You are on page 1of 12

SARASEHAN NASIONAL 

ANTROPOLOGI 20101 
“Re‐invensi Antropologi Indonesia di Era Demokrasi 
dan Globalisasi” 
Cisarua, 21‐23 Juli 2010 
  
 
SEMINAR ANTROPOLOGI TERAPAN 
“Antropologi dalam Lintasan Pembangunan 
Indonesia” 
 

 
NEGARA, AGAMA, BUDAYA ATOIN PAH METO DAN 
MULIKULTURALISME 
 
Yanuarius Koli Bau 
 
PUSAT STUDI PERUBAHAN SOSIAL DAN POLITIK LOKAL 
UNIVERSITAS NUSA CENDANA. 2010 

1
Copyright of Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2010. This publication is a copyright and remains the intellectual property of Forum
Kajian Antropologi Indonesia and its writer. No part of it may be reproduced by any means without prior written permission of Forum
Kajian Antropologi Indonesia and the writer

1
2
RUMAH BULAT ATOIN PAH METO

3
I. PENDAHULUAN

1. Peminggiran Kebudayaan
Sejak ratusan atau ribuan tahun silam, ratusan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group)
hidup tersebar dalam kawasan yang disebut Nusantara. Sastra lisan yang hidup dalam
budaya suku bangsa di kawasan timur Indonesia menuturkannya dengan jelas walaupun
tidak ada kepastian mengenai tahun dikarenakan tidak adanya budaya tulis. Dalam rentang
waktu yang amat panjang sejarah kehidupannya, setiap kelompok etnik menyikapi berbagai
tantangan dari lingkungannya, baik lingkungan alam maupun pengaruh budaya luar.
Tantangan dan pengaruh lingkungan tadi serta bagaimana mereka beradaptasi tidak selalu
sama bagi setiap kelompok. Ada yang memilih menghuni daerah perbukitan untuk
menghindari serangan lawan, ada yang membangun rumah panggung, membangun aliansi
sosial tradisional dengan kelompok etnik lain dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan
terlahirnya kelompok-kelompok yang multikultur, misalnya Aceh, Atoin Pah Meto, Biak,
Bunak, Dompu, Enggano, Jawa, Kajang, Kenyah, Leti, Madura, Muna, Osing, Sumba, Sunda,
Tetun, Toraja, Wemale, Yapen, dan ratusan kelompok lainnya. Kita akan dapat mengamati
atau mempelajari bagaimana wujud variasi budaya dari kelompok-kelompok etnik tersebut.
Kehadiran Portugis dan Belanda di pulau Timor telah membawa perubahan besar bagi suku
bangsa yang mendiami pulau ini termasuk Atoin Pah Meto. Para misionaris yang datang
bersama persekutuan dagang VOC telah salah memahami kebudayaan lokal, menafsirkannya
sebagai penyembahan berhala. Atas nama perintah Tuhan mereka memusnahkan banyak
simbol-simbol kebudayaan lokal seperti patung, tugu, ukiran, dan melarang sejumlah ritual
yang telah diwariskan turun temurun. Bila dikaji lebih jauh, sesungguhnya simbol-simbol itu
sangat bermanfaat untuk memelihara etika dan moral, menjaga relasi sosial dan menjaga
keseimbangan alam. Namun karena kesalahan memaknainya menyebabkan Portugis dan
Belanda memusnahkan semua itu.
Ketika kemerdekaan (1945) ratusan kelompok etnik, termasuk suku bangsa Atoin Pah Meto
“sepakat” menyatu menjadi sebuah negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Raja
Koroh dari Amarasi (Atoin PahMeto) misalnya, membuat pernyataan bahwa Dia bersama
pengikutnya bergabung dengan suku bangsa lain dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Belakangan beberapa ilmuan menyebut kelompok-kelompok etnik itu
sebagai “nasion atau suku bangsa lama”. Mereka sepakat bersatu dalam kemajemukan, dan
kesepakatan tersebut dituangkan dalam konstitusi negara bangsa itu. Dalam konstitusi itu
dinyatakan dengan jelas, bahwa puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh Indonesia
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa, yang bersifat istimewa yang harus dihormati
oleh negara. Sementara itu ada pula yang mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia adalah
hasil cipta,rasa dan karsa atau buah budi rakyat Indonesia sepanjang masa dan kebudayaan
asing yang dapat mempertinggi harkat kemanusiaan bangsa Indonesia, misalnya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kebudayaan daerah yang dimaksud dalam konstitusi itu adalah kebudayaan suku bangsa
atau “nasion lama” yang dimiliki dan dilestarikan oleh setiap kelompok etnik. Sementara itu
yang dimaksud dengan “puncak-puncak kebudayaan” adalah sistem nilai atau sistem budaya
yang yang dipandang terbaik atau menjadi kebanggaan yang ada dalam kebudayaan daerah
itu. Pesan yang tersurat dan tersirat dalam konstitusi tadi menurut para ahli merupakan
ideologi multikulturalisme, yang menekankan pada semangat saling mengakui, saling
memahami, dan saling menghargai perbedaan dalam keanekaragaman kebudayaan.
Keseluruhan unsur-unsur yang menunjang “kebudayaan bangsa” atau kebudayaan nasional
Indonesia itu sedang dalam proses mewujud, akan tetapi juga sedang terjadi perubahan-

