You are on page 1of 23

Segarkan mata anda klik disini

New Public Managemen

Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai


dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawai
administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban,
terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta
pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.

Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank
Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance”
atau pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya
sering dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada
korupsi, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal,
kita bisa mencoba merumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat
positif, seperti definisi berikut: Good Governance adalah suatu bentuk
pemerintahan dan adminisitrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni
mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang
diharapkan dapat dihasilkan oleh “New Public Management”.

New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi


publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir
seluruh negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak
paruh kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di
Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja
umum dan swasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara
penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang
dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi
(pemerintah) dan oleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta
(BAGAIMANA wewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan
penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan oleh negara atas dasar
perumusan “order”” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran
biaya untuk pelaksanaan order tersebut (order kerja dan anggaran umum).

Dibawah Kedai Kebebasan menyajikan sebuah Occasional Paper yang pernah


diterbitkan oleh Friedrich Naumann Stiftung - Indonesia mengenai New public
Management (NPM), silahkan mengklik-nya.
Segarkan mata anda klik disini
Peran Media Dalam Mewujudkan Good
Governance
(03 Apr 2008, 250 x , Komentar)

Oleh: Sudirman Karnay (Dosen Ilmu Komunikasi Unhas)

Kebijakan redaksional sejumlah media cetak dan elektronik dalam memberitakan


kasus-kasus korupsi di tanah air akhir-akhir ini, seperti kasus BLBI, dan kasus
korupsi lainnya, kiranya patut diapresiasi secara positif oleh semua pihak. Sebab
diakui atau tidak, hal itu mendoong terwujudnya good governanceSalah satu
kesimpulan penting forum Millenium Development Goals (MDGs) yang digelar PBB
(2005) bahwa, agar berhasil dalam memberantas kemiskinan, tercapainya
pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun, memperoleh bantuan
internasional,

terbentuknya pemerintahan yang kompeten dan kredibel, serta berkinerjanya usaha


swasta, tidak lain adalah good governance dan good corporate governance.
Terlepas dari komitmen tersebut, isu hubungan media dan good governance
belakangan ini,

memang ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan di seantero jagat. UNESCO


bahkan menempatkan isu tersebut sebagai tema Peringatan Hari Kebebasan Pers
Sedunia 2005.

Pada peringatan tersebut disampaikan komitmen dan dedikasi berbagai pihak untuk
membela kebebasan berekspresi, serta mengkaji kembali pemahaman tentang good
governance yang terkait dengan hak untuk memperoleh informasi.

Sebelumnya lembaga PBB bagi pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
ini, pernah mengeluarkan seruan agar media komunikasi massa memainkan peran
sebagai pendorong pemberantasan korupsi.

Lewat peran strategisnya sebagai “anjing penjaga” (watch dog) media massa dapat
menjamin kehidupan berbangsa dapat berjalan lurus dan efektif, bersih dari praktik
penyimpangan yang tidak terpuji.
Itu berarti bahwa sejak awal lembaga dunia seperti PBB telah mengakui bahwa
prinsip kebebasan memperoleh informasi, telah dianggap strategis untuk bisa
diakses oleh masyarakat luas, dan untuk itu pers menjadi salah satu sarana penting
untuk memastikan masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Dalam konteks kebebasan memperoleh informasi tersebut, maka setidaknya ada tiga
konsep yang saling berkaitan satu sama lain, yakni ; kebebasan memperoleh
informasi (public access to information),

sistem negara yang demokratis (democratic state), pemerintahan yang baik (good
governance), serta pemerintahan yang terbuka (open government). Artinya, konsep
pemerintahan yang baik,

mensyaratkan adanya pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu fondasinya,


dan juga adanya jaminan terhadap kebebasan memperoleh informasi. Pemerintahan
yang terbuka di sini juga didefinisikan sebagai pemerintahan yang transparan,
terbuka dan partisipatoris.

Menurut Achmad Santosa (2001), pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya


jaminan atas lima hal, yakni hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam
menjalankan peran publiknya (right to observe), hak untuk memperoleh informasi
(right to information),

hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan public
(right to participate), kebebasan berekspresi, yang salah satunya diwujudkan dalam
kebebasan pers, hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan dari
pelaksanaan hak-hak di atas.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Good Governance? Dalam arti sempit, istilah
Good Governance (GG) sering diartikan sebagai kinerja suatu lembaga seperti
pemerintah, organisasi perusahaan, dan organisasi masyarakat, yang memenuhi
kriteria tertentu.

Menurut Rochman Achwan, (2000) paradigma GG menekankan arti penting


kesejajaran hubungan antara institusi negara, pasar, dan masyarakat. Dalam
konteks yang lebih luas, GG diartikan sebagai bentuk penjabaran nilai-nilai
demokrasi yang menuntut adanya budaya civil sebagai pilar keberlangsungan
demokrasi.

Meskipun terdapat banyak pengertian mengenai GG, namun pada hakikatnya,


konsep GG merujuk pada kewajiban pemerintah untuk memenuhi tiga prinsip dasar,
yakni :

Pertama, transparansi dalam proses pembuatan keputusan, baik menyangkut


peraturan yang eksplisit dan prosedur tertentu yang diambil, dan siapa yang menjadi
penanggung jawab dari suatu kebijakan.

Kedua, mekanisme institusional untuk mempertanggungjawabkan kebijakan yang


telah mereka pilih. Ketiga, sanksi yang tepat bagi mereka yang melanggar, agar
terjadi pertanggujawaban.

