Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
H. Pawit M. Yusup
I. PENGANTAR
II. PERMASALAHAN SEPUTAR PRAKSIS KOMUNIKASI PENDIDIKAN DAN
PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS
III. BERAGAM PENDEKATAN DALAM PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMBELAJARAN
KELAS
1) Konsep umum pendidikan
2) Landasan filosofi Komunikasi Pendidikan dan Pembelajaran
3) Pendekatan teori disiplin mental
4) Pendekatan teori belajar aktualisasi diri dan apersepsi
5) Pendekatan teori belajar behavioristik
6) Pendekatan teori belajar sosial dari Bandura
7) Pendekatan teori belajar kognitif
8) Pendekatan teori pengembangan sosial dari Vygotsky
9) Pendekatan teori belajar struktural dari J. Sacndura
IV. PENDEKATAN KONSTRUKTIFISME DALAM PELAKSANAAN KOMUNIKASI
PEMBELAJARAN KELAS
V. MODEL-MODEL PENDEKATAN KONSTRUKTIFIS DALAM PELAKSANAAN
KOMUNIKASI PEMBELAJARAN KELAS
1) Model pendekatan action research
2) Model pengembangan sosial dari L. Vygotsky
3) Model pengembangan struktural dari J. Scandura
4) Model pendekatan falsifikasi dari Popper
5) Model pendekatan berfikir struktur penjelasan dari Carl Gustav Hempel
6) Model perubahan paradigma ilmu dari Thomas S. Kuhn
7) Model experiential learning tools
8) Model pendekatan web-based science lessons
9) Model multimedia pembelajaran
VI. KESIMPULAN
VII. DAFTAR PUSTAKA
1
Pendekatan Konstruktivisme dalam Praktek Komunikasi
Pendidikan dan Pembelajaran
Oleh:
1
H. Pawit M. Yusup
I. Pengantar
Secara jelas kita bisa melihat bahwa banyak sekali realita permasalahan
komunikasi pendidikan yang tampak di sekitar kita, baik realita yang bersifat
praktek keseharian, formal, nonformal, ataupun informal. Fakta seperti ini bisa
dilihat di berbagai pemberitaan mengenai permasalahan komunikasi pendidikan di
media massa, di kegiatan-kegiatan seminar, dan di kegiatan praktisi komunikasi
pendidikan dan pembelajaran pada umumnya.
Selain itu, realita dan permasalahan pendidikan pun bisa dilihat dari aspek
sumber-sumber pelaku pendidikan sendiri, misalnya dari para pendidiknya, dari
para pembelajarnya (siswa dan mahasiswa), dari orang tua siswa, ataupun dari
masyarakat yang peduli terhadap pelaksanaan pendidikan. Pada bagian pengantar
ini, penulis sajikan realita dan fakta seputar permasalahan pendidikan dan
komunikasi pendidikan di Indonesia yang diambil dari beragam pemberitaan media
cetak dan elektronik.
1
Lektor Kepala pada Jurusan/Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran
2
Fakta seputar praktek komunikasi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di
lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak.
Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan
SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah
peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya
baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu
meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran- rakyat.com), diakses tanggal 10
Juli 2007.
Data yang cukup menghebohkan adalah kasus di kabupaten Takengon, Aceh.
Sekitar 70 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah anak sekolah, demikian
disampaikan Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin, MM dihadapan 120 pendidik
pada acara workshop penanggulangan bahaya narkoba bagi guru SMP/ MTsN,
SMU/MA dalam kabupaten Aceh Tengah, Kamis (10/12) yang berlangsung di
Gedung Pendari Takengon. Menurut bupati Nasaruddin, dari 70 persen tersebut,
22.000 kasus pengguna narkoba dengan status anak SMA, 6000 kasus anak SMP,
dan 3000 kasus anak SD. Sangat memprihatinkan jika kondisi ini benar-benar
terjadi, maka generasi masa depan yang bagaimana yang terjadi. (Sumber:
www.bataviase.co.id (11 Dec 2009, diakses tanggal 31 Maret 2010). Selain itu.
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian narkoba oleh
pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Data ini
begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya kasus narkoba (lihat
data narkoba BNN 2007) khususnya di kalangan usia muda dan anak-anak,
penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat dan mengancam. Dan dari keseluruhan
kasus HIV/AIDS, hampir 50% penularannya dikarenakan penggunaan jarum suntik
(narkoba) (Ditjen PPM&PL Depkes, 2007). Penyebaran narkoba menjadi makin
mudah karena anak SD juga sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak
jarang para pengedar narkoba menyusup zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek
kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya (Joyce Djaelani Gordon-aktifis anti
drugs & HIV/AIDS, 2007). (Sumber: Raihana Alkaff pada www.kesrepro.info hari
Rabu tanggal , 4 Sepember 2008; diakses 31 maret 2010).
Di sisi lain, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit
HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan
Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS,
menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS
menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar
SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan
SD/MI sebesar 11% (news.okezone. com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah
mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas
Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994
meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat
194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain.
3
Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan
tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke
tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering
tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga
tempat sekaligus (www.smu-net. com).
