You are on page 1of 13

Seminar HAKI – 21/22 Agustus 2007 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono, Handi

Prajitno & Richard Pelupessy

PERTIMBANGAN PADA PERBAIKAN DAN


PERKUATAN
STRUKTUR BANGUNAN PASCA GEMPA
Ir. Hartono , Ir. Handi Prajitno & Ir Richard Pelupessy *

ABSTRAK

Kerusakan pada Bangunan banyak tejadi akibat Gempa, baik


kerusakan struktural maupun non-struktural. Pada paper ini akan
disajikan beberapa metode serta material perbaikan dan perkuatan
yang dapat digunakan untuk mengatasi kerusakan-kerusakan yang
terjadi, dan kontrol kualitas selama dan sesudah pelaksanaan proses
perbaikan dan perkuatan. Selain itu juga dibahas mengenai
penggunaan Self Compacting Concrete (SCC) pada metode perkuatan
dan Corrosion Inhibitor untuk meningkatkan keawetan dari struktur
beton

1. PENDAHULUAN

Seperti kita ketahui semua, pada umumnya setelah terjadinya gempa bumi dengan skala
yang cukup besar, akan mengakibatkan kerusakan struktur maupun non-struktur pada
bangunan yang terbuat dari konstruksi beton bertulang. Bentuk dan tingkat kerusakan
yang terjadi mulai dari yang ringan sampai berat.

Dengan adanya tuntutan bahwa bangunan yang mengalami kerusakan harus sudah dapat
secepatnya difungsikan kembali, maka perlu adanya penanganan terhadap kerusakan-
kerusakan yang terjadi, baik dengan melakukan perbaikan ataupun perkuatan. Seringkali
dengan terbatasnya waktu, maka perbaikan atau perkuatan yang dilakukan tidak
memperhatikan beberapa kaidah yang berkaitan dengan kapasitas struktur dan prosedur
pelaksanan serta kontrol kualitas.

Oleh sebab itu untuk mendapatkan hasil perbaikan dan perkuatan yang tepat guna dan
mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan investigasi untuk
mendapatkan data-data kerusakan baik melalui pengamatan visual ataupun dengan
bantuan pengujian non-destructive maupun semi destructive dan mereview dokumen dari
struktur yang ada. Dari hasil investigasi tersebut, kemudian dilakukan analisa dan
evaluasi pada struktur tersebut untuk menetapkan apakah kerusakan yang terjadi hanya
perlu perbaikan atau perlu perkuatan atau dalam kondisi yang terjelek struktur yang
mengalami kerusakan harus dilakukan pembongkaran dan dibangun struktur baru.

* Business Unit Contractor PT Sika Indonesia 1


Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

Dalam paper ini akan dibahas mengenai beberapa metode perbaikan dan perkuatan yang
dapat digunakan dalam penanganan terhadap kerusakan yang terjadi.

2
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

2. METODE DAN MATERIAL PERBAIKAN

Penentuan metode dan material perbaikan umumnya tergantung pada jenis kerusakan
yang ada, disamping besar dan luasnya kerusakan yang terjadi, lingkungan dimana
struktur berada, peralatan yang tersedia, kemampuan tenaga pelaksana serta batasan-
batasan dari pemilik seperti keterbatasan ruang kerja, kemudahan pelaksanaan, waktu
pelaksanaan dan biaya perbaikan.

Jenis kerusakan yang sering terjadi akibat gempa adalah kerusakan berupa keretakan dan
spalling (terlepasnya bagian beton).

A. Keretakan

Keretakan dibedakan retak struktur dan non-struktur. Retak struktur umumnya terjadi
pada elemen struktur beton bertulang, sedang retak non-struktur terjadi dinding bata atau
dinding non-beton lainnya.
Untuk retak non-struktur, dapat digunakan metode injeksi dengan material pasta semen
yang dicampur dengan expanding agent serta latex atau hanya melakukan sealing saja
dengan material polymer mortar atau polyurethane sealant.
Sedang pada retak struktur, digunakan metode injeksi dengan material epoxy yang
mempunyai viskositas yang rendah, sehingga dapat mengisi dan sekaligus melekatkan
kembali bagian beton yang terpisah.
Proses injeksi dapat dilakukan secara manual maupun dengan mesin yang bertekanan,
tergantung pada lebar dan dalamnya keretakan.

