You are on page 1of 8

SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010

Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

PERANAN ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA DALAM PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN (STUDI KASUS ARSITEKTUR JOGLO PONOROGO)

Gatot Adi S
gatotadisusilo@gmail.com
Dosen Program Studi Arsitektur ITN- Malang

Abstrak
Arsitektur tradisional di wilayah nusantara hadir telah mempertimbangkan kondisi alam
tropis lembab, arsitektur tradisional tumbuh kembang di dalam alam yang menghijau
penuh dengan tetumbuhan, dan kehidupan menyatu di dalamnya. Selama ini
keberlanjutan arsitektur tradisional, telah dibentuk dan didukung oleh nilai-nilai tradisi
yang tumbuh di masyarakat. Demikian juga dengan arsitektur tradisional Jawa dapat
bertahan tumbuh bersamaan dengan nilai tradisi masyarakat Jawa dengan berbagai tipe
bangunannya.

Penelitian Joglo Ponorogo dalam penjelajahannya ditemukan beberapa hal yang


mempertanyakan keberlanjutannya joglo Ponorogo khususnya dan arsitektur tradisional
Jawa pada umumnya. Rangkaian tipe bangunan membentuk fungsi bangunan
menunjukkan bahwa ini bukanlah ciri umum arisitektur tradisional nusantara, demikian
juga dengan kenyamanan dan penerangan di dalam ruangnya. Dengan ketersediaan
bahan alam yang semakin menipis, tidak mungkin untuk menciptakan kembali arsitektur
tradisional Jawa sebesar ini, yang ada sekarang ini hanyalah sebuah warisan obyek
arsitektur yang dapat dimanfaatkan.

Bagaimana menyikapi dan memanfaatkan arsitektur tradisional Jawa untuk


keberlanjutan pembangunan sekarang ini. Sementara itu beraneka aliran warna dan
teknologi arsitektur terus mengalir deras dari dunia Barat.

Kata kunci: arsitektur tradisional Jawa, keberlanjutan, metode.

PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan yang menekankan
aspek lingkungan dalam pertimbangannya. Konsep ini telah dikenal di berbagai negara di
dunia, yang isunya berkembang sejak awal tahun 1980-an. Pandangan tentang pemikiran ini
tumbuh semakin pesat akhir-akhir ini seiring dengan hadirnya isu tentang pemanasan global
yang menyebabkan kenaikan suhu bumi. Kemudian berakibat pada perubahan iklim,
pencairan kutub yang berakibat naiknya permukaan laut, dan sebagainya.

Pemikiran ini mengundang hadirnya beberapa pemikir untuk berfikir keras menurut disiplin
masing-masing ilmunya bagaimana melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam keilmuan arsitektur, muncul beberapa pemikiran bagaimana
menciptakan arsitektur yang berkelanjutan, bagaimana arsitektur yang tidak menimbulkan
pengaruh pencemaran lingkungan, bagaimana arsitektur yang tidak menimbulkan
pemanasan global, bagaimana arsitektur yang dapat memanfaatkan kondisi alam
semaksimal mungkin, dan lain sebagainya.

Makna istilah “tradisional” berasal dari kata tradisi = trader <latin> yang maknanya adalah
mewariskan, yaitu memberikan sesuatu yang berasal dari generasi sebelumnya ke generasi
berikutnya. Yang akhirnya menjadi adat istiadat, kebiasaan, sebuah riwayat kuno, atau
turun temurun. Tradisional dalam konteks arsitektur adalah suatu kegiatan “pewarisan”
1
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

arsitektur dari generasi sebelumnya kegenerasi berikutnya yang tertanam dalam bentuk
adat istiada, kebiasaan yang turun temurun. Pewarisan dalam konteks ‘arsitektur tradisional’
ada dua macam yang pertama adalah dalam bentuk ‘prosesnya’, petunjuk-petunjuk
bagaimana mewujudkan arsitektur. Yang kedua adalah obyek arsitektur (produknya)
sebagai benda antik warisan budaya yang layak dilestarikan. Apabila obyek arsitekturnya
adalah arsitektur tradisional Jawa, maka pewarisannya adalah bagaimana proses membuat
arsitektur Jawa. Sedangkan obyeknya adalah arsitektur tradisional Jawa yang ada sekarang
ini yang sedang termakan usia.

