You are on page 1of 46

Bagian 2 – tentang Kurikulum

tentang
Kurikulum
Kurikulum saat ini
Mindset orangtua
Orientasi yang salah
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
Pabrik itu bernama sekolah
Softskills-oriented
Iptek yang menjemukkan
Penjurusan
Edukasi kreatif
Reformasi kurikulum

Seorang siswa sedang mensyukuri nasibnya


malam itu, nasibnya yang begitu mujur.
Bagaimana tidak? Dari SD sampai SMA ranking
3 besar selalu dengan mudah berhasil ia
lahap. Nilai 100 pun kerapkali mendekorasi
hampir seluruh kertas ujiannya. Senyum dan
sanjungan guru serta teman-teman tak pernah
habis menyinari hari-harinya.
Sejalan lurus dengan kehidupan akademiknya,
di rumah pun ia sama bahagianya. Ia
dipandang sebagai teladan dan seorang insan

Essai, Jangan sekolah 1


Bagian 2 – tentang Kurikulum

emas yang kelak akan membuat bangsa ini


semakin jaya. Otomatis, ia semakin terlena.
Di studi akademik selanjutnya, ia
melanjutkan studi di PTN terpandang dalam
prodi Teknik Kimia dengan sangat mudah
dengan mendapat beasiswa pula. Di akhir
semester 8 ia pun menyelesaikan skripsi
dengan amat sempurna sehingga ia pun
mendapat predikat cum laude. Belum puas
dengan segala berkah Tuhan yang ia terima,
Ia melanjutkan studi dan lagi-lagi dengan
mudah ia selesaikan itu. Ia memang sedikit
gila gelar.
Tapi itu hanyalah masa-masa kejayaannya 25
sampai 26 tahun ke belakang. Sekarang ini,
ia sedang memandang dirinya yang tak sehebat
yang masyarakat pikirkan waktu itu.
Seperti kebanyakan waktu selama tujuh tahun
terakhir, sekarang ia hanya bercermin sambil
berkata “kenapa begini?” secara terus-
menerus pada dirinya. Dan seperti biasa, ia
disadarkan oleh sapaan SPV – yang dulu
adalah temannya yang tidak pintar-pintar
amat - atasannya, dari sebuah perusahaan
marketing. Lho? Apa yang salah?

Sudah banyak sekali, entah itu ribuan atau mungkin sudah


mencapai puluhribuan artikel yang menyatakan berbagai
macam estimasi negatif tentang kurikulum yang ada sekarang

Essai, Jangan sekolah 2


Bagian 2 – tentang Kurikulum

ini. Yang jadi masalahnya adalah, kenapa pemerintah itu tidak


tahu atau seolah tidak mau tahu? Padahal sistem pendidikan
seperti ini sudah tidak bisa diharapkan akan memberi
pencerahan hidup. Kalau sistem tetap seperti ini, hasilnya
adalah manusia manusia robot yang terpenuhi oleh teori.

Kurikulum saat ini

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kalau kita tahu


dulu bagaimana keadaan kurikulum yang sekarang
dicanangkan oleh pemerintah, khususnya oleh Dinas
Pendidikan. Kurikulum yang sekarang dipakai – atau
sebenarnya “yang selalu” diujicobakan – oleh pemerintah
sekarang ini bernama KTSP, singkatan dari Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Dimana dalam kurikulum ini, setiap satuan
pendidikan – sekolah – punya hak buat menyusun dan
membuat kurikulumnya masing-masing yang disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan lokal. Sebagai contoh,
bahasa daerah yang seringkali – jika dianggap perlu -
dimasukkan dalam muatan lokal di salah satu sekolah.

KTSP pula memberikan kebebasan pada guru untuk bikin


kurikulum. Dan itu membuat para guru seharusnya berpatok
terhadap perkembangan masing-masing siswanya dan tidak
terpatok kepada berbagai tuntutan pemerintah. Kurikulum
yang guru buat, seharusnya disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan daerah. Juga berarti pendidikan yang lebih
mengedepankan proses, bukan semata hasil.

Essai, Jangan sekolah 3


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Dan karena KTSP telah disusun oleh sekolah maka seharusnya


KTSP punya relevansi yang tinggi bagi kebutuhan siswa.
Artinya apa yang dipelajari siswa benar-benar merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan siswa.
Setidaknya, apa yang dipelajari siswa memiliki kebermaknaan
yang tinggi bagi mereka.

Dalam KTSP, dikenal 3 aspek penilaian, yaitu: kognitif (teori);


psikomotor (keterampilan); afektif (sikap). Menarik, karena
baru di kurikulum inilah yang namanya sikap disorot dalam
dunia pendidikan.

Implemetasi yang salah

Namun, kalau kita lihat standar kelulusan yang – faktanya –


hanya ditentukan melalui UN (kognitif), nampaknya afektif ini
hanyalah formalitas pembaharuan kurikulum semata. Karena
yang mengerti dan tahu sikap siswa adalah guru masing-
masing, dan guru sendiri – faktanya – tidak diberi kewenangan
dalam meluluskan siswa karena itu semua diambil alih oleh
pemerintah.

Selain itu, dalam pelaksanaannya ternyata KTSP ini punya


berbagai tantangan. Salah satunya dari pemerintah sendiri.
Karena di satu sisi, pemerintah memberikan kebebasan pada
setiap sekolah untuk membuat silabusnya sendiri tapi juga
malah memberlakukan sistem ujian nasional (akan dibahas
lebih lanjut). Hal ini tentu saja menunjukkan

Essai, Jangan sekolah 4


Bagian 2 – tentang Kurikulum

ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan berbagai


macam program pendidikan. Gimana sih pemerintah ini?

KTSP, kurikulum tidak siap pakai


Selain itu pula, implementasi lainnya pun belum sesuai dengan
yang diharapkan. Alih-alih memperhatikan perkembangan
masing-masing siswa seperti yang tercantum dalam KTSP, para
guru-guru malah secara konservatif menuntut siswanya dengan
standar yang cukup tinggi.

Saya beri contoh, dan ini memang pengalaman saya secara


pribadi, saat saya kelas 3 SMA (2008/2009) saya mengenal
seseorang yang sangat pintar dalam pelajaran eksakta, sebut
saja AR. Si AR ini amat pintar dalam mengkalkulasikan
berbagai macam operasi matematis. Sedangkan saya tidak.
Ironisnya, ketika guru saya bertanya setelah ia memberi soal
latihan, misal : “Sudah? Berapa hasilnya?” Tak lama AR
menjawab, tentu siswa yang lain masih sibuk menghitung.
Alhasil, karena sudah ada satu orang yang menjawab dan
memang selalu benar akhirnya guru saya berasumsi bahwa
siswa satu kelas ini sudah mengerti semua, padahal belum.
Parahnya lagi, guru saya kerapkali bilang “Sudah, kita lanjut
saja. Yang belum tanyakan saja pada yang sudah” Alhasil, niat
saya untuk menghitung yang tadinya cukup menggebu-gebu
akhirnya sirna karena toh saya sudah tahu berapa nominal
hasilnya. Dan jurang antara si pintar dan si bodoh semakin
melebar. Wah wah, kalau seperti ini terus, siswa yang lain
akan makin terpuruk dalam jurang keterpurukan. Lebai.

Essai, Jangan sekolah 5


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Seharusnya guru menetapkan standar yang disesuaikan dengan


5 orang siswa terlamban untuk tetap menjaga motivasi
mereka. Dan seharusnya, guru tidak seperti ini. Guru harusnya
tahu perkembangan setiap siswa dengan pendekatan
individual yang nyaman. Guru seharusnya tahu bahwa si AR
dan saya dan teman-teman lainnya sama berharganya. Hanya
beda bidang kemampuannya. Tidak boleh ada acara
diskriminasi apalagi penglabelan “bodoh”.

Dalam KTSP, sebenarnya softskills – yang akan dibahas - ini


sudah dimuat. Hanya saja, dalam pelaksanaannya masih
belum sesuai prosedur. Karena mau diganti kurikulumnya
bagaimanapun, kalau paradigma dan perspektif tentang
keberhasilan pendidikan yang sekarang dimiliki oleh semua
lapisan pendidikan itu masih sama seperti saat kurikilum 1994,
metode pengajaran pun masih dalam suasana konservatif dan
monotonisme, pasti softskills yang ada di dalam benak siswa
itu tidak akan terstimulir dengan baik. Sangat disayangkan.

Yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, seharusnya


memberikan pemahaman dan semacam training kepada guru-
guru dalam hal menerapkan kurikulum yang namanya KTSP ini.
Karena faktanya di lapangan, walaupun materi berubah tapi
metode pengajaran masih sama seperti tahun 1994 dimana
yang menjadi subjek KBM adalah guru, harusnya murid. Tapi
ini semua juga bukan serta-merta salah guru. Dalam banyak
kasus terbukti bahwa sebenarnya para guru di sini tidak

Essai, Jangan sekolah 6


Bagian 2 – tentang Kurikulum

mengerti harus bagaimana dalam mengimplementasikan KTSP


ini. Guru Cuma tahu bahwa ia harus menjadi fasilitator.

Hal ini terjadi saat saya SMA. Karena dipaksa dengan KTSP
tanpa adanya pemahaman tentang mekanisme di kelas,
akhirnya guru Cuma datang ke kelas dan menyuruh siswa
menulis SK dan KD Bab 1, kemudian ada beberapa pengantar
dan selanjutnya beliau meyampaikan bahwa pada saat
pertemuan berikutnya, beliau akan membahas tentang “anu”
dan itu harus dibaca oleh siswa sebelumnya agar saatnya nanti
siswa jadi mengerti dan aktif.

Timbul permasalahan dari pihak siswa. “Lho, jadi bingung…”


Siswa yang punya fasilitas lebih memang diuntungkan dalam
hal ini, tapi yang tidak punya bagaimana? Lagipula, tetap saja
tidak semua siswa adalah para pembelajar otodidak yang bisa
dengan sendirinya mengerti suatu materi. Ingat, daya tangkap
setiap orang beda-beda. Siswa, walaupun sedikit setidaknya
harus mendapatkan pencerahan dari gurunya tentang dasar-
dasar materi tersebut, dan setelahnya barulah disuruh untuk
menelaah lebih dalam. Sehingga murid bisa paham materi apa
yang akan dipelajari.

Kalau sistem ini sudah benar, kenapa masih banyak teman-


teman kita lulusan S1 bahkan S2 yang kerjanya Cuma nganggur
saja di rumahnya? Lantas kenapa seorang lulusan cum laude
dengan IPK 4 bisa menjadi bawahan teman kuliahnya sendiri
yang nampaknya dulu biasa-biasa saja?

Essai, Jangan sekolah 7


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Mindset orangtua

Sekolah dengan sistem pendidikan seperti ini sudah cukup


berumur. Sudah cukup lama sehingga mampu untuk membuat
stigma yang sangat mengakar pada orangtua siswa. Stigma
yang selama ini membuat banyak anak-anak merasa
terpenjara oleh jeruji tuntutan.

Sudah menjadi pikiran umum pada orangtua siswa bahwa


untuk sukses di masa depan, haruslah sekolah. Hal ini terbukti
dari berjubelnya orangtua siswa yang ingin mendaftarkan
anaknya untuk sekolah di setiap awal tahun ajaran baru.

Padahal, kalau memang mau sukses – katakanlah punya uang


yang takkan habis 7 turunan – tak perlu sekolah. Karena dapat
apa sih dari sekolah itu? Apa yang jadi jaminan dari pihak
sekolah bahwa si anak-didiknya itu akan berhasil di kehidupan
kelak? Bualan tentang pelajaran kah?

Para orangtua – karena sudah terkontaminasi – biasanya akan


marah ketika melihat anaknya hanya mendapat 5 dalam
pelajaran IPA, akan marah ketika si anak tidak dapat ranking 3
besar, akan marah ketika si anak tidak tahu nama planet ke-4
dari matahari, dan akan marah ketika anaknya tidak bisa
menghitung pengakaran. Padahal hal itu salah besar. Ada
banyak hal yang harus diperhatikan dari seorang anak. Anak
itu bukan sekedar Buku Pintar yang dapat ditanyai semua hal
tentang itu. Anak punya karakter dan kemampuan unik. Ketika

Essai, Jangan sekolah 8


Bagian 2 – tentang Kurikulum

si anak membantu temannya, berkata jujur, beribadah, dan


mencari teman, sebenarnya itulah yang harus disorot dalam
perkembangan anak. Karena sudah jelas-jelas si anak tidak
akan memakai yang namanya persamaan logaritma ketika ia
mau diterima oleh masyarakat.

Masyarakatnya, pada masa depannya, tidak akan lagi bertanya


“lulusan mana?” atau “IPK berapa?” pada si anak. Masyarakat
jelas-jelas akan melihat kepribadian, kemampuan
bersosialisasi, kemampuan bertenggangrasa, kemampuan
memecahkan masalah dan etika yang semuanya itu tidak
diajarkan di sekolah.

Lantas untuk apa sekolah?

Mindset yang sudah mengakar inilah yang akan membuat


Human Index Development Indonesia terus merosot sampai
level terbawahnya. Karena itu stigma ini harus segera
dihilangkan sebelum anak-anak lain gantung diri karena
tertekan dengannya.

Orientasi yang salah

Tak ada yang salah dengan kurikulum ini, kurikulum ini sudah
“mau” memasukkan poin sikap sebagai salah satu aspek
penilaiannya. Itu sangat bagus. Tapi ketika KTSP yang
mestinya menyorot masalah afektif ini tidak berjalan dengan

Essai, Jangan sekolah 9


Bagian 2 – tentang Kurikulum

baik, berarti sistem yang berjalan sekarang masih sama


dengan sistem saat kurikulum 1994 yang mengutamakan nilai
(kognitif).

Orientasi kognitif

Sejauh ini, pemerintah telah mengimplementasikan kurikulum


yang begitu kaku dan siap membunuh karakter. Karena yang
dituju oleh pembelajaran dalam sistem ini adalah tuntutan
pemenuhan nilai. Atau penuntutan terhadap penguasaan
materi.

Kalau kita lihat secara menyeluruh, yang jadi akar


permasalahannya adalah orientasi dan definisi dari
“keberhasilan pendidikan” itu sendiri yang masih sama sekali
tidak tepat sasaran.

Karena sasaran pendidikan adalah membentuk “manusia”. Dan


itu takkan pernah berhasil dengan sistem ini. Karena kognitif
bukanlah satu-satunya hasil yang bisa diukur dari manusia.
Selain IQ, masih ada EQ, SQ juga CQ serta “Q”-“Q” yang
lainnya. Kurikulum yang sekarang pemerintah kita pakai,
adalah orientasi pengetahuan serta berbagai macam teori-
teori – yang nampaknya tidak berguna dalam kehidupan nyata
- juga warna-warni doktrin dan pedagogi.

Orientasi ini – kognitif – merupakan kesalahan fatal dalam


proses pembelajaran. Kognitif bukanlah sesuatu yang akan

Essai, Jangan sekolah 10


Bagian 2 – tentang Kurikulum

tetap menjamin kita tetap hidup ketika tiba di “kehidupan


nyata” nantinya. Saya masih ingat perkataan guru biologi saya
yang tercinta, Ilmu itu ngga ada yang ngga berguna. Ok ok,
saya amat setuju dengan itu. Memang teori itu penting, tapi
yang jauh lebih penting adalah penanaman kepribadian. Yang
harus dijadikan orientasi pembelajaran bukanlah nilai
kognitif, tapi nilai kehidupan.

----------------------------------------------------------------------------
UU no. 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab X Kurikulum

Pasal 36
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Essai, Jangan sekolah 11


Bagian 2 – tentang Kurikulum

----------------------------------------------------------------------------

Tinjauan UU
Dari uraian UU di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
kurikulum sekarang pun (sangat disayangkan) belum sesuai
dengan UU tersebut. Kurikulum yang sekarang hanya
memenuhi satu poin saja: g. Kognitif.