B. Spalling

Metode perbaikan pada kerusakan spalling, tergantung pada besar dan dalamnya spalling
yang terjadi.

i. Patching

Untuk spalling yang tidak terlalu dalam (kurang dari selimut beton) dan area yang tidak
luas, dapat digunakan metode patching.
Metode perbaikan ini adalah metode perbaikan manual, dengan melakukan penempelan
mortar secara manual. Pada saat pelaksanaan yang harus diperhatikan adalah penekanan
pada saat mortar ditempelkan; sehingga benar-benar didapatkan hasil yang padat.
Material yang digunakan harus memiliki sifat mudah dikerjakan, tidak susut dan tidak
jatuh setelah terpasang (lihat maksimum ketebalan yang dapat dipasang tiap lapis),
terutama untuk pekerjaan perbaikan overhead. Umumnya yang dipakai adalah monomer
mortar, polymer mortar dan epoxy mortar.

3
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

ii. Grouting

Sedang pada spalling yang melebihi selimut beton, dapat digunakan metode grouting,
yaitu metode perbaikan dengan melakukan pengecoran memakai bahan non-shrink
mortar.
Metode ini dapat dilakukan secara manual (gravitasi) atau menggunakan pompa.
Pada metode perbaikan ini yang perlu diperhatikan adalah bekisting yang terpasang harus
benar-benar kedap, agar tidak ada kebocoran spesi yang mengakibatkan terjadinya
keropos dan harus kuat agar mampu menahan tekanan dari bahan grouting.
Material yang digunakan harus memiliki sifat mengalir dan tidak susut. Umumnya
digunakan bahan dasar semen atau epoxy.

iii. Shot-crete (Beton Tembak)

Apabila spalling yang terjadi pada area yang sangat luas, maka sebaiknya digunakan
metode Shot-crete. Pada metode ini tidak diperlukan bekisting lagi seperti halnya
pengecoran pada umumnya.
Metode shotcrete ada dua sistim yaitu dry-mix dan wet-mix.
Pada sistim dry-mix, campuran yang dimasukkan dalam mesin berupa campuran kering,
dan akan tercampur dengan air di ujung selang. Sehingga mutu dari beton yang
ditembakkan sangat tergantung pada keahlian tenaga yang memegang selang, yang
mengatur jumlah air. Tapi sistim ini sangat mudah dalam perawatan mesin shotcretenya,
karena tidak pernah terjadi ‘blocking’.
Pada sistim wet-mix, campuran yang dimasukkan dalam mesin berupa campuran basah,
sehingga mutu beton yang ditembakkan lebih seragam. Tapi sistim ini memerlukan
perawatan mesin yang tinggi, apalagi bila sampai terjadi ‘blocking’.
Pada metode shotcrete, umumnya digunakan additive untuk mempercepat pengeringan
(accelerator), dengan tujuan mempercepat pengerasan dan mengurangi terjadinya
banyaknya bahan yang terpantul dan jatuh (rebound).

iv. Grout Preplaced Aggregat (Beton Prepack)

Metode perbaikan lainnya untuk memperbaiki kerusakan berupa spalling yang cukup
dalam adalah dengan metode Grout Preplaced Aggregat. Pada metode ini beton yang
dihasilkan adalah dengan cara menempatkan sejumlah agregat (umumnya 40% dari
volume kerusakan) kedalam bekisting, setelah itu dilakukan pemompaan bahan grout,
kedalam bekisting.
Material grout yang umumnya digunakan adalah polymer grout, yang memiliki flow
cukup tinggi dan tidak susut.

4
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

3. METODE DAN MATERIAL PERKUATAN

Dalam pemilihan metode perkuatan, harus diperhatikan beberapa hal yaitu kapasitas
struktur, lingkungan dimana struktur berada, peralatan yang tersedia, kemampuan tenaga
pelaksana serta batasan-batasan dari pemilik seperti keterbatasan ruang kerja, kemudahan
pelaksanaan, waktu pelaksanaan dan biaya perkuatan.

Metode perkuatan yang umumnya dilakukan adalah :

- Memperpendek bentang dari struktur dengan konstruksi beton ataupun


dengan konstruksi baja.
Tujuannya adalah memperkecil gaya-gaya dalam yang terjadi, tetapi harus
dianalisa ulang akibat dari perpendekan bentang ini yang menyebabkan
perubahan dari gaya-gaya dalam tersebut.
Umumnya dilakukan dengan menambah balok atau kolom baik dari beton
maupun dari baja.

