You are on page 1of 140

martana

xmerto

:: 1 ::
Martana
© 2005

Cetakan kedua, Desember 2005

Diterbitkan pertama kali oleh Xmerto


atas dukungan anggota milis
merto8185@yahoogroups.com,
mertoyudan@yahoogroups.com,
merto21@yahoogroups.com,
adik-adik Romo Martana, kerabat, relasi,
dan dengan bantuan Penerbit Kanisius

xmerto
dwikoratno@yahoo.com
juankanisius@yahoo.co.id

EDITOR
Dwi Koratno
Juan St. Sumampouw

DESAIN
seratuspersenmedia@yahoo.com.au

Hak cipta dilindungi undang-undang


Artikel dalam buku ini adalah milik penulis masing-masing.
Buku ini boleh diperbanyak untuk kepentingan nonkomersial dengan
izin tertulis atau lisan dari Xmerto.

:: 2 ::
Pengantar Editor

SIAPAKAH GERANGAN MARTANA? Sebagian orang Katolik mungkin


mengingatnya sebagai pengarang lagu antarbacaan, Kurenungkan
Sabda-Mu Tuhan, sebagian lagi juga mungkin mengingatnya karena
tercantum dalam buku liturgi Puji Syukur. Tetapi, lebih dari itu,
namanya tidak pernah muncul di majalah, koran, apalagi televisi.
Ia tidak pernah bikin heboh. Ia bukan penulis ataupun sastrawan.
Ia belum pernah membangun gereja megah. Ia bukan seorang
pengkhotbah yang masyhur diundang dari kota ke kota. Ia bukan
seorang selebritis (selebritas, kata sebagian kalangan). He’s no news.
Romo Martana—lengkapnya Fransiscus Assisi Martana
Constantinus Maria atau biasa disingkat F.A. Martana C.M.—
adalah seorang imam projo Keuskupan Agung Semarang. Ia lahir
pada tahun 1955 dan ditahbiskan sebagai imam tahun 1982, kemu-
dian bertugas berturut-turut di Seminari Menengah Mertoyudan,
paroki di Klaten, paroki di Boro, paroki di Ungaran, paroki di
Papua, dan terakhir paroki di pedalaman Kalimantan. Sebuah
curriculum vitae yang biasa-biasa saja. Namun mengenalinya secara
pribadi adalah pengalaman yang jauh dari biasa-biasa saja.
Mari kita bayangkan sosok seorang guru SMA. Dia setiap
sore datang ke WC murid, lalu membersihkannya dengan

:: 3 ::
peralatan ember air, gayung, dan sikat ijuk tanpa tangkai. O ya,
kadang dia melakukannya sambil bersiul-siul pula. Dia membuka
lebar-lebar pintu dan semua jendela kamarnya dan membiarkan-
nya begitu sepanjang hari. Dia tidur beralaskan papan dan tikar
pandan, padahal para guru, kalau mau, bisa tidur di atas kasur
yang empuk. Dia berkata kepada para murid, “Kalau kalian
bersalah, lalu menyesal, saya akan memaafkan kalian. Kalau
esoknya kalian bersalah lagi, lalu menyesal, saya akan memaafkan
kalian. Kalau esoknya lagi kalian bersalah lagi, lalu menyesal lagi,
saya akan memaafkan kalian lagi.” Dan diperbuatnya persis seperti
yang dikatakannya. Dia tidak heran kalau ada murid yang nilai
matematika, fisika, biologinya cemerlang memutuskan untuk
pindah ke jurusan sosial karena sang guru pun dulu demikian.
Ketika dipindahtugaskan, ia memilih berjalan kaki ke tempat tugas
baru, misalnya dari Klaten ke Boro, kemudian dari Boro ke
Ungaran. Jika tiba saatnya berdoa, ia mengajak tamu di rumahnya
untuk ikut berdoa. Sang guru pandai, maka ditawari kesempatan
untuk belajar di perguruan tinggi luar negeri, tapi ia menolaknya
dan sebagai gantinya memilih bertugas di pedalaman Kalimantan
tanpa listrik, tanpa sinyal ponsel, tanpa internet. Sosok yang kita
bayangkan itu ada pada diri Romo Martana.
Ia tak berambisi mengubah orang lain, tapi hidupnya meng-
gerakkan kami yang mengenalnya untuk berpikir mengenai hidup
kami, menilai ulang keyakinan kami, mengevaluasi prioritas hidup
kami, melihat makna, menggugah semangat, mengubah!

:: 4 ::
Buku ini semula dipersiapkan sebagai hadiah pesta emasnya,
ulang tahun yang ke-50. Pada waktu gagasan ini dicetuskan, Maret
2005, Romo Martana masih dalam perawatan di Rumah Sakit
Panti Rapih karena penyakit kanker yang dideritanya. Belum lagi
tulisan terkumpul, datanglah kabar bahwa Romo Martana kritis,
dan beberapa saat kemudian meninggal dunia. Kami semua
berduka. Dunia telah kehilangan satu lagi orang terbaiknya.
Lalu muncul keraguan, apakah hadiah ini masih perlu di-
wujudkan. Apa guna sebuah hadiah ulang tahun jika yang ber-
ulang tahun sudah tiada? Lalu, kami ingat Romo Martana. Dia
sendiri pastilah tidak menginginkan hadiah apa pun untuk ulang
tahunnya. Terlebih lagi, sebuah buku berisi puja-puji tentang
dirinya niscaya tidak akan membuat hatinya senang. Akhirnya,
kami sepakat, Romo Martana tidak memerlukan hadiah. Tetapi,
kami tetap menuliskannya.
Bagi kita yang pernah mengenal Romo Martana, biarlah buku
ini menjadi cenderamata, kenangan bahwa kita pernah hidup
dalam satu masa bersama Romo Martana, dan masa-masa itu ada-
lah salah satu hadiah terbaik dalam hidup kita. Jika suatu saat
kita kecewa, marah, atau lelah terhadap dunia, marilah kita sejenak
mengingat Romo Martana yang telah membuktikan bahwa hidup
bisa dijalani dengan ringan lepas bebas sehingga tak ada alasan
untuk kecewa terhadapnya. Jika Anda belum pernah mengenal
Romo Martana, perkenankanlah kami mengajak Anda untuk
mengenal dia, seseorang dengan kepribadian yang memikat, se-
seorang dengan nilai-nilai hidup yang luar biasa namun dijalaninya

:: 5 ::
dengan cara yang sungguh sederhana, seseorang yang meneguh-
kan kita untuk terus hidup dengan penuh pengharapan semata-
mata karena segala sesuatunya memang baik adanya, seseorang
yang kehidupannya menitipkan pesan bahwa menjadi suci adalah
sesuatu yang mungkin bagi siapa pun hic et nunc, di sini dan saat
ini.— EDITOR

:: 6 ::
DAFTAR ISI

PENGANTAR EDITOR 3
DAFTAR ISI 7
PERJALANAN ROMO MARTANA 9
SAMBUTAN USKUP AGUNG SEMARANG 11

CERITA PARA MURID 15

YANG NAMANYA SALAH PILIH ITU TIDAK ADA 16


JATUH CINTA PADA KEHIDUPAN YANG BIASA 22
ROMO MARTANA DAN BAPA SUCI YOHANES PAULUS II 28
FRANSISKUS + GANDHI + TERESA 34
JIWA YANG BERSAHAJA 37
PEMBIMBING SEKALIGUS TEMAN 41
70 × 7 44
MENGHAFAL NAMA TIAP ORANG 47
PERISTIWA DI DEPAN KAPEL BESAR 48
NILAI SEBUTIR NASI 49
KONSER MAESTROYUDAN 50
JALAN MENUJU KESUCIAN 60

:: 7 ::
CERITA PARA MITRA 63

PENDERITA YANG MEMELUK DERITANYA 64


SANG MISIONARIS DOMESTIK 69
SANG PEJALAN KAKI 76

CERITA PARA SAHABAT 77

SIAP BERDOA BERSAMA SIMEON 78


SERBA-SERBI KISAH DI KENTUNGAN 83
KIAT MENIKMATI HIDUP 85
KENANG AKU DALAM HATIMU 88
PINTAR SEMUANYA 91
TEMAN YANG BAIK HATI 92

CERITA PARA ADIK 95

BERSYUKUR SELALU, GEMBIRA SENANTIASA 96


MAS TANA DENGAN HOBI-HOBINYA 101
SEORANG IMAM, SEORANG KAKAK 108
PASTOR YANG MENYAYANGI KELUARGANYA 113

RANGKAIAN BUNGA 117

LAMPIRAN 131

:: 8 ::
Perjalanan Romo Martana

1955 4 Mei, Fransiscus Assisi Martana Constantinus Maria


lahir
1968 Masuk SMP Pangudi Luhur Baciro
1971 Masuk Seminari Menengah Mertoyudan
1974 Lulus dari Seminari Menengah Mertoyudan
1975 Masuk Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan
1982 25 Januari, ditahbiskan sebagai imam projo Keuskupan
Semarang. Semboyan yang dipilih “Ia harus makin
besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30)
1982 Kembali ke Seminari Mertoyudan, menjadi pamong
... Menjadi pastor paroki di Klaten, Boro, Ungaran, Papua
1996 Melayani umat di pedalaman Ketapang, Kalimantan
2003 19 Desember, masuk RS Panti Rapih untuk menjalani
terapi atas penyakit kanker lidah
2005 5 April, meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih,
seminggu setelah Paskah, sebulan sebelum hari ulang
tahunnya yang ke-50

:: 9 ::
Romo Martana sedang berbincang-bincang dengan
Mgr. Suharyo di kamar Lukas, RS Panti Rapih.

:: 10 ::
Sambutan Uskup Agung Semarang

ADA DUA HAL YANG SANGAT MENGESANKAN dari perjumpaan saya


dengan Romo Martana di rumah sakit selama masa sakitnya. Yang
pertama adalah tampak jelas di dalam seluruh hidup Romo
Martana bahwa dia mengerti, memahami, dan menghayati benar-
benar apa arti penderitaan. Sakit yang begitu lama membawa
almarhum Romo Martana menemukan makna penderitaan itu.
Saya membayangkan satu dua hal. Romo Martana sangat men-
cintai umat pedalaman di Kalimantan. Bahkan, setelah sekian
lama, Romo Martana memutuskan tidak mau kembali ke
Keuskupan Agung Semarang karena ingin bersetia kawan dengan
umat di pedalaman yang sangat ia cintai. Saya membayangkan
ketika Romo Martana harus meninggalkan Kalimantan, terpaksa
karena sakitnya, ia sudah mulai menderita sungguh-sungguh, be-
lum lagi selama masa lebih dari satu setengah tahun mengalami
sakit. Yang mengherankan dan mengagumkan ialah saya sekurang-
kurangnya tidak pernah mendengar, tidak pernah melihat, Romo
Martana kehilangan kegembiraan. Tidak pernah saya dengar secuil
keluhan pun mengenai keadaannya. Penderitaan yang begitu besar

:: 11 ::
di mata kita yang melihatnya rasa-rasanya dihidupinya dan
dihayatinya dengan penuh syukur. Dan dengan macam-macam
tanda, ketika dia sudah tidak bisa bicara lagi, syukur itu ditunjukk-
an entah dengan anggukan, entah dengan acungan jempol. Ia
belajar menderita dan menemukan makna penderitaan dalam
iman. Kita bisa mengatakannya menderita bersama dengan
Kristus. Romo Martana bukan hanya mengatakan, tetapi men-
jalaninya, menghidupinya dengan gembira dan pasrah—suatu
kesaksian iman yang sangat mendalam.
Hal kedua yang menjadi sangat jelas juga adalah Romo
Martana mengajak kita semua, keluarga, kawan-kawan, dan siapa
pun yang mencintai dia, untuk belajar menghargai kehidupan.
Saya bisa membayangkan betapa staf Rumah Sakit Panti Rapih,
para dokter, perawat, pembantu perawat, para suster berusaha
sebaik mungkin untuk menemukan jalan dan tidak menyerah
sampai akhir untuk melayani kehidupan itu. Kita pun bisa saling
melihat betapa keluarga dan kawan-kawan sungguh berusaha dan
hadir untuk mendoakan, melayani, menghibur, karena kita semua
yakin bahwa hidup sung guh begitu berharga juga kalau
kelihatannya sudah begitu rapuh.
Kita kehilangan seorang imam yang masih belum terlalu
banyak usianya. Tetapi, kepada kita ditinggalkan juga keutamaan-
keutamaan hidup yang sungguh-sungguh bermutu, yang sungguh-
sungguh bermakna. Kami, para imam yang melihat kesaksian
hidup yang seperti itu, merasa terdorong untuk menjadikan hidup
kami menjadi hidup yang rela berkorban dan menyatukan kerelaan

:: 12 ::
berkorban itu dengan kerelaan Kristus yang memberikan hidup-
Nya bagi kita semua.
Terima kasih kepada keluarga yang dengan rela dan tulus
menyerahkan putranya bagi Gereja dan umat. Romo Martana ber-
tumbuh di dalam keluarga, menemukan panggilannya di dalam
keluarga, ditemani oleh seluruh keluarga sampai ia menyelesaikan
tugas perutusan hidupnya di dunia ini. Saya yakin, Romo Martana
sungguh-sungguh bangga atas keluarga yang sungguh-sungguh
penuh perhatian dan kasih.
Terima kasih kepada seluruh umat yang pernah dilayani, entah
di paroki di Jawa, di luar Jawa, entah di tempat pendidikan di
seminari menengah. Saya selalu yakin bahwa hanya di dalam
pelayananlah imamat bisa berkembang dengan baik.
Terima kasih kepada teman-teman imam yang telah memberi
perhatian istimewa dan menemani Romo Martana di dalam
imamat, khususnya pada saat-saat akhir hidupnya.
Terima kasih kepada seluruh staf Rumah Sakit Panti Rapih
yang telah memberikan yang terbaik bagi Romo Martana. Semoga
semua yang kita alami di dalam usaha menemani beliau men-
dorong kita semua untuk menerima anugerah kehidupan ini
dengan penuh syukur dan menjadikannya berkat bagi makin
banyak orang.

— MGR. I. SUHARYO, khotbah pada misa requiem, 6 April 2005

:: 13 ::
:: 14 ::
Cerita Para Murid

:: 15 ::
Yang Namanya Salah Pilih
Itu Tidak Ada

S ORE INI AKU DUDUK DI KANTORKU di STF Driyarkara. Tidak


berbeda dari hari-hari lain, suasana di kampus terasa begitu sepi.
Di mejaku berserakan buku-buku komentar Kitab Imamat. Hari-
hari ini aku sedang sibuk mengutak-atik Kitab Imamat, karena
itulah yang sedang menjadi pokok kuliah yang telah kuberikan
tadi pagi, dan akan kuberikan sekali lagi minggu depan. Ini
hidupku sekarang. Waktuku kuhabiskan dengan kertas, buku,
komputer, alat tulis. Ya, di sini aku sekarang, sebagai seorang
imam Yesuit, sebagai dosen Kitab Suci, dan sebagai teman pen-
damping bagi anggota-anggota muda Yesuit. Pilihanku untuk
menjadi seorang Yesuit kala aku di seminari dulu justru mendapat
penegasan dari Romo Martana. Maka ingatanku kembali melayang
ke peristiwa yang kualami dua puluh tahun yang lalu.
Pada usia semuda itu aku merasa bahwa “memilih” adalah
sebuah hal yang paling sulit untuk bisa aku lakukan. Aku lebih
senang bila ada orang yang membuatkan pilihan bagiku. Pasti
aku akan melakukannya dengan sepenuh hati. Selama itu aku terus
bergulat dengan pilihan antara Projo KAJ atau SJ. Almarhum
Romo Setiawan Gani, SJ, menjadi pembimbing rohaniku selama

:: 16 ::
aku kelas satu dan dua. Beliau sangat berjasa bagiku. Beliau ke-
mudian dipindah sehingga aku harus mencari pembimbing rohani
yang baru. Dengan tekad untuk membuat pilihan semurni
mungkin, sengaja aku menghindar dari para yesuit di sana. Pilih-
anku jatuh kepada Romo Martana, Pr. Betapa senangnya aku
ketika beliau bersedia menemani perjalananku selama setahun
terakhir di seminari.
Aku tak menunggu lama. Pertemuan pertama langsung aku
pusatkan pada soal “memilih” antara Projo KAJ dan SJ. Kepada
beliau kukatakan dengan terus terang bahwa aku sengaja tak
memilih seorang romo yesuit karena aku tak mau memilih SJ
karena dirayu oleh salah seorang dari mereka. Dua hal dikatakan
oleh Romo Martana. Pertama: “Deshi, yang namanya salah pilih
itu tidak ada!” Dengan mantap beliau melanjutkan: “Seandainya
kamu ini sebenarnya dipanggil untuk menjadi projo, tetapi lalu
memilih untuk menjadi yesuit, Tuhan pasti akan membantu kamu.
Kalau kamu terbuka pada bantuan Tuhan, kamu pasti akan bisa
menjadi yesuit yang baik, meskipun itu mungkin pilihan yang
salah. Jadi, sebenarnya, yang namanya salah pilih itu tidak ada.
Tuhan pasti membantu untuk membuat yang paling baik bagi
kita.” Pembicaraan lalu dilanjutkan entah ke mana, sampai Romo
Martana akhirnya mengatakan demikian: “Deshi, saya sebagai
projo tentu senang kalau kamu akhirnya juga menjadi projo.
Namun sejauh saya mengenal kamu, dan sejauh saya mengenal
kehidupan projo, saya harus mengatakan bahwa kamu harus
berpikir dua kali bila kamu ingin menjadi projo.”

:: 17 ::
Romo Martana, keenam dari kiri, bersama rektor dan staf
Seminari Menengah Mertoyudan.

:: 18 ::
Itu yang terus aku ingat sampai hari ini. Tuhan tidak akan
tinggal diam. Kalaupun manusia melakukan pilihan yang salah,
Tuhan akan segera bertindak. Pilihan yang mungkin semula salah
akan bisa “dibenarkan”. Aku merasa mendapat siraman segar.
Tak perlu takut untuk salah memilih karena, seperti kata Romo
Martana, “yang namanya salah pilih itu tidak ada”. Ternyata
sekarang aku menulis kenangan ini sebagai seorang imam SJ yang
ditugaskan di KAJ. Aku melihatnya sebagai sebuah gambaran yang
menggabungkan sisi ke-jakarta-an dan sisi ke-yesuit-an yang
menjadi warna khas proses pemilihanku ketika itu. Romo Martana
berjasa besar buatku karena telah memberi dasar penting bagiku
untuk tidak takut memilih. Boleh percaya boleh tidak, aku sudah
sering meminjam ungkapan beliau itu, “yang namanya salah pilih
itu tidak ada”, ketika aku mendampingi orang-orang yang takut
untuk memilih. Hasilnya, sungguh luar biasa.
Sekarang aku kembali ke masa kini. Aku mendapat keper-
cayaan untuk mendampingi sembilan frater yesuit di rumahku.
Prinsipku jelas: “membentuk mereka melalui contoh nyata yang
kuhayati sendiri”. Maka begitulah kulakukan. Di saat-saat tertentu
kenanganku kembali ke Mertoyudan. Di pojok tempat urinoir
itu kulihat kembali Romo Martana dengan kaos putih dan celana
pendek putih.
Kudengar kembali siulannya yang menyanyikan lagu entah
apa. Kupikir tidak berlebihan kalau sekarang aku melihat bahwa
pojok tempat urinoir itu menjadi “sekolah” pertama bagiku untuk
belajar menjadi seorang formator. Ya, mengubah kesadaran

:: 19 ::
manusia tidak dengan kata-kata, melainkan dengan sebuah nilai
yang dihayati dan diperlihatkan dengan jujur.
Ada sebuah film yang selalu membuatku menangis setiap kali
aku melihatnya. Judul film itu adalah Mr. Holland’s Opus. Film itu
bercerita tentang seorang guru musik yang punya dedikasi tinggi.
Salah satu ajarannya, kalau tidak salah, demikian: “Don’t read the
notes! Play the music!” Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa
anak tunggalnya ternyata tidak bisa mendengar, sementara ia
sebenarnya ingin sekali melanjutkan ilmu dan cintanya akan musik
kepada anaknya itu. Singkat kata, film berakhir dengan sebuah
kejutan. Ketika diadakan sebuah pesta perpisahan bagi sang guru
musik itu, para bekas muridnya diam-diam menyiapkan sebuah
konser musik. Terlihatlah di sana betapa berubahnya para bekas
murid itu. Satu hal jelas. Bertahun-tahun sebelumnya, ketika masih
menjadi murid, banyak dari mereka harus bersusah-payah untuk
memainkan alat musik tertentu. Sekarang mereka memainkannya
dengan keyakinan. Hasilnya, sebuah konser yang indah.
Di film itu Mr. Holland menangis. Aku pun menangis lagi
ketika menulis ini. Salah seorang bekas muridnya, yang sudah
menjadi gubernur negara bagian di mana sekolah itu berada,
memberi sambutan kurang lebih demikian: “Mr. Holland, if you
look around, there is no one in this room whose life has not been changed by
you!” Ini menjadi penutup tulisanku ini juga. Aku tak tahu apakah
Romo Martana pernah punya mimpi besar untuk membuat
sebuah Opus dengan orkes seminari yang peralatannya seharus-
nya sudah masuk museum. Yang aku tahu, Romo Martana telah

:: 20 ::
membuat hidupku dan banyak temanku sebuah Opus. Thanks for
making our lives such a wonderful Opus!