Intinya, good governance adalah terbentuknya pemerintah dan pemerintahan yang


bersih, tidak korup, yang kompeten dan kredibel. Yang pasti, ketiga unsur yang saat
ini ada dalam masyarakat yaitu pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat civil, yang
menjadi pihak yang ikut bermain dalam GG. (Setianto, 2003).

Untuk mewujudkan GG maka salah satu elemen sistem sosial pada tataran
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang diharapkan perannya adalah institusi
media.

Peran media yang bebas dan independen dalam mendorong GG sesungguhnya tak
bisa dilepaskan dari peran ideal media itu sendiri, yaitu fungsi informasi, fungsi
pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.

Keterlibatan media memang bisa membantu dalam membingkai (frame) isu-isu yang
berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan
kepentingan warga masyarakat.

Peran tersebut sangat relevan dengan prinsip-prinsip dalam GG seperti transparansi,


partisipasi, dan akuntabilitas. Transparansi, didasarkan pada adanya mekanisme
untuk menjamin akses umum kepada pengambil keputusan.

Partisipasi, didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat bisa berperan secara


aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas, menyatakan
seberapa besar efektivitas pengaruh dari mereka yang diperintah terhadap orang
yang memerintah.

Pentingnya peran media yang independen, juga pernah dilontarkan oleh Amartya
Sen, dalam bukunya “Development as Freedom”, bahwa mengapa di India tidak
pernah ada bahaya kelaparan, sedangkan di Tiongkok bahaya kelaparan terjadi.

Menurut ahli ekonomi pemenang Nobel 2001 ini, hal itu disebabkan di India ada
kebebasan pers, ada keterbukaan informasi. Sedangkan di Tiongkok, tidak ada dan
informasi di sana mengalami tekanan dari pemerintah. Dengan kata lain, kemiskinan
bisa dihindari ketika negara tersebut memiliki pers yang bebas.

Joseph E Stiglitz, guru besar di Columbia University, sekaligus pemenang hadiah


Nobel Ekonomi tahun 2001, memiliki pandangan yang sangat menarik dalam soal
akses informasi (atau para ekonom menyebutnya sebagai “transparansi”) yang ia
lihat sebagai hal krusial dalam melihat krisis ekonomi di Asia sejak 1997.

Stiglitz yang pernah menjadi anggota tim ekonomi Presiden Amerika di bawah
kendali Clinton, dan juga pernah bekerja di World Bank, sangat concern dengan
kondisi yang ia sebut sebagai asymetries of information, yaitu kondisi di mana
terjadi kepemilikan informasi,

yang bisa terjadi antara para pekerja dan majikannya, antara kreditor dan debitor,
antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Stiglitz mengatakan bahwa
kondisi asymetries of information ini terjadi dalam berbagai kegiatan ekonomi, dan
secara teoritis,

preposisi Stiglitz ini menyumbang fondasi yang lebih realistis terhadap


perkembangan teori tentang buruh dan pasar uang.

Pandangan Stiglitz tersebut, seluruhnya didasarkan pada buku yang ditulisnya pada
tahun 2002 “Globalization and its Discontent”. Konteks yang melatari buku ini
terutama adalah analisis Stiglitz pada situasi krisis ekonomi Asia, di mana untuk
melakukan economic recovery prinsip transparansi,

keterbukaan dan mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, adalah bagian


penting dari akuntalibitas pemerintahan dalam proses perbaikan ekonomi tadi.

Dasar Pandangan Stiglitz pula adalah mengeritik banyak kebijakan IMF (International
Monetary Fund) yang justru sebaliknya memelihara kultur kerahasiaan (culture of
secrety) dalam pelaksanaan economic recovery di berbagai negara,

padahal implikasi berbagai butir perjanjian dengan IMF itu tak saja mengikat
lembaga pemerintah, tapi juga kepada banyak masyarakat luas.

Kultur kerahasiaan sebagai ditunjuk oleh Stiglitz memberikan peluang kepada para
pejabat pemerintah untuk menghindari kebijakan mereka dianalisa, dievaluasi
ataupun dikritik oleh masyarakat.

Buat para pejabat pemerintah memang memelihara kultur kerahasiaan seperti ini
membuat hidup mereka menjadi lebih enak, mereka bisa bertindak sesukanya tanpa
ada yang mengontrol, dan kerahasiaan pula memungkinkan para pejabat pemerintah
untuk menyembunyikan kesalahan mereka.

Persoalan lain yang ditunjukkan oleh Stiglitz adalah, kalaupun sebuah kebijakan
tidak dilahirkan hanya untuk kepentingan sekelompok orang, ada pula pertanyaan
kritis di situ: kepentingan siapa yang sesungguhnya dilayani dalam pembuatan
kebijakan ini?

Kultur kerahasiaan ini pula yang memunculkan banyaknya protes dari masyarakat
untuk memberikan keterbukaan yang lebih besar dan juga transparansi dalam
pembuatan kebijakan pemerintah.

Salah satu unsur penting dari media yang makin bebas dan kaitannya dengan GG
adalah tersedianya informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk menunjukkan
kinerja macam apa yang ditunjukkan oleh para pejabat dalam menjalankan
pemerintahan.

Dalam masyarakat modern, ketersediaan informasi sangat penting artinya untuk


mengukur kualitas pembuatan keputusan oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan
demikian, hal tentang informasi yang terbuka, berguna untuk masyarakat, menjadi
penting artinya bagi pengembangan masyarakat,

dan terutama untuk memastikan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan


pemerintah berjalan sesuai dengan rencana, dan mencapai sasaran yang telah
disusun sebelumnya.

