You are on page 1of 6

STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI

PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura


Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI
Marwoto dan Suharsono

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101

ABSTRAK
Kebutuhan kedelai rata-rata Indonesia sekitar 2,20 t/tahun. Dari jumlah tersebut, produksi kedelai dalam negeri
hanya mampu mencukupi 35−40%, sedangkan 60−65% selebihnya dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, melalui
berbagai program pemerintah berupaya keras meningkatkan produksi kedelai nasional menuju swasembada pada
tahun 2010−2012. Salah satu gangguan dalam peningkatan produksi kedelai adalah serangan hama ulat grayak
(Spodoptera litura). Kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak dapat mencapai 80%, dan serangan berat
menyebabkan puso (gagal panen). Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai di tingkat petani umumnya
masih mengandalkan insektisida, namun kurang efektif. Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak,
perlu diketahui biologi, tingkat kerusakan, kehilangan hasil, dan cara pengendaliannya di tingkat petani untuk
menyusun strategi pengendalian yang tepat. Pengendalian ulat grayak dapat dilakukan dengan menerapkan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yakni dengan menggunakan komponen PHT yang kompatibel berlandaskan
azas ekologi dan ekonomi.
Kata kunci: Glycine max, Spodoptera litura, pengendalian hama

ABSTRACT
Strategy and technology for controlling armyworm (Spodoptera litura) in soybean

Indonesia needs approximately 2.20 tons of soybean per year. The domestic production only meets 35−40% of
the demand and the remaining 60−65% are imported from foreign countries. Therefore, through various programs,
the government put strong efforts to increase soybean production toward self-sufficiency in 2010−2012. The
armyworm (Spodoptera litura), the leaf feeder pest of soybean, is a constraint in soybean production in Indonesia.
In severe damage, the armyworm cause significantly yield loss up to 80−100%. Most of the farmers apply a
synthetic insecticide to control soybean armyworm. On the other hand, their frequent application more often
could not control the insect effectively. To anticipate the soybean armyworm attack and to develop an effective
control measures, the biological aspects, damage, yield loss and farmer control practice have to be understood.
Implementation of Integrated Pest Management (lPM) on soybean armyworm control would support the
compatibility of all IPM components or methods that match to ecological and economics principles.
Keywords: Glycine max, Spodoptera litura, pest control

K ebutuhan kedelai Indonesia men-


capai 2,20 t/tahun. Dari jumlah
tersebut, produksi dalam negeri hanya
dikonsumsi oleh sebagian besar masya-
rakat Indonesia (Departemen Pertanian
2008). Kenaikan harga kedelai diharapkan
mencapai 266 jenis, yang terdiri atas 111
jenis hama, 53 jenis serangga kurang
penting, 61 jenis serangga predator, dan
mampu mencukupi 35−40% sehingga akan menarik petani untuk kembali me- 41 jenis serangga parasit (Okada et al.
kekurangannya (60−65%) dipenuhi dari nanam kedelai yang selama ini ditinggal- 1988). Dari 111 jenis serangga hama ter-
impor. Kenaikan harga kedelai di pasar kan karena dinilai tidak menguntungkan. sebut, 50 jenis tergolong hama perusak
dunia yang mencapai 100% menyebabkan Selain itu, melalui berbagai program, daun, namun yang berstatus hama pen-
harga kedelai di dalam negeri meningkat pemerintah juga terus berupaya menaikkan ting hanya 9 jenis (Arifin dan Sunihardi
tajam, yaitu dari sekitar Rp3.500/kg pada produksi kedelai nasional menuju swa- 1997). Berdasarkan hasil identifikasi
akhir tahun 2007 dan menjadi Rp7.500/kg sembada pada tahun 2010−2012. terhadap 9 jenis serangga hama pemakan
pada awal tahun 2008. Kenaikan harga Salah satu ancaman dalam upaya daun, ulat grayak (Spodoptera litura)
tersebut pada gilirannya akan meningkat- meningkatkan produksi kedelai adalah se- merupakan salah satu jenis hama pemakan
kan harga bahan pangan berbahan baku rangan hama. Serangga yang berasosiasi daun yang sangat penting. Kehilangan
kedelai seperti tahu dan tempe yang dengan tanaman kedelai di Indonesia hasil akibat serangan hama tersebut dapat

Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 131


mencapai 80%, bahkan puso jika tidak menetas (bergantung ketersediaan makan- Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
dikendalikan. Usaha pengendalian hama an), larva menyebar dengan menggunakan Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
di tingkat petani hingga kini masih benang sutera dari mulutnya. Pada siang Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan
mengandalkan insektisida, namun kurang hari, larva bersembunyi di dalam tanah Papua.
efektif. atau tempat yang lembap dan menyerang
Untuk mengantisipasi ancaman tanaman pada malam hari atau pada
serangan ulat grayak pada tanaman intensitas cahaya matahari yang rendah. Gejala Serangan
kedelai perlu diketahui: 1) perkembangan Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain
ekobiologi populasi hama, 2) tingkat secara bergerombol dalam jumlah besar. Larva yang masih muda merusak daun
kerusakan tanaman yang terserang, 3) Warna dan perilaku ulat instar dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis
distribusi atau luas serangan, 4) ekosistem terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, bagian atas (transparan) dan tulang daun.
pendukung, dan 5) arti ekonomi kerusakan namun terdapat perbedaan yang cukup Larva instar lanjut merusak tulang daun
tanaman terhadap hasil. Identifikasi mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat dan kadang-kadang menyerang polong.
morfologi dan biologi penting untuk tanda bulan sabit berwarna hijau gelap Biasanya larva berada di permukaan
menyusun strategi pengendalian yang dengan garis punggung gelap memanjang. bawah daun dan menyerang secara
tepat. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar serentak dan berkelompok. Serangan berat
5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, menyebabkan tanaman gundul karena
membentuk pupa tanpa rumah pupa daun dan buah habis dimakan ulat (Gambar
EKOBIOLOGI ULAT (kokon), berwarna coklat kemerahan 2). Serangan berat pada umumnya terjadi
GRAYAK dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus pada musim kemarau, dan menyebabkan
hidup berkisar antara 30−60 hari (lama defoliasi daun yang sangat berat.
Dalam sistematika klasifikasi, ulat grayak stadium telur 2−4 hari). Stadium larva
termasuk dalam ordo Lepidoptera, famili terdiri atas 5 instar yang berlangsung
Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− Tanaman Inang
litura. Hama ini bersifat polifag atau 11 hari. Seekor ngengat betina dapat
mempunyai kisaran inang yang cukup luas meletakkan 2.000−3.000 telur. Selain kedelai, tanaman inang lain dari ulat
atau banyak inang, sehingga agak sulit Ulat grayak tersebar luas di Asia, grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung,
dikendalikan. Strategi pengendalian hama Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau,
yang efektif dapat disusun dengan mem- ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh bawang merah, terung, kentang, kacang-
pelajari bioekologi hama. Darussalam, Jambi, Sumatera Selatan, kacangan (kedelai, kacang tanah),

Morfologi dan Biologi

Sayap ngengat bagian depan berwarna


coklat atau keperakan, dan sayap belakang
berwarna keputihan dengan bercak hitam
(Gambar 1c). Kemampuan terbang ngengat
pada malam hari mencapai 5 km.
Telur berbentuk hampir bulat dengan
bagian dasar melekat pada daun (kadang-
Gambar 1. Kelompok telur (a), ulat instar 3 (b), dan imago ulat grayak (c).
kadang tersusun dua lapis), berwarna
coklat kekuningan, diletakkan berkelom-
pok masing-masing 25−500 butir. Telur
diletakkan pada bagian daun atau bagian
tanaman lainnya, baik pada tanaman inang
maupun bukan inang. Bentuk telur ber-
variasi. Kelompok telur tertutup bulu
seperti beludru yang berasal dari bulu-
bulu tubuh bagian ujung ngengat betina,
berwarna kuning kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang ber-
variasi, memiliki kalung (bulan sabit)
berwarna hitam pada segmen abdomen
keempat dan kesepuluh (Gambar 1b). Pada
sisi lateral dorsal terdapat garis kuning.
Ulat yang baru menetas berwarna hijau
muda, bagian sisi coklat tua atau hitam
kecoklatan, dan hidup berkelompok
(Gambar 1a). Beberapa hari setelah Gambar 2. Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai.