- Memperbesar dimensi daripada konstruksi beton.


Umumnya digunakan beton sebagai material untuk memperbesar dimensi
struktur; dengan adanya admixture beton generasi baru, dimungkinkan untuk
menghasilkan beton yang dapat memadat sendiri (self compacting concrete),
dibahas di bagian 4 – Self Compacting Concrete.
Akibat dari penambahan dimensi tersebut, maka harus diperhatikan bahwa secara
keseluruhan beban dari Bangunan tersebut bertambah, sehingga harus dilakukan
analisa secara menyeluruh dari struktur atas sampai pondasi.

- Menambah plat baja.


Tujuan dari penambahan ini adalah untuk menambah kekuatan pada bagian tarik
dari struktur Bangunan.
Didalam penambahan plat baja tersebut, harus dijamin bahwa plat baja menjadi
satu kesatuan dengan struktur yang ada, umumnya untuk menjamin lekatan antara
plat baja dengan struktur beton digunakan epoxy adhesive.

- Melakukan external prestressing.


Dengan metode ini, kapasitas struktur ditingkatkan dengan melakukan prestress di
luar struktur, bukan didalam seperti pada struktur baru.
Yang perlu diperhatikan adalah penempatan anchor head, sehingga tidak
menyebabkan perlemahan pada struktur yang ada.
Material yang umumnya digunakan adalah baja prestress, tetapi pada saat ini
sudah mulai digunakan bahan dari FRP (Fibre Reinforced Polymer).

5
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

- Menggunakan FRP (Fibre Reinforced Polymer)


Prinsip daripada penambahan FRP sama seperti penambahan plat baja, yaitu
menambah kekuatan di bagian tarik dari struktur.
Tipe FRP yang sering dipakai pada perkuatan struktur adalah dari bahan carbon,
aramid dan glass. Bentuk FRP yang sering digunakan pada perkuatan struktur
adalah Plate / Composite dan Fabric / Wrap
Bentuk plate lebih efektif dan efisien untuk perkuatan lentur baik pada balok
maupun plat serta pada dinding; sedang bentuk wrap lebih efektif dan efisien
untuk perkuatan geser pada balok serta untuk meningkatkan kapasitas beban axial
dan geser pada kolom.

4. Self Compacting Concrete

Self Compacting Concrete atau yang umum disingkat dengan istilah SCC adalah beton
segar yang sangat plastis dan mudah mengalir karena berat sendirinya mengisi keseluruh
cetakan yang dikarenakan beton tersebut memiliki sifat-sifat untuk memadatkan sendiri,
tanpa adanya bantuan alat penggetar. Beton SCC yang baik harus tetap homogen,
kohesif, tidak segregasi, tidak terjadi blocking, dan tidak bleeding.
Pemakaian beton SCC sebagai material repair dapat meningkatkan kualitas beton repair
oleh karena dapat menghindari sebagian dari potensi kesalahan manusia akibat manual
compaction. Pemadatan yang kurang sempurna pada saat proses pengecoran dapat
mengakibatkan berkurangnya durabilitas beton. Sebaliknya dengan beton SCC struktur
beton repair menjadi lebih padat terutama pada daerah pembesian yang sangat rapat, dan
waktu pelaksanaan pengecoran juga lebih cepat.

Workability
Berdasarkan spesifikasi SCC dari EFNARC, workabilitas atau kelecakan campuran beton
segar dapat dikatakan sebagai beton SCC apabila memenuhi kriteria sebagai berikut
yaitu:
 Filling ability
 Passing ability
 Segregation resistance
Filling ability, adalah kemampuan beton SCC untuk mengalir dan mengisi keseluruh
bagian cetakan melalui berat sendirinya.
Passing ability, adalah kemampuan beton SCC untuk mengalir melalui celah-celah antar
besi tulangan atau bagian celah yang sempit dari cetakan tanpa terjadi adanya segregasi
atau blocking.
Segregation resistance, adalah kemampuan beton SCC untuk menjaga tetap dalam
keadaan komposisi yang homogen selama waktu transportasi sampai pada saat
pengecoran.