Tuntutan yang tidak terpenuhi


Kenapa dikatakan demikian? Sebagai contoh, untuk poin f
“tuntutan dunia kerja” ini sangatlah belum mencapai
sasaran. Kenapa sekarang ini masih banyak para sarjana
yang menganggur? Karena kemampuan para sarjana itu
tidak cocok dengan yang dibutuhkan dunia kerja.
Kejujuran dan kemampuan bekerjasama dengan kelompok
itu tidak pernah diajarkan di sekolah. Ini tentu perlu suatu
pengkajian ulang.

Selain itu, dalam poin b “peningkatan akhlak mulia” pun


sangat-sangat belum memenuhi sasaran. Seperti yang kita
tahu bahwa yang namanya akhlak mulia ini amat berkaitan
erat dengan pelajaran PKn dan agama. Namun sayangnya,
PKn di sekolah tidak pernah mempelajari hal ini. Yang
dipelajari adalah materi-materi tentang politik serta
hukum. Hal yang sama terjadi dalam pembelajaran
agama, pelajaran agama selama ini hanya menuntut
penguasaan materi seputar hubungan vertikal tentang
ketuhanan tanpa pernah memberikan ilmu-ilmu aplikatif

Essai, Jangan sekolah 12


Bagian 2 – tentang Kurikulum

yang bisa langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-


hari.

----------------------------------------------------------------------------
UU no. 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab II Dasar, fungsi dan tujuan

Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan UUD Negara RI tahun 1945

Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan agar berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab
----------------------------------------------------------------------------

Tinjauan UU
Sangat disayangkan (lagi) ya? Ternyata UU yang sudah dengan
susah payah dipikirkan, diformulasi lalu kemudian diputuskan
ini hanya digunakan sebagai dekorasi pelengkap kitab UU. UU
ini seperti hanya formalitas.

Essai, Jangan sekolah 13


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Pemerintah sendiri ternyata telah menyalahi UU yang


dibuatnya. Dilihat dari pasal 3, ternyata pemerintah tidak
sejalan dengan UU tersebut. Di situ disebutkan bahwa “…
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak…” yang
sama sekali tidak pemerintah penuhi.

Mengembangkan kemampuan
Seperti yang akan dibahas lebih jauh dalam Multiple
Intillegences pada pembahasan selanjutnya, setiap
manusia telah diberi kemampuan yang begitu unik dan
sama istimewanya dengan yang lain.

Pemerintah disini sepertinya memulukratakan


kemampuan semua siswa. Bahwa siswa haruslah pintar
dalam matematika, bahasa, ilmu sosial atau sains. Seperti
yang pemerintah uji dalam UN.

Misalkan ada seorang siswa yang jago nyanyi. Dia amat


percaya diri dan memang suaranya enak di dengar. Segala
lagu yang ia bawakan terasa menyatu dan menyentuh.
Terlihat minat yang teramat sangat dari anak ini terhadap
musik. Tapi, apa yang ia dapat dari sekolah? Ia akan dapat
logaritma, atau kesetimbangan yang samasekali tidak
mendukung kemampuannya dalam menyanyi. Syukur-
syukur si anak ini suka atau mampu, kalau tidak? Sangat
disayangkan, karena ini jelas menghambat perkembangan
kemampuan si anak. Padahal bisa jadi ia adalah si Anggun
C. Sasmi kecil.

Essai, Jangan sekolah 14


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sebaiknya, pada awal tahun ajaran baru, setiap satuan


pendidikan memberikan semacam tes minat dan bakat
kepada seluruh siswa. Setelah mendapatkan hasil, guru
tidak lagi berhak untuk menempatkan siswa-siswinya
dalam suatu disiplin ilmu apapun, biarkan siswa sesuaikan
sendiri berdasar minatnya. Kemudian, janganlah
berasumsi bahwa seorang yang jago olahraga tidak lebih
cerdas dari seorang penerjemah. Segala bidang sama
baiknya dan sama prospektifnya. Di sinilah tugas guru
sebagai fasilitator benar-benar dioptimalkan. Guru –
setelah tahu minat dan bakat siswanya – harus terus men-
support dan mengembangkan bakat yang siswanya miliki.
Bukan menutupi ketidakmampuan siswanya, asah saja
bakatnya. Sehingga, kemampuannya pun akan keluar
semua.

Membentuk watak
Inilah yang sedang dibutuhkan era global – atau sebut saja
dunia kerja – sekarang ini. Yang sayangnya tidak ada
dalam kurikulum sekarang. Hal ini memang ter-cover
dalam PKn dan pelajaran agama, atau mungkin dalam
pelajaran BP yang jadi mulok di beberapa sekolah. Tapi
itu semua belum cukup. Harus ada jam lebih untuk
masalah karakterisasi ini. Diperlukan juga tes-tes
penelusuran minat dan bakat yang lalu ditindaklanjuti.
Karena PKn akan dihabiskan oleh pendidikan politik begitu

Essai, Jangan sekolah 15


Bagian 2 – tentang Kurikulum

juga dengan pelajaran agama yang akan habis oleh


pendalaman spiritual.

Kesalahan orientasi kognitif

Sejauh yang kita amati dalam proses peng-KTSP-an kurikulum,


ada banyak hal yang hilang. Salah satunya adalah penerapan
budi pekerti. Hal itu mencangkup luas, masalah etika
pergaulan dan kemasyarakatan – yang jelas-jelas jauh lebih
berguna ketimbang hukum Archimedes. Ya kan? Hal ini sudah
tentu menjelaskan kenapa masih banyak para sarjana yang
menganggur. Padahal ia sudah jelas-jelas lulusan dari sebuah
PT yang paling bergengsi di kotanya. Karena budi perkerti
tidak dipelajari di sekolah, dan itu sangat dibutuhkan untuk
dapat terjun ke masyarakat.

Membentuk pikiran masyarakat yang buruk


Ketika pemerintah memberlakukan kurikulum yang
mengacu pada nilai semata, masyarakat pun akhirnya
berfikir bahwa untuk menjadi seorang yang sukses itu
harus bernilai baik pada banyak mata pelajaran.

Lihat saja betapa masih banyak orangtua juga guru yang


sering sekali mempermasalahkan hal seperti ini. Masalah
timbul ketika seorang siswa atau anaknya dapat nilai 6 di
pelajaran matematika. Tapi jarang timbul masalah ketika
siswa itu tidak bisa bicara di depan umum. Jadi bahan
omongan kalau anak itu tidak pintar sejarah, padahal anak

Essai, Jangan sekolah 16


Bagian 2 – tentang Kurikulum

itu senang menolong temannya. Jadi cemoohan kalau anak


itu tidak hafal rumus tenses, padahal anak itu tidak
pernah membolos.

Tidak mengembangkan kepribadian


Ketika siswa SMA adalah para remaja yang masih dalam
proses pencarian jati diri, maka seharusnya pemerintah
menyediakan kurikulum yang membantu proses tersebut.
Alih-alih membantu siswa, malahan menuntut siswa
dengan berbagai kemampuan akademis.

Hal yang terlalu menuntut ini menjelaskan kenapa masih


banyak remaja yang akhirnya memilih “image” yang tidak
baik. Pemakai narkoba misalnya. Karena selain mereka
belum keluar dari masa coba-cobanya mereka pun dapat
tekanan ketika ternyata mereka tidak mapan dalam
bidang akademis.

Padahal sudah jelas ketika nanti terjun ke masyarakat,


takkan ada lagi tetangga yang menanyakan “lulus dari
mana?” atau “kamu ranking berapa?” kepada anak
tersebut. Yang dilihat masyarakat adalah kepribadiannya
yang hangat.

Terlalu paham akan Top-Down system


Top-down system adalah sebuah paham di bidang militer
yang menghendaki tidak adanya perubahan dalam

Essai, Jangan sekolah 17


Bagian 2 – tentang Kurikulum

penyampaian perintah dari jabatan yang paling atas


sampai kepada prajurit.

Hal ini sangatlah baik untuk dilaksanakan dalam militer.


Karena kesalahan kecil dalam penyampaian perintah akan
menimbulkan multiinterpretasi yang pastinya akan
membuat bingung dalam pelaksanaan strategi.