132 Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008


kangkung, bayam, pisang, dan tanaman resistensi dan resurgensi hama. Apli- DAYA RUSAK DAN
hias. Ulat grayak juga menyerang berbagai kasi insektisida dengan dosis tinggi KEHILANGAN HASIL
gulma, seperti Limnocharis sp., Passiflora dapat memicu timbulnya resistensi
AKIBAT ULAT GRAYAK
foetida, Ageratum sp., Cleome sp., hama terhadap insektisida, sedangkan
Clibadium sp., dan Trema sp. aplikasi insektisida pada dosis sub-
Ulat grayak bersifat polifag atau dapat
lethal dapat menyebabkan timbulnya
menyerang berbagai jenis tanaman
resurgensi. Oleh karena itu, pengen-
pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama
EKOSISTEM PEMICU dalian yang hanya mengandalkan pada
ini tersebar luas di daerah dengan iklim
SERANGAN ULAT GRAYAK penggunaan berbagai jenis insektisida
panas dan lembap dari subtropis sampai
mengakibatkan sebagian besar popu-
PADA KEDELAI daerah tropis. Berdasarkan data Badan
lasi ulat grayak di lapang berubah men-
Pusat Statistik (1993), serangan ulat
jadi strain yang mempunyai resistensi
Di dalam ekosistem terdapat mekanisme grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha
silang, seperti yang terjadi di Pakistan
alami yang bekerja secara efektif dan dengan intensitas serangan sekitar
(Ahmad et al. 2008), Cina (Huang dan
efisien dalam menjaga kelestarian dan 17,80%. Serangan tersebut menurun pada
Han 2007), dan Indonesia (Marwoto
keseimbangan ekologi untuk menekan tahun 1994 menjadi 3.616 ha, dengan
dan Bejo 1997). Adanya berbagai
populasi suatu hama. Mekanisme alami intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat
strain ulat grayak menyebabkan pe-
tersebut meliputi predatisme, parasitisme, Statistik 1994). Luas serangan ulat grayak
ngendalian dengan insektisida sering
patogenitas, persaingan intra/inter- berkembang dari tahun ke tahun seperti
tidak efektif.
spesies, suksesi, produktivitas dan stabi- disajikan pada Tabel 1.
litas. Jaring-jaring makanan merupakan Dalam rangka pengendalian ulat Kerusakan dan kehilangan hasil
unsur ekosistem yang cukup penting grayak pada tanaman kedelai, kondisi akibat serangan ulat grayak ditentukan
dalam pengelolaan hama. lingkungan dan cara tanam perlu diatur oleh populasi hama, fase perkembangan
Kedelai di lahan sawah biasanya sedemikian rupa sehingga tidak sesuai bagi serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan
diusahakan setelah padi. Pola tanam yang pertumbuhan dan perkembangan hama. varietas kedelai. Serangan pada varietas
diterapkan petani bergantung pada keter- Beberapa praktek budi daya yang sering rentan menyebabkan kerugian yang
sediaan air, meliputi padi-padi-kedelai, memicu timbulnya masalah hama adalah: sangat signifikan. Apabila defoliasi daun
padi-kedelai-kedelai atau padi-kedelai. 1) Waktu tanam. Waktu tanam yang tidak karena serangan ulat grayak terjadi pada
Pola terakhir umumnya diterapkan pada seragam sering menimbulkan masalah fase R2 (fase pertumbuhan tanaman