Metoda Test
Metoda test pengukuran workability telah dikembangkan untuk menentukan karakteristik
beton SCC dan sampai saat ini belum ada satu jenis metoda test yang bisa mewakili
ketiga syarat karakteristik beton SCC seperti tersebut di atas. Dari beberapa metoda test
yang telah dikembangkan akan dibahas hanya tiga macam metoda yang dianggap dapat
mewakili ketiga kriteria workability tersebut di atas.
6
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

Slump-Flow
Slump-flow test dapat dipakai untuk menentukan ‘filling ability’ baik di laboratorium
maupun di lapangan; dan dengan memakai alat ini dapat diperoleh kondisi workabilitas
beton berdasarkan kemampuan penyebaran beton segar yang dinyatakan dengan besaran
diameter yaitu antara 60 cm – 75 cm.
Kebutuhan nilai slump flow untuk pengecoran konstruksi bidang vertikal berbeda dengan
bidang horisontal. Kriteria yang umum dipakai untuk penentuan awal workabilitas beton
SCC berdasarkan tipe konstruksi adalah sebagai berikut :
 Untuk konstruksi vertikal, disarankan menggunakan slump-flow antara 65 cm
sampai 70 cm.
 Untuk konstruksi horisontal disarankan menggunakan slump-flow antara 60 cm
sampai 65 cm.

Slump-Flow test

L-Shape-Box
Dipakai untuk mengetahui kriteria ‘passing ability’ dari beton SCC. Dengan
menggunakan L-Shape Box, dapat diketahui kemungkinan adanya blocking beton segar
saat mengalir, dan juga dapat dilihat viskositas beton segar yang bersangkutan.
Selanjutnya dengan L-Shape-Box test akan didapat nilai blocking ratio yaitu nilai yang
didapat dari perbandingan antara H2 / H1. Semakin besar nilai blocking ratio, semakin
baik beton segar mengalir dengan viskositas tertentu. Untuk test ini kriteria yang umum
dipakai baik untuk tipe konstruksi vertikal maupun untuk konstruksi horisontal
disarankan mencapai nilai blocking ratio antara 0.8 sampai 1.0

7
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

L-Shape-Box test
V - funnel
Dipakai untuk mengukur viskositas beton SCC dan sekaligus mengetahui ‘segregation
resistance’ . Kemampuan beton segar untuk segera mengalir melalui mulut di ujung
bawah alat ukur V-funnel diukur dengan besaran waktu antara 6 detik sampai maksimal
12 detik.

V-funnel test

Pouring dan Formwork


Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pengecoran dengan beton SCC adalah
sebagai berikut:
 Durasi waktu pengecoran disesuaikan dengan waktu ikat awal beton untuk
menghindari terjadinya cold joint.

8
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

 Cara terbaik untuk pengecoran beton SCC adalah dari bawah cetakan/formwork
untuk menghindari udara terjebak (dengan eksternal hose adalah sangat efektif).

 Beton SCC dapat mengalir sampai jarak 10 meter tanpa hambatan.


 Elemen tipis 5 – 7 cm dapat diisi oleh beton SCC tanpa hambatan.

 Tidak memerlukan keahlian yang spesifik saat pelaksanaan pengecoran.


5. PELAKSANAAN PERBAIKAN DAN PERKUATAN

Sebelum dilakukan pelaksanaan perbaikan atau perkuatan, perlu dilakukan pengecekan


terakhir apakah metode dan material yang sudah ditentukan sesuai dengan kondisi
lapangan dan dapat dilaksanakan.

Pada saat pelaksanaan yang perlu mendapat perhatian adalah :

- Persiapan permukaan.
Permukaan beton yang akan diperbaiki atau diperkuat perlu dipersiapkan, dengan
tujuan agar terjadi ikatan yang baik; sehingga material perbaikan atau perkuatan
dengan beton lama menjadi satu kesatuan.
Permukaan beton yang akan diperbaiki atau diperkuat, harus merupakan
permukaan yang kuat dan padat, tidak ada keropos ataupun bagian lemah lainnya
(kecuali bila menggunakan metode injeksi untuk mengisi celah keropos); serta
harus bersih dari debu dan kotoran lainnya.
Apabila ada tulangan yang sudah berkarat, maka perlu dilakukan pemotongan
beton hingga + 20 mm dibawah tulangan yang berkarat. Dan karat tersebut harus
dibersihkan, serta diberi lapisan anti karat.
Permukaan yang sudah dipersiapkan, apakah harus dalam keadaan kering atau
harus dijenuhkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pelapisan berikutnya. Hal ini
sangat tergantung pada material yang digunakan. Untuk material berbahan dasar
semen atau polymer, permukaan beton harus dijenuhkan terlebih dahulu; tetapi
bila material yang digunakan berbahan dasar epoxy, maka permukaan beton harus
dalam keadaan kering.