— DESHI RAMADHANI, S.J., imam,


seminaris Mertoyudan 1982–1986, deshisj@yahoo.com

:: 21 ::
Jatuh Cinta pada
Kehidupan yang Biasa

ROMO TANA ITU JATUH CINTA pada kehidupan yang biasa. Yang
khas dari Romo ialah bahwa ia menyulap kehidupan yang biasa
itu menjadi kesempatan bereksperimen mentransformasi diri. Hal
itu dilakukannya juga ketika ia menjadi imam di pedalaman.
Dalam perjalanan pulang dari kota Ketapang ke tempat saya
bekerja, yakni Paroki Balai Berkuak yang terletak jauh di pe-
dalaman, saya mampir ke pastoran Paroki Tumbang Titi, tempat
Romo Tana bekerja. Ketika tiba di pastoran Tumbang Titi, Romo
tidak ada. Saya langsung masuk saja ke kamarnya, karena semua
pintu dan jendela pastoran terbuka. Di mejanya saya dapati teka-
teki silang berbahasa Inggris yang sudah terisi dengan jawaban-
jawaban. Seperti ketika masih di Mertoyudan menjadi pamong
kami (1982–1983), tempat tidurnya tak beralaskan kasur. Ada
tikar, bantal, selimut dan empat buku: Injil, sebuah buku Zen,
buku Gandhi dan sebuah buku filsafat Cina. Selama bertugas di
Klaten, Boro, dan Ungaran, ketiga buku yang pertama selalu ada
bersamanya. Saya tidak tahu sejak kapan ia baca buku filsafat
Cina yang tampak tua dan lusuh itu. Lalu Romo datang. Ia men-
jelaskan bahwa buku filsafat Cina itu ditulis oleh seorang Cina
yang beralih dari agama Protestan ke agama asli Cina.

:: 22 ::
Romo berceritera bahwa keempat buku itu dibacanya tiap
hari. Menurutnya, ia baca Injil pada pagi hari. Urutan selanjutnya
saya lupa. Yang saya ingat, ia baca buku-buku tersebut pada siang
sebelum makan, sore, dan malam hari. Bahwa ia baca Injil tiap
hari mengingatkan saya akan syair lagu yang ia tulis. Dalam lagu
Kurenungkan Sabdamu, Tuhan ditemukan kata-kata “kurenungkan
sabdaMu” dan “kuresapkan di dalam kalbu”. Lebih daripada itu,
yang menurutnya baru dari Yesus adalah ajaran bahwa benih perlu
mati terlebih dahulu agar hidup tumbuh.
Buku Zen yang ia baca tiap hari bukanlah yang menjelaskan
bagaimana memperoleh pencerahan lewat usaha-usaha istimewa
seperti misalnya meditasi dan diajukannya sebuah koan oleh
seorang guru Zen kepada muridnya (D. T. Suzuki). Buku Zen
yang ia baca memperlihatkan bagaimana pencerahan didapat
dalam melaksanakan kerja sehari-hari. Keempat Injil dan buku
filsafat Cina juga berbicara tentang hidup sehari-hari.
Romo Tana memahami keempat buku secara hurufiah. Ia
pernah punya banyak buku Zen yang bagus-bagus. Ketika ia mem-
baca buku-buku Zen tersebut dan salah satu guru Zen dalam
salah satu buku itu menganjurkan agar pembaca membakar buku-
buku Zen setelah selesai dibaca, karena sang pembaca sekarang
telah menjadi seorang guru Zen dan dengan demikian tak memer-
lukan lagi guru, maka secara hurufiah Romo mengikuti anjuran
ini: Romo membakar buku-buku Zen yang berharga mahal itu.
Ia pun secara lurus mengikuti ajaran Zen untuk tidak berpikir
dualistis atau, lebih baik, mengatasi pikiran dualistis. Yang dimak-

:: 23 ::
Bersama dengan keponakan.
Bermain biola dalam orkes Seminari Mertoyudan. Romo Martana
tampak berambut gondrong, khas anak muda era 1970-an.

:: 24 ::
:: 24 ::
sud pikiran dualistis adalah segala bentuk pikiran dan penilaian
yang lahir sebagai hasil penarikan jarak kita dari kenyataan; bisa
juga dipahami sebagai berpikir dengan pola dualistis baik-buruk,
sebab-akibat, substansi-aksiden, dan sebagainya. Dalam surat
balasannya atas surat yang saya tulis dari Roma, Romo menulis
bahwa saya masih berpikir dualistis. Itu dikatakan Romo karena
saya menilai buruk mentalitas orang Italia. Karena Romo Tana
tidak lagi berpikir dualistis, ia mengatakan selalu bahwa segala
sesuatu baik. Makanan yang dengan susah payah ia makan, ketika
sakit menjemput ajal, ia katakan enak. Sebenarnya ajaran Jawa
juga mengajarkan untuk berpikir dan bertindak beyond dualism
seperti yang ditunjukkan Magnis Suseno dalam sebuah tulisan
tentang rasa menurut orang Jawa.
Gandhi diikutinya juga secara hurufiah. Romo suka pakai
celana pendek yang dibuat dari karung gandum. Di pedalaman ia
suka telanjang dada dan hanya pakai celana gandum itu, bahkan
tanpa celana dalam. Teman separokinya, Romo Made Sukartia
pernah berceritera kepada saya: “Wah, Di, ketok kuwine (=kelihatan
itunya)!”
Romo Tana sebenarnya pengagum Ibu Teresa. Ia membuat
kliping ceritera bersambung tentang Ibu Teresa yang dimuat di
Hidup. Di pedalaman ia ikuti saja secara lurus kebiasaan Ibu Teresa
selalu membuka semua pintu dan jendela rumahnya. Ketika Romo
bertugas di Tumbang Titi, semua pintu dan jendela pastoran
terbuka lebar-lebar. Semua orang bisa masuk. Toh, Romo Tana
hanya punya barang sedikit. Ketika saya meninggalkan Paroki

:: 25 ::
Balai Berkuak dengan hanya membawa sebuah tas berisi pakaian,
ia memuji saya: Barang yang saya bawa hanya sedikit. Ini bukan
sesuatu yang istimewa sebenarnya. Romo-romo, teman-teman
saya yang bekerja di pedalaman Ketapang, hanya punya barang
pribadi yang sedikit. Untuk apa punya barang banyak di pedalam-
an kalau barang-barang itu tak berguna?
Romo Tana ternyata tidak hanya penggemar Queen. Ia gemar
sekali musik jazz. Kegemaran itu dilanjutkan di pedalaman. Setiap
jam satu siang ia dengarkan siaran BBC yang memperdengarkan
lagu-lagu jazz. Pada tahun pertama di pedalaman ia tidak bawa
gitar. Akhirnya, ia tidak tahan juga. Pada tahun kedua ia ambil
gitar pribadinya yang ia simpan di rumahnya di Gunung Ketur.
Kalau ada sebuah acara dan kami, romo-romo, semua hadir,
biasanya beberapa romo membentuk sebuah grup band. Romo
Tana memainkan lead guitar.
Kegemaran main catur juga diteruskan di pedalaman. Ia suka
bermain melawan romo-romo yang lain dan siapa saja yang bisa
main catur. Hanya untuk main catur, ia rela naik sepeda motor
sejauh 60 kilometer melewati jalan yang buruk. Ia main berjam-
jam di rumah lawan mainnya, bahkan menginap di situ. Romo
main catur dengan serius. Ia pernah menulis surat kepada saya
yang ketika itu studi di Roma untuk mencarikan dia buku-buku
catur. Saya dan Romo Didik dari Bandung, teman seangkatan di
Mertoyudan, mengirim beberapa buku catur untuk Romo di
pedalaman. Bahkan Romo Eko mengirim juga beberapa buku
catur dari Washington. Dengan berbekal teori-teori catur yang
canggih, ia melawan pecatur pedalaman.

:: 26 ::
Romo Tana ternyata jagoan minum tuak. Minum tuak me-
mainkan peranan penting dalam pergaulan dengan umat di peda-
laman. Kalau kita jagoan minum tuak, umat pun senang dengan
kita. Romo lulus menjadi imam pedalaman, bukan hanya karena
ia jagoan minum tuak, tetapi juga karena ia menjadi terbiasa ken-
cing tidak di WC, tetapi di pelataran. Sebagian besar rumah di
pedalaman tak punya WC. Orang kencing di pelataran, di kebun,
atau di hutan dekat rumah. Karena bertugas di pedalaman, kami
lalu terbiasa kencing di pelataran. Nah, kebiasaan itu kami lakukan
juga ketika kami berada di kota. Pernah saya mengantar Romo
Tana ke bandara. Karena ia lapar, kami makan bakso dulu di wa-
rung pinggir jalan. Dan ia merasa ingin kencing. Ia kencing saja
di rerumputan pinggir jalan. Padahal banyak kendaraan lewat.
Romo Tana sungguh-sungguh menjadi imam pedalaman,
terlebih karena ia hidup sesuai dengan kemampuan paroki meng-
hidupi romo parokinya. Semua kolekte diserahkan kepada
bendahara paroki. Romo Tana sebagai romo paroki menyusun
proposal anggaran pastoran dan mengajukannya kepada benda-
hara paroki. Uang diambil sesuai kebutuhan. Kalau ia butuh
sabun, misalnya, ia pergi kepada bendahara paroki meminta uang.
Lalu ia akan beli sendiri sabun itu, seperti biasa dilakukan romo-
romo pedalaman yang lain.

— LAURENSIUS SUTADI, PR., imam,


seminaris Mertoyudan 1981–1985

:: 27 ::
Romo Martana dan
Bapa Suci Yohanes Paulus II

JUDUL DI ATAS SEPERTINYA HANYA SENSASIONAL , tanpa dasar yang


jelas berani menggunakan kata sambung “dan” di antara dua
pribadi yang tidak saling mengenal. Kata sambung yang dipilih
sepertinya mau menyejajarkan seorang Romo dengan seorang
pemimpin tertinggi umat katolik. Yang tidak “mengenal” Romo
Martana mungkin juga akan cukup mudah mempertanyakan
kesejajaran tersebut. Bagaimana mungkin seorang romo yang
sudah almarhum, yang dikenal hanya dalam kalangan terbatas
dan mungkin juga cuma dikenal dengan baik dan dikenang oleh
murid-muridnya, disejajarkan dengan almarhum Bapa Suci
Yohanes Paulus II, seorang pemimpin tertinggi agama katolik
yang “dikenal” dan dikenang oleh banyak orang, melampaui batas
agama dan negara, yang sudah menuntun bukan hanya umat
Katolik yang sudah dipercayakan Allah secara khusus kepada
beliau tetapi juga dengan berani “menuntun” seluruh manusia di
dunia untuk hidup yang semakin baik, penuh damai dan cinta?
Murid-murid Romo Martana sangat mengagumi dan ber-
usaha meniru atau melaksanakan yang diajarkan dan terutama

:: 28 ::
yang dihidupinya dan yang dilihat para murid sebagai pendidik
ulung—bukan hanya sekadar informator dan inspirator, tapi
terutama sebagai transformator. Banyak murid meniru apa pun
yang dilakukan Romo Martana. Ketika beliau memakai sandal
ban, para murid pun ramai-ramai beli sandal ban. Beliau nyèkèr,
para murid pun menanggalkan alas kaki yang “dicintai melebihi
segala sesuatu”. Apa pun yang tadinya tidak mungkin dilakukan
bisa terjadi hanya karena Romo Martana sudah melakukan lebih
dulu. Model pendidikan yang ideal! Walau tetap harus diakui
bahwa pencontohan itu masih sering terjadi dalam hal-hal yang
fisik dan belum banyak dalam hal-hal batin. Bahkan seorang
teman dengan berani mengatakan bahwa banyak murid yang
mengkhianati Romo Martana karena tidak bisa tahan bertekun
melakukan apa yang sudah diajarkan dan diteladankannya!
Secara pribadi saya melihat dan menemukan kemiripan hidup
dua pribadi yang sudah kembali kepada Allah Bapa, Romo
Martana dengan Sri Paus Yohanes Paulus II, dan saya mau mem-
bagikannya lebih sebagai buah permenungan yang syukur kalau
bisa memberi inspirasi untuk hidup yang semakin indah, penuh
damai dan cinta. Kalaupun tidak memberikan inspirasi, paling
tidak bisa menjadi bahan melihat kemungkinan pengecapan yang
bisa muncul lewat menyaksikan, mendengarkan, dan juga meng-
alami. Saya hanya mau mengupas beberapa bagian yang menarik
dan memberikan kesan yang mendalam, kesan yang tidak mungkin
terhapus dalam memori betapa pun terbatasnya kemampuan
memori yang diterima dari Yang Maha Kuasa.

:: 29 ::
Sri Paus Yohanes Paulus II mencium kaki kedua belas rasul dalam
upacara Kamis Putih dan Romo Martana selalu memilih membersih-
kan WC sebagai opera rutin bersama murid-muridnya. Dua sikap
yang menampakkan kerendahan hati yang mendalam dan tidak
dibuat-buat. Sri Paus Yohanes Paulus II, setelah membasuh kaki
setiap rasul, membungkuk dan mencium kaki yang baru saja
dibasuhnya dengan menggunakan bibirnya yang bersih, bukan
hanya sekadar membungkuk dan berpura-pura mencium. Dalam
hal ini, ada yang mau menirukannya tetapi ternyata hal itu diakui
tidak mudah dilakukan, yang berani dilakukan baru sampai
membungkuk dan mendekatkan muka ke kaki para rasul tetapi

Inilah tubuhku yang dikurbankan bagimu.

:: 30 ::
tidak berani menempelkan bibirnya ke kaki yang sudah bersih
itu walau sebenarnya sudah selesai dibasuh dan dilap. Bibir yang
sebelumnya digunakan untuk memuji Allah, mengeluarkan kata-
kata yang indah, penuh kasih dan damai, digunakan untuk
mencium bagian terendah secara anatomis dari tubuh manusia.
Bukan cium pengkhianatan Yudas yang mencari bagian tertinggi
dari anatomis tubuh Yesus, tetapi ciuman penuh kasih dan damai
yang sengaja mencari bagian terrendah. Simbol yang indah: kasih
selalu rela menerima bagian yang terkotor dari yang dikasihinya.
Romo Martana membersihkan WC bukan hanya sekadar
basa-basi. Ia berani menggunakan alat paling “mutakhir” untuk
dapat menyentuh lubuk terdalam lubang WC. Alat itu berupa
sikat tanpa pegangan sehingga, pada waktu digunakan untuk
mengosèk, tangannya bisa bersentuhan dengan bekas kotoran
murid-muridnya yang sudah dengan “sengaja” tidak langsung mau
dibersihkan. Tangan yang digunakannya untuk memetik gitar,
memainkan piano, melatih koor, mengajar, mempersembahkan
misa, dan seterusnya itu jelas menjadi semakin kudus karena tidak
meninggalkan untuk menjamah yang paling kotor dari diri sendiri,
ibarat memperlakukan saudara-saudara Yesus yang paling hina.
Ya, yang paling mutakhir dalam proses membersihkan itu
adalah dirinya sendiri. Romo Martana sendirilah alat Allah yang
mutakhir untuk menyentuh hati murid-muridnya. Pada saat
murid-muridnya hanya setengah-setengah dalam melaksanakan
kerja tangan seperti itu dan bahkan ada juga yang menghindari
tugas opera tersebut (mungkin karena rasa jijik terlalu mendomi-

:: 31 ::
nasi atau mungkin juga karena sadar bahwa kotorannya sendiri
merupakan barang terkotor di dunia ini yang tidak layak untuk
disentuhnya kembali—padahal dosa yang tidak kalah kotornya
berulang-ulang disentuh kembali tanpa sedikit pun rasa jijik, atau
mungkin malah mencari peluang untuk bisa mendapat “giliran”
menyentuh dosa itu lagi), Romo Martana tanpa sedikit pun rasa
jijik membersihkannya dengan senang karena sadar bahwa pem-
bersihan bagian yang terkotor itu akan menjadi sarana pem-
bersihan jiwa.
Sri Paus Yohanes Paulus II menghadapi rasa sakit tanpa
mengeluh, bahkan tetap berusaha membahagiakan umat-Nya dan
tetap menunjukkan semangat pelayanan yang dahsyat. Ketidak-
mampuan berjalan tidak menghalangi kegiatan harian yang
superpadat. Ketidakmampuan mengeluarkan suara tidak meng-
halangi keinginan untuk menyapa bukan hanya umat yang setia
menanti dan mendoakannya tetapi juga menyapa seluruh orang
di dunia. Semua yang hadir di halaman Basilika Santo Petrus ber-
usaha memberi semangat karena mereka mengasihi Sri Paus
Yohanes Paulus II dengan sungguh-sungguh, bertepuk tangan
sambil bernyanyi: “Yohanes Paulus, Yohanes Paulus.”
Romo Martana menghadapi rasa sakit yang mahadahsyat
tanpa mengeluh, bahkan masih tetap berusaha melayani. Selang-
selang yang menempel di badannya seolah-olah hanya menjadi
ranting yang menempel pada dahan tanpa menimbulkan ganggu-
an. Seperti ranting-ranting yang menjadi “penghidupan” pohon,
selang-selang tersebut juga diterima Romo Martana bukan sebagai

:: 32 ::
pengganggu, tetapi sebagai sarana pembantu menyambung hidup
beberapa “detik” lagi—detik-detik kehidupan yang dengan penuh
kesadaran dijalaninya. Betapa dahsyatnya, bahkan pada waktu-
waktu tersebut kalau memang bisa melayani Tuhan dan sesama,
mengapa tidak? Yang muncul dalam dirinya hanya bagaimana bisa
tetap memuji Tuhan. Tidak sedikit pun ia memikirkan keadaan
dirinya. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang menyerang dan tanpa
menghiraukan pertanyaan orang-orang yang melihatnya, dia
berjalan dengan penuh semangat, langkah tegap seperti biasa,
menuju kapel untuk mengiringi perayaan ekaristi, yakin bahwa
pelayanannya akan semakin memeriahkan perayaan ekaristi dan
semakin membesarkan kemuliaan Tuhan.
Semangat yang dahsyat luar biasa tersebut membuat saya
tersenyum malu. Saya tersenyum karena mengagumi semangat
pelayanan sampai akhir hidup yang luar biasa dari Sri Paus
Yohanes Paulus II dan Romo Martana. Saya malu karena saya
yang masih muda dan segar bugar ini kadang loyo di tengah ge-
lombang yang sebenarnya belum sebanding dengan “tsunami”
yang harus dihadapi Sri Paus Yohanes Paulus II dan Romo
Martana. Menyaksikan dari dekat kedua pribadi ini ternyata bisa
menyalurkan beberapa persen semangat hidup pengabdian me-
reka, dengan tetap berharap dan berusaha bahwa persennya akan
meningkat dari waktu ke waktu.

— PAULUS WIRASMOHADI SOERJO, PR., imam,


seminaris Mertoyudan 1981–1985

:: 33 ::
Fransiskus + Gandhi + Teresa

DUA ORANG “BAPAK” DI DUNIA INI meninggal dengan cara yang


mengagumkan. Paus yang “Bapak” bagi semua orang meninggal
dunia di penghujung Oktaf Paskah, menjelang Hari Raya
Kerahiman Ilahi yang notabene ia tetapkan beberapa tahun se-
belumnya sebagai penghormatan akan Sr. Faustina yang kudus.
Sepertinya ia sudah “merencanakan” penetapan itu sehingga dapat
meninggalkan dunia ini pada hari tersebut. Dengan demikian
bahkan di saat kematiannya pun beliau masih dapat memberi
kesaksian akan betapa rahim,ya Allah Bapa yang mahabaik, yang
lewat Putra-Nya selalu rela merentangkan tangan-Nya untuk
menyambut anak-anak-Nya.
Seorang Bapak lain yang juga sahabat kita, Romo F.A.
Martana, Pr., sepertinya tidak mau mendahului Bapaknya untuk
menghadap Bapak Besar. Ia tidak mau ngendhas-endhasi Bapak Suci.
Maka ia memilih meninggalkan dunia beberapa hari sesudah
Bapak Suci meninggal. “Hebat, beliau disiapkan jalan oleh Bapak
Suci Yohanes Paulus II,” kata rekan Mijo Suhendra. Sebuah
ungkapan kerendahan hati dari orang yang tahu di mana harus
menempatkan dirinya.