Dari hal ini muncul pertanyaan, bagaimana posisi arsitektur tradisional Jawa dalam konteks
pembangunan berkelanjutan sekarang ini. Bagaimana arsitektur tradisional Jawa
mengantisipasi pengaruh lingkungan dan iklim yang merupakah salah satu indikasi terhadap
berkelanjutan.

ARSITEKTUR JAWA TERHADAP IKLIM TROPIS

a. Iklim Tropis lembab1.

Arsitektur tradisional Jawa tumbuh kembang di daerah Jawa Tengan, Jogyakarta dan Jawa
Timur. Daerah tersebut terletak di sebelah selatan katulistiwa yang beriklim tropis lembab.
Kendala utama pada daerah iklim tropis lembab adalah; temperatur udara yang tinggi
sepanjang tahun dan kelembapan udara yang relatif tinggi pula sepanjang tahun,
permasalahannya adalah bagaimana membuat obyek arsitektur agar mencapai standar
kenyamanan ideal, adapun standar kenyamanan yang ideal adalah: temperatur efektif
sekitar 20 – 26 C, kelembapan udara sekitar 60% dan pergerakan udara 0,25 – 0,5 m/det.

Paramater lain yang mempengaruhi agar mencapai standar kenyamanan yang ideal
terhadap arsitektur adalah, antara lain:
1) Orientasi (orientation)
Orientasi bangunan terhadap mata angin mempengaruhi perletakkan pembukaan,
karena sinar dan panas matahari dapat masuk ke dalam bangunan melalui lubang-
lubang dinding tersebut, sekaligus dapat menaikkan suhu di dalam bangunan. Selain itu
orientasi dapat pula digunakan untuk menentukan besarnya aliran udara pada suatu
tempat dan memanfaatkannya sebagai penetralisir kelembapan udara di dalam
bangunan. Dengan demikian orientasi bangunan sangat diperlukan bagi perencanaan
bangunan dan pola tata massa di daerah beriklim tropis lembab.
2) Isolasi/Penyekat ( insulation)
Isolasi terhadap panas, hujan dan pertikel-partikel yang dibawa oleh angin sangat
diperlukan. Atap harus dapat direncanakan untuk menahan hujan dan menahan
masuknya panas matahari ke dalam bangunan. Pemilihan bahan dan sistem konstruksi
diperlukan sehingga atap benar-benar dapat digunakan untuk isolasi panas dan hujan.

3) Pembayangan (shading)
Proses pembayangan adalah merupakan upaya mematahkan sinar matahari yang masuk
ke dalam bangunan, kerena sinar matahari memiliki sifat membawa serta panas
matahari.

1
Diambil dari tulisan LMF. Poerwanto, Arsitektur Tropis sebagai Jiwa Arsitektur Nusantara, Surabaya 1999

2
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

4) Pemanfaatan Tanaman (using plants)


Tanaman dapat digunakan sebagai filter debu, berier dari derasnya aliran angin dan
kebisingan suara. Tanaman juga dapat digunakan untuk menciptakan pembayangan.
Selain itu tanaman dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik akibat dari proses
fotosintesanya.
5) Sistem ventilasi atap (roof vetilation)
Atap harus direncanakan memiliki sistem ventilasi yang baik, hal ini disebabkan oleh
masuknya panas matahari ke dalam bangunan melalui atap. Namun hal ini dapat
dikurangi dengan mengalirkan udara ke dalam atap. Pemilihan bahan penutup atap, dan
bentuk atap yang dipilih merupakan cara untuk men ciptakan sistem ventilasi di dalam
atap.

b. Arsitektur Jawa/Ponorogo
Telah diketahui bersama tipe bentuk bangunan pada arsitektur Jawa terdiri dari 4(empat)
type yaitu, tajug, joglo, limasan dan kampung2.

TAJUG JOGLO LIMASAN KAMPUNG

Gambar 1: Type bentuk bangunan Jawa berdasarkan Kawruh Kalang R. Sosrowiryatmo

Adapun jenis ruang dalam rumah Jawa kategori omah (rumah tinggal bukan bangsawan)
dalam tabel yang disajikan Arya Ronald3 jenis ruangnya antara lain adalah: latar ngarep,
latar mburi, latar wetan, latar kulon, sumur, pendopo, pringgitan, dalem, sentong tengah,
sentong kiwo, sentong tengen, pawon, pawuhan. Untuk kategori griyo dan ndalem, jenis
ruangnya akan terlihat lebih komplek. Jenis ruang tersebut akan tersusun seperti dibawah
ini:

Gambar 2: Rangkaian ruang omah, termasuk di dalamnya ada latar (halaman) yang terletak di
depan, belakang dan samping rumah

Untuk omah di Ponorogo susunan ruangnya adalah sebagai berikut:

2
Pembagian type bentuk bangunan ada 4 type berdasarkan Kawruh Kalang R. Sosroworyatmo, adapun type
Panggang-pe sama sekali tidak disebut dalam naskah ini.
3
Arya Ronald, Ciri-Ciri Karya Budaya Di balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, hal 435
3
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

U
Gambar 3: Menunjukkan posisi rangkaian ruang omah di Ponorogo yang paling sederhana.

Susunan ini sangat bervariasi, diantara pendopo dan ndalem dapat juga dihadirkan
pringgitan, demikian juga dengan hadirnya langgar, regol dan sebagainya. Secara umum
susunannya adalah seperti di atas. Penggunaan tipe untuk masing-masing masa ruang tidak
ada ketentuan, didalam pengamatan dilapangkan tipe yang dijumpai dalam jenis ruangan
adalah sebagai berikut:

Jenis Ruang Tipe bangunan yang dapat digunakan


tajug juglo limasan kampung panggang-pe
• Regol Tdk. ada ada ada ada tdk. ada
• Langgar ada tdk. ada ada ada tdk. ada
• Pendopo tdk. ada ada ada ada tdk. ada
• Pringgitan tdk. ada tdk. ada ada ada tdk. ada
• Ndalem tdk. ada ada ada ada tdk. ada
• Pawon tdk. ada tdk. ada ada ada tdk. ada
• Emper tdk. ada tdk. ada tdk. ada tdk. ada ada
• Kandang tdk. ada tdk. ada ada ada ada
• Lumbung tdk. ada tdk. ada ada ada ada

Tabel 1: Penggunaan tipe bangunan pada ruang berdasarkan pengamatan lapangan di Ponorogo.

Didalam penjelajahan di Ponorogo ditemukan beberapa jenis ruang yang keberadaannya


sudah jarang dijumpai lagi, antara lain adalah:

Gambar 4: Langgar, Lumbung dan Regol, adalah jenis ruang yang jarang dijumpai. Keberadaannya
tidak pada posisinya yang tepat, karena kehadirannya tidak berfungsi seperti seharusnya.
Namun dengan adanya jenis ruang (masa bangunan) ini dapat digunakan untuk evaluasi
keberadaan arsitektur tradisional yang seharusnya.

4
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

c. Joglo Ponorogo
Adalah penelitian untuk menetapkan proporsi joglo Ponorogo, adapun temuan yang dapat
didiskusikan adalah sebagai berikut:
1. Bahwa keempat tipe bangunan Jawa terbentuk dari proses transformasi, diawali dari tipe
tajug, juglo, limasan dan kampung. Adapun proses transformasinya adalah hanya di
sektor guru saja.

TAJUG JUGLO LIMASAN KAMPUNG

2. Kehadiran sektor pananggap dan emper tidak ada ketentuan, kehadirannya hanyalah
sebagai ”pananggap” (menanggapi) sektor guru, bisa keliling sektor guru, pada bagian
depan dan belakang saja dan lain sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Proporsi dan pengukuran sektor guru joglo Ponorogo adalah:
a. Molo ”joglo ponoragan” panjangnya adalah ½ panjang
blandar panyelak dan dapat dilebihi atau di kurangi
sepanjang kurang dari ukuran keliling gelagar molo
tersebut.
b. Ketinggian soko guru ”joglo ponoragan” adalah kurang dari
diagonal dalam midhangan, kurangnya adalah tidak
melebihi dari ukuran keliling gelagar soko guru.
c. Panjang dudur ”joglo ponoragan” adalah sama dengan
panjang soko guru beserta purus-nya, ditambah atau
dikurangi maksimal sepanjang ukuran keliling gelagar soko
guru.

