Professional Documents
Culture Documents
Tak syak lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat
telah membuat sebagian kalangan umat Islam terkagum-kagum dan
mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi kemajuan Barat itu,
sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya
pembaharuan Islam dengan mencontoh Barat.
Yang lebih parah lagi adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa
lokal (Turki), jilbab dilarang, dan penggunaan bahasa Arab pun diganti
dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua identitas, idiom-idiom
keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol, identitas dan
tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah ‘Utsmaniyah
itu menjadi Republik Turki yang sekular. (Harun Nasution, Islam Rasional, ,
1995)
Merambah ke Indonesia
Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah
umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga,
liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi
Studi Al-Qur’an diperkuat dan dikurikulumkan.
Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan
dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah
Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar
liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen.
Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G.
Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan
Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu
Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.”
Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat
menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan
Hadits.”
Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham
tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau
karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN
Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. “Tidak apa-apa.
Itu bagus-bagus saja, ” katanya.
Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan
banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan,
menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan
GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di
depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah
dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang
tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam.
Kasus yang teranyar adalah tindakan tidak fair enam guru besar yang
meluluskan disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini
banyak penafsiran al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara
keimanan kepada Allah Swt dengan keimanan terhadap nabi Muhammad
Saw.
Dalam disertasi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, ”secara
eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani,
Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah,
percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah
disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal
atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192). Jadi tanpa beriman
kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in
sama kedudukannya dengan amal orang Muslim.
Dari tujuh guru besar, hanya satu guru besar yang tidak meluluskan
disertasi yang kontroversial ini, yakni Prof. Dr. Salman Harun. Bahkan
mantan dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta itu membuat kritik tertulis.
Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik
tertulis ketika menguji.