:: 34 ::
Romo Martana bagi saya memang seorang yang inspirasional
dalam hal kerendahan hati dan kebersahajaan. Ia menggabungkan
tiga (sekurang-kurangnya yang terlihat di mata saya) semangat
orang suci. Kebersahajaan seorang Fransiskus Assisi yang
dipadukan dengan semangat kebersajaan Mahatma Gandhi dan
Mother Teresa. Ketiga-tiganya menampakkan ciri yang sama:
kesederhanaan–kebersahajaan yang memudahkan mereka untuk
menempatkan diri bersama orang-orang yang sederhana.
Mengesan bagi saya, sejak beliau ditempatkan sebagai pamong
di Seminari Mertoyudan, bagaimana semangat ketiga orang itu
tertampakkan dengan jelas dalam kesetiaan (harfiah) Romo
Martana untuk mengosek WC, tugas yang kurang favorit untuk
seminaris. Jarang sekali, atau malahan belum pernah, tampak
beliau mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Yang terbagus
adalah jubah yang juga sering kali ia gunakan.
Caranya mendidik seminaris juga menjadi inspirasi bagi saya
ketika saya diminta untuk membantu mengajar di Seminari Stella
Maris dan novisiat. Ia menempatkan diri sejajar, menjadi teman-
bapak-ibu bagi anak didiknya sehingga, seperti dikatakan oleh
Kang Darisman, yang dididik tidak merasa takut dan lebih mudah
menerima nasihat-nasihat beliau sebagai nasihat-nasihat yang
berguna yang berasal dari seorang sahabat (meskipun posisi
sebenarnya adalah seorang pamong). Semangat yang sama itulah
yang saya timba dan terapkan ketika harus terlibat dengan anak-
anak remaja di Legio Maria di salah satu paroki.

:: 35 ::
Romo Martana, bapak rohani yang lebih Fransiskan dari saya
yang mengaku diri Fransiskan ini, sugeng kondur lan pinanggih Romo
ing Swargo lan Bopo Fransiskus, Muder Teresa, Gandhi. Salam.
—SUKARTANTO, O.F.M., bruder,
seminaris Mertoyudan 1982-1986, framinor@cbn.net.id

:: 36 ::
Jiwa yang Bersahaja

SORE DI MEDAN MADYA. Suasana cerah. Terdengar suara burung


bernyanyi di rimbunnya Seminari Mertoyudan. Aku dan kawan-
kawan telah selesai mandi dan siap dengan acara bacaan rohani.
Entah ada dorongan apa, aku beranjak ke kamar Romo Martana,
pamong dan pembimbingku. Beliau tampak sedang membaca,
selepas berbenah diri. Sandal jepit eks ban yang menjadi trade-
mark-nya tampak bangga bertengger di sudut ruangan, menyapa
kehadiranku. Kali ini wajah Romo tampak serius, namun terbersit
keceriaan hatinya.
“Romo, saya mau konsultasi pribadi,” kataku. Sekitar satu
jam lamanya kami mengobrol, tidak saja tentang diriku sendiri,
tetapi juga tentang dirinya. Antara lain, ia memberi saran, bagai-
mana aku harus banyak-banyak refleksi. “Hidup yang tampak
ramai terus menjadi kurang berisi. Sebaiknya setiap hari kamu
mengadakan refleksi pribadi,” sarannya.
Approchable, mudah didekati, itulah Romo Martana. Rasanya,
selama di seminari dialah pamong yang paling mudah didekati.
Tanpa beban kita bisa berbicara dengannya, bahkan minta per-

:: 37 ::
tolongan pribadi. Tidak ada perasaan takut dan ngeri men-
dekatinya. Beberapa kali dengan santai ia tampak mengundang
beberapa seminaris ke kamarnya, lalu mengajak nyanyi, diiringi
organ Yamaha.
Di kesempatan lain, ia mengajarkan lagu baru di antara
kerumunan anak bimbingannya. Seminaris seangkatan saya tak
ayal akan kenal sekali dengan lagu Bridge over Troubled Water, First
of May, dan lagu The Boxer yang legendaris itu. Saya ingat, diriku
dan Sigit yang kemampuan gitarnya pas-pasan saja dengan penuh
semangat berusaha mempelajari petikan lagu The Boxer tersebut.
Sementara itu, Rusdin, yang kemampuan vokalnya tidak bisa
dibilang hebat, menyanyikan lagu-lagu itu dengan penuh gembira.
Romo Martana mudah didekati karena kesederhanannya.
Orang tahu, ia orang jenius, mumpuni di segala bidang: saat belajar
nilai akademisnya menonjol, sementara kemampuan musiknya
luar biasa. Tapi itu sangat kontras dengan pembawaannya yang
supersederhana. Dia tidur di papan kayu. Ia juga tidak pernah
necis, menyisir rambut sekenanya, memakai pakaian sedapatnya
(kaos atau baju lengan pendek), dan ujung kemejanya tidak pernah
dimasukkan, dibiarkan tergerai.
Suatu ketika, ia berbicara soal kesucian di depan para semi-
naris. Menurutnya, kesucian dekat dengan kesederhanaan. Ia lalu
menyebut sejumlah santo-santa, termasuk Bunda Teresa yang
dikaguminya. Kesederhanaan itulah yang membuatnya tidak
pernah merasa berkuasa di depan anak didiknya. Saat-saat bim-
bingan medan dipakainya untuk menyampaikan pendapatnya soal

:: 38 ::
ini dan itu. Kekecewaannya biasanya ia lontarkan dengan sindiran-
sindiran halus sehingga tidak pernah menyakitkan hati.
Pada saat kelas tiga dan diberi waktu untuk berefleksi guna
memutuskan untuk memilih jurusan imamat, terbersit di benak
saya sosok Romo Martana sebagai teladan romo projo yang ideal,
bila kelak aku telah meraihnya. Saya tidak pernah menjadi romo,
tapi nilai-nilai yang kudapat darinya bisa kuterapkan di bidang
lainnya.
Selepas seminari, saya tidak bisa sering bertemu Romo
Martana, kecuali satu dua kali bertemu secara sekilas saja. Kalau
tidak salah, pertemuan terakhir adalah saat adiknya, Benny,
meninggal dunia.
Setelah itu, saya mendengar Romo Martana berkarya dengan
gigih di banyak tempat, termasuk di pedalaman Kalimantan Barat.
Meski demikian, pribadinya melekat dihatiku. Dan ketika aku
berbicara tentangnya, ada rasa bangga pernah mengenal dan di-
bimbingnya.

Engkau sinar kesederhanaan


yang menyinggahi setiap relung hati
yang merindukan kesejatian hidup
Kesucianmu memancar dari kebersahajaan
dan jiwamu kokoh dalam penderitaan
kepergianmu cermin bagi dunia
untuk kuat dalam lara, berteguh dalam cinta
Dalam keabadian

:: 39 ::
berbahagialah kini kau bersama Bapa,
yang kauabdi dan kaupuja
dalam segala pengabdian

— ANTON SUDARISMAN,
seminaris Mertoyudan 1982–1986, hrec@telkom.net

:: 40 ::
Pembimbing Sekaligus Teman

S OSOK R OMO M ARTAN A TIDAK PERN AH TERLUPAKAN dalam


ingatanku. Beliaulah yang turut meyakinkanku untuk terus pada
pilihan sebagai Fransiskan. Dia berkata, “Sunar Suryo, kalau
pilihanmu memang ke Fransiskan, jangan pernah ragu. Kalau
Romo Rektor keberatan terhadap pilihanmu, kita bersama-sama
menghadap.” Sebelumnya, sudah tiga kali aku menghadap rektor
tapi rekomendasi tetap tidak diberikan. Waktu itu Rektor memang
membujukku kepada pilihan lain. Maka aku berkeluh kesah ke-
pada Romo Martana sebagai pembimbing rohaniku.
Banyak hal tentang hidup aku pelajari darinya. Sekarang,
sebagai Fransiskan, aku menemukan jawaban yang tersimpan
dalam diri dan hidupnya. Rupanya dia sungguh pengagum dan
penghayat Fransiskus Assisi.
Mendengar berita beliau berpulang, di satu pihak aku merasa
sedih, namun di pihak lain aku juga bersyukur karena Minggu, 3
April lalu, setelah mengikuti tahbisan diakon di Kentungan, aku
sempat mengujungi beliau di Panti Rapih sebelum pulang ke
Sindanglaya. Waktu masuk ruangannya, aku kaget, haru, dan

:: 41 ::
Frater Martana pada masa tahun orientasi pastoral di Wonosari.

:: 42 ::
prihatin melihat kondisi beliau.
“Aduh, Tuhan, kok begini kondisi
Romo Martana. Namun aku yakin,
Engkau punya kehendak yang
terbaik baginya,” demikian kataku
dalam hati. Aku tak mampu berkata-
kata. Bersama Romo Hari dan
Romo Beny, yang sama-sama sedang
besuk, kami berdoa dalam
keheningan masing-masing.
Romo Martana, selamat jalan
bersama Bapa Suci kepada Bapa di
surga. Terima kasih, Romo telah
menyediakan diri sebagai teman dan
pembimbingku. Ikut berduka untuk
para romo dan umat Keuskupan
Agung Semarang.

— ROBERT S. SURYA PRANATA, O.F.M.,


imam, seminaris Mertoyudan 1982-
1986, suryoofm@yahoo.com.au

Frater Martana mengucapkan ikrar


pada upacara tahbisan diakon.

:: 43 ::
70 × 7

AKU SELALU INGAT HARI-HARI ketika kami mengorbankan beberapa


siesta untuk berlatih folk song bersama Romo Martana, pamong
kami. Tempatnya di lapangan sepak bola, dekat gawang utara.
Itu saat-saat menjelang perlombaan folk song Malam Musik
Seminari. Romo Martana begitu canggih meracik aransemen
untuk lagu ... apa ya? Judulnya aku lupa, je! Romo juga memainkan
gitar, memberi contoh pada Murtopo, Untoro, dan teman-teman.
Aku yakin, pasti kelak menang. Dan betullah, kami yang masih
kelas 1 itu ternyata mengalahkan kakak-kakak kelas dan tentu
saja adik kelas MP. Lalu muncul kehebohan. Para kakak kelas
merasa tidak puas, “Wo, lha diajari pamonge, pantas menang.” Aku
sendiri mung klecam-klecem sambil dalam hati membenarkan
keberatan mereka. Tapi, keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.
Syukur alhamdulillah.
Aku juga masih hafal lagu Mas Tana yang nadanya diambil
dari lagu Bimbo, Tante Sun. Aku lupa siapa yang mengarang
syairnya.

:: 44 ::
Mas Tana, o Mas Tana, Romo yang sregep
tiap hari pergi mengosek WC,
memakai kaos putih, celana putih juga
O Mas Tana, Romo teladan.
Itu lho, ketekunannya mengosek pispot berdiri sungguh luar
biasa. Ada empat pispot di sana. Sementara kami, para seminaris,
berganti tugas setiap harinya, Romo Martana setiap hari setia di
tempat itu, mengosek WC. Padahal, kami sering buang hajat
ringan seenaknya, pating klepret dan gak kami guyur bersih. Yang
dilakukan Romo Martana betul-betul teladan kerendahan hati
yang sejati.
Hampir setiap makan siang, Romo Martana memilih ikut
makan bersama para seminaris di Refter Besar. Menunya ya menu
seminaris. Padahal, kami tahu, menu makanan di refter Domus
patrum (tempat tinggal para romo) lebih enak dan menarik.
Dalam sebuah pertemuan medan dia mengatakan, “Saya
adalah bapakmu dan ibumu.” Itu kutangkap sebagai usahanya
yang sungguh-sungguh mau mengundang semua seminaris untuk
dekat padanya, tanpa perlu takut-takut. Anggap saja seperti bapak,
bahkan ibu sendiri sekaligus. Lalu, pada akhir pertemuan, dia pun
meninabobokan kami, seperti seorang ibu yang meninabobokan
anaknya. Diambilnya gitar, lalu ia pun menyanyi: “Tidurlah intan,
tidurlah permata hatiku. Hari telah malam ....” Aku melangkah ke
dormit (ruang tidur) dengan penuh kelegaan, meresapkan kata-
kata lembut, manis, nan mengharukan. Tak seorang pun pernah
meninabobokan aku seperti itu.

:: 45 ::
Suatu kali ia pernah menjelaskan makna sabda Yesus,
“mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali”. Dia mengatakan bahwa
itu artinya kalau kamu berbuat salah, kamu boleh datang padaku
untuk minta maaf, dan aku akan memaafkan. Setelah itu, kalau
kamu berbuat salah, kamu boleh datang lagi minta maaf dan aku
akan memaafkan, begitu seterusnya. Kata-katanya itu persis
ditepatinya dalam hidup sehari-hari. Kami, para seminaris yang
sering mencuri-curi nakal, selalu dimaafkan. Ia tidak pernah
marah. Ia selalu mencoba pertama-tama mengerti, memaklumi,
memaafkan. Apa yang diajarkannya, itu yang dilakukannya. Tidak
ada tafsir Kitab Suci yang lebih jelas daripada itu.

— Y.E. HERU MURCAHYANA, S.J., imam,


seminaris Mertoyudan 1982-1986, spmratu2@indo.net.id

:: 46 ::
Menghafal Nama Tiap Orang

S EBAGAI IMAM MUDA ketika ditugaskan di Mertoyudan, Romo


Martana mencoba mengerti jiwa para seminaris yang “nakal”.
Dengan kelembutan, kesabaran, keramahan, dia mendampingi
kita. Rasanya jarang, bahkan tidak pernah, dia marah. Dia
menegur, tetapi dengan gayanya yang khas, lembut. Dia berusaha
secepat mungkin mengenali kita dengan menghafal nama dan
disebutnya nama kita masing-masing ketika membagi komuni.
Tetapi kadang kita menyalahgunakan kebaikannya,
berbondong-bondong “minta ijin” untuk istirahat di dormit
(padahal sebenarnya bukan minta ijin tapi memberi tahu, lha
cuman nulis di papan bahwa kita pura-pura pusing). Dan hasilnya,
beliau ditegur Romo Rektor.
Dengan kesederhanaan (selalu pake kaos putih dengan
gambar tikus yang nyaris keinjek) dia membantu kita opera di
WC. Secara tidak langsung itu memaksa kita untuk bekerja dengan
sungguh padahal bau, to. Banyak kesan positif tentang dia, belum
lagi bagaimana dia membenahi permusikan di seminari.
Terima kasih, Romoku yang tercinta. Selamat jalan.

— EDY PRASETYA, PR., imam, seminaris Mertoyudan 1981-


1986, smashforacause@yahoo.com

:: 47 ::
Peristiwa di Depan Kapel Besar

ROMO MARTANA ORANG YANG HEBAT: hebat dalam membina kita


semua, hebat dalam kesederhanaannya, hebat dalam kemiskinan-
nya. Bagiku Romo Martana adalah sosok pribadi yang bisa masuk,
membaur, menyelami, memahami setiap orang yang dihadapinya.
Ada satu peristiwa yang tak pernah kulupa. Mungkin karena
fisiknya yang kecil, tidak meyakinkan bahwa dia seorang pamong,
Romo Martana pernah disuruh oleh seorang anak KPA supaya
masuk ke Kapel Besar untuk berdoa malam. Nada bicara anak
itu—kalau nggak salah Jumari namanya—tentu saja yakin dan
penuh wibawa, sebagaimana layaknya suara seorang “kakak kelas”.
Romo Martana, dengan sabar dan senyumnya yang khas, masuk
ke dalam kapel, mengikuti perintah sang “kakak kelas”.
Hari ini aku memimpin koor di gereja. Salah satu lagunya
berjudul Kristus Tlah Menang, karya Romo Martana. Aku berdoa
agar beliau juga menang bersama Kristus, Alleluya. Selamat jalan,
Romo Martana. Selamat jalan, Bapak dan Ibuku.

— IGN. UNTORO, seminaris Mertoyudan 1982-1986,


untheny@telkom.net

:: 48 ::
Nilai Sebutir Nasi

SEJUJURNYA SELAMA INI SAYA SANGAT TERSENTUH oleh kepribadian


dan kehidupan Romo Martana, terutama contoh di meja makan
untuk menghabiskan isi piring. Setiap kali saya melihat para
seminaris atau orang lain yang tidak menghabiskan semua butir
nasi yang ada di piringnya, saya akan selalu mengingatkan mereka.
Romo Martana bilang, “Sebutir nasi ini pun hasil jerih payah
petani. Kita harus menghargai jerih payah mereka.” Kalimat itu
saya ingat betul karena diucapkan ketika saya semeja makan
dengan beliau.
Sepotong cerita itu baru sebagian kecil. Masih banyak lagi
tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati. Kehidupannya
menjadi inspirasi besar bagiku untuk menjalani kehidupan sebagai
imam diosesan Bogor.
Ikut berduka cita untuk para romo dan umat Keuskupan
Agung Semarang. Selamat jalan dan selamat berbahagia buat
Romo Martana yang sedang menikmati pesta surgawi bersama
Bapa Suci Yohanes Paulus II. Selamat Paskah buat rekan-rekan
semua.

— RD. F.X. SUYANA, PR., imam, seminaris Mertoyudan 1986,


fxsuyana@keuskupanbogor.org

:: 49 ::
Konser Maestroyudan

HARI SABTU PETANG, 21 FEBRUARI, aku, Jager, Kukul, Didiek, dan


Dwiko bezoek Romo Tana di Panti Rapih. Waktu datang, beliau
lagi tiduran njingkrung, menahan sakit, sehingga salaman saja
cuman ngangkat tangannya.
Untuk aku dan Dwiko ini sudah bezoek-an ketiga selama
hampir tiga bulan Romo Tana di rumah sakit. Yang pertama
Desember, meskipun waktu itu HB lagi tur un (langsung
disedotkan darahnya Kris yang kebetulan cocok) Romo Tana
masih bisa hahahihi. Yang kedua sehabis kemoterapi awal.
Meskipun rambut mulai rontok, Romo Tana masih bisa ketawa
mengepalkan tinju waktu aku bilangin rambut rontok gitu malah
ngirit shampoo.
Jadi, agak kaget juga menyaksikan kondisinya yang seperti
itu. Jager mencoba menghangatkan suasana dengan cerita lucu
yang dengan lanyah lunyu keluar dari lambe ndower-nya. Meskipun
tampak kesakitan, Romo Tana mulai ketawa. Waktu aku bilangin
kalau kita datang spesial membawa Jager untuk nyanyi (karena
denger-denger Romo Tana kalau pagi suka main organ di kapel
sambil bawa-bawa selang infus), Romo Tana langsung bangkit,
mengambil keyboard di atas almari pakaian.

:: 50 ::
Romo Tana duduk bersila di atas tempat tidur dan mulai
main. Jager minta iringan Ave Maria Schubert dan mulailah dua
maestro musik dan nyanyi ini memadukan jurus seni mereka yang
indah. Selesai lagu pertama, Romo Tana langsung ngabani Jager
untuk Ave Maria Bach yang juga dimainkan dengan sempurna.
Di lagu kedua ini Romo Tana mulai “hidup” lagi, kepalanya
goyang kiri kanan seperti Stevie Wonder. Lagu berikutnya Love
of My Life-nya Queen, favorit kita waktu di Mertoyudan. Kita yang
nggak nyanyi mulai mencet HP untuk broadcast pentas musik ini
ke teman-teman lain. Lagu berikutnya Ich Bete an Die dan beberapa
lagu lagi mengalir dengan lancar.
Waktu berhenti sejenak, telepon kamar berdering, diangkat
oleh Didiek. Ternyata dari ruang perawat. Wah, kita sudah nggak
enak, jangan-jangan kena tegur karena malem-malem bikin
kegaduhan. “Diek, bilang aja kita lagi ibadat, dipimpin dua pastor
dari Roma” Ternyata kebalikannya. Suster bilang, ada pasien dari
kamar sebelah minta lagu Ave Maria-nya Schubert diulang lagi.
Ternyata selama kita nyanyi-nyanyi, pasien-pasien dan suster
perawat pada ngumpul di depan kamar Romo Tana untuk
mendengarkan konser “Maestroyudan” ini. Jadi, waktu kita
berhenti, mereka pengin lagi.
Konser pun diteruskan sampai jam 10 malam. Beberapa kali
timbul “keributan” kecil karena Romo Tana menunjuk lagu di
buku Puji Syukur (wong nggak bisa ngomong jelas, jadi ya mung
tudang-tuding), sementara Jager bilang nggak tau, bisanya yang
versi Madah Bakti. Akhirnya, Romo Tana ngalah mengiringi Jager

:: 51 ::
nyanyi lagu dari Madah Bakti. Lagunya selang-seling pop, liturgi,
klasik, dan lain-lain. Pokoke sak kecekele, sak senenge sing nyanyi lan
sing ngiringi.
Tampak sekali betapa Romo Tana menemukan kembali
hidupnya dan melupakan segala rasa sakitnya ketika main musik.
Jager lalu bilang, “Mo, nanti kalau sudah dhangan (sembuh), kita
akan kumpulkan semua teman-teman, lalu misa bareng dengan
anak istri.” Didiek langsung nyeletuk, “Wis, sesuk esuk kita misa
aja, di kamar ini aja.” “Kalau bisa, di kapel aja. Ada organ gede.”
“Oke. Besok kita shooting sekalian.”
Romo Tana setuju misa di kapel, dia yang akan pinjam tempat
pada suster. Akhirnya, disepakati misa hari Minggu jam delapan
pagi di kapel Panti Rapih. “Lagunya saka Madah Bakti, wis,” begitu
kata beliau. Ini sekali lagi menunjukkan kerendahan dan kebesaran
hati seorang F.A. Martana, yang notabene adalah anggota tim
penyusun lagu-lagu di Puji Syukur. Dia tahu bahwa kita murid-
muridnya pengikut setia aliran Madah Bakti.
Paginya aku ngaturi bapak dan ibu mertua ikutan misa di kapel
Panti Rapih (kalau di Yogya tiap hari minggu tugasku memang
antar jemput beliau-beliau ke gereja). Mampir gereja Mlati
sebentar ambil peralatan misa in case yang di kapel kurang atau
apa. Sampai di Panti Rapih, Didiek dan keluarga besarnya sudah
rapi duduk berdoa pagi. Romo Tana, meskipun dengan selang
sonde keluar dari hidungnya, tampak sehat. Dengan a-ak u-uk
plus bahasa isyarat, dia bilang kalau sudah pesan tempat di dekat
refter susteran (samping kapel) untuk acara nanti sehabis misa.

