pada waktu
sesudah satu tahun dan dua tahun dari saat meninggal
seseorang.
g. Sedekah Nyewu, sebagai upacara selamatan sesudah
kematian seseorang bertepatan dengan genap seribu harinya.
Upacara juga disebut sedekah Nguwis-nguwisi artinya yang
terakhir kalinya.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan
tanah pertanian dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan
besar Islam
4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkaitan dengan
kejadian-kejadian, misalnya menempati rumah atau menolak
bahaya (ngruwat).
Selain upacara selamatan, pada masyarakat Jawa juga dikenal
adanya sesajen. Sesajen merupakan penyerahan sajian pada waktu dan di
tempat tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus.
Tempat yang dipilih biasanya tempat yang dianggap keramat dan
mengandung bahaya ghaib (angker)agar terhindar dari gangguan makhluk
halus. Sesajen merupakan ramuan tiga macam bunga (kembang telon)

Page | 48
yang dimasukkan ke dalam air,kemenyan, uang recehan, dan kue apem
yang ditaruh dalam besek ataupun bungkusan daun pisang kemudian
ditempatkan di atas meja untuk dikutug. Ada sesajen yang dibuat pada
tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Masyarakat Jawa juga
mengenal adanya upacara sesaji panyadran agung yang dilakukan tiap
tahun oleh keluarga Kraton Yogyakarta bertepatan Maulid Nabi
Muhammad SAW atau disebut juga Gerebeg Mulud.
Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) ditujukan
kepada benda-benda pusaka, keris, gamelan,bahkan pada burung
perkutut, kendaraan istana (kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta
kepada raksasa Batara Kala. Untuk kendaraan istana setiap setahun sekali
pada hari Jumat Kliwon pada bulan Sura dibersihkan dengan upacara
siraman yang dilakukan di dalam lingkunagn istana (Ratawijaya) secara
terbuka. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, air bekas siraman
tersebut dapat memberi berkah. Sedangkan Batara Kala adalah raksasa
yang mempuyai kekuatan sakti untuk mendatangkan bencana pada benda
atau manusia, sehingga orang Jawa yang mempunyai anak akan
mengadakan ruwatan untuk menghindarkan anaknya dari bahaya.
Ruwatan dilakukan oleh dukun, yang pandai menyembuhkan penyakit dan
mengenyahkan ruh jahat. Ruwatan biasanya disrtai pertunjukkan wayang
kulit sehari semalam dengan mengambil cerita Batara Kala.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat berbagai macam aliran
kebatinan, yang macamya yaitu:
1. Gerakan atau aliran kebatinan yang keuaniyahan, yang percaya
pada adanya ruh halus, atau badan halus, serta jin dan lain-lain.
2. Aliran yang keislam-islaman, yang ajarannya banyak mengambil
unsur keimanan agama Islam, dengan syariat yang sengaja
dibedakan dengan syariat Islam dan mengandung banyak unsur
Hindu-Jawa.
3. Aliran kehindu-jawian, yang pengikutnya percaya kapada dewa
agama Hindu
4. Aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari
kesatuan dengan Tuhan.

Page | 49
Contoh aliran kebatinan yang pernah berkembang di daerah selatan
Yogyakarta misalnya ”ADARI” singkatan ”Agama Jawa Asli Republik
Indonesia”, Hidup Betul, Hendra Pusara, Hidup Betul Iman Agama Hak,
dan Parda Pusara Penitisan Rohani. Hampir semua gerakan kebatinan ini
bertujuan menuju kesempurnaan hidup manusia.
Selain yang telah dijelaskan, terdapat upacara- upacara adat yang
lain yaitu sebagai berikut :
Sadran
Sadran merupakan Upacara masyarakat Jawa Baru (dan Madura
serta mungkin juga Sunda) yang disebut dengan nama sadran atau
bentuk verbal nyadran, merupakan reminisensi daripada upacara sraddha
Hindu yang dilakukan pada jaman dahulukala.
Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah
sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut
ajaran Islam berpuasa.
Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam
dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh
orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam pula.
Mitung Mbengeni
Mitung Mbengeni (berasal dari Bahasa Jawa: pitu: tujuh; bengi:
malam) adalah sebuah prosesi yang dilakukan pada bayi pada malam
ketujuh sejak kelahirannya. Mekanismenya hampir sama dengan prosesi
tasyakuran biasa. Hanya pada menu makanannya ditambahin menu
ngethingi.
Mitung mbengeni juga sebagai pertanda puput puset pada bayi.
Untuk orang jaman dulu, puput puser dilakukan oleh seorang dukun bayi,
dia sekaligus yang menolong proses persalinan sampai dengan perawatan
selama sang ibu atau keluarga belum bisa memperlakukan bayi
sebagaimana mestinya.
Ngerak
Ngerak adalah sebuah tradisi memandikan anak kecil dengan umur
dibawah 5 tahun, disebuah belik. Sebelum berangkat dari rumah,
dilakukan prosesi iring-iringan, dengan menempatkan si anak didepan

Page | 50
dengan posisi di gendong dengan menggunakan selendang berwarna
kuning. Sesampainya di belik, kemudian dimandikan dengan kembang
tujuh rupa oleh sesepuh setempat. Sesampainya dirumah, si anak di suruh
menaiki piramida yang terbuat dari bambu yang berisi pernak-pernik,
mulai dari permainan, sampai dengan makanan. Sedangkan yang paling
menarik adalah seekor ayam panggang yang ditaruh disebelah kiri tas
piramida. Uniknya, sebagian besar dari anak-anak peserta Ngerak tertarik
untuk mengambil kaki ayam panggang tersebut. Entah sebuah kebetulan
ataukah memang bermakna khusus.
Mantu Poci
Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal (Jawa
Tengah), dengan cara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara
sepasang poci tanah berukuran raksasa.
Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami
istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai
keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri
oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian
makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan
yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak
sumbangan berbentuk rumah.
Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera
mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara
merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil
membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar
dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
♦ Ruwatan
Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan
penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak
kesialan didalam hidupnya. Upacara adat ini berasal dari buadaya adat
Jawa kuna yang sifatnya sinkretis, tetapi sekarang diadaptasi dengan
ajaran agama.

Page | 51
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan
orang Jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas
dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya.
Tradisi ruwatan di Jawa ( Jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang
didalam cerita Jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian,
yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali,
atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan
bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang
kulit.
Dalam tradisi Jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang
sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu
mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang
sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini
adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu
yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian
sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa,
yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung
". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta
makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang
berdosa atau sukerta. Jenis manusia yang disukai Bathara Kala yaitu :
a. Yang akan mengalami penderitaan atau sukerta.
b. Yang lahir tunggal atau ontang-anting.
c. Kembang sepasang atau kembar.
d. Sendang kapit pancuran atau laki-laki, perempuan, laki-laki.
e. Uger-uger lawang atau dua anak laki-laki semua.
Sesajen yang perlu disiapkan untuk upacara ini adalah :
a. Kain pitung werna
b. Beras kuning
c. Jarum kuning
d. Kembang pitung rupa
Jika untuk tolak bala atau membuang sial orang yang mengalami
sukerta, orang yang diruwat harus menjalani siraman air suci dan gunting
rambut, rambutnya lalu dilarung di laut.

Page | 52
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros
ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang
berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam
dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan
serta agar tercapai apa yang dicita citakan.

Tumpeng

Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai


'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan'
pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak
tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng
dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang
hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang
tersebut. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan
dialasi daun pisang.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun
demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon,
kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang,
dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap
kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam
pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang
digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele,
ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional
dalam budaya Jawa dan Bali.

Page | 53
Variasi Nasi Tumpeng :
 Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara
siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di
dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak
tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
 Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran
kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain
satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah
tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi
daun pisang.
 Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita
atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan
dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal
dan diletakkan saling membelakangi.
 Tumpeng Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
 Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan
dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara
gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
 Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan
untuk peringatan Maulud Nabi.
Kutug
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh
penganut ajaran tertentu, dengan tujuan agar mendapat lindungan,
keselamatan dan berkah dari Syang Hyang Widi. Ritual ini biasanya
dilakukan oleh kepala adat, dihari-hari tertentu.
Ngethingi
Ngethingi merupakan tradisi tasyakuran sebagai bentuk atau
moment peringatan terhadap seorang bayi ketika berusia tertentu.
Ritualnya, sebuah keluarga yang dikaruniai tambahan jumlah anggota
baru (melahirkan) wajib melaksanakan syukuran dengan selalu membuat
masakan yang berbahan dasar sayur-sayuran (lebih tepatnya dan
lazimnya yang digunakan adalah daun pepaya muda). Ada beberapa

Page | 54
tahapan yang dilakukan oleh suatu keluarga dalam rangka ngethingi.
Diantaranya adalah :
1. Mitung Mbengeni
2. Neloni
3. Mitoni
4. Nyetauni
5. Ngarotengahi
Malam Satu Suro
Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penganggalan
islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah islam dijaman
etelah nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk
memperkenalkan kalender islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka
tahum 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan
kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem
kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa pada waktu itu.

Tradisi Jawa
Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual
menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing,
dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan
demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga
memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan
Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama
ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca
pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi
tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar,
sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut
banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling
mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi
dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit.
Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul
Yogyakarta.

Page | 55
Pantai Parangkusumo
Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok
Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo,
memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual
yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual
tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa
menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian
saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan
saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini
yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.
Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan
utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang
datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan
keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap
tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan
berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau
saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran
menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.

Wayang Kulit Semalam Suntuk


Tradisi dan warisan budaya Jawa ini tak pernah lepas dari tiap
momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro
di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.

Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan


hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi
khidmatnya pagelaran wayang malam itu.

Page | 56
Ngupat
Ngupat atau ngupati adalah salah satu upacara adat yang dilakukan
saat calon ibu mengandung ( mbobot ) 4 bulan. Kata ”ngupat ” berasal
dari kata papat ( 4 ) atau kupat. Tujuannya adalah untuk keselamatan
calon bayi dan ibu atau untuk tolak bala jadi hampir sama seperti mitoni.
Yang membedakan dengan upacara adat ”meteng” lainnya yaitu ada
sajian kupat yang ditaruh didalam tempat yang biasa disebut ”besek”
yang dibawa pulang oleh orang yang hadir pada acara kenduren.
Ngupati ini mengandung maksud sebagai lambang bahwa ”jabang
bayi” sudah masuk dalam tahap keempat dalam proses penciptaan
manusia.
Waktunya harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut
hitungan hari Jawa.
Ngliman
Ngliman adalah salah satu upacara adat ”wetwngan” yang
diselenggarakan ketika calon ibu mengandung lima bulan. Kata ”ngliman”
berasal dari kata lima ( 5 ). Tujuan dari upacara adat ini adalah sama
dengan ngupati yaitu upacara untuk keselamatan bayi dan calon ibu atau
juga untuk tolak bala.
Upacara adat ini kurang dikenal pada daerah-daerah tertentu,
berbeda dengan upacara adat ”mitoni” yang sudah umum dikenal oleh
masyarakat Jawa dan juga dikenal oleh masyarakat nusantara.
Mitoni atau Tingkeban
Mitoni berasal dari kata ”pitu” ( 7 ). Upacara adat ini
diselenggarakan saat calon ibu mengandung 7 bulan. Tujuannya adalah
untuk keselamatan calon bayi dan calon ibu dan juga untuk tolak bala. Di
daerah tertentu upacara ini juga disebut tingkeban.
Jabang bayi yang berumur tujuh bulan itu sudah mempunyai raga
yang sempurna. Jadi menurut orang Jawa ”wetengan” umur tujuh bulan itu
proses penciptaan manusia itu sudah nyata dan sudah sempurna atau
Sapta Kawasa Jati.
Rangkaian acara dari ”mitoni” adalah sebagai berikut :

Page | 57
Rangkaian acara untuk upacara mitoni ini lebih banyak daripada
upacara ngupati, yaitu:
1) Siraman

2) Memasukkan telur ayam kampung didalam kain calon ibu oleh calon
bapak.
3) Salin rasukan ( ganti baju )
4) Brojolan ( memasukkan kelapa gading muda ).
5) Memutus lawe atau lilitan benang ( janur ).
6) Memecahkan wajan dan gayung.
7) Mencuri telur.
8) Kenduren.
Waktu pelaksanaannya menurut orang Jawa mitoni itu harus
diselenggarakan pada hari yang benar-benar bagus, yaitu hari senin siang
sampai malam. Atau hari jumat siang sampai malam.
Mendhem ari-ari
Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum
diselenggarakan dan juga di daerah – daerah ( suku-suku ) lain. Ari-ari itu
bagian penghubung antara ibu dan bayi waktu bayi masih didalam rahim.
Istilah lain dari ari-ari adalah aruman atau embing-embing ( mbingmbing ).
Orang Jawa itu percaya bahwa bahwa ari-ari itu adalah salah satu
dari ”sedulur papat” atau ”sedulur kembar” dari si bayi sehingga ari-ari
harus dirawat dan dijaga. Yaitu tempat yang digunakan untuk
memendham ari-ari diberi lampu ( umumnya lampu senthir )
untuk penerangan, ini menjadi simbol pepadadang untuk bayi. Senthir itu
dihidupkan sampai 35 hari ( selapan dina ).
Tata caranya adalah sebagai berikut ;
1) Ari-ari dicuci sampai bersihdan dimasukkan kedalam kendhi atau
batok kelapa.

Page | 58
2) Sebelum ari-ari dimasukkan alas kendhi diberi ”godhong senthe”
lalu kendhi itu ditutup dengan lemper yang masih baru dan
dibungkus kain mori.
3) Kendhi lalu digendong, dipayungi, dibawa ke lokasi penguburan.
4) Lokasi penguburan kendhi harus berada di sebelah kanan pintu
utama rumah. Yang memendam kendhi harus bapak dari bayi.
Brokohan
Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut
kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan
syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat. Brokohan itu asal
katanya dari bahasa Arab yaitu ”barokah” yang artinya mengharapkan
berkah.
Tujuannya adalah untuk keselamatan proses kelahiran juga untuk
perlindungan terhadap bayi dan dengan harapan bayi yang lahir menjadi
anak yang baik perilakunya.
Rangkaian acaranya diawali dari mendhem ari-ari yang dilanjutkan
dengna bagi-bagi sesajen brokohan untuk saudara dan tetangga.
Sepasaran
Adalah salah satu upacara adat Jawa waktu bayi berumur 5 hari.
Upacara adat ini umumnya diselenggarakan secara sederhanatetapi jika
bersamaan dengan pemberian anma bayi, upacara ini diselenggarakan
secara lebih meriah. Kata sepasaran berasal dari kata sepasar. Umumnya
diselenggarakan sore dengan acara kenduren dengan mengundang
saudara dan tetangga. Suguhan yang disajikan umumnya adalah air
minum dan ”jajan pasar” tetapi juga ada “besek” yang nantinya dibawa
pulang.
Puputan atau Dhautan
Puputan itu sebenarnya mempunyai makna ”tali puser bayi puput”.
Jadi upacara ini diselenggarakan waktu bubar pupute dari pusar bayi.
Biasanya ada upacara slametan di upacara puputan ini. Acaranya yaitu
kendhuren, bancakan dan memberi nama bayi. Acara ini bagus
diselenggarakan setelah maghrib.

