You are on page 1of 30

STRATEGI PEMANFAATAN AIR TANAH

PADA LAHAN KERING

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT


DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI
Jalan Majapahit No. 40 MATARAM

APRIL 2010
Daftar Isi

1 Pengertian dan Latar Belakang ................................................................................................ 2


1.1 Perubahan Iklim Global ................................................................................................... 2
1.2 Kekeringan ...................................................................................................................... 3
1.2.1 Kekeringan Meteorologis ........................................................................................ 3
1.2.2 Kekeringan Hidrologis ............................................................................................ 3
1.2.3 Kekeringan Pertanian .............................................................................................. 3
1.2.4 Kekeringan Sosial Ekonomi .................................................................................... 4
1.2.5 Kekeringan Antropogenik ....................................................................................... 4
1.3 Lahan Kering ................................................................................................................... 4
1.4 Air Tanah ......................................................................................................................... 5
2 Maksud dan Tujuan ................................................................................................................. 5
3 Strategi Pelaksanaan ................................................................................................................ 6
3.1 Penentuan Daerah Rawan Kekeringan ............................................................................ 6
3.2 Penentuan Type Iklim Per Zona Wilayah........................................................................ 6
3.3 Kajian Pemanfaatan Air Tanah Untuk Pertanian .......................................................... 10
3.3.1 Kebutuhan data dalam kajian ................................................................................ 10
3.3.2 Data Air Tanah Di NTB ........................................................................................ 13
3.3.3 Skenario Pemanfaatan Air Tanah .......................................................................... 18
4 Kesimpulan dan Saran ........................................................................................................... 20
4.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 20
4.2 Saran .............................................................................................................................. 20

LAMPIRAN
Konservasi Air Tanah .................................................................................................... 23
Peta Zona Musim Berdasarkan Pembagian BMG ......................................................... 24
Daerah irigasi, air payau dan intrusi air asin ................................................................. 25
Sumur Bor di NTB ........................................................................................................ 26
Gambar konstruksi sumur bor air tanah ........................................................................ 29

1
STRATEGI PEMANFAATAN AIR TANAH PADA LAHAN KERING

1 Pengertian dan Latar Belakang

Kini NTB dikatagorikan sebagai salah satu daerah yang rawan bencana. Hal itu sekaligus
membuktikan terjadinya degradasi hutan dan lahan pada ambang yang mengkhawatirkan. Suhu
udara sempat menembus 36 hingga 40 derajat celcius sehingga melahirkan berbagai bencana,
baik kesulitan air bersih, kekeringan/puso hingga munculnya berbagai wabah penyakit.
Mengantisipasi perubahan iklim tersebut, Gubernur H.M.Zainul Majdi,MA dan Wagub NTB,
Ir.H.Badrul Munir, MM mencanangkan ProgramNTB Hijau.
Selanjutnya Gubernur mengingatkan perubahan iklim yang terjadi merupakan warning
(peringatan) agar semua pihak peduli kepada hutan dan lingkungan. "Dalam membangun kita
dituntut menerapka kaedah-kaedah tata ruang yang benar, serta menghindari pola konsumsi dan
gaya hidup masyarakat yang boros sumberdaya alam" ujarnya. Pola konsumsi yang boros energi
separti air, kayu, ruang dan lain-lain, akan menyumbang emisi karbon dan bahan beracun/
berbahaya lainnya di atmosfir,
Menurutnya, Kondisi lingkungan yang buruk telah berdampak pada menurunnya produksi
pangan rata-rata per kapita sehingga dunia sedang menuju kelaparan, terjadinya pengguguran dan
musnahnya biota tertentu. Hal itu, terbukti indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor
pangan kini menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia meliputi beras, gula, jagung,
kedelai, telur dan lain-lain. "Dalam lima tahun terakhir telah terjad deforestasi rata-rata 1,2-1,5
juta hektar per tahun sehingga menimbulkan lahan kritis baru sekitar 50-an juta hektar.
Ini merupakan deforestasi terbesar di dunia, ungkapnya. Sementara itu, di provinsi NTB
saat ini masih memiliki lahan kritis seluas 509.225,75 hektar atau 25,09% dari luas daratan. Dari
luas tersebut dirinci seluas 237.592,94 hektar terletak di dalam kawasan hutan (11,61%) dan
seluas 271.632,81 hektar diluar kawasan hutan (13,4%). Dampaknya sudah terrasa, antara lain
berkurangnya sumber mata air dari 750 titik pada 5 tahun yang lalu, kini tinggal 340 titik saja,
belum lagi meningkatnya skala terjadinya berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir,
tanah longsor dan lain-lain.
Menyikapi kondisi ini, Gubernur mengajak seluruh masyarakat untuk tidak melakukan
pengerusakan lingkungan baik berupa penebangan hutan, pengelolaan lahan yang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah konversasi tanah, membuang limbah/sampah sembarangan,
menggunakan racun dalam mencari ikan, merusak daerah tangkap mata air, dan lain-lain.
Mari kita tumbuhkan semangat menanam, dengan memanfaatkan setiap jengkal tanah, maupun
pekarangan kita, ajaknya.
Kata kunci dari pidato Gubernur tersebut adalah deforestri, perubahan iklim,
kekeringan, konservasi