4
perubahan. Perubahan itu juga sedang melanda kebudayaan suku bangsa-suku bangsa, yang
di antaranya terjadi dengan amat cepat dan amat mendasar, artinya perubahan yang
menyentuh sistem nilainya.
Dengan demikian dapat dikatakan kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia
merupakan konfigurasi antara unsur-unsur kebudayaan etnik, kebudayaan Indonesia yang
baru, dan kebudayaan asing yang mempertinggi harkat kemanusiaan bangsa Indonesia yang
diamanatkan dalam konstitusi.
Selanjutnya pertalian antara Negara-Agama dan Kebudayaan menjadi rumit dan berakhir
dengan “kekalahan” kebudayaan. Tali temali antara pelaku politik yang sekaligus menjadi
birokrat dan pemimpin agama sangat menarik, di satu sisi pelaku politik dan birokrat
membutuhkan dukungan massa sehingga mereka mendekati pemimpin negara, di sisi lain
para pemimpin agama juga tertarik memasuki wilayah politik dengan dukngan massanya
(kecuali pada pemimpin agama katolik, karena ada larangan yang tegas). Dalam kerumitan
hubungan seperti inilah kebudayaan yang ditafsirkan sebagai berhala dan dianggap
bertentangan dengan norma agama ditentang pula oleh birokrat dan politisi demi
menyenangkan pemimpin agama agar memperoleh dukungan politik. Praktek peminggiran
kebudayaan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh VOC dan pemimpin
agama pada zaman sebelum kemerdekaan.
Pada kenyataannya, setelah kemerdekasasn telah terjadi pengingkaran-pengingkaran atas
prinsip multikulturalisme, bahkan ada usaha terencana lewat kebijakan “penyeragaman”
kebudayaan etnik dengan dalih “persatuan dan kesatuan”, misalnya dengan UU No. 5/1979,
yang “menyeragamkan” pemerintahan desa di seluruh Indonesia.
Belakangan Indonesia dilanda krisis dahsyat, krisis multi dimensi, yang
memporakporandakan seluruh aspek kehidupan bangsa. Krisis ini diasumsikan berakar dari
krisis kebudayaan, krisis mental, yang menyebabkan prilaku sosial menyimpang, karena
tidak lagi berpedoman pada satu acuan dasar yang benar. Acuan dasar itu adalah “norma,
aturan, hukum, dan nilai-nilai” dalam konfigurasi “sistem budaya” yang menjadi jiwa bagi
kehidupan. Krisis semacam ini tentunya tidak terjadi secara mendadak, tetapi sudah melalui
proses yang panjang, terjadi perlahan hingga sampai ke puncaknya.
Kini perubahan kebudayaan yang mendasar sudah terjadi pula pada berbagai etnik. Prinsip
multi kulturalisme tak berjalan sebagai mana yang tersirat dalam pesan konstitusi, bahkan
sebaliknya justru ada pengingkaran terencana. Dampaknya adalah bangsa Indonesia malah
mengalami kerusakan nilai-nilai luhur kesatuan dan persatuan di tingkat lokal (kapital sosial)
sehingga menuai “konflik antar etnik” yang akhir-akhir ini sempat meluas dan menajam.
Keutuhan negara - bangsa yang besar ini pun terancam dan cenderung mengarah kepada
keadaan disintegrasi.
Kemudian orang mulai menyadari kembali, bahwa kemajemukan itu sesungguhnya justru
merupakan perekat persatuan dan kesatuan sesuai harapan semula. Berhasil atau gagalnya
meraih harapan itu sangat tergantung kepada kemampuan memahami, menerima dan
menghormati hakekat kemajemukan itu, yaitu keragaman “sistem budaya” (cultural system)
yang dimiliki Bangsa Indonesia secara keseluruhan menuju satu model pembangunan bangsa
yang bersifat multukultur.
Untuk membangun bangsa Indonesia dengan prinsip multikulturalisme, setiap dan semua
suku bangsa di nusantara harus saling mengenal, saling menerima dan saling menghormati.
Kondisi ini baru akan terjadi apabila setiap suku bangsa, termasuk Atoin Pah Meto mengenal
dirinya dengan baik dan dapat mengkomunikasikan dirinya kepada suku bangsa suku
bangsa yang lain.
Dalam kenyataannya upaya ini sulit dilakukan sebab tidak setiap suku bangsa mengenal
budaya dengan baik karena sebagian sistem nilai dan kelembagaan sosial budayanya telah

5
lumpuh atau bahkan sudah tidak dikenal lagi, atau bahkan warga sukubangsanya sendiri
tidak bangga dengan kebudayaannya-memandang rendah budayanya sendiri dihadapan
budaya lain. Dihadapkan pada kondisi demikian setiap suku bangsa, termasuk suku bangsa
Atoin Pah Meto perlu segera melakukan penemukembalian, pendokumentasian dan
pembelajaran kembali nilai budaya yang telah hilang atau setidak-tidaknya sudah
melemah atau memudar.

