You are on page 1of 5

PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER |1

Pembahasan essay meliputi :


 Pandangan mengenai berbagai system pemerintahan
 Positif dan negative sistem-sistem pemerintahan tersebut
 Hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan dalam
melaksanakan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia

PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER

Baik sistem presidensial dan parlementer pernah diterapkan dalam


pemerintahan Indonesia. Di era 1950-an, kita menerapkan sistem
parlementer. Era ini ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga
menimbulkan trauma. Sistem presidensial digunakan sejak Jenderal
Soeharto tampil sebagai presiden. Sistem ini dengan topangan superioritas
lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan
kehidupan politis yang stabil, namun meniadakan kehidupan politik yang
demokratis.

Kekukuhan sistem presidensial ala Soeharto itu mulai redup sejak 1998
yang ditandai dengan bertiupnya angin reformasi yang menghendaki
demokratisasi, yang mencapai puncaknya dalam tragedi Trisakti. Lengser
keprabonnya Pak Harto, melahirkan sistem demokrasi baru dengan
digelarnya pemilu 1999 yang demokratis dan pemilu 2004 yang memilih
presiden secara langsung. Di era reformasi ini, tidak ada lagi dominasi
Golkar, ABRI dan eksekutif.

Debat di kalangan ilmuwan politik yang mempertentangkan antara


bentuk pemerintahan presidensial versus pemerintahan parlementer dapat
ditemukan dalam banyak literatur. Salah satunya, artikel Juan Linz berjudul
The Perils of Presidentialism mengajukan argumen yang mengaitkan antara
desain konstitusi dan stabilitas demokrasi. Secara eksplisit ia mendukung
sistem parlementer sebagai jalan menuju demokrasi yang stabil. Jadi kita
dapat membuat kesimpulan bahwa konsolidasi demokrasi lebih sulit
dipertahankan dalam sistem presidensial dibandingkan dalam sistem
parlementer. Menurut Linz, ada empat hal pokok terkait dengan isu
tersebut:

Pertama, dalam sistem presidensial, presiden dan legislatif saling


bersaing mengklaim sebagai pihak yang mendapat legitimasi rakyat
(popular legitimacy). Sebaliknya, bentuk parlementer justeru untuk
meniadakan masalah dual legitimacy ini, karena lembaga eksekutif di dalam
sistem parlementer tidak independen dari legislatif.

Oliviane Wenno
XII Ilmu Alam 1 @ BINSUS Tomohon
PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER |2

Kedua, karena masa jabatan presiden sudah ditetapkan berapa lama,


Linz mengklaim sistem presidentialisme kurang fleksibel dibandingkan
system parlementer. Pembatasan masa jabatan itu justru membuat kekakuan
dalam sistem politik, karena itu kurang baik bagi kehidupan demokrasi. Ini
berbeda pada parlementer, karena ada mekanisme mosi tidak percaya dan
pembubaran kabinet oleh parlemen. Keberadaan eksekutif selalu tergantung
pada kepercayaan yang diberikan parlemen.

Ketiga, sistem presidensial pada dasarnya adalah zero-sum elections dan


pemenang mengambil semua (winner take all) dan pesaingnya yang kalah
dalam pemilu tersingkir dari kekuasaan eksekutif selama periode tertentu.
Berbeda dengan sistem parlementer, power-sharing dan pembentukan
koalisi adalah sesuatu yang lazim terjadi, dan si pemegang kekuasaan
(incumbent) karena itu memberi perhatian pada permintaan dan kepentingan
pihak lain, termasuk partai-partai kecil. Sedangkan dalam sistem
presidensial, presiden yang memenangkan pemilu merasa tidak perlu
melakukan koalisi atau memberi konsesi kepada lawan-lawan
politiknya.

Keempat, di dalam sistem presidensial, suasana yang terbentuk kurang


menguntungkan bagi demokrasi dibandingkan pada sistem parlementer,
karena perasaan didukung oleh seluruh bangsa setelah terpilih dalam pemilu
bisa mendorong seorang presiden kurang bertoleransi dengan kelompok
oposisi. Karena merasa memiliki kekuasaan penuh, mendapat mandat penuh
dari rakyat, bisa menyebabkan seorang presiden menjadi bertindak di luar
batas pluralitas yang ada. Hal ini bisa menjadi bumerang, dengan
meningkatnya penolakan dari masyarakat yang merasa tidak terwakili.