1.1 Perubahan Iklim Global


Dampak perubahan iklim yang diprakirakan akan menyertai pemanasan global adalah sebagai
berikut:
- Mencairnya es di kutub sehingga permukaan air laut naik
- Air laut naik, maka akan menenggelamkan pulau dan menghalangi mengalirnya air
sungai ke laut yang menimbulkan banjir di dataran rendah seperti pantai utara Pulau
Jawa, dataran rendah Sumatera bagian timur, Kalimantan Selatan dan lain-lain.

2
- Hal yang paling mencemaskan adalah berubahnya iklim sehingga berdampak buruk
pada pola pertanian di Indonesia yang mengandalkan makanan pokok beras pada
pertanian sawah yang bergantung pada musim hujan. Suhu bumi yang panas
menyebabkan mengeringnya air permukaan sehingga air menjadi langka. Ini memukul
pola pertanian berbasis air.
- Meningkatnya resiko kebakaran hutan.

1.2 Kekeringan
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang berulang.
Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan
air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan
di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut.
Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-
tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal. Klasifikasi
Kekeringan Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :

1.2.1 Kekeringan Meteorologis

Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi
normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi
pertama terjadinya kondisi kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis
sebagai berikut:
- kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di bawah
normal)
- sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan
jauh di bawah normal)
- amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah hujan
amat jauh di bawah normal).

1.2.2 Kekeringan Hidrologis

Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak
waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai,
danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya
kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
- kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan
- sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah
periode 25 tahunan
- amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh di
bawah periode 50 tahunan

1.2.3 Kekeringan Pertanian

Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas
tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode

3
tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
- kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang)
- sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena
berat)
- amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)

1.2.4 Kekeringan Sosial Ekonomi

Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai
ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian
dan hidrologis. Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum
atau air bersih sebagai berikut:

1.2.5 Kekeringan Antropogenik

Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air
lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola
tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari
perbuatan manusia. Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
- Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
- Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
- Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.

Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara meninjaunya. Ditinjau
dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak mampu lagi memenuhi
kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman pangan.

1.3 Lahan Kering


Menurut Utomo dkk.(1993) dalam Suwardji (2005), lahan kering (upland rainfed areas)
adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen
maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi, sedangkan definisi yang
diberikan oleh Soil Survey Statis (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah
tergenang atau digenagi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun, tipologi lahan
ini dapat dijumpai sejak di dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (>700 m dpl),
sedangkan menurut Hidayat dkk ( 2000) lahan kering merupakan salah satu ekosistem lahan yang
mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian , baik tanaman pangan , hortikultura
maupun perkebunan.
Dari beberapa definisi diatas, Suawarji (2005) mendifinisikan penggunaan lahan yang
termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup, sawah adah hujan, tegalan, ladang, kebun
campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang, sedangkan jenis
penggunaan lahan yang termasuk dalam lahan basah dan lainnya mencakup pemukiman dan
perkampungan, sawah irigasi, perikanan, danau, rawa, waduk dan embung. Jadi wilayah lahan
kering mencakup semua komponen yang ada di dalam maupun permukaan tanah tersebut,
baik di wilayah dengan fisiografis perbukitan (dataran tinggi upland) sampai wiayah
dataran di daerah hilir (dataran rendah).

4
Potensi Lahan Kering di NTB
Jika dilihat secara global potensi lahan kering di NTB (Suwardji 2005), mencakup
wilayah yang cukup luas mencapai 1.807.463 Ha. Atau 84 % dari luas lahan di NTB, namun dari
sejumlah tersebut yang riil dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan status lahan adalah
sekitar 626.034,6 ha atau 31 % dari luas wilayah NTB.