:: 52 ::
Sebentar kemudian, Jager datang bersama Putu, wanita paling
mulia di dunia (soale gelem dadi bojone Jager).
Pagi itu Jager tampil istimewa. Carane pitik jago wis dibanyu
kempling, nganggo klambi batik, sepatu cethok, ambune wangi. (Jarene
Dwiko: mungkin merga arep di-shooting.) Sebentar kemudian Sutadi
“Kukul” kelihatan batang kukulnya. Sementara Kukul dan Didiek
ganti jubah di sakristi, Romo Tana dan Jager berdiskusi di dekat
organ, merundingkan lagu dan musik yang akan dimainkan. Aku
dadi kostere Romo Tana nyepak-nyepake tempat ludah, tisu, dan
ubarampe P3K. Aku njur kelingan melakukan hal yang sama untuk
almarhum bapakku yang juga kena kanker tahun lalu. Beberapa
menit sebelum misa, Romo Tana naik ke kamar untuk disonde
(dimasuki makanan cair melalui selang yang dimasukkan dari
hidung sampai perutnya).
Akhirnya, semua siap. Tukang jepret dan tukang sorot yang
dibawa Didiek juga on position. Romo Tana sudah siap dengan
organ dan Jager sudah berdiri khidmat di mimbar, siap
mengamalkan mantra Bene Cantat Bis Orat. Bernyanyi dengan baik
sama dengan berdoa dua kali.
Misa dipimpin oleh “Don Kukul Lorenzo” [Sutadi, Pr.], calon
kardinal pengganti Ratzinger bersama “Don Didiek Wirasmo”
[Wirasmohadi Soeryo, Pr.], calon uskup Bandung yang pagi itu
tampak gagah mengenakan stola batik Nataraja bikinan Jager.
Aku lali misa hari itu diawali dengan lagu apa. Yang jelas,
lagu dari Madah Bakti. Yang aku ingat adalah cerita Kukul di
pembukaan tentang seorang guru yang duduk dikelilingi murid-

:: 53 ::
muridnya. Guru itu bertanya, “Siapa di antara kalian yang meng-
khianati aku?” Satu orang muridnya mengangkat tangan, “Aku,
ya Guru.” Lalu mereka makan-makan dan minum anggur sampai
puas. Kali lain guru itu berkumpul lagi bersama murid-muridnya
dan menanyakan pertanyaan yang sama. Kali itu ada beberapa
muridnya yang mengangkat tangan. Guru itu tidak marah dan
mempersilakan murid-muridnya makan-makan dan minum
anggur sampai puas. Sampai pada suatu malam, guru dan murid-
muridnya kembali berkumpul. Sebelum makan, dia bertanya lagi,
“Siapa di antara kalian yang telah mengkhianati aku?” Kali ini
semua muridnya mengangkat tangan, “Kami semua telah
mengkhianatimu, ya Guru.” Tetapi guru itu tidak menunjukkan
kemarahan sama sekali, bahkan semakin ramah mempersilakan
murid- muridnya untuk menyantap hidangan makan malam dan
minum-minum anggur sampai puas.
Kukul menguraikan, situasi itulah yang mungkin terjadi
sekarang ini pada Romo Tana dan murid-muridnya. Yang jelas,
Romo Tana sebagai salah satu penyusun Puji Syukur telah
“dikhianati” murid-muridnya yang tetep pathok bangkrong pakai
Madah Bakti. Tetapi dia tidak marah sama sekali, bahkan dengan
senang hati mengiringi murid-muridnya menyanyikan lagu-lagu
dari Madah Bakti. Daftar pengkhianatan ini akan bertambah
panjang tak berujung kalau kita mau mendaftar kelakuan kita yang
tidak sejalan dengan apa yang telah diajarkan oleh Romo Tana.
Seperti guru agung di cerita itu, Romo Tana sama sekali tidak
marah atas “pengkhianatan” itu. Dia tetap menerima murid-

:: 54 ::
muridnya dengan kebesaran dan kegembiraan hati. Menurut
Kukul, itu bisa terjadi karena memang tidak ada kosa kata lain di
hati Romo Tana selain ketulusan dan kebaikan. Sama seperti
Tuhan menciptakan dunia, di hati Romo Tana semuanya itu hanya
baik adanya.
Pembukaan ini membawaku menerawang jauh ke masa-masa
hampir 20 tahun yang lalu ketika Romo Tana yang fresh from
tahbisan dibenum jadi pamong kita, angkatan yang paling
fenomenal, baik dari jumlah murid maupun kebengalannya. Tetapi
kalau diingat-ingat, justru berkat kebaikan dan ketulusan Romo
Tana anak yang superbengal pun jadi kuthuk nurut, jadi anak manis.
Paling tidak, kalau mau ndhugal, anak-anak ini akan melakukannya
sedemikian rupa sehingga di luar jangkauan Romo Tana. Rasanya
nggak enak aja kalau sampai Romo Tana tahu.
Selesai renungan pembukaan oleh Kukul, Jager rada clingak-
clinguk, nyedhaki aku. “Bar iki apa, to?” Wah, cilaka, lha urutan misa
lali kok malah takon aku. Itu ibarat bertanya arah kepada orang
buta. Romo Tana mung mesam-mesem nonton kelakuane murid-muride.
Beliau langsung mencet organ. Jrenggg. Nah, kelingan: Tuhan,
kasihanilah kami.
Bagaimanapun juga, Jager memang punya kelas, langsung in
dengan suara bening keluar kuat dari lambe ndower-nya. Selesai
itu, Didiek langsung menyambung dengan Kemuliaan kepada Allah
di Surga, yang kemudian diteruskan Jager dan umat.
Ya, misa hari itu memang disetel penuh lagu dan musik. Doa
pun kalau bisa dinyanyikan, paling tidak diiringi musik dan lagu.

:: 55 ::
Susah bagiku untuk menggambarkan suasana musik dan lagu
dalam misa itu. Yang jelas, dua maestro Romo Tana dan Jager
pagi itu tampil prima. Seperti malam sebelumnya, begitu main
organ, Romo Tana seakan lupa dengan penyakitnya. Kepalanya
bergoyang ke kiri ke kanan mengikuti tarian jari-jarinya yang
mengalirkan suara agung indah. Demikian juga Jager sama sekali
tidak tampak tanda-tanda kelelahan meskipun malam sebelumnya
aku drop di depan pintu rumahnya jam dua pagi.
Setelah bacaan Injil oleh Didiek dengan suaranya yang adhem
antep itu (liya dina, Romo Tana ngrasani suarane Didiek “cen gandem,
cen cocok dadi calon uskup”), Kukul kembali lagi mengguncang
sanubari dengan cerita khotbahnya. Kali ini diceritakan seorang
uskup yang sangat disegani karena tulisan-tulisannya mengenai
teologi penderitaan. Kemudian uskup itu sakit dan cuma bisa
tergolek di ranjang atau duduk di kursi roda. Perangainya langsung
berubah, jadi murung, mudah marah, dan sebagainya. Suatu hari
para pastornya berkumpul dan mengatakan, “Monseigneur, kami
telah membaca buku-buku Monseigneur dan menjadikannya
pegangan hidup kami. Tetapi kami menjadi heran. Mengapa ketika
sakit sikap Monseigneur sangat berbeda dengan yang Anda tulis
di buku?” Uskup tersebut dengan marah menjawab, “Yang aku
tulis itu ternyata omong kosong semua. Buku itu aku tulis ketika
aku masih sehat, kuat, dan tidak menderita seperti ini.”
Cerita mengenai uskup tadi sangat bertolak belakang dengan
keadaan Romo Martana. Romo kita ini tidak menulis buku atau
berkhotbah tentang teologi penderitaan. Tetapi dalam penderita-

:: 56 ::
annya dia menunjukkan contoh nyata bisa menghibur orang lain
dengan musiknya. Pengalaman konser musik kamar pada malam
sebelumnya dan konser musik kapel pagi ini menunjukkan bahwa
justru kita semua yang terhibur dan bersukacita, menikmati
keindahan musik yang dimainkan Romo Tana. Sebuah peng-
alaman yang sungguh mencerahkan dan menyegarkan jiwa.
Kemudian Kukul bercerita tentang pengalamannya bersama
Romo Tana ketika jadi pamong kita di seminari. Berbeda dengan
pamong yang lain, setiap kali opera sore dan malam, Romo Tana
selalu ikut bekerja dengan kita. Dan pekerjaan yang dipilihnya
adalah mengosek WC. Itu pun tidak dikerjakan dengan sikat WC
yang bertangkai panjang, tetapi dengan sikat biasa di tangan kanan
dan gayung air di tangan kiri. Bayangkan seorang guru mengosek
WC, tempat paling kotor di dunia, bekas kencing dan tai murid-
muridnya! Lebih dari sekadar membasuh kaki muridnya!
Kukul tidak mampu melanjutkan khotbahnya. Beberapa
orang mbrambangi. Suasana menjadi hening.
Aku menyibukkan diri dengan mengurus “pasien” yang kere-
potan membuang ludah dan ingus. Sebentar-sebentar Romo Tana
memang harus membuang ludah karena sakitnya yang di pangkal
lidah membuatnya makin sakit kalau harus menelan ludah. Untuk
itu disediakan cangkir dari stainless steel dan tiap kali aku tinggal
membuang dan mencucinya di wastafel yang ada di sakristi.
Misa dilanjutkan dengan persembahan, diiringi lagu dan
musik dari dua maestroyudan. Jager kembali mengalunkan lagu
Ich Bete an Die dengan iringan musik yang prima dari Romo Tana.

:: 57 ::
Panis Angelicus, lagu wajib waktu komuni, dinyanyikan dengan
prima. Pada ulangan kedua, kita semua ikutan nyanyi. (Aku juga
ikutan, lho, tapi cuman nggrameh aja, takut mengkontaminasi.)
Selesai komuni, Jager memberi pengantar sebentar sebelum me-
nyanyikan Ave Maria-nya Schubert. Bukan yang pakai bahasa Latin
yang sudah familiar di telinga kita itu, tapi pakai bahasa Jerman.
Ya wis, ben sakkarepe sing nduwe lambe, lah. Yang penting oke.
Selesai misa, kita kumpul di hall kecil depan refter susteran
Panti Rapih. Suster-suster sudah menyediakan teh dan kopi. Putu
segera membuka donat yang dibeli buru-buru dari Mirota
Kampus. Acaranya cangkruk santai sambil nyanyi-nyanyi seperti
waktu kita di Mertoyudan dulu (cuman zaman dulu itu nggak ada
donat dan jenis kelaminnya laki semua). Pagi itu terdengar juga
suara sopran (baca: wanita) dari Putu. Jazzy banget! Kapan-kapan
kita ambil spot di Jam Jazz, dah ... tanggung heboh. Atau nanti
kita kumpul lagi di Yogya, Romo Tana kita culik aja dibawa ke
lounge hotel mana gitu. Then we spend the whole night with songs and
music.
Demikian akhir laporan pandangan mata Konser Maestro-
yudan. Hari Minggu berikutnya, Didiek ke rumahku di BSD,
membawa beberapa keping VCD hasil shooting-an selama konser.
Langsung kita tonton rame-rame di kamarnya Kezia. Hasilnya
bagus, gambar jernih, suara bersih. Cuman kita merasa ada be-
berapa editan yang kurang OK. Terutama pas lagu Panis angelicus,
sempat terpotong di tengah. Padahal di lagu ini dua maestro kita
tampil prima. Jager memang sempat goyang dikit terbawa emosi

:: 58 ::
(dia bilang waktu itu membayangkan kesakitan yang dialami Romo
Tana).

— PRASETYO “SINGKONG” YUDHONO,


seminaris Mertoyudan 1981–1985, bakulsengsu@yahoo.com

:: 59 ::
Jalan Menuju Kesucian

ADA MACAM-MACAM JALAN MENUJU KESUCIAN. Paling tidak, ada dua


sebab. Pertama, manusia itu unik. Yang satu berbeda dengan yang
lain. Manusia bukan cetakan pabrik dengan standardisasi rupa
dan kualitas yang sama.
Kedua, kesucian kristen punya titik tolak Yesus Kristus, yang
adalah Allah. Allah adalah sempurna-mutlak. Kesucian manusiawi
bukanlah kesucian Allah. Seribu satu dimensi kesucian yang ada
pada Yesus Kristus tidak mungkin dimiliki hanya oleh satu manu-
sia. Yang terjadi pada diri santo-santa adalah bahwa satu, dua,
atau tiga keutamaan dari Yesus Kristus menonjol dan dimiliki
secara nyata dan konsisten oleh santo A atau santa B. Menjadi
santo bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Justru sebaliknya,
menjadi santo adalah proses seseorang menjadi suci secara terus-
menerus melalui keutamaan-keutamaan tertentu di tengah-tengah
perjuangannya melawan kelemahan-kelemahan dirinya.
Sayang, gagasan dinamika meraih kesucian antara kelemahan
dan keutamaan, antara dosa dan kesucian, kadang, bahkan sering,
tidak ditampakkan oleh para penulis kisah santo-santa. Akibatnya,

:: 60 ::
kisah santo-santa sering menjadi seperti mitos, dongeng sebelum
tidur, atau cuci otak sebelum masuk kepada penggemblengan
menjadi “pasukan-pasukan Gereja”.
Di bawah ini adalah tulisan saya di milis IRRIKA pada tanggal
14 Maret, ketika Romo Martana masih sakit keras, sebagai
ungkapan terima kasih saya atas kesaksian hidupnya yang
menonjolkan beberapa keutamaan Kristen. Sebagai mantan murid
saya sangat mengaguminya, meski juga pernah marah-marahan.
***
Para eks-seminaris Mertoyudan tahun 80-an pasti mengenal sosok
Romo Martana, Pr., dari KAS. Banyak sekali seminaris yang men-
jadikannya idola. Mengapa ia dijadikan idola? Kiranya beberapa
ciri personal di bawah ini dapat dijadikan gambaran.

1. Orangnya supel, ramah, dan siap melayani kebutuhan


seminaris.
2. Ia berjiwa muda.
3. Ia rendah hati. Sekalipun dari keluarga berada, terdidik, dan
tinggal “di dalam benteng Kraton Yogya”, namun gaya dan
tuturnya mencerminkan “Kristus yang mengosongkan
dirinya”.
4. Ia seniman, terutama dalam bidang musik.
5. Ia jenius. Menurut kesaksian teman-teman seangkatannya,
nilai-nilainya selalu optimum.
6. Ia seorang pendoa dan sangat mengagumi renungan-renung-
an dari khazanah spiritualitas Timur, terutama Zen.

:: 61 ::
7. Ia selalu memuji hal-hal positif para seminaris. Jarang ia
mengkritik, apalagi marah.

Point-point positif sengaja dibuat 7 sebagai simbol kesem-


purnaan. Beliau terakhir bekerja sebagai misionaris sejati di
Keuskupan Ketapang. Seperti Bapak Paus, orang sebaik dan sesuci
beliau tidak luput dari duka derita. Sudah lama Romo Martana
mengidap penyakit kanker dan sekarang dalam keadaan kritis,
sudah diminyak suci.
Penderitaan Romo Martana berpartisipasi dalam penderitaan
Kristus yang sedang kita renungkan dalam masa (pra)Paskah ini.
Dengannya penebusan atas dosa-dosa manusia, dosa-dosa para
imam dan jemaat, dibersihkan. Marilah kita berdoa untuk beliau.
Dan semoga para mantan muridnya dapat menimba kesucian yang
memancar dari imamat beliau.

— YUSTINUS SULISTIADI, PR., imam,


mantan seminaris Mertoyudan, wsangiran@yahoo.com

:: 62 ::
Cerita Para Mitra

:: 63 ::
Penderita yang Memeluk Deritanya

SEJAK 19 DESEMBER 2003 SAYA BERTUGAS merawat Romo Martana.


Beliau adalah seorang pasien yang tidak pernah mengeluh akan
deritanya, memiliki semangat hidup yang tinggi, disiplin, namun
penuh pengertian, sumarah, dan penuh kasih. Saya bersyukur
karena berkesempatan merawatnya.
Beliau taat dan tekun menjalani perawatan dan tindakan medis
meski semua itu amat tidak nyaman dan menyakitkan. Beliau
menjalani semuanya dengan senang hati. Tindakan tersebut antara
lain peng gantian selang sonde, kemoterapi, radioterapi,
brakiterapi, trakeostomi, dan terakhir gastrostomi. Tindakan lain
yang beliau jalani dalam sela waktu kemoterapi adalah operasi
kaki ketika beliau mengalami kecelakaan lalu lintas. Beliau
menjalani semua tindakan itu dengan hati gembira dan tanpa
mengeluh. Seiring berjalannya penyakit dan saat rasa sakit menjadi
bagian dari hidupnya, beliau mampu memeluk rasa itu tanpa
mengeluh.
Beliau hafal hari ulang tahun kami, para perawatnya, bahkan
saat kondisi tubuhnya sudah lemah, tidak mampu lagi untuk

:: 64 ::
berbicara, beliau masih menyempatkan diri menulis ucapan
selamat untuk seorang perawat yang berulang tahun. Beliau selalu
menyambut kami dengan sapa dan senyum serta sumedulur. Itulah
sebagian kasihnya yang kami alami.
Kami tahu, Romo Martana adalah seseorang yang mencintai
musik dan hidup di dalamnya. Karena itulah beliau amat
mendukung kami saat akan diadakan lomba koor dalam rangka
memperingati ulang tahun RS Panti Rapih ke-74 pada bulan
September 2004. Berkat ketekunan, usaha, dan semangat beliau
sebagai pelatih, paduan suara kami yang bernama Paduan Suara
Magnificat mendapat juara pertama.
Romo Martana pernah mengatakan kepada saya bahwa saat
beliau belum mulai dirawat di RSPR, beliau sudah merasa dalam
suatu kondisi yang beliau rasakan “siap untuk berpulang”. Setelah
menjalani serangkaian tindakan medis dan perawatan, beliau mulai
merasakan suatu perbaikan kondisi. Itu memberinya semangat
dan optimisme untuk sembuh. Kendati demikian, beliau tetap
memasrahkan apa yang terjadi selanjutnya sepenuhnya pada
kehendak dan kuasa-Nya.
Beliau adalah seorang yang rendah hati. Beliau pernah
mengatakan bahwa dengan mendoakan orang lain yang sedang
menderita, beliau mendapatkan kekuatan dan beliau menyadari
bahwa penderitaannya amat tidak sebanding dengan penderitaan-
Nya di kayu salib. Meski sakit, beliau merasa bersyukur karena
mendapatkan kasih dan perhatian, bisa mendengarkan dan me-
nikmati musik, menonton TV saat acara sepak bola, dan mendapat

:: 65 ::
Dalam sakitnya, ia tak pernah kehilangan
kegembiraan dan penghiburan.

