You are on page 1of 9

Dorongan Menuju Energi Terbarukan untuk Indonesia 

Refleksi Hari Bumi 2010

Muhammad Endro Sampurna

22 April 2010, untuk ke 40 kalinya secara berturut-turut para pemerhati


lingkungan hidup dari segala penjuru muka Bumi kembali memperingati Hari
Bumi—hari di mana kita merenungkan kembali betapa besar beban Bumi untuk
menyediakan sumberdaya alam bagi pasokan kebutuhan seluruh manusia
setiap waktunya. Hari di mana kita menyadari kembali bahwa setiap saat Bumi
dalam daur oksigen berupaya memastikan oksigen siap dihirup untuk 6,6 miliar
populasi manusia yang hidup di atasnya. Begitu pun melalui mekanisme daur karbon. Bumi
siap sedia untuk menampung emisi hasil aktivitas manusia, termasuk karbon monooksida,
karbon dioksida, nitrogen oksida maupun metana.

Melalui Hari Bumi kita diingatkan kembali bahwa melalui daur hidrologinya, Bumi senantiasa
memastikan tersedianya pasokan air bersih untuk konsumsi 6,6 miliar lebih populasi
manusia ditambah beragam spesies yang juga hidup di planet ini. Dan melalui daur
ekosistemnya, Bumi memastikan bahwa tanah yang dipijak manusia mampu memberikan
kesuburan bagi lahan pertanian dan pada akhirnya mampu menyalurkan pasokan pangan
dan bahan mentah bagi rantai produksi komoditas yang memang dibutuhkan keseharian
manusia. Bumi juga seolah senantiasa siap sedia untuk digerus, dieksplorasi dan dieksploitasi
guna menemukan bahan tambang dan sumber migas untuk memastikan keberlangsungan
peradabaan manusia yang memang sudah bergantung pada daya dukung sumberdaya
tersebut.

Seperti 22 April 40 tahun silam kala Gaylord Nelson dianggap berhasil menggerakkan
mahasiswa dan generasi muda Amerika Serikat saat itu untuk mengkritisi gaya hidup
masyarakat dan kebijakan politik pemerintah AS, maka ruh militansi gerakan lingkungan saat
ini juga berupaya mengingatkan khalayak ramai perihal tingkat konsumsi masyarakat dan
ditambah dengan kepentingan ekonomi politik yang seolah tidak terbatas yang secara
langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung Bumi.

Esai ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang berimbang antara kebutuhan
manusia terhadap sumberdaya alam, termasuk kebutuhan manusia atas pasokan energi dan
dilemanya dalam fenomena kelangkaan sumberdaya alam (eco-scarcity). Esai ini juga
ditujukan sebagai dorongan atas kampanye sumberdaya alam terbarukan sebagai pemasok
energi alternatif sebagai upaya untuk memastikan tercapainya tujuan pembangunan
berkelanjutan—memastikan pasokan energi untuk generasi saat ini maupun generasi masa
depan serta kontribusinya untuk turut serta menangani isu perubahan iklim.

Bumi dalam Tekanan


Telah beragam cara dilakukan oleh para pemerhati lingkungan guna memberikan pemahaman
pada masyarakat luas termasuk para pengambil kebijakan politik tentang besarnya tekanan
populasi manusia terhadap Bumi. Steffen et.al. (2004) dalam Global Change and the Earth
System: A Planet Under Pressure memberikan ilustrasi yang menarik guna menghantarkan
pemahaman pada kita atas betapa begitu besarnya tekanan manusia pada planet ini. Dalam


Tulisan ini dituliskan untuk Serasi, Media Komunikasi Kementrian Lingkungan Hidup RI edisi 02/2010 dalam
rangka memperingati Hari Bumi 2010. Silakan unduh di www.menlh.go.id/Serasi/tahun2010/Serasi_Edisi-02-
2010.pdf dengan menyertakan sumber tulisan.