II. ATOIN PAH METO ATAU ATOIN METO DI TIMOR

1. Nama Timor
Dalam tutur kata sehari-hari, Atoin Pah Meto juga menamakan dirinya Orang Timor, walaupun
ada banyak kelompok etnik lain yang juga mendiami pulau Timor dalam kurun waktu yang
cukup lama. Penamaan diri sebagai Orang Timor ini dilatarbelakangi oleh berbagai alasan,
sejumlah tokoh masyarakat Atoin Pah Meto yang diwawancarai memberikan argumentsi yang
berbeda-beda. Ada di antara mereka mengatakan bahwa mereka menamakan diri sebagai Orang
Timor karena merekalah penghuni pulau Timor yang sebenarnya sebelum kelompok etnik lain
berdatangan ke pulau ini; sementara itu ada juga yang mengatakan bahwa mereka menamakan
diri sebagai Orang Timor sebab etnik mereka mendiami bagian terbesar pulau Timor. Apapun
argumentasi yang dipergunakan, tampaknya keterikatan geografis menjadi alasan mengapa
mereka menamakan diri sebagai Orang Timor.
Mengenai nama ‘Timor” sendiri terdapat berbagai versi. Dari data lapangan diketahui
setidaknya ada dua versi. Versi pertama merujuk pada apa yang ditulis oleh Chau Yu Kua,
seorang petualang China yang menulis dalam buku “Chu Fan Shih” pada tahun 1225 dengan
menyebutnya “Kih-ri Tinwu” yang terletak di sebelah timur Tiong Kalo (lihat Groneveldt, 1969).
Dari sejumlah sumber diketahui bahwa besar kemungkinan Chau Yu Kua mengetahui tentang
Timor melalui kontak dagang dengan Kerajaan Kadiri sebab Timor diperkiarakan sudah
melakukan hubungan dagang juga dengan Kerajaan Kadiri melalui pelabuhannya yang terdapat
di bagian timur Brantas. Penelusuran mengenai ceritera ini dapat dilihat dari nama-nama yang
dipergunakan, antara lain Kih-ri yang berasal dari kata Sanskerta yang berarti giri atau gunung.
Karena itu ketika para pedagang menunjuk arah Kih-ri Tinwu, Tiong Kalo artinya gunung di
sebelah Bandar Ujung Galuh (Brantas), dan besar kemungkinan adalah gunung di Timor (bisa
juga di Bali dan NTB?).
Dalam tulisan-tulisan pelayaran para pelaut Portugis pun ditulis bahwa pulau Timor sudah
berpenghuni dan memiliki penguasa dengan para pembantu-pembantunya yang perempuan
dan diiringi oleh para budak ( sesuai arsip SVD yang mengutip Pigafetta dan Albo). Manehat
(1986) dan beberapa penulis lain juga mengutip hal yang sama (lihat Pareira, 1986).
Ceritera lain berasal dari buku Nagara Kertagama puput XI yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada tahun 1365. Dalam buku tersebut disebutkan deretan nama-nama Negara bawahan
Kerajaan Majapahit yakni: Bali, Gurun, Taliwang, Pulau Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima,
Hutan Kadali, Pulau Gurun, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Bunggawai, Kunir,
Galiao (Galia), Salayar, Sumba, Solor, Munar, Wandan, Ambon, Wanin, Seran, Timor dan
beberapa pulau lainnya (cf Mulyana, 1976).
Hubungan dengan dunia luar dan penamaan diri sebagai Orang Timor tampaknya cukup
beralasan, sebab dari berbagi sumber yang ada diketahui bahwa pulau ini dan penghuninya
sudah dikenal di dunia perdagangan dalam kurun waktu cukup lama. Dari India misalnya,
dikatakan bahwa cendana yang ditanam di daerah Mysore berasal dari Timor dan didatangkan
ke sana sekitar 20 abad silam (Hussain, 1983). Sedangkan Wolters (1967), setelah melakukan