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang
sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan
yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009
diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
Saat ini di berbagai kota sudah mulai dikembangkan yang namanya e-
learning yaitu sistem pendidikan yang menggunakan media internet dan elektronik
untuk mendukung sistem pembelajaran tersebut. Sudah banyak juga universitas
ternama di indonesia yang mengembangkan e-learning, bahkan para ahli di dunia
luar negeri memprediksi pada tahun 2020 seluruh dunia akan menggunakan
elearning sebagai sistem kurikulum pendidikannya. (www.wordpress.com. Diakses
13 Juli 2009).
Kasus amoral
Cukup banyak pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik tentang
kelakuan guru yang amoral, antara lain yang terjadi di Medan yang diberitakan
ANTARA 21 November 2009, yakni seorang guru Sekolah Dasar (SD) Desa Sipan,
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, Erwin Ronaldo Panjaitan (27) yang dituduh
melakukan amoral terhadap beberapa murid wanita. Hal kriminal seperti ini juga
terjadi di Mojokerto. Guru cabul lagi ngajar ditangkap. Ini terjadi di MOJOKERTO.
Petugas Polres Mojokerto menangkap seorang guru MTS Mambaul Arrosyidi,
berinisial YM (28), warga Prambon, Kabupaten Sidoarjo. YM diduga mencabuli
murid perempuan asal Mojokerto. Tersangka ditangkap ketika sedang mengajar
belum lama ini. Penangkapan guru Bahasa Inggris itu bermula dari laporan orangtua
Bg (bukan nama sebenarnya) ke Polres Mojokerto. Menurut ayah Bg, YM pernah
4
membawa lari anaknya dan diajak menginap di sebuah penginapan di Pacet,
Agustus 2008. “Tersangka ditangkap di sekolahnya dan tidak melawan,” kata AKP
Kusworo Wibowo SH SIk, Kasat Reskrim Polres Mojokerto, didampingi Kanit
Perlindungan Perempuan dan Anak Aiptu Sri Wahyuni SH.
Menurut Kusworo Wibowo, YM—yang sudah memiliki satu anak—pada
Agustus membujuk korban yang baru berusia 14 tahun dengan iming-iming bakal
dinikahi. “Mungkin karena janji pelaku tak terbukti, akhirnya korban ngomong ke
orangtuanya,” kata Kusworo. (dos). (Sumber: Kompas.com. diakses tanggal 31
Maret 2010).
Guru amoral
Sidang pencabulan tiga siswi sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, SMP
Budi Waluyo, Jakarta Selatan oleh oknum gurunya, Eddie Murjono digelar dengan
agenda pemeriksaan tiga saksi korban Iv (13), Vn (13) dan Ln (16). Sidang yang
digelar di Ruang Kresna PN Jakarta Selatan, Rabu mulai pukul 15.00 WIB itu
diselenggarakan secara tertutup dipimpin oleh Majelis Hakim Ahmad Sobary, JPU
Danang Lestari sementara terdakwa Eddie didampingi kuasa hukumnya. Saksi
korban yang pertama didengar keterangannya adalah Iv yang didampingi petugas
dari Pusat Pemberdayaan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak atau P2TP2A
Pemda DKI Jakarta. Setelah diperiksa selama sekitar 30 menit, giliran Vn disusul Ln
masih didampingi petugas yang sama. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Eddie
Murjono menjadi pesakitan dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak
didiknya. Tim Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Danang Lestari menjerat Eddie
dengan pasal dakwaan dari KUHPidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak atas
serangkaian perbuatan yang dilakukannya pada September 2006 lalu. Atas
perbuatannya, Iv dan Vn yang masih duduk kelas I itu berhenti dari kegiatan belajar
di SMP Budi Waluyo sementara Ln yang tertua di antara ketiganya meneruskan
studi di kelas III sekolah tersebut. (Sumber: Kapanlagi.com – 31 Maret 2010).
Beberapa contoh realita dan fakta terkait dengan kasus-kasus permasalahan
praksis pendidikan, termasuk komunikasi pendidikan dan pembelejaran
sebagaimana disebutkan di atas, hanyalah sebagian kecil saja yang terungkap ke
permukaan. Namun demikian, fakta seperti itu sangatlah pantas untuk dijadikan
indikasi bahwa permasalahan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, sangat
tercoreng karenanya.
5
o Masalah personal: Tidak merata dalam banyak hal. Tidak semua manusia
Indonesia memiliki kesempatan, hak, fasilitas, kemampuan akses, dan
penanganan yang sama dalam menerima pendidikan dan pembelajaran.