Page | 59
Tedhak siti atau Tedhak Siten
Tedhak siti adalah salah satu upacara adat untuk anak yang
berumur 7 bulan. Upacara ini di daerah yang lain di nusantara juga ada,
biasanya disebut ”injak tanah” di Jakarta atau juga disebut ”mudhun
lemah”. Tedhak Siten itu berasal dari kata tedhak atau idhak dan siten
( dari kata siti yang berari lemah atau tanah ). Upacara ini sebagai
lambang bahwa anak bersiap-siap menjalani hidup dengan dituntun
orangtua dan diselanggarakan jika anak sudak berumur 7 selapan atau
245 hari ( 7 x 35 = 245 ).
Urutan kegiatannya :
1) Tedhak sega pitung warna
2) Mudhun tangga tebu
3) Ceker-ceker
4) Kurungan
5) Sebar udik-udik
6) Siraman
Sedekah Bumi
Bersih desa adalah salah satu upacara adat Jawa yang
diselenggarakan setelah selesainya panen padi, jadi maksudnya sebagai
ungkapan syukur “tandhuran” padi berhasil panen dan hasilnya baik.
Upacara adat ini kadang juga disebut upacara mreti desa dan biasanya
digabung dengn upacara adat sedekah bumi atau mreti bumi. Setiap
daerah mempunyai atat cara dan prosesi upacara yang berlainan menurut
kebiasaan masing-masing tetapi tujuannya sama saja.
Pada jaman dahulu upacara adat ini dikaitkan dengan Dewi sri yang
dianggap sebagai dewi Padi karena keberhasilan panen itu hasil
kemurahan dari Dewi sri yang wajib disyukuri.
Tujuan dari mengadakan upacara ini adalah:
1) Untuk mengucapakan syukur kepada tuhanyang sudah memberi
hasil panen padi yang melimpah.
2) Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal
yang gaib, roh atau arwah yang gentayangan dan juga dari
gangguan penyakit, serta bencana.

Page | 60
3) Untuk membersihkan desa dan warganya dari halangna atau
kesusahan supaya keadaan desa menjadi tentram dan aman.
Prosesi
Umumnya dimulai setelah panen pertama. Lokasi upacara pertama
di sawah yang sudah dilengkapi dengan ”ubo rampe’ yaitu janur kuning,
kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, banyu kendhi, jajan pasar,
bungkusan nasi dan pisang. Setelah acara berdoa, padi yang sudah dipetik
digotong ke lumbung padi. Di lumbung padi juga disiapkan perangkat
upacara lanjutan yang umumnya dibuat dari daun. Diantaranya
daunkluwih, dhadhap serep, godhong mojo, godhong tebu, godhong jati
juga godhong luh. Masing-masing godhong ( daun ) itu mempunyai
makna.
Munggah wuwungan
Adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah
wuwungan dibangun dalam proses membangun rumah. Istilah munggah
wuwungan ini biasanya disebut juga munggah gendheng. Upacara ini
diselenggarakan saat rangka wuwungan sudah jadi tetapi gendeng belum
dipasang. Upacara adat ini uga dikenal di daerah-daerah lain di Nusantara.
Upacara ini sebenarnya upacara untuk syukuran karena rumah yang
dibangun sudah mempunyai wuwungan jadi sebentar lagi sudsh bisa
dipake sehingga tidak akan kepanasan atau kehujanan. Puncak acaranya
adalah kendhuren, diutamakan untuk tuakang-tukang yang membangun
rumah dan para tetangga yang berada dekat dengan rumah yang
dibangun. Acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh ulama.
Biasanya acara kendhuren munggah wuwungan ini diselenggarakan siang
atau setelah shalat dhuhur, jadi sekalian dengan makan siang para tukang
dan jamaah serta ulama yang baru keluar dari masjid atau langgar bisa
langsung ikut dan pulangnya bisa membawa besek.
Sesajen juga perlu disiapkan untuk digantung disalah satu kayu di
wuwungan. Yang tidak digantung hanya bendhera merah putih yang
dipasang dengan galah dengna panjang sedang 9 tidak terlalu panjang ),
yang bisa kelihatan dari rumah tetangganya.
Sesajen yang harus disiapkan :

Page | 61
1) Gedhang setandan
2) Tebu ireng sewit
3) Pari secukupe
4) Kelapa seiji uga bendhera
Grebeg Maulud
Perayaan Grebeg

Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.


diperingati dengan penyelenggaraan upacara Grebeg Maulud yang
diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah
kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu dibawa
masuk kembali ke dalam Kraton oleh masyarakat Yogyakarta, kejadian ini
lazim disebut dengan istilah Bendhol Songsong. Pada pagi hari, pukul
08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan prajurit Kraton yang
mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak dari upacara
ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masjid Agung .
Setelah di Masjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan
pada masyarakat umum dengan jalan diperebutkan. Bagian-bagian dari
gunungan ini umumnya dianggap akan memperkuat tekad dan memiliki
daya tuah terutama bagi kaum petani, mereka menanamnya dilahan
persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar lahannya menjadi
subur dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman.
Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa
terdapat upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang
diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima
kasih masyarakat kepada Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya
ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan

Page | 62
Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar,
berkaitan dengan peringatan hari Raya Qurban Idhul Adha.

Upacara Jamasan

Bagi orang Jawa, benda-benda pun dianggap memiliki jiwa. Oleh


karena itu, benda-benda itu harus diperlakukan istimewa yang nyaris
sama seperti manusia itu sendiri. Mungkin saja ini masih dianggap sebagai
animisme, tapi tentu saja orang Jawa akan menyangkalnya. Yang jelas,
untuk benda-benda milik Keraton Yogyakarta seperti kereta, gamelan,
maupun pusaka, semuanya memiliki nama seperti manusia. Ada Kiai
Sangkelat, Kiai Nagasasra (keris), Kiai Guntur Madu (gamelan), ada pula
Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Puspakamanik (kereta). Di Keraton
Yogyakarta, benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama
dijamasi pada bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat
Kliwon atau Selasa Kliwon.
Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual
itu harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya
laki-laki, mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon.
Mereka berbusana seperti itu karena mereka akan menjamasi sebuah
kereta. Kereta ini dibuat pada tahun 1750-an, semasa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta itu
menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I sampai III. Kereta itulah
yang setiap bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap sebagai kereta
cikal-bakal kereta lainnya. Berbentuk anggun, bergaya kereta kerajaan-
kerajaan Eropa, beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua
buah di depan agak kecil, diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan
kuda. Sebuah simbol kewibawaan seorang raja. Kereta yang penuh ukiran
itu sendiri memiliki pintu dan atap sehingga mirip mobil. Kereta itu
tersimpan di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada
sekitar selusin kereta yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap
Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, dan dia selalu ditemani oleh salah sebuah
kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya.

Page | 63
Kemudian ada Kyai Puspakamanik, sebuah kereta hadiah dari
Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi
tumpangan para pangeran pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono
VIII. Jamasan biasanya seorang pejabat keraton yang khusus menangani
masalah perawatan kereta.
Proses pencucian kereta ini memiliki nilai wisata ritual magis
religius. Sehingga banyak orang rela berebut bekas air cucian kereta
dengan cara menampung aliran air dari badan kereta dan memasukkan
air bekas cucian itu ke dalam botol bekas air kemasan maupun jerigen. hal
ini dikarenakan masyarakat Jawa percaya bahwa air ini akan membawa
berkah bagi mereka, karena mereka percaya bahwa air ini mengandung
hal gaib/sakti karena pemiliknya merupakan orang yang sakti.
Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton juga ada
jamasan pusaka. Akan tetapi, jamasan pusaka itu tidak boleh dilihat oleh
umum. Misteri jamasan pusaka itu sendiri akhirnya memang tinggal
misteri yang dipelihara turun-temurun. Semisteri pusaka yang dipercayai
memiliki kekuatan supra natural itu sendiri.

Upacara Labuhan
Selain itu terdapat pula Upacara Labuhan yang merupakan
rangkaian dari Tradisi 1 Sura. Dimana pagi hari sesudah malam 1 Sura
maka diadakan Upacara labuhan yaitu dengan mempersembahkan
pakaian wanita , alat-alat rias, sirih, bunga dan lain-lain ke laut selatan ,
sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan
keselamatan kepada Ratu Kidul Penguasa laut Selatan . Berbagai pakaian
bekas yang pernah dipergunakan oleh Sri Sultan, potongan rambut serta
potongan kuku beliau ditanam di dalam areal tanah sengker (suatu areal
tanah yang dianggap keramat di daerah Parangkusumo). Sehingga bisa
dikatakan bahwa kedua upacara ini yaitu tradisi malam 1 Suro dan
Upacara Labuhan merupakan 2 hal yang saling berkaitan di dalam tradisi
Kraton Yogyakarta.

Page | 64
PRODUK BUDAYA
Seni Tari
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan
“esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang
yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu
menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh.
Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui
gerak-gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan
selaras dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan
bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu
sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari
tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana
persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan
Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam
Wuruk. Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat
di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat
inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya
meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di luar
Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada
sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang
dapat dipertanggungJawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih
keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari
yang berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari
Gaya Surakarta.
Beberapa contoh tarian gaya surakarta, diantaranya :
Srimpi, Bedhaya, Gambyong, Wireng, Prawirayudha, Wayang-Purwa
Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari
Langendriyan, yang mengambil cerita Damarwulan.
Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat
tempat dalam dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton
(Hofdans), yang termasuk seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah
terdapat pula bermacam-macam tari daerah setempat. Tari semacam itu
termasuk jenis kesenian tradisional, seperti :

Page | 65
Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur,
Ebeg, Ketek Ogleng, barongan, sintren, lengger, dan lain-lain.

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak


yang ritmis dan tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan
geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali. Jadi lebih bebas, lebih
perseorangan.
Seni tari dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Tari Klasik
2. Tari Tradisional
3. Tari garapan Baru

Beberapa jenis tari yang ada antara lain :

TARI KLASIK dari JAWA TENGAH


• Tari Bedhaya
Menurut kitab Wedbapradangga yang dianggap pencipta tarian
Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan
terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari,
penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari
ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar
gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang.
Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga
ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan
pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun
sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem
Jumenengan".

Page | 66
Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan
motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai
Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen gamelan yang
dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang
Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut
selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua
buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai
Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng
Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir.
Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana
XII diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam
Kalender Jawa.

• Tari Srimpi
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton
mendapat perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing
mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain
melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru
mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit.
Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti
Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir

Mendhung.
Contoh Srimpi hasil garapan baru :
o Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit

Page | 67
o Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
o Dan lain-lain

Beberapa tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi :


o Beksan Gambyong
Berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng
Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal
suaranya yang baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan
Kasunanan Surakarta untuk menari di Istana sambil memberi
pelajaran kepada para putra/I Raja. Oleh istana tari itu diubah
menjadi Tari gambyong. Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga
ditarikan untuk menyambut tamu dalam upacara peringatan hari
besar dan perkawinan.
Adapun ciri-ciri tari ini :
 Jumlah penari seorang putri atau lebih
 Memakai jarit wiron
 Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
 Tanpa jamang melainkan memakai sanggul atau gelung
 Dalam menari boleh menggunakan sindenan
( menyanyi ) atau tidak
o Beksan Wireng
Berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit
yang unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan
pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar
para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan
menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini
menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang dengan
menggunakan alat perang.
Ciri-ciri tarian ini :
 Ditarikan oleh dua orang putra atau putri
 Bentuk tariannya sama
 Tidak mengambil suatu cerita

Page | 68
 Tidak mengambil ontowacono (dialog)
 Bentuk pakaiannya sama
 Perangnya tanding, artinya tidak
menggunakan gending sampak/srepeg, hanya
iramanya atau temponya kendho atau kenceng
 Gending satu atau dua, artinya gendhing
ladrang kemudian diteruskan gendhing ketawang
 Tidak ada yang kalah, menag atau mati

• Tari Pethilan
Hampir sama dengan tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil
adegan atau bagian dari cerita pewayangan.
Ciri-cirinya :
 Tari boleh sama, boleh tidak
 Menggunakan ontowacono ( dialog )
 Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
 Ada yang kalah, menang atau mati
 Perang menggunakan gendhing srepeg, sampak,
gangsaran
 Memetik dari suatu cerita lakon
Contoh Tari Pethilan :
 Bambangan Cakil
 Hanila
 Prahasta
 Dan lain-lain

• Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta
pada upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger
tahun 1910. Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya Surakarta.
Tari ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru
menginjak masa akhil baliq, agar lebih cantik dan menarik.

Page | 69
Macam-macamnya :
 Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
 Golek Montro iringan Gendhing Montro
 Golek Surungdayung iringan gendhing Ladrang
Surungdayung, dan lain-lain

• Tari Bondan
Tari ini dibagi menjadi :
o Bondan Cindogo
o Bondan Mardisiwi
o Bondan Pegunungan atau tani
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira,
mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi
Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya
meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, serta
perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada
Bondan Cindogo.

Page | 70
Ciri pakaiannya :
o Memakai kain wiron
o Memakai jamang
o Memakai baju kotang
o Menggendong boneka, memanggul payung
o Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang
Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang
Ginonjing. Tapi sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya.
Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal
pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal
pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi
gendhing-gendhing lengkap.
Ciri pakaiannya :
o Mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong
tenggok, memakai caping adan membawa alat pertanian
o Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti
Bondan biasa, hanya tidak memakai jamang tetapi memakai
sanggul/gelungan. Kecuali jika memakai jamang maka klat bahu,
sumping, sampur, dll sebelum dipakai dimasukkan tenggok.
o Bentuk tariannya ; pertama melukiskan kehidupan petani
kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis
pegunungan dilepas satu demi satu dengan membelakangi
penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan
Cindogo / Mardisiwi.

Page | 71
• Tari Topeng
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari
Topeng yang pernah mengalami kejayaan pada jaman Majapahit,
topengnya dibuat dari kayu dipoles dan disungging sesuai dengan
perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari Wayang Gedhog, Menak
Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk terutama
oleh Suann Kalijaga yang menggunakannnya sebagai penyebaran agama.
Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu :
o Topeng Panji Ksatrian
o Condrokirono
o Gunung sari
o Handoko
o Raton
o Klono
o Denowo
o Benco(Tembem)
o Turas (Penthul)
Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat
pada kepala.
Tari Topeng yang berasal dari Malang sangat khas karena
merupakan hasil perpaduan antara budaya Jawa Tengahan, Jawa Kulonan
dan Jawa Timuran (Blambangan dan Osing) sehingga akar gerakan tari ini
mengandung unsur kekayaan dinamis dan musik dari etnik Jawa, Madura
dan Bali. Salah satu keunikannya adalah pada model alat musik yang
dipakai seperti rebab (sitar Jawa) seruling Madura (yang mirip dengan
terompet Ponorogo) dan karawitan model Blambangan.
Tari Topeng sendiri diperkirakan muncul pada masa awal abad 20
dan berkembang luas semasa perang kemerdekaan. Tari Topeng adalah
perlambang bagi sifat manusia, karenanya banyak model topeng yang
menggambarkan situasi yang berbeda, menangis, tertawa, sedih, malu
dan sebagainya. Bisanya tari ini ditampilkan dalam sebuah fragmentasi
hikayat atau cerita rakyat setempat tentang berbagai hal terutama
bercerita tentang kisah2 panji.

Page | 72
Tari Topeng masih bertahan hingga saat ini. Biasanya digelar pada
acara-acara-acara penting kesenian tradisional tingkat nasional. Dengan
demikian walaupun masih bertahan namun Tari Topeng sudah mendekati
kepunahan walaupun masih tetap mengikuti acara-acara penting kesenian
tradisional tingkat nasional.

TARI TRADISIONAL dari JAWA TENGAH


Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari
tradisional yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah tertentu.
Kesenian tradisional tersebut tak kalah menariknya karena mempunyai
keunikan-keunikan tersendiri.
Beberapa contoh kesenian tradisional :
o Tari dolalak, di Purworejo
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang
berpakaian menyerupai pakaian prajurit Belanda atau Perancis
tempo dulu dan diiringi dengan alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari
kentrung, rebana, kendang, kencer, dllnya. Menurut cerita, kesenian
ini timbul sejak berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang
kemudian meluas ke daerah lain.
o Patolan (Prisenan), di Rembang
Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang
pegulat dipimpin oleh dua orang Gelandang (wasit) dari masing-
masing pihak. Pertunjukan ini diadakan sebagai olah raga dan
sekaligus hiburan di waktu senggang pada sore dan malam hari
terutama di kala terang bulan purnama. Lokasinya berada di
tempat-tempat yang berpasir di tepi pantai. Seni gulat rakyat ini
terutama berkembang di kalangan pelajar terutama di pantai
diantara kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa
Timur.
o Blora
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang,
barongan dan Wayang Krucil (sejenis wayang kulit ternuat dari
kayu).