6
penelitian sejarah mendalam menyimpulkan bahwa Timor dan cendananya sudah dikenal
sekitar abad ke 3 Masehi (lihat Pareira, 1986).
Sementara itu tutur adat dalam masyarakat Atoin Meto sendiri sangat menarik. Mereka
menamakan tanah kelahiran (Timor) dengan sebutan “aina a’aifa-afafat” yang berarti Ibu yang
memangku, menggendong dan menyusui semua makhluk. Dalam ceritera Atoin Pah Meto
sendiri dikisahkan bahwa leluhur mereka datang dari arah mata hari terbit (neonsaet, mansensai),
jumlahnya 6 (enam) orang. Setiba di Insana mereka sepakat untuk memberi nama tempat yang
mereka huni, akan tetapi sulit mencapai kata sepakat. Karena pemberian nama itu begitu sulit
maka mereka memakai nama awal satu-satunya saudari mereka sebagai nama pula ini. Nama
saudari itu adalah Timo Liu Taek, dan karenanya mereka menyebut pulau ini Timo, dan
kemudian dieja Timor. Tampaknya ceritera versi kedua ini dapat dimaklumi dari sisi
keterikatan emosi sehingga Atoin Pah Meto menamakan diri sebagai Orang Timor, mengenang
Timo Liu Taek, leluhur mereka.
Dalam tutur adat terutama di daerah Belu, Atoin Pah Meto juga dinamakan Orang Dawan.
Konon nama Dawan diberikan kepada kelompok etnik ini sebab mereka merupakan keturunan
anak kedua Raja Maromak Oan yang bernama Na’i Dawan, di Belu Bagian Selatan, yakni
Maubesi yang berkelana ke arah barat. Dalam pengembaraannya Nai Dawan sampai di Mutis-
Babnai, Paeneno-Oenam. Nama ini lebih dikenal di wilayah Belu dan jarang dipakai dalam tutur
adat resmi di wilayah barat.

2. Bahasa dan Budaya


Atoin Pah Meto berbahasa Timor atau Bahasa Dawan. Hampir dapat dipastikan tidak ada orang
dari kelompok etnik ini yang mengatakan bahwa mereka berbahasa Atoin Pah Meto, tetapi
mereka selalu mengatakan berbahasa Timor, atau terkadang mengatakan berbahasa Dawan.
Jumlah penutur bahasa ini diperkirakan tidak sebanyak jumlah orang yang mengaku Atoin Pah
Meto sebab banyak di antara mereka sudah tidak lagi menggunakan bahasanya melainkan
berbahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Bahkan, anggota keluarga dari lebih dari sepuluh
keluarga Atoin Pah Meto di Kupang sudah tidak menggunakan bahasa asli mereka, terlebih
mereka yang tidak kembali ke kampung dalam jangka waktu panjang dan atau yang menikah
dengan orang dari kelompok etnik lain.
Bahasa Timor atau Bahasa Dawan secara umum dapat dibedakan dari pemakaian konsonan “l”
dan “r”. Di beberapa wilayah Atoin Pah Meto mereka selalu menggantikan konsonan “l”
dengan “r” sehingga tidak ada kosa kata yang memakai konsonan “l”. Sebaliknya di wilayah
tertentu tidak dikenal konsonan “l”, semua yang “l” diganti “r”. Sebagai contoh Atoin Meto
yang ada di sekitar Manlea (Belu) sampai Loeram, Insana (TTU) menyebut “kaisar” dengan
sebutan “kaisel”, Amarasi dengan sebutan “amalasi”.
Meskipun Atoin Pah Meto merupakan satu rumpun etnik, tampak ada perbedaan tertentu
dalam bahasa mereka. Penamaan ritual, benda budaya, motif kain tenun dan sebagainya
memperlihatkan perbedaan itu. Perbedaan terjadi di antara mereka yang mendiami wilayah
swapraja Amanatun, Amanuban dan Molo, dan di dalam setiap wilayah swapraja masih
terdapat perbedaan dialek antara sub-swapraja misalnya: Amanatun Utara-Amanatun Selatan,
Amanuban Barat-Amanubat Selatan, Molo Utara-Molo Selatan. Secara umum ada beberapa
ritual yang sama setidaknya di wilayah kabupaten Timor Tengah Selatan eperti: natoni yakni
ritual penyambutan dan pelepasan tamu, okomama yakni ritual makan sirih-pinang bersama
tamu, naketi yakni ritual permohonan maaf ketika orang bersalah. Demikian pula alat musik
yang dipergunakan pada umumnya sama, yaitu gendhang kecil dan besar, tambur, suling, feku,
dan gong. Sejumlah tarian yang masih hidup antara lain mumso bano, maekat, bonet,
telsain,makakosu, okomama, heobijol, dan likurai.

