You are on page 1of 6

Menelusuri Jejak Liberalisme Islam di Indonesia

Tak syak lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat
telah membuat sebagian kalangan umat Islam terkagum-kagum dan
mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi kemajuan Barat itu,
sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya
pembaharuan Islam dengan mencontoh Barat.

Pembaharuan pemikiran di dunia Islam dimulai ketika Khilafah


‘Utsmaniyah di Turki diambang kehancuran. Selanjutnya, Islam Turki di
bawah komando Mustafa al-Tatruk didekontruksi sedemikian rupa seperti
Barat. Setelah berhasil mendelegitimasi kewenangan khalifah dan
Pengadilan Khusus Agama (Islam), al-Tatruk dengan penuh kepongahan
merombak total tatanan prinsip-prinip Islam.

Tak hanya itu. Ia juga mengganti Hukum Syari’at tentang perkawinan


Islam dengan diganti hukum Swiss, di mana perempuan punya hak cerai
sama dengan laki-laki. Selanjutnya, sekolah-sekolah agama (madrasah)
dan perguruan tinggi agama dibubarkan, dan diganti dengan sekolah ala
Barat.

Yang lebih parah lagi adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa
lokal (Turki), jilbab dilarang, dan penggunaan bahasa Arab pun diganti
dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua identitas, idiom-idiom
keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol, identitas dan
tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah ‘Utsmaniyah
itu menjadi Republik Turki yang sekular. (Harun Nasution, Islam Rasional, ,
1995)

Selain Turki, dunia Islam yang kecipratan dengan pembaharuan Islam


adalah Mesir. Pembaharuan di negeri Kinanah ini mulai terjadi ketika
utusan Perancis Napoleon Bonaparte dan sejumlah ilmuan yang ikut
rombongannya datang ke negeri itu. Dari situ terjadilah kontak
masyarakat Mesir dengan budaya Barat.

Seperti yang dialamiTurki, sebagian ulama Mesir mendukung program


pembaharuan model Barat itu. Untuk kepentingan ini, maka diutuslah
pelajar-pelajar Mesir untuk belajar di Paris dengan pengawasan imam.
Adalah Rifa’ al-Thahthawi (1803-1873) dari imam-imam yang diutus untuk
belajar ke sana. Sekembalinya dari pengembaraan dari negeri Barat,
pemikiran al-Thahthawi cukup berpengaruh dalam masyarakat Mesir saat
itu. Di antara pembaharuan yang digaungkan al-Thahthawi adalah
penyesuaian penafsiran/interpretasi syari’at dengan kondisi zaman
modern.

Setelah ia wafat, barulah Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir, dan


menyuarakan hal yang serupa. Pembaharuan yang dibawa al-Afghani
selanjutnya dilanjutkan oleh Muhammad ‘Abduh dan muridnya Rasyid
Ridla.

Menurut Harun, pembaharuan yang digerakkan oleh mereka itu memakai


pendekatan teologi atau pemikiran Mu’tazilah (rasionalisme). Dari sini pula
muncul tokoh-tokoh sekular- liberal, sebut saja misalnya, Musthafa A.
Raziq, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Amin, Thaha Husein, ‘Ali Abdul Raziq, dan
lain-lainnya yang senada.

Merambah ke Indonesia

Gaung dan gerakan pembaharuan di Mesir rupanya juga merambah ke


Indonesia. Melalui KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya,
pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan sendiri
merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri
Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana,
di tengah perjalanan ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar.

Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah


menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di
Indonesia. Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan
dari penjajah (Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul,
khurafat serta bid’ah di masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad
Dahlan prihatin sekaligus protes keras. Faktor-faktor inilah yang
mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan bersama
Muhammadiyahnya.

Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan


Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut
hal-hal dasar (ushul), tapi pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal
ru’yah al-Hilal, patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya.
Pembaharuan demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki.
Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun
sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui
lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja
di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah,
dalam hal ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam
segera ditabuh dan digulirkan. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat
dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 2006)

Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan


mensosialisasikan paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya
mewajibakan para mahasiswa membaca buku-buku karyanya, antara lain,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, Filsafat Agama.

Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga


menjadi bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa
IAIN. Kewajiban memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai
kini di semua jurusan atau program studi, kendati nama IAIN sudah
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan.


Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran
di lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari
pemerintah Orde Baru.

Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia


punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN
sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal
sekular di Mesir.

Menurut mantan muridnya di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad


Dardiri, Harun sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai
hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan
serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan.
Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan
tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar
IAIN, ” ujarnya.
Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan
hasilnya. Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah
menjadi gerbong terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam.
Bila di masa Harun, liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu
Kalam, maka saat ini fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.

Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah
umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga,
liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi
Studi Al-Qur’an diperkuat dan dikurikulumkan.

Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan
dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah
Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar
liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen.
Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G.
Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan
Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu
Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.”
Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat
menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan
Hadits.”

Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham
tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau
karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN
Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. “Tidak apa-apa.
Itu bagus-bagus saja, ” katanya.

Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan
banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan,
menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan
GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di
depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah
dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang
tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam.

Kisah yang mirip dan serupa juga terjadi di UIN/IAIN/STAIN lainnya.


Misalnya, dosen pembimbing tesis atau disertasi di UIN Jakarta sering
mengolok-olok ketika ada mahasiswa/i dalam tesis/disertasinya mengutip
ayat Al-Qur’an ataupun Hadis Nabi Saw. Inilah ironi Studi Al-Qur’an di
perguruan tinggi (Islam) kita.

Kasus liberalisasi Studi Al-Qur’an di Indonesia memang sangat ironis dan


memprihatinkan. Sebab, proyek ini tidak hanya dilakukan oleh sejumlah
akademisi, tapi juga oleh beberapa aktivis, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), para petinggi ormas Islam, pengasuh pondok pesantren, lembaga
penelitian, dan sebagainya. Mereka begitu ”gigih dan getol”
mengkampanyekan liberalisme, selain ingin lepas dan bebas dari Syari’at
Islam, juga karena mendapat kucuran dana berlimpah dari The Asian
Foundation. Dengan dukungan dana yang relatif besar, untuk
mempromosikan agendanya mereka menjalin kerjasama dengan beberapa
media massa.

Kasus yang teranyar adalah tindakan tidak fair enam guru besar yang
meluluskan disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini
banyak penafsiran al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara
keimanan kepada Allah Swt dengan keimanan terhadap nabi Muhammad
Saw.

Dalam disertasi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, ”secara
eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani,
Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah,
percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah
disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal
atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192). Jadi tanpa beriman
kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in
sama kedudukannya dengan amal orang Muslim.

Yang lebih parah lagi adalah ketika penulis membahas tentang


”Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”. Ia menyatakan, ”Agama
yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir
dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua
agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah
pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan
akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik
agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).

Disertasi berjudul, Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama


dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan
guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
(Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi
Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari
Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun
Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Dari tujuh guru besar, hanya satu guru besar yang tidak meluluskan
disertasi yang kontroversial ini, yakni Prof. Dr. Salman Harun. Bahkan
mantan dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta itu membuat kritik tertulis.
Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik
tertulis ketika menguji.

Salman menilai Abd.Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-


Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith
dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373)

Ia menambahkan, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk


surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Salman
khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan
bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.

Orientalis modern William Montogomerry Watt, menjelaskan, mereka yang


disebut liberal adalah orang-orang Islam yang banyak memahami Islam
dengan sudut pandang Barat dan melakukan kritik-kritik terhadap Islam
baik secara implicit atau eksplisit, tapi mereka masih mengaku sebagai
Muslim (William Montogomerry Watt, Fundamentalisme dan Modernity in
Islam).

You might also like