Saat ini penulis aktif sebagai pengajar mata kuliah Politik Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, FISIP UI
(http://ilmu-politik.fisip.ui.ac.id) dan peneliti pada Lingkar Studi CSR (www.csrindonesia.com).
1
ilustrasi grafiknya, mereka menghantarkan pesan pada masyarakat luas bahwa semenjak fase
Revolusi Industri dan kian diperhebat pada pasca Perang Dunia II telah terjadi peningkatan
yang signifikan atas jumlah populasi manusia, akumulasi ekonomi manusia, dan tingkat
konsumsi manusia termasuk pada kebutuhan harian manusia; pasokan pangan, konsumsi
kertas, konsumsi air maupun jumlah kendaraan bermotor.

Melalui penyajian grafik pula, Will Steffen dan kawan-kawan mencoba menghantarkan
pemahaman pada kita bahwa kebutuhan harian per individu manusia itu pula yang telah
berdampak secara dramatis atas keadaan Bumi saat ini. Tidak berimbangnya komposisi gas
rumah kaca atmosfer, fenomena lubang ozon, perubahan bentang alam secara signifikan
hingga fenomena kian hangatnya temperatur Bumi, anomali iklim, meningkatnya batas
permukaan laut, frekuensi banjir yang kian tinggi maupun kian meningkatnya angka
kepunahan spesies flora-fauna merupakan indikator-indikator yang digunakan para ahli atas
telah terjadinya perubahan sistem Bumi menuju degradasi kemampuan planet ini untuk
mendukung manusia dan tingkat konsumsinya yang melingkupi kehidupan manusia.

Tidak Ada Indikasi Penurunan Tekanan Manusia terhadap Bumi maupun Dampak Perubahan
Sistem Bumi Akibat Aktivitas Manusia

Grafik 1. Peningkatan Populasi, Aktivitas & Grafik 2. Perubahan Sistem Bumi sebagai
Kebutuhan Manusia Dampak atas Peningkatan Aktivitas Manusia
Sumber: Steffen et.al. (2004:15) secara Dramatis
Sumber: Steffen et.al. (2004:17)

Atas begitu hebatnya tekanan populasi manusia pada Bumi maka ketika para ahli menghitung
besaran tingkat konsumsi manusia dan dibandingkan dengan daya dukung sumberdaya
Bumi, kesimpulan penelitian yang kontrovesial-lah yang kemudian mencuat. Kumpulan hasil
riset para ahli yang didokumentasikan oleh WWF (2008:22) melalui Living Planet Report 2008
menyatakan bahwa bila aktivitas manusia diselenggarakan dalam kerangka business-as-usual
tanpa ada realisasi perubahan atas tingkat konsumsi, efisiensi atas pengelolaan sumberdaya
alam maupun investasi pada sumberdaya alam, maka besar kemungkinan bila di 2030 Bumi
akan mengalami defisit bio-kapasitas sebesar 100%. Artinya bahwa mulai pada periode itu
2
populasi manusia akan membutuhkan dua planet Bumi sekaligus dengan kemampuan
kapasitas sumberdaya alam yang sama demi memenuhi angka konsumsi populasi manusia
pada masa itu.

Energi dan Polemiknya


Atas tekanan aktivitas manusia terhadap Bumi seperti yang saya uraikan di atas, tetap saja
saya tidak dapat membayangkan peradaban masa kini lekang dari pasokan energi. Rasanya
besar kemungkinan bila di empat hingga lima dekade ke depan tekanan terhadap Bumi akan
kian menghebat, bukan berkurang sedikitpun. Argumentasinya adalah pertumbuhan populasi
manusia dengan tren yang terus meningkat berarti pertumbuhan pula pada kebutuhan
pemenuhan hidup penduduk tersebut, termasuk dengan pasokan energi. Dan telah
diprojeksikan bahwa di 2050 kebutuhan manusia atas energi akan bertambah dua hingga tiga
kali lipat dari akumulasi permintaan energi saat ini.

