Professional Documents
Culture Documents
Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank
Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance”
atau pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya
sering dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada
korupsi, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal,
kita bisa mencoba merumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat
positif, seperti definisi berikut: Good Governance adalah suatu bentuk
pemerintahan dan adminisitrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni
mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang
diharapkan dapat dihasilkan oleh “New Public Management”.
Pada peringatan tersebut disampaikan komitmen dan dedikasi berbagai pihak untuk
membela kebebasan berekspresi, serta mengkaji kembali pemahaman tentang good
governance yang terkait dengan hak untuk memperoleh informasi.
Sebelumnya lembaga PBB bagi pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
ini, pernah mengeluarkan seruan agar media komunikasi massa memainkan peran
sebagai pendorong pemberantasan korupsi.
Lewat peran strategisnya sebagai “anjing penjaga” (watch dog) media massa dapat
menjamin kehidupan berbangsa dapat berjalan lurus dan efektif, bersih dari praktik
penyimpangan yang tidak terpuji.
Itu berarti bahwa sejak awal lembaga dunia seperti PBB telah mengakui bahwa
prinsip kebebasan memperoleh informasi, telah dianggap strategis untuk bisa
diakses oleh masyarakat luas, dan untuk itu pers menjadi salah satu sarana penting
untuk memastikan masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Dalam konteks kebebasan memperoleh informasi tersebut, maka setidaknya ada tiga
konsep yang saling berkaitan satu sama lain, yakni ; kebebasan memperoleh
informasi (public access to information),
sistem negara yang demokratis (democratic state), pemerintahan yang baik (good
governance), serta pemerintahan yang terbuka (open government). Artinya, konsep
pemerintahan yang baik,
hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan public
(right to participate), kebebasan berekspresi, yang salah satunya diwujudkan dalam
kebebasan pers, hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan dari
pelaksanaan hak-hak di atas.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Good Governance? Dalam arti sempit, istilah
Good Governance (GG) sering diartikan sebagai kinerja suatu lembaga seperti
pemerintah, organisasi perusahaan, dan organisasi masyarakat, yang memenuhi
kriteria tertentu.
Untuk mewujudkan GG maka salah satu elemen sistem sosial pada tataran
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang diharapkan perannya adalah institusi
media.
Peran media yang bebas dan independen dalam mendorong GG sesungguhnya tak
bisa dilepaskan dari peran ideal media itu sendiri, yaitu fungsi informasi, fungsi
pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.
Keterlibatan media memang bisa membantu dalam membingkai (frame) isu-isu yang
berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan
kepentingan warga masyarakat.
Pentingnya peran media yang independen, juga pernah dilontarkan oleh Amartya
Sen, dalam bukunya “Development as Freedom”, bahwa mengapa di India tidak
pernah ada bahaya kelaparan, sedangkan di Tiongkok bahaya kelaparan terjadi.
Menurut ahli ekonomi pemenang Nobel 2001 ini, hal itu disebabkan di India ada
kebebasan pers, ada keterbukaan informasi. Sedangkan di Tiongkok, tidak ada dan
informasi di sana mengalami tekanan dari pemerintah. Dengan kata lain, kemiskinan
bisa dihindari ketika negara tersebut memiliki pers yang bebas.
Stiglitz yang pernah menjadi anggota tim ekonomi Presiden Amerika di bawah
kendali Clinton, dan juga pernah bekerja di World Bank, sangat concern dengan
kondisi yang ia sebut sebagai asymetries of information, yaitu kondisi di mana
terjadi kepemilikan informasi,
yang bisa terjadi antara para pekerja dan majikannya, antara kreditor dan debitor,
antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Stiglitz mengatakan bahwa
kondisi asymetries of information ini terjadi dalam berbagai kegiatan ekonomi, dan
secara teoritis,
Pandangan Stiglitz tersebut, seluruhnya didasarkan pada buku yang ditulisnya pada
tahun 2002 “Globalization and its Discontent”. Konteks yang melatari buku ini
terutama adalah analisis Stiglitz pada situasi krisis ekonomi Asia, di mana untuk
melakukan economic recovery prinsip transparansi,
Dasar Pandangan Stiglitz pula adalah mengeritik banyak kebijakan IMF (International
Monetary Fund) yang justru sebaliknya memelihara kultur kerahasiaan (culture of
secrety) dalam pelaksanaan economic recovery di berbagai negara,
padahal implikasi berbagai butir perjanjian dengan IMF itu tak saja mengikat
lembaga pemerintah, tapi juga kepada banyak masyarakat luas.