1.4 Air Tanah


Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 (UU No.7/2004) Tentang Sumberdaya Air dan
Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2008 (PP 43/20008) tentang Air Tanah mendifinisikan air
tanah sebagai air yang terdapat dalam permukaan tanah atau batuan dalam di bawah permukaan
tanah.
Air Tanah adalah sejumlah air di bawah permukaan bumi yang dapat dikumpulkan
dengan sumur sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan pemompaan atau dengan
pemompaan. Dapat juga disebut dengan aliran secara alami mengalir kepermukaan tanah melalui
pancaran atau rembesan, (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry,1979; Kodoatie, 1996 dalam
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) 2008)
Sedangkan menurut Soemarto (1989) dalam ESDM 2008, air tanah adalah air yang
menempati rongga-rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang terletak dibawah
permukaan tanah dinamakan lajur jenuh (saturated zone) dan lajur tidak jenuh terletak diatas lajur
jenuh sampai permukaan tanah, yang rongga-rongganya berisi air dan udara.
Air yang berada pada lajur jenuh adalah bagian dari keseluruhan air bawah permukaan
yang disebut air tanah (groundwater), air bawah tanah (undegroundwater dan sub terranean
water) adalah istilah lain yang digunakan untuk air yang berada dilajur jenuh, namun istilah yang
lazim digunakan adalah air tanah (johnson, 1972 dalam ESDM, 2008)
Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah maupun batuan baruh jenuh oleh air, lajur jenuh
yang paling atas disebut dengan muka air tanah (water tabel). Air yang tersimpan dalam lajur
jenuh disebut dengan air tanah, yang bergerak sebagai aliran air tanah melalui batuan dan lapisan-
lapisan yang ada di bumi sampai air tersebut keluar sebagai mata air , atau terkumpul masuk ke
kolam, danau, sungai dan laut (Fetter, 1994 dalam ESDM, 2008)

2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penulisan ini adalah untuk adaptasi terhadap pengaruh perubahan iklim
global yang mempengaruhi pola tanam dan kekeringan di Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan tujuannya adalah 1). Untuk menentukan lokasi/zona kekeringan baik lahan
kering maupun lahan basah, 2). Membuat Peta Type Iklim, 3). Membuat Peta prospek
pemanfaatan air tanah pada masing-masing zona, 4). Menentukan strategi antisipasi dan
rekomendasi pemanfaatan lahan.

5
3 Strategi Pelaksanaan
3.1 Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu
berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan
kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana
irigasi. Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
1. Pembuatan peta kekeringan
2. Penentuan tipe-tipe iklim
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
1. Rata-rata curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun).
2. Curah hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan.
3. Curah hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah longsor.
4. Peta dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan.
Faktanya agar dilakukan evaluasi di lapangan. Adapun kriteria yang digunakan dalam
curah hujan bulanan adalah:
1. Rendah, bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan
2. Sedang, bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan
3. Tinggi, bila curah hujan di atas 300 mm/bulan

Gambar 1. Peta Curah Hujan NTB

3.2 Penentuan Type Iklim Per Zona Wilayah


Berdasarkan letak astronomis dan ketinggian tempat, iklim terbagi menjadi dua yaitu
iklim matahari dan iklim fisis. Sedangkan klasifikasi iklim menurut para ahli sebagai berikut :
Iklim Matahari, Iklim Koppen, Iklim Schamidt - Ferguson, Iklim Oldman, Iklim Yunghunh
Dalam pembuatan peta iklim perzona klasifikasi iklim Oldeman untuk keperluan praktis
klasifikasi ini cukup berguna terutama dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan di
Indonesia khusnya di NTB.
Klasifikasi iklim ini diarahkan kepada tanaman pangan seperti padi dan palawija.
Dibandingkan dengan metode lain, metode ini sudah lebih maju karena sekaligus
memperhitungkan unsur cuaca lain seperti radiasi matahari dikaitkan dengan kebutuhan air
tanaman.
Oldeman membuat sistem baru dalam klasifikasi iklim yang dihubungkan dengan
pertanian menggunakan unsur iklim hujan. Ia membuat dan menggolongkan tipe-tipe iklim di

6
Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-
turut. Kriteria dalam klasifikasi iklim didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan
lembab (BL) dan bulan kering (BK) dengan batasan memperhatikan peluang hujan, hujan efektif
dan kebutuhan air tanaman.
Konsepnya adalah:
1. Padi sawah membutuhkan air rata-rata per bulan 145 mm dalam musim hujan.
2. Palawija membutuhkan air rata-rata per bulan 50 mm dalam musim kemarau.
3. Hujan bulanan yang diharapkan mempunyai peluang kejadian 75% sama dengan 0,82 kali
hujan rata-rata bulanan dikurangi 30.
4. Hujan efektif untuk sawah adalah 100%.
5. Hujan efektif untuk palawija dengan tajuk tanaman tertutup rapat adalah 75%.
Dapat dihitung hujan bulanan yang diperlukan untuk padi atau palawija (X) dengan
menggunakan data jangka panjang yaitu:

Padisawah: Palawija:
145=1,0(0,82X-30) 50=0,75(0,82X-30)
X=213mm/bulan X=118mm/bulan.