Bahkan lembaga-lembaga berpengaruh seperti International Energy Agency (IEA) maupun


World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) telah mempublikasikan
skenario sumberdaya energi hingga dua dan empat dekade ke depan. Melalui publikasi IEA
(2007), World Energy Outlook 2007, maupun WBCSD (2007), Walking the Talk on Energy and
Climate, dan dengan memperhitungkan kemampuan teknologi, modal intelektual serta
sumberdaya finansial di banyak negara, kita dapat mengetahui bahwa skenario yang paling
memungkinkan dalam memastikan pasokan energi (minimal) hingga 2030 adalah dengan
tetap masih bergantung pada sumberdaya tak terbarukan (unrenewable resources) seperti
yang kita ketahui selama ini, walau juga terdapat dorongan diversifikasi energi pada inovasi
pengadaan energi berbahan dasar sumberdaya terbarukan (renewable resources) maupun
energi alternatif lainnya seperti sumberdaya nuklir.

Grafik 3. Projeksi Pertumbuhan Permintaan


Ilustrasi 1. Projeksi Skenario Pasokan Energi Kebutuhan Sumberdaya Energi Dunia Hingga
Dunia Hingga 2050 2030
Sumber: WBCSD (2007:2) Sumber: IEA (2007:77)

Masalahnya adalah sampai kapan penduduk Bumi—termasuk Indonesia—akan terus


bergantung pada sumberdaya tak terbarukan tersebut. Di mana telah menjadi rahasia publik
bahwa kemampuan daya dukung Bumi dalam deposit sumberdaya fosil tersebut kian menipis
di banyak ladang migas maupun tambang batubara. Seolah mengkonfirmasi Hubbert’s Peak
Theory—terutama untuk deposit minyak bumi—bahwa telah sejak lama para ahli ekonomi
politik dan geologi memperingatkan bahwa ada risiko yang harus ditanggung oleh sebuah
wilayah bila wilayah tersebut terlalu menggantungkan pasokan energi hanya bersandar pada
sumberdaya tak terbarukan, tidak paralel dengan investasi teknologi demi pengadaan energi
alternatif (Anderson et.al. (2007:5), The Future of Oil).

3
Polemik lainnya adalah perihal keberadaan sumberdaya energi tersebut yang rentan bagi
terciptanya letupan konflik. Telah menjadi rahasia publik pula bahwa sumberdaya energi
tersebut memiliki nilai ekonomis yang signifikan terkait dengan logika permintaan yang terus
meningkat terhadap pasokan sumberdaya yang kian menipis. Maka tidak mengherankan bila
letupan konflik, tudingan pelanggaran HAM, tudingan keterlibatan dalam tindak koruptif
hingga tudingan keterlibatan gerakan separatisme kerap membayangi para pengelola
sumberdaya alam yang memang kian bernilai tinggi itu. Khusus untuk Indonesia, pelajaran-
pelajaran yang terdokumentasi seperti dalam Mohammad Tadjoeddin (2007), A Future
Resource Curse in Indonesia, Andrew Rosser (2007), Escaping the Resource Curse: The Case of
Indonesia, dan lainnya seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang cara mengelola
sumberdaya alam—termasuk sumberdaya energi—secara arif dan berkelanjutan yang memang
masih tersebar di penjuru Indonesia, terutama bagi pihak-pihak yang berkepentingan di
dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut.

Selain beberapa polemik yang telah saya sampaikan di atas, sepertinya dampak penggunaan
energi terhadap akumulasi emisi di atmosfer kian disepakati sebagai isu strategis yang
mendesak harus segera ditangani oleh banyak pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi
fosil—yang memang masih kita butuhkan untuk pengadaan listrik dan bahan bakar ragam
aktivitas manusia—telah menjelma menjadi kontributor signifikan bagi fenomena pemanasan
global dan perubahan iklim Bumi. Dan dikombinasikan dengan faktor-faktor pertumbuhan
populasi manusia, peningkatan konsumsi manusia serta pelepasan karbon akibat perubahan
fungsi hutan menjadikan komposisi gas di atmosfer kian tidak berimbang; menjadikan beban
atmosfer dalam menampung emisi hasil aktivitas manusia kian menggelembung; dan
menjadikan perkiraan naiknya temperatur Bumi antara 2-4oC, perubahan iklim, kerentanan
kepunahan spesies serta
perubahan sistem Bumi
lainnya kian mendekati
kenyataan harian
manusia.