Sebabnya bisa banyak dan beragam. Teori perbedaan individu, teori digital
divide, dan teori information literacy, bisa digunakan untuk menunjukkan hal itu.
o Masalah situasional: Manusia Indonesia pun berbeda kemampuan belajarnya
jika dilihat dari aspek geografis, situasi, dan kondisi faktualnya. Manusia di bagian
timur Indonedia tidak sama dalam ragam penerimaan pembelajarannya dengan
manusia Indonesia di bagian barat dan lainnya. Kondisi dan situasi sekolah di
mana pun berada bisa berbeda satu dengan lainnya. Sekolah di desa-desa
berbeda dalam hampir segala hal dengan sekolah di kota-kota.
o Masalah dan kesenjangan literasi: Kemampuan literasi manusia Indonesia juga
tidak sama, dari yang betul-betul buta huruf latin hingga buta literasi informasi
pengetahuan. Ada yang tahu banyak mengenai segala hal, misalnya politik,
hukum, dan sosial lainnya, ada juga yang samasekali tidak mengetahuinya. Ini
terkait dengan ketidaksamaan akses informasi.
o Masalah dan kesenjangan kognisi: Kesenjangan kognisi sifatnya menyeluruh di
wilayah Indonesia, termasuk di komunitas tertentu. Ini sifatnya kontekstual.
o Masalah dan kesenjangan afeksi: Ilmu bukan hanya pengembangan kognisi
seperti yang sekarang dianggap dominan. Masalah sikap, rasa, citra, dan
apresiasi dalam pendidikan kita sering diabaikan. Pendidikan Agama sering
terkesan cognitive implementation.
o Masalah dan kesenjangan konasi: Ini terkait dengan keterampikan dan
kemampuan motorik siswa yang sering tidak sebanding dengan tuntutan zaman.
Lulusan sekolah tidak siap pakai atau siap kerja.
o Masalah dan kesenjangan informasi: Terpaan informasi demikian pesat dan tak
terbendung, mengakibatkan tidak bisa diserap oleh semua orang secara
proporsional. Banyak informasi yang selayaknya diserap oleh siswa, tidak sampai
akibat kalah bersaing dengan terpaan informasi dari beragam media hiburan.
Informasi pendidikan menjadi tidak diminati siswa. Banyak orang serba tahu,
akan tetapi di sisi lain banyak juga yang tidak tahu.
o Masalah dan kesenjangan sosial ekonomi: Masalah ini yang amat kita rasakan
dewasa ini. Orang yang kaya amat dimungkinkan mengembangkan potensi
belajarnya akibat memiliki beragam fasilitas pendidikan, sementara mereka yang
kurang beruntung secara ekonomi menjadi amat tertinggal dalam belajar.
o Masalah dan kesenjangan teknologis: Di tingkat komunitas mana pun, akan
selaku terjadi kesenjangan teknologis. Ini diakibatkan oleh perkembangan
teknologi yang amat pesat sehingga tidak mungkin bisa diikuti oleh siapapun.
o Masalah dan kesenjangan pola pemikiran: Pola-pola pemikiran yang dipengaruhi
oleh lingkungan personal dan sosial masyarakat, termasuk lingkungan
pendidikan, ekonomi, dan kepercayaan, akan mengakibatkan pola pemikirannya
berbeda satu sama lain, terutama jika dihadapkan kepada permasalahan
kehidupan dan pendidikan. Orang dengan latar belakang berbeda di dalam kelas,
6
misalnya, akan menerima secara berbeda pula informasi pendidikan dari
gurunya.
o Masalah dan kesenjangan komunikasi: Masalah komunikasi sering diabaikan
dalam pelaksanaan pendidikan, termasuk komunikasi pendidikan dan
pembelajaran di dalam kelas. Materi pembelajaran di dalam kelas sering tidak
ditangkap secara utuh oleh sebagian siswanya akibat adanya kesenjangan
komunikasi dalam pembelajaran.
o Masalah dan kesenjangan penggunaan logika: Ini berkaitan dengan penggunaan
metode pembelajaran yang keliru. Disebut juga dengan kegagalan memilih
metode pembelajaran dan komunikasi pembelajaran. Membelajarkan anak SD
tidak sama dengan membelajarkan anak SMP dan SMU, juga mahasiswa.
7
Landasan filosofi Komunikasi Pendidikan dan Pembelajaran
Berbicara tentang psikologi termasuk psikologi belajar sebagaimana orang telah
mengenalnya, sebenarnya bersandar pada konsepsi tertentu sifat dasar manusia. Ia
banyak menjelaskan tentang hakekat manusia dalam hidup dan kehidupannya. Oleh
karena itu psikologi banyak kaitannya dengan filsafat tentang manusia.
Tentang keberadaan manusia dipandang dari segi fisik, dari segi mental, atau dari
segi keduanya sekaligus. Atau mungkin juga dari segi-segi yang lain, seperti misalnya
manusia adalah hewan dengan ciri-ciri tertentu, manusia adalah makhluk yang unik,
dll. Pokoknya banyak teori tentang manusia yang hingga kini masih terus
berlangsung.
Mulai dari pandangan-pandangan yang bersifat introspektif filsafati yang banyak
dikembangkan di masa lalu sebelum pengetahuan yang bersifat ilmiah-empiris lahir,
hingga berkembang menjadi beragam teori yang bersifat empiris. Baik pandangan
tersebut mengarah kepada situasional centered atau situasional oriented seperti
tergambar dalam banyak penganut teori behavioristik, maupun pada yang bersifat
person oriented.
Semua itu digali dan kemudian dikembangkan oleh para ahli bidang-bidang
psikologi pada umumnya. Beberapa ahli yang mengembangkan teori ini seperti Kurt
Lewin, E.C. Tolman, John Dewey, dan beberapa orang lainnya, banyak digunakan
konsep-konsepnya sebagai bahan penjelasan. (Bigge, 1982).