Dalam teori-teori liberal-pun dikemukakan bahwa fungsi dari media massa adalah
membuka ruang demokratisasi yang dilakukan dengan cara membuka peluang
terjadinya kebebasan berekspresi, dan memberi kesempatan kepada berbagai
kelompok masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.

Melalui peliputannya yang investigatif, media massa mempunyai peluang untuk


mengungkapkan berbagai tindak penyelewengan, baik yang dilakukan pemerintah,
maupun lembaga swasta.
Peliputan investigasi memiliki kekuatan “akuntabilitas publik” yang mampu
membongkar kebusukan di masyarakat serta mendorong terwujudnya
demokratisasi. Hanya jika para jurnalis bebas untuk memonitor, menginvestigasi dan
mengkritisi kebijakan dan tindakan administrasi publik, maka GG bisa diwujudkan.
(**)

http://www.sulsel.go.id/explore-more/produk-hukum/kebijakan-pengembangan-
20060829-255.html

Kebijakan Pengembangan
SELASA, 29 AGUSTUS 2006

Halaman 1 dari 4
Index Artikel
Kebijakan Pengembangan
Pendahuluan
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Pemerintahan layaknya mahluk hidup

Arie de Geus (1997) menemukan bahwa sebuah institusi dapat dilihat sebagai sesosok mahluk
hidup (a living organism). Ia hidup karena mengalami perubahan – perubahan seperti dilahirkan,
sakit, tua, dan akan mati seperti mahluk hidup lainnya. Kalau ia mengalami perawatan yang baik,
maka ia bisa berumur panjang. Sebagai contoh adalah Sumitomo, sebuah perusahaan dagang dari
Jepang, yang pada saat ini sudah berumur 400 tahun. Stora di Swedia, bisa berumur sampai 700
tahun. Tapi mereka semua berubah – ubah dari waktu ke waktu, beradaptasi dengan lingkungan
barunya.

Bagaimana dengan suatu bangsa ? Memang harus diakui bahwa sangat jarang di dengar suatu
bangsa mati di tengah jalan. Tetapi jangan salah, pemikiran bahwa bangsa tidak akan pernah mati
telah membuat banyak yang terperangkap dalam manajemen pelayanan masyarakat yang buruk.
Padahal sebuah negara dibangun berdasarkan dukungan masyarakat terhadap pemerintahnya

Perjalanan bangsa – bangsa dalam pemerintahan mengalami banyak perubahan. Perubahan itu
dipicu oleh datang dan perginya teknologi yang melahirkan arus gelombang. Gelombang –
gelombang itu menciptakan perubahan dalam pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan kepada masyarakat. Bentuk dan tata laksana pemerintahan yang dianggap tidak
mengakomodir kebutuhan masyarakatpun lambat laut ditinggalkan. Apabila pada abad
pertengahan mayoritas bangsa dikelola dengan bentuk pemerintahan monarki absolut, maka pada
abad 21, ini pemerintahan berbentuk demokrasi telah menjadi acuan di mayoritas bangsa di dunia.
Apabila dahulu pemerintahan dikelola dengan sistem menara gading, maka pada saat ini banyak
masyarakat yang menuntut sistem pemerintahan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat
banyak.

PERUBAHAN DALAM MANAJEMEN PEMERINTAHAN

Perubahan pemerintahan bangsa - bangsa terjadi secara bertahap sesuai dengan perjalanan
waktu, berdasarkan buah pemikiran para ahli dari tiap generasi.

Dilihat dari sudut pandang pengelolaan pelayanan ke publik, maka perubahan manajemen
pemerintahan dipengaruhi oleh 3 (tiga) tahapan mahzab pemikiran yaitu mahzab klasik, neo klasik
dan manajemen publik baru (new public management).

• Mahzab klasik lahir dari pemikiran kuat Frederick Taylor Scientific


Management, yang menitikberatkan pada pencegahan korupsi dan
terjadinya in-efisiensi pada pelayanan publik.

Mahzab Klasik kemudian tergantikan oleh mahzab neo-klasik. Pengadopsian prinsip manajemen
tanpa pemahaman yang mendalam terhadap perilaku manusia dan organisasi akan melahirkan
pelayanan publik yang tidak konsisten (Simon 1976). Salah satu peninggalan penting yang lahir
dari mahzab neo-klasik adalah mulai ditanamnya kesadaran pada para pemerintah untuk
melakukan basis analisa untuk pengukuran perfomansi, proses audit, rasionalisasi dari jurisdiksi
dan organisasi, serta sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran (Schick 1966; Greenhouse
1966; Gross 1969; Schick 1969).

Seiring dengan waktu, mahzab neo-klasik secara berlahan mulai digantikan oleh sebuah teori baru
yang bernama new public management. Mahzab baru ini lahir dari kritik terhadap mahzab klasik
dan neo-klasik yang dianggap hanya memproduksi sistem manajemen publik yang kaku, tidak
berorientasi pasar serta birokratis.

Mahzab new public management ini mulai berkembang sejak tahun 80’an, tepat disaat dunia
sedang dihadapi oleh resesi global yang menyebabkan menyusutnya tingkat perdagangan dan
penerimaan pajak. Inti sari dari mahzabnew public management ini adalah suatu pemerintahan
sebaiknya dikelola seperti layaknya sebuah perusahaan swasta.