7
Proses penemukembalian kebudayaa Atoin Pah Atoin Pah Meto pada umumnya dan kearifan
lokal sungguh tidak udah. Meskipun berbagai kalangan telah berusaha, antara lain pemerintah
daerah, pemuka agama dan tokoh masyarakat bersama sejumlah organisasi non pemerintah,
hasil yang dicapai masih jauh dari harapan.
Beberapa kendala yang dialami antara lain tidak adanya referensi tertulis yang memadai untuk
menemukembali kebudayaan secara utuh yang dimiliki oleh Atoin Pah Atoin Pah Meto pada
masa lalu; satu-satunya sumber informasi adalah para tokoh masyarakat dan media terutama
adalah tutur adat/lisan.
Inventarisasi, pendokumentasian, penyusunan keseluruhan materi pembelajaran kembali
menurut kelompok kategorial tampaknya sangat dibutuhkan agar di satu sisi masyarakat Atoin
Pah Atoin Pah Meto tidak kehilangan akar budayanya sebagai bagian dari kebudayaan nasional
Indonesia, di sisi lain agar pengelolaan sumberdaya baik sumberdaya manusia dan sumberdaya
alam dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

3. Religi
Atoin Pah Meto adalah manusia yang hidupnya kental dengan kepercayaan religi. Menurut
beberapa orang narasumber, jauh sebelum kedatangan agama nasrani Atoin Pah Meto sudah
mengenal kekuatan supernatural. Sebutan untuk kekuatan supernatural ini bermacam-macam,
tetapi yang paling umum dikenal adalah “uis”, yakni uis neno dan uis pah.
Atoin Pah Meto percaya bahwa hidup manusia bukanlah hal yang kebetulan, melainkan sudah
dirancang oleh yang kuasa. Rancangan itu tidak dapat dibatalkan siapapun, dan setiap orang
wajib membantu terwujudnya rancangan itu dengan berbagai cara yang baik. Apabila individu
atau komunitas bertindak diluar yang dirancang yang kuasa, lancang atau melawan yang kuasa
maka mereka akan mendapat teguran, amarah, atau kutukan yang disampaikan melalui alam.
Kemarahan dapat berupa wabah penyakit tanaman, ternak atau penyakit manusia, longsor,
banjir, kemarau panjang dan kekeringan sumber mata air atau angin puyuh. Dalam kondisi
demikian Atoin Pah Meto memerlukan jasa seseorang yang dianggap dapat berkomunikasi
dengan yang maha kuasa untuk mohon pengampunan dengan ritual tertentu (naketi). Proses
permintaan maaf (pengampunan) dilakukan di rumah bulat, atau di puncak gunung, batu besar,
pohon besar atau sumber air. Dalam ritual itu biasnya perantara menyampaikan pengakuan
bersalah dari Atoin Meto dan janji untuk tidak mengulangi lagi kesalahan di kemudian hari,
sekaligus menyampaikan permintaan, tebusan atau hukuman dari kekuatan supernatural yang
member hukuman. Penyembelihan hewan besar seperti Babi, Sapi, Kerbau atau unggas seperi
ayam merupakan sebagian dari bentuk hukuman yang umum di kalangan Atoin Pah Meto.
Kehadiran agama Krtisten (Katolik dan Protestan) yang dibawa oleh Portugis dan Berlanda
secara sepihak melakukan tafsir yang keliru atas semua itu dan melarangnya, mengancurkan
simbol-simbol yang dipakai dan dengan demikian merusak tatanan social dan relasi social serta
relasi dengan alam lingkungan sampai sekarang.

4. Habitat, Kosmologi dan Matapencaharian


Atoin Pah Meto sesuai namanya, adalah penggarap lahan kering. Meskipun kehadiran
kelompok-kelompok etnik di daratan Timor dapat diduga berkaitan dengan adanya sungai-
sungai besar sebagai jalur berlayar untuk sampai ke pedalaman, tetapi tutur adat mereka selalu
mengaitkan kehadirannya dengan lahan kering, batu dan gunung.
Masyarakat Atoin Pah Meto merupakan kelompok etnis yang mendiami wilayah bagian barat
pulau Timor. Mereka menyebar di semua Kabupaten/Kota yang ada di Timor Barat, yakni
Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang dan Kota Kupang.
Meskipun jumlah anggota kelompok etnis ini tidak diketahui pasti, akan tetapi dari data
kependudukan yang ada diduga jumlah mereka dapat mencapai 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.