213 dan 118 dibulatkan menjadi 200 dan 100 mm/bulan yang digunakan sebagai batas penentuan
bulan basah dan kering
Bulan Basah (BB) : Bulan dengan rata-rata curah hujan lebih dari 200 mm
Bulan Lembab (BL) : Bulan dengan rata-rata curah hujan 100-200 mm
Bulan Kering (BK) : Bulan dengan rata-rata curah hujan kurang dari 100 mm

Selanjutnya dalam penentuan klasifikasi iklim Oldeman menggunakan ketentuan panjang


periode bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Tipe utama klasifikasi Oldeman dibagi
menjadi 5 tipe yang didasarkan pada jumlah pada jumlah bulan basah berturut-turut. Sedangkan
sub divisinya dibagi menjadi 4 yang didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut.

Oldeman membagi tipe iklim menjadi 5 katagori yaitu A, B, C, D dan E.


Tipe A : Bulan-bulan basah secara berturut-turut lebih dari 9 bulan
Tipe B : Bulan-bulan basah secara berturut-turut antara 7 sampai 9 bulan
Tipe C : Bulan-bulan basah secara berturut-turut antara 5 sampai 6 bulan
Tipe D : Bulan-bulan basah secara berturut-turut antara 3 sampai 4 bulan
Tipe E : Bulan-bulan basah secara berturut-turut kurang dari 3 bulan.

Tabel 1. Tipe Utama


NO. TIPE UTAMA PANJANG BULAN BASAH (BULAN)
1. A >9
2. B 7-9
3. C 5-6
4. D 3-4

7
5. E <3

Tabel 2. Sub Tipe


NO. SUB TIPE PANJANG BULAN KERING (BULAN)
1. 1 <= 1
2. 2 2-3
3. 3 4-6
4. 4 >6

Berdasarkan kriteria di atas kita dapat membuat klasifikasi tipe iklim Oldeman untuk
suatu daerah tertentu yang mempunyai cukup banyak stasiun/pos hujan. Data yang dipergunakan
adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah
stasiun/pos hujan yang kemudian dihitung rata-ratanya.

Gambar 2. Segitiga Oldeman


Berdasarkan 5 tipe utama dan 4 sub divisi tersebut, maka tipe iklim dapat dikelompokkan
menjadi 17 wilayah agroklimat Oldeman mulai dari A1 sampai E4 sebagaimana tersaji pada
gambar segitiga Oldeman. Oldeman mengeluarkan penjabaran tiap-tiap tipe agroklimat sebagai
berikut.

8
Tabel 3. Penjabaran Tipe-tipe Agroklimat

Hasil klasifikasi Oldeman dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan pertanian,


seperti penentuan permulaan masa tanam, penentuan pola tanam dan intensitas penanaman.

Langkah pengerjaannya: Buat tabel curah hujan bulanan rata-rata suatu daerah. Paling tidak
data yang kita perlukan untuk tiap lokasi adalah data hujan bulanan selama 10 tahun.

Tabel 4. Curah hujan rata-rata bulanan


Nama Daerah :....
Luas area: ......km2
Letak wilayah: ... LS dan .....BT

Tentukan jumlah Bulan basah atau bulan kering berturut-turut berdasarkan metode
Oldeman dan tentukan klas oldemannya (tipe utama serta subdivisinya) tiap-tiap stasiun/pos
hujan. Misalnya:

9
Tabel 5. Type Iklim Oldeman NTB (contoh tabel)
No. Kabupaten/Lokasi Kelas Rangking
Oldeman Kebasahan
Kabupaten Bima
1 Kecamatan Sape : Sumi E4 5
2 Kecamatan Sape : Lanta – Karumbu E2
3 Kecamatan Sape : Naru, Kalodu, D3
Sakuru

Kota Bima
1 Kota Bima : Rasanae Timur B1
2 Kota Bima : Asakota A2

Langkah selanjutnya membuat peta spasial berdasarkan zona klasifikasi tipe iklim
Oldemannya, contoh:

Gambar 3. Contoh Klasifikasi Iklim Oldeman

Dari peta tersebut dapat kita tentukan Luasan (dalam Ha) dan persentasenya, serta
penjabarannya seperti yang ada di dalam tabel 3. sehingga dapat diketahui rekomendasi pola
tanamnya baik pada lahan kering maupun pada lahan basah
Sebagai misal Peta hasil superimpose dengan Peta Lahan Kering, Peta Potensi Air Tanah Peta
Zona Awal Musim Hujan dll, sehing didapat gambaran secara spasil Peta Potensi Kekeringan
suatu zona/wilayah.