Dengan tampilan hasil


studi berikut, kita akan
memahami tingkat
kontribusi emisi dari tiap-
tiap negara terpilih yang
ditampilkan pada grafik
tersebut. Dari ilustrasi
grafik itu kita dapat
membandingkan posisi Ilustrasi 2. Energi, Pemanfaatannya, dan Dampaknya bagi
kontribusi emisi Akumulasi Emisi Karbon Dioksida (CO2) di Beberapa Negara Terpilih
Indonesia di hadapan Sumber: WBCSD (2004:3), Facts and Trends to 2050, Energy and
negara-negara lain. Climate Change

Namun yang patut diperhitungkan kembali adalah perhitungan pada grafik tersebut hanya
berdasarkan akumulasi pelepasan emisi karbon akibat penggunaan energi. Padahal ada faktor
lain yang kini kian diperhitungkan atas kontribusinya bagi akumulasi emisi di atmosfer, yaitu
Land-use, Land use Change and Forestry (LULUCF), di mana Armely Meiviana et.al. (2004:8)
dalam Bumi Makin Panas mencatat bahwa aktivitas perubahan tata guna lahan dan hutan di
Indonesia telah berkontribusi sebesar 64% bagi akumulasi emisi negara ini setiap tahunnya.
Dan Indonesia bersama beberapa negara lainnya merupakan negara-negara terdepan dalam
pelepasan karbon berdasarkan perhitungan aktivitas LULUCF.

Dorongan Menuju Energi Bersih

4
Memahami atas peliknya tekanan terhadap Bumi, isu pengadaan energi serta rantai isu
turunannya, maka seperti yang telah saya kemukakan di awal bahwa sebenarnya telah
banyak para pemerhati lingkungan hidup—baik sebagai akademisi, peneliti, penggiat ornop
maupun perangkat pemerintah dan perusahaan—yang dengan segenap upayanya
mencurahkan pemikiran maupun sumberdaya yang dimiliki untuk turut berkontribusi demi
memastikan tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan; demi tercapainya kondisi carbon
neutral, kemampuan sumberdaya alam dalam keadaan eco-credit, dan bahkan kesetaraan atas
akses sumberdaya alam (eco-justice).

Friends of the Earth (2008) dalam publikasinya Renewable Energy: Your


Questions Answered seolah mewakili kalangan ornop dalam turut
berkontribusi memberikan peta jalan (road map) atas pilihan energi yang
sebaiknya mulai ditempuh serius oleh banyak kalangan di muka Bumi.
Mengingat kian urgennya isu pemanasan global dan perubahan iklim, FoE
berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menjadi motor pendorong
utama bagi gerakan transisi menuju penggunaan sumberdaya alam
terbarukan yang dinilai memiliki emisi lebih rendah ketimbang energi fosil.
FoE juga mengakui bahwa rata-rata energi terbarukan tersebut
merupakan inovasi teknologi terkini dan masih dalam nilai ekonomi yang
tinggi. Namun bagi FoE dengan mengedepankan strategi kombinasi
diversifikasi sumberdaya—mulai dari pasokan sumberdaya lokal hingga pemanfaatan panel
surya—dalam pengadaan energi sebuah negara, maka seharusnya kekhawatiran akan
tingginya biaya energi terbarukan tersebut kian pupus. ”There is no single silver bullet, but
many.”, begitu keyakinan yang dinyatakan oleh FoE terkait dorongannya pada strategi
diversifikasi pasokan energi pada sumberdaya terbarukan (FoE, 2008:5).

Jouni Korhonen (2001) dalam esainya Four


Ecosystem Principles for an Industrial Ecosystem
menjadi salah satu gagasan yang kian
diperhitungkan keberadaanya dari kalangan
akademisi dalam mendampingi negara, industri
maupun masyarakat sipil lainnya menuju realisasi
penghormatan teknologi dan ilmu pengetahuan
manusia terhadap eksistensi alam. Dengan adopsi
cara berfikir bio-mimikri, Korhonen percaya bahwa
peluang peradaban manusia dalam bertahan akan
memiliki probabilita jauh lebih besar apabila
majoritas penduduk Bumi berkeinginan untuk
menghargai keberadaan alam, efektif dalam
pengelolaan sumberdaya alam, berinvestasi terhadap
keberlanjutan sumberdaya alam, serta memberikan
ruang waktu bagi alam untuk memulihkan diri dan
pada akhirnya berkemampuan kembali menyediakan
pasokan sumberdaya bagi manusia.

