You are on page 1of 12

Sengketa Dagang antar Negara

Dalam arti kata sehari-hari “sengketa” dimaksudkan sebagai kedudukan dimana pihak-
pihak yang melakukan upaya perniagaan mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berbuat
demikian. Praktek menunjukkan bahwa yang paling sering terjadi dalam perniagaan modern
adalah dipenuhinya pengertian “sengketa” seperti didefinisikan dalam kontrak perniagaan
tertentu termasuk pengertian “default” dan jika hal ini terpenuhi maka prosedur yang tertera
dalam kontrak juga menjadi berlaku. Misalnya suatu kontrak menentukan “default”apabila salah
satu pihak tidak melakukan pembayaran pada hari jatuh tempo (due date) atau paling lambat 14
hari sesudahnya, di samping tanggung jawab selanjutnya akan dipikul juga oleh perusahaan
induk (mother company)

Perhatikanlah sengketa dagang berikut ini. Sengketa dagang terjadi sekitar tahun 2007
antara RI-Tiongkok terkait dengan saling penolakan sejumlah produk makanan. Saat itu ramai
dimunculkan dalam media massa bahwa produk impor asal Tiongkok dan demikian pula
Tiongkok menemukan bahwa produk impor asal Indonesia tidak memenuhi syarat. Sengketa
lain terjadi tahun lalu, Amerika dan Tiongkok saling tuduh bahwa pihak lain melanggar
peraturan perdagangan dunia. Kementerian perdagangan Tiongkok sedang menyelidiki keluhan
bahwa suku cadang mobil dan daging ayam Amerika yang diekspor ke Tiongkok dijual dengan
harga murah dan merugikan industri dalam negeri. Pemerintah Tiongkok mengumumkan hal ini
hanya dua hari setelah pemerintah Amerika mengenakan tarif impor tinggi atas ban mobil yang
diimpor dari Tiongkok. Tiongkok mengatakan tarif impor ban itu melanggar peraturan
perdagangan WTO, tapi juru bicara gedung putih membantah tuduhan itu. Ia mengatakan,
keputusan Amerika tentang tarif ban impor itu justru untuk menjalankan peraturan perdagangan
yang adil dan bukan untuk memulai perang dagang. Kasus sengketa macam ini tidak hanya
terjadi antara dua negara saja seperti kasus di atas, tetapi bisa terjadi terhadap negara mana saja
yang mengadakan perjanjian dagang atau melanggar ketentuan dagang dunia sesuai aturan
GATT/WTO. Malah majalah Tempo, Alternatif mengatakan jumlah sengketa dagang
internasional meningkat setelah adanya krisis moneter pada tahun 1998.

Sifat dari mekanisme penyelesaian sengketa dalam GATT terletak pada prosedurnya.
Prosedur penyelesaian sengketa dalam GATT dapat dikelompokkan ke dalam dua macam
prosedur. Pertama, di antara tahun 1948 – 1978. Dalam kurun waktu ini, prosedur penyelesaian
sengketa GATT dapat dikelompokkan sebagai ‘penyelesaian sengketa secara diplomatik,
diselesaikan antara kedua pemerintahan yang sedang dalam sengketa. Kedua, kurun waktu antara
1980 – 1994. Dalam kurun waktu ini prosedur penyelesaian sengketa GATT beralih dari semula
yang bersifat diplomatik menjadi penyelesaian sengketa secara hukum (judicial or juridical
settlement of disputes).

Masalah atau isu mengenai penyelesaian sengketa di dalam GATT hanya dibahas pada
pertemuan- pertemuan reguler atau tetap dan bukan secara langsung mengatur penyelesaian
sengketa. Namun demikian ada dua pasal, yakni Pasal XXII dan XXIII GATT yang dapat
dirujuk dalam hal adanya sengketa dagang. Jadi dalam GATT pada prinsipnya ada dua cara
penyelesaian sengketa dagang internasional, yakni:
1. melalui jalur diplomatik,
2. melalui jalur “contracting party” GATT.

Penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik.

Negara anggota peserta kesepakatan dagang pada GATT diharapkan menyelesaikan


sendiri masalah sengketa yang dialaminya melalui konsultasi secara bilateral. Hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal XXII GATT. Mereka disyaratkan untuk memberikan ‘pertimbangan
simpatik’ (sympathetic consideration) terhadap setiap sengketa mengenai segala sesuatu hal yang
menyangkut pelaksanaan GATT.