3.3 Kajian Pemanfaatan Air Tanah Untuk Pertanian


3.3.1 Kebutuhan data dalam kajian

Analisa untuk menentukan pola pemanfaatan air tanah pada lahan kering memerlukan data
dan kajian mengenai :

10
Tabel 6. Kebutuhan Data , Sumber Data Dan Pelaksana

No Komponen Satuan Keterangan/Kegunaa Sumber data


Penilaian/Pa dan Pelaksna
rameter
1 Peta Untuk mengetahui formasi dan Distamben
Geologi/Hidr litologi bawah permukaan (jenis Prov NTB
ogeologi/litol batuan penyusun)
ogi
2 Data/Peta 0-5 m Untuk Mengetahui paras muka air Distamben
Muka Air 6-10 m tanah, pada zona tertentu NTB,
Tanah >10 m Kimpraswil
3 Data/ Pata < 30 m Untuk mengetahui kedalam Distamben,
Akufer 30-50 m lapisan pembawa air tanah Kimpraswil
50 – 100 m (akifer)
> 100 m
4 Data/Peta Untuk mengetahui jenis Distamben,
Konservasi daerah tangkapan, daerah lepasan Kimpraswil,
Air Tana Fak Pertanian
Unram
5 Data/ Peta > 200 mm/thn Untuk mengetahui data curah Dinas
Curah Hujan 100 -200 mm/thn hujan dalam suatu wilayah Perhubungan,
< 100 mm/thn BMG, Dinas
Pertanian
6 Data/ Peta Type A Untuk mengetahui jenis iklim Dinas
Iklim Type B pada suatu wilayah/Zona Perhubungan,
Type C berdasarkan pembagian oldemen BMG, Dinas
Type D beserta ordonya atau berdasarkan Pertanian
Type E pembagian lainnya
7 Data/Peta Hutan Negara/Hutan Untuk mengetahui sebaran spasial BPN, Dinas
Penggunaan Rakyat jenis penggunaan lahan pada Pertanian,
Lahan Kebun Campuran suatu zona pemanfaatan Dinas
Ladang Kehutanan
Tegalan
Padang Rumput

8 Data/ Peta Lempung Untuk mengetahui sebaran spasial Dinas


Jenis Tanah berdebu/berliat kemampuan tanah menahan air Pertanian, Fak
Lempung (water holding capacity) pada Pertanian
Lempung berpasir halus berbagai jenis tanah Unram
Lempung berpasir
Pasir
9 Data/ Peta Luas Sebaran Spasial dan luasan lahan Dinas
Lahan Kering kering di NTB Pertanian, Fak
Pertanian
Unram

11
10 Data/Peta Sebaran Spasial DAS, Debir
Daerah Aliran Sungai, serta luasan
Sunga/Das
11 Data / Peta Mengetahui sebaran spasial dan P2AT,
sumur bor volume pemakaian air tanah Distamben
P2AT dan NTB, Dinas
instansi lain Pertanian

Parameter Satuan Keterangan Instansi


Penyisih Pelaksana
1 Rawan Luas daerah rawan longsor Distamben
Longsor
2 Kawasan Tidak dimanfaatkan untuk
Wisata pertahian
3 Intrusi Air Pemanfaatan terbatas
Laut

Perlu dilakukan koordinasi lintas instansi untuk mendapatkan kajian yang komprehensif.
Tentang penggunaan air tanah untuk mengatasi kekeringan.
Penggunaan air tanah hanya dilakukan jika layak secara ekonomi dan layak dari aspek
lingkungan lingkungan air tanah.

12
3.3.2 Data Air Tanah Di NTB

Air tanah tidak selalu terdapat secara merata di suatu daerah. Hal-hal yang menentukan
keberadaan dan potensi air tanah berdasarkan kajian Peta Hidrogeologis antara lain :
- Jenis batuan : batuan yang berumur lebih tua umumnya lebih masif dan sulit
mengalirkan air. Batuan hasil gunung api yang tersebar di NTB merupakan lapisan
pembawa air yang baik. Sedangkan batugamping dapat menjadi akuifer yang baik jika
terdapat banyak rekahan dan pasokan airtanah dari daerah resapan banyak. Eksplorasi air
tanah lebih sulit pada daerah gamping karena rekahan yang tidak seragam.
- Daerah resapan : Air tanah mengalir dari daerah resapan ke daerah lepasan membutuhkan
waktu puluhan tahun. Walaupun setting batuannya cocok sebagai akuifer, jika tidak
mendapatkan airtanah dari daerah resapan yang memadai, maka potensinya akan kecil.
- Morfologi : pada daerah pedataran muka air tanah akan lebih dangkal
- Tingkat Eksploitasi air tanah : tingkat eksplorasi airtanah yang tinggi dapat menyebabkan
turunnya muka airtanah dan intrusi air laut yang menurunkan kualitas air tanah.
Pengeboran air tanah tidak selalu 100% berhasil mendapatkan air karena faktor2 di atas, dan
penambahan kedalaman pengeboran tidak menjamin akan mendapatkan air tanah.
Pengelolaan air tanah didasarkan pada batas-batas cekungan air tanah (CAT). Saat ini ada
9 CAT diusulkan untuk ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Cekungan air tanah di NTB