:: 66 ::
fasilitas yang nyaman, sementara Dia saat disalibkan hanya punya
cawet yang menempel di tubuh dan dicemooh pula.
Pada satu titik, kondisi Romo Martana yang sudah mulai
membaik itu ternyata berubah. Sel-sel ganas di tubuhnya menjadi
residif, progresif, dan resisten. Romo Martana terpaksa meng-
gunakan trakeostomi untuk bernafas dan gastrostomi untuk
memasukkan makanan. Untuk berkomunikasi secara verbal pun
sudah kesulitan, dan kondisi umum semakin menurun.
Meskipun segala upaya medis dan keperawatan yang me-
mungkinkan sudah dilakukan, namun apalah daya, semua itu
hanya upaya manusiawi, dan segala yang manusiawi itu tidak kuasa
untuk menahan kehendak-Nya.
Saya masih ingat pagi itu, saat Romo Martana akan berpulang
ke rumah-Nya, beliau masih tersenyum, mengangguk, dan meng-
acungkan jempol saat menyambut kehadiran saya. Ketika saya
bertanya, “Romo sudah berpasrah?” Beliau tersenyum dan
menganggukkan kepala.
Akhirnya, kondisi Romo Martana semakin menurun. Kami,
tim medis, keluarga, dan beberapa teman beliau, mendampingi
dan menuntunnya dalam doa hingga detik beliau berpulang dalam
ketenangan. Di balik penderitaan ada kemuliaan. Tuhan
memandang sudah cukup penderitaan yang telah lama Romo
Martana peluk, dan akhirnya Tuhan memberikan kemuliaan,
kedamaian, kebahagiaan abadi dalam rumah-Nya, pada tanggal 5
April 2005, pukul 14.50 WIB.

:: 67 ::
Secara fisik kami merasa kehilangan Romo Martana, namun
kami juga merasakan kebahagiaan karena beliau sudah tidak
menderita lagi. Yang beliau rasakan sekarang adalah kebahagiaan
abadi dalam kemuliaan-Nya.
Terima kasih, Romo Martana, atas kebersamaan dalam
suasana kekeluargaan dan atas kasih yang telah boleh saling kita
berikan. Dari sikap hidup Romo selama menjadi pasien kami,
ternyata banyak nilai hidup yang bisa kami petik. Nilai hidup itu
antara lain bersikap rendah hati, peduli pada penderitaan sesama,
bersaudara, memiliki semangat hidup namun tetap berpasrah,
tidak pernah mengeluh akan ketidaknyamanan hidup dan rasa
sakit, tetap gembira meski sakit, dan memeluk penderitaan dengan
hati dan menyatukannya dengan penderitaan-Nya.
Kami menyadari bahwa kami adalah bagian dari hati, tangan,
dan kaki-Nya dalam karya pelayanan kesehatan. Namun, kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa kami tak berdaya apa pun
tanpa rahmat dan tuntunan-Nya. Kami mohon Romo mendoakan
kami agar Tuhan berkenan memberikan daya dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat merawat dan melayani para pasien dengan
senang hati dan cinta serta setia dalam tugas perutusan ini.
Terima kasih, Romo Martana. Terima kasih Tuhan atas
semuanya. Romo Martana, selamat hidup dalam kedamaian dan
kebahagiaan abadi bersama-Nya.

— CHATARINA ENDAH TRI YULIANI, perawat


Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta

:: 68 ::
Sang Misionaris Domestik

Kurenungkan sabda-Mu Tuhan


Sabda penuh kebenaran
Kuresapkan di dalam kalbu
Agar selalu jadi milikku

SEPENGGAL LIRIK LAGU DI ATAS KUKENAL ketika aku masih duduk


di bangku SD. Aku senang sekali menyanyikannya. Di rumah
sering kali kunyanyikan berduet dengan adikku, Janti. Waktu itu
aku hanya tahu nama pengarangnya dari tulisan teks (versi
sebelum Puji Syukur): FA Martana CM, Pr. Lagu itu terus bergaung
dalam hidupku hingga sekarang ini. Entah kenapa, yang jelas aku
menyukainya.
Tahun 1995, aku mendapat tugas baru di Ketapang Kali-
mantan Barat. Aku datang dan mulai menekuni tugasku yang baru.
April 1996, saya diminta membantu Keuskupan. Di situlah
saya bergaul dan bekerja sama dengan para pastor. Kira-kira per-
tengahan tahun itu, ada berita bahwa akan ada romo baru dari
Keuskupan Agung Semarang yang akan membantu di Keuskupan
Ketapang, namanya Romo Martana. Pikirku, “Wuah, jangan-
jangan yang mengarang lagu itu!” Aku belum mengenalnya. Saat
datang dan hari-hari pertama di Wisma Keuskupan Ketapang pun

:: 69 ::
ia terlihat acuh. Tetapi diam-diam aku mengaguminya. Amat
sederhana, kesanku.
Mula-mula Romo Martana bertugas di pedalaman, Paroki
Tumbang Titi, lalu pindah ke Paroki Balai Berkuak. Salah satu
pekerjaan saya adalah menjadi penghubung atau kurir untuk para
romo. Demikian halnya dengan Romo Martana. Hampir setiap
kali ada orang yang ke Ketapang, selalu ada surat untuk saya de-
ngan serentetan pesan yang ditulis dengan amat jelas, beserta
tanggal dan jam menulis surat. Lama-kelamaan, saya menjadi kenal
dan dekat dengan relasi dan keluarga Romo Martana. Saya teringat
pada almarhum Mbak Murni di Bogor, yang kalau bertelepon
bisa ngobrol begitu akrab. Hingga sekarang saya tidak bisa
membayangkan wajahnya karena kami belum sempat berjumpa.
Romo Martana jarang turun ke Ketapang kalau tidak penting
sekali. Kalaupun datang, sudah pasti tanggalnya, begitu pula
jadwal kedatangan berikutnya. Ia selalu meninggalkan satu pesan:
“Ojo lali brongkose nganggo balungan.” Maka, begitu tahu Romo
Martana datang ke Ketapang, sayur brongkos sudah siap di
Susteran Sang Timur. Supaya mudah mengambilnya, dibuatkan
dua wadah, yang satu khusus brongkos balungan. Wuah, kalau
sudah makan dengan sayur brongkos, ia bisa tampak begitu
menikmati ngrikiti balungan, apalagi kalau sudah rebutan dengan
Romo Pamungkas. Rasanya senang melihatnya dan ia biasanya
akan langsung berkomentar sambil mengacungkan jempol: “Enak!
Enak tenan! Matur nuwun! Matur nuwun!” kadang sambil manggut-
manggut kepedasan gara-gara nyeplus lombok. Kalau sudah begitu,

:: 70 ::
tidak terasa jam makan menjadi lama, cerita ngalor-ngidul, ger-
geran penuh gelak tawa.
Romo Martana paling senang memakai celana pendek dan
kadang tidak berbaju. Per nah saya menyindir nya dan
ditanggapinya dengan enak dan santai, “Gak popo. Gak popo. Ngene
iki kan merdeka!” Pernah suatu kali beliau hendak menghadap
Bapak Uskup. Saya lihat dia hanya pakai celana pendek dan sandal
jepit. Kembali saya nyeletuk, “Lho, Rom, sowan Monsinyur, kok
mung ngagem celana pendek lan jepitan?” Dengan kata-kata yang
sama beliau menjawab, “Lho, ora popo to? Malah asli.” Begitulah
romo-romo ala pedalaman.
Masih tentang celana pendek. Setelah beberapa kali
pengalaman naik-turun dari hulu ke hilir atau dari pedalaman ke
Ketapang dan sebaliknya, mulailah Romo Martana menerapkan
gaya baru: hanya pakai celana pendek, sandal jepit, atribut atas
tetap lengkap. Saya pun berkomentar, “Lho Rom, apa malah gak
repot? Kalau belepotan debu dan sebagainya, kan bisa sakit di
badan? Lebih nyaman dan aman pakai celana panjang.” Apa
jawaban Romo Martana? “Lho, ngene malah ora repot! Ora ndobel.
Cukup mung ngosoki awak. Ora usah ngumbah celana, opo maneh jeans.
Praktis dan alami, to?” Uh, dasar Romo Martana!
Saya kadang juga dibuat puyeng, tapi saya mencoba untuk
membantunya, rasanya geli juga. Misalnya saja, “Fransine, tulung
golekake bolpoint Pilot loro, warnane abang karo ijo, isine warna biru,
pokoke modele koyo iki, yen ora ono ora usah!” Wah, mumet tenan! Cari
pilot model lama, masih adakah? Setelah keliling-keliling, akhirnya

:: 71 ::
dapat juga. Lain hari, ia minta dicarikan correction pen merk Pentel.
Saya keliling lagi ke toko-toko. Untungnya, kota Ketapang hanya
sebesar kota Kalasan. Sayangnya, kali ini misi saya gagal. Sampai
ke ujung sungai pawan pun tak ada yang namanya Pentel itu. “Wuah,
kok aneh yo? Pentel bae kudu tuku neng Jowo!” katanya. Ya jelas saja,
wong mahal. Siapa yang mau beli di dalam hutan seperti ini?
Romo Martana seorang pribadi yang kukenal begitu
sederhana, rendah hati, siap sedia. Kesederhanaan dan perhati-
annya yang besar sangat mengesankan. Ia begitu enak, enteng,
gampang, siap sedia untuk tugas apa pun. Ia apa adanya. Tidak
ada kata “tidak enak” dan “tidak baik”. Baginya semua baik dan enak.
Peristiwa yang sangat mengharukan bagi saya adalah ketika
beliau sakit dan harus diopname di RS Panti Rapih. Saya sudah
jarang kontak dengan beliau dan saya hanya bisa berdoa baginya
dari jauh. Tiba-tiba pada tanggal 25 Juni 2004, ada SMS masuk,
ternyata dari Romo Martana, isinya: “Fransine, proficiat ya hari
ini ulang tahun profesimu yang ke 15. Pestane opo?” Ya, Tuhan!
Tanpa sadar saya meneteskan air mata. Saya pikir beliau tentu
sudah lupa pada tanggal-tanggal bersejarah saya. Ternyata sama
sekali tidak. Dan saat itu hanya Romo Martana yang memberi
ucapan. Spontan saya balas, “TQ tgl 6 Juli ada misa syukuran di
Kalasan, silakan rawuh, kalau bisa dan kuat.” “Oke, aku tak teko
neng Kalasan”, sambungnya. Tetapi pada harinya, beliau SMS bahwa
tidak bisa datang.
Saya ingat, ketika masih bertugas di Ketapang, suatu hari dia
seperti agak susah bicara. Saya tanya, “Panjenengan ki gerah to, Rom?”

:: 72 ::
Jawab Romo Martana, “Iyo, sariawan, ning wis takobati, kok.”
Tampaknya sariawan itu menjadi awal perjalanan panjang
penderitaannya. Begitu mendengar Romo Martana sakit, di bawa
ke Pontianak, Semarang, lalu ke Jakarta, perasaan hati saya campur
aduk. Saya berdoa pada Tuhan untuk mohon kesembuhan bagi
Romo Martana. Doa saya gencar, bagai menggedor pintu surga.
Kontak dengan romo-romo dan teman-teman di Ketapang terus
bergulir dan juga dengan Romo Martana sendiri melalui SMS.
Ketika ada kesempatan, saya meluangkan waktu untuk
menengoknya di Jakarta dan di Yogya, terakhir bulan November
2004 di Pringwulung. Dalam kunjungan-kunjungan singkat itu,
masih selalu tampak kesederhanaan dan perhatiannya. Ia tidak
memperlihatkan bahwa dirinya sakit.
Ketika mendengar berita keadaannya semakin kritis, doaku
tak henti dan rasanya amat berat untuk merelakan, “Tuhan,
Engkau mahatahu apa yang terbaik bagi Romo Martana!”
Dan pada hari Selasa, 05 April 2005, kurang lebih pukul 15.20
saya terima berita SMS bahwa Romo Martana sudah menghadap
Bapa. Untuk memastikan, saya segera telepon ke rumah keluarga
beliau di Gunung Ketur. Tidak diangkat. Kosong. Ke mana saya
harus mencari kabar? Akhirnya, dengan gemetaran saya telepon
ke HP beliau. Terdengar berita singkat, “Sudah. Jam tiga kurang
lima menit.” Tuhan, inilah kehendak-Mu yang terbaik bagi Romo
Martana.
Selamat jalan, Rom. Terima kasih untuk kebersamaannya.
Doaku bagimu. Doakan juga aku, yang masih berjuang untuk setia.

:: 73 ::
Kesederhanaan dan kerendahan hatinya
yang sangat aku kagumi
otaknya cemerlang
tangan dan kaki cekatan
tiada pilih kasih
semua direngkuh
dalam keberadaan–apa adanya
tiada sesuatu yang jelek
di mata dan hatinya
semua selalu dikatakan: apik! bagus!
kurang lebih enam tahun
aku bersamanya
dalam perjalanan hidup panggilan
sebagai misionaris domestik di Ketapang
aku direngkuhnya
bagai adik kandungnya sendiri
dua tahun telah lewat
penyakit telah menggerogotinya
tapi semangat tetap hidup
aku masih terus berelasi
mengikuti perkembangannya
hingga akhirnya aku harus siapkan diri
tuk merelakan dia lepas dari penderitaannya
dan kembali kepada Bapa
Dalam tetes-tetes air mata, ku berucap:
“Selamat jalan Romo,

:: 74 ::
usai sudah penderitaanmu
dan engkau berbahagia bersama Bapa di surga
Terima kasih atas teladanmu.
Doakan aku”
Kulambaikan tanganku
jauh, jauh, jauh
ditelan kesunyian
namun dalam lagu dan syairmu
senandung kenangan itu terus bergaung
memecah kesunyian, membawa hati kepada
Sang Illahi

—FRANSINE, PIJ, biarawati, pernah bertugas di Ketapang

Apa yang dikhotbahkannya, itu pula yang dilakukannya.

:: 75 ::
Sang Pejalan Kaki

SAAT BERKARYA DI PAROKI KRISTUS RAJA, Ungaran, Romo Martana


rajin mengunjungi umat, khususnya yang miskin, sederhana, ter-
pinggirkan. Dalam kunjungan ke stasi yang jauhnya sekitar 12
kilometer dari pastoran, ia tidak segan-segan berjalan kaki. Mobil
yang disediakan untuknya dipersilakannya mendahului membawa
perlengkapan dan para pengiring. “Silakan berangkat dulu dengan
mobil itu. Saya gampang, bisa jalan kaki, kok.”

— EMILIA SOEDIONO, umat Paroki Kristus Raja, Ungaran

:: 76 ::
Cerita Para Sahabat

Setelah menerima tahbisan akolit. Dari kiri: H.


Natawardaya, F.A. Martana, Fl. Hartosubono, M.
Supriyanto, F.X. Sumarnoto, F.A. Suntoro

:: 77 ::
Siap Berdoa bersama Simeon

PERAWAKANNYA KURUS DENGAN PENAMPILAN yang sederhana. Bicara


dan gerakannya relatif cepat, apalagi kecepatan berpikirnya. Kalau
main catur, belum lima detik setelah lawannya melangkah, dia
sudah menjawab dengan langkah tanggapan sehingga lawan bisa
grogi. Setelah menang, dia masih memuji hal-hal baik yang
dilakukan lawan sambil menunjukkan dengan sopan hal-hal yang
salah atau yang menurut dia bisa lebih baik.
Dia ramah dan baik hati. Perhatiannya pada teman komu-
nikasi sangat besar, seakan langsung berusaha menghayati topik
yang dibicarakan. Tak pernah saya dengar dia menyalahkan orang
lain, apalagi demi menonjolkan kelebihan buah pikirnya walau
mungkin sebenarnya memang lebih baik. Bahkan, dia selalu ber-
usaha mengerti dan, bila perlu, menutup mata terhadap kekurang-
an siapa pun, untuk sebaliknya menghitung yang baik-baik saja
dari mereka. Kami, teman-temannya seangkatan di Mertoyudan,
yakin pasti dibantunya untuk hal-hal yang kami butuhkan yang
dia tahu atau mampu untuk itu. Dan pasti juga bantuan tersebut
tulus serta gratis.

:: 78 ::
Di angkatan kami, IQ dan prestasi studinya nomor satu.
Ketika orang memandang bahwa jurusan IPA lebih superior dari
IPS, dia justru pindah dari IPA ke IPS saat SMA-nya tinggal dua
cawu lagi. Alasannya: humaniora lebih menarik minatnya, mung-
kin lebih cepat mengantarnya pada ilmu hidup dan kehidupan.
Dia hobi dan pandai main musik, bahasa universal yang
banyak dipakainya untuk mewartakan kasih Tuhan.
Setelah tahbisan imamat, dia mengajar di Seminari Mertoy-
udan, melayani umat paroki Klaten, paroki Boro, dan terakhir
“memilih” melayani umat di pedalaman Irian dan Kalimantan.
Orientasi hidupnya sungguh jauh dari “hingar bingar kemajuan
manusia modern” yang menawarkan kemegahan pada siapa saja
yang mau apalagi pada orang dengan talenta seperti dia.
Sekitar tahun 2002 dalam mail list dia menceritakan bagaimana
ia semakin menemukan Tuhan lewat suku-suku di pedalaman Irian
atau Kalimantan dan benua lain yang oleh “orang kota” dianggap
terbelakang. Di lain pihak, dia tetap memuji perjuangan hidup
dan pengamalan kasih teman-temannya di kota. Mungkin karena
begitu puas melihat kerajaan-Nya hadir di tengah-tengah
masyarakat “terbelakang” itu, dia menyatakan, “Sekarang saya
siap berdoa bersama Simeon.” Sontak saja teman-temannya
protes, dengan alasan tenaga dan talentanya masih muda-kuat
dan sangat dibutuhkan untuk mewartakan kabar gembira pada
banyak orang yang tertinggal untuk menikmati kasih Allah.
Akhir tahun 2003, saya dengar dia sakit pada lidahnya yang
akhirnya dinyatakan kanker. Ia menjalani perawatan dan

:: 79 ::
pengobatan di Semarang, Jakarta, dan Yogya. Sekitar Paskah 2004,
saya menjenguknya di RS Panti Rapih. Ia tampak payah, namun
sama sekali tidak mengeluh, malah tetap sangat ramah menyambut
saya dan istri, bagaikan tidak sakit walau bicaranya terganggu.
Tanggal 3 Juli 2004 angkatan kami mengadakan reuni di
Kotabaru. Romo Martana hadir dan, luar biasa sekali, tampak
begitu sehat-gembira serta bersemangat, walaupun statusnya
masih dalam perawatan RS Panti Rapih. Kami semua sangat
senang sampai saya ngarasani dengan istri bahwa ini sungguh
mukjizat, kanker Romo Martana dalam proses kesembuhan yang
signifikan. Ternyata mukjizat itu tidak berlangsung lama. Sekitar
awal Februari 2005 tersebar berita, dia kritis lagi. Kondisinya
menurun terus hingga akhirnya tanggal 5 April 2005 siang, tiga
hari setelah Bapa Suci Yohanes Paulus II wafat, dia betul-betul
pergi menghadap Sang Pencipta, meninggalkan hiruk pikuk dunia
yang sering menjauhkan manusia dari kasih Allah ini.
Kami semua berduka, namun percaya bahwa di surga Tuhan
menyediakan semua yang lebih baik baginya. Kesaksian, karya,
dan hidupnya sung guh memberikan gambaran nyata akan
Kerajaan Allah. Sederhana, ramah, murah hati, tak pernah menge-
luh, tak pernah marah atau menyalahkan, bahkan selalu menghar-
gai dan memuji, rendah hati, pekerja keras dan pandai, sempurna!
Selamat jalan, Romo. Di surgalah tempat yang tepat untukmu.
Doakan kami agar sampai pula ke puncak penghayatan hidup, di
mana kami siap berdoa bersama Simeon.
— MT. BAMBANG M., teman seangkatan di Mertoyudan
:: 80 ::
From : Martana <martana@katolikmail.every1.net>
To : F.X. Sumarnoto <smr@kompas.co.id>
Date : 2002
“Saya tinggal di paroki Balai Berkuak, 300 km dari
kota Ketapang, + 8 jam ditempuh dengan sepeda
motor. Jarak Balai Berkuak–Pontianak 345 km, + 8
jam ditempuh dg sepeda motor (Balai Berkuak–
Pontianak sebagian besar jalan aspal; Balai
Berkuak–Ketapang 60% jalan tanah yg pada musim
penghujan becek dan di beberapa tempat berlumpur).
Balai Berkuak adalah ibu kota kecamatan, kampung
kecil (1/4 kota–3/4 desa), listrik menyala 12 jam,
dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Siang tidak ada
listrik. Ada wartel 1 buah, yg hanya bisa mengirim,
tidak bisa menerima (biayanya cukup mahal: 1 menit
+ Rp 8000–Rp 9000). Tidak ada warung internet. (Di
Balai Berkuak belum ada 1 buah pun komputer.
Maklum listrik hanya menyala 12 Jam).”
“Keuskupan Ketapang punya 17 paroki pedalaman,
kebanyakan masih agak terbelakang dan sederhana.
Semua pastor paroki di pedalaman kendaraannya
sepeda motor. Yg pakai mobil cuma 2 orang: Uskup
dan romo Istejamaya. Memang untuk paroki-2
pedalaman, sepeda motor tebih tepat sebab kadang-
kadang harus masuk jalan setapak di hutan di mana
mobil tak mungkin masuk. Pastor-2 pedalaman pergi
ke Ketapang 2 atau 3 bulan sekali. Kalau pas di
Ketapang, kami bisa buka internet (di Ketapang ada
1 buah warnet). Saya akan ke Ketapang mulai hari
Senin, 6 Mei malam sampai Jumat, 10 Mei, pagi.
Nanti saya akan buka website kita
merto_71@yahoogroups.com Pada hari-hari itu engkau
bisa menelepon saya di nomor 0534-32572, jam 8
malam sampai 6 pagi (siang untuk kantor)”.
“Sebelum berkarya di Balai Berkuak, saya berkarya
di paroki Tumbang Titi, mulai Agustus 1996–
Pebruari 1999. Lalu mulai 17 Peb 1999 sampai saat
ini, saya berkarya di Balai Berkuak.”