lahan tadah hujan atau berpengairan hama karena stadia pertumbuhan berbunga penuh, pada dua atau lebih buku
terbatas. Penanaman kedelai pada pola tanaman yang dikehendaki hama batang utama terdapat bunga mekar), dan
tanam kedua atau ketiga atau jatuh pada selalu ada. fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai
musim kering akan memicu serangan hama 2) Benih. Keberhasilan usaha tani kedelai membentuk polong, terdapat satu atau
khususnya ulat grayak. salah satunya bergantung pada benih, lebih polong sepanjang 5 mm pada batang
Pertumbuhan populasi ulat grayak terutama daya tumbuh dan kesehatan utama) maka kerusakan yang ditimbulkan
sering dipicu oleh situasi dan kondisi benih. Penggunaan benih yang kurang lebih besar daripada serangan pada fase
lingkungan, yakni: sehat menghasilkan tanaman yang R4 (fase pertumbuhan tanaman polong
1) Cuaca panas. Pada kondisi kering dan mudah terserang hama dan penyakit. berkembang penuh, polong pada batang
suhu tinggi, metabolisme serangga 3) Ketersediaan air. Kerusakan tanaman utama mencapai panjang 2 cm atau lebih),
hama meningkat sehingga memper- akibat serangan hama akan makin R5 (fase pertumbuhan tanaman polong
pendek siklus hidup. Akibatnya jumlah parah jika terjadi kekurangan air. berisi, polong pada batang utama berisi
telur yang dihasilkan meningkat dan 4) Kondisi kesuburan tanah. Pada tanah biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6
akhirnya mendorong peningkatan yang subur, tanaman dapat tumbuh (fase pertumbuhan tanaman biji penuh,
populasi. Oleh karena itu, intensitas dengan vigor yang baik dan akan me-
serangan ulat grayak pada pertanaman ningkatkan preferensi serangga hama.
kedelai musim tanam ketiga (musim Tanaman yang tumbuh pada tanah
kemarau II) umumnya lebih tinggi yang kurang subur memiliki vigor yang Tabel 1. Luas serangan ulat grayak
dibanding pada musim hujan. kurang baik, dan apabila terserang (Spodoptera litura) pada ta-
2) Penanaman tidak serentak dalam satu hama, tanaman menjadi rusak berat naman kedelai di Indonesia,
areal yang luas. Penanaman kedelai sehingga hasil menurun. 2002− 2007.
yang tidak serentak menyebabkan 5) Keragaman cara pengendalian hama
dan penyakit. Pengendalian hama Luas serangan Tanaman puso
tanaman berada pada fase pertumbuh- Tahun
(ha) (ha)
an yang berbeda-beda sehingga yang dilakukan secara individual,
makanan ulat grayak selalu tersedia di bukan atas dasar musyawarah kelom- 2002 2.216 80
pok, akan menyulitkan pengendalian 2003 1.528 0
lapangan. Akibatnya, pertumbuhan 2004 2.902 0
populasi hama makin meningkat kare- hama pada satu hamparan.
2005 1.714 0
na makanan tersedia sepanjang musim. Keragaman teknik budi daya yang di- 2006 1.316 140
3) Aplikasi insektisida. Penggunaan terapkan petani perlu mendapat perhatian 2007 956* 0*
insektisida yang kurang tepat baik dalam upaya pengendalian ulat grayak *Angka sementara.
jenis maupun dosisnya, dapat memati- berdasarkan atas pertimbangan eko- Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman
kan musuh alami serta meningkatkan sistem. (2008).

Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 133


polong pada batang utama berisi biji ber- an hama. Oleh karena itu, penerapan mantauan yang secara rutin diterima dari
warna hijau atau biru yang telah memenuhi paket teknologi produksi harus di- subsistem pemantauan. Pengambilan
rongga polong/besar, biji mencapai maksi- arahkan kepada terwujudnya tanaman keputusan didasarkan pada model dan
mum) (Sumarno 1993). Hasil penelitian yang sehat. teknologi pengelolaan hama yang diku-
Arifin (1986a) menunjukkan bahwa apabila 2) Pelestarian musuh alami. Musuh alami asai oleh dan tersedia bagi pengambil
pada fase R2 dan R3 terdapat paling (parasit, predator, dan patogen se- keputusan. Keputusan yang diambil oleh
sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun rangga) merupakan faktor pengendali pengambil keputusan merupakan ber-
mencapai 50%. Selain itu, serangan ulat hama penting yang perlu dilestarikan bagai tindakan yang perlu dilakukan pada
grayak pada fase pertumbuhan tersebut dan dikelola agar mampu berperan agroekosistem agar sasaran PHT ter-
menyebabkan bunga banyak yang gugur, secara maksimum dalam pengaturan penuhi, termasuk keputusan kapan dan
sehingga menurunkan jumlah polong populasi hama di lapang. Untuk itu, bagaimana pestisida digunakan.
yang terbentuk, walaupun tidak mem- penggunaan insektisida perlu dila- Subsistem program tindakan (action
pengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan kukan secara selektif. Penggunaan program) mempunyai fungsi untuk
hasil penelitian, ambang luka ekonomi ulat pestisida nabati biji mimba yang segera melaksanakan keputusan dan
grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor mengandung azadirachtin terbukti rekomendasi yang dibuat oleh subsistem
larva per 1 m baris tanaman. Oleh karena dapat menekan serangan ulat grayak pengambilan keputusan dalam bentuk
itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu (Nathan dan Kalaivani 2005). tindakan pengendalian atau pengelolaan
diwaspadai, karena defoliasi pada fase 3) Pemantauan ekosistem secara terpadu. hama pada unit lahan atau lingkungan per-
tersebut menyebabkan kerugian hasil Pemantauan ekosistem pertanaman se- tanian yang dikelola. Tindakan tersebut
yang lebih besar dibandingkan pada fase cara rutin oleh petani merupakan dasar dapat dilakukan oleh petani perorangan
V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986b). analisis ekosistem untuk pengambilan atau secara berkelompok.
keputusan dan melakukan tindakan
pengendalian yang diperlukan.
PENGELOLAAN TERPADU 4) Petani sebagai ahli PHT, yaitu mampu
Komponen Pengendalian
ULAT GRAYAK mengambil keputusan dan memiliki
keterampilan dalam menganalisis
Komponen-komponen pengendalian hama
ekosistem untuk menetapkan cara
Pendekatan Sistem yang dapat dipadukan dalam penerapan
pengendalian hama secara tepat sesuai
Pengendalian dengan dasar PHT.
PHT pada tanaman kedelai adalah:
1) Pengendalian alami dengan mengu-
Berkembangnya resistensi hama terhadap rangi tindakan-tindakan yang dapat
insektisida yang diikuti dengan mening- merugikan atau mematikan perkem-