E-GOVERNMENT SEBAGAI TULANG PUNGGUNG PERUBAHAN

Berkembangnya teknologi informasi telah menyentuh sendi – senti manajemen pemerintahan.


Kombinasi antara buah pemikiran mahzab new public management dengan teknologi informasi
telah melahirkan konsep applikasi pemerintahan digital atau yang lebih populer disebut sebagai e-
government.

Filosofi dasar dari e-government sendiri merupakan alat dari suatu perubahan system (organisasi,
proses bisnis, sdm dan standard operating procedure) dalam pemerintahan. Fungsi utama dari e-
government adalah alat bantu dalam penciptaan perubahan dalam pelayanan dari pemerintah
kepada masyarakat.

Disamping kekuatan daya jangkaunya, e-government dianggap mempunyai beberapa


manfaat tambahan (Gore,1993) seperti :

1. Memperbaiki kinerja efektifitas dan efisiensi


2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas dalam rangka
Good Corporate Governance
3. Mengurangi secara signikan total biaya administrasi yang dikeluarkan
pemerintah kepada para stakeholder-nya
4. Memberikan opportunity kepada Pemda untuk mendapatkan revenue
stream yang baru.
5. Memberdayakan masyarakat dengan menciptakan masyarakat baru
yang lebih sejajar dan melek teknologi sehingga mampu
mengantisipasi perubahan global.

Idealnya perubahan harus datang dari dalam dan mampu berubah sendiri tanpa mengalami
suatu proses intervensi dari luar. Pemerintah Indonesia, pada tahun 1998 akhirnya mengalami
perubahan drastis. Tetapi semua itu harus dilakukan melalui campur tangan asing, yaitu IMF,
World Bank, dan Negara.

Indonesiapun masih menghadapi pilihan – pilihan yang dilematis di tengah zaman yang
tengah berubah. Perubahan dari segi pemerintahan adalah perubahan dari era pemerintah militer
yang dipimpin oleh Soeharto menjadi pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh pemimpin
politik secara bergantian. Dari kehidupan yang relatif terkendali, menjadi kehidupan yang relatif
bebas, bahkan cenderung kurang terkendali, liar, lepas, dan kompetitif. Singkatnya, berubah
menjadi sangat dinamis. Lingkungan baru itu begitu bergejolak, bahkan terbuka. Dan layaknya
suatu bangsa yang tidak lepas dari pengaruh global, Indonesiapun dari segi pemerintahan mulai
bersentuhan dengan teknologi informasi, khususnya apa yang disebut dengan e-government.

E-GOVERNMENT SEBAGAI APLIKASI PERUBAHAN


Di Indonesia, kelahiran E-Government dibidani oleh Instruksi Presiden No. 3/2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Pemerintahan Secara Elektronik. INPRES ini
cukup merangsang lahirnya e-government di Indonesia. Sayangnya secara kualitatif dan
kualitatif , peranan e-government di dalam roda pemerintahan hanya bagaikan riak – riak kecil di
tengah gelombang besar laut.

Pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah masih terjebak dalam applikasi – applikasi
dasar seperti pembuatan situs atau applikasi proses yang sifatnya terputus – putus, sehingga yang
dalam kehidupan sehari – hari tidak memberikan manfaat yang mendalam terhadap masyarakat.

Pada tahun 2004 ini mungkin akan gelombang besar yang berkaitan dengan e-government.
Dengan mengambil tema reformasi manajemen keuangan publik, Departemen Keuangan sudah
mengambil langkah maju untuk mengadakan perubahan terhadap proses penganggaran dan
pengelolaan keuangan negara.

Dalam perubahan ini, Departemen Keuangan menggunakan applikasi e-government yang


berbasis pada applikasi manajemen keuangan yang terintegrasi baik secara internal (Bea Cukai,
Pajak, Anggaran dan Perbendaharaan) maupun secara eksternal (Kementerian Teknis dan
Lembaga Bangsa). Perubahan ini menawarkan reformasi total terhadap pengelolaan pemerintahan
melalui bangsa.

Tetapi semaju – majunya teknologi informasi yang ditawarkan atau besaran dana yang
dimiliki, hal tersebut tidaklah menjamin terjadinya kesuksesan perubahan yang diimpikan. Banyak
faktor dan variabel terkait, yang dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan dari suatu tujuan
perubahan. Hal inilah yang menjadi dasar dari munculnya disiplin ilmu manajemen perubahan
atau yang lebih sering dikenal sebagai change management.
BIROKRASI KITA PERLU DIREFORMASI
SECARA RADIKAL

1. PENDAHULUAN

Teori Pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru, konsep pemerintahan sudah


muncul sejak adanya masyarakat itu sendiri. Secara sederhana Pemerintahan
berarti: sebuah proses mulai dari pengambilan keputusan hingga
implementasinya. Sepanjang pengertian pemerintahan sebagai proses
pengambilan dan pelaksanaan keputusan maka banyak pengamat lebih
memfokuskan kepada : siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan
dan bagaimana bentuk lembaga formal yang akan menjalankannya. Belakangan
ini istilah pemerintahan dan “pemerintahan yang baik” atau sering disebut good
governance menjadi semakin sering digunakan dalam beberapa tulisan baik
tulisan masalah sosial politik, pembangunan maupun masalah manajemen.
Pemerintahan yang buruk dipandang sebagai suatu masalah dasar yang berada
dalam tatanan masyarkat. Tulisan ini mencoba memaparkan dengan sederhana
tentang keadaan birokrasi Indonesia sekarang ini, alasan perlunya reformasi
total, dan apa saja upaya-upaya untuk mencari sebuah solusi agar good
governance dan clean governance tercapai sesuai harapan masyarakat pada
umumnya.