Page | 73
o Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren.
Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian
dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, terbang, dllnya.
Sedangkan Sintren adalah sebuah tari khas yang magis animistis
yang terdapat selain di Pekalongan juga di Batang dan Tegal.
Kesenian ini menampilkan seorang gadis yang menari dalam
keadaan tidak sadarkan diri, sebelum tarian dimulai gadis menari
tersebut dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam tempat
tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang beberapa
lama ia telah selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini
dapat disaksikan pada waktu malam bulan purnama setelah panen.
o Obeg dan Begalan
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri
dari beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda
yang terbuat dari anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan
bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang
pawang atau dukun yang dapat membuat pemain dalam keadaan
tidak sadar. Varian lain dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal
dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang
menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur). Tarian
ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk
menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan.
Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas
lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping
ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi
gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari
ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg
8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem,
seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi
sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan
16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg
sedangkan penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk

Page | 74
jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran
yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah
yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan
durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan yang dipergunakan anatara lain
kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Untuk mengiringi
tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti
ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung dan lain-lain, dan yang
unik adalah para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling)
atau barang tajam lainnya sehingga menunjukkan keperkasaan
sebagai Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang
menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala
atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan
atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg
diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.
Laisan adalah jenis kesenian yang melekat pada kesenian
ebeg. Laisan dilakukan oleh seorang pemain pria yang sedang
mendem, badannya ditindih dengan lesung terus dimasukkan ke
dalam kurungan, biasanya kurungan ayam, di dalam kurungan itulah
Laisan berdandan seperti wanita. Setelah terlebih dulu dimantra-
mantara, kurunganpun dibuka, dan munculah pria tersebut dengan
mengenakan pakaian wanita lengkap. Laisan muncul di tengah
pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg komersial, salah seorang
pemain biasanya melakukan thole-thole yaitu menari berkeliling
arena sambil membawa tampah untuk mendapatkan sumbangan.
Laisan juga dikenal di wilayah lain (wetan) dan mereka biasa
menyebutnya Sintren.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara
perkawinan adat Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Bangumas
pada umumnya juga terdapat di Cilacap, Purbalingga maupun di
daerah di luar Kabupaten Banyumas. Yang bersifat khas banyumas
antara lain : Calung, begalan dan Dalang Jemblung. Begalan adalah
jenis kesenian yang biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara
perkawinan yaitu saat calon pengantin pria beserta rombongannya

Page | 75
memasuki pelataran rumah pengantin wanita. Disebut begalan
karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa
disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang
dibegal dengan sipembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi
calon pengantin dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh
humor. Upacara ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan
putra sulung. Begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan
seni tutur atau seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya
tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada patokan tertentu
yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending. Jumlah
penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
(peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai
pembegal/perampok. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir,
ian, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong,
siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut
brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu.
Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan
busana Jawa. Dialog yang disampaikan kedua pemain berupa
bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis barang
yang dibawa, contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan
sebagai peringatan bagi suami-isteri untuk membedakan baik buruk.
Centhing, tempat nasi artinya bahwa hidup itu memerlukan wadah
yang memiliki tatanan tertentu jadi tidak boleh berbuat semau-
maunya sendiri. Kukusan adalah alat memasak atau menanak nasi,
ini melambangkan bahwa setelah berumah tangga cara berpikirnya
harus masak/matang. Selain menikmati kebolehan atraksi tari
begalan dan irama gending, penonton juga disuguhi dialog-dialog
menarik yang penuh humor. Biasanya usai pertunjukan, barang-
barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya
pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena
masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.

o Lengger-Calung dari banyumas

Page | 76
Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang
diwilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari
lengger (penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya
sangat dinamis dan lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan
khas tarian lengger antara lain gerakan geyol, gedheg dan lempar
sampur.

Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita,


kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya
hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan
suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah
penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan
sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala
disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur
atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit
dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang
lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga
terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari
gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong
yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan
kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam
penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden.
Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari
penabuh gamelan dan penari/lengger.
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan
menggunakan bunyi- bunyian semacam gambang yang terbuat dari
bambu, lagu-lagu yang dibawakan merupakan gending Jawa khas

Page | 77
Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian yang diperagakan oleh
beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan biasanya
diselenggarakan oleh keluarga yang baru pertama kalinya
mengawinkan anaknya. Yang mengadakan ini adalah dari pihak
mempelai wanita.
o Kuda Lumping (Jaran kepang) dari Temanggung
Kesenian ini diperagakan secara massal, sering dipentaskan
untuk menyambut tamu-tamu resmi atau biasanya diadakan pada
waktu upacara.

o Lengger dari Wonosobo


Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-
laki yang masing-masing berperan sebagai seorang pria dan
seorang wanita. Diiringi dengan bunyi-bunyian yang antara lain
berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini mengisahkan ceritera
Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya yang pergi
tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang
digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai
keadaan tidak sadar.
o Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang yang
dipimpin oleh seorang pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian
berupa bende, kenong dll. Dan pada puncaknya para pemain
mencapai keadaan tidak sadar.
o Tarian Jlantur dari Boyolali

Page | 78
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan
memakai ikat kepala gaya turki. Tariannya dilakukan dengan
menaiki kuda kepang dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini
menggambarkan prajurit yang akan berangkat ke medan perang,
dahulu merupakan tarian penyalur semangat kepahlawanan dari
keturunan prajurit Diponegoro.
o Kethek Ogleng dari wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta
kasih klasik pada jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian
diubah menurut selera rakyat setempat menjadi kesenian
pertunjukan Ketek Ogleng yang mengisahkan percintaan antara
Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng. Penampilannya dititik
beratkan pada suguhan tarian akrobatis gaya kera (Ketek Ogleng)
yang dimainkan oleh seorang dengan berpakaian kera seperti
wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain dipertunjukan di
atas seutas tali.

TARI GARAPAN BARU ( KREASI BARU ) dari JAWA TENGAH


Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini
tidak meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun
tradisional.
Sebagai contoh :
o Tari prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih
diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang
musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
o Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja
putri sedang bersuka ria memainkan rebana, dengan iringan pujian
atau syair yang bernafas Islam.

PUJANGGANONG atau BUJANGGANONG

Page | 79
adalah penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda
( Patihnya Klana Sewandana) yang cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti.
Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip dengan wajah raksasa,
hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar
tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam
menutup pelipis kiri dan kanan.

KLANA SEWANDANA atau KLONO


Penari dan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan
Bantarangin ( kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo jaman
dahulu. Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah
berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia
membawa Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias
jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug.

ANGGUK
Tarian ini berasal dari Banyumas. Tarian jenis ini sudah ada sejak
abad ke 17 dibawa para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari
wilayah Mataram-Bagelen. Tarian ini disebut angguk karena penarinya
sering memainkan gerakan mengangguk-anggukan kepala. Kesenian
angguk yang bercorak Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat
untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya jenis kesenian ini sekarang
semakin jarang dipentaskan. Angguk dimainkan sedikitnya oleh 10 orang
penari anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun. Pakaian para penari
umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis merah dan
kuning di bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai
lutut dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang
sebatas lutut tanpa sepatu, serta memakai topi pet berwarna hitam.
Perangkat musiknya terdiri dari kendang, bedug, tambur, kencreng, 2
rebana, terbang (rebana besar) dan angklung. Syair lagu-lagu tari angguk
diambil dari kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk pada awalnya
memang menggunakan bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan
syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa

Page | 80
khas Banyumasan tanpa merobah corak aslinya. Bentuk lain dari kesenian
angguk adalah “aplang”, bedanya bila angguk dimainkan oleh remaja pria
maka “aplang” atau “daeng” dimainkan oleh remaja putri.

RENGKONG
Rengkong adalah kesenian yang menyajikan bunyi-bunyian khas
bagai suara kodok mengorek secara serempak yang dihasilkan dari
permainan pikulan bambu. Pikulan bambu tersebut berukuran besar dan
kuat tetapi ringan karena dibuat dari bambu yang sudah cukup tua,
biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang sekitar 2,6 meter.
Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1 cm,
sekeliling bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat
bertengger tali penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat ± 15 kg
digayutkan dengan tali ijuk mengalungi sonari (badan rengkong bambu di
tempat yang diraut). Di tengah masing-masing ikatan padi ada sunduk
(tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter. Ujung atas sunduk bambu
dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan tali ijuk. Cara
memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi
diletakkan pada bahu kanan (dipikul). Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri
dan ke kanan dengan mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi
yang menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak,
gesekan tali ijuk yang keras inilah yang menimbulkan suara berderit-derit
nyaring. Kalau ada beberapa rengkong yang dimainkan serempak maka
akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani, terlebih bila
dimainkan dengan berbaris berarak-arakan maka suasananya akan lebih
semarak. Kesenian tradisional para petani ini biasanya diadakan pada
pesta perayaan panen atau pada hari-hari besar nasional.

BUNCIS
Buncis adalah perpaduan antara seni musik dengan seni tari yang
dimainkan oleh 8 orang pemain. Dalam pertunjukannya diiringi dengan
perangkat musik angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga

Page | 81
menjadi pemusik serta vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain
Buncis Intrance atau mendem.

AKSIMUDA
Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang disajikan dalam
bentuk atraksi pencak silat yang digabung dengan tari-tarian.

TARI GAMBYONG
Salah satu tari dari Surakarta. Menurut cerita, kata ”gambyong”
diambil dari uru tari (tledhek) yang mempunyai nama Mbok gambyong.
Jadi Tari Gambyong itu berasal dari kawulo alit ( orang kecil / rendah )
yang datang ke Kraton. Di tahun 1950-an, Pura Mangkunegaran
mengambil Tari Gambyong menjadi salah satu tari unggulan yang diberi
nama gambyong Pareanom.

TAYUBAN
Adalah salah satu jenis tari masyarakat Jawa. Tarian ini juga dikenal
di seluruh Nusantara, tetapi dengan versi yang berbeda. Tayuban digelar
sebagai bagian dari upacara sakral yang berhubungan dengan kesuburan
( kesuburan perkawinan dan kesuburan pertanian/tanah ). Di daerah
tertentu tarian ini digelar sebagai bagian dari upacara pembersihan ( bala
atau malapetaka ) dan biasanya juga digelar dalam penyambutan tamu-
tamu agung, sedekah desa, sedekah bumi, khitanan, perkawinan, dan
lain-lain.
Pada zaman dahulu tarian ini mempunyai nilai hiburan dan sensual
karena tarian ini menggambarkan keakraban hubungan lelaki ( pengibing )
dan perempuan ( ronggeng ). Makanya ada yang beranggapan bahwa
Tayuban itu berasal dari kata ”tayub” ( ditata guyub ).Guyub antara lelaki
dan perempuan. Di daerah tertentu, penari perempuan menggunakan
sampur atau selendang. Nantinya selendang itu diberikan kepada laki-laki
( ketiban sampur ). Dan yang menerima selendang itu mendapat
kehormatan untuk menari bersama dengan penari perempuan tadi.

Page | 82
APLANG atau DAENG
Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas
remaja Putri.

Seni Musik
Beberapa jenis alat musik yang terdapat di Jawa, diantaranya :
a) GAMELAN JAWA
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan
Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali
ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih
lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan
Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara
seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan
hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.

Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik


gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani,
keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak
memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan
toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan
tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron
kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan.
Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan
kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu
tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan
selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk
mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa

Page | 83
waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi
dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik,
diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang,
rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu.
Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah
bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi
tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan
menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi
keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama
gending.
Seperangkat gamelan tersebut diantaranya :
1) Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah
konduktor dari musik gamelan. Ada 5 ukuran kendang dari 20
cm - 45 cm.

2) Saron
Alat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Ada 3
macam Saron; Saron Barung, Saron Peking, Saron Demung.

3) Bonang Barung

Page | 84
Terdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2
alat pukul.

4) Slentem
Lempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk
resonansinya.

5) Gender
Hampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih
banyak.

6) Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.

7) Gong
Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua
Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90

Page | 85
cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian
lagu yang liriknya panjang.

8) Kempul
Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama
pendek. Setiap set slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10
kempul.

Page | 86
9) Kenong
Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10
kenong baik set slendro atau pelog.

10) Ketug
Disebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.

11) Clempung
sebuah instrument kecil, dimana setiap satu set slendro dan
pelog membutuhkan satu clempung.

12) Siter
Tiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.

Page | 87
13) Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.

14) Rebab
Alat musik gesek

Page | 88
15) Keprak dan Kepyak
Diperlukan untuk pertunjukan tari

16) Bedug

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu


permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro
dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D
E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per
oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan
interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan
beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet,
dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit
yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik
tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan
seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan
tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para

Page | 89
penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi
wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang
digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer.
Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang
merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat
pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis
pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah
pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama
digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara
hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai
pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda
bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat
perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang
terletak lebih ke belakang.
Hampir semua bagian dari alat musik ini terbuat dari logam
( tosan ). Seperti : besi, tembaga yang dicampur nikel atau
perunggu. Yang memainkan gamelan itu adalah Penayagan.
Sedangkan yang menyanyikan adalah Pesinden ( wira-
swara/swarawati ).
Berdasarkan suaranya, Gamelan Jawa itu dibagi menjadi dua :
1. Gamelan Slendro
Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-
lain.
2. Gamelan Pelog
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan
salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang
akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup
kesenian di masyarakat.
Yang menabuh gamelan itu harus mengerti tinggi rendahnya
suara dan cepat lambatnya lagu. Alat yang menuntun suara adalah
rebab. Sedangkan yang menuntun sampak adalah kendhang.

Page | 90
Beberapa daftar Gamelan ;
- kempul - rebab
- gong ageng - suling
- kenong - saron demung
- gong suwuk - saron panerus
- kethuk - gambang
- kempyang - bonang
- saron barung - slenthem
- kendhang batangan - gender
- kendhang gendhing - siter/celempung

b) JULA-JULI
Jula-juli adalah salah satu gendhing yang sangat lazim
dijumpai pada pertunjukan ludruk dan tari remo di Jawa Timur.
selain itu gendhing ini merupakan satu-satunya gendhing yang
dapat mencirikan keragaman karawitan Jawa timuran karena
terangkai menjadi berbagai gaya. sebut saja jula-juli surabaya,
jombangan, meduroan dan malangan. susunan pola balungan
melodi yang ada adalah 65626521 21262165.

c) BONGKEL
Bongkel adalah musik tradisional Banyumasan yang mirip
dengan angklung, hanya terdiri dari satu jenis instrumen dengan
empat bilah berlaras slendro. Nada-nadanya 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), 6
(nem). Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan gendhing -
gendhing khusus bongkel.

d) CALUNG
Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan
melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik
khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan
gamelan Jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong

Page | 91
Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip
gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga
terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya
calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen
musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan,
gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula
disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.

e) KENTHONGAN
Sebagian orang menyebutnya tek-tek. Kentongan juga terbuat
dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan
bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan
dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan
dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan
dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh
mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada
beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-
lagu yang dibawakan kebanyakan lagu Jawa dan Dangdut.

f) SALAWATAN JAWA
yaitu salah satu seni musik bernafaskan Islam dengan
perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian
ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.

Kalender Jawa
Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena
merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa
dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus
hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti
yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5
hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram

Page | 92
mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu
kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah
atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah
(saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan.
Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang
adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II:
seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi
(=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah
kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan
pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan
Sultan Agung ini.

Daftar bulan Jawa Islam


Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama
bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun
beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta
seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan
Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah
nama bulan kamariah atau candra (lunar).

1. Sura 5. Jumadilawal 9. Poso (siyam)


2. Sapar 6. Jumadilakhir 10. Sawal
11. Sela
3. Mulud 7. Rejeb
(Dulkangidah)
4. 8. Ruwah 12.
Bakdamulud (Saban) Besar(Dulkijah)

A. Daftar bulan Jawa matahari


Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap
tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka
bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata
mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau
penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini

Page | 93
adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada jaman
pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan
tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi
lama setiap mangsa berbeda-beda.