Namun ketika paham ini menyentuh dunia pendidikan,


hasilnya adalah guru dan siswa yang dogmatis. Guru dan
siswa tersebut pun melaksanakan – katakanlah dengan
senang hati – segala instruksi yang diterima walaupun
alasannya tidak rasional.

Sistem ini sudah pasti akan siap membunuh para reformis


yang seringkali membangkang. Dan sudah tentu akan
mematikan kreatifitas dan inisiatif dari siswa dan murid.
Karena keduanya dibuat untuk siap menerima perintah.

Dan itulah kenapa mayoritas lulusan sekolah ingin bekerja


pada orang lain atau katakanlah sebuah perusahaan
(diperintah) daripada membuat pekerjaan sendiri atau
katakanlah berwiraswasta (memerintah).

Menghambat prestasi non-akademik


Sudah banyak para peraih medali baik tingkat nasional
maupun regional yang akhirnya hanya menutup impiannya
untuk menjadi seorang atlet besar dan kemudian hanya

Essai, Jangan sekolah 18


Bagian 2 – tentang Kurikulum

menjadikan kemampuan luar biasa yang ia miliki sebagai


hobi, kemudian “hanya” diturunkan kepada anaknya,
paling jauh pun akhirnya kemampuan itu ia salurkan
dengan jadi instruktur.

Sangat disayangkan. Padahal bisa jadi mereka adalah para


Alan Budikusuma dan Susi Susanti masa depan. Siapa tahu
juga ada Chris John cilik. Atau pun Taufik Hidayat-Taufik
Hidayat kecil. Semuanya itu sangat memungkinkan.

Sedangkan, kurikulum yang digunakan sekarang hanya


menuntut penguasaan ilmu pengetahuan tanpa
memperhatikan kemampuan atau bakat unik masing-
masing peserta didik.

Hanya membuat robot.


Ketika seluruh peserta didik dianggap sama dan harus
dapat hasil yang sama oleh guru dan pemerintah, maka
karakter tidak akan terbentuk.

Bagai mesin fotocopy, sekolah selama ini hanya


mendoktrin siswa bahwa harus ini dan itu dan tidak boleh
ada yang protes. Selain itu, memberlakukan disiplin
secara militer. Serta sangat kecil kemungkinannya untuk
siswa dapat mengembangkan bakat uniknya. Dan terakhir,
tidak adanya program pengembangan karakter.

Essai, Jangan sekolah 19


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Maka yang dihasilkan dari keempat proses salah di atas


adalah para robot. Yang kaku dan terpenuhi oleh teori.
Mereka – yang lulus dengan sangat baik – akan menjadi
pribadi yang itu-itu saja seperti tahun-tahun ke belakang.
Mereka tidak punya karakter dan kepribadian yang mantap
yang jelas-jelas akan dibutuhkan ketika ia akan masuk ke
dalam masyarakat.

Itulah kesalahan-kesalahan selama ini yang nampaknya tidak


pernah dicermati oleh para pendidik, juga pemerintah. Sistem
yang dicoba sekarang ini hanya akan menghasilkan para
pemilik teori yang tidak kreatif, padahal di era global seperti
sekarang ini, teori dan tingginya IQ adalah kebutuhan nomor
ke-sekian dalam upaya menyukseskan hidup.

Faktor sukses

Berikut ini adalah hasil survey yang dilakukan oleh Thomas J.


Stanley, Ph.D yang ditulis dalam bukunya, The Millionaire
Mind. Survey yang dilakukan di Amerika ini, punya 1.001
responden. Dari 1.001 orang ini, 733 adalah miliuner dengan
kekayaan di atas USD 1 juta. Hebat bukan? Daftar faktor
sukses ini diurutkan dari yang paling berpengaruh, dan
seterusnya.

1. Jujur pada semua orang


2. Disiplin tinggi

Essai, Jangan sekolah 20


Bagian 2 – tentang Kurikulum

3. Supel, pintar bergaul


4. Punya pasangan yang mendukung
5. Kerja keras
6. Cinta pekerjaannya
7. Kepemimpinan yang baik
8. Semangat dan kompetitif
9. Hidup teratur
10. Bisa menjual ide atau produk
11. Investasi dengan bijak
12. Melihat peluang yang tak dilihat orang lain
13. Jadi bos atas diri sendiri, tidak mudah terpengaruh
14. Berani ambil resiko
15. Punya mentor yang baik
16. Berambisi untuk dihormati atau dihargai
17. Bikin usaha sendiri
18. Menemukan peluang
19. Punya energi besar
20. Fisik yang sehat
21. Punya IQ tinggi atau superior
22. Punya keahlian atau spesialisasi
23. Masuk sekolah atau universitas top
24. Mengabaikan kritik yang tiada guna
25. Hidup hemat
26. Iman kuat
27. Beruntung
28. Investasi di perusahaan publik
29. Punya penasehat investasi (keuangan) yang baik
30. Lulus dengan nilai terbaik atau hampir terbaik

Essai, Jangan sekolah 21


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Kalau kita lihat hasil survey tersebut, sangat sangat


menunjukkan kalau sekolah itu memanglah tiada guna. Karena
apa yang akan kita dapatkan dari 12 tahun sekolah dan 4
tahun kuliah hanyalah 4 poin, yaitu : disiplin (itu pun disiplin
yang dipaksakan) ; IQ tinggi ; sekolah top ; lulus dengan nilai
baik.

Saya bukan mau bilang bahwa seorang yang berpendidikan


sukses tak akan sukses hidupnya, hanya saja kita tidak boleh
memandang suksestidaknya seseorang hanya dari latar
belakang pendidikannya saja. Banyak pula yang berpendidikan
rendah malah lebih sukses daripada mereka yang luar biasa
dalam pencapaian akademiknya.

Saya juga bukannya antisekolah atau skeptis terhadap


pemerintah. Hanya saja, sistem pendidikan – kurikulum – di
Indonesia harus segera direformasi karena sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan global.

Pendidikan menurut ki Hajar Dewantara

Soewadri Soerjaningrat, atau Ki Hajar Dewantara, yang kita


kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia patut bersedih.
Karena segala cita-citanya dalam dunia pendidikan telah
disalahjalurkan oleh sistem ini.

Essai, Jangan sekolah 22


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Cita-cita
Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, seseorang dapat
dikatakan menjadi terdidik apabila orang tersebut telah
memenuhi tiga aspek dari keberadaan manusia. Yaitu : daya
cipta (pemikiran), daya karsa (ketrampilan) dan daya rasa
(perasaan).

Sebenarnya, jika dikonversikan ke dalam kurikulum sekarang,


ketiga poin tersebut sudah dipenuhi. Karena pemikiran adalah
arti lain dari kognitif, ketrampilan adalah poin psikomotor,
pun perasaan yang merupakan penjelmaan dari poin afektif.

Salah jalur
Namun, sistem pendidikan sekarang ini seolah mengharamkan
segala bentuk pemanusiaan seperti yang beliau sampaikan.
Pendidikan sekarang tidaklah lagi akan menciptakan kualitas
akademisi yang berkepribadian dan akan membentuk budaya
bangsa nantinya, melainkan hanya menjadikan para pemilik
teori yang susah untuk diterima masyarakat. Karena sudah
terlihat dari berbagai kebijakan yang dijalankan yang
menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia ini hanya
menekankan akan pemahaman teori.

Ketika yang menjadi patokan adalah teori, maka lulusannya


pun – katakanlah – super pintar tapi ternyata tidak
mempunyai karakter. Menjadi sebuah prototype yang pasaran.

Essai, Jangan sekolah 23


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Bangsa ini harus segera mereformasi segala bentuk kurikulum


dan penekanan yang ada. Kalau kita ingin menghargai Bapak
Pendidikan kita, maka kembalikanlah jalur pendidikan seperti
yang beliau harapkan pada tahun 1922 dulu. Untuk
memanusiakan manusia.