2. SEPERTI APA BIROKRASI SEKARANG INI

Secara umum masyarakat saat ini menganggap bahwa birokrasi kita sangat
jelek, boros dan korup. Birokrasi pemerintah bagaikan kerajaan kecil tanpa
kendali, spirit demokrasi belum merasuk dalam sistim birokrasi kita. Dibawah ini
beberapa data yang dapat disajikan sebagai indikasi keadaan birokrasi saat ini:a.
Data dari the political and economic risk consultancy (PERC), April 2006
• Tahun 1999 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia

• Tahun 2000 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia

• Tahun 2001 turun lagi menjadi birokrasi terburuk ketiga di Asia

• Tahun 2005 semakin merosot menjadi birokrasi terburuk kedua di Asia

b. Catatan empiris hasil survei kompas tentang tingkat kemiskinan (Kompas 31


Agustus 2006)

Medan : Pontianak : a. Lebih baik (33,3%)

b. Tetap (47,6%)
a. Lebih baik (12,1%)
c. Lebih buruk (19,1%)
b. Tetap (51,7%)

c. Lebih buruk (32,8%)

d. Tidak tahu (3,4%)


Banjarmasin:a. Lebih baik (6,3%) Padang: a. Lebih baik (18,8%)

b. Tetap (37,5%) b. Tetap (27,3%)

c. Lebih buruk (56,2%) c. Lebih buruk (54,5%)


Jakarta:a. Lebih baik (6,5%) Yogyakarta: a. Lebih baik (2,5%)

b. Tetap (37,9%) b. Tetap (35%)

c. Lebih buruk (53,6%) c. Lebih buruk (60%)

d. Tidak tahu (2,5%) d. Tidak tahu (2,5%)

Kemiskinan ini berhubungan langsung dengan jeleknya birokrasi.

c. Jumlah Prosedur dan lama waktu perizinan usaha di sejumlah negara


berkembang dan maju (Data Koran Tempo 13 Nopember 2004)

Jumlah Prosedur Waktu (Hari)


Negara
Indonesia 129 15130
Malaysia
8 33
Thailand
Vietnam 11 56

China 12 41

Filipina 11 50

India 11 89

Australia 2 7

Perancis 10 42

Jepang 6 21

d. Peringkat korupsi 8 negara di Asia (Sumber International Tranparancy


report 2003

Negara Skor
Peringkat
12 Indonesia 1,92,5
Filipina
3 3,3
Thailand
4 3,4
Cina
5 4,3
Korea Selatan
6 5,2
Malaysia
7 8,0
Hongkong
8 9,4
Singapura

e. Hasil jajak pendapat harian kompas pada 16-17 maret 2005

• sebanyak 62% responden menyatakan bahwa aparat pemerintah belum


terbebas dari KKN dalam bekerjanya, dengan demikian masyarakat sebagai
pihak yang seharusnya mendapat pelayanan birokrasi belum puas.

• sebanyak 50% responden mengatakan kerja aparat pemerintah sangat


lambat • hampir separoh responden menyatakan layanan aparat pemerintah
cenderung berbelit-belit

3. MENGAPA PERLU REFORMASI SECARA RADIKAL


Dengan melihat data-data tersebut diatas, maka reformasi birokrasi saat ini tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Paling tidak ada 3 alasan mengapa reformasi birokrasi
menjadi sebuah keharusan. Pertama sebagai keharusan politik. Spirit
penyelenggaraan negara paska orde baru adalah pengabdian kepada
kedaulatan rakyat berbeda dengan zaman orde baru dimana birokrat sebagai
abdi negara yang diorientasikan kepada kepentingan politis semata. Maindset
lama yang berpandangan bahwa birokrat harus dilayani dan dihormati publik kini
harus dirombak menjadi melayani publik, karena mereka bekerja dengan dibayar
dari dana pajak yang dipungut dari rakyat. Kedua sebagai sebuah keharusan
ekonomi. Ruh reformasi adalah komitmen untuk memberantas korupsi, kolusi
dan nepotisme. Komitmen ini telah dituangkan dalam berbagai jenjang peraturan
perundangan-undangan. Semua sadar KKN telah membuat ekonomi negara
rusak, bangkrut, inefisien dan high cost. Birokrasi selama ini masih dikenal
sebagai penyumbang terbesar praktek KKN, dengan demikian birokrasi sebagai
penyumbang terbesar kerugian negara, dan ini harus dihentikan. Ketiga tuntutan
globalisasi. Interaksi global yang mekin terbuka dan intensif mensyaratkan
performa birokrasi yang profesional, cekatan, efisien, dan efektif. Performa
birokrasi dapat berdampak langsung bagi kegairahan investasi. Investor, baik
domestik maupun asing, akan bersemangat mengembangkan usaha bila
berhubungan dengan birokrasi yang profesional. Sebaliknya, investor akan
malas-malasan bahkan bisa akan angkat kaki dari Indonesia bila berinteraksi
dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban, korup serta banyak menuntut biaya
tinggi. Saat ini, kita membutuhkan banyak investasi untuk mendinamisir
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Sehingga angka pengangguran bisa
ditekan, kemiskinan bisa diatasi, dan kesejahteraan lahir batin masyarakat bisa
diwujudkan. Maka sekali lagi, reformasi birokrasi tidak bisa ditawar lagi.