8
Atoin Pah Meto atau Atoin Meto berarti “lelaki dari dataran tinggi” atau “lelaki dari tanah
kering”. Pengertian ini tidak menggambarkan keseluruhan Atoin Pah Meto sebab sebagian kecil
dari mereka mendiami wilayah pesisir terutama di Kabupaten Timor Tengah Utara bagian Utara
dan Timor Tengah Selatan bagian selatan, meskipun sebagai besar mereka mendiami wilayah
lahan kering karena menempati wilayah pegunungan. Tempat tinggal yang terletak di daerah
pegunungan dan kering ini dengan sendirinya berkaitan dengan matapencaharian dan adat
istiadat yang tumbuh dan dipelihara oleh Atoin Pah Meto.
Catatan sejarah dan tutur adat yang ada mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa
Portugis dan Belanda, Atoin Pah Meto hidup dan mengelola dataran tinggi (pegunungan) pulau
Timor bagian barat. Mereka hidup mengelompok menurut ikatan genealogis dan menata
kehidupan mereka menurut aturan yang disepakati bersama. Alam sekitar digambarkan dalam
tutur adat sebagai harta titipan dari kekuatan supernatural yang harmonis, subur dan dapat
memenuhi semua kebutuhan makluk hidup.
Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda telah mengubah semuanya; penguasaan sumberdaya
alam telah beralih dari kelompok masyarakat lokal ke tangan kedua pendatang baru itu,
setidaknya menyangkut penguasaan kayu cendana, madu, lilin, dan asam. Seiring dengan itu
para penjajah juga membuat peraturan pengelolaan dan perdagangan komoditi tersebut
bersama komoditi lain. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat menyolok sebagaimana
dikatakan Ormeling (1954), yakni berkembangnya populasi Sapi Bali (banteng bilbos atau
bosanicus sundaicus) sebagai pemberian upeti oleh penjajah Belanda kepada penguasan lokal di
daratan Timor sebagai siasat untuk menaklukkan mereka. Selanjutnya pemberlakuan berbagai
peraturan Negara mengenai tatakelola pemerintahan dan pengurusan tanah, air dan hutan
setelah kemerdekaan juga telah membawa akibat bagi terjadinya perubahan sosial, ekonomi
danbudaya Atoin Pah Meto. Selanjutnya habitat, kosmologi dan matapencaharian hidup Atoin
Pah Meto dapat dilihat sebagai berikut:

a. Habitat Atoin Pah Meto


Permukiman Atoin Pah Meto seperti nama yang disandangnya selalu bermukim di wilayah
lahan kering di pedalaman kecuali beberapa tempat di pesisir utara dan selatan pulau Timor
seperti diutarakan di atas. Dalam memilih tempat bermukim, Atoin Pah Meto selalu mengaitkan
kehidupannya dengan gunung, air dan batu. Pemilihan tempat permukiman demikian sedikit
banyak dipengaruhi oleh pandangannya tentang diri, alam dan kekuatan supernatural yang
diyakini menghuni tempat tinggi, mata air dan batu besar.
Pemilihan permukiman Atoin Pah Meto selalu disertai petimbangan untuk melakukan ritus
tradisional yang pada umumnya dilakukan di seputar sumber air, gunung, batu besar atau
pohon besar. Mereka juga mempertimbangan peluang untuk berladang dan beternak hewan
besar dan unggas.

1. Matapencaharian
Matapencaharian Atoin Pah Meto seperti nama yang disandangnya, selalu berkaitan dengan
halan kering atau tempat tinggi (gunung). Banyak aspek kehidupan Atoin Pah Meto yang
berkaitan dengan penggunaan sumberdaya alam di pegunungan dan lahan kering seperti:
berladang, beternak, pengambilan kayu api, berburu dan sebagainya. Dari pengalaman
hidupnya bertahun-tahun rupanya Atoin Pah Meto menyadari bahwa mereka sangat
tergantung dari sumberdaya alam sehingga perlu menjaga kelestarian alam, baik pohon/hutan,
air, maupun tanah. Untuk menjaga penggunaan dan kelestarian sumberdaya alam ini mereka
“membangun budaya”, menciptakan berbagai pranata dan aturan main yang kemudian
menjadi kearifan lokal.

9
Dalam berbagai tulisan yang ada (Midlekoop, 1956; Ormeling, 1954) disebutkan bahwa Atoin
Pah Meto hidup dari kegiatan bertani sambil beternak. Matapencaharian ini masih menjadi
andalan sebagian besar warga Atoin Pah Meto sampai sekarang, walaupun masuknya
teknologi informasi dan kapital dari perkotaan juga telah mempengaruhi dan mengubah
matapencaharian sebagian dari mereka baik yang mendiami perdesaan maupun perkotaan.

b. Kosmologi Atoin Pah Meto mengenai lingkungan


Atoin Pah Meto melihat kehidupan sebagai satu “pengembaraan sementara” yang akan berakhir
dengan satu kehidupan lain setelah kematian. Kehidupan lain setelah kematian ini ditentukan
oleh perbuatan sewaktu hidup di dunia baik dalam hal hubungan dengan sesama maupun
hubungan dengan alam. Sementara itu alam dipandang sebagai milik “yang kuasa” yang
dinamakan uis neno, dan oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Penghormatan kepada uis
neno ini dilakukan dengan berbagai cara, antara lain ritual rutin dan insidentil ketika Atoin Pah
Meto mengalami situasi tertentu, pemeliharaan ciptaan uis neno melalui larangan dan kewajiban.
Pada umumnya ritual rutin dilakukan pada saat tertentu seperti tebas hutan, menjelang musin
tanam, sebelum panen dan setelah panen, pembangunan rumah adat, sementara ritual insidentil
dilakukan menurut kebutuhan warga masyarakat seperti saat sakit, sembuh dari sakit, ketika
akan berperang, bahkan ketika bermimpi buruk. Larangan-larangan sebagai bentuk
penghormatan kepada uis neno antara lain larangan merusak hutan baik dengan cara menebang
pohon maupun membakar hutan, mencemari sumber air, serta berburu satwa liar di luar
kesepakatan bersama. Larangan, kewajiban dan hukuman tersebut dapat disimak dari uraian
berikut.