Ringkasnya, benang merah dari argumen Linz adalah sistem residensial


kurang kondusif untuk mendorong demokrasi yang stabil, dibandingkan
sistem parlementer. Dalam banyak hal, ide-ide Linz diamini oleh ilmuwan
politik lainnya, namun perlu bukti empiris yang solid.

Sebenarnya menurut saya presidensialisme tidak otomatis menghambat


kinerja dan stabilitas demokrasi di suatu negara. Ia menjadi masalah kalau
berkombinasi dengan sistem kepartaian multipartai. Dalam observasinya
terhadap 31 negara yang sudah stabil demokrasinya, yaitu negara-negara
yang mampu mempertahankan demokrasinya terus menerus sejak 1967
hingga 1992 Mainwaring menemukan bahwa seluruh negara presidensial
yang berhasil mempertahankan demokrasi ternyata menganut sistem
dwipartai. Logika di balik pola ini adalah sebagai berikut.

Oliviane Wenno
XII Ilmu Alam 1 @ BINSUS Tomohon
PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER |3

Pertama, sistem multipartai di dalam sistem presidensial bisa


mendorong hubungan eksekutif dan legislatif menjadi deadlock,
dibandingkan jika sistem multipartai dipadukan dengan sistem parlementer.
Dalam sistem dwipartai, partai pendukung presiden biasanya merebut suara
mayoritas, atau sekurang-kurangnya mendekati hal itu. Ini terjadi jika hanya
ada dua partai yang bersaing dalam pemilu. Namun, di dalam sistem
multipartai, kejadian seperti itu lebih sulit dicapai.

Kedua, sistem dwipartai lebih cocok dengan sistem demokrasi


presidensial, karena polarisasi ideologis akan berkurang jika menganut
sistem dwipartai. Sistem ini akan menjadi tembok besar yang efektif
mencegah aktor-aktor politik yang beraliran ideologi radikal masuk ke arena
politik. Selain itu, dengan sistem dwipartai, akan mendorong terjadinya
moderasi, untuk mendapatkan dukungan politik lebih luas dari masyarakat.

Ketiga, kombinasi presidensial dan multipartisme lebih menyulitkan


karena sulitnya membangun koalisi antarpartai. Koalisi multipartai dalam
sistem parlementer berbeda dengan koalisi antarpartai dalam sistem
presidensial dalam beberapa hal pokok. Pertama, di dalam sistem
parlementer, koalisi partai-partai yang memilih kepala pemerintahan dan
anggota kabinet tetap bertanggung jawab untuk memberi dukungan terus-
menerus kepada pemerintahan yang terbentuk. Sedangkan dalam sistem
presidensial, presiden terpilih membentuk sendiri kabinetnya, dan
independen terhadap pengaruh partai politik lain maupun lembaga
legislatif.

Meski ada sejumlah anggota partai lain yang duduk di kursi kabinet,
namun hal itu lebih merupakan ikatan individual, tanpa mengikat komitmen
yang lebih permanen dengan partai politik asalnya. Jadi, partai-partai
sewaktu-waktu bias menarik dukungan pada pemerintahan tersebut. Kedua,
faktor pendorong bagi partai-partai untuk memutus koalisi biasanya lebih
kuat di dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, keterlibatan
aktivis partai di dalam kabinet akan mengkhawatirkan pudarnya identitas
partai di mata publik, karena mereka hanya menjadi bagian dari kabinet,
yang menonjol hanyalah partai yang mendukung si presiden. Dengan
kondisi seperti ini, wajar jika ada kesempatan partai-partai akan menarik
dukungan mereka pada presiden (Mainwaring 1993).

Brasil sering digunakan sebagai contoh kasus dari sistem kepartaian


yang terfragmentasi. Menurut skala efektivitas partai politik yang
dikembangkan oleh Laakso dan Taagepera, Brasil juga diketahui punya

Oliviane Wenno
XII Ilmu Alam 1 @ BINSUS Tomohon
PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER |4

jumlah partai politik efektif yang paling tinggi (8,5 partai politik) sehingga
bisa dikatakan sistem kepartaiannya sangat terfragmentasi.