Pabrik itu bernama sekolah

Saya terlewat kagum kepada seorang Izza Ahsin dalam


bukunya Dunia tanpa Sekolah. Ia - walaupun dengan umur
yang masih begitu muda - berani mengungkapkan pendapatnya
terhadap dunia pendidikan. Izza baru berumur 15 tahun waktu
itu. Saat itu dia kelas 3 SMP - 3 bulan lagi UAN – dan ia
memberanikan diri untuk keluar (berhenti) sekolah. Karena ia
menganggap sekolah hanyalah formalitas belaka (ya, saya
setuju) dan telah memenjarakan segala kreatifitasnya (ya,
setuju lagi). Sekolah menurutnya bukan lagi tempat yang
pantas untuk mencari ilmu-ilmu yang akan menuntunnya
untuk capai cita-citanya untuk jadi seorang penulis. Walaupun
dengan berat hati, tapi akhirnya ibunda Izza rela melepaskan
anaknya dari bangku sekolah. Walaupun setelah itu ia harus
menerima berbagai macam cemoohan dan ejekan dari
tetangga bahkan saudaranya sendiri. Namun begitu, ia malah
dengan hebatnya bisa menulis buku berjudul Dunia Tanpa
Sekolah. Takjub.

Saya sampai terkagum-kagum ketika baca tulisannya yang


seperti ini “Aku memilih melawan arus; membebaskan diriku

Essai, Jangan sekolah 24


Bagian 2 – tentang Kurikulum

sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berta dari luar.


Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak
ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; Sedangkan
anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa”
Sungguh, pemikiran sederhana dari seorang Izza ini amat
menggugah saya pribadi. Saya pun jadi berfikir, kenapa ada
stigma seperti itu di masyarakat?

Sejarah sekolah
Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil dari
pencarian seorang Horace Mann yang pada tahun 1837
diangkat menjadi Commissioner of Education, - semacam
menteri pendidikan - di Amerika.

Pendidikan di Amerika awalnya adalah dengan cara


mengumpulkan siswa lalu menyuruhnya untuk menghafal
teori untuk kemudian dites di depan. Parah. Ketika
Amerika sedang meledak populasinya, dan kebutuhan akan
pendidikan secara signifikan naik, maka ia pun pegi ke
Eropa untuk mencari sebuah sistem pendidikan yang
murah dan efektif.

Maka ditemukan dan dikembangkanlah sistem sekolah


seperti sekarang ini. Ada guru, juga murid secara klasikal.
Ada tingkatan kelas, ada materi pembelajaran dan ada tes
(ujian) Yang sebenarnya ini adalah hasil adaptasi terhadap
sistem militer Prusia.

Essai, Jangan sekolah 25


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Kata kindergarten (bahasa Inggris : TK) sendiri sebenarnya


adalah bahasa Prusia. Sistem sekolah Prusia digunakan
untuk mendidik tentara. Dan karena yang akan dibentuk
adalah suatu makhluk militer – yang tentunya siap pakai -
maka harus ada yang berpangkat tinggi dan rendah, maka
dibentuklah system Top-Down juga sistem ujian untuk
menyaringnya.

Kloning siswa
Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD dulu. Coba
ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa kita lagi lucu-
lucunya. Tepatnya saat pelajaran kesenian. Dan ketika
disuruh menggambar, apa yang digambar siswa? Pasti
pemandangan. Ada dua buah gunung, dengan matahari
yang berbentuk seperempat lingkaran timbul dari balik
gunung itu. Di atasnya, ada banyak “m” yang ceritanya
adalah burung. Juga ada awan bulat. Di bawahnya ada
semacam garis-garis zigzag seperti sandi rumput yang
menandakan bahwa itu adalah hutan. Di bawahnya, ada
sawah terbentang dengan bentuk padi yang menyerupai
“v” dengan beberapa buah rumah tersebar. Dan tepat di
tengahnya, ada jalan raya, kalaupun tidak, pasti sungai.

Essai, Jangan sekolah 26


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Familiar? Belum lagi masalah kapal-kapalan dari kertas.


Pasti bentuknya itu lagi itu lagi. Terlihat di sini kebenaran
pernyataan Izza Ahsin, sekolah memang benar-benar telah
memenjarakan kreatifitas manusia.

Saya jadi ingat waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah


membuat gambar yang berbeda dari teman kebanyakan,
kalau teman membuat pemandangan gunung, saya
membuat pemandangan pantai. Memang gambarnya tak
bagus bagus amat, tapi yang buat saya kecewa adalah
cemoohan dari teman serta guru. Mereka bilang “Ko kamu
bikin pantai sih?”

Refleksi
Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para tentara kita
itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang kembar identik
sekalipun. Mereka mendapat doktrin yang sama,
mendapat “kekejaman” yang sama, mendapat “otoritas”
kedisiplinan yang sama sampai rambut pun dipotongcepak
sama. Mereka (maaf) bak produk robot-robot dari sebuah
pabrik. Tanpa karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi

Essai, Jangan sekolah 27


Bagian 2 – tentang Kurikulum

masalah, karena mereka adalah tentara yang tugasnya


adalah membela Negara. Mereka memang harus
berstandar sama sesuai dengan prinsip kesamaan agar
solidaritas yang amat sangat tetap hadir di antara mereka.

Tapi, apa itu yang diharapkan dari lulusan sekolah?


Sudahlah, cukup Akpol dan Akmil yang bikin lulusan
“robot” seperti itu, lulusan sekolah jangan. Lulusan
sebuah sekolah apalagi universitas harus punya karakter
yang dibutuhkan oleh negeri ini, harus punya kreatifitas
dan daya saing.

Lihatlah hasil lulusan sistem sekarang. Mayoritas mereka


adalah manusia-manusia robot yang kaku seolah tak
dimasukkan program “perasaan” dalam memorinya yang
kepenuhan teori itu. Lihat pula para “pejabat” yang
terlihat tidak punya hati Karena dengan semena-mena
mempermainkan rakyat juga uangnya. Mereka manusia,
tapi tidak manusiawi.

Reformasi
Sekolah - yang sekarang mirip pabrik ini – seharusnya tidak
mensubstitusikan materi kepada peserta didiknya
semacam itu. Karena bagaimanapun, Tuhan Yang
MahaKuasa sudah menghadiahi masing-masing individu
dengan kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak
boleh memukulratakan kemampuan semua siswa. Tuhan
membuat manusia bukan untuk bersaing, melainkan untuk

Essai, Jangan sekolah 28


Bagian 2 – tentang Kurikulum

berdamping, karena antara manusia yang satu dan yang


lainnya adalah sama-sama istimewa dan berharganya. Dan
tak ada yang lebih hebat di antaranya.

Sekolah, saya rasa seharusnya “hanya” jadi pendamping dan


sebagai salah satu fasilitas untuk para peserta didiknya
mencari kemampuan uniknya atau si “aku yang hebat”nya
masing-masing. Karena tidak semua orang secerdas Izza, yang
mampu menemukan “Izza yang hebat” dalam dirinya melalui
dunia kepenulisan.

Softskills-oriented

Ada yang baru dikemukakan oleh salah satu universitas


terkemuka di Amerika tentang temuannya di bidang
pendidikan yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk hidup
manusia itu mayoritas adalah softskill, bukan hardskill.

Softskills, makhluk apa itu?

Wikipedia memaparkan bahwa softskills merupakan istilah


sosiologis yang merujuk pada sekumpulan karakteristik
kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan berbahasa,
kebiasaan pribadi, kepekaan atau kepedulian, serta
optimisme. Softskills ini melengkapi hardskills

Essai, Jangan sekolah 29


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Hardskills adalah kecakapan teoritis dan praktis dari sebuah


disiplin ilmu. Contoh, seorang lulusan teknik informatika
tentunya harus menguasai hardskill di bidang rekayasa
perangkat lunak, web programming, dll. Demikian juga
seorang lulusan akuntansi, misalnya harus menguasai analisis
laporan keuangan, penyusunan anggaran, dll.

Kalau kita lihat pengertiannya saja, kita pasti sudah tahu


betapa penting dan berharganya softskills ini. Softskills ini
biasanya hanya diintegrasikan dalam berbagai kegiatan non-
kurikulum. Contohnya, acara seminar pengembangan diri dan
outbond.