c. Nilai, Norma dan Sanksi


Atoin Pah Atoin Pah Meto seperti dikatakan di atas selalu bermukim di seputar gunung, batu
dan pohon besar (tubuhan). Dalam pemahaman kosmologisnya, gunung, batu dan pohon
dianalogikan sebagai tulang, air sebagai darah, tanah sebagai daging yang harus dijaga oleh
setiap orang. Larangan menyangkut air, hutan, dan satwa menjadi bagian hidup yang sangat
penting.
Sebagai wujud penghargan mereka terhadap gunung, batu, pohon, air, dan tanah (lingkungan)
masyarakat tradisional Atoin Pah Meto membuat kesepakatan hidup antara lain tentang siklus
pemanfaatan sumberdaya alam, aturan menanam, larangan memungut/memanen hasil hutan
dan kebun, disertai sanksi-sanksinya yang disebut vanu, banu dan talas. Pada awal musim tanam
mereka bersepakat untuk menanam jenis-jenis tanaman baik untuk keperluan konsumsi seperti:
padi, jagung, kacang, ubi, pisang, maupun tanaman perdagangan seperti: jeruk, apel, advokat,
kelapa, pinang, bawang, dan sebagainya. Tanaman-tanaman tersebut tidak boleh dipanen dalam
kurun waktu masih dilarang (vanu, banu), dan hanya boleh dipanen pada waktu tertentu ketika
buahnya sudah benar-benar matang, pengambilan sebelum waktu yang disepakati akan
dikenakan sanksi (talas). Pertimbangan panen dan tatacara panen selalu didasarkan pada
kematangan, dan keseimbangan atau kelestarian alam. Buah kelapa misalnya hanya boleh
dipetik bila sebagian rangkaian buahnya sudah kering dan ketika memetik tidak boleh
mematahkan/mengambil pucuknya, atau merusak pelepah yang masih hijau; tidak boleh
menebang pohon di hulu sungai/mata air dan sekitarnya, juga tidak boleh mencederai anakan
pohon yang ditebang, tidak boleh menebang pohon yang sedang berbunga atau yang buahnya
belum matang. Memanen hasil tanaman kebun pun diatur sedemikian rupa sehingga hanya
tanaman yang sudah tua saja yang dipanen. Atoin Pah Meto juga mempunyai larangan
menangkap hewan air seperti udang, ikan dan belut sebelum waktunya, dan penangkapan
hanya dilakukan sekali setahun, hewan air yang sedang bertelur, beranak atau yag masih
muda tidak boleh ditangkap.

10
Pelanggaran terhadap semua kesepakatan mengenai larangan akan dikenakan sanksi-sanksi
tertentu yang biasanya disepakati bersama sebelumnya. Beberapa di antara sanksi-sanksi yang
pernah diberlakukan antara lain: mereka yang menebang pohon di hulu/seputar mata air akan
dikenakan sanksi berupa menanam kembali sebanyak 5-10 kali jumlah yang ditebang disertai
denda adat berupa uang, kain tradisional serta biaya pertemuan antara lain menyembelih sapi,
babi, kambing, beras dan sopi (minuman keras lokal). Banyaknya sanksi tergantung jenis
pelanggaran dan sesuai kesepakatan bersama sebelumnya.

d. Perubahan Sosial
Kehadiran penjajah Belanda dan pembentukan Swapraja oleh di daratan Timor Barat pada
umumnya dan wilayah permukiman Atoin Pah Meto pada khususnya telah membawa
perubahan besar. Perubahan yang paling menonjol antara lain seperti yang dikatakan oleh
Ormeling, yakni merusaknya alam sekitar dikarenkan oleh tidak terkendalinya
perkembangbiakan Sapi Bali (bosanicus sundaicus atau banteng bilbos) yang diberikan oleh
pemerintah penjajah Belanda sebagai upeti/hadiah kepada para penguasa lokal.
Perubahan besar lain adalah adanya intervensi pemerintah Belanda dalam pengelolaan dan
penguasaan sumberdaya alam, seperti kayu cendana dan tanaman perdagangan. Sebagaimana
dituturkan oleh sejumlah, kehadiran Belanda telah merubah semua tradisi dan kesepakatan
mengenai aturan penanaman dan panen yang sudah diwariskan oleh leluhur Atoin Pah Meto,
bahkan pemerintah Belanda menciptakan larang dan sanksi baru menurut kepetingannya
sendiri di luar tradisi yang berlaku. Undang-Undang dan berbagai Peraturan Pemerintah
mengenai tatakelola pemerintahan dan sumberdaya alam semakin memudarkan tradisi Atoin
Pah Meto termasuk tradisi untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya sendiri
menurut tradisi mereka.