:: 81 ::
“Saya berlibur ke Jawa 2 tahun sekali. Terakhir
saya ke Jawa bulan Maret 2001. Jadi “jatah” saya
ke Jawa lagi tahun 2003. Maka, kali ini saya belum
bisa ikut hadir. Salam kangen untuk teman-teman
semua. Entah romo Istejamaya, syukur bisa hadir.”
“Saya punya usul, bagaimana kalau reuni tahun
2003 diadakan antara Oktober akhir–Nopember
awal, sebab pada akhir Okt–awal
Nop 2003 saya akan ke Jawa
untuk nyewu adik saya dan ayah
saya. Saya harap pada waktu
itu kita bisa bertemu”.
“Eh, di antara teman-teman
kita, apakah ada yang sudah
punya cucu? Barangkali
Widyatmoko atau Bambang
Maryono atau yg lain.
Kalau ada, sampaikan
ucapan selamat saya
kepada teman-teman yg
sudah menjadi simbah
alias eyang”.

Di Kaliurang bersama rekan-rekan seangkatan.


Romo Martana berdiri di belakang.

:: 82 ::
Serba-serbi Kisah di Kentungan

Lomba Koor “Pastoral”

K ETIKA MASIH DI K ENTUNGAN , suatu ketika Romo Martana


diminta untuk menjadi juri lomba koor untuk Paroki
Banyutemumpang. Karena cukup mendadak mintanya, maka
jurinya semua dari seminari tinggi. Sebagai yang paling senior
Romo Martana mengajukan tata cara penilaian yang menurutnya
“pastoral”. Dari beberapa segi yang dinilai, dibuat urutan prioritas
dari nilai tertinggi sampai nilai terendah sebagai berikut:
a. pesertanya dari tua sampai anak-anak — nilai dikalikan 10;
b. nyanyinya kompak (tidak ting slenthir) — nilai dikalikan 8;
c. dirigen sungguh mendirigeni koor — nilai dikalikan 6;
d. nyanyinya tidak fals — nilai dikalikan 4;
e. teknik menyanyi benar — nilai dikalikan 2.
Hasilnya, kalau tidak salah ingat, yang menang justru dari
salah satu stasi. Dan koor yang anggotanya terdiri dari mudika
yang sebagian besar kuliah di Yogya malah kalah. Lalu kami
digerutui. Romo Martana waktu itu hanya tertawa dan berkata,
“Pastoral. Pastoral.”

:: 83 ::
Hadiah Urik: Sega Goreng

S ALAH SATU KESUKAAN R OMO M ARTANA adalah bermain bridge


bersama kami, adik-adik kelas. Suatu ketika, kami main bridge
cukup lama. Karena tidak mau kalah, kami lalu memainkan trik-
trik rahasia yang sudah kami sepakati sebelum main. Rupanya
Romo Martana menangkap juga kecurangan kami. Setelah
beberapa kali kalah dan sadar bahwa dicurangi, dengan sedikit
menyindir beliau berkata, “Wong ngelih ki cen gampang urik yo? Nyego
goreng, yuk?” Jadilah kami ditraktir sego goreng “Pak Zia Ul Haq”
yang di timur lapangan Kentungan. Tapi selanjutnya, kalau diajak
main bridge, dengan diplomatis beliau berkata, “Aku gek wegah
diuriki,” alias lagi tongpes.

Seminaris Terburuk di Seluruh Indonesia

INI CERITA WAKTU ROMO MARTANA jadi pamong di seminari. Suatu


ketika ada seminaris yang mbeling bukan main. Romo Martana
rupanya sudah tidak bisa mentolerir tindakan sang seminaris.
Maka, ia memanggil si seminaris itu ke kamarnya. Sampai di kamar
beliau, setelah omong-omong dan dieyeli oleh si seminaris, mur-
kalah Romo Martana. Dalam kemurkaannya itu, Romo Martana
berteriak, “Kamu ini sungguh seminaris ....” Rupanya ia bingung
mau memakai kata apa untuk memaki si seminaris. Akhirnya
keluar juga: “Kamu ini sungguh seminaris terburuk di seluruh Indonesia!”

— WILLEM “SEGER” PAU, PR., imam, kascomm@indo.net.id

:: 84 ::
Kiat Menikmati Hidup

SEBAGAI PECINTA MUSIK dan lama segrup dengan beliau, seumur


hidup saya tidak akan pernah bisa menciptakan lagu kalau tidak
ketemu beliau. Satu-satunya lagu yang saya hasilkan merupakan
dorongan kuat dari Romo Martana untuk “mencipta saja, coba
dan coba, kamu bisa (kaya iklan apa kae), ora ketung sak lagu”. Dan
hasilnya memang ada, tapi judulnya pun Pileg, akibat berusaha
menyesuaikan diri dengan dorongan sang “Jenius”. Lagu
Kurenungkan Sabda-Mu Tuhan yang cukup populer itu hanyalah
salah satu dari ciptaan beliau yang sudah banyak disederhanakan.
Bentuk aslinya mezzopolyphonic empat suara (TTBB) dengan iringan
satu gitar, piano/organ, dan dua biola. Sayang, saya sendiri sudah
tidak punya rekaman ataupun partiturnya. Mungkin Mas Wahyu
atau Mas Lasdi masih menyimpannya.
Seputar pertengahan tahun 1987, kami yang tergabung dalam
kelompok Romulo (romo-romo mudo Solo) mengadakan week
end dengan menginap di Tawangmangu. Kebetulan saat itu saya
dan Romo Martana, yang sama-sama menjabat kapelan di Paroki
Klaten, ikut berangkat. Sore hari, setelah jenuh main gaple dan

:: 85 ::
makan kacang goreng, timbul gagasan untuk jalan ke Cemara
Sewu. Jadilah kami berkemas-kemas menyiapkan pit montor, jaket,
dan helm cakil masing-masing, lalu begegas menuju Cemara Sewu.
Sebelum berangkat, kami mengingatkan Romo Martana untuk
tidak lupa membawa helm dan jaketnya. Namun beliau menolak,
“Ah, nggak dingin, malah seger.” (Toh, hanya mbonceng, begitu
mungkin pikir beliau).
Setelah berjalan sekitar 20 menit, kami sampai di kompleks
Stasiun Relay TVRI Cemara Sewu. Tak lama berselang, saat kami
sedang menikmati pemandangan dari ketinggian itu, muncullah
dengan tiba-tiba ampak-ampak pedhut (kabut) yang dengan kencang
menerpa tubuh kami. Masing-masing berusaha merapatkan jaket
dan helmnya agar terlindung dari sengatan hawa dingin yang
berusaha melumat kulit dan tulang kami.
Sembari berjuang bagi kenyamanan masing-masing, saya
melirik ke arah Romo Martana yang memang sedang merapat-
rapatkan bajunya melawan kedinginan. Spontan kami tawarkan,
kalau-kalau beliau mau menggunakan jaket, helm, atau apa saja
yang ada pada kami untuk mengurangi “penderitaan”-nya. Beliau
menolak tegas-tegas, “Ndak usah. Ndak apa-apa. Gini aja.” Saya
mencoba meyakinkannya, “Gimana nanti kalau kabutnya makin
tebal atau kencang? Apa nggak makin kedinginan?” Dengan
enteng sambil menggigil beliau menjawab, “Ya, nikmati saja.”
Sikap realis dan konsekuen yang ditunjukkan dalam kasus
tersebut amat mengesankan saya, sehingga sering saya angkat
menjadi contoh dalam khotbah. Dalam keadaan di mana kita tidak

:: 86 ::
bisa menghindarkan diri dari situasi akibat keputusan kita sendiri
ataupun perkembangan di luar kemampuan kita, nikmatilah hidup
ini tanpa menambah jumlah mereka yang menderita karenanya.
Sikap dasar itu ternyata makin jelas ditunjukkan pada saat-saat
akhir hidupnya, sebagaimana banyak disaksikan oleh rekan-rekan.
Terima kasih, Romo, Anda telah menggunakan setiap momen
dalam kehidupan Anda untuk mewartakan kegembiraan bagi
orang lain. Romo Martana memang istimewa.

— HARI SUSANTO, imam, hunter_josmit@yahoo.com

Saat menerima tahbisan imamat, tahun 1982.

:: 87 ::
Kenang Aku dalam Hatimu

SELASA SORE SAYA MEMBUKA EMAIL dan mendapat berita wafatnya


sahabat dan saudara kita, Romo Martana, Pr. Untuk meyakinkan
berita itu, saya counter-check ke Yogya. Dan setelah pasti demikian,
entahlah, tiba-tiba di depan komputer kepalaku menunduk dan
berdoa, “Semoga Romo beristirahat dalam damai.”
Sore itu saya ngabari istriku karena kami berdua sempat
membesuknya, namun saat itu beliau masih bisa bicara banyak
dengan kami. Lalu, bulan Maret—setelah mendengar dari Mas
Putut tentang bahwa kondisi beliau kritis—sendirian saya lari ke
Yogya, menengok beliau. Romo Martana tidak mengeluarkan
kata-kata, tapi gerak mulutnya menyebut namaku. Lama saya
duduk di sampingnya serta memegang tangannya. Sebelum saya
pamit pulang, dia angkat jempolnya (kebiasaan beliau) dan mem-
beri berkat pada saya. Tidak akan saya lupakan berkat itu karena
dia tampak susah payah namun ingin sekali menjawab doa dan
pamitku.
Selasa sore, 5 April, setelah mendengar kabar duka itu, saya
hunting tiket dan dapat. Rabu pagi jam 5 saya ke airport, lalu ke
Yogya. Mobil saya parkir karena toh sorenya balik Jakarta.

:: 88 ::
Saya dan istri mengikuti upacara misa requiem di kapel
Seminari Kentungan dari awal sampai akhir dan sekaligus bertemu
dengan banyak teman. Lama saya dan istri berdiri di samping
peti jenazah karena sejak jam 10.00 saya sudah duduk di kapel
seminari. Romo tampak damai sekali. Foto Paus di samping peti
jenazah dan di depannya foto Romo Martana—tampaknya foto
waktu beliau baru ditahbiskan dengan tawanya yang renyah.
Misa dipimpin oleh Bapak Uskup Suharyo dengan puluhan
imam. Uskup tampak berat sekali pada awal upacara misa, bahkan
pada kata pembukaan cukup lama berhenti. Saya pun terheran-
heran mengapa. Namun, saya bisa merasakan suasana saat itu.
Misa diiringi beberapa lagu karangan beliau, sungguh terasa
indah didengar. Pada saat persembahan, dinyanyikan Gusti Ulun.
Umat bukan main banyaknya. Peti jenazah dibawa ke makam,
dipanggul beberapa frater, dipimpin Romo Gito. Saya ikuti terus
sampai tertutup tanah tempat istirahatnya.
Saya juga sowan ke makam beberapa romo seperti Romo
Mangunwijaya, Romo Puspo Sugondo, dan Romo Wignyo yang
sumare di sana. Mereka adalah romo-romo yang mempunyai peran
penting dalam hidup saya.
Yang mengherankan saya, saya ingin memotretnya dengan
kamera Canon Ixy saya yang kecil dan selama ini tidak pernah
rewel. Heran sekali, seakan-akan Romo tidak mau saya foto. Tustel
itu hang dan hang terus. Sorenya, sesampai di Jakarta, saya masih
penasaran dengan kamera saya. Lha kok hidup lagi? Mungkin
Romo Martana hendak berpesan pada saya: “Wiyono, kenang aku

:: 89 ::
dalam hatimu seperti kita pernah bersama-sama dulu di
Mertoyudan.”
Yang aneh lagi, selama upacara misa itu udara agak panas,
tapi setelah pemakaman selesai tiba-tiba angin bertiup kencang
dan hujan gerimis jatuh. Saya berkata dalam hati, “Memang orang
ini sungguh baik, seperti yang disinggung dalam khotbah Uskup
dan Romo Sumantoro. Romo Martana selalu melihat orang lain
secara positif. Dan setiap saat ketemu orang, yang tidak pernah
hilang pada dirinya adalah memberi acungan jempol.
Canda di antara teman-teman: “Wah, Martana ndherekake
Paus, mungkin mau mengiringi Paus dengan orgen dan lagu-
lagunya.”
Romo Martana adalah teman kerjaku sewaktu sempat ber-
sama-sama jadi pamong di Mertoyudan. Ia seorang imam yang
sederhana dan mau dekat dengan yang dimomongnya. Tiap makan
pun ia jarang makan di Domus Patrum, tetapi selalu ikut bersama
siswa. Ia seorang yang pandai dan sangat sederhana. Sewaktu
diminta untuk belajar di luar negeri, beliau maunya di tengah
umat. Dalam usia yang masih muda dia sudah menjadi misionaris
domestik, di Manokwari dan terakhir di Ketapang.
Kini penderitaan panjangnya sudah berakhir dan kita semua
mengikhlaskannya. Gusti ulun, ulun caos pisungsung, angimbangi tresno
dalem tyas agung.

— FRANS WIYONO, mantan pamong Seminari Mertoyudan,


franswiyono@asuransibringin.co.id

:: 90 ::
Pintar Semuanya

WAKTU DI SMP PANGUDI LUHUR BACIRO pada 1968-1970, Martana


(yang kemudian menjadi Romo F.A. Martana, Pr.) adalah anak
yang paling pintar di kelas. Kalau biasanya seseorang pintar dalam
satu mata pelajaran tertentu, misalnya Aljabar, Fisika, atau Bahasa
Inggris saja, eh, teman kami yang satu ini pintar dalam semua
mata pelajaran, sampai mata pelajaran menyanyi! Bisa baca not
balok lagi. Opo ora elok? Hanya itu? O, tidak! Catatannya begitu
rapi. Bahasanya santun dan luwes. Oleh karenanya, ketika suatu
saat mendengar bahwa ia menjadi romo, saya sudah tidak kaget
lagi.
Namun, saya menjadi terkaget-kaget ketika menerima SMS
yang mengabarkan kepergiannya menuju rumah Bapa. Bersama
teman-teman lingkungan saya pernah menyanyikan lagu gereja
hasil aransemennya, walaupun baru mengetahuinya kemudian.
Pengabdian dan karyanya selama ini akan selalu dikenang.

— PAUL SUTARYONO, teman SMP

:: 91 ::
Teman yang Baik Hati

SAYA TEMAN SEKELAS MARTANA sewaktu di SMP Pangudi Luhur


Baciro. Bagi saya, yang paling berkesan adalah kepandaiannya.
Dia dikenal sebagai anak terpandai di kelas kami, bahkan mungkin
yang terpandai sesekolahan. Yang juga saya ingat darinya adalah
kerendahan hatinya. Meski pandai sekali, ia tidak sombong, masih
mau membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam
belajar seperti saya ini. Karena kepandaiannya juga banyak guru
yang senang kepadanya.
Menurut ukuran saya, Martana adalah anak seorang kaya,
dengan rumahnya yang besar dan ada pendoponya segala.
Keadaan seperti itu tidak membuat dirinya merasa lebih dari yang
lain. Saya senang belajar di rumahnya, di kawasan Gunung Ketur,
di samping karena suasana pendoponya yang nyaman, juga karena
kami yang belajar di sana sering mendapat makanan kecil dari
ibunya, dan tentu saja karena Martana bisa menjadi guru yang
sangat membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas pelajaran
kami yang sulit-sulit. Saya juga ingat bahwa dia orangnya kecil-
kecil pendek, warna kulitnya hitam, dan paling menonjol adalah

:: 92 ::
rambutnya yang tidak ada keritingnya sedikit pun. Semuanya lurus,
njegrak tenan. Gigi depannya gingsul semua. Matanya berkilat dan
pandangannya tajam, namun banyak tersenyum dan tertawa.
Lama setelah lulus dari SMP, saya mendapat kabar bahwa
dia menjadi pastor. Lalu saya dengar dia pindah ke Ketapang,
Kalimantan Barat. Sewaktu saya dinas ke sana, saya cari di paroki
Ketapang, tapi dia sedang ke pedalaman—saya lupa tepatnya tapi
kalau tidak salah ingat, di Putussibau. Dan sejak itu waktu demi
waktu lewat begitu saja.
Terakhir baru saya dengar kalau temanku ini menderita
kanker lidah dan sudah pada stadium lanjut. Pada waktu itu saya
hanya bisa berdoa, semoga penderitaannya tidak terlalu berat
baginya. Sampai akhir hayatnya, saya tidak pernah bertemu lagi
dengan Martana.
Kenangan menjadi teman sekelasnya sering kali muncul dalam
kehidupan saya. Sampai sekarang pun saya selalu menganggap
dia sebagai seseorang yang istimewa yang pernah saya jumpai
dalam kehidupan saya ini. Bagi saya, jalan hidupnya sebagai
sebagai seorang rohaniwan sangat pantas baginya, karena ke-
pandaiannya dan kerendahan hatinya serta kasihnya merupakan
modal yang utama bagi seorang guru yang mengajarkan kehidupan
ini kepada orang lain.
Selamat jalan, Martana, kadangku kang kinasih. Sampai ber-
temu lagi dalam kehidupan yang akan datang.

— AGUS WIDIANTO, teman SMP, patub01@yahoo.com

:: 93 ::
:: 94 ::
Cerita Para Adik

:: 95 ::
Bersyukur Selalu, Gembira Senantiasa

MAS TANA LIMA TAHUN LEBIH TUA DARIPADA SAYA. Dari TK sampai
kelas satu SD, saya mengikuti pelajaran agama persiapan komuni
pertama di SD Marsudirini Gondomanan, sore hari, mungkin
seminggu sekali. Setiap kali pulang dari pelajaran agama dan
dijemput Mas Tana, saya selalu diajaknya mampir ke Gereja Kidul
Loji dulu untuk menundukkan kepala, membuat tanda salib, dan
mengucapkan “Berkah Dalem Gusti”. Setelah itu, barulah kami
pulang. Benih panggilan untuk melayani Dia sudah bekerja?
Pada waktu saya di TK juga, G30S meletus. Tiga kakak saya
tidak sekolah, libur. Saya tetap minta berangkat sekolah karena
tidak ada pengumuman libur. Mas Tana segera mengeluarkan
sepeda, memboncengkan saya ke sekolah. Jalan-jalan sangat sepi,
rumah-rumah dan toko tertutup rapat, hanya kami berdua. Ter-
nyata sekolah kosong. Saya lalu diantar ke biara dan suster men-
jelaskan bahwa sekolah libur panjang. Dengan tenang Mas Tana,
yang sebenarnya pasti tahu bahwa hari itu libur, membawa saya
pulang ke rumah. Diam-diam, saya terharu akan kasihnya. Tuhan
yang bekerja menganugerahkan kebaikan dalam diri Mas Tana.