9
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

- Perbandingan campuran.
Untuk menghasilkan mutu dari material perbaikan atau material bonding yang
digunakan dalam perkuatan sesuai dengan yang direkomendasikan dari pabrik,
maka perbandingan campuran dari material harus diikuti dengan tepat, apalagi
bila menggunakan material berbahan dasar epoxy.
Bila menggunakan beton yang dapat memadat sendiri, perlu diperhatikan jumlah
air, flow dari beton serta dipastikan tidak adanya bleeding dan segregasi.

- Pot life.
Adalah waktu yang dibutuhkan dari pengadukan hingga material tersebut
terpasang. Apabila waktu telah melebihi pot life-nya, maka material yang sudah
tercampur jangan digunakan.

- Kekuatan tekan.
Seperti pada pelaksanaan kontruksi baru, dimana dilakukan kontrol kualitas pada
mutu beton yang ada; maka saat pelaksanaan dari perbaikan dan perkuatan, juga
harus dilakukan hal yang sama, dengan melakukan pengambilan sample sesuai
standard yang ada. (ASTM C39 – beton, ASTM C109 – mortar semen dan ASTM
D495 – epoxy)

Setelah pelaksanaan juga perlu dilakukan kontrol kualitas, untuk melihat apakah
pelaksanaan perbaikan dan perkuatan sudah sesuai dengan standard yang ada.

- Injeksi.
Tujuan dari kontrol kualitas setelah pekerjaan injeksi dilakukan adalah untuk
melihat apakah bahan injeksi sudah mengisi celah keretakan yang ada, dan juga
melihat kualitas lekatan dari bahan injeksi dalam mengikatkan celah keretakan.
Dilakukan dengan melakukan coring φ 50 mm (ASTM C42) untuk melihat
penetrasi bahan injeksi, kemudian hasil core tersebut ditest tekan (ASTM C39)
atau splitting (ASTM C496) untuk mengetahui kualitas lekatan yang terjadi. Atau
dapat juga dilakukan kontrol kualitas dengan non-destruktif test yaitu UPV (Ultra
Pulse Velocity) – ASTM C597 atau Impact Echo.

- Patching, Grouting, Shot-crete, Beton Prepack dan Beton SCC.


Tujuan dari kontrol kualitas pada pekerjaan ini adalah untuk melihat lekatan yang
terjadi antara beton lama dengan material perbaikan.
Dilakukan dengan Direct tensile bond test -ACI 503R Appendix A
atau Pull-Off Test - ICRI Technical Guideline 03739.

- Perkuatan dengan FRP.


Tujuan dari kontrol kualitas pada pekerjaan ini adalah untuk melihat lekatan
antara epoxy adhesive yang digunakan untuk melekatkan FRP.
Dilakukan dengan Direct tensile bond test -ACI 503R Appendix A
atau Pull-Off Test - ICRI Technical Guideline 03739.

6. Corrosion Inhibitor
10
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

Telah kita ketahui bersama, Beton memiliki 2 kelemahan yang mendasar. Yaitu :
1. Memiliki kekuatan tarik yang rendah.
2. Memiliki banyak sekali pori.

Dengan adanya banyak pori, sangat mudah senyawa dari luar ber infiltrasi kedalan beton.
Masuknya senyawa2 dari luar dapat mengakibatkan berkurangnya waktu layan beton dari
waktu layan yang di rencanakan atau diperkirakan akibat kerusakan karena korosi pada
tulangan baja. Sehingga kadang kala metode-metode perbaikan yang di siapkan menjadi
tidak optimal, sehubungan dengan fakta bahwa kerusakan beton akibat korosi pada
tulangan baja pasti terjadi di tengah-tengah periode waktu layan beton.

Baja pada beton secara alami terlindungi dari korosi oleh lapisan tipis akibat pasif alkalin
dari bahan dasar semen. Akibat serangan agresif karena pengaruh lingkungan di
sekitarnya baja dapat mengalami korosi. Bangunan beton yang di bangun disekitar
pantai, dapat lebih cepat rusak akibat serangan garam chloride. Gas CO2 pun dapat
masuk secara agresif melalui pori2 beton dan bereaksi dengan Ca(OH)2 dan
menghasilkan CaCO3 + H2O yang menyebabkan pH dari beton turun.