I. Kasa / Kartika (23 Juni-2 VII. Kapitu / Palguna (23


Agustus) Desember-3 Februari)
II. Karo / Pusa (3 Agustus- VIII. Kawolu / Wisaka (4
25 Agustus) Februari-1 Maret)
III. Katiga / Manggasri (26 IX. Kasanga / Jita (2
Agustus-18 September) Maret-26 Maret)
IV. Kapat / Setra (19 X. Kasepuluh / Srawana
September-13 Okober) (27 Maret-19 April)
V. Kalima / Manggala (14 XI. Kasewelas / Sadha (20
Oktober-9 November) April-12 Mei)
VI. Kanem / Maya (10 XII. Karolas / Asuji (13
November-22 Desember) Mei-22Juni)

B. Siklus windu
Oleh orang Jawa tahun-tahun digabung menjadi semacam abad
yang terdiri dari delapan satuan lebih kecil. Setiap satuan ini terdiri atas 8
tahun Jawa dan disebut windu. Di bawah disajikan nama-nama windu:

1. Alip 4. Je 7. Wawu

2. Ehe 5. Dal 8. Jimakir

3. Jimawal 6. Be

Pembagian pekan
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya
tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini
disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara
(pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Jaman
sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang

Page | 94
dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini
masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh
orang Jawa dan terdiri dari hari-hari: Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang
juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri
atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka
muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari
adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan
5 hari berpapasan. Berikut ini secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pancawara – Pasaran dan bobot angkanya; Perhitungan hari dengan
siklus 5 harian :

1. Kliwon/ Kasih (8) 4. Pon / Palguna (7)


5. Wage / Kresna/
2. Legi / Manis (5)
Langking (4)
3. Pahing / Jenar (9)

2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian

1. Tungle / Daun 4. Paningron / Mina/Ikan


2. Aryang / Manusia 5. Uwas / Peksi/Burung
3.Wurukung/ Hewan 6. Mawulu / Taru/Benih.

3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian :

1. Minggu / Radite 5. Kemis / Respati


2. Senen / Soma 6. Jemuwah / Sukra
7. Setu /
3. Selasa / Anggara
Tumpak/Saniscara
4. Rebo / Budha

Page | 95
4. Hastawara – Padewan, Perhitungan hari dengan siklus 8 harian :

1. Sri 5. Rudra
2. Indra 6. Brama
3.Guru 7. Kala
4. Yama 8. Uma

5. Sangawara – Padangon, Perhitungan hari dengan siklus 9 harian :

1. Dangu / Batu 4. Kerangan / 7. Tulus / Air


Matahari
2. Jagur /
5. Nohan / Rembulan 8. Wurung / Api
Harimau
3. Gigis / Bumi 6. Wogan / Ulat 9. Dadi / Kayu

6. Wuku, Perhitungan hari dengan siklus mingguan dari 30 wuku :

1. Sinta 11. Galungan 21. Maktal


2. Landhep 12. kuningan 22. Wuye
3. Wukir 13. Langkir 23. Manahil
24.
4. Kurantil 14. Mandhasiya
Prangbakat
5. Tolu 15. Julungpujud 25. Bala
6. Gumbreg 16. Pahang 26. Wugu
7. Warigalit 17. Kuruwelut 27. Wayang
8.
18. Marakeh 28. Kulawu
Warigagung
9.
19. Tambir 29. Dhukut
Julungwangi
20. 30
10. Sungsang
Medhangkungan Watugunung

Sistim Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa


Candrasangkalaatau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran

Page | 96
Bulan mengitari Bumi. Perhitungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan
dengan penanggalan Hijriah namun demikian pencocokan ini bukanlah
menjiplak seluruhnya tapi juga mempergunakan perhitungan yang rumit
dari para leluhur kita. Ada perbedaan yang hakiki antara system
perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah, perbedaan
yang nyata adalah pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian
sasi/bulan. Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari
ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari
terbenam (surup-antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan
pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan pada penanggalan Hijriah
ditentukan dengan Hilal dan Rukyat.
7. Weton
Tiap hari pasaran menurut penanggalan Jawa mempunyai bobot angka
yang disebut neton, misalnya:
 Paing mempunyai bobot angka 9
 Pon mempunyai bobot angka 7
 Wage mempunyai bobot angka 4
 Kliwon mempunyai bobot angka 8, dan
 Legi mempunyai bobot angka 5.
Sementara hari mingguan akan mengikuti bobot angka sbb:
 Senin mempunyai bobot angka 4
 Selasa mempunyai bobot angka 3
 Rabu mempunyai bobot angka 7
 Kamis mempunyai bobot angka 8
 Jum'at mempunyai bobot angka 6
 Sabtu mempunyai bobot angka 9, dan
 Minggu mempunyai bobot angka 5.
Contoh :
• Seperti disebutkan di atas, tanggal 1 Januari 2001 (awal abad ke-21
dan awal alaf ke-3) adalah hari Senin-Paing, dan mempunyai bobot
angka 13, karena Senin = 4 + Paing = 9. Angka semacam ini
biasanya dipakai untuk menentukan hari baik dalam melakukan

Page | 97
aktivitas sehari-hari, termasuk untuk memilih hari perkawinan
menurut adat kepercayaan Jawa.

Rumah Adat
Bangunan adat rumah Jawa

Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa


disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Rumah Jawa adalah
arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas
5 tipe dasar (pokok) yaitu :
1. Joglo (atap joglo) atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko
Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
Bentuk Rumah Joglo :Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah
sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar
tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai
pendopo dan juga untuk tempat tinggal (dalem).
2. Limasan (atap limas), yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi,
sebuah bubungan di tengahnya.
Bentuk rumah Limasan: Terutama terlihat pada atapnya yang
memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan
untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan
emper atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-
bentuk sinom, kutuk ngambang, lambang gantung, trajumas, dan
lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan
sebagai tempat tinggal

Page | 98
3. Kampung (atap pelana), yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi,
sebuah bubungan di tengah saja
Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di
kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari
bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal
4. Panggang Pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
Bentuk Rumah Panggang-pe :Banyak kita jumpai sebagai tempat
jualan minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan.
Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda,
tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya
5. Mesjidan/Tajugan, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah
sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing.
Bentuk Rumah Tajug :Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing,
soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur
sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan
sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam.
Tidak ada yang untuk tempat tinggal.

Jenis-jenis Rumah Joglo :


1. Joglo Lawakan
2. Joglo Sinom
3. Joglo Jompongan
4. Joglo Pangrawit
5. Joglo Mangkurat
6. Joglo Hageng
7. Joglo Semar Tinandhu

Page | 99
Limasan Joglo

Jenis-jenis Rumah Limasan


1. Limasan Lawakan
2. Limasan Gajah Ngombe
3. Limasan Gajah Njerum
4. Limasan Apitan
5. Limasan Pacul Gowang
6. Limasan Cere Gancet
7. Limasan Trajumas
8. Limasan Gajah Mungkur
9. Limasan Klabang Nyander
10. Limasan Lambang Teplok
11. Limasan Semar Tinandu
12. Limasan Lambang Sari
13. Limasan Semar Pinondhong, contoh Bangsal Kama, Kraton
Cirebon

Jenis-jenis Rumah Kampung :


1. Kampung Pokok
2. Kampung Trajumas
3. Kampung Pacul Gowang
4. Kampung Srotong
5. Kampung Cere Gancet
6. Kampung Gotong Mayit
7. Kampung Semar Pinondhong
8. Kampung Apitan
9. Kampung Gajah Njerum
10. Kampung Gajah Ngombe
11. Kampung Doro Gepak
12. Kampung Klabang Nyander
13. Kampung Jompongan Lambang Teplok Semar Tinandhu (untuk
tobong kapur)

Page | 100
14. Kampung Lambang Teplok (untuk gudang genteng)

Jenis-jenis Rumah Panggang Pe :


1. Panggang Pe Pokok
2. Panggang Pe Trajumas
3. Panggang Pe Empyak Setangkep
4. Panggang Pe Gedhang Selirang
5. Panggang Pe Gedhang Setangkep
6. Panggang Pe Cere Gancet
7. Panggang Pe bentuk kios
8. Panggang Pe Kodokan (jengki)
9. Panggang Pe Barengan
10. Panggang Pe Cere Gancet

Jenis-jenis Mesjidan/Tajugan :
1. Mesjidan Cungkup Pokok
2. Mesjidan Lawakan (langgar)
3. Mesjidan Lambang Teplok, contoh : Bangsal Gianyar, Bali
4. Mesjidan payung agung (meru), susun 3 untuk rakyat, 5 sentana
(keluarga) raja, 7 pangeran, 11 raja, contoh Pamujaan Besakih, Bali
5. Tajug Tawon Boni, contoh : Bangsal Pajajaran
6. Tajug Tiang Satu Lambang Teplok, contoh : Mesjid rakyat Gombong
7. Tajug Semar Sinongsong Lambang Teplok, contoh : Langgar Kecil
Kraton Cirebon
8. Tajug Pendawa, contoh : Kraton Cirebon
9. Tajug Lambang Gantung, contoh : Bangsal Ponconiti Kraton
Yogyakarta
10. Tajug Lambangsari, contoh : Bangsal Pertemuan para Wali,
Gunung Sembung
11. Tajug Lawakan Lambang Teplok, contoh : Pasarean Suwargan,
Imogiri
12. Tajug Semar Tinandhu, Dukuh, Yogyakarta

Page | 101
13. Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, contoh : Masjid
Soko Tunggal (gabungan Pajajaran dan Sultan Agungan, Taman,
Kraton Yogyakarta
14. Tajug Ceblokan Lambang Teplok, Masjid Agung Yogyakrata
15. Tajug Mangkurat, Bangsal Witono, Kraton Yogyakarta
16. Tajug Sinom Semar Tinandhu, Lawang Sanga-sanga, Kraton
Cirebon

Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan


variasi yang bukan hanya berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja,
melainkan juga dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Dari kelima
macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan
antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah
Jawa. Sebagai contoh : gedang selirang, gedang setangkep, cere gencet,
sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain.
Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah
itu mempunyai sifat dan penggunaan tersendiri. Misalnya bentuk Tajug,
itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci,
umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta,
sehingga masyarakat Jawa tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat
berbentuk Tajug.
Rumah yang lengkap sering memiliki bentuk-bentuk serta
penggunaan yang tertentu, antara lain :
- pintu gerbang : bentuk kampung
- pendopo : bentuk joglo

Page | 102
- pringgitan : bentuk limasan
- dalem : bentuk joglo
- gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang
- dapur : bentuk kampung
- dan lain-lain.
Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian.
Dengan sendirinya rumah yang berbentuk doro gepak (atap bangunan
yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang mengepakkan
sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan
yang tertentu, misalnya :
- emper depan : untuk Pendopo
- ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga
- emper kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan
- emper yang lain : untuk gudang dan dapur.
Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang
berkolong. Hal tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila ada banjir.
Dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua bagian
kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur,
brunjung, usuk peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka
guru, saka penanggap, umpak, dan sebagainya.
Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati.
Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa
sendiri tetapi sampai menjangkau manca negara. Kedutaan Besar
Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara Soekarno-Hatta
mempunyai arsitektur tradisional Jawa.
Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa – sebagaimana halnya Bali
dan daerah lain – adalah arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar.
Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah satu bangunan dengan
dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit
bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling
mengimbas tanpa pembatas yang tegar. Struktur bangunannya
merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung
yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai

Page | 103
pembatas, bukan dinding pemikul. Yang sangat menarik pula untuk
diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar dan
jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan
bangunannya, semua dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu
arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa.
Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang
sangat melindungi ruang beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang
dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk daerah beriklim tropis
yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia
yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang
lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk
penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali
memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu,
peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan
binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional.
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah
tangga terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat
tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga,
terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain
dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhapa,
terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu.
Rumah belakang (omah buri) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di
antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan
ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang
kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan
sebagainya). Dalam pertunjukan tersebut tamu laki-laki ditempatkan di
pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah belakang. Susunan
rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya
Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.
Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu,
disamping bangunan rumah tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih
dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan
padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan

Page | 104
Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah
kiri rumah belakang (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah
tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah
belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang
terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang,
untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa,
itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk
ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda
disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa,
namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh
halaman yang luas. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri atau ke
kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah
kiri agak jauh dari pendhapa.
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil,
biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa.
Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau
larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari
pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut
jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau
belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat
buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah
sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur,
rumah belakang, sumur dan pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering
dibuat Regol.
Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap
untuk sebuah keluarga. Hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan
keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa
adala rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para
pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan,
serambi, bangsal, dan sebagainya. Besar kecilnya maupun jenis
bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial
pemiliknya didalam masyarakat.

Page | 105
Karya Sastra
SASTRA JAWA
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang
ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri, Jawa Timur.
Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh
25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun
856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang
tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
• Sastra Jawa Kuna
• Sastra Jawa Tengahan
• Sastra Jawa Baru
• Sastra Jawa Modern
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari
Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra
Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang
paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi
setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena
di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.

A. Sastra Jawa Kuna


Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa
Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14
Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik
dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini
mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik
(babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuna diwariskan dalam
bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks
Jawa Kuna jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada
puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan
bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

Page | 106
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini
termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata
dalam bahasa Jawa Kuna. Karya sastra Jawa Kuna sebagian besar
terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar.
Walau sebagian besar sastra Jawa Kuna terlestarikan di Bali, di Jawa dan
Madura ada pula sastra Jawa Kuna yang terlestarikan. Bahkan di Jawa
terdapat pula teks-teks Jawa Kuna yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuna mulai berkembang
pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles,
Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa.
Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan
kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie
beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuna.
Istilah sastra Jawa Kuna agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti
sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau
pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi
merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra
Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuna dan
sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai.
Sastra Jawa Kuna yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang
berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli
seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan
yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam
bahasa Jawa Kuna berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan
teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti
terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856
Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun
nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah
nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-
11. Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuna yang terlestarikan dari abad ke-

Page | 107
9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks
kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks
puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.

Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa:


1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk puisi (kakawin)
1. Kakawin Tertua Jawa, 856
2. Kakawin Ramayana ~ 870
3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
4. Kakawin Kresnayana
5. Kakawin Sumanasantaka
6. Kakawin Smaradahana
7. Kakawin Bhomakawya
8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9. Kakawin Hariwangsa
10. Kakawin Gatotkacasraya
11. Kakawin Wrettasañcaya
12. Kakawin Wrettayana

Page | 108
13. Kakawin Brahmandapurana
14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19. Kakawin Parthayajna
20. Kakawin Nitisastra
21. Kakawin Nirarthaprakreta
22. Kakawin Dharmasunya
23. Kakawin Harisraya
24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung

B. Sastra Jawa Tengahan


Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari
abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan
diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-
karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-
karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa:
1. Tantu Panggelaran
2. Calon Arang
3. Tantri Kamandaka
4. Korawasrama
5. Pararaton
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi:
1. Kakawin Dewaruci
2. Kidung Sudamala
3. Kidung Subrata
4. Kidung Sunda
5. Kidung Panji Angreni
6. Kidung Sri Tanjung

Page | 109
C. Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama
Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam
belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham
baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal,
zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra
mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang
terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat
ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis
'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua
ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini
mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu
masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa
Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta
menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra
Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha
mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis
karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini
juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
Masa Islam:
• Kidung Rumeksa ing Wengi
• Kitab Sunan Bonang
• Primbon Islam
• Suluk Sukarsa
• Serat Koja Jajahan
• Suluk Wujil
• Suluk Malang Sumirang
• Serat Nitisruti
• Serat Nitipraja

Page | 110
• Serat Sewaka
• Serat Menak
• Serat Yusup
• Serat Rengganis
• Serat Manik Maya
• Serat Ambiya
• Serat Kandha
Masa Renaisans dan sesudahnya:
• Serat Rama Kawi
• Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
• Serat Panitisastra
• Serat Arjunasasra
• Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
• Serat Darmasunya
• Serat Dewaruci
• Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
• Serat Tajusalatin
• Serat Cebolek
• Serat Sasanasunu
• Serat Wicara Keras
• Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
• Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
• Serat Jitapsara
• Serat Pustaka Raja
• Serat Cemporet
• Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
• Serat Darmagandhul
Babad-Babad:
• Babad Giyanti
• Babad Prayut
• Babad Pakepung
• Babad Tanah Jawi