Namun, pada realitanya seminar-seminar pengembangan diri


juga outbond sangat jarang dilaksanakan. Selain karena
“sedikit” memakan waktu pastinya juga akan menyerap
tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Alangkah baiknya kalau
softskills ini diintegrasikan ke dalam kurikulum wajib di
sekolah. Karena, kembali lagi ke pasal 3 UU no. 20 tahun
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan
“…mengembangkan kemampuan dan membentuk watak…” .
Watak yang dalam arti sederhana dapat diartikan sebagai
kepribadian dan kepribadian ini merupakan salah satu bagian
dari softskills, jadi - secara tidak langsung – kalau pemerintah
– memang – mau membentuk watak seperti yang disebutkan di
atas, pemerintah harus “sedikit” mereformasi kurikulum
dengan menambahkan poin “penambahan softskills” dalam
pasal 37. Tidak sulit kan?

Essai, Jangan sekolah 30


Bagian 2 – tentang Kurikulum

KTSP dan softskills

Lantas, apa hubungannya KTSP ini sama softskills? Dalam


KTSP, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya terdapat
3 aspek penilaian, yaitu : kognitif (teori); psikomotor
(ketrampilan); afektif (sikap). Nah poin afektif itulah
softskills.

Afektif

Afektif atau dalam pengertian awam disebut kepribadian


merupakan salah satu komponen dasar dari softskills.
Jadi, sebenarnya dalam KTSP sudah dikenal softskills.
Tapi, pada kenyataannya di lapangan, metode pengajaran
yang dilaksanakan kebanyakan masih sama saja seperti
saat kurikulum 1994. Dimana guru masih terpatok pada
pencapaian akademik dan bukan bakat masing-masing
siswa juga sikapnya.

Metode pengajaran yang sudah kelewat kadaluarsa inilah


yang menghambat pembentukkan softskills. Karena
selama ini, faktanya, yang jadi penentu lulustidaknya
seorang siswa dari sekolahnya adalah Ujian Nasional - yang
hanya mengujikan kognitif. Hal ini melanggar PP no. 19
tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. Bab X,
Standar penilaian pendidikan. Bagian kelima, kelulusan.
Pasal 72 Ayat (1) poin d. yang menyebutkan bahwa Ujian
Nasional merupakan salah satu dan bukan satu-satunya
penentu kelulusan. Dan pada ayat (2) yang menyebutkan

Essai, Jangan sekolah 31


Bagian 2 – tentang Kurikulum

bahwa yang berhak melulustidakan siswanya adalah


sekolah masing-masing, bukan pemerintah.

Karena selama yang menentukan kelulusan adalah


kognitif, maka orientasi materi pun akan selalu kognitif.
Karena bagaimana pun mereka semua – pihak sekolah –
ingin peserta didiknya lulus semua, agar nama baik dirinya
dan sekolahnya tetap baik.

Kalau Ujian Nasional tidak dijadikan satu-satunya alat


penentu kelulusan, dan guru diberikan kewenangan penuh
untuk menetapkan kelulusan peserta didiknya, otomatis,
afektif (sikap) yang selama ini diabaikan pemerintah akan
sangat berpengaruh.

Selama ini, baik-tidaknya seorang siswa, rajin-tidaknya


seorang siswa sama sekali tidak berpengaruh terhadap
kelulusan. Jadi kalaupun siswa itu hanya masuk saat Ujian
berlangsung dan secara ajaib dapat mengerjakan soal
Ujian dengan sangat baik, maka ia dinyatakan lulus.
Dimana moralnya? Dimana prosesnya? Apakah seperti itu
pendidikan kita?

Kalau afektif berpengaruh, siswa-siswi jadi akan lebih


memperbaiki dan menjaga sikapnya terhadap guru dan
temannya supaya ia berhak lulus nanti. Ia takkan rajin
bolos dan ia akan lebih tertib pada peraturan.

Essai, Jangan sekolah 32


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sebuah resolusi sederhana untuk lebih menanamkan


kedisiplinan sikap. Karena sangat jelas, afektif inilah yang
akan menuntun siswanya kepada dunia kerja. Oleh Karena itu,
poin afektif dalam KTSP harus segera difungsikan lagi.

Iptek yang menjemukkan

Saya tak habis pikir, selama saya sekolah di SMA itu memori
saya harus dipenuhi oleh berbagai macam teori dan rumus
yang – rasanya - tak begitu berguna jika dipakai dalam
kehidupan nyata. Karena selama ini, selama 12 tahun saya
mengenyam pendidikan, bersusah payah dan dengan rela
membiarkan otak saya berkutat dengan berbagai penjelasan
mengenai tata surya dan gejala fisika, ataupun termodinamika
dan operasi pertidaksamaam matematika itu rasanya sama
sekali tak perlu.

Hey hey, kenapa tidak lebih baik belajar psikologi remaja


atupun lebih baik belajar tentang HIV-AIDS saja? Ya kan?

Kalau homeschooling itu sudah trend dari zaman Agnes Monica


masih menjadi pembawa acara Tralala trilili bersama Indra
Bekti, rasanya saya lebih baik ikut program homeschooling
dan setelah tiba saatnya saya akan ikut Ujian persamaan lalu
melanjutkan kuliah. Tapi apa daya, karena toh saya juga
sudah lulus SMA.

Essai, Jangan sekolah 33


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Ilmu pengetahuan aplikatif

Ilmu-ilmu lain yang menggemaskan nan menggoda buat saya


pribadi adalah ilmu tentang HIV-AIDS, psikologi remaja,
lingkungan, NAPZA dan juga seksologi remaja. Yang semuanya
itu sebut saja Ilmu pengetahuan remaja.

Menurut saya, dan beberapa pengamat pendidikan, IPR ini


jauh lebih penting dalam membekali para peserta didik untuk
menjalani kehidupan. Kenapa? Sudah jelas toh kenapa masih
banyak siswa yang tawuran? Kenapa masih banyak siswa yang
melakukan tindakkan kekerasan dan asusila? Dan kenapa
masih banyak remaja yang terjerumus masalah narkotika? Itu
semua karena ketidakpahaman mereka soal itu.

Khas remaja
Seperti yang kita ketahui, remaja itu punya emosi yang
masih labil, energi yang luar biasa banyaknya, juga punya
rasa penasaran yang teramat sangat. Dari pada energi itu
akhirnya terbuang ke hal-hal negatif, bukankah lebih baik
ditampung untuk membangkitkan Negara? Maksud saya
bukan menjadikan energi itu sebagai alternatif bahan
bakar, tapi mengkondisikan para remaja agar tetap
positif, supaya seluruh potensi mereka tergali.

Integrasikan ilmu
Belum lama ini, pemerintah Kota Bandung sudah
mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk memasukkan

Essai, Jangan sekolah 34


Bagian 2 – tentang Kurikulum

mata pelajaran Lingkungan Hidup ke dalam kurikulumnya.


Tapi, hal ini hanya terjadi di beberapa kota. Dan jangan
anggap masalah lingkungan ini tidak penting, buktinya
masih banyak bencana alam yang diakibatkan oleh tangan
manusia kan? Lewat pelajaran ini, siswa diberi
pemahaman akan pentignya menjaga lingkungan.

Selain itu, masalah yang tak kalah pentingnya adalah


trilogi AIDS-sex-NAPZA. Hal ini juga belum diintegrasikan
dalam kurikulum sekolah. Sayang sekali, padahal ketiga
instrumen maksiat ini amat sangat berkesempatan untuk
membuat hancur bangsa ini.

Hal-hal seperti ini sering kita lihat sebatas pada seminar-


seminar ataupun kunjungan pihak kepolisian berbarengan
dengan BNK ke sekolah-sekolah dalam rangka sosialisasi.
Selain seminar-seminar tersebut akan memakan waktu dan
biaya, itu semua nampaknya tidak memberi hasil yang
cukup berarti. Karena animo siswa pun kurang, karena
acaranya pun hanya sebatas bincang-bincang di aula atau
di lapang. Hal berbeda akan nampak jika hal ini dipelajari
di kelas. Karena pembahasannya akan berlangsung cukup
lama dan berulang-ulang juga karena siswa lebih sedikit,
dan bila ditambah dengan metode yang menyenangkan,
pasti akan membuat para siswa akhirnya paham bahaya
dan ketidakbergunaan dari ketiga hal tersebut: HIV-AIDS,
sex dan NAPZA. Karena itu, pengetahuan semacam ini pun
perlu dimasukkan ke dalam kurikulum.