Manusia menurut visi beberapa teori belajar berbeda satu sama lain, bahkan ada
yang tampak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka ada
8
yang tampak saling menjatuhkan, meskipun apabila disadari secara bijak, tidak ada
satu teori pun yang benar-benar ingin atau bertujuan merobohkan teori lainnya.
Hakekat adanya teori sebenarnya saling melengkapi satu sama lain. Hal ini demikian
karena tidak ada satu buah teori yang bisa berlaku umum di semua situasi dan
kondisi dan semua bidang masalah. Yang ada hanyalah bahwa teori yang satu lebih
cocok dan sesuai untuk diterapkan dalam bidang permasalahan tertentu, sedangkan
teori lainnya kurang cocok, misalnya.
Salah satu teori belajar yang belakangan muncul adalah yang berbasis pada
psikologi kognitif, yang merupakan rival atau setidaknya tidak sama pandangan-
pandangannya dengan konsep psikologi behavioristik, konsep introspektif, atau teori
nonempiris lainnya. (Lihat, Bigge, 1984; dan Littlejohn, 1988: 68-94).
Landasan filosofi:
Sebelum sampai kepada masalah pokoknya, orang perlu paham lebih dahulu akan
konsep dasarnya, bahwa manusia secara psikologis bisa dianggap sebagai makhluk
yang berciri sebagai berikut:
Manusia mempunyai instink dan kebutuhan. Pandangan ini mendasari banyak
teori tentang konsep manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Karena dasarnya instink dan kebutuhan, maka segala
hal yang bergerak atau digerakkan oleh kedua dasar itulah yang akan menjadi
kenyataannya. Orang melakukan sesuatu itu atas dasar instink, atau atas dasar
kebutuhan untuk memenuhinya. Jelasnya hal ini merupakan pandangan
aktualisasi diri. Juga pandangan-pandangan humanisme psikedelik dan
apersepsi yang dikembangkan oleh Herbart dan para pengikutnya. Pandangan-
pandangan ini mengarah kepada perbuatan-perbuatan manusia yang bisa
diterka melalui teori introspeksi. Dengan merenung dan mengamati pola kerja
dan pola pikir yang ada pada diri sendiri, kemudian direfleksikan untuk
kejelasan-kejelasan sebuah gagasan, termasuk untuk menjelaskan tentang
manusia lainnya dalam perilaku kehidupannya.
Pandangan kedua adalah bahwa manusia dianggap sebagai organisme yang
pasif-reaktif terhadap lingkungannya. Segala perilaku kehidupannya banyak
dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Orang berbuat itu sebenarnya
ia sedang mereaksi suatu stimulus yang datang dari luar. Jadi perubahan
perilaku yang terjadi pada manusia sebenarnya merupakan adanya hubungan
yang lancar antara stimulus dan respons (S-R bond). Konsep ini diawali oleh
Pavlov; dan teorinya dikenal dengan behaviorisme Pavlovian, yang tampak
dalam cabang dan pengembangannya seperti koneksionisme, pembiasaan
klasik, dan pembiasaan berinstrumen. Untuk ini pandangan filsafatnya adalah
realisme saintifik atau empirikisme logis.
Pandangan yang ketiga adalah bahwa manusia itu mempunyai kemauan,
berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif. Ia tidak dianggap sebagai
makhluk yang secara utuh dipengaruhi oleh lingkungannya, akan tetapi justru
ia berusaha untuk membentuk lingkungannya sesuai dengan kemauannya dan
9
seleranya. Ia berusaha untuk memahami lingkungannya, dan oleh karena itu ia
berpikir (homo sapiens). Pandangan ini dikenal dengan kognitif; dan teorinya
disebut dengan psikologi kognitif. Pandangan filsafatnya adalah pragmatisme
atau relativisme ruang kognitif. Pandangan yang ketiga ini yang kelak
berkembang menjadi teori belajar konstruktivisme yang dikembangkan oleh
psikologi kognitif, psikologi gestalt, dengan para pelopornya antara lain adalah
EC Tollman, Piaget, Koffka, dan ML Bigge. (Bigge, 1982).
Konsep apersepsi
Apersepsi (apperception) adalah belajar yang berpusat pada ide (idea-centered
learning). Suatu ide dipahamkan (apperceived) jika muncul dalam kesadaran serta
dicerna atau dipadukan dengan ide-ide sadar lainnya. Dengan demikian, apersepsi
adalah suatu proses penghubungan ide-ide baru dengan ide-ide lama.
Konsep apersepsi berbeda dengan konsep disiplin mental dan pengungkapan
alami. Ia merupakan asosiasianisme mental secara dinamis yang didasarkan pada
premis (dasar pikiran atau alasan) fundamental bahwa tidak ada ide-ide bawaan
(innate); segala sesuatu yang yang diketahui oleh manusia itu datang dari luar dirinya.
Ini berarti bahwa pikiran (mind) seluruhnya kira-kira berisi gabungan kesan-kesan
dasar yang diikat bersama oleh asosiasi, dan dibentuk ketika bidang studi atau
pelajaran disajikan dari dan dengan atau tanpa asosiasi tertentu, atau penghubungan
dengan isi pikiran terdahulu (sebelumnya).