Page | 111
D. Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan
semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa
untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu
berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu
muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan
sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata
Melayu, dan juga kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco
Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya
Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau
Jawa.
Daftar Karya Sastra
• Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana
(jeneng sesinglon) 1875-1880
• Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913
• Ratu, Krishna Mihardja, 1995
• Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet
• Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004
• Pagelaran, J. F. X. Hoery
• Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery

Wayang

Page | 112
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama
berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh
UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang
mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan
sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of
Humanity). Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang
artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran
Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas
antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu.
Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan
yang jatuh pada kelir.
Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni
tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang.
Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga
merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan,
pemahaman filsafat, serta hiburan.
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai
kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang
berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang
dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek.
Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari
Mahabharata dan Ramayana.
Wayang, oleh para pendahulu negri ini sangat mengandung arti
yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat
berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.
1. Wayang Kulit di Jawa Timur
2. Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah,
3. Wayang Golek di Jawa Barat
Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang
Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari
(Wayang Golek)".
Jenis-jenis wayang :

Page | 113
Selama berabad-abad, budaya wayang berkembang menjadi
beragam jenis. Kebanyakan jenis jenis wayang itu tetap nenggunakan
Mahabarata dan Ramayana sebagai induk ceritanya. Sedangkan alat
peraganya pun berkembang menjadi beberapa macam, antara lain yang
terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga Wayang
Orang.Perkembangan jenis wayang ini juga dipengaruhi oleh keadaan
budaya daerah setempat.
-Wayang Kulit -Wayang Wahyu
-Wayang Golek/ Wayang Thengul Bojonegoro -Wayang Menak
-Wayang Krucil - Wayang Klitik
-Wayang Purwa - Wayang Suluh
-Wayang Beber - Wayang Papak
-Wayang Orang - Wayang Madya
-Wayang Gedog - Wayanng Parwa
-Wayang Sasak - Wayang Sadat
-Wayang Calonarang - Wayang Kancil

1. Wayang Beber
Berupa selembar kertas atau kain yang berukuran sekitar 80 cm X
12 meter, yang digambari dengan beberapa adegan lakon wayang
tertentu. Satu gulung wayang beber biasanya terdiri atas 16 adegan. Pada
saat pergelaran bagian gambar yang menampilkan adegan lakon itu
dibuka dari gulungannya, dan sang Dalang menceritakan kisah yang
terlukis dalam setiap adegan itu. Wayang Beber pada umumnya
menceritakan kisah Panji.
2. Wayang Kulit Purwa
Merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai
saat ini. Wayang Kulit Purwa mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan
Ramayana. Peraga wayang yang dimainkan oleh seorang dalang terbuat
dari lembaran kulit kerbau (atau sapi) yang dipahat menurut bentuk tokoh
wayang dan kemudian disungging dengan warna warni yang
mencerminkan perlambang karakter dari sang Tokoh.

Page | 114
Agar lembaran wayang itu tidak lemas, digunakan "kerangka
penguat" yang membuatnya kaku. Kerangka itu disebut cempurit, terbuat
dari tanduk kerbau atau kulit penyu. Jenis wayang ini tersebar hampir di
seluruh Jawa dan daerah transmigrasi, bahkan juga di Suriname di benua
Amerika bagian selatan. Pergelaran Wayang Kulit Purwa diiringi dengan
seperangkat gamelan sedangkan penyanyi wanita yang menyanyikan
gending-gending tertentu, disebut pesinden atau waranggana.
3. Wayang Golek Menak
Disebut juga Wayang Tengul, juga menggunakan peraga wayang
berbentuk boneka kecil. Selain berupa golek, Wayang Menak juga ada
yang dirupakan dalam bentuk kulit. Wayang ini diciptakan oleh Ki
Trunadipa, seorang dalang dari Baturetno, Surakarta, pada zaman
pemerintahan Mangkunegoro VII. Induk ceritanya bukan diambil dari
Kitab Ramayana dan Mahabarata, melainkan dari Kitab Menak. Latar
belakang cerita Menak adalah negeri Arab, pada masa perjuangan Nabi
Muhammad SAW menyebarkan agama Islam

.
Walaupun tokoh ceritanya sebenarnya orang Arab, peraga Wayang
Golek Menak diberi pakaian mirip dengan Wayang Kulit Purwa, antara lain
dengan memberinya kuluk, sumping, jamang, dsb, walaupun tubah dan
sorban Arab juga digunakan.
4. Wayang Klitik
Terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai
Wayang Kulit Purwa. Hanya bagian tangan peraga wayang itu bukan dari
kayu pipih melainkan terbuat dari kulit, agar lebih awet dan ringan
menggerakkannya. Pada Wayang Klitik, cempuritnya merupakan

Page | 115
kelanjutan dari bahan kayu pembuatan wayangnya. Wayang ini diciptakan
orang pada tahun 1648. Pementasan Wayang Klitik juga diiringi oleh
gamelan dan pesinden, tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga
penonton dapat melihat secara langsung.
5. Wayang Krucil
Sering dianggap sama dengan Wayang Klitik. Anggapan itu
disebabkan - karena Wayang Krucil juga terbuat dari kayu pipih. Yang
berbeda benar adalah induk cerita yang diambil untuk lakon-lakonnya.
Wayang Krucil mengambil lakon dari cerita Damarwulan, bukan dari
Ramayana atau Mahabarata. Baik Wayang Krucil maupun Wayang Klitik,
saat ini sudah hampir punah.
6. Wayang Orang
Adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Maha-
barata sebagai induk ceritanya. Dari segi cerita, Wayang Orang adalah
perwujudan drama tari dari Wayang Kulit Purwa. Pada mulanya, yakni
pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang Orang adalah penari pria,
tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan pertunjukan ludruk di
Jawa Timur dewasa ini.

7. Wayang Suluh
Suluh tergolong wayang modern, karena baru tercipta setelah
zaman kemerdekaan. Wayang ini dimaksudkan sebagai media
penerangan mengenai sejarah perjuangan bangsa. Karena itu, di antara
tokoh peraganya, antara lain terdapat Bung Karno, Bung Hatta, Bung

Page | 116
Tomo, Syahrir, dan Jenderal Sudirman. Penggambaran tokoh Wayang
Suluh dibuat realistik.
8. Wayang Wahyu
Mempunyai bentuk peraga wayang terbuat dari kulit, tetapi corak
tatahan dan sunggingannya agak naturalistik. Wayang ini mengambil
lakon dari cerita Injil, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Bahasa pengantarnya, bahasa Jawa. Di antara lakonnya, antara lain
adalah Samson Ian Delilah, dan David Ian Goliat.

Pergelaran Wayang wahyu hampir serupa dengan Wayang Kulit


Purwa, diiring oleh seperangkat gamelan dan pesinden, kelir dan gedebog.
Para dalangnya pun pada umumnya juga merangkap sebagai dalang
Wayang Kulit Purwa. Perkembangan Wayang Wahyu amat terbatas pada
lingkungan masyarakat beragama Katolik, itu pun yang berasal dari suku
bangsa Jawa. Padahal, tidak semua orang Jawa menyukai wayang. Dengan
demikian Wayang Wahyu praktis tidak berkembang.
9. Wayang Gedog
Diciptakan oleh Sunan Giri di tandai candra sengkala Gegamaning
Naga Kinaryeng Bathara: 1485 caka (1568 M). Wayang ini amat mirip
dengan Wayang Kulit Purwa, tetapi mengambil lakon dari cerita-cerita
Panji. Itulah sebabnya, sebagian orang menamakan Wayang Gedog ini
Wayang Panji. Di antara tokoh-tokoh ceritanya, antara lain adalah Prabu
Lembu Hamiluhur, Prabu Klana Madukusuma, dan Raden Gunungsari.

Page | 117
Wayang ini, boleh dibilang sudah punah. Hanya sisa-sisa peraganya
saja yang masih bisa dilihat di beberapa museum dan Keraton Surakarta.
10. Wayang Kancil
Termasuk wayang moderen, diciptakan tahun 1925 oleh seorang
keturunan Cina bernama Bo Liem. Wayang yang juga terbuat dari kulit itu,
menggunakan tokoh peraga binatang, dibuat dan disungging oleh Lie To
Hien. Cerita untuk lakon-lakon para Wayang Kancil diambil dari Kitab Serat
Kancil Kridamartana karangan Raden Panji Natarata.

Wayang Kancil termasuk di antara jenis


wayang yang tidak berkembang,
meskipun seorang seniman, yakni Iedjar Subroto tetap berusaha
mempopulerkannya.
11. Wayang Kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama


berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di
Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang

Page | 118
yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi
oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang
yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di
balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di
belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat
bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita
wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh
wayang yang bayangannya tampil di layar.
Jenis Wayang Kulit menurut asal daerah di Jawa :
• Wayang Jawa Yogyakarta
• Wayang Jawa Surakarta
• Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya
pedalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan
berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk
mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya
selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang
memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu, lakon
wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), sabet ( seluruh gerak
wayang), catur ( narasi dan cakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan
properti panggung ) .
Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang
kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan
hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas,
merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan
mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan jaman,
karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.
Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam
penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang
dimanivestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu,
Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula wayang Gagrag Banyumasan
lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan

Page | 119
permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan
lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa
peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.
Contoh gambar wayang :

Batara Guru (Siwa) dalam bentuk seni wayang Jawa.

Pakaian Adat
Rasukan adat Jawa
Rasukan adat Jawa atau pakaian adat Jawa yang umumnya disebut
rasukan kejawen yang sudah ada sejak jaman dahulu dan mulai terbentuk
lengkap pada jaman kerajaan demak. Pakaian adat Jawa ini mempunyai
perlambang tertentu bagi orang Jawa. Busana Jawa penuh dengan
piwulang sinandhi (ajaran tersamar) kaya akan ajaran Jawa. Dalam busana
Jawa ini tersembunyi ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini
secara harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, baik dalam
hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan Yang
Maha Kuasa Pencipta segalanya. Selain rasukan kejawen juga ada
rasukan surjan, rasukan mesiran, rasukan basahan dan rasukan gedhog.
Masing-masing jenis rasukan Jawa ini mempunyai makna
perumpamaan atau melambangakn nilai-nilai luhur filosofi Jawa.
Pada umumnya rasukan Jawa dibagi menjadi 4 bagian yaitu;
• 1 Bagian ndhuwur/bagian atas (Penutup Kepala)
 Iket atau blangkon

Page | 120
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan
digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian
tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang
menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon.
Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang
sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang
kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian
belakang blangkon.
Untuk bagian kepala selain menggunakan blangkon
biasanya orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan "iket"
yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus
kenceng (kuat) supaya ikatan tidak mudah terlepas. Makna
iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai pemikiran
yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya karena
situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang.
 Udheng
Udheng juga dikenakan di bagian kepala dengan cara
mengenakan seperti mengenakan sebuah topi. Jika sudah
dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan
karena ujud dan fungsinya sama. Udheng dari kata kerja
Mudheng atau mengerti dengan jelas, faham. Maksudnya agar
manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti dan
memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan
paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai arti
bahwa manusia seharusnya mempunyai ketrampilan dapat
menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang

Page | 121
mantap atau mudheng. Dengan kata lain hendaklah manusia
mempunyai ketrampilan yang profesional.
• 2 Bagian tengah (bagian tengah)
 Rasukan utawa kelambi uga benik (pakaian dan juga
kancing baju)
Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi
dengan benik (kancing baju) disebelah kiri dan kanan.
Lambang yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang
(Jawa) dalam melakukan semua tindakannya apapun selalu
diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan
dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain,
dapat , menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum.
 Jarik lan wiron utawa wiru
Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk
menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik
bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap
orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati, tidak
grusa-grusu (emosional)
Wiru Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara
mewiru (meripel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja
sedemikian rupa. Wiru atau wiron ( rimple ) diperoleh dengan
cara melipat-lipat (mewiru). Ini mengandung pengertian
bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan wiwiren
aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar
bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan
harmonis.
 Sabuk
Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara
dilingkarkan (diubetkan) ke badan. Ajaran ini tersirat dari
sabuk tersebut adalah bahwa harus bersedia untuk tekun
berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah
manusia harus ubed (bekerja dengan sungguh-sungguh) dan

Page | 122
jangan sampai kerjanya tidak ada hasil atau buk (impas/tidak
ada keuntungan). Kata sabuk berarti usahakanlah agar segala
yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau gigih.
 Epek
Epek bagi orang Jawa mengandung arti bahwa untuk
dapat bekerja dengan baik, harus epek (apek, golek, mencari)
pengetahuan yang berguna. Selama menempuh ilmu
upayakan untuk tekun, teliti dan cermat sehingga dapat
memahami dengan jelas.
 Timang
Timang bermakna bahwa apabila ilmu yang didapat
harus dipahami dengan jelas atau gamblang, tidak akan ada
rasa samang (khawatir) samang asal dari kata timang.
• 3 Bagian mburi (bagian belakang)
 Curiga atau keris dan rangka
Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat
di dalam warangka atau wadahnya. Curiga dikenakan di
bagian belakang badan. Keris ini mempunyai pralambang
bahwa keris sekaligus warangka sebagaimana manusia
sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah Yang Maha Kuasa,
manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian
belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam
menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa
untuk ngungkurake godhaning setan yang senantiasa
mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak
kebaikan.
• 4 Bagian ngisor (bagain bawah)
 Canela yaitu: cripu, selop atau sandal
Canela mempunyai arti "Canthelna jroning nala"
(peganglah kuat dalam hatimu) canela sama artinya Cripu,
Selop, atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya
dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di

Page | 123
kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh (pasrah) kepada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

 Bebed
Bebed adalah kain (jarik) yang dikenakan oleh laki-laki
seperti halnya pada perempuan, bebed artinya manusia harus
ubed, rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang
dilakukan dan "tumindak nggubed ing rina wengi" (bekerja
sepanjang hari)

Kebaya
Kebaya adalah blus tradisional yang dikenakan oleh wanita
Indonesia dan Malaysia yang terbuat dari bahan tipis yang dikenakan
dengan sarung, batik, atau pakaian rajutan tradisional lainnya seperti
songket dengan motif warna-warni. Dipercaya kebaya berasal dari
Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali,
Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan
tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat. Sebelum
1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan
keluarga kerajaan di sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu,
wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi.
Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang
tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni.
Pakaian yang mirip yang disebut "nyonya kebaya" diciptakan
pertama kali oleh orang-orang Peranakan dari Melaka. Mereka
mengenakannya dengan sarung dan kaus cantik bermanik-manik yang
disebut "kasut manek". Kini, nyonya kebaya sedang mengalami
pembaharuan, dan juga terkenal di antara wanita non-Asia. Terpisah dari
kebaya tradisional, perancang mode sedang mencari cara memodifikasi
desain dan membuat kebaya menjadi pakaian yang lebih modern. Kebaya
yang dimodifikasi itu malah bisa dikenakan dengan jins atau rok.