4. PENDEKATAN TEORI

Untuk melakukan sebuah perubahan yang sangat mendasar diperlukan


beberapa pendekatan terhadap teori-teori yang mungkin relevan sebagai sarana
mencari solusi terbaik. Dibawah ini diuraikan teori-teori pendukung perubahan
yang ingin dicapai.
a. Gareth R. Jones dan Jenifer M. George dalam Contemporary Management

1) Chapter 14, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

• Memanage grup/team agar epektif dan efisien antara lain :

- Bagaimana memotivasi anggota untuk mencapai tujuan

- Mengurangi kecemburuan sosial dalam grup

- Membantu grup memanage konflik

• Kunci agar internal management team menjadi efektif :


- Beri rasa tanggung jawab yang cukup agar mandiri

- Tugas yang diberikan kepada team agar dapat menumbuhkan beberapa


macam jalan keluar terbaik

- Seleksi anggota dengan hati-hati untuk melihat kemampuan dan


semangat

- Manager harus memberi pengarahan, latihan dan bukan hanya


mengawasi
- Siapkan pelatihan yang diperlukan

- Team harus dievaluasi performancenya

• Kepemimpinan group :

- Kepemimpinan epektif adalah rumus kunci dari tingginya performance


grup, team dan organisasi

- Formal grup dibentuk oleh organisasi dan memiliki seorang pemimpin


yang ditunjuknya

- Grup yang muncul dari sebuah independen dalam sebuah organisasi


memiliki pemimpin informal yang diakui grup

2) Chapter 15, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

- Pentingnya komunikasi yang baik :

- Meningkatkan efisiensi terhadap teknologi baru dan kemampuan

- Meningkatkan kualitas dan produk dari service

- Meningkatkan tanggung jawab dan respon terhadap costumer

- Menambah inovasi lewat komunikasi

3) Chapter 16, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

• Konflik dalam organisasi :

- Konflik yang timbul muncul karena tujuan, kepentingan atau nilai dari individu
yang berbeda tidak bisa disatukan, dan kadang menghalangi kinerja masing-
masing dalam rangka mencapai tujuan
- Konflik tak bisa dihindari karena luasnya tujuan untuk masing-masing
anggota organisasi

- Konflik dapat menjadi hal yang positif bila dimanage dengan baik

4) Chapter 17, dalam chapter ini diuraikan tentang pentahapan perubahan


organisasi dalam empat tahap sebagai berikut :

• Tahapan perubahan organisasi :

Penilaian, perlunya perubahan

• Pengenalan masalah

• Identifikasi sumber masalah


Memutuskan perubahan yang akan dibuat
• Memutuskan apa masa depan terbaik untuk organisasi
• Identifikasi masalah yang akan diambil
Implementasi perubahan
• Memutuskan apakah perubahan itu dari atas kebawah atau sebaliknya
• Mengenalkan dan memanage perubahan
Evaluasi perubahan
• Membandingkan setelah dan sebelum perubahan
• Menentukan mana yang tebaik

b. Teori Reedukatif dari Kurt Lewin

Menurut teori ini, orang tidak akan berubah semata-mata karena diminta, kecuali
jika kebutuhan untuk berubah dijelaskan dan terdaftar konsensus bahwa
perubahan dalam diusulkan merupakan suatu pembalikan peristiwa secara
mengagumkan. Beberapa prinsip kunci Reedukasi :

• Melalui sebuah proses, ini berarti bahwa keyakinan dari prilaku orang yang
menjadi target perubahan diketahui secara pasti oleh manager perubahan

• Harus menyentuh budaya

• Harus ada keterlibatan mereka yang menjadi sasaran perubahan

• Harus didukung oleh faktor lingkungan

• Harus ada keterlibatan peran kelompok

• Pelatihan secara intensif

c. Teori Jeff Davidson


• Menurut teori ini, orang berubah ketika merasakan bahwa perubahan
memang ditunjukkan untuk kepentingan terbaik mereka

• Perubahan benar-benar siap digulirkan ketika individu mengadopsi sistem


nilai dan keyakinan kelompok yang mendorong perubahan

• Para target perubahan lebih mungkin untuk menerima perubahan


seandainya mereka dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan eksekusi
perubahan itu

• Reedukasi dapat terjadi apabila para target perubahan telah “mencair” dan
mau menerima informasi, pandangan, dan metode baru.

d. Ciri umum good governance menurut Willy R. TjandraMenurut Willy R.


Tjandra good governance memiliki 8 ciri umum, yaitu : akuntabilitas, transfaransi,
keadilan, penerapan hukum, efektifitas dan efisiensi, responsibilitas, pendekatan
konsensus dan partisipasi publik. Hal ini dianggap banyak kalangan dapat
menjamin mengurangi tingkat korupsi, keterwakilan, terakomodasi dan responsif
atas kebutuhan masyarakat.

e. Teori Klitgaard mengatakan bahwa secara umum pola yang menjadi


penyebab merebaknya korupsi dapat diungkapkan dengan rumus sebagai
berikut :

C=M+D–A

C : coruption

M : monopoly of power

D : discretion by officials

A : accountability

5. KONSEP REFORMASI BIROKRASI

a. Konsep UmumDari beberapa pendekatan teori diatas kita dapat mengambil


intisarinya untuk dijadikan sebagai acuan dan pedoman untuk membuat sebuah
konsep yang memadai dalam rangka reformasi birokrasi. Setidaknya ada 5 (lima)
prinsip yang ditawarkan agar proses perubahan ini berjalan sesuai rencana.