11
Pendekatan teori belajar kognitif
Dalam psikologi kognitif, manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang
bereaksi secara pasif pada lingkungannya sebagaimana anggapan aliran
behaviorisme, tetapi ia dianggap sebagai makhluk yang berusaha memahami
lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir (homo sapiens). Istilah kognitif itu
sendiri (inggris cognitive) berasal dari kata latin cognoscere yang artinya
mengetahui (to know) (Bigge, 1984:171). Teori belajar kognitif ini banyak
mempermasalahkan bagaimana orang memperoleh suatu pemahaman akan dirinya
serta lingkungannya itu.
Psikologi kognitif merupakan rival atau setidaknya tidak sebagai yang tidak
sama pandangan-pandangannya dengan konsep psikologi behavioristik, konsep
introspektif, atau teori nonempiris lainnya. (Lihat, Bigge, 1984; dan Littlejohn, 1988:
68-94).
Teori ini mencoba menjelaskan kesadaran sebagai akhir dari produk sosialisasi
seseorang (anak). Contohnya ketika seseorang akan melakukan komunikasi dengan
teman-teman sekelasnya ketika sedang belajar bahasa, pertama ia akan
melakukannya secara internal (dalam hati) sebelum memverbalkannya atau
mengkomunikasikannya secara langsung ke teman-teman kelompoknya.
Teori ini memang masih termasuk ke dalam rumpun teori belajar sosial dari
Bandura, terutama pada praktek belajar situasional, namun teori ini lebih
memfokuskan diri pada pengembangan kognitif, yang mirip dengan paham Piaget
dalam pemahaman teori belajarnya.
12
komponen yang lebih kecil lagi sampai akhirnya sampai kepada aspek yang paling
kecil. Kira-kira berkembangnya secara deduktif dalam matematika.
Beberapa teori belajar yang lain yang sebenarnya masih relevan tidak akan
dikemukakan di sini, karena makalah ini dikhususkan pada pendekatan teori belajar
konstruktivisme. Beberapa teori belajar dimaksud antara lain adalah: Pendekatan
teori-teori belajar dalam kelompok, Pendekatan aplikasi komunikasi interpersonal,
Pendekatan teori belajar dengan media dan multimedia, Pendekatan teori belajar
dengan media baru: e-learning, dan Pendekatan teori belajar dalam konteks
Computer Mediated Communication (CMC). (Brown, Christine D. 2001).
13
Epistemol Objectivist.Dua Modified Subjectivist. Modified
ogy list (knower objectivist Interactive. transactional
can be (objectivity Researcher and or subjectivist
independent approximated by subject are epistemology
of the known). external interdependent.
Bebas nilai verification.)
Hasil Context & time Context & time Context & time 'Good'
penelitian independent dependent dependent Research’.
(Outcome generalisations generalisations working Peneliti
s of the leading to leading to models hypotheses perlu
research). 'natural' for predictions. leading to mendiskusi
Results. immutable Probabilistically understanding. kan makna
(unchangeable true laws. Hipotesis kerja dan konsep
) laws or (bergantung digunakan yang
predictions. konteks dan untuk dikembang
(Prediksinya waktu. memahami kan
tak dapat Generalisasi konteks dan
diubah). mengarah ke waktu.
model)
16
Banyak bentuk pendekatan yang dilakukan secara action research, namun
pada dasarnya merupakan suatu metode yang mencakupi: identifikasi masalah,
rencana kegiatan, implementasi, evaluasi, dan refleksi. Gambar dari Riding, Phil,
Fowell, Sue and Levy, Phil (1995) berikut menjelaskan kerangka pendekatan
pembelajaran action researh dalam kelas:
17
menjadi perkembangan sepenuhnya pada tataran interaksi sosial seutuhnya.
(Communication Capstone, 2001).
Teori ini mencoba menjelaskan kesadaran sebagai akhir dari produk
sosialisasi seseorang (anak). Contohnya ketika seseorang akan melakukan
komunikasi dengan teman-teman sekelasnya ketika sedang belajar bahasa, pertama
ia akan melakukannya secara internal (dalam hati) sebelum memverbalkannya atau
mengkomunikasikannya secara langsung ke teman-teman kelompoknya.
Teori ini memang masih termasuk ke dalam rumpun teori belajar sosial dari
Bandura, terutama pada praktek belajar situasional, namun teori ini lebih
memfokuskan diri pada pengembangan kognitif, yang mirip dengan paham Piaget
dalam pemahaman teori belajarnya.
Dalam tataran praksis instuksional, teori ini bisa dijadikan alternatif
pengembangan instruksional, terutama oleh para guru dan praktisi komunikasi
dalam memilih situasi belajar yang sesuai dengan tahap-tahap pengembangan
sosial anak. Misalnya, seorang anak tidak secara serta-merta diberi tugas
akademiknya di sekolah berkaikan dengan pembelajarannya, melainkan
dipersiapkan lebih dahulu melalui tahap-tahap pengenalan kelompok, pengenalan
secara personal, dan akhirnya pengenalan secara sosial (lebih luas). Dengan
demikian, anak akan menjadi terbiasa (nyaman) dengan suasana barunya.