PEMBAHASAN dan DISKUSI


Pada tahap ini dicoba memasukkan parameter untuk mengatasi pengaruh iklim pada omah
di Ponorogo adalah sebagai berikut;
• Orientasi, omah tradisional di Ponorogo arah hadap rumah selalu menghadap ke arah
utara atau selatan. Arah memanjang (molo) membujur ke arah timur dan barat,
sehingga bagian yang memajang sedikit kena sinar matahari, sekaligus dapat menerima
tiupan angin lebih banyak. Hal ini sesuai dengan ketentuan pengatasan terhadap
pengaruh iklim, ini bila ditinjau setiap masa ruang pendopo, pringgitan dan ndalem.
Namun posisi ke tiga ruangan ini saling berimpit di tambah dengan pawon, sehingga
menjadi satu masa yang membujur ke arah selatan dan utara. Dengan demikian menjadi
tidak sesuai lagi dengan ketentuan orientasi, pertanyaannya adalah penggabungan masa
ruang ini apakah demikian seharusnya dalam arsitektur tradisional Jawa. Penggabungan
ini tidak boleh tidak menuntut hadirnya talang, padahal talang adalah produk dari
teknologi arsitektur barat.
• Penyekat, untuk di masa ruang pendopo bagian yang menuju ke arah depan
penyekatnya terbuat dari kayu yang dapat dibongkar pasang, sedangkan yang
disamping kanan dan kiri terbuat dari pasangan batu bata 1,5 bata. Untuk ndalem
penyekatnya tertutup penuh oleh pasangan batu bata, kecuali lubang pintunya. Di dalam
ndalem terdapat sentong kiwo, tengah dan tengen yang tersekat dengan menggunakan
papan kayu, sentong menyatu menjadi satu dengan ndalem. Pawon demikian juga
5
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

tersekat dengan menggunakan pasangan batu bata. Dengan tebalnya penyekat ini maka
hembusan angin tidak dapat leluasa masuk ke dalam ruang, sehingga kelembaban ruang
tidak dapat teratasi. Pertanyaannya kembali seperti pertanyaan di atas, apakah tidak
seharusnya masa-masa ruang ini saling terpisah, sehingga hembusan angin benar-benar
dapat leluasa masuk ke dalam ruang. Sedangkan ruang ndalem, dapat dibiarkan
tertutup terbatasi dengan ketebalan dinding, karena fungsinya menuntut demikian.
• Pembayangan, penahanan terik matahari langsung diterima oleh atap dari bahan
genteng, melalui celah-celah masuklah sinar
matahari menerangi di dalam ruang. Hal ini
akan menghangatkan ruang di pagi hari, namun
ketika hari mulai siang terasa ruangan menjadi
panas karena tidak adanya plafon kecuali hanya
di sektor guru saja. Ketebalan didinding yang
mengelilingi ruang dan terangkainya masa
ruang menyulitkan angin untuk berembus
meniup panasnya ruang di siang hari, sehingga
di dalam ruang menjadi hangat, terasa panas di
dalamnya. Emper yang terlindungi oleh atap
genteng dan tanpa hadirnya dinding penyekat menjadikan tempat ini sebagai tempat
kegiatan di siang hari. Lebih-lebih di ndalem yang hampir tertutup rapat oleh tebalnya
dinding batu bata terasa lebih panas dibandingkan ruang lainnya, namun akan terasa
hangat bila malam hari.
• Pemanfatan tanaman, latar (halaman) dalam arsitektur tradisional termasuk sebagai
ruang, ruang yang terbuka. Keberadaan latar mengelilingi masa bangunan yang
menyatu menjadi satu yang disebut omah. Keberadaan latar dapat dipakai untuk
menanam beraneka tumbuhan pelindung, perdu maupun tanaman produksi. Namun
karena kurang begitu serius dalam pengelolaan latar ini, maka tidak jarang yang
dibiarkan gersang dan tidak teratur. Bahkan kondisi sekarang ini banyak yang didirikan
bangunan rumah ”model” sekarang.
• Sistem ventilasi atap, Untuk tipe joglo dan limasan tidak ada lubang ventilasi yang
dirancang khusus untuk mengalirkan udara ke dalam atap. Sedangkan untuk tipe tajug
dan kampung dimungkinkan untuk mengalirkan udara ke dalam atap. Namun demikian
dengan menggunakan bahan atap dari genteng, dimungkinkan angin masih dapat
berembus melalui celah-celah genteng. Hal ini masih belum cukup menjadikan ruang
nyaman, karena tanpa adanya plafond. Sistem ventilasi atap ini akan tidak diperlukan
apa bila tiap-tiap masa ruang terpisah, dan berjarak cukup sehingga hembusan angin
dapat menetralisir rambatan panas di dalam ruang.
• Ditemukannya masa ruang dalam survey di Ponorogo yaitu langgar, lumbung dan regol
dan luasnya latar (halaman) ada kemungkinan bahwa asal awalnya setiap masa ruang
untuk arsitektur tradisional Jawa saling terpisah. Dengan terpisahnya setiap masa ruang
ini maka ketentuan arsitektur tradisional Jawa benar-benar telah mempertimbangkan
kondisi alam yang beriklim tropis lembab ini.
• Setiap tipe bangunan (tajug, joglo, limasan, dan kampung) pada umumnya terdiri dari
sektor guru, sektor pananggap, dan sektor emper. Sehingga bila ketiga sektor ini hadir
semua, bahkan untuk sektor pananggap ini dapat dihadirkan dua, maka bangunan
arsitektur tradisional Jawa ini tampak besar sekali, dan dapat menampung banyak
orang. Sehingga dapat digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga, hal ini sesuai
dalam ungkapan Jawa, ”mangan gak mangan sing penting kumpul”. Bila dicermati pada
temuan penelitian Joglo Ponorogo, peranan pananggap ini tidak penting, keberadaannya
6
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pemilik omah. Artinya sebuah tipe
bangunan tanpa hadirnya pananggap maka namanya tetap tipe tersebut, dengan kata
lain penamaan tipe itu terfokuskan pada bentuk atap di sektor guru saja. Bahkan cukup
hanya menghadirkan sektor guru saja, sudah dapat disebutkan tipe bangunannya.
• Bila ingin menghadirkan arsitektur Jawa yang asli, permasalahan pokoknya adalah bahan
kayu yang dibutuhkan. Misalnya saja bahan untuk soko guru untuk tipe joglo kecil, akan
dibutuhkan balok kayu ukuran 20x20 cm dengan panjang 470 cm. Belum balok kayu
untuk elemen yang lainnya, tentu akan dibutuhkan biaya yang besar untuk membuat
masa ruang tipe joglo, belum masa ruang lainnya. Sehingga rumah-rumah dengan tipe
joglo yang ada sekarang ini adalah merupakan peninggalan dari nenek moyang yang
terdahulu.