Kultur kerahasiaan sebagai ditunjuk oleh Stiglitz memberikan peluang kepada para
pejabat pemerintah untuk menghindari kebijakan mereka dianalisa, dievaluasi
ataupun dikritik oleh masyarakat.
Buat para pejabat pemerintah memang memelihara kultur kerahasiaan seperti ini
membuat hidup mereka menjadi lebih enak, mereka bisa bertindak sesukanya tanpa
ada yang mengontrol, dan kerahasiaan pula memungkinkan para pejabat pemerintah
untuk menyembunyikan kesalahan mereka.
Persoalan lain yang ditunjukkan oleh Stiglitz adalah, kalaupun sebuah kebijakan
tidak dilahirkan hanya untuk kepentingan sekelompok orang, ada pula pertanyaan
kritis di situ: kepentingan siapa yang sesungguhnya dilayani dalam pembuatan
kebijakan ini?
Kultur kerahasiaan ini pula yang memunculkan banyaknya protes dari masyarakat
untuk memberikan keterbukaan yang lebih besar dan juga transparansi dalam
pembuatan kebijakan pemerintah.
Salah satu unsur penting dari media yang makin bebas dan kaitannya dengan GG
adalah tersedianya informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk menunjukkan
kinerja macam apa yang ditunjukkan oleh para pejabat dalam menjalankan
pemerintahan.
Dalam teori-teori liberal-pun dikemukakan bahwa fungsi dari media massa adalah
membuka ruang demokratisasi yang dilakukan dengan cara membuka peluang
terjadinya kebebasan berekspresi, dan memberi kesempatan kepada berbagai
kelompok masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.
http://www.sulsel.go.id/explore-more/produk-hukum/kebijakan-pengembangan-
20060829-255.html
Kebijakan Pengembangan
SELASA, 29 AGUSTUS 2006
Halaman 1 dari 4
Index Artikel
Kebijakan Pengembangan
Pendahuluan
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Pemerintahan layaknya mahluk hidup
Arie de Geus (1997) menemukan bahwa sebuah institusi dapat dilihat sebagai sesosok mahluk
hidup (a living organism). Ia hidup karena mengalami perubahan – perubahan seperti dilahirkan,
sakit, tua, dan akan mati seperti mahluk hidup lainnya. Kalau ia mengalami perawatan yang baik,
maka ia bisa berumur panjang. Sebagai contoh adalah Sumitomo, sebuah perusahaan dagang dari
Jepang, yang pada saat ini sudah berumur 400 tahun. Stora di Swedia, bisa berumur sampai 700
tahun. Tapi mereka semua berubah – ubah dari waktu ke waktu, beradaptasi dengan lingkungan
barunya.
Bagaimana dengan suatu bangsa ? Memang harus diakui bahwa sangat jarang di dengar suatu
bangsa mati di tengah jalan. Tetapi jangan salah, pemikiran bahwa bangsa tidak akan pernah mati
telah membuat banyak yang terperangkap dalam manajemen pelayanan masyarakat yang buruk.
Padahal sebuah negara dibangun berdasarkan dukungan masyarakat terhadap pemerintahnya
Perjalanan bangsa – bangsa dalam pemerintahan mengalami banyak perubahan. Perubahan itu
dipicu oleh datang dan perginya teknologi yang melahirkan arus gelombang. Gelombang –
gelombang itu menciptakan perubahan dalam pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan kepada masyarakat. Bentuk dan tata laksana pemerintahan yang dianggap tidak
mengakomodir kebutuhan masyarakatpun lambat laut ditinggalkan. Apabila pada abad
pertengahan mayoritas bangsa dikelola dengan bentuk pemerintahan monarki absolut, maka pada
abad 21, ini pemerintahan berbentuk demokrasi telah menjadi acuan di mayoritas bangsa di dunia.