Kategori CAT
Jumlah Air Tanah
Cekungan Air Tanah (CAT) Kab. /
[juta m3/tahun] Pusat Prov.
Kota
No. Nama Luas [Km2] Bebas (Q1) Tertekan (Q2) A1 A2 B C
1 Mataram-Selong 2366 662 8 x
2 Tanjung -Sambelia 1124 224 22 x
3 Sumbawa Besar 1404 183 25 x
4 Empang 345 35 3 x
5 Pekat 977 220 10 x
6 Sanggar -Kilo 1419 320 14 x
7 Dompu 375 63 6 x
8 Bima 1102 165 16 x
9 Tawali-Sape 363 36 3 x
Sumber : Badan Geologi, ESDM

13
Sumber : Distamben NTB, 2000
Gambar 3. Peta Jenis dan Potensi Akuifer di NTB

14
Akuifer di NTB berdasarkan jenis batuan penyusun dapat dibagi menjadi :
- aluvium dan endapan pantai : umumnya memiliki potensi airtanah baik, setempat
produktif, namun ada risiko intrusi air laut jika diambil berlebihan.
- batuan hasil gunung api : pada daearah pedataran umumnya memiliki potensi airtanah
produktif – sedang, sedang pada daerah pegunungan berupa daerah resapan dengan muka
air tanah yang dalam.
- batuan yang mengandung lapisan batugamping, berumur tersier : air tanah mengalir pada
rekah2an, setempat produktif tergantung pasokan daerah resapan.
- batuan lain yang berumur tersier atau lebih tua : umumnya air tanah sulit didapatkan atau
produktifitasnya rendah.
Berdasarkan Peta Kekeringan yang bersumber dari Dinas Pertanian NTB khususnya
di P. Lombok, Peta Jenis dan Potensi Akuifer di NTB (Gambar 3), hasil superimpose-nya
dapat di lihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Potensi Air Tanah P. Lombok dan Sebaran Kekeringan

15
Zona Perlindungan dan Pengendalian Pengambilan
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB telah melakukan penyelidikan potensi
airtanah untuk menentukan daerah resapan dan zona pembatasan pengambilan air tanah pada
beberapa cekungan air tanah yang ada di NTB (yang telah diusulkan untuk ditetapkan dengan
Perpres).
Peta zona perlindungan dan pengendalian ini dibuat untuk skala 1:100.000, sehingga
untuk pembatasan pengambilan pada lokasi detil perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Sumber : Distamben NTB, 2004-2006


Gambar 6. Peta Zona Pengendalian dan Perlindungan Daerah Resapan

16
Keterangan Zona Konservasi
Zona Aman Potensi Tinggi
Air tanah dapat dimanfaatkan untuk industri dan irigasi dengan debit maksimum antara 400-800
m3/hari. Untuk rumah tangga debit maksimum 50 m3/hari. Pengambilan pada pesisir perlu
dibatasi untuk menghindari intrusi air laut.

Aman Potensi Sedang


Air tanah hingga kedalaman 30 m dikhususkan untuk keperluan rumah tangga, debit maksimum
10 m3/hari.Untuk industri dan irigasi pada kedalaman lebih dari 30 m dengan debit maksimum
200-300 m3 / hari.

Aman, Akuifer bebas potensi rendah, akuifer tertekan potensi sedang


Air tanah pada akuifer bebas dikhususkan untuk keperluan air minum dan rumah tangga dengan
debit maksimum 5 m3 / hari.
Air tanah pada akuifer tertekan dapat dipergunakan untuk industri dan irigasi dengan debit
maksimum 200 m3/hari.

Aman Potensi Rendah


Air tanah dikhususkan untuk keperluan air minum dan rumah tangga dengan debit maksimum 5
m3 / hari.

Daerah Resapan
Air tanah tidak dikembangkan untuk keperluan apapun, selain air minum dan rumah tangga.
Untuk keperluan lain hanya boleh memanfaatkan mata air.

Zona Rawan
Air tanah telah menunjukkan penurunan kualitas dan muka air, tidak dikembangkan untuk
keperluan apapun, selain air minum dan rumah tangga jika tidak terdapat sumber air lain.

Berikut ini adalah superimpose Peta Kekeringan dari Dinas Pertanian NTB dengan zona
konservasi air tanah.