KESIMPULAN
1. Bahwa arsitektur tradisional yang ada di nusantara, keberadaannya telah teruji dan
adaptif terhadap kondisi alam nusantara (iklim tropis lembab), baik itu orientasi,
pemilihan bahan dan lain sebagainya, dipadu dengan unsur budaya setempat. Salah satu
cirinya adalah satu masa terdiri dari satu fungsi, seperti misalnya arsitektur Madura,
arsitektur Bali, arsitektur Lombok dan sebagainya. Contoh tersebut adalah memang
arsitektur tradisional yang dalam satu komplek yang terdiri dari banyak masa,
bagaimana untuk arsitektur tradisional dengan masa tunggal dan besar misalnya
arsitektur Minang, arsitektur Rumah Panjang, arsitektur Bugis. Maka untuk arsitektur
tradisional yang demikiaan agar adaptif dengan alamnya dibuat panggung sehingga
angin berhembus melalui lubang bawah panggung. Bagaimana dengan arsitektur
tradisional Jawa? Seperti dalam bab diskusi di atas masalahan panasnya ruang diindikasi
disebakan karena berimpitnya masa bangunan (pendopo, pringgitan, ndalem, dapur
saling bergandengan). Dari kasus arsitektur tradisional yang lainya, arsitektur Jawa
seharusnya masa-masa tersebut terpisah dengan yang lainnya, dengan ditemukannya
dalam penjelajahan, masa langgar, lumbung dapat menujukkan bahwa sebenarnya
arsitektur tradisional Jawa terdiri dari banyak masa.
2. Pengertian omah dalam arsitektur tradisional adalah sebuah komplek yang dibatasi oleh
pagar yang mengelilingi komplek tersebut. Di dalam komplek tersebut terdiri dari
beberapa masa bangunan dan halaman antara lain adalah: regol, pendopo, pringgitan
ndalem, pawon, kandang, lumbung, langgar, latar ngarep, latar etan, latar kulon, latar
mburi, sumur dan sebagainya. Ini adalah ruang-ruang yang ada pada omah arsitektur
tradisional Jawa, ini setara dengan sebutan ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan,
kamar tidur, dapur pada arsitekur barat. Latar (halaman) adalah ruang terbuka yang
bisa diberi tanaman pelindung, perdu dan sebagainya, dengan demikian dapat berfungsi
sebagai filter terhadap angin dan panas matahari.
3. Selain sebagai sebuah pengetahuan arsitektur sekarang ini, bagaimana keberlanjutan
arsitektur tradisional Jawa? ada tiga langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Menghadirkan murni sesuai dengan apa adanya, permasalahannya adalah besarnya
biaya yang akan dibutuhkan. Biaya tersebut digunakan untuk pembelian lahan dan
pembelihan bahan kayu yang dimensinya perlu pemesanan khusus. Bagaimana
apabila bahannya diganti dengan struktur beton dan dibungkus dengan panil kayu?
Dapat juga disiasati demikian, yang perlu diperhatikan adalah proporsi dan ragam
hias yang dihadirkannya. Pemahaman rumah dalam konteks arsitektur barat
menghalangi pola pandang arsitektur masyarakat untuk terciptanya omah dalam