Temuan-temuan di atas pantas direnungkan untuk konteks demokrasi


kita. Dalam sistem presidensial, pemilihan presiden secara langsung
dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota legislatif. Karena itu, ada
kemungkinan presiden terpilih berasal dari partai kecil, seperti halnya yang
dicapai oleh pasangan SBY-Kalla sekarang ini. Karena itu, amat penting
bagi Presiden SBY untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan DPR.
Ada banyak aspek dari hubungan Eksekutif dan Legislatif yang memerlukan
kompromi-kompromi politik. Beberapa di antaranya presiden perlu
mendapat persetujuan dalam menetapkan Anggaran. Selain itu, para
menteri/anggota kabinet kerap kali akan bersidang bersama-sama anggota
komisi terkait membahas berbagai kebijakan yang akan dan sudah di ambil.
Bisa dibayangkan, jika terlalu sering muncul penolakan dari kalangan DPR
terhadap program dan kebijakan pemerintah, proses penyelenggaraan
pemerintah akan menjadi tidak efektif karena sering tersandung oleh
ketidaksesuaian tersebut.

Saat ini kekuatan politik di legislatif yang cenderung mendukung


pemerintahan SBY-Kalla (koalisi kerakyatan) masih cukup besar, mungkin
hanya kalah tipis jumlahnya dari Koalisi Kebangsaan. Namun, seperti telah
dijelaskan sebelumnya dalam sistem presidensial, sifat permanen dari
koalisi antarpartai tersebut masih diragukan. Sewaktu-waktu bisa saja
dukungan tersebut ditarik kembali, dan jika itu terjadi berarti masalah besar
bagi pemerintahan SBY-Kalla dan juga masalah besar bagi politik nasional
Indonesia. Karena tidak ada mekanisme mosi tidak percaya seperti yang
lazim ada dalam sistem parlementer, kecuali langkah impeachment yang
merupakan preseden buruk dalam perpolitikan nasional kita kalau itu
terjadi.

Reformasi ke depan?
Apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan
memburuknya demokrasi kita ke depan? Mainwaring mengajukan dua
kemungkinan dan bagi saya pendapatnya patut dipertimbangkan untuk
diterapkan di Indonesia. Pertama, mengubah sistem presidensial menjadi
sistem semipresidensial (modifikasi system parlementer dan presidensial).
Kedua, mengambil langkah-langkah mengurangi fragmentasi akibat sistem
multipartai.

Sayangnya, mengumpulkan dukungan politik untuk melakukan


perubahan besar seperti ini biasanya sulit dilakukan, juga tidak mudah

Oliviane Wenno
XII Ilmu Alam 1 @ BINSUS Tomohon
PRESIDENSIAL vs PARLEMENTER |5

mendesain alternatif-alternatif yang tepat meskipun dukungan politik sudah


diperoleh. Perubahan ke sistem parlementer mungkin tidak mudah apalagi
kita dihinggapi oleh trauma demokrasi tahun 50-an yang tidak stabil.

Alternatif kedua adalah mengurangi fragmentasi kepartaian di Indonesia


dengan mendorong sistem dwipartai. Di banyak negara, mengurangi jumlah
partai yang masuk legislatif misalnya dilakukan dengan menaikkan electoral
threshold lebih tinggi lagi. Langkah ini sudah dilakukan Indonesia pada
Pemilu 2004 lalu, namun ternyata kini ada 8 partai politik yang memiliki
suara lumayan signifikan. Jumlah ini bahkan lebih banyak dibandingkan
hasil Pemilu 1999 lalu yang memunculkan 5 partai politik utama. Mungkin
saja electoral treshold dinaikkan menjadi 8% misalnya? Angka ini
didasarkan atas kemungkinan dukungan di DPR, di mana ada empat partai
yang mendapatkan dukungan pemilih di atas 8% (Partai Golkar, PDI
Perjuangan, PKB, dan PPP), dan gabungan suara mereka di DPR cukup
membentuk kekuatan mayoritas. Kalau usulan tersebut diajukan, peluang
didukung oleh keempat partai ini menjadi terbuka karena mereka
diuntungkan. Karena mereka kekuatan mayoritas, maka usulan tersebut juga
berpeluang untuk lolos. Mungkinkah itu dilakukan? Tergantung keempat
partai tersebut.

Oliviane Wenno
XII Ilmu Alam 1 @ BINSUS Tomohon

You might also like