Apabila dahulu pemerintahan dikelola dengan sistem menara gading, maka pada saat ini banyak
masyarakat yang menuntut sistem pemerintahan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat
banyak.
Perubahan pemerintahan bangsa - bangsa terjadi secara bertahap sesuai dengan perjalanan
waktu, berdasarkan buah pemikiran para ahli dari tiap generasi.
Dilihat dari sudut pandang pengelolaan pelayanan ke publik, maka perubahan manajemen
pemerintahan dipengaruhi oleh 3 (tiga) tahapan mahzab pemikiran yaitu mahzab klasik, neo klasik
dan manajemen publik baru (new public management).
Mahzab Klasik kemudian tergantikan oleh mahzab neo-klasik. Pengadopsian prinsip manajemen
tanpa pemahaman yang mendalam terhadap perilaku manusia dan organisasi akan melahirkan
pelayanan publik yang tidak konsisten (Simon 1976). Salah satu peninggalan penting yang lahir
dari mahzab neo-klasik adalah mulai ditanamnya kesadaran pada para pemerintah untuk
melakukan basis analisa untuk pengukuran perfomansi, proses audit, rasionalisasi dari jurisdiksi
dan organisasi, serta sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran (Schick 1966; Greenhouse
1966; Gross 1969; Schick 1969).
Seiring dengan waktu, mahzab neo-klasik secara berlahan mulai digantikan oleh sebuah teori baru
yang bernama new public management. Mahzab baru ini lahir dari kritik terhadap mahzab klasik
dan neo-klasik yang dianggap hanya memproduksi sistem manajemen publik yang kaku, tidak
berorientasi pasar serta birokratis.
Mahzab new public management ini mulai berkembang sejak tahun 80’an, tepat disaat dunia
sedang dihadapi oleh resesi global yang menyebabkan menyusutnya tingkat perdagangan dan
penerimaan pajak. Inti sari dari mahzabnew public management ini adalah suatu pemerintahan
sebaiknya dikelola seperti layaknya sebuah perusahaan swasta.
Filosofi dasar dari e-government sendiri merupakan alat dari suatu perubahan system (organisasi,
proses bisnis, sdm dan standard operating procedure) dalam pemerintahan. Fungsi utama dari e-
government adalah alat bantu dalam penciptaan perubahan dalam pelayanan dari pemerintah
kepada masyarakat.
Idealnya perubahan harus datang dari dalam dan mampu berubah sendiri tanpa mengalami
suatu proses intervensi dari luar. Pemerintah Indonesia, pada tahun 1998 akhirnya mengalami
perubahan drastis. Tetapi semua itu harus dilakukan melalui campur tangan asing, yaitu IMF,
World Bank, dan Negara.
Indonesiapun masih menghadapi pilihan – pilihan yang dilematis di tengah zaman yang
tengah berubah. Perubahan dari segi pemerintahan adalah perubahan dari era pemerintah militer
yang dipimpin oleh Soeharto menjadi pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh pemimpin
politik secara bergantian. Dari kehidupan yang relatif terkendali, menjadi kehidupan yang relatif
bebas, bahkan cenderung kurang terkendali, liar, lepas, dan kompetitif. Singkatnya, berubah
menjadi sangat dinamis. Lingkungan baru itu begitu bergejolak, bahkan terbuka. Dan layaknya
suatu bangsa yang tidak lepas dari pengaruh global, Indonesiapun dari segi pemerintahan mulai
bersentuhan dengan teknologi informasi, khususnya apa yang disebut dengan e-government.
Pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah masih terjebak dalam applikasi – applikasi
dasar seperti pembuatan situs atau applikasi proses yang sifatnya terputus – putus, sehingga yang
dalam kehidupan sehari – hari tidak memberikan manfaat yang mendalam terhadap masyarakat.
Pada tahun 2004 ini mungkin akan gelombang besar yang berkaitan dengan e-government.
Dengan mengambil tema reformasi manajemen keuangan publik, Departemen Keuangan sudah
mengambil langkah maju untuk mengadakan perubahan terhadap proses penganggaran dan
pengelolaan keuangan negara.