5. Ilmu Pengetahuan dan teknologi


Atoin Pah Meto memkili pengetahuan tradisonal yang memdai untuk hidup di lingkungannya
yang sebagian bersarnya kering. Pengetahuan perbintangan mengenai datangnya musim hujan,
kemarau, atau hama tanaman dan ternak diwariskan secara turun temurun. Dengan perubahan
iklim global yang terjadi akhir-akhir ini system pengetahuan tradisional Atoin Pah Meto
mendapat tantangan serius. Kebiasaan mempelajari pengetahuan dan keterampilan menenun
misalnya dihadapkan pada industri tekstil dengan motif yang sangat bervariasi, warna yang
lebih menarik dan diproduksi secara massal sehingga menekan harga jual; pengetahuan dan
teknologi kesenian yang terbatas pada gendang, tambur, gong, suling dan “feku’
diperhadapkan dengan guitar, biola, piano dan lainnya yang lebih menjanjikan.
Akhirnya, Atoin Pah Meto juga ditantang untuk menghadapi perubahan iklim yang sangat
dashyat dan tidak menentu yang sudah dengan sendirinya membawa perubahan besar di
semua sektor kehidupan dan tidak teratasi oleh sistem pengetahuan dan teknologi tradisional
yang mereka miliki.
III. PENUTUP
Tulisan ini disudahi dengan sebuah kesulitan yang perlu mendapat jawaban peserta seminar,
yakni bagaimana ilmuan sosial pada umumnya dan Antropolog pada khususnya memaknai
apa yang dimiliki oleh Atoin Pah Meto dan suku bangsa lainnya di hadapan Negara dan
Agama sehingga tidak terjadi salah tafsir yang berakhir peminggiran kebudayaan kalau tidak
dapat dikatakan assesinasi budaya? Bagaimana membangun tali temali antara pemangku
adat/budaya, pemerintah/politisi dan pemimpin agama agar kebudayaan mendapat ruang
yang adil dan menjadi salah satu unsure ketahanan nasional, bukannya ditempatkansebagai
sesuatu yang melemahkan kehidupan Negara dan agama? Adakah konstruksi organ
pemerintah/politik, misalnya Kementerian Agama mampu melihat praktek hidup dan kearifan

11
masyarakat sebagai kekayaan budaya dan bukan berhala yang bertentangan dengan
kaidah/norma agama,bagaimana caranya?
Selamat berseminar, selamat berkongres, dirgahayu AAI.

DAFTAR PUSATAKA

Benda-Beckman Keebet von and Franz von Benda-Beckam, Law in Society: from blindman’s
buff to multilocal law, dalam K von Benda-Beckman (eds), Living Law in the Law Countries.
Themanummer Recht der Werkelijkheid 1991/1, Den Haag: vuga 1991.
Koli Bau, Y. Ethnography Atoin Pah Meto (manuskrip), 2008
Middelkoop, P. Atoni Pah Atoin Pah Meto: Pertemuan Injil dan Kebudayaan di Kalangan
Suku Timor Asli. BPK Gunung Mulia, 1982.
Nordholt, Schulte, H.G. The Political System of the Atoni of Timor. The Hague, Martinus
Nijhoff, 1955.
Ormeling, F.J. The Timor Problem: A Geographical Interpretation of an Underdeveloped
Island. Martinus Nijjhoff, 1954.
Stehlik, Daniela, Sustainability, Livelihoods and Economic Growth. Department of
Environmental Biology, Housing and Urban Research, WA, 2006.
Timo, Eben Nuban, Bentuk Pemerintahan Asli di Timor Tengah Selatan. UPTD Arkeologi dan
Kajian Nilai Sosial Budaya Dinas Pendidikan Prov. NTT, 2007.

DOKUMEN

Bapedalda NTT: Laporan Akhir Kegiatan Bersama AusAid, 2003.


Pemerintah Kabupaten TTS: Dokumen Dinas Pertanian Kabupaten TTS, 2000-2008.
Pemerintah Daerah Kabupaten TTS: Laporan Tanggapan Terhadap Pemberitaan
Penambangan Marmer Fatu Liik Nifu Op Desa Kuanoel Kecamatan Fatumnasi, 2006.
UPTD Arkeologi dan Nilai Budaya Dinas Pendidikan Provinsi NTT: Dokumen Pegiatan
Pengkajian 2000-2008.

12

You might also like