Essai, Jangan sekolah 35


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Penjurusan

Ketika siswa SMA mau menginjak kelas XI, pasti banyak di


antara mereka yang dihadapkan dengan persoalan pemilihan
jurusan : IPA; IPS; bahasa. Kemudian mereka pun tanya sana-
sini untuk mendapatkan informasi. Dan hasilnya mayoritas
pilihan adalah IPA. Alasannya, biar nanti banyak pilihan
kerjanya.

Stigma yang menyesatkan

Selama ini, stigma yang ada dalam masyarakat adalah IPA itu
yang terbaik di antara ketiganya. Dan itu sudah jauh-jauh hari
dibuktikan bahwa itu salah total. Selama stigma itu belum
lenyap dari masyarakat, maka para siswa yang kebanyakan
belum bisa mengorientasikan diri sendiri itu akan mengikuti
saja stigma itu walaupun alasannya itu sudah terlampau
kadaluarsa.

Apa yang salah dengan IPA?


Tak ada yang salah dengan IPA. Ilmunya itu sangat-sangat
baik. Kita bisa tahu penjelasan fenomena-fenomena alam,
tahu alasan kenapa kita akan gendut jika terus
mengonsumsi gula, dapat menjelaskan kenapa seorang
anak lebih mirip ibu atau bapaknya. Lantas kenapa di

Essai, Jangan sekolah 36


Bagian 2 – tentang Kurikulum

beberapa bagian di buku ini terkesan kenyudutkan IPA?


Sedikit mengenang masa lalu, karena saya salah satu
korban salah jurusan. Saya ingin masuk IPS, tapi orangtua
dan guru memaksa saya untuk masuk IPA karena nilai saya
memenuhi syarat, katanya. Dan benar saja, saya tidak
terlalu respek pada pelajarannya. Yang membuat rata-
rata nilai di rapot tetap tinggi adalah pelajaran bahasa
favorit saya, sedangkan untuk MIPA-nya sendiri tak pernah
lebih dari 7. Ya ampun, malu-maluin.

Sekali lagi saya tegaskan, tak ada yang salah dengan IPA.
Hanya saja untuk orang-orang yang minatnya bukan
terhadap bidang saintifik, akan lebih optimal
pembelajarannya jika tidak memaksakan masuk IPA hanya
karena alasan prestisius semata.

Inkonsisten
Kalau kita lihat di lapangan, ternyata selama ini yang
berasal dari jurusan IPA malah tidak konsisten dengan
pilihannya. Tak sedikit dari mereka yang malah
meneruskan studi di program IPS atau kebahasaan.
Syukur-syukur mereka korban salah jurusan seperti saya
yang lalu sekarang diperbolehkan memilih jurusan sendiri.
Tapi bagaimana kalau keinginan masuk IPA itu adalah
memang benar-benar keinginannya? Kalau memang takkan
melanjutkan studi di bidang IPA, buat apa “susah-susah”
melahap semua materi itu? Kasian dong pada orang yang
benar-benar ingin melanjutkan ke studi MIPA tapi tak

Essai, Jangan sekolah 37


Bagian 2 – tentang Kurikulum

berhasil masuk IPA. Sudah jauh-jauh IPA, ketika mau


meneruskan studi di perkuliahan harus belajar dulu
tentang pelajaran IPS. Kenapa tidak dari awal masuk IPS?

Sekarang sudah jadi rahasia umum bahwa ada sebuah


institusi pendidikan di Bogor, IPB, yang semula bernama
Institut Pertanian Bogor, dan sekarang telah
“berbuburmerah-ria” menjadi Institut Perbankan Bogor
atau Institut Publishing Bogor karena banyak lulusannya
yang malah berkecimpung dalam dunia perbankan bahkan
jurnalistik. Kemana komitmen pertaniannya?

Memilih jurusan

Memilih jurusan di SMA sama halnya dengan memilih jurusan


di perguruan tinggi. Semuanya itu harus sesuai dengan Hati
Nurani. Oops, seperti kampanye politik. Tapi itu benar. Yang
harus disesuaikan dengan penjurusan adalah (1) minat, (2)
minat, dan barulah (3) bakat. Hanya kedua hal itulah yang
perlu dijadikan pertimbangan. Keinginan orangtua dan guru,
juga alasan berparasit dengan teman atau pacar sama sekali
jangan dipakai.

Minat dapat dengan sederhana diartikan sebagai kesenangan.


Ketika orang akan dengan senang hati mengerjakan suatu hal,
di situlah minatnya. Bisa pula terlihat dari apa yang menjadi
sorotannya selama ini. Misalkan ia senang mengoleksi novel,

Essai, Jangan sekolah 38


Bagian 2 – tentang Kurikulum

berarti minatnya sastra. Kalau senang berkebun, berarti


minatnya pertanian.

Bakat dapat dengan sederhana diartikan sebagai kemampuan.


Ketika orang dengan sangat mudah mengerjakan suatu hal, di
situlah bakatnya. Atau terlihat juga dari kecepatan pun
kesempurnaan hasil jadinya.

Bila seseorang menentukan pilihan berdasarkan bakat memang


akan mudah menjalaninya, tapi secara psikologis ia tidak
memenuhi panggilan jiwanya. Walaupun hasil yang dicapai
sangat memuaskan – karena ia memang pandai melakukannya
– tapi itu takkan membawa kebanggaan.

Lain halnya ketika ia mendahulukan minat. Walaupun ia tidak


berbakat, tapi karena ia melakukan sesuatu yang menurutnya
menyenangkan, maka hal itu takkan jadi masalah. Bakat bisa
diasah selama ia mau dan tetap termotivasi. Ingat, bakat
hanya mempercepat.

Karena itu, sangat direkomendasikan untuk memilih jurusan


apakah itu IPA atau IPS atau bahasa agar sesuai dengan
keinginan peserta didik itu sendiri, tanpa adanya intervensi
dari pihak guru. Di sini, guru hanya bertindak sebagai
pembimbing, bukan pengambil keputusan. Karena bagimana
pun siswa tersebutlah yang akan menjalaninya. Dan ini
tercantum dalam UU no. 20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bab V, peserta didik. Pasal 12 Ayat (1)

Essai, Jangan sekolah 39


Bagian 2 – tentang Kurikulum

poin b. yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik berhak


mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai minat, bakat dan
kemampuannya.

Saya kenal seorang teman yang sangat ingin masuk IPA.


Sebenarnya kemampuan akademiknya kurang, tapi karena ia
berhasil “menjilat” sang guru, akhirnya ia bisa masuk jurusan
IPA. Walaupun pada awal kelas XI dia sedikit “lelet”, but it’s
fine, karena tak ada beban baginya untuk mempelajari
sesuatu yang ia senangi. Dan benar saja, semakin hari
kemampuan di bidang eksakta-nya semakin baik dan semakin
baik. Malahan bisa merebut hati guru-guru eksakta. Hebat.

Lalu bagaimana dengan si “lamban” yang memaksakan ingin


masuk program yang tidak dikuasainya? Pertama, guru harus
melakukan verifikasi terhadap siswa yang bersangkutan,
apakah itu benar-benar keinginan sendiri dan sesuai dengan
cita-cita atau jangan-jangan hanya ikutan teman atau lebih
parah lagi ikutan pacar. Lalu, jelaskan pula bahwa kalau ia
“ngotot” masuk jurusan ini ia harus belajar lebih giat supaya
tidak tertinggal dengan yang lain. Dan setelah ia “diizinkan”
masuk IPA, para guru harus memberikan perhatian yang lebih
terhadap mereka ini.

Kuota
Di SMA saya dulu, kuota jurusan IPA selalu leih banyak dari
IPS (kebetulan tak ada jurusan bahasa) Dari angkatan ke-1
sampai angkatan saya yang ke-9 masih seperti itu, untuk

Essai, Jangan sekolah 40


Bagian 2 – tentang Kurikulum

IPA ada 3 dan IPS ada 2. Seperti di banyak sekolah di


mana-mana. Di sekolah teman saya, terasa lebih
demokratis karena jumlah kelas IPA atau IPS atau bahasa
disesuaikan dengan jumlah murid yang berminat.