Tiga hal mutlak, sehingga menjadikan korosi pada tulangan baja :


• Lapisan tipis pelindung tulangan baja rusak akibat akibat chloride atau
karbonasi.
• Air sebagai electrolit.
• Oksigen.

Efek dari infiltrasinya senyawa yang agresif

Untuk melengkapi sekaligus meng optimalkan metode-metode perbaikan diatas,


pengontrolan terhadap korosi perlu di lakukan.

Mengontrol korosi dapat dilakukan pada struktur baru dan struktur lama. Pada struktur
baru, tentunya yang paling utama untuk diperhatikan adalah kualitas dari beton itu

11
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

sendiri. Pada struktur baru dan lama, mengaplikasikan protective coating pada sisi luar
beton adalah cara yang tepat untuk mengontrol korosi.
Cara mengontrol korosi yang lain adalah dengan mengaplikasikan Corrosion Inhibitor.

Corrosion Inhibitor adalah suatu bahan yang jika di aplikasikan pada sisi luar beton,
dengan cara di kuaskan, dimana kemudian bahan tersebut meresap kedalam beton dengan
cara difusi dan menghambat waktu awal korosi atau memperlambat Tingkat korosi - rate
of corossion.

Pada umumnya, cara kerja Corrosion Inhibitor adalah membentuk suatu lapisan film
pada permukaan tulangan baja. Lapisan film ini, hampir memiliki fungsi yang sama
dengan protective coating. Perbedaannya hanya pada metode pengaplikasiannya saja.
Lapisan film ini memperkecil akses dari oksigen terhadap tulangan baja pada katoda dan
memperkecil baja menjadi larut pada anoda.

Corrosion Inhibitor tersedia dalam bentuk cairan dengan bahan dasar “Amino Alkohol”.
Daya penetrasi yang baik dari corrosion inhibitor tidak boleh kurang dari 80 mm.

Dengan menggunakan corrosion inhibitor, diharapkan waktu layan beton terhadap


kerusakan akibat korosi pada tulangan baja meningkat hingga 35% - 70 % dari waktu
layan beton normal.

7. PENUTUP

Untuk mendapatkan hasil perbaikan dan perkuatan yang tepat guna dan mencegah hasil-
hasil yang tidak diharapkan, maka diperlukan koordinasi antara pihak-pihak yang
melakukan investigasi, pengujian, evaluasi dan pelaksanaan. Oleh sebab itu diperlukan
keterlibatan semua pihak terkait mulai dari konsultan perencana, konsultan pengawas,
kontraktor spesialis dan supplier dari bahan-bahan perbaikan atau perkuatan. Karena
tanpa adanya koordinasi yang baik, maka tidak dapat diharapkan hasil yang maksimal.
Dan yang terpenting masing-masing tahapan harus dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkompeten dan berpengalaman di bidangnya.

8. DAFTAR PUSTAKA :

12
Seminar HAKI Inkindo – 8/9 Juni 2006 – Pertimbangan Perbaikan dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa – Hartono

1. Peter H. Emmons, Concrete Repair and Maintenance Illustrated, USA, 1994.


2. FIP, Inspection and Maintenance of Reinforced and Pre-stressed Concrete
Structures, London, 1986.
3. FIP, Repair and Strengthening of Concrete Structures, London, 1991.
4. ACI 201.1R, Guide for Making a Condition Survey of Concrete in Service, 1992.
5. ACI 364.1R, Guide for Evaluation of Concrete Structures Prior to Rehabilitation,
1993.
6. ACI 228.2R, Nondestructive Test Methods for Evaluation of Concrete in
Structures
7. ICRI Technical Guidelines No. 03731, 1996
8. ICRI Technical Guidelines No. 03733, 1996
9. ICRI Technical Guidelines No. 03739, 2004
10. ICRI Technical Guidelines No. 03742, 2006
11. Repair Application Procedure – ACI Committee 706, 2003
12. Specification and Guidelines for Self-Compacting Concrete, February 2002
EFNARC, Association House, 99 West Street, Farnham, Surrey GU9 7EN, UK

13

You might also like