• Negara harus mampu mendesign ulang struktur dan kultur organisasinya agar
siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah
kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis.
• Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula
dipahami sebagai kekuasaan menjadi kekuatan menyelenggarakan kepentingan,
memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.

• Dalam konsep apapun yang dibangun negara harus tetap bermain sebagai
figur kunci namun tidak mendominasi serta memiliki kapasitas mengkoordinasi
(bukan memobilisasi) institusi-institusi semi dan non pemerintah.

• Negara, LSM, dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor, memiliki posisi


dan peran yang saling menyeimbangkan

• Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan


akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan
kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik.

b. Sasaran yang ingin dicapai Sasaran yang ingin dicapai adalah birokrat KEE
(Kecil Efektif Efisien), dengan kualitas sebagai berikut :

• Transparan, akuntable, bersih dan bertanggung jawab serta dapat menjadi


pelayan masyarakat, abdi masyarakat dan teladan masyarakat.

• Memiliki organisasi yang kaya fungsi, ramping struktur, efisien dan efektif,
dengan aparatur yang profesional, netral, sejahtera, tertib ketatalaksanaan,
koordinasi baik dan bebas KKN

c. Pelaksanaan KonsepDalam pelaksanaannya diperlukan segala upaya dan


usaha untuk mengaplikasikan konsep umum tersebut diatas yang terdiri dari :
merubah mindset, upaya pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas moral
dan restrukturisasi birokrasi.

1) Merubah Mindset Dari teori-teori tersebut diatas maka merubah pola fikir
manusia merupakan hal yang paling utama. Bad Governance yang selama ini
terjadi dalam birokrasi publik merupakan hasil sebuah proses interaksi yang
komplek dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam kehidupan
birokrasi publik. MINDSET yang salah selama ini telah mengilhami perilaku
birokrasi publik, MINDSET ini menyangkut misi dari keberadaan birokrasi publik
itu sendiri, jati diri, fungsi dan aktivitas yang dilakukan birokrasi dalam
kegiatannya sehari-hari. Perubahan MINDSET harus menjadi sebuah kewajiban
bila kita ingin mewujudkan perilaku baru dari birokrasi publik dan melahirkan
sosok pejabat publik yang berbeda dengan sekarang. Misi utama birokrasi
kolonial (yang masih diterapkan sekarang) adalah untuk mempertahankan
kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial. Banyak prosedur, norma, tradisi
yang masih melekat dan dipakai sampai sekarang. MINDSET baru harus berupa
mengembangkan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi
sebagai AGEN PELAYANAN PUBLIK. Nilai tradisi dan misi birokrasi publik
sebagai agen pelayanan harus ditumbuhkembangkan pada semua pejabat
birokrasi.

2) Pemberantasan Korupsi

• Untuk mengembangkan strategi pemberantasan korupsi secara tepat perlu


terlebih dahulu memahami akar permasalahan dalam setiap kontek sosial.
Menurut Klitgaard secara umum pola yang menjadi penyebab merebaknya
korupsi dapat diungkapkan dengan rumus sebagai berikut :

C=M+D–A

C = corruption

M = monopoly of power

D = discretion by officials

A = accountability

Peluang untuk melakukan korupsi cenderung meningkat jika seseorang memiliki


monopoli atas kekuasaan dan diskresi (keleluasaan bertindak). Tetapi peluang
korupsi dapat ditekan jika mekanisme akuntabilitas dapat ditingkatkan. Dengan
demikian pemegang monopoli atas barang dan jasa dan memiliki wewenang
untuk memutuskan harus DIPERSEMPIT dan akuntabilitas harus tetap
DILAKSANAKAN DENGAN KETAT.

• Menyingkirkan orang-orang yang tidak jujur, evaluasi riwayat pekerjaan dan


mengadakan tes integritas

• Optimalisasi penerimaan SDM terutama kecakapan menyeleksi akuntan,


auditor dan analis sistem

• Manfaatkan jaminan atas kejujuran dari luar (LSM, Lembaga Pengawas, ICW
dll)

• Memperberat hukuman formal (berlakukan hukuman mati) untuk memberikan


efek jera

3) Peningkatan kualitas moralAgar restrukturisasi dan pemberantasan korupsi


efektif dan efisien maka penguatan harus dilakukan melalui peningkatan moral,
religi dan etika pada para pelaku birokrasi (Prof. Dr. HM. Sidik Priadana,
MS)Agenda pemberantasan korupsi selain dengan menempuh jalan penegakkan
hukum juga perlu membereskan mentalitas yang buruk. Dalam kaitan mental
mekanisme hukum memang berguna untuk meredam improvisasi mental buruk.
Tapi sistim hukum hanya menyentuh permukaan, bila instrumen hukum gagal
mengendus maka perilaku korup akan tetap bergerak secara kucing-kucingan.
Akan lebih komprehensif kalau solusi permukaan dengan jalur hukum dilengkapi
dengan solusi mental untuk perbaikan dari dalam jiwa manusia sehingga
semangat perbaikan itu betul-betul lahir dari kesadaran yang mendalam. Upaya
ini dapat dilakukan melalui kursus, training dan pelatihan-pelatihan leadership.