:: 96 ::
Di rumah, setiap malam kami sekeluarga berdoa malam dan
rosario bersama, satu putaran rosario untuk dua hari. Sejak kecil,
seusai doa bersama, Mas Tana langsung berdoa rosario sendiri,
utuh, sedangkan kami adik-adiknya bermain-main di dekatnya.
Setelah Mas Tana masuk seminari tinggi, kami diajak menambah
doa malam dengan bacaan hari itu. Setelah jadi pastor, doa malam
kami divariasi dengan ibadat malam. Doa malam menjadi semakin
indah. Imamatnya diteguhkan dalam keluarga.
Pada waktu Mas Tana menjadi siswa Seminari Mertoyudan,
kalau liburan di rumah, dia mengajari kami, dua kakak dan saya,
bermain gitar. Saya murid termuda yang paling bodoh, hanya bisa
akor A, D, E, F, dan G thok. Tapi dia tidak putus asa dengan
kebodohan saya. Waktu kuliah di seminari tinggi, Mas Tana sering
pulang. Setiap pulang, tak lupa dia mengajari saya bermain organ
dengan organ gereja Bintaran. Begitu inginnya dia menjadikan
adiknya yang bodoh jadi agak pintar, semangatnya tinggi dan mau
berkorban.
Jika menginap di rumah, maka suasana rumah menjadi seru.
Dengan Bapak dan kakak yang lain dia berdiskusi tentang fisika
dan filsafat. Dengan saya dia berdiskusi tentang ajaran Gereja
Katolik, tentang Maria, Konsili Vatikan II, jaminan keselamatan,
sakramen-sakramen, dan lain-lain. (Diskusi berarti saya bertanya,
dia menjawab.) Betapa menyenangkan.
Pada waktu TOP di Wonosari, kami menengoknya. Dengan
gembira dan bersemangat, kami diajak mengunjungi beberapa
umat Paroki Wonosari. Pastor parokinya, Romo Zahn Weh yang

:: 97 ::
sangat baik, membiarkan Mas Tana bercengkerama dengan adik-
adiknya. Setelah ditahbiskan menjadi imam, kami mengunjungi-
nya di tiap paroki tempat tugasnya di Jawa.
Dia selalu gembira dan bersemangat sebab dia percaya, dalam
kelemahannya Tuhan berkarya dan kuasa Tuhan menjadi
sempurna. Pada waktu kami mengalami musibah—Beni yang
meninggal 16 tahun yang lalu, Bapak dan Murni empat tahun
yang lalu—dia tetap mengajak kami bersyukur. “Selalu bersyukur,”
itu yang dikatakannya.
Penyakit kanker mulai menggerogotinya. Namun kasih Tuhan
terus mengiringi Mas Tana. Penghiburan-Nya tampak nyata dari
perhatian, doa, dan penghiburan handai taulan yang mengalir
tanpa henti. Kasih-Nya memberikan kekuatan baginya untuk
menanggung penderitaan. Kami bergiliran menemaninya. Makan
pagi, siang, dan sore dilakukan dengan gembira, tanpa mengeluh,
meskipun menyita waktunya hampir dua jam setiap makan, dan
sebenarnya, dengan kesakitan. Selama sakit, Mas Tana terus
bersikap positif, tak pernah mengeluarkan kata-kata yang me-
nunjukkan kekesalan, kemarahan, atau kesakitan. Sebaliknya, tiap
hari ia menyatakan terima kasih untuk setiap bantuan, dengan
senang hati menjadi pendengar setia dan berusaha menggem-
birakan hati orang lain.
Seluruh waktu dia manfaatkan untuk hal-hal yang positif.
Musik, koor, membaca, mengikuti perayaan ekaristi menjadi
bagian dari aktivitasnya. Menemaninya tidak membuat kesal;
sebaliknya, membuat hati terasa damai dan haru. Rasa haru

:: 98 ::
muncul setiap kali mengalami usaha Mas Tana untuk menyenang-
kan hati, menenangkan, dan membesarkan hati saya, berbaur
dengan kesedihan hati saya menyaksikan penderitaannya. Pedih
dan luka hati saya menyaksikan kakak yang dulu begitu sehat,
gembira, dan bersemangat menjadi sakit, kekuatannya lenyap, dan
tubuhnya menjadi rapuh. Namun, semua dijalaninya dengan rasa
syukur tanpa henti, dengan wajah berseri. Kekuatan itu hanya
dapat diperoleh dari Tuhan.
Pada waktu kondisinya menurun, saya membacakan buku
rohani untuknya. Meskipun kelelahan menahan sakit, Mas Tana
tetap dengan setia mendengarkan, dari hari ke hari, sampai buku
tersebut selesai saya baca. Pada waktu kondisinya sudah semakin
memburuk, dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya,
saya bisa merasakan keinginannya untuk tidak menyedihkan hati
orang lain. Acungan ibu jari, anggukan kepala, lambaian tangan
tetap dia lakukan kala orang berpamitan atau mengajak bicara.
Pagi hari maupun malam hari, setiap hari, dia selalu menurut
apabila saya mengajaknya berdoa, dengan rosario, devosi ke-
rahiman ilahi, novena Hati Kudus Yesus, atau dengan kata-kata
saya sendiri yang mengungkapkan keinginan hati saya untuk
kesembuhan Mas Tana.
Mengalami kesaksian imannya, rasa kasih saya terhadap Mas
Tana tumbuh semakin besar dan tidak ingin diting galkan
olehnya—sesuatu yang tidak masuk akal dalam kondisi seperti
itu. Pada waktu itulah, kesakitan memuncak dan Tuhan pun
memanggilnya. Saya merasa sangat kehilangan. Sampai sekarang

:: 99 ::
pun rasa syukur memiliki kakak sebaik dia tanpa henti saya
ucapkan, berbaur dengan kepedihan hati saya ditinggalkan
olehnya. Betapa sulit meneladan kakak tercinta.

— TUTI, adik kandung

:: 100 ::
Mas Tana dengan Hobi-Hobinya

KETIKA PERTAMA KALI MENDENGAR MAS TANA terkena kanker lidah,


pikiran yang langsung muncul adalah “Apa saya akan kehilangan
dia?” Satu hal yang melatarbelakangi pikiran saya adalah sedikit-
nya penyandang kanker yang bisa sembuh dari sakit tersebut.
Dalam hati saya berharap, semoga Mas Tana lain dari yang lain
(sesuai dengan orangnya, yang menurut saya agak “unik”, lain
dari yang lain), ia bisa kembali sehat. Karena itu, saya pun men-
dukung sekuat tenaga segala upaya pengobatan untuk kesembuh-
annya, antara lain dengan membaca dan mempelajari berbagai
informasi tentang kanker. Minggu-minggu pertama ia sakit,
beberapa relasi menanyakan sakitnya. Saat itu saya baru sadar
bahwa orang ternyata mempunyai perhatian yang besar padanya.
***
Tidak saya ketahui dengan pasti kapan saya menyadari bahwa
saya punya kakak seorang calon pastor. Saya hanya ingat, Mas
Tana datang dengan beberapa teman, bermain layang-layang, dan
kembali pergi sambil membawa sambal buatan ibu dalam jumlah
yang tidak sedikit. Saya ingat, ketika ia menjalani Tahun Orientasi
Pastoral di Wonosari, Bapak menyempatkan pergi ke sana kalau
Mas Tana mendapat tugas berkhotbah.
Kira-kira beginilah Romo Martana jika sedang menjadi juri koor.
:: 101 ::
:: 101 ::
Saat libur panjang, ketika ia di rumah, ia memainkan beberapa
alat musik, bernyanyi, selain juga membicarakan berbagai topik
dengan Mas-Mas atau Mbak atau dengan para tamu yang datang.
“O, jadi, kalau sekolah di seminari itu wajib mempelajari berbagai
alat musik, teori musik, dan menyanyi,” begitu pikir saya. Mungkin
bar u setahun menjelang tahbisan (tahun 1981) saya bar u
menyadari bahwa Mas Tana memang pencinta musik yang
mumpuni. Pada saat-saat tertentu, ia dilibatkan dalam kegiatan atau
perayaan ekaristi di lingkungan maupun di gereja Bintaran, bisa
dalam bentuk bermain organ, gitar, biola, membuat aransemen,
ataupun menjurii lomba kor. Setelah saya mulai berkecimpung
dalam paduan suara, saya mulai memakai jasanya, dan rasa-rasanya
ia bisa memecahkan segala masalah musik dengan tepat dan cepat.
Ada satu peristiwa yang semakin meyakinkan saya bahwa ia
memang mumpuni. Suatu siang, ketika saya pulang dari kuliah,
saya lihat ia sedang tidur di tempat tidur saya. Setelah saya selesai
makan siang, saya membangunkan dia dan minta tolong dibuatkan
aransemen Misa Lauda Sion dua suara untuk kor anak-anak yang
saya latih di paroki. Dengan mata masih sedikit terpejam dan
masih berbaring, ia menjawab “bisa”, lalu minta diambilkan Madah
Bakti dan pensil. Saya pun mencuci piring dan beres-beres meja
makan. Rasanya tidak sampai seteng ah jam ketika saya
menemuinya lagi di tempat tidur. Aransemen lagu untuk seluruh
misa sudah selesai!
Selama menjadi pastor di lingkungan Keuskupan Agung
Semarang, Mas Tana pun menjadi tempat untuk membuatkan

:: 102 ::
akor, memberikan interpretasi lagu, membuatkan syair lagu dalam
bahasa Indonesia (biasanya untuk menerjemahkan lagu-lagu
berbahasa asing), membimbing bermain organ dan suling,
mengajari memilih nyanyian untuk misa (dia mempunyai prinsip
yang kuat bahwa nyanyian harus sebisa mungkin disesuaikan
deng an bacaan), dan—yang paling sering—membuatkan
aransemen.
Ketika ia bertugas di Papua, hanya sekali saja saya berkonsul-
tasi urusan musik melalui surat karena komunikasi relatif sulit.
Ketika ia pindah tugas ke Kalimantan, komunikasinya jauh lebih
sulit dibanding Papua, maka saya belum pernah sekali pun
berkonsultasi tentang musik. Lagu Di Betlehem Tlah Lahir adalah
aransemen terakhir yang dibuatnya untuk saya, Natal 2004.
Kecintaannya pada musik masih terlihat ketika ia pertama
kalinya dirawat di RS Panti Rapih (19 Desember 2003 sampai 23
Juli 2004). Keyboard, gitar, dan tape recorder untuk merekam pun
dimintanya untuk dibawa ke kamar Lukas 311, tempatnya dirawat.
Tidak jarang saya diminta bernyanyi dengan iringan organnya.
Tidak sedikit kelompok yang datang menjenguk dimintanya
bernyanyi dengan iringan organnya. Mas Tana juga tidak terlalu
peduli dengan penampilannya. Hampir setiap pagi ia ikut misa.
Dengan selang sonde yang keluar dari hidung atau dengan gam-
baran tinta hitam penanda tempat radiasi di wajah, ia tetap main
organ dalam berbagai misa di kapel RS Panti Rapih dan meng-
iringi berbagai kor dari dalam maupun luar rumah sakit.

:: 103 ::
Dalam perayaan ulang tahun ke-75 RS Panti Rapih, ada lomba
kor antarbagian. Mas Tana terlibat sangat intensif dalam latihan-
latihan kelompok Magnificat, yang mencakup bangsal Lukas 3.
Semula ia akan bermain organ untuk mengiringi mereka dalam
lomba. Namun satu minggu sebelum tampil, ia mengatakan, lagu
yang kedua akan lebih bagus dengan permainan biola. Maka,
jadilah ia bermain biola, dan organ dimainkan orang lain. Hasilnya,
kelompok Magnificat menyisihkan 12 peserta lainnya dan menjadi
juara. (Komentar Ibu: “Mungkin itu karena dewan juri merasa
segan pada Mas Tana.”)
Mas Tana tidak pernah lagi mengikuti misa harian di kapel
Panti Rapih sejak dirawat untuk kedua kalinya mulai Desember
2004. Atas jasa baik Romo J. Kristanto, Pr., dan Romo A. Hari
Kustono, Pr., diadakan misa seminggu dua kali di kamarnya. Misa
pertama pada 25 Januari 2005 bertepatan dengan ulang tahun
imamatnya ke-23. Mas Tana pada awalnya masih memilih sendiri
lagu yang akan dinyanyikan dan saya mempelajarinya sebelum

:: 104 ::
misa (karena saya yang bertugas memimpin nyanyian). Saat itu
kepekaannya terhadap pelaksanaan nyanyian masih diperlihatkan
dengan gerakan anggota badan, seperti tangan, cethetan jari,
kerutan dahi, ataupun gelengan kepala. Misa terakhir, misa ke-
21, diadakan Senin sore, 21 jam sebelum ia dipanggil Tuhan. Saat
itu mata Mas Tana sudah lebih banyak terpejam dan sedikit
memberikan respons terhadap apa pun.
Selain musik, hobi lain Mas Tana adalah catur dan bridge.
Permainan bridge tidak dimainkan selama sakit, tetapi ia tetap
bermain catur. Ada dua papan catur tersedia di kamarnya: yang
berukuran besar untuk bermain bersama lawan sambil duduk dan
yang berukuran kecil bisa dipangku sambil tiduran. Ada tiga orang
penjenguk yang sering diajak bermain dan tidak jarang mereka
datang khusus untuk bermain. Ketika Mas Tana mulai makan
dengan sonde, pada saat-saat tertentu permainan harus dihentikan
sementara karena Mas Tana harus minum atau makan. Setiap
hari Minggu, sebelum masuk RS, saya selalu membelikan Mas
Tana Media Indonesia yang ada rubrik caturnya.
Mempelajari dan memahami bahasa dengan tepat sepertinya
juga menjadi minatnya. Sering kali tulisan saya diberi kritik untuk
perbaikan. Ketika ia bertugas di Papua, di salah satu pembicaraan
kami melalui telepon, ia minta dikirimi kliping Suara Pembaruan
yang memuat tulisan saya yang pertama dimuat di media. Ada
empat artikel yang saya kirim. Selang beberapa waktu, ia mengirim
balik dengan beberapa coretan di kosa kata atau kalimat yang
dipandang kurang tepat dan menuliskan perbaikannya. Saya tidak

:: 105 ::
menyangka sama sekali kalau ia melakukan hal ini. Ia tidak
menyinggung sedikit pun segi substansinya karena memang latar
belakang ilmu kami berbeda, namun dari segi bahasa ia memberi
banyak masukan. Karena pengalaman inilah, ketika saya harus
menulis dalam bahasa Inggris, ia saya jadikan tempat untuk
bertanya, mengoreksi, dan membantu menyusun kalimat.
Pertemuan terakhir Bapak dengan Mas Tana terjadi pada saat
Mbak Murni meninggal dunia pada bulan Januari 2001. Mas Tana
masih libur seminggu di rumah sebelum pulang ke Kalimantan,
setelah acara misa peringatan tujuh hari Mbak Murni di Bogor.
Ternyata kehadiran Mas Tana di rumah dimanfaatkan Bapak
untuk meminta penjelasan tentang tata bahasa Prancis. Mereka
berdiskusi dengan suara yang cukup keras di ruang makan dalam
beberapa kali kesempatan.
Mas Tana juga senang membaca sastra dan novel, baik yang
berbahasa Indonesia maupun bahasa lain. Selama sakit,
permintaan dibelikan novel tertentu (biasanya setelah membaca
resensi di majalah Tempo atau koran) sering terjadi. Tidak sedikit
teman yang mengetahui hobinya membawakan buku-buku bacaan
atau novel saat menengoknya. Ia juga sangat mengetahui dengan
tepat buku-buku yang dipunyai karena ia akan memberikan
spesifikasi buku yang minta dikirimkan (saat di Papua atau
Kalimantan), seperti warna sampul, panjang, lebar, dan ketebalan
buku, bahkan kadang juga warna serta kualitas kertasnya.
Kepergian Mas Tana membuat saya kehilangan salah satu
narasumber ampuh. Selamat jalan, Mas. Di sana bisa kauteruskan

:: 106 ::
hobi-hobimu. Kau bisa bermain musik, catur, dan kartu bridge
dengan Dik Beni dan membahas novel-novel dengan Mbak
Murni, serta meneruskan penjelasan bahasa Prancis untuk Bapak.

— AGNES MAWARNI, adik kandung, tinggal di Yogyakarta

:: 107 ::
Seorang Imam, Seorang Kakak

SEWAKTU SAYA DUDUK DI BANGKU SD, Mas Tana sudah sekolah di


Mertoyudan. Kalau liburan, dia pulang sambil membawa biola.
Dia aktif mengajak adik-adiknya belajar alat musik. Karena masih
kecil, kami dikenalkan dengan alat musik seruling. Ketika kami
agak besar sedikit, kami dikenalkan dengan gitar. Saya ingat, lagu
pertama yang diajarkan adalah Naik-Naik ke Puncak Gunung.
Namun karena saya tidak berbakat, dan tidak tekun, ya tidak
dilanjutkan. Selanjutnya, saya aktif sebagai pendengar saja kalau
Mas Tana ke rumah dan bermain gitar bersama Mas Ut, kakak
nomor dua.
Pada waktu Mas Tana menjalani TOP di Paroki Wonosari,
dia mendapat giliran khotbah sebulan sekali. Bapak sering me-
nyempatkan diri pergi ke gereja Wonosari untuk mendengarkan
khotbahnya, dan setibanya di rumah Bapak selalu bercerita sedikit
tentang khotbah Mas Tana. Saya hanya ingat bahwa kalau Mas
Tana khotbah, ia sering membawa alat peraga. Misalnya, ketika
bacaan injil hari itu tentang tanaman gandum dan ilalang, Mas
Tana membawa salah satu tanaman tersebut (mungkin yang
ditunjukkan ilalang, ya).

:: 108 ::
Mas Tana selalu mempersiapkan sesuatu dengan bersungguh-
sungguh, dan kami sekeluarga selalu dikenalkan dengan bentuk
dan cara berdoa yang baru. Waktu saya masih tinggal di Yogya,
pernah dalam suatu periode kami menggunakan buku Ibadat
Harian untuk doa malam, yang pada waktu itu bagi kami terasa
asing karena banyak diselingi dengan pendarasan mazmur.
Pada saat Mas Tana tinggal di keuskupan Ketapang, dan saya
berdomisili di Solo, saya kontak dengan dia melalui surat, email,
atau telepon jika dia pas berada di kota Ketapang untuk acara
retret, rekoleksi atau rapat, yang kira-kira diadakan 1,5 sampai 3
bulan sekali. Itu pun hanya beberapa hari saja. Jika dia sudah tiba

Bersama adik dan keponakan ketika bertugas di Boro.

:: 109 ::
di Ketapang, maka dia langsung menelpon salah satu adiknya,
dan berikutnya kami adik-adik yang tinggal di beberapa kota akan
bergantian meneleponnya.
Minat Mas Tana sangat banyak mulai dari musik, film, catur,
novel, dan entah apa lagi. Saya cukup sering mengirimi dia CD
musik, VCD, dan novel pesanannya. Apabila dari suatu majalah
ada resensi buku dan dia tertarik dengan isinya, biasanya buku
tersebut akan dimasukkan dalam daftar buku pesanannya juga.
Mas Tana pernah minta dikirimi buku-buku catur dengan
pengarang asing karena menurut dia buku catur dengan pengarang
lokal sudah tidak menantang.
Setiap hari ulang tahun anggota keluarga (adik, ipar, dan
keponakan) Mas Tana selalu menyempatkan memberi ucapan.
Hal ini juga kami dengar dari beberapa umat asuhannya (Boro,
Klaten, Ungaran) yang membesuknya pada saat sakit. Mereka
bercerita, walaupun Romo berada di Kalimantan, beliau tetap
rajin memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk anak-anak
mereka. Jadi, sewaktu dia sakit, kami merasa sangat sedih karena
banyak hal-hal dari Mas Tana yang menggembirakan dan meng-
gariahkan saya rasanya sulit terwujud kembali.
Pendampingan saya pada waktu dia sakit hanya sedikit. Saya
dan keluarga membesuk Mas Tana kalau pas hari libur, itu pun
tidak bisa setiap Sabtu-Minggu karena kadang ada keperluan saya
di hari Minggu juga. Saya melihat Mas Tana sangat bersemangat
menjalani semua proses pengobatannya, dan sewaktu sakit pun
tetap berusaha beraktivitas biasa. Pada minggu ketiga Agustus

:: 110 ::
2004, Mas Tana sempat menginap di rumah saya selama tiga hari.
Dia kami antar pergi ke toko buku Sion, dan dia membeli Alkitab
ukuran kecil berbahasa Inggris. Saya tanya, “Kok nggak milih
yang bahasa Indonesia saja?” karena menurut saya lebih mudah
membaca dalam bahasa Indonesia. Jawabnya, dia harus tetap terus
mengasah bahasa Inggrisnya supaya tidak lupa (padahal konon
kabarnya dia sudah termasuk ahli dalam bahasa Inggris). Wah,
saat itu saya merasa malu sendiri, karena saya yang tidak fasih
bahasa Inggris tidak merasa harus mengasahnya, malahan cende-
rung memilih bacaan dalam bahasa Indonesia. Saat saya ikut
membenahi barang-barangnya di Pringwulung setelah hari
pemakamannya, saya melihat Alkitab tersebut. Dalam hati saya
bertanya, siapa yang akan meneruskan membacanya.
Pada minggu-minggu dan hari-hari terakhir sakitnya, saya
malahan cenderung tidak rajin membesuk karena sudah tidak tega
melihat Mas Tana. Jika saya ke Yogya, saya datang sebagai
“penjenguk”, bukan “penjaga” seperti ibu, kakak, dan adik yang
di Yogya. Saya selalu memantau, tapi kalau dicritani keadaan
sesungguhnya, malahan saya jadi sedih terus-menerus. Hal yang
menghibur saya adalah perhatian dan dukungan dari banyak pihak
pada Mas Tana, yang tentu saja sangat menggembirakan dan
menghiburnya.
Sekarang Mas Tana sudah terbebas dari segala kesakitannya,
dan mengutip ucapan Bapak Uskup Suharyo pada misa requiem,
Romo Martana sudah menemukan misteri hidup. Dengan ke-
pergian Mas Tana, ada hal-hal yang sudah tidak bisa kami rasakan

:: 111 ::
lagi, seperti minta dibuatkan aransemen lagu, memilihkan lagu
untuk tugas, dan tentu saja kami sudah tidak bisa menikmati
alunan piano dan organnya.
Selamat jalan, Mas Tana.