Pola berpikir kreatif dari model pemetaan struktual ini akan menghasilkan
kompleksitas pemikiran hingga relatif tak terbatas. Orang akan berhenti berpikir
struktural manakala struktur subjek usungannya dirasakan sudah lengkap terbahas
secara holistik integratif dengan melibatkan banyak aspek yang semakin merumit.
Yang unik dari pola penjelasan secara struktural atas konsep sebuah subjek adalah
adanya hubungan hirarsitas yang jelas. Masing-masing substruktur sebenarnya masih
memiliki subjek-subjek yang setara dengan kelompoknya, yang secara struktual bisa
dikembangkan lagi sesuai dengan karakteristik subjeknya.
Intinya, model belajar struktural ini memberi keleluasaan bagi seseorang untuk
berpikir meluas sesuai dengan pola pengembangan hirarkis, yang bercirikan hubungan
subordinatif jika dilihat dari atas ke bawah, atau dari konsep besar dan luas ke arah
19
konsep yang kecil dan sempit ruang lingkupnya. Dalam tataran organisasi, bisa juga
dikatakan sebagai pola pikir organisatoris dan melembaga. Semua pemikiran diikat
dalam ruang lingkup yang dibingkai dalam koridor struktur yang biasanya diwadahi
oleh organisasi.
a) Ilmu terbuka pada kritik: Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki sifat dan
persyaratan tertentu, ilmiah tentu saja. Sedangkan dikatakan ilmiah jika
memenuhi syarat antara lain ada objek materialnya, ada objek formalnya, ada
pengelolanya, ada organisasi pengelolaannya, masuk akal/logis, bukan pendapat
umum, empiris, tunduk kepada kaidah ilmu yang meliputi parsimony, orde,
empiris, ada antecedent-nya. Bisa dibuktikan oleh orang lain dengan hasil yang
relatif sama. Keberanarannya bersifat relatif. Karena relatif, maka ada peluang
untuk dikritik. Ada kebenaran lain di dalam ilmu. Ilmu yang disampaikan pendidik
kepada terdidik (pembelajar) juga terbuka untuk dikritisi. Dalam konteks ini, para
pembelajar bahkan dianjurkan untuk selalu berpandangan, bersikap, dan
bertindak kritis terhadap proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar
kelas.
b) Ilmu sebagai suatu sistem teori: Teori adalah penjelasan yang benar. Benar
dalam arti memenuhi syarat prosedural penjelasan. Teori bisa juga diartikan
sebagai suatu hasil kajian mendalam yang telah teruji secara berulang-ulang dan
bisa berlaku dalam kurun waktu tertentu, baik sektoral, nasional, ataupun global.
Pertanyaannya adalah, apakah suatu sistem itu akan kekal dalam ruang dan
waktu? Pandangan seperti ini juga perlu disampaikan komunikator pendidikan
dan pembelajaran kepada para pembelajar.
c) Kemungkinan untuk salah: Salah satu sifat dari teori adalah selalu melahirkan
pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Dengan demikian maka kemungkinan untuk
salah tetap terbuka. Ibarat seorang ahli membuat suatu produk, hasil akhirnya
tentu tidak semua orang sependapat dengan itu. Menurut orang lain tertentu,
ada sesuatu yang perlu diperbaiki karena salah, misalnya. Pembelajaran kelas
adalah proses pengelolaan pandangan-pandangan kritis yang dilakukan oleh
komunikator pendidikan dan pembelajaran, yang secara bersama-sama dengan
para pembelajar, mengkritisi kemungkinan-kemungkinan kesalahan pada sistem
ilmu dan teori.
d) Komitmen pada kebenaran: Meskipun ilmu terbuka untuk dikritik karena adanya
kemungkinan untuk salah, sang pengkritik pun sebenarnya tetap berprinsip pada
komitmen mencari kebenaran, kebenaran ilmu tentu saja. Artinya, baik
komunikator pendidikan maupun para pembelajar, harus tetap dalam
20
pandangan-pandangan kritisnya adalah untuk tetap dalam rangka mencari
kebenaran.
e) Prinsip falsifikasi: Ada kesalahan prinsip, ada kesalahan sektoral, ada kesalahan
etis, ada kesalahan karena tren pengguna. Aspek-aspek yang mungkin terdapat
kesalahan dalam sistem teori dan ilmu, bisa dicari melalui proses pembelajaran
secara terstruktur dan terprogram.
f) Implementasi dalam praktek komunikasi pendidikan: Protes, demonstrasi,
unjukrasa, pemberian saran dan masukan dari siswa dan mahasiswa dan pihak
lain terhadap lembaga pendidikan, baik di di dalam sistem pendidikan sekolah
ataupun di luar sekolah, sebaiknya dianggap sebagai bahan introspeksi untuk
perbaikan.
g) Sistem pendidikan bisa saja keliru: Banyak sistem pendidikan di dunia ini yang
polanya berbeda. Sekarang ada sekolah alam, home schooling, privat methods,
dan lainnya di luar sistem persekolahan yang sudah ada.
h) Guru tidak selamanya benar di kelas: Di zaman ini, guru atau dosen dan
komunikator pendidikan dan pembelajaran lainnya, bukanlah satu-satunya
sumber informasi pendidikan bagi siswa/mahasiswanya. Ada pergeseran pola
pembelajaran kelas.
i) Siswa dianjurkan kritis: Pemeo yang mengatakan ‘belajar dari kesalahan, belajar
dari pengalaman, pengalaman adalah guru terbaik’, bisa berlaku untuk semua
kegiatan komunikasi pendidikan dan pembelajaran.