Tetapi semaju – majunya teknologi informasi yang ditawarkan atau besaran dana yang
dimiliki, hal tersebut tidaklah menjamin terjadinya kesuksesan perubahan yang diimpikan. Banyak
faktor dan variabel terkait, yang dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan dari suatu tujuan
perubahan. Hal inilah yang menjadi dasar dari munculnya disiplin ilmu manajemen perubahan
atau yang lebih sering dikenal sebagai change management.
BIROKRASI KITA PERLU DIREFORMASI
SECARA RADIKAL
1. PENDAHULUAN
Secara umum masyarakat saat ini menganggap bahwa birokrasi kita sangat
jelek, boros dan korup. Birokrasi pemerintah bagaikan kerajaan kecil tanpa
kendali, spirit demokrasi belum merasuk dalam sistim birokrasi kita. Dibawah ini
beberapa data yang dapat disajikan sebagai indikasi keadaan birokrasi saat ini:a.
Data dari the political and economic risk consultancy (PERC), April 2006
• Tahun 1999 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia
b. Tetap (47,6%)
a. Lebih baik (12,1%)
c. Lebih buruk (19,1%)
b. Tetap (51,7%)
China 12 41
Filipina 11 50
India 11 89
Australia 2 7
Perancis 10 42
Jepang 6 21
Negara Skor
Peringkat
12 Indonesia 1,92,5
Filipina
3 3,3
Thailand
4 3,4
Cina
5 4,3
Korea Selatan
6 5,2
Malaysia
7 8,0
Hongkong
8 9,4
Singapura
4. PENDEKATAN TEORI
• Kepemimpinan group :
- Konflik yang timbul muncul karena tujuan, kepentingan atau nilai dari individu
yang berbeda tidak bisa disatukan, dan kadang menghalangi kinerja masing-
masing dalam rangka mencapai tujuan
- Konflik tak bisa dihindari karena luasnya tujuan untuk masing-masing
anggota organisasi
- Konflik dapat menjadi hal yang positif bila dimanage dengan baik
• Pengenalan masalah
Menurut teori ini, orang tidak akan berubah semata-mata karena diminta, kecuali
jika kebutuhan untuk berubah dijelaskan dan terdaftar konsensus bahwa
perubahan dalam diusulkan merupakan suatu pembalikan peristiwa secara
mengagumkan. Beberapa prinsip kunci Reedukasi :
• Melalui sebuah proses, ini berarti bahwa keyakinan dari prilaku orang yang
menjadi target perubahan diketahui secara pasti oleh manager perubahan
• Reedukasi dapat terjadi apabila para target perubahan telah “mencair” dan
mau menerima informasi, pandangan, dan metode baru.
C=M+D–A
C : coruption
M : monopoly of power
D : discretion by officials
A : accountability
• Negara harus mampu mendesign ulang struktur dan kultur organisasinya agar
siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah
kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis.
• Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula
dipahami sebagai kekuasaan menjadi kekuatan menyelenggarakan kepentingan,
memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.
• Dalam konsep apapun yang dibangun negara harus tetap bermain sebagai
figur kunci namun tidak mendominasi serta memiliki kapasitas mengkoordinasi
(bukan memobilisasi) institusi-institusi semi dan non pemerintah.
b. Sasaran yang ingin dicapai Sasaran yang ingin dicapai adalah birokrat KEE
(Kecil Efektif Efisien), dengan kualitas sebagai berikut :
• Memiliki organisasi yang kaya fungsi, ramping struktur, efisien dan efektif,
dengan aparatur yang profesional, netral, sejahtera, tertib ketatalaksanaan,
koordinasi baik dan bebas KKN
1) Merubah Mindset Dari teori-teori tersebut diatas maka merubah pola fikir
manusia merupakan hal yang paling utama. Bad Governance yang selama ini
terjadi dalam birokrasi publik merupakan hasil sebuah proses interaksi yang
komplek dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam kehidupan
birokrasi publik. MINDSET yang salah selama ini telah mengilhami perilaku
birokrasi publik, MINDSET ini menyangkut misi dari keberadaan birokrasi publik
itu sendiri, jati diri, fungsi dan aktivitas yang dilakukan birokrasi dalam
kegiatannya sehari-hari. Perubahan MINDSET harus menjadi sebuah kewajiban
bila kita ingin mewujudkan perilaku baru dari birokrasi publik dan melahirkan
sosok pejabat publik yang berbeda dengan sekarang. Misi utama birokrasi
kolonial (yang masih diterapkan sekarang) adalah untuk mempertahankan
kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial. Banyak prosedur, norma, tradisi
yang masih melekat dan dipakai sampai sekarang. MINDSET baru harus berupa
mengembangkan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi
sebagai AGEN PELAYANAN PUBLIK. Nilai tradisi dan misi birokrasi publik
sebagai agen pelayanan harus ditumbuhkembangkan pada semua pejabat
birokrasi.