Contoh cara penyelesaian demikian ini terjadi pada kasus sengketa dagang RI – Cina di atas.
Menurut Dubes RI untuk Cina di Beijing, Soedrajat, perselisihan dagang ini cukup diselesaikan
di tingkat Komisi Bersama yang sudah terbentuk selama ini. Adalah hal yang wajar bila Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pemeriksaan terhadap seluruh produk
makanan impor dari Cina, bahkan dari semua negara. Sebaliknya, Badan Umum Pengawasan
Kualitas, Inspeksi, dan Karantina (AQSIQ) Cina pun sebagai badan yang bertanggung jawab
terhadap masuknya makanan dan obat-obatan impor ke Cina pun, juga mempunyai kewajiban
memeriksa produk impor, termasuk dari Indonesia. Keberadaan Komisi Bersama yang telah
dibentuk antara Indonesia dengan Cina dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah itu
karena memang fungsi komisi itu adalah untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dan
hambatan dalam upaya meningkatkan hubungan dagang kedua negara. Jadi, masalah dagang
kedua negara cukup diselesaikan di tingkat Komisi Bersama RI-Cina yang selama ini sudah
terbentuk dan tidak perlu diselesaikan oleh menteri perdagangan kedua Negara.

Penyelesaian sengketa melalui jalur GATT.

Apabila cara di atas tidak memuaskan atau tidak dijalani oleh ke dua belah pihak yang
bersengketa, maka mereka dapat menyelesaikan masalah sengketa dagangnya melalui GATT.
Untuk jalur ini salah satu pihak atau kedua-duanya harus mengajukan keberatan (komplain)
dengan memberikan dasar pembenaran yang lengkap (to provide a detailed justification) kepada
GATT (yang dalam hal ini kepada badan dalam GATT yang disebut contracting party).
Selanjutnya Contracting party, sesuai dengan sifat dan beratnya sengketa dapat membentuk satu
working party (satuan tugas) atau satu panel dari beberapa negara, yang dibentuk khusus untuk
satu sengketa. Anggota dari satuan tugas berasal dari negara yang mengalami sengketa dan dari
GATT, sedangkan anggota dari satu Panel tidak hanya dari negara yang bersengketa tetapi juga
dari negara ke tiga. Tugas mereka adalah: (i) mempertimbangkan tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan oleh negara yang bersengketa ; dan (ii) memberi rekomendasi dan putusan kepada
the contracting party. Pembentukan satu satuan tugas atau pun panel dalam menyelesaikan
sengketa dagang ini kemudian diikuti oleh sengketa-sengketa selanjutnya dan telah menjadi
praktek kebiasaan dalam GATT.

Dengan atau tanpa pembentukan satuan tugas atau panel, contracting party GATT dapat:
1) mengeluarkan rekomendasi kepada negara yang sedang bersengketa; atau
2) memberikan putusan pada satu sengketa; atau
3) memberi wewenang kepada satu negara peserta untuk menangguhkan penerapan konsesi
atau kewajibannya kepada pihak lainnya berdasarkan perjanjian GATT.

Melalui jalur mana pun sengketa dagang diputus tidak ada jaminan bahwa jaminan bahwa
putusan tersebut akan secara efektif dapat dilaksanakan.
Kerja sama Perdagangan & Ekonomi Antar Wilayah & Regional

Kerja sama perdagangan antar negara bisa dilaksanakan oleh dua negara (bilateral),
seperti misalnya Amerika Serikat - Kanada, Australia - New Zealand, Indonesia - Cina, atau oleh
banyak negara (multilateral), yang bersifat regional seperti Uni Eropa, South Asian Association
for Regional Cooperation ataupun yang bersifat internasional seperti misalnya General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO), dan United Nations
World Tourism Organization (WTO), United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD), United Nations Development Program (UNDP) dan sebagainya. Kerja sama
perdagangan (ekonomi) yang paling erat mempunyai sifat sama seperti satu halnya satu negara
seperti European Union (EU) dan Australia New Zealand Closer Economic Agreement
(ANZCERTA). Yang terakhir ini sering dikenal sebagai integrasi ekonomi.