Model pendekatan berfikir struktur penjelasan ilmu dari Carl Gustav Hempel
a) Ilmu sebagai suatu sistem penjelasan: Disebut sistem penjelasan, sebab dalam
penjelasan dimaksud ada komponen-komponen pendukung penjelasan tersebut.
Komponen pertanyaan, komponen hipotesis, komponen observasi dan
pengumpulan data, komponen analisis data, komponen penyimpulan, dll. Semua
komponen tersebut terkait satu sama lain secara fungsional, bergerak secara
sinergis dan saling melengkapi.
b) Struktur logis penjelasan ilmiah: Penjelasan ilmiah dituntut logis, menggunakan
logical construct, menyusun pola hubungan antar konsep sehingga membentuk
paradigma pengetahuan. Paradigma pengetahuan ini setelah melalu suatu
proses ‘ilmu’ atau ‘teori’, akan menjadi paradigma ilmu.
c) Logika dan hukum alam: Manusia itu bagian dari alam. Ia tentu tunduk kepada
hukum alam. Tunduk dalam konteks ini hampir pada setiap aspek dan
tindakannya.
d) Eksplanasi probabilistik: Teori peluang bisa menjelaskan model ini. Teori
kemungkinan juga bisa dikembangkan dalam pola pembelajaran dan pendidikan.
Contoh misalnya presisi, standar deviasi, randomisasi.
e) Relevansi penjelasan: Tema-tema penjelasan dalam Komunikasi Pendidikan dan
Pembelajaran harus yang relevan dengan kehidupan keseharian, dengan
pengalaman sebelumnya, dengan informasi yang didapat dari lingkungan sekitar.
Jangan gunakan contoh kasusn yang tidak relevan.
21
f) Implementasi dalam praktek komunikasi pendidikan: Ilmu dijelaskan secara
terstruktur, sistematis, sistemik, logis, konstruktivis, relevan.
g) Mirip dengan model belajar struktural dari J. Scandura: Lihat model
pembelajaran struktural dari J. Scandura yang sudah diuraikan di atas.
h) Mengutamakan prinsip-prinsip logika dalam belajar: Mirip dengan model
pembelajaran bermakna dari Davis Ausubel dan pengembangan logika dari
Piaget. Orang belajar bertumpu pada otak. Berfikir adalah pokok pembelajaran
terpenting. Sementara itu, membaca merupakan salah satu metode berfikir,
seperti membaca secara fungsional, membuka tabir-tabir atau hijab tentang
alam dan seluk beluknya. (Sumber: (http://www.davidausubel.org; dan
(http://www.learningandteaching.info/learning/piaget.htm).
i) Pembelajaran secara relevan: Topik-topik pilihan atau tema yang dipelajari harus
relevan dengan dunia siswa sang pembelajar, dunia yang dikenal siswa, namun
sedikit dikembangkan oleh guru sebagai fasilitator dan komunikator pendidikan
dan pembelajaran.
Model experiential learning tools (Nunes, José Miguel Baptista & Fowell, Susan P.
(1996):
Pelaksanaan komunikasi pembelajaran harus bisa memberikan konteks asli
(alamiah) dan adanya aspek bantuan yang bisa menjadikan seseorang (pembelajar)
menyadari dan memahami lingkungannya sesuai dengan kondisi-kondisi
stimulannya. Gambar berikut menunjukkan bahwa model layer experiantial
learning mengarah kepada penyediaan konteks asli (alamiah) dan sekaligus
menyediakan feedback pada kegiatan yang muncul pada konteks itu. Meskipun
tentu saja model ini tidak memberikan bantuan konseptual pada pelaksanaan
komunikasi pembelajaran lapangan secara langsung. Pengalaman belajar dengan
pendekatan ini terbentuk dari proses kerjanya, yang di dalamnya meliputi proses
berpikir awal, proses berpikir tahap berikutnya, dan tahapan berpikir kemudian.
Dalam pelaksanaannya, sang pembelajar bisa menggunakan kasus-kasus dan objek
belajar yang sudah dikemas dalam media baru (new media) untuk
ditransformasikan ke dalam pengalaman belajar sesungguhnya.
23
Layer (lapisan) bawah (subject matter conceptual layer) menggambarkan
model pembelajaran yang berbasis tekstual, teksbook dan media bahan belajar
tekstual lainnya. Sedangkan layer atas (experiential learning layer) menggambarkan
pembelajaran melalui pengalaman bermedia, khususnya belajar melalui web, yang
sering dikenal dengan nama e-learning.
Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan seorang guru dalam
pelaksanaan instruksional di lapangan, yakni strategi dalam menggunakan berbagai
media dan peralatan yang secara khusus diancang untuk memperlancar pencapaian
tujuan instruksional. Namun karena yang dimaksudkannya adalah khusus dalam
strategi instruksional dalam konteks CMC (computer mediated communication),
terutama penggunaan web sebagai media pembelajaran, maka yang paling umum
bisa dilakukan adalah dengan menggunakan media CMC dimaksud yang antara lain
adalah: e-mail, instant messaging, newsgroups, web-based chat, distance learning,
dan game online.