2) Pemberantasan Korupsi
C=M+D–A
C = corruption
M = monopoly of power
D = discretion by officials
A = accountability
• Manfaatkan jaminan atas kejujuran dari luar (LSM, Lembaga Pengawas, ICW
dll)
4) Restrukturisasi Birokrasi
a) Buat segera blue print atau rencana induk (grand design) tentang perubahan
struktur organisasi pelayanan dan lengkapi dengan payung hukum dan batas
waktu tanpa kompromi atau toleransi
d) Jabatan eselon I dan eselon II harus dipegang oleh leader manager yaitu
birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati dan mempraktekkan
management leadership
f) Peningkatan gaji pegawai secara selektif dan signifikan sesuai standar hidup
• Pengenalan masalah
Kata Pengantar
Good Governance telah menjadi ideologi baru negara-negara dan lembaga-lembaga
donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati
prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan
internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-
negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi obyektif situasi
perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Ditinjau dari sisi
semantik kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance
bermakna tata kepemerintahan yang baik.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, dalam Catatan
tentang Persepsi Masyarakat Mengenai Good Governance di Indonesia,
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dapat diartikan sebagai
suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang
diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh
karena itu, good governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur negara
dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha
swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan
tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut.
Dalam menapaki sejarah hidupnya, Republik Indonesia mengalami dua kali
malapetaka nasional. Sejak sebelum Perang Dunia Kedua, bahkan jauh sebelumnya,
bangsa Indonesia dan para pemimpinnya mencita-citakan dan memimpikan
kemerdekaan sepenuhnya. Tetapi dua kali juga impian itu kandas dan berakhir dengan
pemusatan kekuasaan pada satu tangan (executive heavy), dengan kata lain tidak
terwujudnya proses check and balance dengan segala dampaknya yang telah menyeret
bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman desintegrasi. Realitas
historis ini menggiring kita pada wacana bagaimana meminimalisir peran negara
(limitation of the state’s roles) yang menurut pandangan Satish Chandra Mishra
(2000), adalah persoalan bagaimana melakukan penyesuaian struktural (structural
adjusment) dalam bentuk antara lain deregulasi, restrukturisasi perbankan yang
mengarah pada aspek economic governance dan ketika program penyesuaian
struktural ini tidak berjalan dengan baik, tindakan yang perlu diambil adalah
melakukan reformasi politik yang dalam pelaksanaannya menunjuk pada penerapan
nilai-nilai non ekonomi yakni transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan atau sering juga disebut
governance reform as an instrument of economic recovery in Indonesia.
Selaras dengan pandangan Satish Chandra Mishra, Dadang Solihin (2000)
mengemukakan pendapat Rochman Achwan, seorang sosiolog dari UI yang
menganalogikan good governance sebagai troika yang ditarik oleh tiga ekor kuda :
negara, pasar, dan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara memainkan peran yang
sangat terbatas dalam pengelolaan ekonomi, dengan kata lain peran institusi negara
semakin mengecil. Good governance ini akan tegak jika didukung oleh tiga pilar pasif
yakni bersih, transparan, dan bertanggung–gugat dan beberapa pilar aktif/dinamis
meliputi responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif. Kedua jenis pilar
tersebut, khususnya pilar aktif sangat berkaitan dengan kondisi bebas dari korupsi.
Usaha-usaha anti korupsi adalah bersifat dinamis karena dalam jangka panjang akan
memacu pertumbuhan ekonomi.