17
Gambar 7 Peta Kekeringan dan Zona Pengendalian Pengambilan Air Tanah

3.3.3 Skenario Pemanfaatan Air Tanah

Pemanfaatan air permukaan lebih mudah, lebih murah dan lebih kecil dampak
lingkungannya dibanding dengan melakukan pengeboran air tanah, sehingga sebelum
memanfaatkan air tanah perlu dikaji sumber – sumber air permukaan yang terdapat di suatu
daerah.

18
Prioritas Pemanfaatan Air Tanah
Jika terdapat benturan kepentingan dalam pemanfaatan air tanah, maka urutan prioritas
peruntukan dan pemanfaatan air tanah adalah :
- air minum
- air untuk rumah tangga
- air untuk perkebunan, peternakan, dan pertanian sederhana
- air untuk irigasi
- air untuk industri
- air untuk pertambangan dan energi
- air untuk usaha perkotaan.

Skenario pemanfaatan air tanah untu kepentingan pertanian dapat dikelompokkan sebagai
berikut:

Zona Aman Potensi Tinggi


Air tanah dapat dimanfaatkan untuk industri dan irigasi dengan debit maksimum antara 400-800
m3/hari. Untuk rumah tangga debit maksimum 50 m3/hari. Pengambilan pada pesisir perlu
dibatasi untuk menghindari intrusi air laut.
Pada zona ini muka air tanah relatif dangka sehingga pemanfaatan air tanah dengan
membuat sumur gali atau dengan pembuatan sumur pasak (petani telah memanfaatkan potensi ini
untuk mengembangkan sumur dangkal) dengan kedalam < 10 m, seperti contoh yang dilakukan
oleh kelompok tani di Lombok Tengah. Foto bersumber dari Food And Agriculture Organization
Of The United Nations Special Programme For Food Security: Asia

Aman Potensi Sedang


Air tanah hingga kedalaman 30 m dikhususkan untuk keperluan rumah tangga, debit
maksimum 10 m3/hari.Untuk industri dan irigasi pada kedalaman lebih dari 30 m dengan debit
maksimum 200-300 m3 / hari. Pada zona ini pemanfaatan untuk pertanian lebih dianjurkan
sumur bor dengan kedalaman minimal 40 m, kedalam ini sangat tergantung pada kedalam lapisan
akifer, dan penggunaan sumur dangkal dapat dilakukan dengan pengturan jarak antar sumur
sehingga tidak menggagu kebutuhan air rumah tangga.

Aman, Akuifer bebas potensi rendah, akuifer tertekan potensi sedang


Air tanah pada akuifer bebas dikhususkan untuk keperluan air minum dan rumah tangga
dengan debit maksimum 5 m3 / hari.

19
Air tanah pada akuifer tertekan dapat dipergunakan untuk industri dan irigasi dengan debit
maksimum 200 m3/hari.

Aman Potensi Rendah


Air tanah dikhususkan untuk keperluan air minum dan rumah tangga dengan debit
maksimum 5 m3 / hari. Pada zona pemantan untuk keperluan pertanian sangat berisiko, sehingga
lebih ditekankan untuk mengelolah air permukaan (surface water management) yang meliputi
kegiatan sebagai berikut :
1. Pengendalian aliran permukaan
2. Pemanenan air hujan (water harvesting)
3. meningkatkan kafasitas infiltrasi
4. Pengolahan tanah
5. menggunakan bahan penyumbat/penolak air pada tanah yang bersifat forous.
6. melapisi saluran air.
Sedangkan untuk mengingkatkan kelengasan tanah, mengurangi limpasan permukaan dan
meningkat kadar air tanah dapat dilakukan dengan membuat saluran peresapan, rorak yang diisi
mulsa, sumur resapan, biopori dan embung.

Zona Rawan
Air tanah telah menunjukkan penurunan kualitas dan muka air, tidak dikembangkan untuk
keperluan apapun, selain air minum dan rumah tangga jika tidak terdapat sumber air lain.

4 Kesimpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
Dari hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan air tanah untuk keperluan pertanian dapat dilakukan pada zona aman
potensi tinggi dan zona aman potensi sedang dengan membuat sumur dangkal
untuk mengantisifasi kekurangan air permukaan dan kondisi curah hujan yang
tidak dapat di prediksi,
2. Pemanfaatan air tanah zona aman potensi rendah dianjurkan untuk tidak
memanfaatkan air tanah untuk keperluan pertanian melain dengan melakukan
konservasi tanah dan air, untuk meningkatkan kelengasan tanah dan meningkatkan
kadar air tanah dengan cara membuat saluran peresapan, rorak, embung
(tradisional/moderen),biofori, dan sumur resapan
3. Pemanfaatan air tanah pada zona rawan diperuntukkan untuk keperluan air minum
rumah tangga.