Tapi, demokrasi itu tidak terjadi di semua sekolah. Ada


baiknya semua sekolah mau meniru sebuah resolusi
sederhana ini. Yaitu memberikan kebebasan kepada murid
untuk masuk jurusan yang mana, lalu menyesuaikan
jumlah kelasnya dengan jumlah peminatnya.

Tak lupa juga, peran BK harus tetap dioptimalkan untuk dapat


menelusuri minat dan bakat dari semua siswanya.

Edukasi kreatif

Ada pertanyaan, “Sekolah tiga taun, tapi ko mau ujian masih


les juga?” lalu “Abisnya materi di sekolah ngga ada yang
nempel” kemudian “Emangnya les di situ enak ya?” lalu “Ya,
ngerti banget. Belajarnya asik lagi”

Dan saya Cuma bisa berkesimpulan, kalau seperti itu, kenapa


kita tidak usah sekolah saja dan dalam waktu satu tahun kita
hanya les intensif UN, ikut ujian, dan kemudian lulus.

Essai, Jangan sekolah 41


Bagian 2 – tentang Kurikulum

Jelas ada yang perlu ditanyakan di sini. Apa yang


membedakan sekolah dan tempat bimbel? Materi? Sama.
Angka dan huruf yang dipakai pun sama. Mungkin metodenya.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, guru seharusnya sudah


menggunakan metode pembelajaran yang mengasyikkan
menurut muridnya. Kenapa harus ditambah “menurut
muridnya”? Karena seringkali guru-guru mengaku telah
menggunakan metode belajar yang menyenangkan, padahal
menurut dirinya.

Sejauh pemerintah kita mengganti kurikulum namun tak


kunjung merubah atau menyosialisasikan metode belajar yang
menyenangkan bagi siswa, guru-guru kebanyakan – tidak
semua – masih menggunakan cara konservatif seperti seorang
juru pidato dan mendongeng secara panjang lebar tentang
materi yang diajarkan. Ingat, gaya belajar siswa banyak
macamnya (akan dibahas lebih lanjut)

Sedangkan di tempat bimbel, metode pembelajarannya lebih


menyenangkan dan fleksibel. Sehingga tidak membuat siswa
tertekan. Berikut ini beberapa “rahasia” tempat bimbel untuk
mendamaisejahterakan siswanya :
- Jadwal yang fleksibel

- Guru yang hangat dan bersahabat

- Guru tidak hanya berceramah

- Pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa

Essai, Jangan sekolah 42


Bagian 2 – tentang Kurikulum

- Karena siswa sedikit, pendekatan guru pada murid


secara individual dapat dengan mudah berlangsung

Saya tidak ingin mengatakan bahwa kalau sekolah ingin


membuat senyum siswanya berarti harus menghilangkan
jadwal masuk, atau menghilangkan seragam dan
menggantinya dengan baju bebas. Saya juga tak ingin bilang
harus menghilangkan tata tertib. Tapi ada tiga poin penting
yang perlu disorot di sini. Yaitu guru yang hangat, tidak hanya
berceramah dan punya pendekatan individual terhadap semua
siswanya.

Ketiga hal ini nampaknya perlu dipraktekkan oleh para guru


yang ingin selalu dirindukan oleh murid-muridnya.

Sehingga, “suasana” yang jadi komoditas bimbel terlaksana


pula di kelas. Tapi, bukannya nanti tempat bimbel akan jadi
sepi peminat ya?

Reformasi kurikulum

Dari semua estimasi yang telah saya jabarisasi, sebetulnya


hanya ada satu yang ingin saya sampaikan :

SEGERA REFORMASI KURIKULUM

Karena sudah banyak faktanya bahwa kurikulum yang sekarang


dipakai itu, yang saya sebut orientasi kognitif, terbukti

Essai, Jangan sekolah 43


Bagian 2 – tentang Kurikulum

GATOT alias gagal total untuk mencerdaskan kehidupan


bangsa seperti yang tercantum dalam preamboule UUD 1945
paragraf ke-4.

Hasil lulusan yang ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan


pembangunan Negara – sebut saja dunia kerja. Sudah terlalu
banyak “robot-robot” yang bertahtakan gelar Doktor malah
hanya simpang siur kesana-kemari. Mau dijadikan negara
robotkah negara ini? Juga masih banyaknya para siswa yang
belum menunjukkan perilaku yang dewasa dan cerdas semakin
menambah PR buat pemerintah untuk segera mereformasi
kurikulum sekarang ini.

Adapun “resolusi” yang ditawarkan sebagai berikut :

1. Reformasi UN. UN, yang selama ini dijadikan satu-


satunya penentu kelulusan harus diubah fungsinya dari
penentu kelulusan menjadi fungsi awal yaitu “hanya”
berupa bentuk evaluasi akan pemahaman siswa secara
nasional agar masyarakat daerah pun tidak jauh
berbeda kualitas pendidikannya dengan yang di pusat.
2. Untuk penilaian kognitif – karena bagaimana pun ini
tetap perlu – implementasikanlah yang namanya
UASBN. Karena KTSP telah memberikan kebebasan
untuk menyusun kurikulum di satuan sekolah masing-
masing - yang tentunya akan “berbeda” dengan satuan
lainnya karena disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah. Maka percayakanlah pada guru-

Essai, Jangan sekolah 44


Bagian 2 – tentang Kurikulum

guru tercinta untuk menyusun soal-soal ujian anak


didiknya. Karena beliau-beliau inilah yang tahu
perkembangan dan kompetensi anak didiknya
3. Setelah UN bukan lagi penentu kelulusan, pemerintah
harus segera mematuhi PP no. 19 tahun 2005, tentang
Standar Nasional Pendidikan. Bab X, Standar penilaian
pendidikan. Bagian kelima, kelulusan. Pasal 72 ayat
(2) bahwa yang berhak meluluskan peserta didik
adalah instansi terkait atau dalam hal ini guru, bukan
pemerintah.
4. Karena yang menjadi penentu kelulusan bukanlah UN
(kognitif) maka dalam kurikulum bisa dimasukkan
beberapa poin tambahan yang amat berguna :
softskills dan IPR (HIV-AIDS, NAPZA, seksologi remaja,
lingkungan hidup) yang diharapkan akan membentuk
karakter siswa seperti yang tercantum dalam UU no 20
tahun 2003.
5. Dan karena guru “bebas” menentukan kelulusan siswa,
maka bakat-bakat terpendam dari para siswa akan
lebih tergali. Karena selama ini kalau ada yang jago
olahraga dan berprestasi, pasti akan lebih
mementingkan pelajaran - karena bagaimana pun ia
ingin lulus. Kalau sudah diberikan kewenangan pada
guru, setiap siswa yang berkemampuan hebat seperti
itu bisa lebih dikonsentrasikan untuk jadi seorang ahli
di bidangnya.
6. Ketika softskills yang mengandung nilai afektif (sikap)
ini menjadi orientasi, maka guru dan siswa akan lebih

Essai, Jangan sekolah 45


Bagian 2 – tentang Kurikulum

aware dalam memperhatikan attitude-nya. Dan yang


terjadi adalah lulusan akademik yang akan diterima
masyarakat karena mereka telah dibekali kemampuan
hubungan sosial dan kepribadian yang mantap.
7. Selain diterima di masyarakat, dalam dunia kerja pun
akan lebih mudah diterima. Karena selama ini proses
interview dalam lamaran kerja adalah untuk mencari
manasajakah pribadi-pribadi kompeten yang pantas
untuk bekerja di instansi tersebut. Dan kalau dalam
kurikulum telah dimasukkan, hal itu akan membantu
penilaian menjadi lebih efektif. Perusahaan-
perusahaan itu pun tidak perlu mengadakan
leadership training atau teamwork training lagi,
karena sudah pernah dipelajari secara tidak langsung
di sekolah.

Hebat ‘kan?
Hanya perubahan orientasi untuk hasil yang begitu luar biasa.

Essai, Jangan sekolah 46

You might also like