7
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

arsitektur masyarakat. Yang mungkin adalah aleh fungsi untuk perkantoran dan
sebagainya dengan format omah pada arsitektur tradisional Jawa.
b. Menghadirkan ragam hias arsitektur Jawa pada arsitektur barat, sehingga mampu
memberikan kesan ”Jawa” pada suasananya. Dapat juga dipadu dengan musik dan
berbusana Jawa akan mampu lebih memberikan suasana ”Jawa” tadi. Langkah ini
sering dipakai dalam menghadirkan arsitektur yang ”Jawa”.
c. Seperti apa yang dikatakan oleh Jorge Selvitti, saluran kreatifitas transformasi yang
pertamakali harus dicari adalah penetapan “kode-awal”nya dan mencari
pengendalinya. Tipe pada arsitektur traidisional Jawa dapat ditetapkan sebagai
“kode-awal” dalam konteks arsitektur sekarang ini. Suatu misal menggunakan
temuan Joglo Ponorogo, sebagai kode awalnya adalah bentukkan di sektor guru saja,
dapat digunakan untuk lantai banyak dengan tetap memperhatikan proporsinya.
Menghadirkan pananggap sebagai kanopi setiap lantai, yang jelas bentukan di dalam
arsitektur tradisional ini dapat dimanfaatkan untuk kreatifitas berarsitektur.
4. Harus bangga bertempat tinggal di nusantara yang penuh dengan aneka budaya dan
arsitektur tradisional, seperti pesan Peter Eisenman; ”bagi para arsitek di negara
berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada
umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki
referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber
konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai
sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat
seperti halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek”.

DAFTAR PUSTAKA
_______ (1999); Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Refleksi Arsitektur;
Nadira; Surabaya.
_______ (1999); Proseding Simposium Nasional: Jelajah Penalaran Refleksi Arsitektural;
Laboratorium Perkembangan Arsitektur; Nadira-Surabaya.
Klassen, Winand (1990); Architecture And Philosophy; University Of San Carlos Cebu City;
Philipines.
Krier, Rob (1988); Architectural Composition; Rizzoli; New York.
Mangunwijaya, YB (1998); Wastu Citra; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
Prijotomo, Josef (1995); Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa; Gadjahmada
University Press; Yogyakarta.
Prijotomo, Josef (1988); Pasang Surut Arsitektur di Indonesia; CV. Ardjun; Surabaya.
Prijotomo, Josef (2006); (Re-) Konstruksi Arsitektur Jawa; PT. Wastu Lanas Grafika; Surabaya.
Pangarsa, Galih Wijil (2006); Merah Putih Arsitektur Nusantara; Andi Offset; Jogyakarta
Ronald, Arya (1997); Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Keagungan Rumah Jawa; Universitas
Atmajaya; Yogyakarta.
Susilo, Gatot Adi (2000); Kawruh Kalang Arsitektur Ponorogo; Program Pasca Sarjana Arsitektur
ITS; Tesis Magister; (tidak dipublikasikan).
Susilo, Gatot Adi (2009); Transfomasi Dalam Arsitektur Jawa; Prosiding Seminar Nasional:
Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan
Jurusan Arsitektur Universitas Merdeka Malang, Malang.
Susilo, Gatot Adi (2009); Joglo Ponoragan (Pembakuan Proporsi Joglo Ponorogo); Laporan
Penelitian Dosen Muda DIPA No. 1770/23-04.0/XV/2009 Direktorat Jendaral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

You might also like