Gagasan Jouni Korhonen dalam mensinergikan


proses produksi manusia dengan penghormatan
tinggi terhadap alam, perhitungan ketat atas daya Tabel 1. Prinsip-prinsip Ekosistem yang
dukung Bumi, dan kampanye dalam penggunaan Menginspirasi Industrial Ecosystem
energi terbarukan ia namakan dengan industrial Sumber: Korhonen (2001:254)
ecosystem (Korhonen (2001:254)).

Tidak ketinggalan dari kalangan industri—entitas sosial yang paling dituding atas terciptanya
deekosistem dan dehumanisasi belakangan ini—yang kini—walau masih secara perlahan—
5
juga turut untuk menangani isu pemanasan global. Memahami bahwa perubahan iklim dan
menurunnya deposit energi fosil merupakan dampak atas operasionalnya, maka untuk
beberapa perusahaan energi yang progresif, inovasi atas pengadaan energi alternatif mereka

pahami sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap Bumi dan terhadap generasi saat ini
maupun generasi masa depan—serupa dengan
pemahaman corporate social responsibility arus utama
yang mendefinisikan CSR sebagai komitmen
perusahaan dalam mengelola dampak operasionalnya
terutama dampak inti operasional perusahaan (...the
way company manages its overall impacts through core
business operations and investments, Nelson (2008:2))—
bukan sekadar strategi CSR filantropi, gloosy bahkan
berindikasi terciptanya praktik greenwash.

Kalangan industri ini memahami bahwa investasi dalam


riset pengadaan energi alternatif berbasis sumberdaya
terbarukan bukanlah sebuah fase yang singkat dan
dengan biaya murah. Namun kombinasi antara
komitmen riset tersebut dengan manajemen organisasi
yang bagus, efektif dalam penggunaan sumberdaya
termasuk finansial dan teknologi, serta
mempertahankan citra positif di hadapan masyarakat
luas berbasis proses kerja dalam keseimbangan triple
bottom line dipercaya sebagai rumusan menuju
kontribusi perusahaan dalam pencapaian
pembangunan berkelanjutan yang substansial.
Hasilnya, kepemimpinan perusahaan tersebut dalam
pengadaan energi ramah lingkungan untuk saat ini dan
jauh hingga masa depan merupakan luaran yang akan Ilustrasi 3. Strategi Diversifikasi
mereka tuai—bukan sekadar suatu perusahaan energi Pasokan Energi
yang hanya terfokus dalam penghabisan energi fosil Sumber: Shell (2004:6), The Shell
saat ini saja. Report 2003

Kampanye atas penggunaan sumberdaya terbarukan ini pula yang terus dipromosikan oleh
berbagai pihak di negeri ini kepada para pemangku kepentingan dalam pengadaan energi
Indonesia. Potensi energi surya, mikrohidro, air, ombak, biodiesel hingga potensi energi panas
bumi rasanya dapat kita panen dalam jumlah yang signifikan sebagai alternatif pengadaan
energi bangsa ini. Sudah mahfum dikenal bahwa Indonesia adalah hotspot bagi
keanekaragaman potensi energi selain energi konvensional yang kita sandarkan selama ini.

Dan bila menilik ragam publikasi saat ini ada kecenderungan bahwa dalam kerangka tri-sector
partnership pemerintah Indonesia bersama dengan pelaku industri dan entitas masyarakat
sipil memang tengah berupaya mengembangkan pemanfaatan ragam sumberdaya terbarukan
itu. Departemen ESDM (2008) dalam publikasinya Indonesia’s Renewable Energy Potential
menyatakan bahwa dalam bauran energi primer nasional hingga 2025 berdasarkan Peraturan
Presiden No.5/2006 telah memberikan ruang pasokan bagi sumberdaya terbarukan sebesar
17% dari akumulasi pengadaan energi nasional, atau terjadi peningkatan sekitar 12% lebih
dari ketetapan strategi energi nasional sebelumnya.