Para Pihak Dalam Sengketa Perdagangan Internasional

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa subjek hukum dalam hukum perdagangan
internasional, yaitu Negara, perusahaan atau individu dan lain-lain. Dalam uraian berikut, para
pihak yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan
Negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas,
pembahasannyapun dibatasi hanya antara pedagang dan pedagang, kemudian pedagang dan
Negara asing.

1. Sengketa Antara Pedagang dan Pedagang.

Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi.
Sengketa seperti ini terjadi hamper setiap hari. Sengketa ini diselesaikan melalui berbagai
cara. Cara penyelesaian ini tergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kesepakatan dan kebebasan akan menentukan forum pengadilan yang akan
menyelesaikan sengketa mereka. Di samping itu kesepakatan dan kebebasan ini akan
menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan
pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak
merupakan hal yang essensial. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut.
Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebabasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya
batas-batasnya adalah tidak melanggar Undang-Undang dan ketertiban umum.

2. Sengketa Antara Pedagang dan Negara Asing

Sengketa antara pedagang dan Negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-
kontrak dagang antara pedagang dan Negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-
kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Permasalahan akan
muncul terkait dengan adanya konsep imunitas suatu Negara yang diakui oleh hukum
internasional. Konsep imunitas ini paling tidak berpengaruh terhadap keputusan
pedagang untuk menentukan penyelesaian sengketanya. Masalah utamanya adalah
dengan adanya konsep imunitas ini, suatu Negara dalam situasi apa pun tidak akan
pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian, hukum
internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak sematamata mengakui atribut
Negara sebagai subjek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum
internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subjek hukum internasional
terbatas. Oleh karena itu, dalam hukum internasional berkembang pengertian jure
imperii, yaitu tindakan-tindakan Negara di bidang public dalam kapasitasnya sebagai
suatu Negara yang berdaulat, serta jure gestiones, yaitu tindakan-tindakan Negara di
bidang keperdataan atau dagang. Oleh karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain
adalah tindakan-tindakan Negara dalam kapasitasnya seperti orang-peorangan (pedagang
atau privat), sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-
tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Oleh karena itu, tindakan-tindakan
seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa dapat saja diselesaikan dihadapan
badan-badan peradilan umum, arbitrase dan lain-lain. Sebaliknya Negara-negara yang
mengajukan bantahannya bahwa suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk
mengadili Negara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan
umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsipprinsip
mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian
sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau
tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu
proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Badan-badan peradilan (termasuk
arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati. Termasuk dalam lingkup pengertian
kesepakatan ini adalah :

a. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau
menyesatkan pihak lainnya.
b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak,
artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula
berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa


Prinsip penting kedua adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of
free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law
on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian
arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau
perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan
pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum


Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri
hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase)
terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk
kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono ).
Prinsip kebebasan untuk memilih hukum ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus
sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian
sengketa.

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)


Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam
penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para
pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin
dalam dua tahap, yang pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya
sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara Negara, kedua, prinsip
ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara
penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yaitu negosiasi,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies


Prinsip Exhaustion of Local Remedies lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional.
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak
mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkahlangkah penyelesaian sengketa
yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu Negara harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted).