katnya kesadaran masyarakat akan dam- Analisis Ekosistem sebagai bangan musuh alami. Penyemprotan
pak buruk penggunaan insektisida secara Dasar Pengendalian Hama dengan insektisida yang berlebihan,
intensif, mendorong perlunya pengenda- baik dosis maupun frekuensi aplikasi-
lian hama secara terpadu dengan menekan Dalam PHT, pengambilan keputusan untuk nya, akan mengancam populasi musuh
penggunaan insektisida kimia dan melakukan tindakan pengendalian dida- alami (parasitoid dan predator).
mempertahankan keberlanjutan sistem sarkan atas analisis ekosistem. Analisis 2) Pengendalian fisik dan mekanik yang
usaha tani (Carter 1989). Hal ini men- ekosistem yang telah ditetapkan dan bertujuan untuk mengurangi populasi
dorong penggunaan komponen teknologi berfungsi terdiri atas tiga subsistem, yaitu hama, mengganggu aktivitas fisiologis
pengendalian selain insektisida kimia, pemantauan, pengambilan keputusan, dan hama, serta mengubah lingkungan fisik
seperti azadirachtin dan nucleopoly- tindakan pengendalian hama. menjadi kurang sesuai bagi kehidupan
hedrosis pada ulat grayak (Nathan dan Pemantauan atau monitoring ber- dan perkembangan hama. Pengurang-
Kalaivani 2006). tujuan untuk mengamati dinamika agro- an populasi hama dapat pula dilakukan
Pengendalian hama pada tanaman ekosistem secara rutin, baik komponen dengan mengambil kelompok telur,
kedelai diarahkan pada penerapan Pe- biotik (keadaan tanaman, intensitas ke- membunuh larva dan imago atau men-
ngendalian Hama Terpadu (PHT). PHT rusakan, populasi hama dan penyakit, cabut tanaman yang sakit.
adalah suatu pendekatan atau cara pe- populasi musuh alami, keadaan gulma dan 3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha
ngendalian hama yang didasarkan pada lain-lain) maupun komponen abiotik (curah bercocok tanam yang bertujuan untuk
pertimbangan ekologi dan efisiensi hujan, suhu, air, angin, dan lain-lain). Peng- membuat lingkungan tanaman menjadi
ekonomi dalam rangka pengelolaan eko- amatan secara rutin (misal satu minggu kurang sesuai bagi kehidupan dan
sistem yang berwawasan lingkungan dan sekali) dapat dilakukan oleh petugas pembiakan hama, serta mendorong
berkelanjutan. Strategi PHT adalah pengamat khusus atau oleh petani yang berfungsinya agensia pengendali
menggunakan secara kompatibel semua terlatih. Metode pengamatan harus dibuat hayati. Beberapa teknik bercocok
teknik atau metode pengendalian hama praktis dan ekonomis, tetapi memiliki tanam yang dapat menekan populasi
yang didasarkan pada asas ekologi dan tingkat ketelitian yang dapat dipertang- hama meliputi:
ekonomi. Prinsip operasional yang gungjawabkan. a) Penanaman varietas tahan. Pada
digunakan dalam PHT meliputi: Subsistem pengambilan keputusan tahun 2003 telah dilepas satu
1) Budi daya tanaman sehat. Tanaman berfungsi untuk menentukan keputusan varietas kedelai yang toleran ter-
yang sehat mempunyai ketahanan pengelolaan hama yang tepat yang di- hadap serangan ulat grayak yaitu
ekologi yang tinggi terhadap ganggu- dasarkan pada analisis data hasil pe- varietas Ijen (Suhartina 2005).

