Professional Documents
Culture Documents
tentang
Kurikulum
Kurikulum saat ini
Mindset orangtua
Orientasi yang salah
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
Pabrik itu bernama sekolah
Softskills-oriented
Iptek yang menjemukkan
Penjurusan
Edukasi kreatif
Reformasi kurikulum
Hal ini terjadi saat saya SMA. Karena dipaksa dengan KTSP
tanpa adanya pemahaman tentang mekanisme di kelas,
akhirnya guru Cuma datang ke kelas dan menyuruh siswa
menulis SK dan KD Bab 1, kemudian ada beberapa pengantar
dan selanjutnya beliau meyampaikan bahwa pada saat
pertemuan berikutnya, beliau akan membahas tentang “anu”
dan itu harus dibaca oleh siswa sebelumnya agar saatnya nanti
siswa jadi mengerti dan aktif.
Mindset orangtua
Tak ada yang salah dengan kurikulum ini, kurikulum ini sudah
“mau” memasukkan poin sikap sebagai salah satu aspek
penilaiannya. Itu sangat bagus. Tapi ketika KTSP yang
mestinya menyorot masalah afektif ini tidak berjalan dengan
Orientasi kognitif
----------------------------------------------------------------------------
UU no. 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab X Kurikulum
Pasal 36
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
----------------------------------------------------------------------------
Tinjauan UU
Dari uraian UU di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
kurikulum sekarang pun (sangat disayangkan) belum sesuai
dengan UU tersebut. Kurikulum yang sekarang hanya
memenuhi satu poin saja: g. Kognitif.
----------------------------------------------------------------------------
UU no. 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab II Dasar, fungsi dan tujuan
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan UUD Negara RI tahun 1945
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan agar berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab
----------------------------------------------------------------------------
Tinjauan UU
Sangat disayangkan (lagi) ya? Ternyata UU yang sudah dengan
susah payah dipikirkan, diformulasi lalu kemudian diputuskan
ini hanya digunakan sebagai dekorasi pelengkap kitab UU. UU
ini seperti hanya formalitas.
Mengembangkan kemampuan
Seperti yang akan dibahas lebih jauh dalam Multiple
Intillegences pada pembahasan selanjutnya, setiap
manusia telah diberi kemampuan yang begitu unik dan
sama istimewanya dengan yang lain.
Membentuk watak
Inilah yang sedang dibutuhkan era global – atau sebut saja
dunia kerja – sekarang ini. Yang sayangnya tidak ada
dalam kurikulum sekarang. Hal ini memang ter-cover
dalam PKn dan pelajaran agama, atau mungkin dalam
pelajaran BP yang jadi mulok di beberapa sekolah. Tapi
itu semua belum cukup. Harus ada jam lebih untuk
masalah karakterisasi ini. Diperlukan juga tes-tes
penelusuran minat dan bakat yang lalu ditindaklanjuti.
Karena PKn akan dihabiskan oleh pendidikan politik begitu
Faktor sukses
Cita-cita
Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, seseorang dapat
dikatakan menjadi terdidik apabila orang tersebut telah
memenuhi tiga aspek dari keberadaan manusia. Yaitu : daya
cipta (pemikiran), daya karsa (ketrampilan) dan daya rasa
(perasaan).
Salah jalur
Namun, sistem pendidikan sekarang ini seolah mengharamkan
segala bentuk pemanusiaan seperti yang beliau sampaikan.
Pendidikan sekarang tidaklah lagi akan menciptakan kualitas
akademisi yang berkepribadian dan akan membentuk budaya
bangsa nantinya, melainkan hanya menjadikan para pemilik
teori yang susah untuk diterima masyarakat. Karena sudah
terlihat dari berbagai kebijakan yang dijalankan yang
menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia ini hanya
menekankan akan pemahaman teori.
Sejarah sekolah
Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil dari
pencarian seorang Horace Mann yang pada tahun 1837
diangkat menjadi Commissioner of Education, - semacam
menteri pendidikan - di Amerika.