Forum Penyelesaian Sengketa


Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya
sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada
umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta54 fakta (inquiry), mediasi,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara
penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati oleh para pihak.Cara-cara
penyelesaian sengketa tersebut diatas telah dikenal dalam berbagai Negara dan sistem hukum di
dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang
diakui dalam sistem hukum nasional suatu negara, misalnya, hukum nasional Indonesia, dalam
Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting.
Banyak sengketa diselesaikan setiap hari dengan cara negosiasi tanpa adanya publisitas
atau menarik perhatian publik. Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para
pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannyapun
didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.
Kelemahan utama dalam penggunaan cara penyelesaian ini adalah : (1) ketika para pihak
berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak yang kuat berada dalam posisi ntuk
menekan pihak lainnya. Hal ini sering terjadi ketika kedua belah pihak bernegosiasi
untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka; (2) proses berlangsungnya negosiasi
acap kali lambat dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini terjadi karena sulitnya
permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Selain itu, jarang sekali ada persyaratan
penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui
negosiasi ini; (3) ketika salah satu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadan ini
dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif. Mengenai pelaksanaan
negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat didalamnya perlu dibedakan sebagai berikut :
(1) negosiasi digunakan ketika suatu sengketa belum lahir (disebut sebagai konsultasi);
(2) negosiasi digunakan ketika suatu sengketa telah lahir. Prosedur negosiasi ini
merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi).
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa
individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut
serta aktif dalam proses negosiasi. Biasanya negosiator dengan kapasitasnya sebagai
pihak yang netral, berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran
penyelesaian sengketa. Usulan-usulan penyelesaian sengketa melalui mediasi dibuat agak
tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi-informasi yang diberikan
oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi
mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Oleh karena itu, salah satu fungsi
utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal
yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulanusulan yang dapat mengakhiri
sengketa. Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus
ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Hal yang
penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi,
menerima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada
pengakhiran tugas mediator. Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini
sebagai berikut : “where mediation is successfully used, it generally provides a quick,
cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore to consider providing for
mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute
resolution clause”.
Cooke juga mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat,
artinya para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi. Ketika para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka
masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat, yaitu penyelesaian melalui hukum,
yaitu dengan pengadilan atau arbitrase.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak
ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk
dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens,
ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut
dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa sudah terlembaga atau ad hoc
(sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan
penyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis
dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, sengketa 9yang diuraikan secara tertulis)
diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan
lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga
diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau
badan konsiliasi akan menuerahkan lporannya kepada para pihak disertai dengan
kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak
mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya
kepada para pihak.
4. Arbitrase
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara suka rela kepada pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase
sementara (ad hoc). Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini banyak
dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa adalah :

a. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase relative lebih cepat daripad


proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya
banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam system
peradilan. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian
ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
b. Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah sifat
kerahasiannya, baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan
putusan arbitrasenya.
c. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk
memilih “hakimnya” (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli mengenai
pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada
kesepakatan para phak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak
saja ahli, tetapi juga arbiter tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja seorang
arbiter pimpinan perusahaan, insinyur, ahli asuransi, ahli perbankan dan lain-lain.
d. Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter
untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila
para pihak menghendakinya).
e. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat
dilaksanakan di Negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan
melalui misalnya pengadilan. Dalam praktek, biasanya penyerahan sengketa ke
suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul
penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut
ditulis secara langsung dengan “Arbitrase”. Kadang-kadang istilah lain yang
digunakan adalah “choise of forum “ atau “choise of jurisdiction”. Kedua istilah
tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choise of forum
berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan
arbitrase. Istilah choise of jurisdiction berarti pilihan tempat di mana pengadilan
memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Penyerahan suatu sengketa
kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause,
yaitu penyerahan kepada srbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif
lainnya atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause). Baik
submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial.
Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan bentuk tertulis sebagai
suatu syarat utama untuk arbitrase.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan
yurisdiksi arbitrase, artinya klausul tersebut memberi kewenangan kepada
arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu
sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, pengadilan harus
menolak untuk menangani sengketa.

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)


Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada
ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya
hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul
penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya
ditegaskan bahwa jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, mereka sepakat
untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu Negara tertentu.
Kemungkinan lain para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada baan pengadilan
internasional. Salah satu badan peradlan yang menangani sengketa dagang ini misalnya
WTO. Namun perlu ditekankan di sini bahwa WTO hanya menangani sengketa antar
Negara anggota WTO. Umumnya sengketa lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha
atau Negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan Negara lain anggota
WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Namun, penyerahan sengketa ke
Mahkamah intenasional menurut hasilpengamatan beberapa sarjana kurang begitu
diminati oleh Negara-negara. Alasan F.A. Mann menyatakan “hasil kerja” Mahkamah
internasional ini “suram”, pada dasarnya karena dua alasan; (1) kurang adanya
penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya; (2) kurangnya
keahlian atau kemampuan
Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau
perdagangan internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan permanent internasional ini
juga yurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada Negara saja,
misalnya Mahkamah Internasional. Sementara itu, kegiatan-kegiatan atau
hubunganhubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan subjek-subjek hukum
perdagangan internasional non Negara juga penting. Bentuk badan pengadilan lain adalah
pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanent,
pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih popular, terutama dalam kerangka suatu
organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian
perdagangan internasional. Faktor penting yang mendorong Negara-negara
untukmenyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini karena : (1)
hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum; (2) adanya perasaan dari sebagian
bear Negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan internasional) yang
dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dalam bidang
perdagangan internasional.

You might also like