4.2 Saran
1. Perlu dilakukan kajian bersama antar instasi terkait dan perguruan tinggi untuk
membuat peta type iklim spasial pada masing-masing zona, pembuatan peta spasial
kekeringan.
2. Perlu dilakukan kajian lebih detail potensi air tanah khususnya pada lahan
kering/marjinal dengan melakukan survei geofisik, sehingga dapat dibuat peta potensi
air tanah pada masing zona/wilayah lahan kering.

20
3. Perlu rekomendasi konkrit dari teknologi penggunaan lahan kering seperti agroforestri
dengan mempertimbangkan kondisi biofisik wilayah dengan pengolongan
pengembangan sebagai berikut :Agrosiviculture (pepohonan dengan tanaman
pangan),Silvopasture (pepohonan dengan tanaman pangan dan ternak dengan padang
pengembalaan, Silvofisheri (pepohonan dan ikan), Apiculture (pepohonan dan lebah),
Sericulture (pepohonan dan ulat sutra), bentuk manapun yang dipilih, teknik
konservasi tanah dan air harus menjadi komoponen pokok pengelolaanya.

21
Daftar Pustaka :

1. http://www.klimatologibanjarbaru.com/pages/publikasi/keterangan-oldeman.php, 2010
2. Suardji, B.Sc,Ir,.M.App.Sc,.Ph.D., Prof. 2005, Pengelolaan Sumber Daya Lahan Kering,
Program Magister PSLK Fakultas Pertanian Universitas Mataram, 2005
3. Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi NTB dan P3LKT Unram, Peta Lahan Kering dan
Pengembangannya
4. Dinas Pertambangan dan Energi, berbagai hasil penyelidikan.

22
LAMPIRAN

Konservasi Air Tanah


Pengambilan air tanah untuk pertanian tetap harus memperhatikan aspek konservasi air
tanah karena kerusakan air tanah akan sangat sulit dan lama pemulihannya.

Matrik Tingkat Kerusakan Kondisi dan Lingkungan Air Tanah

Penurunan muka air tanah


< 40% 40% - 60% - > 80% Amblesan
Penurunan 60% 80% tanah
Kualitas air
tanah

TDS : < 1000 mg/l


DHL: < 1000 /cm Aman
TDS : 1000 – 10.000 mg/l
DHL : 1000 – 1500 /cm Rawan Kritis
TDS : 10.000–
100.000mg/l Kritis
DHL : 1500 – 5000 /cm
TDS : > 100.000 mg/l
DHL : > 5000 /cm Rusak
logam berat dan B3

23
Peta Zona Musim Berdasarkan Pembagian BMG

24
Daerah irigasi, air payau dan intrusi air asin

25
Sumur Bor di NTB

Sumur Bor Distamben NTB dan Instansi Pusat untuk keperluan Air Bersih
Tahun Pelaksana Lobar Loteng Lotim KLU KSB Sum- Dompu Kab. Kota NTB
bawa Bima Bima
sd. Kanwil 1 7 4 3 1 1 17
2000 Tamben NTB
2001 DPE NTB 2 1 1 4
2002 DPE NTB 1 1
2003 DPE NTB 1 1 2 1 1 6
2004 DPE NTB 1 1 1 1 4
2005 DPE NTB 1 1 1 3
2006 Badan 1 1
Geologi
DPE NTB 1 1 2 1 1 6
2007 Badan 1 1 2 1 5
Geologi
DPE NTB 2 1 2 1 1 1 8
2008- Badan 3 1 1 1 1 1 1 9
2009 Geologi
DJMBP 2 2 1 1 1 1 8
DPE NTB 2 1 1 4
JUMLAH 7 18 17 1 6 10 4 7 6 76
Bor untuk air bersih memiliki debit pompa rata2 1-2 l/dt dengan waktu operasional sekitar 2 – 4
jam per hari, maka jumlah air tanah yang diambil dari 76 bor (dengan asumsi semua bor tetap
berfungsi) tersebut berkisar antara 0,2 – 0,8 juta m3 per tahun.

Bor P2AT
Jenis Bor LOBAR LOTENG LOTIM KSB+SBW DOMPU BIMA + NTB
1985-2001 1981-95 1985-97 sd th 2000 sd th 2000 KOTA BIMA
sd th 2000
Explorasi 12 18 21 51
Prod 87 106 193
Piezo 3 3
Irigasi 57 47 55 159
Air Baku 8 2 7 17
Peternakan 3 3
TOTAL 99 18 130 65 52 62 426

26
Peta Sumur Bor Distamben NTB, Badan Geologi dan DJMBP

27
Peta Bor P2AT (sebagian yg diketahui koordinatnya)

28
Gambar konstruksi sumur bor air tanah

29

You might also like