Kloning siswa
Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD dulu. Coba
ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa kita lagi lucu-
lucunya. Tepatnya saat pelajaran kesenian. Dan ketika
disuruh menggambar, apa yang digambar siswa? Pasti
pemandangan. Ada dua buah gunung, dengan matahari
yang berbentuk seperempat lingkaran timbul dari balik
gunung itu. Di atasnya, ada banyak “m” yang ceritanya
adalah burung. Juga ada awan bulat. Di bawahnya ada
semacam garis-garis zigzag seperti sandi rumput yang
menandakan bahwa itu adalah hutan. Di bawahnya, ada
sawah terbentang dengan bentuk padi yang menyerupai
“v” dengan beberapa buah rumah tersebar. Dan tepat di
tengahnya, ada jalan raya, kalaupun tidak, pasti sungai.
Refleksi
Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para tentara kita
itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang kembar identik
sekalipun. Mereka mendapat doktrin yang sama,
mendapat “kekejaman” yang sama, mendapat “otoritas”
kedisiplinan yang sama sampai rambut pun dipotongcepak
sama. Mereka (maaf) bak produk robot-robot dari sebuah
pabrik. Tanpa karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi
Reformasi
Sekolah - yang sekarang mirip pabrik ini – seharusnya tidak
mensubstitusikan materi kepada peserta didiknya
semacam itu. Karena bagaimanapun, Tuhan Yang
MahaKuasa sudah menghadiahi masing-masing individu
dengan kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak
boleh memukulratakan kemampuan semua siswa. Tuhan
membuat manusia bukan untuk bersaing, melainkan untuk
Softskills-oriented
Afektif
Saya tak habis pikir, selama saya sekolah di SMA itu memori
saya harus dipenuhi oleh berbagai macam teori dan rumus
yang – rasanya - tak begitu berguna jika dipakai dalam
kehidupan nyata. Karena selama ini, selama 12 tahun saya
mengenyam pendidikan, bersusah payah dan dengan rela
membiarkan otak saya berkutat dengan berbagai penjelasan
mengenai tata surya dan gejala fisika, ataupun termodinamika
dan operasi pertidaksamaam matematika itu rasanya sama
sekali tak perlu.
Khas remaja
Seperti yang kita ketahui, remaja itu punya emosi yang
masih labil, energi yang luar biasa banyaknya, juga punya
rasa penasaran yang teramat sangat. Dari pada energi itu
akhirnya terbuang ke hal-hal negatif, bukankah lebih baik
ditampung untuk membangkitkan Negara? Maksud saya
bukan menjadikan energi itu sebagai alternatif bahan
bakar, tapi mengkondisikan para remaja agar tetap
positif, supaya seluruh potensi mereka tergali.
Integrasikan ilmu
Belum lama ini, pemerintah Kota Bandung sudah
mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk memasukkan
Penjurusan
Selama ini, stigma yang ada dalam masyarakat adalah IPA itu
yang terbaik di antara ketiganya. Dan itu sudah jauh-jauh hari
dibuktikan bahwa itu salah total. Selama stigma itu belum
lenyap dari masyarakat, maka para siswa yang kebanyakan
belum bisa mengorientasikan diri sendiri itu akan mengikuti
saja stigma itu walaupun alasannya itu sudah terlampau
kadaluarsa.
Sekali lagi saya tegaskan, tak ada yang salah dengan IPA.
Hanya saja untuk orang-orang yang minatnya bukan
terhadap bidang saintifik, akan lebih optimal
pembelajarannya jika tidak memaksakan masuk IPA hanya
karena alasan prestisius semata.
Inkonsisten
Kalau kita lihat di lapangan, ternyata selama ini yang
berasal dari jurusan IPA malah tidak konsisten dengan
pilihannya. Tak sedikit dari mereka yang malah
meneruskan studi di program IPS atau kebahasaan.
Syukur-syukur mereka korban salah jurusan seperti saya
yang lalu sekarang diperbolehkan memilih jurusan sendiri.
Tapi bagaimana kalau keinginan masuk IPA itu adalah
memang benar-benar keinginannya? Kalau memang takkan
melanjutkan studi di bidang IPA, buat apa “susah-susah”
melahap semua materi itu? Kasian dong pada orang yang
benar-benar ingin melanjutkan ke studi MIPA tapi tak
Memilih jurusan
Kuota
Di SMA saya dulu, kuota jurusan IPA selalu leih banyak dari
IPS (kebetulan tak ada jurusan bahasa) Dari angkatan ke-1
sampai angkatan saya yang ke-9 masih seperti itu, untuk
Edukasi kreatif
Reformasi kurikulum
Hebat ‘kan?
Hanya perubahan orientasi untuk hasil yang begitu luar biasa.