— ACM WINARSIH, adik kandung, tinggal di Solo

:: 112 ::
Pastor yang Menyayangi Keluarganya

SEWAKTU SAYA DILAHIRKAN, di tahun yang sama Mas Tana mulai


sekolah di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang. Selama
Mas Tana sekolah dan kuliah, saya belum menyadari bahwa
ternyata saya punya kakak sulung seorang calon pastor. Meskipun
mungkin saja setiap liburan Mas Tana ada di rumah, saya tetap
tidak menyadarinya.
Pada saat Mas Tana menerima tahbisan diakon, baru saya
sadari bahwa saya punya kakak sulung seorang calon pastor. Saat
Mas Tana menerima sakramen imamat pada tahun 1982, saya
masih SD dan sangat bangga dengan hal itu. Kemudian ada acara
syukuran dan misa perdana di rumah. Mas Tana mengenakan
kasula dengan hiasan bordir sesuai motto imamatnya, “Ia harus
makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Kasula yang
dikenakan Mas Tana adalah hasil karya ibu kami. Kasula itu juga
dia kenakan jika ada acara keluarga di rumah kami.
Mulai saat itu, saya dapat merasakan kehadiran, perhatian,
dan kasih sayang seorang kakak sulung yang menjadi pastor.
Seingat saya, setiap pulang ke rumah dan bertemu dengan saya,

:: 113 ::
yang selalu dilakukannya adalah mencium kening saya, tanya ini-
itu kepada saya. Kebiasaan itu masih dilakukannya sampai dia
terkena penyakit kanker. Hal lain yang saya ingat pada waktu
berada di rumah, saya tengok di kamarnya dan Mas Tana lebih
banyak tidur. Sampai saya pernah matur kepada ibu, “Kok Mas
Tana bobok terus to, Bu?” Mungkin di rumahlah Mas Tana benar-
benar bisa istirahat, dan bisa memilih masakan kesukaannya: soto
masakan Yu Sar atau Yu Jah yang membantu keluarga kami.
Keluarga kami mempunyai kebiasaan berdoa malam bersama
setiap hari, biasanya juga membaca Kitab Suci sesuai Kalender
Liturgi. Kalau Mas Tana ada di rumah, berdoa bersama, setelah
membaca Kita Suci dia kadang-kadang memberikan sedikit ulasan
tentang bacaan hari itu. Mas Tana juga menganjurkan berdoa
malam bersama dengan buku yang sudah dia bawakan atau dengan

:: 114 ::
Madah Bakti, yang didoakan secara bergantian. Kebiasaan berdoa
malam bersama ini masih berlangsung sampai sekarang.
Frekuensi pertemuan kami yang tidak begitu sering, apalagi
sejak dia bertugas di luar Jawa, tidak membuat saya merasa sedih
atau merasa ada sesuatu yang kurang. Komunikasi tetap dapat
berlangsung lewat surat atau telepon.
Ketika Mas Tana ketahuan sakit dan harus dirawat, dia pulang
ke Jawa. Kembali saya dapat merasakan punya kakak sulung secara
lebih dekat, baik fisik maupun emosi. Mas Tana sempat dirawat
di Semarang, Jakarta, kemudian Yogyakarta. Kalau dulu dia yang
selalu memperhatikan saya, kini giliran saya yang ikut memberi
perhatian, merawat, dan membantu Mas Tana. Saya juga dapat
giliran merawat Mas Tana di Jakarta. Ternyata Mas Tana tidak
pernah membantah, selalu patuh pada adik bungsunya ini.
Saat Mas Tana sakit, banyak orang yang memberi perhatian,
kasih, dan doa untuk Mas Tana, baik saat di Jakarta apalagi waktu
di Yogyakarta. Teman-teman semasa kecilnya, teman sekolah dan
kuliah, sesama pastor, mantan murid-muridnya, umat dari paroki
tempat dia pernah bertugas, kelompok musik dan grup nyanyi
Panti Rapih, bahkan orang-orang yang sebelumnya tidak menge-
nal Mas Tana sama sekali, mereka semua bergantian datang men-
jenguk. Sampai saat-saat terakhirnya, mereka masih memberi per-
hatian, kasih, dan doa hingga dia kembali ke Rumah Bapa di Surga.
Pada misa perdana setelah ditahbiskan, dia mengenakan
kasula hasil karya Ibu. Begitu juga saat terakhir hidupnya, dia
mengenakan kembali kasula itu.

:: 115 ::
Saya bersyukur mempunyai kakak sulung seorang pastor, yang
penuh perhatian dan kasih kepada keluarga dan adik-adiknya. Saya
yakin, pengalaman hidup bersama Mas Tana memperkaya hidup
saya.

— ELIZABETH KRISTI, adik kandung, tinggal di Yogyakarta

:: 116 ::
Rangkaian Bunga

:: 117 ::
Pemuda Martana dengan para idola era Generasi Bunga:
The Beatles, John Lennon, Deep Purple.
:: 118 ::
ROMO MARTANA, engkaulah sosok seorang manusia yang seder-
hana. Banyak hal yang bisa dijadikan semacam alat bukti, bahwa
engkaulah memang demikian. Sejak tahun 1971 di Mertoyudan,
engkau langsung menampakkan pamor istimewa sebagai seminaris
yang tergolong paling pandai, minimal cum laude, tetapi sekaligus
selalu dan setiap saat mau membantu teman-teman yang
mengalami kesulitan dalam pelajaran. Meskipun di bidang eksakta
prestasimu prima, namun di tahun 1973 engkau memutuskan
untuk memilih kelas sosial-budaya (IPS) karena memang ingin
mendalami masalah-masalah sosial, yang tampak dari keunggul-
annya di bidang bahasa: Latin, Prancis, Inggris, termasuk musik
(di bawah bimbingan Romo Sutanto, S.J.).
Selesai dari Mertoyudan, engkau melanjutkan pendidikan di
Seminari Tinggi Kentungan sebagai calon romo projo Keuskupan
Semarang. Aktivitas musik masih berlanjut, hanya saja tidak mau
tampil sebagai mahasiswa yang brilliant. Seakan-akan engkau ingin
menunjukkan sosok pastor yang sederhana. Dan terbukti, me-
nurut kabar teman-teman, engkau tidak mau melanjutkan studi
ke luar negeri, bahkan memilih berkarya di Papua dan kemudian
di Kalimantan.
Memang Tuhan telah menunjukkan karyanya yang agung
dalam diri seorang Martana yang mempunyai beberapa bakat
unggul. Tampak sikap hidup yang bersahaja, bersahabat dengan
siapa pun, terutama dengan yang membutuhkan bantuannya, serta
diramu dengan keindahan dalam bermusik, sampai pada akhirnya
justru di saat-saat yang sangat kritis engkau masih dapat me-

:: 119 ::
Bersama dengan Romo Rudi Hardono, Pr.,
partner bernyanyi dan bermain catur.

:: 120 ::
mancarkan “semangat hidup” kepada teman-teman yang sempat
mengunjungimu di Panti Rapih. Dan saya yakin, sekarang pun
engkau masih bersemangat hidup meski jasadmu telah rapuh dan
mati. Sungguh perjalanan hidupmu telah menjadi suatu kesaksian
bahwa hidup yang sebenarnya adalah hidup yang rela mengor-
bankan dirinya meski harus menderita hingga kematian. Imitatio
Christi. Allelluia.
— RATMOKO, lenongan@yahoo.com

œ
SUGENG KONDUR , romo yang baik
you are my good teacher
you are my good friend
but, above all, you are my inspiration
the inspiration of how to live the life
selamat mengiringi misa requiem Sri Paus
di sorga sana
dengan jari-jarimu di atas tuts
aku ingin jadi tukang parkir saja kalau sorga
memerlukannya, sebab mungkin belum ada
sampai jumpa lagi
— RUDI HARDONO, PR., imam,
seminaris Mertoyudan 1982-1986, rudihar2001@yahoo.com

œ
:: 121 ::
SELAMAT JALAN, Mo Tana
mungkin ini yang terbaik buatmu
tinggalkan kenangan manis, mendalam
yang bekasnya hingga kini tak mau jua hilang.
saat kelas dua dulu di Mertoyudan
tatapan matamu begitu tajam
meski tetap penuh cinta
meski aku punya salah
ada dua orang di Mertoyudan
yang tetap meninggalkan kenangan yang
tak pernah hilang,
Romo Wernet yang selalu mengingatkan aku
agar berani melawan kehendak negatif
dia juga yang terlihat sedih waktu aku putuskan tak terus
Kedua, Romo Tana,
meski kurus, sederhana, dan tampak kurang makan,
beliau punya sesuatu yang tak bisa dikalahkan orang lain
kesederhanaan dan konsistensi antara kata-kata dan perbuatan
itu yang begitu membekas,
kenangan atas orang suci yang tetap rendah hati
selamat jalan, Romo
selamat jalan, pahlawanku!

— INDIWAN SETO, seminaris Mertoyudan 1982-1984,


indiwan_wibowo@hotmail.com

:: 122 ::
TURUT BERDUKA CITA sedalam-dalamnya atas meninggalnya Romo
“SJ” yang benar-benar “sendalan jepit”. Kendati aku bukan
seminaris yang menonjol di mata beliau, tapi aku tetap merasakan
kehangatan dan keramahan luar biasa dari pribadi satu ini.
Rupanya beliau sudah dibukakan pintu oleh Bapak Paus yang
terlebih dahulu mendahului sang romo. Kini buku yang akan
dipenuhi oleh tulisan teman-teman akan menjadi buku kenangan
dan hadiah ultah baginya.
Senang dulu pernah berjalan kaki dari Sendangsono sampai
rumahnya di Yogya. Kini beliau mendahului kita berjalan menuju
sisi-Nya.

— V. IRIANTO, seminaris Mertoyudan 1982-1986,


ivoejapan@yahoo.co.jp

œ
SELAMAT JALAN, Romo Martana. Sampai jumpa di tanah terjanji.
Sekarang kami berdoa untuk Romo. Dan kalau Romo sudah
bertemu dengan Tuhan, doakan kami semua.
Salam dan doa dari kami semua, teman-teman Romo.

— E. JOHN PAUL TARIGAN, imam,


emjohnpaulta@yahoo.it

œ
:: 123 ::
SAYA JUGA IKUT BERDUKA CITA mendalam atas meninggalnya Romo
Martana. Teladan kerendahan hatinya sampai saat ini masih
membekas di hati setiap seminaris yang pernah dipamonginya.
Saya termasuk salah satu di antara sekian banyak. Well, selamat
jalan, Romo Martana. Selamat mendahului di kehidupan baru.

— BUDI YOHANNES, mantan seminaris Mertoyudan,


budiy@japfacomfeed.co.id

œ
S UGENG TINDAK , R OMO . Romo telah memberikan banyak hal
kepada kami: keteladanan, kerendahan hati, kesederhanaan, dan
ketulusan hati. Kepergian Romo yang berdekatan dengan hari
raya Paskah dan kepergian Bapa Suci semoga membawa kebaha-
giaan kekal abadi di surga. Kepada keluarga dan keluarga besar
Unio KAS, saya menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-
dalamnya.

— DIDIEK DWINARMIYADI, Paguyuban Gembala Utama,


ddn@kompas.com

:: 124 ::
SEDIH BAHWA KITA KEHILANGAN romo yang “bapak”. Gembira
bahwa bapak kita sudah bertemu dengan Tuhan. Selamat jalan,
Romo.

— DWIYANTO SUTARSONO, seminaris Mertoyudan 1982-1986,


dwiyanto.sutarsono@unilever.com

TURUT BERDUKA CITA karena kepergian Romo Martana, pamongku


tercinta sewaktu kelas 1 (MM2) yang sangat sederhana, opera
bersama yang di-emong, rapat kebidelan MM2 dengan lesehan,
dan meninabobokan kami dengan lagu-lagu yang indah. Turut
berbahagia juga karena Romo Martana semakin dekat dengan
Allah Bapa setelah melewati masa persiapan yang cukup panjang
dan melelahkan.
Romo Martana, selamat jalan. Saya yakin bahwa Romo pasti
cepat bersatu dengan Allah Bapa, seperti dahulu Romo tunjukkan
kepada kami cara dekat dengan Allah Bapa, yang akan selalu saya
ingat dalam tempat khusus di hati.

— SURYADI, seminaris Mertoyudan 1981-1985,


suryadi@adisoemarta.net

:: 125 ::
ROMO MARTANA, pasti Tuhan langsung menerima permohonan
Romo untuk istirahat dalam kebahagiaan abadi bersama-Nya.
Selamat jalan. Kebaikanmu kukenang selalu.

— T. SUMARDJI MARTASUPARDJO, tms@kompas.co.id

œ
SELAMAT JALAN, Romo Martana. Dedikasimu selalu dikenang dan
spiritmu masih tetap menjadi spirit kami. Requiescat in pace.

— ROLAND TAUNAY, roland.taunay@bogasariflour.com

SAYA TERHARU

saya tidak tega lihat foto yang dikirim Putut kemarin


saya ingat nabi Ayub
dan hari ini Tuhan berkenan memanggil Romo Martana
Tuhan terimalah dia di sisi-Mu
berilah kekuatan untuk keluarganya
banyak sekali teladan baik yang telah Romo Martana berikan
kepada kami semua
selamat jalan, Romo
selamat bertemu dengan yang empunya hidup
selamat istirahat dalam damai
selamat bertemu dengan saudara-saudara Romo
yang telah lebih dulu dipanggil Tuhan

:: 126 ::
Romo,
bila bertemu dengan Bapa
ingatlah kami yang masih di dunia ini
Amin

— H.B. SAPTO NUGROHO,


koster milis merto21@yahoogroups.com

œ
RABU, 6 APRIL 2005, jenazah Romo F.A. Martana Constantinus
Maria, Pr., telah disemayamkan dengan tenang di makam romo-
romo projo KAS, kompleks Seminari Ting gi St. Paulus
Kentungan, Yogyakarta.
Prosesi pemakaman yang dilaksanakan jam 14.30 diawali
dengan Misa Requiem yang dipimpin oleh selebran utama, Mgr.
I. Suharyo, Uskup Agung Semarang, yang didampingi banyak
sekali pastor seperti layaknya upacara tahbisan. Misa berlangsung
khidmat selama kurang lebih dua jam.
Dalam pengantar dan homilinya, Bapak Uskup berbagi
kesaksian tentang sikap hidup dan keimanan Romo Martana yang
justru sangat teruji dan patut terteladani saat menderita sakit
selama lebih dari satu setengah tahun terakhir. Sungguh dapat
dirasakan baik oleh anggota keluarganya, para sahabat, mantan
siswa di seminari, kolega pastor, umat dari Balai Berkuak maupun
Tumbang Titi yang berkunjung, termasuk Bapak Uskup sendiri,
bahwa Mo Tana selalu menghayati penderitaan sebagai hal yang

:: 127 ::
dia rasakan baik, ora popo, bisa menerima, aku seneng, mesem,
dan acungan jempol seperti disaksikan oleh Putut saat bezoek-
nya.
Mo Tana telah menjadikan penderitaan, kesakitan, kesusahan,
dan kesulitan yang dialami tanpa putus selama satu setengah tahun
terakhir sebagai bagian dari perjalanan hidup keimanan dan
panggilan pelayanan imamatnya. Demikian aku menangkapnya.
Bapak Uskup juga menceritakan bahwa sesungguhnya Mo
Tana telah berniat untuk seterusnya tinggal di pedalaman
Kalimantan bersama umat yang sangat dicintainya, tetapi situasi
kesehatan membuatnya terpaksa harus kembali ke Semarang dan
akhirnya terhenti di RSPR, Yogya (setelah mengupayakan dan
berusaha mendapatkan pengobatan berbagai cara).
Kesaksian serupa dilengkapi juga oleh wakil romo-romo Unio
KAS yang mengucapkan syukur dan terima kasih bagi siapa saja
terutama keluarga yang telah memberikan perhatian dan bantuan
saat Mo Tana membutuhkan perawatan dan penguatan, baik saat
di RSPR, di wisma pastor-pastor projo di Puren, dan lainnya.
Termasuk di dalamnya adalah satu kelompok orkes keroncong
yang bezoek dan main musik di RS karena memang Mo Tana sangat
hobi musik.
Bapak Pranoto yang mewakili keluarga, selain mengucapkan
dua hal, yaitu sedih sekaligus syukur, juga mengekspresikan rasa
terima kasih dan minta maaf bila ada kata-kata sikap dan tindakan
“Mas Tana” yang kurang berkenan. Ia sedih karena ditinggalkan
kakak sulung yang mereka cintai dan banggakan, namun juga ia

:: 128 ::
bersyukur karena akhirnya Romo Tana telah dibebaskan dari
semua derita yang telah dialaminya. “Selamat jalan, Mas Tana,”
demikian dia mengakhiri. Misa requiem dan prosesi pemakaman
itu dihadiri oleh ribuan umat yang meluber hingga pendopo
seminari di gang-gang dan selasar halaman rumput. Lapangan
bola dijubeli mobil yang parkir hingga halaman depan.
Sugeng tindak, Mo Tana.

— PATMADYANA “JIM WEST”, apatmady@jmn.net.id

:: 129 ::
:: 130 ::
Lampiran

:: 131 ::
Music Book Rm Tana

Ketika Mbak Agnes, adik Rm. Tana menunjukkan Music Book-


nya Rm. Tana, seketika saya langsung geleng-geleng kepala dan
memperlihatkan kepada teman-teman di sekitar saya. Betapa tidak,
aransemen lagu-lagu klasik dari G.F. Händel, Schubert, Mozart,
J.S. Bach, dan lain-lain, terasa menjadi salah satu santapan rohani
Rm Tana di Seminari Mertoyudan, di saat pelajaran sedang
berlangsung atau guru tidak datang. Kekaguman ini terutama
aransemennya dalam lautan not balok yang tidak bisa saya baca.
Saya pernah ikut bergabung dengan Orkes Seminari yang
dihidupkan oleh Rm Tana, pegang terompet. Beliau tahu saya
bisa meniup terompet ketika saya sedang coba-coba terompet
milik Seminari. Kalau dulu seleksi untuk menjadi personil orkestra
melalui tes baca not balok, saya tidak, karena hanya dengan modal
abab kuat (bisa niup karena ikut drumband tanpa perlu baca not
balok), dan tidak ada yang lain. Ketika memainkan lagu, saya
bilang ke Mo Tana, “Mo, kalau pas giliran terompet, tolong beri
tanda khusus ya supaya masuknya tidak telat atau kecepeten,” meski
di depan kami (Suminarno, Sentot, dan saya) ada teksnya.

:: 132 ::
Ketika misa malam Natal di Kapel Besar dengan orkestra
full team, untuk memainkan lagu Gloria, terompet memulai lebih
dulu dengan nada tinggi. Saat itu personil orkestra kelihatan
tegang (di sana ada Rm. Puja Sumarta Pr, pegang obo), jangan-
jangan bidikan nadanya kurang tinggi, bisa bikin kacau. Karena
bidikannya tepat, Rm. Tana mengacungkan jempol sambil men-
dirigeni yang lain untuk mulai.
Saya tidak habis pikir, ketika usia masih bagitu muda, sudah
secepat itu Rm. Tana membuat aransemen lagu-lagu klasik, apalagi
di jam-jam yang cukup rawan (siesta, pelajaran, pelajaran kosong).
Music Book dengan tertera tanda tangan khas Rm Tana ini
berisi lima belas aransemen lagu She, er kommt, Praludium, Largo,
Sarabande, Die Nacht, Ave Verum, Ave Maria, Largo, Jesu, joy of
man’s desiring, Ave Maria, Andante Religioso, The Holy City, Bridal
March, Agnus Dei, Mazmur 131. Dua Largo dan dua Ave Maria,
diaransemen secara berbeda. Buku ini ditemukan oleh Mbak
Agnes masih tersimpan dengan baik, meski tahun penulisannya
dari mulai 1972 sampai 1991.
Dalam buku Martana edisi kedua ini sengaja hanya ditampil-
kan beberapa aransemen dengan memperbesar bagian tertentu
(inzet). Hal ini sekadar mau menunjukkan ‘kenakalan’, Rm. Tana
ketika menjadi seminaris, sekaligus menunjukkan bukti bahwa
sejak masa mudanya Rm. Tana menjalani hidup dengan “ringan
lepas bebas” (lih. Pengantar Editor). Sungguh orang ini seorang
maestroyudan.
—DWIKO, seminaris 1981-1985

:: 133 ::
:: 134 ::
:: 135 ::
:: 136 ::
:: 137 ::
:: 138 ::

You might also like