134 Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008


b) Penggunaan benih sehat dan
berdaya tumbuh baik. Benih Tabel 2. Ambang kendali dan strategi pengendalian hama ulat grayak pada
yang sehat akan tumbuh menjadi tanaman kedelai.
tanaman yang sehat pula. Selan-
jutnya, tanaman yang sehat akan Jenis hama Ambang kendali Strategi pengendalian
mampu mempertahankan diri dari Spodoptera litura - Intensitas kerusakan - Penanaman serempak dengan
serangan hama dengan kemam- 12,50% pada umur 20 selisih waktu relatif
puan tumbuh kembali (recovery) hari. Kerusakan 20% pendek (kurang dari 10 hari)
yang lebih cepat. pada umur tanaman > 20 - Menanam tanaman perangkap
hari jagung di pematang
c) Pergiliran tanaman untuk memu- - Pada fase vegetatif, 10 - Pemantauan lahan secara
tus siklus hidup hama. Pergiliran ekor instar 3/10 rumpun rutin dan pemusnahan
tanaman dengan menanam ta- tanaman kelompok telur dan ulat
naman bukan inang sebelum atau - Pada fase pembungaan: - Penyemprotan NPV (dari
sesudah kedelai ditanam dapat terdapat 13 ekor instar 25 ulat yang sakit dilarutkan
3/10 rumpun tanaman dalam 500 l air untuk 1 ha)
memutus siklus hama sehingga - Pada fase pengisian - Penyemprotan dengan Bacillus
populasi hama menjadi tertekan. polong: 26 ekor instar thuringiensis
d) Sanitasi dengan membersihkan 3/10 rumpun tanaman - Serbuk biji mimba 10 g/l
sisa-sisa tanaman atau tanaman - Semprot insektisida sesuai
lain yang dapat menjadi inang rekomendasi.
hama. Sumber: Marwoto (2007).
e) Penetapan masa tanam dan pena-
naman secara serempak pada
satu hamparan dengan selisih
waktu tanam maksimal 10 hari
untuk menghindari waktu tanam 2007). Kombinasi feromon seks dan manfaatkan agens hayati Nuclear
yang tumpang-tindih. Waktu aplikasi insektisida berdasarkan pe- Polyhedrosis Virus (SlNPV), Bacillus
tanam yang tidak serempak dalam mantauan mampu mencegah kehilang- thuringiensis, tanaman perangkap,
area yang luas akan mendorong an hasil kedelai akibat serangan ulat feromon seks, dan bahan nabati seperti
pertumbuhan populasi hama. grayak hingga 50% (Marwoto 1996). serbuk biji mimba. Pengendalian ulat
f) Penanaman tanaman perangkap 5) Pestisida nabati untuk mengembalikan grayak pada tanaman kedelai harus
atau penolak hama sehingga populasi hama pada asas keseim- berlandaskan pada Pengendalian Hama
hama lebih senang pada tanaman bangannya. Serbuk biji mimba efektif Terpadu (PHT).
perangkap dibanding tanaman mengendalikan hama ulat grayak
utama, misalnya menanam jagung (Susilo et al. 1996).
pada areal pertanaman kedelai Pestisida kimiawi dapat digunakan
untuk menarik hama ulat grayak setelah dilakukan analisis ekosistem
(Marwoto et al. 1991). terhadap hasil pengamatan dan ketetapan DAFTAR PUSTAKA
4) Penggunaan agens hayati (pengen- tentang ambang kendali. Pestisida yang
dipilih harus yang efektif dan telah Ahmad, M., A.H. Sayyed, M.A. Saleem, and M.
dalian biologis). Pengendalian biologis Ahmad. 2008. Evidence for field resistance
pada dasarnya adalah pemanfaatan diizinkan. Strategi pengendalian ulat
to newer insecticides in Spodoptera litura
dan penggunaan musuh alami untuk grayak dapat dilakukan berdasarkan (Lepidoptera:Noctuidae) from Pakistan.
mengendalikan hama. Musuh alami pemantauan ambang kendali dan strategi Crop Protection 27: 1.367−1.372.
seperti parasitoid, predator, dan komponen pengendalian, sehingga Arifin, M. 1986a. Kerusakan dan hasil kedelai
patogen serangga hama merupakan penerapan PHT yang dilakukan dipilih Orba pada berbagai umur tanaman dan
agens hayati yang dapat digunakan berdasarkan alternatif pengendalian yang populasi ulat grayak Spodoptera litura.
sebagai pengendali ulat grayak ada (Tabel 2). Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan
Bogor Tahun 1986.
(Marwoto 1999). NPV efektif mengen-
dalikan hama ulat grayak (Bejo 1997a). Arifin, M. 1986b. Tanggap pertumbuhan dan hasil
KESIMPULAN kedelai varietas Orba terhadap kehilangan
Kombinasi NPV dengan azadirachtin
daun. Seminar Balai Penelitian Tanaman
(insektisida nabati dari tanaman Pangan Bogor Tahun 1986.
mimba) lebih efektif mengendalikan Ulat grayak (S. litura) merupakan hama
penting pada tanaman kedelai karena Arifin, M. dan Sunihardi. 1997. Biopestisida
ulat grayak (Nathan dan Kalaivani
SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak
2005, 2006). Bacillus thuringiensis (Bt) dapat menurunkan produktivitas tanaman, Spodoptera litura. Warta Penelitian dan
merupakan agens hayati berbahan khususnya pada fase pertumbuhan R2-R4. Pengembangan Pertanian 9(5 dan 6): 3−5.
aktif bakteri yang efektif mengendali- Hampir 60% pertanaman kedelai ditanam
Badan Pusat Statistik. 1993. Survei Pertanian.
kan ulat grayak (Bejo 1997b). Peman- pada musim kemarau atau setelah padi- Luas dan Intensitas Serangan Jasad Peng-
faatan Bt sebagai agens hayati untuk padi sehingga rawan terhadap serangan ganggu Padi dan Palawija di Jawa. Badan Pusat
mengendalikan ulat grayak aman ter- ulat grayak. Statistik, Jakarta.
hadap serangga bukan sasaran seperti Pengendalian hama ulat grayak, Badan Pusat Statistik. 1994. Survei Pertanian.
parasitoid dan predator (Walker et al. selain dengan cara kimiawi, dapat me- Luas dan Intensitas Serangan Jasad Peng-

Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 135


ganggu Padi dan Palawija di Jawa. Badan Pusat Marwoto, E. Wahyuni, dan K.E. Neering. 1991. Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2006.
Statistik, Jakarta. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Combined effects of azadirachtin and
Hama Kedelai secara Terpadu. Monograf nucleopolyhedrosis virus (SpltNPV) on Spo-
Bejo. 1997a. Peningkatan efektivitas NPV me- Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang doptera litura Fabricius (Lepidoptera:
lalui modifikasi bahan pembawa untuk me- No. 7. 39 hlm. Noctuidae) larvae. Biol. Control 39: 96−104.
ngendalikan hama kedelai. Laporan Teknis
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan Marwoto. 1996. Pengendalian hama daun kedelai Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuarso. 1988.
dan Umbi-umbian, Malang. 8 hlm. dengan insektisida dan feromonoid seks ulat An outline of soybean pest in Indonesia in
grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan faunistic aspects. Seminar Balai Penelitian
Bejo. 1997b. Efektivitas Bacillus thuringiensis 15(1): 26−29. Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988.
(Bt) untuk mengendalikan perusak daun
37 hlm.
kacang tanah. Laporan Teknis Balai Peneliti- Marwoto dan Bejo. 1997. Resistensi hama ulat
an Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi- daun terhadap insektisida di daerah sentra Suhartina. 2005. Diskripsi Varietas Unggul
umbian, Malang. 4 hlm. produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai
Teknis 1996−1997. Balai Penelitian Tanam- Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Carter, H.O. 1989. Agricultural sustainability: an Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Umbi-umbian, Malang. 154 hlm.
an overview and research assessment. Malang. 14 hlm.
Californian Agric. 43: 13−17. Sumarno. 1993. Penandaan stadia pertumbuhan
Marwoto. 1999. Rakitan teknologi PHT pada kedelai metode Fehr dan Caviness 1977.
Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelak- tanaman kedelai. hlm. 67−97. Dalam Prosiding Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.
sanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanam- Lokakarya Strategi Pengembangan Produksi 12 hlm.
an Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Kedelai, Bogor 16 Maret 1999. Pusat Peneli-
Pertanian, Jakarta. 39 hlm. tian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Susilo, A., D. Haryanto, dan S. Satriyo. 1996.
Bogor. Pengaruh bagian tanaman mimba (Azadi-
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
racta indica) terhadap mortalitas ulat grayak
2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama (Spodoptera litura F.). Majalah Ilmiah Pem-
Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. terpadu dalam program bangkit kedelai. bangunan 5(9): 136−143.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Iptek Tanaman Pangan 2(1): 79−92.
Jakarta. Walker, G.P., P.J. Cameron, F.M. MacDonald,
Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy V.V. Madhusudhan, and A.R. Wallace. 2007.
Huang, S. and Z. Han. 2007. Mechanisms for of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin Affiacy of nucleopolyhedrovirus and
multiple resistances in field populations of on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius
common cutworm, Spodoptera litura Noctuidae). Biol. Control 34: 93−98. (Lepidoptera : Noctuidae). ELSEVIER.
(Fabricius) in China. Pesticide Biochem.
Biological Control 40(2007): 142−151.
Physiol. 87: 14−22.

136 Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008

You might also like