Dari ketiga contoh foto binatang Panda, Burung Penguin, dan pantai di atas,
orang akan bisa tahu secara visual, dan ini tentu saja lebih bisa dipahami oleh para
siswa dalam sistem instruksional, dibandingkan dengan jika sang guru hanya
menjelaskannya secara verbal saja. Jika gambar binatang di atas direkam dalam
format video atau gambar bergerak, maka akan lebih mampu mewakili bentuk
aslinya. Dan multimedia instruksional bisa memanfaatkannya untuk tujuan
26
mempermudah pencapaian tujuan-tujuan instruksional yang ditetapkan para
instruktor dan praktisi komunikasi pendidikan pada umumnya.
Dalam sajiannya yang langsung dengan teknik multimedia, gambar-gambar di
atas bisa divisualisasikan secara video suara, tidak hanya berupa foto-foto diam.
Pengambilan gambar atau suasana lapangan secara langsung bisa menggunakan
rekaman video yang sekarang banyak diintegrasikan dengan handphone, camera
digital, atau video camcorder dan handycam. Tidak sulit untuk mmbuat dan
mengaplikannya.
Berikut kami tampilkan gambar-gambar yang berkaitan dengan media
instruksional. Ada yang secara khusus langsung digunakan sebagai media
pembelajaran dan ada pula yang tidak secara khusus untuk kepentingan
pembelajaran, namun media tersebut bisa sangat bagus untuk dijadikan media
pembelajaran di kelas. (Sumber: Microsoft Encarta 2006).
Gambar: Mikroskop Antik abad 16; mikroskop Hooke abad 17; mikroskop abad 18
Berikut adalah salah satu contoh gambar hasil besaran dari mikroskop
elektron. Bandingkan dengan benda aslinya.
27
Gambar: Kristal Garam Murni; structure of HIV; dan kristal gula
VI. KESIMPULAN
Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran mempunyai
beberapa konsep implementatif umum seperti berikut:
1) Sebagai suatu teori, konstruktivisme berkaitan dengan proses kognitif
seseorang yang melakukan komunikasi pembelajaran pada situasi tertentu.
2) Sang pembelajar (siswa) aktif membina pengetahuan berdasarkan
pengalaman yang sudah ada sebelumnya, apapun, terutama yang relevan. Ia
juga terdorong untuk membina, mengembangkan, dan meningkatkan sendiri
pengetahuannya. Pengetahuan siswa diperoleh melalui upayanya, bukan
melalui stimulus yang datang dari luar.
3) Pentingnya pembinaan dan pengelolaan pengetahuan secara aktif oleh
pembelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran
terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Prinsip merangkaikan pengalaman
sejenis dari masa lalu dan masa sekarang untuk antisipasi masa mendatang.
4) Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada. Berupaya mencari tambahan informasi baru,
utamanya yang relevan, adalah faktor penting dalam proses pembelajaran
siswa.
5) Bahan pembelajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar. Peran guru dan praktisi
komunikasi pendidikan dan pembelajaran, lebih mengarah kepada upaya
mengelola situasi dan kondisi audiens (siswa) dengan cara mendorong dan
memberikan semangat kepada siswa untuk melakukan pembelajarannya
28
sendiri. Contohnya, sediakan saja semua fasilitas pembelajaran yang relevan,
dan dorong mereka untuk mengoptimalkan penggunaannya.
6) Kemampuan orang dalam menyusun atau membingkai pesan-pesan
komunikasi pembelajaran untuk situasi dan kondisi tertentu relatif akan lebih
berhasil dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa persiapan.
7) Orang yang mempersiapkan pelaksanaan komunikasi pembelajaran dengan
berbekal pengalaman kognitif yang kompleks juga akan lebih berhasil dalam
berkomunikasi dibandingkan dengan yang melakukannya secara apa adanya.
Contoh di lapangan misalnya, kita lebih mudah mengerti jika mendapatkan
penjelasan dari orang yang kompleks pemikirannya (biasanya ilmuwan dan
berpendidikan) dibandingkan dengan orang kebanyakan, misalnya.
Penjelasan-penjelasan dari para ilmuwan relatif lebih lengkap. Latar belakang,
aspek, dan variabel-variabel yang menyertai suatu objek yang dijelaskannya
pun relatif teratur dan sistematis. Hal ini tentu berbeda jika dijelaskan oleh
orang yang tidak mengerti di bidangnya.
29
Piaget, Jean. (ny). Learning and teaching. Available at:
http://www.learningandteaching.info/learning/piaget.htm. diakses tanggal
14 Agustus 2009).
Pickard, A. and Dixon, P. (2004) "The applicability of constructivist user studies: How
can constructivist inquiry inform service providers and systems designers?"
Information Research, 9(3) paper 175 (Available at
http://InformationR.net/ir/9-3/paper175.html).
Riding, Phil, Fowell, Sue and Levy, Phil (1995) "An action research approach to
curriculum development". Information Research, 1 (1) Available at:
http://InformationR.net/ir/1-1/paper2.html
Shermis, Samuel.2001. How to discipline your mind. Purdue University. (available
at: http://www.a2zpsychology.com).
30