Pemerintah juga telah menetapkan target pengadaan energi terbarukan itu atas seluruh
potensi yang mampu didukung bumi Nusantara ini, seperti yang saya urai dalam tabel berikut
6
ini. Dalam catatannya, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa diperlukan dana segar
senilai USD 13,197 juta guna berinvestasi dalam pengembangan energi terbarukan itu hingga
2025 (ESDM: 2008).
Tabel 2. Sumberdaya Energi Terbarukan di Indonesia: Total Potensi dan Target Realisasinya

Sumberdaya Besaran Potensi di Target Realisasi


Indonesia
Mini/Mikrohidro 450 MW 2,846 MW (2025)
Biomassa 50 GW 180 MW (2020)
Panas matahari 4,80 KWh/m2/hari 0,87 GW (2024)
Energi angin 3-6 M/detik 0,97 GW (2025)
Energi nuklir 3 GW 4,2 GW (2024)
Sumber: Dept. ESDM (2008), Indonesia’s Renewable Energy Potential, diolah kembali

Membandingkan dengan skenario dan projeksi peningkatan permintaan kebutuhan energi


dunia, maka sepertinya pemerintah Indonesia banyak mengadaptasi strategi pengadaan energi
global tersebut dan tidak mengherankan apabila masih ada ketimpangan proporsi sumberdaya
terbarukan Indonesia yang hanya mendapatkan porsi 17% ketimbang jatah sumberdaya tak
terbarukan yang masih mendominasi 83% bagi pasokan energi negeri ini hingga 2025. Namun
besar harapan bahwa pasca 2025 pemerintah negara ini kian mengembangkan porsi
kontribusi sumberdaya terbarukan bagi pasokan energi Indonesia ketimbang kebijakaan
energi nasional saat ini.

Dan bila memungkinkan pemerintah Indonesia mampu memberikan kejutan bagi para
pemerhati lingkungan dan energi dengan kinerja pemerintah yang ternyata mampu menjadi
motor penggerak dalam meningkatkan pasokan energi terbarukan melebihi batasan 17% dan
di sisi lain mampu menurunkan ketergantungan pasokan energi tak terbarukan menjadi di
bawah 83% sebelum tahun 2025. Kiranya apresiasi tinggi dari pemerhati lingkungan akan
layak disematkan kepada pemerintah Indonesia apabila kemungkinan itu mampu terealisasi.
Karena dengan kian mengembangkan sumberdaya terbarukan berikut dengan praktik
pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan, maka menjadi sinyalemen kuat bahwa
pemerintah Indonesia juga turut berperan aktif dalam menurunkan akumulasi angka emisi
negeri ini pada atmosfer Bumi—seperti yang telah tekun diseriusi oleh beberapa negara
progresif lainnya.

Penutup: Pilihan Energi untuk


Keberlanjutan Peradaban Manusia
Kini pilihan pasokan sumberdaya bagi
pengadaan energi ada di tangan kita semua.
Sudah semenjak tahun 2000
Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) merilis hasil studi yang memberikan
gambaran perihal pertumbuhan populasi,
pembangunan ekonomi, projeksi pilihan
sumberdaya dan perhitungan dampak
emisinya bagi atmosfer hingga tahun 2050.

Artinya, semenjak tahun 2000 itu pula para


pengambil kebijakan di banyak negara
sebenarnya telah mampu memperkirakan Ilustrasi
pilihan sumberdayanya bagi pasokan energi 4.
maupun political will dalam turut Projeksi
berkontribusi menurunkan emisi atmosfer Pilihan
Energi &
Bumi. Besaran
Emisinya 7
Berbasis
Skenario
IPCC
Sumber:
WBCSD
(2004:8)
Sekarang tantangannya apakah majoritas penduduk Bumi berkehendak untuk memiliki
alternatif lain dalam pilihan dan penggunaan sumberdaya energi di luar skenario IPCC A1B
dan B2 tersebut? Atau ternyata penduduk Bumi—termasuk kita—menyerah dan memilih
bersandar pada projeksi IPCC tersebut dan pada akhirnya pada tahun 2050 tiap individu
manusia adalah kontributor bagi terciptanya 15-16 giga ton karbon di atmosfer Bumi?