Page | 124
Kebaya Indonesia
Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya
(1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan
diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia
Tenggara. Kata Kebaya diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse)
pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau
ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi
penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal
‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang
lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada
masa kekasiran Ming di Tiongkok, dan pengaruh ini ditularkan setelah
imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan
Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi. Pada tahun 1600, kebaya
dikenakan secara resmi oleh keluarga Kerajaan. Setelah penyebaran
agama Islam, kebaya menjadi busana yang populer dan bahkan menjadi
simbol status. Dokumentasi lama kerajaan Islam Cirebon, Surakarta
maupun Jogjakarta menunjukkan penggunaan busana ini bagi keluarga
kerajaan.
Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia
(abad ke-15) untuk mengetahui perkembangan Kebaya modern saat ini.
Keislaman sangat kuat memengaruhi siluet Kebaya di awal-awal
perkembangannya. Dugaan kuat mengatakan Kebaya awalnya merupakan
atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher
hingga lutut (baju kurung). Hal ini mengingatkan kita akan Abaya dan
kebaya Melayu. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser kemben
tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita
yang tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan
berbusana macam itu juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara
adat harus berbusana seperti itu lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama
milik keluarga kerajaan dan keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di
tanah Jawa masih merekam Kebaya panjang ini dengan beberapa
ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad ke-19).
Gelang dan jam dikenakan diluar lengan Kebaya, sementara bros

Page | 125
serangkai (tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu
penutup. Jenis ini akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan
tenun tradisional tentu saja menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra,
dan katun halus kemudian menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai
dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia dan membuka jalur
perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).
Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan
Indonesia tahun 1945 membawa Kebaya pada konstelasi nasionalis yang
lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, Kebaya menjalar
menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang
dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka
kebaya, terutama jenis putu baru dan Kebaya encim yang masih ada
jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai
masa-masa keemasan Kebaya sampai tahun 1960-an. Hampir semua
wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra
nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum
aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, Tiongkok, dan
sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen
Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat
membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat
adalah aneka corak dan warna-warna Kebaya yang beragam. Potongan
dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-
pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.
Belum pulih benar Kebaya dari trauma politiknya, ia harus
mengalami sekali lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan
Soekarno ke pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto tahun 1965
menempatkan Kebaya di posisi lemah. Citra-citra dan simbol-simbol yang
diemban Kebaya di masa Soekarno membuat ia dijauhi. Kaum perempuan
yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama (Soekarno)
memilih untuk tidak mengenakan Kebaya. Terusan modern dan kemeja-
kemeja wanita lebih digemari ketimbang Kebaya. Perlahan namun pasti,
Kebaya tersingkir dalam kotak eksklusif Dharmawanita (organisasi wanita

Page | 126
istri pegawai negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna
jingga salem-nya, Kebaya menjadi seragam resmi organisasi ini.
Hingga tahun 1980-an Kebaya semakin terkucil di kalangan istri
Militer dan pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan
Tirta mencoba melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi
dan pertukaran komoditi antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal
bagaimana tangan-tangan kreatif anak Bangsa memanfaatkannya. Tidak
memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea Panggabean melakukan
eksperimen berarti pada Kebaya. Dalam lingkup kelas atas, Ia
memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang
tergolong mewah menjadi Kebaya. Di kalangan elit dan perempuan
berpendidikan, Kebaya macam ini, yang kemudian banyak juga
dikembangkan oleh desainer lokal lain, memiliki predikat khusus. Ia sah
digunakan di acara-acara formal baik bersifat pribadi, keluarga, maupun
kenegaraan.
Tahun 90-an pula Kebaya mulai mendapat tempat yang lebih luas.
Bahkan dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-
desainer Indonesia sepakat, Kebaya adalah genre khas dari dunia fesyen
yang menjanjikan. Mereka mulai meliriknya, memelajarinya, dan
kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya adalah inovasi! Sepertinya
tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga menjadi faktor
besar yang mendorong Kebaya kembali ke era abad-19—masa dimana
Kebaya punya kebebasan untuk berkembang.
Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi
membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik.
Banyak pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era
kebebasan. Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di
masa-masa 1997-2002. Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh
para pemimpin setelah Soeharto dan dunia politik juga diikuti
masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram di masa ini. Digalilah
kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk mempercantik
Kebaya. Kita harus mencermati trend brokat (lace), bordir, teknik aplikasi,

Page | 127
drapery, dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi Kebaya di
tahun 2000-an.
Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia
pernikahan, pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif
yang mengusung citra Indonesia secara konsensus-tersembunyi
mewajibkan Kebaya sebagai kode busananya. Hal ini kemudian
memancing kompetisi antar desainer. Secara pola, siluet, cutting, dan
garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan besar itu
juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedar organza
dan katun, Kebaya merambah ke jalur sutra, sifon, shantung, lace, hingga
serat-serat yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas,
pisang, dan unsur metal. Teknik bordir, renda, pilin, lipit, layer hingga quilt
ikut mewarnai kemegahan Kebaya. Hingga akhirnya pemanfaatan material
mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia dan bulu binatang (ostrich’s
feathers/cincila fur) hadir bersama taknik aplikasi yang revolusioner.
Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin
dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan Kebaya sebagai benda
seni yang bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat
banyak teknik dan potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya,
Kebaya tercipta sebagai karya seni. Bahkan ada satu Kebaya yang
memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan detail yang melekat
padanya. Kebaya memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini, seperti
banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan
tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik,
ekonomi, bahkan adat istiadat. Kebaya semata-mata menganut faham
kreatifitas yang feminis.

Batik
Batik adalah kata dari bahasa Indonesia, tepatnya Ambatik (bahasa
Jawa yang berarti menggambar dan melukis), sehingga batik adalah asli
dari Indonesia walaupun banyak beredar sekarang batik Malaysia sampai
Myanmar. Batik pada prinsipnya merupakan proses pencelupan dan
pencucian dan menggunakan malam sebagai bahan dasar. Kata ""tik" dari

Page | 128
"setitik" berarti sedikit menggambarkan proses yang bertingkat sedikit
demi sedikit.

Batik merupakan busana hasil kerajinan rakyat dimana batik dibuat


dengan menggunakan cara tradisional dan cara modern. Cara Tradisional
adalah suatu cara dimana pengrajin batik masih menggunakan canting
untuk menulis batik dan menggunakan malam sebagai bahan untuk
menulis. Sedangkan cara modern merupakan suatu cara dimana pengrajin
batik menggunakan cap yang menulis batik sehingga proses
pengerjaannya lebih cepat. Secara kualitas batik yang dibuat dengan
menggunakan cara tradisional akan lebih bagus kualitasnya. Harga batik
yang dibuat dengan cara tradisional pun lebih mahal.
"Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa
masuk ke keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul
falsafah batik yang tidak berpijak pada pertanian."
"Karena berasal dari petani, mestinya harus mengalir kembali ke
asalnya, yaitu masyarakat pertanian. Masyarakat itu, yang kini sudah
bergeser menjadi masyarakat industri agraris dan sepanjang masa
sengsara, mestinya diberi kesempatan mendapat bagian dari batik."
Begitu keyakinan KRT. Harjonagoro (Go Tik Swan) yang pernah hidup di
antara rakyat jelata (antara lain para pengrajin batik di rumah kakeknya)
maupun lingkungan keraton.

Canthing

Page | 129
Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain,
canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk
seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau
bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu
untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang
bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat
hiasan berupa kumpulan titik-titik.

Batik Surakarta

Batik adalah bentuk seni klasik yang ruwet dan sudah lama sekali
sangat penting di dalam adat Java. Ada banyak motif yang berbeda, setiap
motif mampunyai arti khusus, sering simbolis, dan digunakan untuk acara
formal tertentu, contohnya upacara pernikahan, pemakaman atau hari
peringatan.
Batik adalah cara yang melawan celup. Pola digambar pada kain
dengan malam yang dicairkan. Setelah malamnya menjadi keras, itu
menjadi melawan celup, sekarang, kainnya tanpa malam bisa dicelup,
sedangkan bagian yang dimalam masih sama.
Cara ini dilakukan berulang kali, tergantung jenis pola dan berapa
warna-warna yang diinginkan, dengan merebus malam keras pada kain
dan menciptakan sebuah pola baru.

Ada tiga dasar utama untuk menerapkan malam; dengan tangan,


menggunakan alat tembaga khusus untuk menggambar; dengan sebuah
cap tembaga; atau gabungan/combinasi tangan dan cap. Ketiga cara
merupakan bentuk seni yang menarik. Batik-batik yang digambar dengan

Page | 130
tangan disebut batik tulis memerlukan 2-3 bulan untuk membuatnya,
yaitu sepotong kain 2.25 x 1.25 meter membutuhkan 60-90 hari untuk
membuatnya. Juga terdapat dua cara untuk membuat batik tulis, cara
tradisi dan cara modern. Untuk hasil dari batik cap disebut batik cap,
pertama-tama harus dibuat cap tembaga. Cap ini digunakan untuk proses
pemalaman. Cap dibuat dengan tangan dan juga proses memalaman.
Capnya, dapat digunakan untuk lebih dari satu kain, lebih murah dan lebih
cepat, dan hasilnya sama baiknya. Sering sangat sulit untuk membedakan
antara tulis, cap atau batik combinasi. Capnya sendiri sering diperlihatkan
sebagai seni.

Keris

Keris atau tosan aji adalah salah satu senjata tradisional masyarakat
Jawa serta menjadi salah satu lambang utama seorang laki-laki selain
turangga, wisma, wanita dan kukila. Keriss mempunyai makna jantan
perkasa dan dewasa, atau laki-laki Jawa itu harus tangguh, sanggup
melindungi diri sendiri, keluarga dan membela Negara. Keris, atau pisau
belati, adalah hasil kegaiban yang lain dari Jawa kuno. Keris adalah bagian
integral dari upacara Jawa. Keris dipakai oleh lelaki untuk peristiwa
penting dan tatacara tradisionil.

Sajarah
Belum ada penelitian yang berhasil menentukan kapan orang Jawa
mulai mengenal keris, keris Jawa sudah mempunyai wajud yang sempurna
saat kerajaan majapahit. Pada zaman dahulu, keris menjadi lambing
kepangkatan serta bisa dijadikan sebagai hadiah yang paling istimewa,
apalagi jika yang memberikannya adalah raja. Keahlian membuat pisau

Page | 131
belati Jawa berawal dari masa kuno, bahkan sebelum Kerajaan Majapahit
(abad ke-13).
Fungsi

Zaman sekarang fungsi dari sebuah keris sudah mulai berkurang,


pada umunya hanya menjadi barang koleksi atau sebagai perlengkapan
upacara-upacara dan ritual adat. Di zaman dulu selain menjadi senjata,
keris juga bisa diguanakan sebagai tanda status sosial, jenjang pangkat
serta sebagai hadiah, selain itu, dahulu keris juga bisa menjadi simbol
persaudaraan yang ditandai upacara tukar-menukar keris yang
merupakan simbol persaudaraan yang paling luhur
Fungsi keris lainnya adalah keris dianggap azimat dan media
penghubung antara dunia manusia dengan dunia mistis (mahluk gaib)

Bagian-bagian keris
Keris mempunyai tiga bagian utama, masing masing bagain
mempunyai bagian-bagian lagi yang lebih detil yang biasanya berupa
ukiran. Ukiran pada bagian-bagian keris Jawa mempunyai makna dan
karakter yang berbeda-beda.
Bagian-bagian keris itu antara lain;
• Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga
terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan,
yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-
bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur
jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo
tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah
sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan

Page | 132
keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan
penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti
pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris
disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring).
Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi,
sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya
tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga
dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi
melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian
depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled ,
bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam
bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan
sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat
dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang
lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara
sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah
ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi
seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah
banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan
tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak
adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari
tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

• Warangka atau sarung keris


Warangka, atau sarung keris, adalah komponen keris yang
mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial
masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara
langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah
jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan
zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status

Page | 133
sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering
diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis
warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata,
janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta
cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon)
yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak
terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun
tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan
menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan
pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata
cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan
sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai
pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman
dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan
(dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman ,
pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka
gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena
bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian
utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk
panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan
,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan
biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah
yang berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi
keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan
dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok
( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat
dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas .
Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang,

Page | 134
Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan
hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan
berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam,
yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada
sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada
salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3)
pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila
dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan
pendok polos (tanpa ukiran).

• Gaman
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah
wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala
bagian depan) ,weteng dan bungkul.

Pamor Keris

Pamor merupakan hiasan atau motif atau ornamen yang terdapat


pada bilah tosan aji (Keris, Tombak, Pedang atau Wedung dan lain
lainnya). Hiasan ini dibentuk bukan karena diukir atau diserasah (Inlay)
atau dilapis tetapi karena teknik tempaan yang menyatukan beberapa
unsure logam yang berlainan.
Diluar wilayah Nusantara dan sekitarnya biasanya hanya dikenal
teknik Inlay saja seperti pedang dari Iran atau negara Eropa lainnya

Page | 135
sehingga walau secara seni (art) tampak indah tetapi kesan “Wingit” nya
tidak ada sama sekali.
Terkenal dulu bahan pamor dari Luwu, Sulawesi Selatan yang
dibawa oleh pedagang dari Bugis.
Bahan Pamor yang paling terkenal adalah Pamor Prambanan, saat
ini ada di Kraton Surakarta diberi nama Kanjeng Kyai Pamor dan
ukurannya sekarang tinggal sekitar 60x60x80 Cm sebesar meja kecil
karena sudah banyak digunakan empu membuat karis pesanan dari
Kraton.
Setelah bahan meteorit susah didapat, barulah bahan Nikel
digunakan, sehingga keris saat ini bobot nya biasanya lebih berat dari
keris kuno.
a. PAMOR MLUMAH, PAMOR MIRING.
Dilihat dari cara pembuatannya sebetulnya hanya dua cara
pembuatan Pamor yang baik yaitu Mlumah dan Miring. Pamor mlumah
adalah lapisan-lapisan pamornya mendatar sejajar dengan permukaan
tosan aji sedangkan pamor miring lapisan pamornya tegak lurus
permukaan bilah.
Ada juga tosan aji yang dibuat dengan kombinasi pamor mlumah
dan miring hanya saja pembuatannya sangat sulit, lebih sulit dari
pembuatan pamor miring.
Pamor Mlumah biasanya bermotif Beras Wutah, Ngulit Semangka,
Satria Pinayungan, Udan Mas, Wulan-wulan dan sebagainya, sedangkan
Pamor Miring umumnya motif Adeg, Batu Lapak, Sodo Saeler, Tumpuk dll.
Kesan Pamor Miring agak kasar bila diraba bilahnya dan nyekrak
dibanding pamor mlumah.

Apabila lipatannya banyak, baik di pamor mlumah atau miring,


maka hasilnya kemungkinan akan menjadi pamor luluhan, praktis pamor

Page | 136
dan besi sudah “menyatu” walau tidak terlalu homogen, ini akan terlihat
dengan menggunakan kaca pembesar.
Pamor luluhan yang gampang terlihat antara lain di keris buatan Empu
Pitrang dijaman Blambangan, diantara pamor Adeg pada beberapa bagian
bilah tampak pamor luluan yang sepintas seperti pamor Nggajih.
Kalau lipatannya lebih banyak lagi seperti buatan Empu Pangeran
Sedayu maka pamor luluhan ini tidak tampak dengan mata telanjang dan
sangat kecil atau tiad mungkin kena karat karena menyatunya bahan
pamor dengan bahan besinya.
Cara lainnya.
Ada cara lain membuat pamor selain Mlumah dan Miring yaitu
dengan cara mengoleskan bahan pamor ke bilah, biasanya bukan dari
batu meteorit tetapi logam yang titik leburnya lebih rendah dari besi,
caranya dengan menuangkan bahan tersebut yang cair kebilah besi yang
membara kemudian dioleskan dengan ujung mancung (kelopak bunga)
kelapa sebelum bahan cair tersebut mengeras dan dibuat pamor yang
dikehendaki si Empu. Hasilnya umumnya kasar bila diraba dan pamor ini
disebut Ngintip (dari Intip/Kerak nasi).

Cara ini hanya digunakan Empu luar keraton, empu Desa atau
disebut juga empu Njawi.Ada lagi cara membuat pamor dengan
menyiramkan bahan pamor cair ke bilah membara dari pangkal keris
keujungnya, pamornya dinamakan Nggajih karena menyerupai lemak.

b. PAMOR REKAN dan PAMOR TIBAN.