4) Restrukturisasi Birokrasi

Jelas bahwa kelemahan mendasar dalam perbaikan birokrasi pemerintahan


adalah implementasinya. Perbaikan itu harus dipraktikkan, bukan sekedar
diwacanakan, dianjurkan, diintruksikan, diundangkan dan sejenisnya. Harus ada
konsep operatif dengan tahapan-tahapan yang tepat, akurat, dan mungkin untuk
dilakukan. Sasaran dan target pada setiap tahapan harus ketat dan dibarengi
dengan contoh (role model) dari pimpinan. Dan harus dikawal dengan
penjaminan dan kendali mutu, lengkap dengan reward and punishment yang
tegas, jelas dan adil.

a) Buat segera blue print atau rencana induk (grand design) tentang perubahan
struktur organisasi pelayanan dan lengkapi dengan payung hukum dan batas
waktu tanpa kompromi atau toleransi

b) Pensiunkan para pemimpin/manager yang tidak memiliki komitmen terhadap


restrukturisasi

c) Cegah inefisiensi, baik yang tergolong penyimpangan maupun yang tidak

d) Jabatan eselon I dan eselon II harus dipegang oleh leader manager yaitu
birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati dan mempraktekkan
management leadership

e) Wujudkan segera standar kinerja dan indikator keberhasilan yang konkrit,


jelas, dapat dipraktekkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian
yang efektif, efisien dan tepat sasaran

f) Peningkatan gaji pegawai secara selektif dan signifikan sesuai standar hidup

g) Rubah sistem pendidikan dari pendekatan kekuasaan menjadi pendekatan


pelayanan

h) Melakukan evaluasi terus menerus secara berkesinambungan yang sesuai


dengan tujuan yang dikehendaki

d. Tahapan perubahan (4 tahun)Reformasi birokrasi dicanangkan dalam 4


(empat) tahap selama empat tahun dimaksudkan agar pemerintah hasil
pemilihan umum/presiden dapat mengaplikasikannya pada kurun waktu
jabatannya Tahap 1 Tahap
2 Tahap 3 Tahap 4

Penilaian, perlunya perubahan

• Pengenalan masalah

• Identifikasi sumber masalah


Memutuskan perubahan yang akan dibuat
• Memutuskan apa masa depan terbaik untuk organisasi
• Identifikasi masalah yang akan diambil
Implementasi perubahan
• Memutuskan apakah perubahan itu dari atas kebawah atau sebaliknya
• Mengenalkan dan memanage perubahan
Evaluasi perubahan
• Membandingkan setelah dan sebelum perubahan
• Menentukan mana yang tebaik

6 bulan 36 bulan 6 bulan

e. AsumsiDalam mengaplikasikan konsep tersebut diatas, diasumsikan bahwa


pemimpin perubahan harus memiliki otoritas penuh lintas departemen untuk
membuat dan mengaplikasikan kebijakannya
http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/informasi.htm

Paper Seminar / Diskusi

Kompilasi Bahan Diskusi Rutin Good Governance

Kata Pengantar
Good Governance telah menjadi ideologi baru negara-negara dan lembaga-lembaga
donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati
prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan
internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-
negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi obyektif situasi
perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Ditinjau dari sisi
semantik kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance
bermakna tata kepemerintahan yang baik.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, dalam Catatan
tentang Persepsi Masyarakat Mengenai Good Governance di Indonesia,
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dapat diartikan sebagai
suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang
diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh
karena itu, good governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur negara
dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha
swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan
tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut.
Dalam menapaki sejarah hidupnya, Republik Indonesia mengalami dua kali
malapetaka nasional. Sejak sebelum Perang Dunia Kedua, bahkan jauh sebelumnya,
bangsa Indonesia dan para pemimpinnya mencita-citakan dan memimpikan
kemerdekaan sepenuhnya. Tetapi dua kali juga impian itu kandas dan berakhir dengan
pemusatan kekuasaan pada satu tangan (executive heavy), dengan kata lain tidak
terwujudnya proses check and balance dengan segala dampaknya yang telah menyeret
bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman desintegrasi. Realitas
historis ini menggiring kita pada wacana bagaimana meminimalisir peran negara
(limitation of the state’s roles) yang menurut pandangan Satish Chandra Mishra
(2000), adalah persoalan bagaimana melakukan penyesuaian struktural (structural
adjusment) dalam bentuk antara lain deregulasi, restrukturisasi perbankan yang
mengarah pada aspek economic governance dan ketika program penyesuaian
struktural ini tidak berjalan dengan baik, tindakan yang perlu diambil adalah
melakukan reformasi politik yang dalam pelaksanaannya menunjuk pada penerapan
nilai-nilai non ekonomi yakni transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan atau sering juga disebut
governance reform as an instrument of economic recovery in Indonesia.
Selaras dengan pandangan Satish Chandra Mishra, Dadang Solihin (2000)
mengemukakan pendapat Rochman Achwan, seorang sosiolog dari UI yang
menganalogikan good governance sebagai troika yang ditarik oleh tiga ekor kuda :
negara, pasar, dan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara memainkan peran yang
sangat terbatas dalam pengelolaan ekonomi, dengan kata lain peran institusi negara
semakin mengecil. Good governance ini akan tegak jika didukung oleh tiga pilar pasif
yakni bersih, transparan, dan bertanggung–gugat dan beberapa pilar aktif/dinamis
meliputi responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif. Kedua jenis pilar
tersebut, khususnya pilar aktif sangat berkaitan dengan kondisi bebas dari korupsi.
Usaha-usaha anti korupsi adalah bersifat dinamis karena dalam jangka panjang akan
memacu pertumbuhan ekonomi.

You might also like