Sebagai bahan pertimbangan, menyerah dan hanya bersandar pada skenario IPCC A1B dan
B2 seperti pada ilustrasi grafik di atas berarti memberi peluang besar bagi terciptanya
konsentrasi CO2 di lapisan atmosfer hingga mencapai 700-1000 ppm. Artinya dalam tingkat
konsentrasi karbon dioksida seperti itu maka besar kemungkinan bila terjadi kenaikan suhu
global sebesar 2-4oC dan akan diikuti dengan dampak global seperti anomali iklim dalam
tingkatan ekstrem, ancaman kepunahan bagi ekosistem yang sensitif terhadap perubahan
suhu secara drastis, maupun fenomena naiknya tingkat permukaan laut. Tidak berhenti di
situ saja. Dalam tingkat konsentrasi CO2 pada 700-1000 ppm itu pula maka peluang kenaikan
suhu global dapat berkembang sebesar 4-6oC. Bila kenaikan suhu itu benar terjadi, maka
besar kemungkinan bahwa kita akan menjadi saksi dari perubahan iklim secara masif dan
drastis maupun perubahan pola aliran samudera juga secara masif dan drastis (WBCSD
(2004:5), Facts and Trends to 2050, Energy and Climate Change).

Atau secara arif kita kian serius menggeluti peta jalan yang telah direkomendasikan oleh
banyak pihak; efisiensi energi terutama dalam proses industri, transportasi, dan bangunan;
pertumbuhan yang pesat dalam penggunaan sumberdaya terbarukan yang memang
terhampar di muka Bumi; maupun upaya-upaya untuk kian memperluas kemampuan Bumi
dalam menyerap karbon dan segera melepas oksigen seperti yang telah dilakukan ekosistem
selama ini.

Bila peta jalan rekomendasi itu memang dijalankan oleh


majoritas penduduk Bumi, maka ada peluang bahwa kita
merupakan kontributor bagi pelepasan emisi yang lebih
rendah sekitar 6-7 giga ton karbon ketimbang skenario
IPCC A1B di 2050. Artinya kepatuhan kita terhadap
kuasa Bumi dan atmosfernya mampu memungkinkan
perpanjangan usia peradaban manusia. Setidaknya
dengan kepatuhan tersebut, maka diperkirakan bahwa
peningkatan temperatur Bumi sebesar 3-4oC baru akan
terjadi di 2100 dan kenaikan temperatur hingga 6oC baru
akan terjadi di 2300 (WBCSD (2005:1), Pathways to 2050:
Energy & Climate Change).

Memang bukan perkara yang mudah dan sederhana


dalam mendorong pengadaan energi berbasis sumberdaya
terbarukan. Karena sangat dimungkinkan apabila fase
Ilustrasi 5. Skenario Emisi Hingga 2050 transisi menuju sumberdaya yang lebih ramah
Sumber: WBCSD (2005:1) lingkungan ini akan mendapat intevensi dari pihak-pihak
yang selama ini berkepentingan dalam pasokan sumberdaya tak terbarukan, terutama terkait
dengan memastikan keberlanjutan kepentingan ekonomi politiknya. Namun mengingat begitu
masifnya dampak atas ketergantungan manusia pada energi tak terbarukan, maka memang
sudah seharusnya bila pasokan energi dunia sudah mulai didominasi oleh sumberdaya
terbarukan.

Dengan begitu maka diharapankan bahwa manusia kian menghormati eksistensi Bumi
berikut dengan kesatuan ekosistemnya, terciptanya perhitungan yang memadai antara target
produksi dengan daya dukung sumberdaya alam, kian berkurangnya gaya konsumtif
8
manusia, peningkatan investasi manusia terhadap lingkungan hidup maupun diberikannya
ruang waktu bagi alam untuk memulihkan diri dan pada akhirnya kembali memberikan daya
dukungnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia.

Selamat Hari Bumi..! Semoga kita masih dapat merayakan Hari Bumi di 2030 maupun 2050
ke depan.

--<-@ @->--

You might also like