Sewaktu membuat keris, Sang Empu berpasrah diri kepada Tuhan
YME dan menyerahkan saja bagaimana bentuk pamor yang terjadi maka
biasanya pamor yang timbul disebut pamor Tiban, sedangkan bila selama

Page | 137
pembuatan direka oleh sang Empu maka pamor yang terjadi disebut
pamor rekan.
Pamor rekan sering juga gagal dalam pembuatannya, misal sang
empu ingin membuat pamor Ron Genduru tetapi jadinya malah Ganggeng
Kanyut.
Sebenarnya agak sulit membedakan mana pamor rekan atau tiban
karena bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda.

c. PAMOR MUNGGUL

Banyak yang menganggap pamor ini pamor titipan, selain


itu banyak yang menganggap ini sebagai pamor tiban
karena tidak bisa dibuat secara sengaja.
Pamor ini seperti bisul menonjol sekitar 1 mm diatas
permukaan bilah umumnya berbentuk lingkaran, baik
bulat atau lonjong tetapi ada yang berbentuk gambar
membujur lancip panjang. Letaknya bisa dibagian sor-soran, tengah
ataupun pucuk. Bisa ditepi atau tengah bilah dan termasuk pamor yang
baik serta dicari banyak orang.
Bagaiman pamor ini timbul tidak bisa diterangkan secara pasti, tetapi
diduga saat “masuh” atau membersihkan bahan keris dari kotoran, ada
unsur logam lain yang menyelip dan lebih keras dari unsur logam besi,
tetapi ini baru dugaan saja.

d. PAMOR AKHODIYAT.
Namanya kadang Akordiyat, Kodiyat atau Akadiyat. Wujudnya
menyerupai lelehan dari tepi bentuk pamor dengan warna putih
cemerlang keperakan dan lebih cemerlang dibanding keputihan pamor
pada umumnya.
Ada yang menganggap sebagai pamor titipan atau “sifat” dari
pamor tersebut, ternyata semua salah.
Sebetulnya ini terjadi karena penempaan pamor tersebut dilakukan
pada suhu yang tepat yang berbeda setiap bahannya, jadi susah diduga

Page | 138
berapa suhu yang tepat itu, sehingga banyak yang sepakat bahwa pamor
ini dikategorikan ke pamor tiban.
Di Madura biasa disebut pamor “dheling”, kalau tersebar
dipermukaan bilah disebut “dheling setong” dan dianggap mempunyai
tuah baik.
Pamor dheling yang terbaik terdapat di pucuk bilah dan disebut
“dheling pucuk” dan atau dibagian peksi yang disebut “dheling peksi”.

e. PAMOR TITIPAN.

Pamor ini berbentuk rangkaian kecil yang merupakan perlambang


atau tuah tertentu dan pamor ini jarang berdiri sendiri, umumnya
tergabung dengan pamor lain yang lebih dominan, antara lain Beras
Wutah, Pulo Tirto atau Pendaringan Kebak.
Pamor ini ada yang merupakan pamor tiban, tidak sengaja dibuat
seperti Pamor Rahala, Dikiling, Inkal, Putri Kinurung, Gedong Mingkem,
Jung Isi Dunya, Telaga Membleng dll.
Pamor titipan yang merupakan pamor rekan antara lain yang
terkenal adalah Kuto Mesir, Kul Buntet, Udan Mas, Watu Lapak dll.
Pamor Titipan yang merupakan pamor tiban dibuat bersama dengan
pamor lainnya sedangkan yang rekan biasanya dibuat setelah pamor
dominan jadi, merupakan pamur yang disusulkan.

Makanan Khas
Makanan khas Jawa Timur diantaranya adalah
1) Rawon dan rujak petis.

Page | 139
Surabaya terkenal akan rujak cingur, semanggi, lontong balap,
sate kerang, dan lontong kupang. Kediri terkenal akan tahu takwa,
tahu pong, dan getuk pisang. Madiun dikenal sebagai penghasil
brem dan nasi pecel. Kecamatan Babat, Lamongan terkenal akan
wingko babat nya. Malang dikenal sebagai penghasil keripik tempe.
Bondowoso merupakan penghasil tape yang sangat manis. Sidoarjo
terkenal akan kerupuk udang dan petisnya.
Jagung dikenal sebagai salah satu makanan pokok orang Madura,
sementara ubi kayu yang diolah menjadi gaplek dahulu merupakan
makanan pokok sebagian penduduk di Pacitan dan Trenggalek.
2) Tahu Campur Lamongan
Tahu campur disajik di dalam mangkuk, terdiri dari tahu, tauge,
petis, mi, daun sla diiris, tuangi kuah dan daging tetelan, diberi
irisan perkedel singkong dan ditaburi dengan bawang goreng dan
dengan bahan pelengkap sambal.
3) Madu mongso
Merupakan makanan khas Jawa Timur yang dibuat dari ketan
item dicampur dengan tape. makanan ini dibungkus menyerupai
bentuk permen menggunakan kertas minyak yang berwarna-warni.

4) Rujak Cingur

Page | 140
Makanan khas Jawa timur ini merupakan campuran dari berbagai
macam sayuran yang disirami bumbu kacang yang dilengkapi
dengan petis dan pisang klutuk muda. Yang membuat makanan ini
berbeda adalah dengan adanya cingur (hidung sapi).

Makanan dan Minuman khas Jawa Tengah


1. Sate Sarepeh Berupa sate ayam kampung
bumbunya terdiri dari cabe merah, gula merah, santan dan garam.
Adalah sebagai lauk pauk dan biasanya dirangkai dengan lontong.
2. Mangut
Ikan laut segar yang dipanggang dengan bumbu-bumbu cabe hijau,
bawang merah, bawang putih, garam dan santan kental. Sebagai sayur
untuk makan siang/malam dalam menu sehari-hari.
3. Pindang Tempe
Tempe dengan bumbu-bumbu cabe, bawang merah, bawang putih,
asam (tomat) garam dan air. Biasanya ditambahkan juga ikan pindang.
Sebagai sayur untuk makan siang (menu sehari-hari).
4. Sayur Merica
Dari ikan laut segar dengan bumbu cabe, merica, bawang merah,
bawang putih, kunyit, garam dan air.
5. Petis Bumbon
Sayur untuk makan siang/malam yang terbuat dari bahan-bahan
petis ikan/udang, telur rebus/ceplok langsung dengan bumbu cabe,
bawang putih, bawang merah, kunci, lengkuas, daun jeruk purut, garam
dan ditambah santan kental.
6. Lontong Tuyuhan
Lontong dengan opor ayam kampung pedas khas desa Tuyuhan
(Kecamatan Pancur). Makanan ini tidak pernah atau jarang dibuat ibu
rumah tangga. Sebagai makanan sore hari/malam hari, biasanya sekitar
jam 15.00 WIB sudah dijual di lokasi desa Tuyuhan di sepanjang pinggir
jalan dengan pemandangan sawah-sawah yang menghijau. Dan
minumannya air putih yang ditempatkan di kenda (tanpa gelas).
7. Dumbeg

Page | 141
Dibuat dari tepung beras, gula pasir/gula aren dan ditambahkan
garam, air pohon nira (legen), dan kalau suka ditaburi buah nangka/kelapa
muda yang dipotong sebesar dadu. Kemudian tempatnya dari daun lontar
(pohon nira) berbentuk kerucut dengan bau yang khas. Yang terkenal dari
desa Pohlandak (Kecamatan Pancur) dan desa Mondoteko (Kecamatan
Rembang).
8. Jenang Waluh
Dibuat dari buah waluh, gula aren, air nira dan garam, yang rasanya
sangat manis. Dan biasanya dimakan dengan Jadah. Jadah yang terkenal
adalah dari desa Pohlandak (Kecamatan Pancur).
9. Jadah
Terbuat dari beras ketan putih, kelapa muda, garam yang ditumbuk
halus (sewaktu masih panas) di atas keranjang yang Terbuat dari daun
lontar/daun kelapa muda dan alat tumbuknya juga dilapis dengan daun
lontar dan kelapa muda. Rasanya sangat gurih, kemudian dicetak persegi
dan dibungkus dengan daun pisang (seperti lemper). Biasanya dimakan
bersama dengan Jenang waluh, yang terkenal dari desa Pohlandak
(Kecamatan Pancur).
10. Kaoya Dudul
Terbuat dari beras ketan, kacang hijau, gula aren/gula pasir dan
garam. Tempatnya dari daun lontar berlubang bulat kecil sebanyak 5
buah, kalau makan tinggal didudul (ditekan) saja, rasanya sangat manis
dan gurih. Berasal dari desa Gunem Kecamatan Gunem.
11. Kerupuk Bakar
Kerupuk udang dan tengiri dari kota Rembang yang dioven atau
dibakar.
12. Gula Semut
Terbuat dari pohon nira ( legen ) dengan proses pemanasan,
sehingga hasilnya seperti gula pasir atau gula halus yang berwarna coklat.
13. Terasi Petis Bonang
Terbuat dari udang atau ikan segar dengan proses pemanasan. Bau
dan rasanya enak. Yang terkenal dari Desa Bonang Kecamatan Lasem.
14. Kupat Tahu

Page | 142
Merupakan makanan khas Magelang yang berisi tahu, tauge, kubis,
dan diberi ketupat. Menggunakan sambal kacang sebagai campurannya.

Sedangkan yang lain diantaranya adalah :


Dari Banyumas :
• Sroto Sokaraja
Soto Sokaraja atau oleh masyarakat Banyumas disebut Sroto
Sokaraja adalah sejenis makanan dari Indonesia. Soto ini memiliki ciri khas
yang berbeda dengan soto-soto lainnya yang ada di Indonesia.
Ciri utama dari soto ini adalah penggunaan sambal kacang dan
ketupat. Soto Sokaraja sudah banyak dijual di luar Banyumas tetapi kalau
sempat mampir ke Sokaraja, kita dapat menikmati soto di warung-warung
yang berderet rapi di sepanjang jalan di Sokaraja.
• Gethuk goreng
• Tempe mendoan
• Lanting
• Sate Ambal

Dari Jepara :
• Bangket
Pesisir Utara
• Soto Kudus

• Soto Tegal
• Sate Tegal

Page | 143
• Lumpia Semarang
• Taoto
• Nasi megono
• Nasi Grombyang
Dari Yogya-solo :
• Gudeg

Gudeg Jogja punya rasa manis yang khas.


• Nasi pecel
• Opor ayam
• Tongseng
• Cabuk rambak
• Tumpeng
• Mangut lele
• Srabi Solo
• Geplak
• Sate Kocor
• Tengkleng
• Bakpia
• Trancam
• Sate Winong
Pati-Juwana Jawa tengah
• nasi gandul

Page | 144
Ketoprak dan Ludruk

Ketoprak (bahasa Jawa kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang


berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang
diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan.
Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam.
Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula
diambil cerita dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari
repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata. Sebab
nanti pertunjukkan bukan ketoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan
wayang orang.
Beberapa tahun terakhir ini, muncul sebuah genre baru; Ketoprak
Humor yang ditayangkan di stasiun televisi RCTI. Dalam pentasan jenis ini,
banyak dimasukkan unsur humor.
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk
merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup
kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita
tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain
sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan
sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat
penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski
terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang,
Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang
digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non
intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, etc).

Page | 145
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan
diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan "Pak
Sakera", seorang jagoan Madura.
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak
sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan
bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan
cerita hidup sehari-hari (biasanya) kalangan wong cilik.

Reog

Salah satu tarian Topeng barong reog yang dipakai


Pembuka
sebagai atraksi penutup

Reog adalah salah satu seni yang ada di Jawa Timur bagian barat-
laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Di
daerah ini kondisi sosio kultural masih sangat kental dengan hal-hal yang
dianggap magis dan dapat mereka buktikan dengan kemampuan mereka
(masyarakat Ponorogo) dan Religi/Kebatinan yang sangat kuat.
Pada dasarnya masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang
menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat
kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia
yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun
temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang
tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis
keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan
hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa
seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog
Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan.

Page | 146
Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan
pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini
menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian
yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil,
penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian
wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan
dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya
jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan
adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti


yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika
berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan
percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita
pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang
tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang
(biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton.
Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh
pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan
dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada
penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai
topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu

Page | 147
burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang
berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk
membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga
dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

KIDUNG/PUISI
Kidung adalah puisi Jawa asli walaupun masih dijumpai vokal
panjang tetapi tidaklah sebanyak yang ditemui di dalam kekawin. Ia juga
turut dikenali sebagai tembang atau nyanyian. Sementara itu nama
tembang dalam kidung pula amat bergantung kepada jumlah baris dalam
bait dan vokal akhir pada setiap baris. Bahasa yang digunakan di dalam
kidung ialah campuran Jawa Kuno dengan Jawa Baru tetapi susunannya
masih menurut cara kuno dengan memakai *Tembang Gedhe yang sudah
menyimpang iramanya seperti Kidung Subrataka yang muncul pada
zaman Jawa Tengahan. Berikut ini contohnya :
Sangtabyana ta pakulun
rancana cipta kumawi
Panji prakasa tembange
Ki Subrataka kang winuwus
luputa ring lara roga
nirmala waluya jati
luputta ring pamurung
luputta ring baya pati.

Arti :
Bahagialah tuanku
kisah cubaan akan dinyanyikan
dengan lagu panji prakasa
Ki Subrata yang dikisahkan
moga-moga terluput dari malapetaka
nirmala dan sihat wal¡¯afiat
luput dari halangan
luput dari bahaya maut.

Page | 148
LAGU ADAT JAWA
MACAPAT
Adalah lagu tradisional dari tanah Jawa. Macapat juga menular ke
kebudayaan Bali, madura dan Sunda. Jika dilihat dari ”kerata basa”,
macapat artinya ”maca papat-papat”. Membacanya memang dirakit tiap
empat suku kata. Lagu ini mulai ada di jaman Majapahit, dan dimulai saat
walisanga memegang kekuasaan. Tetapi itu juga belum pasti, karena tidak
ada peninggalan tulisan yang dapat membuktikannya. Macapat banyak
dipakai di Sastra Jawa Tengah dan Sastra Jawa Baru. Jika dibandingkan
dengna kakawin, aturan-aturan pada macapat itu lebih mudah. Kitab-kitab
pada jaman Mataram Baru, seperti wedathama, Wulangreh, Serat Wirid
Hidayat Jati, Kalathida, dan yang lain-lain disusun dengna lagu ini.
Aturan – aturan itu ada pada :
• Guru gatra : bilangan baris/gatra tiap bait.
• Guru wilangan : bilangan suku kata tiap gatra.
• Guru lagu : suara vokal di akhir tiap baris.
Macapat bisa dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
Sekar Macapat atau Sekar Alit
Sekar Madya atau Sekar Tengahan
Sekar Ageng
1. Sekar Macapat atau Sekar Alit
Macapat ini juga disebut sebagai lagu macapat asli, yang
umumnya sering dipakai dimana-mana.

• Mijil
Mijil itu artinya lahir atau keluar. Di deretan lagu macapat, mijil
umumnya ditaruh didepan. Tiap bait, lagu ini ada enam larik, dengan guru
wilangan dan guru lagu :
• 10-i
• 6-o
• 10-é
• 10-i

Page | 149
• 6-i
• 6-u
Contoh
1. Mijil ing donya siniwi ratri
2. Kabeh durung katon
3. Amung anjali soca ing tembé
4. Lelaku alon siniji-siji
5. Nunggu mring wartaning
6. Sesotya satuhu

• Sinom
Arti umumnya sinom berarti ”godhong asem sing isih enom” ( daun
asam yang masih muda ). Di Macapat, sinom mempunyai sifat yang masih
muda. Seperti anak kecil yang baru tahu dunia.
Metrum
Tiap bait, lagu ini ada sembilan baris, dengan guru bilangan dan
guru lagu :
• 8-a
• 8-i
• 8-a
• 8-i
• 7-i
• 8-u
• 7-a
• 8-i
• 12 – a
Contoh
1. Amenangi jaman édan
2. Éwuh aya ing pambudi
3. Milu édan nora tahan
4. Yèn tan milu anglakoni
5. Boya kaduman melik
6. Kaliren wekasanipun

Page | 150
7. Ndilalah karsa Allah
8. Begja-begjané kang lali
9. Luwih begja kang éling lawan waspada
Dari Serat Kalatidha, karya Ki Ranggawarsita.

• Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah salah satu lagu macapat yang isinya
“pengharapan yang baik”. Dhandhang itu harapan. Karena itu, lagu yang
menggunankan metrum Dhandhanggula juga mempunyai isi yang manis
seperti gula. banyak nasehat pada jaman dahulu yang menggunakan jenis
ini.
Tetapi ada juga yang menghubungkan asala kata dhandhanggula
dengan salah satu raja di jaman Kediri yaitu dhandhanggendhis. Dari sini
kita bisa mengetahui jika lagu ini dibuat pada jaman Kediri.
Metrum
Tiap bait ada 10 baris.
• 10-i
• 10-a
• 8 -é
• 7 -u
• 9 -i
• 7 -a
• 6 -u
• 8 -a
• 12-i
• 7 –a
Contoh
Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa sira anuladha,
duk ing uni caritane,
andelira sang prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
aran patih Suwanda,

Page | 151
lelabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,
guna kaya purun ingkang den antepi,
nuhoni trah utama

• Kinanthi
Kinanthi adalah salah satu lagu macapat yang umunya dipakai rasa
suka, cinta dan kebijaksanaan. Kinanthi ini juga bias mempunyai arti
“gegandhengan tangan” dan bias juga berarti nama suatu bunga. Ada
juga yang memasangkan kinanthi dengan maskumambang.
Maskumambang itu untuk laki-laki yang dewasa, sedangkan kinanthi itu
untuk perempuan.
Metrum
Kinanthi itu terdiri dari 6 baris pada tiap bait.
• 8-u
• 8-i
• 8-a
• 8-i
• 8-a
• 8-i
Contoh 1
Anoman mlumpat sampun
praptêng witing nagasari
mulat mangandhap katingal
wanodyâju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga kêksi
(diambil dari ” Serat Rama Kawi”, karya Kyai Yasadipura )
Contoh 2
Pitik tulak pitik tukung
Tetulake Jabang bayi
Ngedohaken cacing racak
Sarap sawane sumingkir

Page | 152
Si tulak manggung ing ngarso
Si Tukung ngadhangi margi

• Asmarandana
Lagu Asmarandana umumnya dipakai bagi orang yang sedang jatuh
cinta. Jika dilihat aslinya, kata asmaradana diambil dari kata asmara yang
artinya cinta, dan dahana yang artinya api. Oleh karena itu, asmarandana
berisi tentang kasih sayang.

Metrum
Asmarandana terdiri dari 7 baris dalam tiap bait.
• 8-a
• 8-i
• 8-é
• 8-a
• 7-a
• 8-u
• 8-a
Contoh
Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
wong welek sabar narima

Page | 153
• Durma
Durma adalah salah satu lagu macapat yang mempunyai sifat
galak. Adakalnya Durma memuat keadaan yang menyeramkan dan
membuat takut. Durma termasuk lagu yang wingit.
Metrum
Tiap bait ada 7 baris.
• 12-a
• 7 -i
• 6 -a
• 7 -a
• 8 -i
• 5 -a
• 7 -i
Contoh
Kae manungsa golek upa angkara
Sesingidan mawuni
ngGawa bandha donya
mBuwang rasa agama
Nyingkiri sesanti ati
Tan wedi dosa
Tan eling bakal mati

• Pangkur
Pangkur adalah salah satu lagu macapat yang mempunyai sifat
“munggah ndhuwur”. Jika suatu nasihat, itu adalah nasehat yang tinggi.
Jika cinta, itu adalah cinta yang utama. Dari lagu ini, lalu banyak beraneka
macam lagu yang menggunakan nama pangkur, yaitu antara lain :
pangkur jenggleng, pangkur palaran, pangkur lombok dan lain-lain.
Metrum
Lagu pangkur terdiri dari 7 baris tiap bait.
• 8-a
• 11- i

Page | 154
• 8-u
• 7-a
• 12- u
• 8-a
• 8-i
Contoh
Sekar Pangkur kang winarna
lelabuhan kang kanggo wong aurip
ala lan becik puniku
prayoga kawruhana
adat waton puniku dipun kadulu
miwa ingkang tatakrama
den keesthi siyang ratri

• Maskumambang
Maskumambang adalah salah satu lagu macapat yang menjadi
lambing saat orang laki-laki beranjak dewasa, pada masa ketika dari anak
menjadi manusia yang kelihatan ditengah lingkup social. Kata
maskumambang itu merupakan sambungan antara kata ‘emas’ den
‘kumambnag’. Ada juga yang menganggap jika Maskumambang itu
lagunya laki-laki, sedangkan yang perempuan itu adalah kinanthi. Sifat
dari lagu ini, umumnya berisi orang yang sedang mengeluh sakit dan
sengsara.
Metrum
Tiap bait, lagu Maskumambnag ada 4 baris.
• 12-i
• 6 -a
• 8 -i
• 8 -a
Contoh
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili

Page | 155
Gung tinamêng astanira

• Pucung
Pucung (adakalanya ditulis pocung) adalah lagu macapat yang
mengingatkan tentang kematian. Kata pucung dekat dengan kata pocong.
Seperti lambnag mori untuk membungkus orang yang meninggal. Pucung
dipakai sebagai lagu yang bias mengingatkan kepada manusia yaitu jika
hidup di dunia pasti ada akhirnya.
Tetapi Pucung juga dapat diartikan sebagai nama biji buah-buahan.
Akhiran cung juga memberi rasa segar yang mengingatkan kepada
sesuatu yang lucu seperti menggunakan kata “dikuncung”. Lagu ini sering
digunakan untuk lagu-lagu yang lucu seperti parikan atau tanya Jawab.
Metrum
Lagu pucung hanya ada 4 baris pada tiap bait.
• 12-u
• 6 -a
• 8 -i
• 12-a
Contoh
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
setya budya pangekesing dur angkara

• Gambuh
Contoh
Sekar gambuh ping catur
Kang cinatur
Polah kang kalantur
Tanpo tutur katulo-tulo katali
Kadaluwarso katutur
Katutuh pan dadi awon

Page | 156
Lagu gambuh itu memang penuh dengan nasehat. Nasehat yang
menggiring manusia agar ingat dengan tingkah lakunya.manusia
diingatkan kalau semua tingkah laku manusia itu ada akibatnya.

• Megatruh
Megatruh mempunyai sifat prihatin rasa sakit hati karena rindu.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada lima baris, dengan guru bilangan dan guru
lagu :
12u, 8i, 8u, 8i, 8o.
Contoh
Contoh ini diambil dari Babad Tanah Jawi karya Ki Yasadipura.
sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon

2. Sekar Madya utawa Sekar Tengahan


Macapat jenis ini seperti lagu kidung yang sering dipakai pada
jaman Majapait.
• Jurudemung
Jurudemung itu termasuk sekar madya. Sifatnya “prenesan” dan
biasanya dipakai sebagai lagu wangsalan atau yang agak erotis.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada 7 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
8a, 8u, 8u, 8a, 8u, 8a, 8u.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Pranacitra”
ni ajeng mring gandhok wétan
wus panggih lan Rara Mendut
alon wijilé kang wuwus
hèh Mendut pamintanira

Page | 157
adhedhasar adol bungkus
wus katur sarta kalilan
déning jeng kyai Tumenggung.

• Wirangrong
Wirangrong itu termasuk dalam sekar madya. Sifatnya itu penuh
wibawa. Lagu ini biasanya dipakai untuk menyanyikan hal-hal yang gagah.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini terdiri dari 6 baris, dengan guru bilangan dan guru
lagu :
8i, 8o, 10u, 6i, 7a, 8a.
Contoh
dèn samya marsudêng budi
wiwéka dipunwaspaos
aja-dumèh-dumèh bisa muwus
yèn tan pantes ugi
sanadyan mung sakecap
yèn tan pantes prenahira

• Balabak
Balabak itu memiliki sifat yang spontan.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada 6 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu:
12i, 3é, 12a, 3é, 12a, 3é.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Jaka Lodhang” karya Ki Ranggawarsita.
byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
turut marga nyambi reramban janganan
antuké
praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané

Page | 158
3. Sekar Ageng
Sekar Macapat Ageng ( besar ) hanya ada satu yaitu Girisa. Jika
dilihat dari kesusahannya, sekar macapat ageng seperti lagu kakawin di
jaman dahulu.
Girisa (macapat)
Girisa itu memiliki sifat nasihat.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada 8 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Wiratadya” karya Ki Ranggawarsita.
déné utamaning nata
bèr budi bawa leksana
liré bèr budi mangkana
lila legawa ing driya
agung dènya paring dana
anggeganjar saben dina
liré kang bawa leksana
anetepi pangandika.

LAGU-LAGU LAIN SELAIN MACAPAT


Kumpulan lagu (Jawa)

 ANDE ANDE LUMUT


Putraku si ande ande lumut….
Tumuruna ana putri kang unggah unggahi…..
Putriku kang ayu rupane………
Kleting kuning kang dadi asamane……
Bu…si Bu… kulo mboten purun…..
Putri niku sisane si yuyu kangkang…

 YEN ING TAWANG ANA LINTANG

Page | 159
Yen ing tawang ono lintang cah ayu….aku ngenteni tekamu
Marang mego ing angkoso,nimas…
Sun takokne pawartamu
Janji janji aku iling,cah ayu…
Sumedot rasaning ati
Linang lintang ngiwi iwi,nimas..
Tresnaku sundul ing ati
Dek sakmono janjimu disekseni
Mego kartiko kairing
Raso tresno asih
Rungokno tangising ati
Ginarung swaraning ratri,nimas..
Ngenteni mbulan ndadari

 CUBLAK CUBLAK SUWENG


Cublak cublak suweng…..suwenge ting gelenter……..
Mambu kutundung gudel…pak hempong, lera.. lere…
Sopo ngguyu ndelekake…………
Sir …sir…. pong ,dele gosong………..

 LIR-ILIR
Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh panganten anyar
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun suraka surak hiyo

 SUWE ORA JAMU

Page | 160
Suwe ora jamu
Jamu godhong telo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe gelo

UNGKAPAN-UNGKAPAN JAWA
 Mangan Ora Mangan Asal Kumpul
Ungkapan mangan ora mangan asal kumpul bukan berarti
bahwa orang Jawa adalah manusia-manusia yang tahan lapar, atau
yang tidak mempunyai sepeser uangpun untuk membeli sejumput padi,
ataupun manusia malas yang maunya hanya kumpul terus. Dalam
ungkapan ini terdapat dua kata kunci, yakni mangan (makan) dan
kumpul. Makan adalah manifestasi dari nafsu biologis dan kepentingan
perseorangan, sedang kumpul menunjukkan adanya kehidupan
berkelompok atau bermasyarakat. Dengan demikian, ungkapan
mangan ora mangan asal kumpul pada dasarnya ingin mengatakan
bahwa orang Jawa merasa menjadi bagian integral dari masyarakatnya
dan bersedia mendahulukan kepentingan kelompok/umum dari pada
kepentingan individu.

 Alon-Alon Waton Kelakon


Demikian pula terhadap ungkapan alon-alon waton kelakon.
Adalah kurang tepat jika diartikan sebagai sikap hidup ragu-ragu, malas
dan pesimis. Justru sebaliknya, hal itu menandakan manusia yang
berpandangan optimis yang mampu melihat jauh kedepan, disamping
merupakan anjuran untuk melakukan pekerjaan secara cermat agar
selesai dengan baik. Orang Jawa dengan kekuatan spiritual atau
kebatinannya yang didapatkan dari kegiatan-kegiatan asketis seperti
semadi/tapa, pasa atau nglakoni (melaksanakan suatu syarat untuk
suatu tujuan), selalu yakin akan kekuatan diri sendiri dan yakin pula
bahwa apa yang dicita-citakan pasti akan terwujud. Jadi, mengapa
harus tergesa-gesa kalau sesuatu yang dikejar itu pasti datang? Namun
dalam hal ini harus diakui bahwa hanya orang-orang tertentu yang

Page | 161
sudah mencapai taraf weruh sadurunge winarahlah yang bisa
menghayati ungkapan alon-alon waton kelakon.

 Urip Mung Mampir Ngombe


Adapun ungkapan urip mung mampir ngombe menunjukkan
bahwa kehidupan manusia didunia begitu cepatnya, ibarat
sepeminuman segelas air. Disini terkandung makna bahwa setelah
selesai minum, masih ada kewajiban lain yang lebih penting. Oleh
karenanya, selama proses minum berlangsung, betul-betul harus dapat
dirasakan bahwa minum itu merupakan rahmat dari Yang Kuasa yang
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi “bekal”
untuk menunaikan kewajiban lainnya, yaitu agar tidak “kehausan” di
tengah jalan.

 Kanca Wingking Dan Suwarga Nunut Neraka Katut


Ungkapan lain yang bisa memberi kesan negatif adalah kanca
wingking dan suwarga nunut neraka katut. Keduanya seolah-olah
mendiskriminasikan wanita atau istri terhadap laki-laki atau suami.
Interpretasi negatif akan mengatakan bahwa wanita hanya berfungsi
sebagai pemuas kebutuhan biologis (seksual) atau sebagai pembantu
rumah tangga. Tanpa pemahaman terhadap makna yang tersembunyi
didalamnya, tuntutan emansipasi, persamaan hak, derajat dan
kedudukan akan mengalir bagaikan air bah.
Dari pengertian tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa ungkapan
suwarga nunut neraka katut dan kanca wingking adalah dimaksudkan
untuk menempatkan manusia pada peran, fungsi dan kedudukannya.
Islam — yang ajaran-ajarannya banyak diserap oleh masyarakat Jawa
kemudian digabungkan dengan pemikiran dalam ajaran Hindu Budha
(sinkretisme) — mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita, dan suami adalah pemimpin bagi istrinya. Sepanjang tidak
bertentangan dengan agama, kesusilaan dan Undang-Undang, istri
wajib mentaati perintah atau aturan suami. Jadi, arti suwarga nunut
neraka katut bagi istri adalah mematuhi suami, disamping kewajiban

Page | 162
untuk memperingatkan bila suami kurang benar. Istri yang tidak mau
menegur kesalahan suami, berarti ikut menanggung dosa yang
diperbuat suaminya.
Begitu pula ungkapan kanca wingking. Sebagai “teman belakang”,
para istri memegang peranan yang amat penting dalam sebuah
keluarga. Jika mereka tidak kuat memegang peran sebagai kanca
wingking, maka keluarga itupun tidak dapat diharapkan kelangsungan
eksistensinya. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa surga laki-
laki terletak ditelapak kaki wanita. Semboyan bahwa suatu revolusi
tidak akan berhasil tanpa andil kaum wanita-pun, tidaklah mengada-
ada.
Hanya saja persoalannya, mengapa wanita dikatakan sebagai kanca
wingking, bukan kanca ngajeng (teman depan)? Hal ini juga ada
alasannya sendiri. Barangkali tidak seorangpun yang menyangkal
bahwa masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai dan norma-norma luhur
yang dijunjung tinggi. Perbuatan yang melanggar atau tidak sesuai
dengan nilai atau moral itu, dikatakan sebagai saru, ora lumrah, atau
ora ilok.
Kedudukan wanita Jawa terhadap lawan jenisnya sebagaimana
kedudukan wanita terhadap pria pada umumnya — secara kodrati
(bedakan dengan kedudukan sosial politik) — adalah lebih rendah.
Dengan demikian, adalah tidak patut apabila wanita yang memimpin
suatu keluarga. Adalah tidak lumrah apabila wanita mencarikan nafkah
bagi suaminya dan menempatkannya sebagai rewang (pembantu). Dan
adalah tidak ilok (tidak boleh dilakukan) apabila seorang istri berani
membantah suaminya.

PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI


Sifat dasar yang menjadikan satu kelemahan yang juga merupakan
penghambat pembangunan di Jawa antara lain adalah sifat yang pasif
terhadap hidup, kesukaan-kesukaan terhadap kebatinan, penilain yang
tinggi yang di nyatakan dengan konsep nerimo, ketabahan yang ulet
dalam hal menderita, tetapi yang lemah terhadap hal karya.

Page | 163
Selain itu, pengaruh dari tekanan bangsa-bangsa asing yang
menjajah di Jawa serta jumlah penduduk yang semakin membeludak
menjadi salah satu penyebab lain terhambatnya pembangunan di Jawa.
Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, sudah terlanjur dirusak
oleh struktur administratif yang ditumpangkan diatasnya oleh
pemerintahan kolonial. Akibatnya masyarakat di Jawa tidak mengenal
kesatuan-kesatuan social dan organisasi adat yang sudah mantap dan
kreatif.
Dari uraian diatas masih banyak hal-hal yang dapat menghambat
pembangunan diJawa, antara lain;
a. Mental orang Jawa yang terlalu nerimo dan bersiakap pasif
terhadap hidup

b. Tekanan jumlah penduduk yang mengakibatkan penduduk desa


diJawa menjadi terlalu miskin.

c. Tidak adanya organisasi-organisasiasli yang telah mantap dan


jika dimodernisasi menjadi organisasi yang mantap, aktif serata
kreatif

d. Tidak adanya kepeimpinan desa yang aktif kreatif untuk dapat


memimpin aktivitas produksi yang bisa member hasil 3-4 kali
lebih besar dari pada sekarang tiap-tiap tahun.

Page | 164
Page | 165

You might also like