Professional Documents
Culture Documents
Melalui Hari Bumi kita diingatkan kembali bahwa melalui daur hidrologinya, Bumi senantiasa
memastikan tersedianya pasokan air bersih untuk konsumsi 6,6 miliar lebih populasi
manusia ditambah beragam spesies yang juga hidup di planet ini. Dan melalui daur
ekosistemnya, Bumi memastikan bahwa tanah yang dipijak manusia mampu memberikan
kesuburan bagi lahan pertanian dan pada akhirnya mampu menyalurkan pasokan pangan
dan bahan mentah bagi rantai produksi komoditas yang memang dibutuhkan keseharian
manusia. Bumi juga seolah senantiasa siap sedia untuk digerus, dieksplorasi dan dieksploitasi
guna menemukan bahan tambang dan sumber migas untuk memastikan keberlangsungan
peradabaan manusia yang memang sudah bergantung pada daya dukung sumberdaya
tersebut.
Seperti 22 April 40 tahun silam kala Gaylord Nelson dianggap berhasil menggerakkan
mahasiswa dan generasi muda Amerika Serikat saat itu untuk mengkritisi gaya hidup
masyarakat dan kebijakan politik pemerintah AS, maka ruh militansi gerakan lingkungan saat
ini juga berupaya mengingatkan khalayak ramai perihal tingkat konsumsi masyarakat dan
ditambah dengan kepentingan ekonomi politik yang seolah tidak terbatas yang secara
langsung maupun tidak langsung memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung Bumi.
Esai ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang berimbang antara kebutuhan
manusia terhadap sumberdaya alam, termasuk kebutuhan manusia atas pasokan energi dan
dilemanya dalam fenomena kelangkaan sumberdaya alam (eco-scarcity). Esai ini juga
ditujukan sebagai dorongan atas kampanye sumberdaya alam terbarukan sebagai pemasok
energi alternatif sebagai upaya untuk memastikan tercapainya tujuan pembangunan
berkelanjutan—memastikan pasokan energi untuk generasi saat ini maupun generasi masa
depan serta kontribusinya untuk turut serta menangani isu perubahan iklim.
Tulisan ini dituliskan untuk Serasi, Media Komunikasi Kementrian Lingkungan Hidup RI edisi 02/2010 dalam
rangka memperingati Hari Bumi 2010. Silakan unduh di www.menlh.go.id/Serasi/tahun2010/Serasi_Edisi-02-
2010.pdf dengan menyertakan sumber tulisan.
Saat ini penulis aktif sebagai pengajar mata kuliah Politik Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, FISIP UI
(http://ilmu-politik.fisip.ui.ac.id) dan peneliti pada Lingkar Studi CSR (www.csrindonesia.com).
1
ilustrasi grafiknya, mereka menghantarkan pesan pada masyarakat luas bahwa semenjak fase
Revolusi Industri dan kian diperhebat pada pasca Perang Dunia II telah terjadi peningkatan
yang signifikan atas jumlah populasi manusia, akumulasi ekonomi manusia, dan tingkat
konsumsi manusia termasuk pada kebutuhan harian manusia; pasokan pangan, konsumsi
kertas, konsumsi air maupun jumlah kendaraan bermotor.
Melalui penyajian grafik pula, Will Steffen dan kawan-kawan mencoba menghantarkan
pemahaman pada kita bahwa kebutuhan harian per individu manusia itu pula yang telah
berdampak secara dramatis atas keadaan Bumi saat ini. Tidak berimbangnya komposisi gas
rumah kaca atmosfer, fenomena lubang ozon, perubahan bentang alam secara signifikan
hingga fenomena kian hangatnya temperatur Bumi, anomali iklim, meningkatnya batas
permukaan laut, frekuensi banjir yang kian tinggi maupun kian meningkatnya angka
kepunahan spesies flora-fauna merupakan indikator-indikator yang digunakan para ahli atas
telah terjadinya perubahan sistem Bumi menuju degradasi kemampuan planet ini untuk
mendukung manusia dan tingkat konsumsinya yang melingkupi kehidupan manusia.
Tidak Ada Indikasi Penurunan Tekanan Manusia terhadap Bumi maupun Dampak Perubahan
Sistem Bumi Akibat Aktivitas Manusia
Grafik 1. Peningkatan Populasi, Aktivitas & Grafik 2. Perubahan Sistem Bumi sebagai
Kebutuhan Manusia Dampak atas Peningkatan Aktivitas Manusia
Sumber: Steffen et.al. (2004:15) secara Dramatis
Sumber: Steffen et.al. (2004:17)
Atas begitu hebatnya tekanan populasi manusia pada Bumi maka ketika para ahli menghitung
besaran tingkat konsumsi manusia dan dibandingkan dengan daya dukung sumberdaya
Bumi, kesimpulan penelitian yang kontrovesial-lah yang kemudian mencuat. Kumpulan hasil
riset para ahli yang didokumentasikan oleh WWF (2008:22) melalui Living Planet Report 2008
menyatakan bahwa bila aktivitas manusia diselenggarakan dalam kerangka business-as-usual
tanpa ada realisasi perubahan atas tingkat konsumsi, efisiensi atas pengelolaan sumberdaya
alam maupun investasi pada sumberdaya alam, maka besar kemungkinan bila di 2030 Bumi
akan mengalami defisit bio-kapasitas sebesar 100%. Artinya bahwa mulai pada periode itu
2
populasi manusia akan membutuhkan dua planet Bumi sekaligus dengan kemampuan
kapasitas sumberdaya alam yang sama demi memenuhi angka konsumsi populasi manusia
pada masa itu.
3
Polemik lainnya adalah perihal keberadaan sumberdaya energi tersebut yang rentan bagi
terciptanya letupan konflik. Telah menjadi rahasia publik pula bahwa sumberdaya energi
tersebut memiliki nilai ekonomis yang signifikan terkait dengan logika permintaan yang terus
meningkat terhadap pasokan sumberdaya yang kian menipis. Maka tidak mengherankan bila
letupan konflik, tudingan pelanggaran HAM, tudingan keterlibatan dalam tindak koruptif
hingga tudingan keterlibatan gerakan separatisme kerap membayangi para pengelola
sumberdaya alam yang memang kian bernilai tinggi itu. Khusus untuk Indonesia, pelajaran-
pelajaran yang terdokumentasi seperti dalam Mohammad Tadjoeddin (2007), A Future
Resource Curse in Indonesia, Andrew Rosser (2007), Escaping the Resource Curse: The Case of
Indonesia, dan lainnya seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang cara mengelola
sumberdaya alam—termasuk sumberdaya energi—secara arif dan berkelanjutan yang memang
masih tersebar di penjuru Indonesia, terutama bagi pihak-pihak yang berkepentingan di
dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut.
Selain beberapa polemik yang telah saya sampaikan di atas, sepertinya dampak penggunaan
energi terhadap akumulasi emisi di atmosfer kian disepakati sebagai isu strategis yang
mendesak harus segera ditangani oleh banyak pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi
fosil—yang memang masih kita butuhkan untuk pengadaan listrik dan bahan bakar ragam
aktivitas manusia—telah menjelma menjadi kontributor signifikan bagi fenomena pemanasan
global dan perubahan iklim Bumi. Dan dikombinasikan dengan faktor-faktor pertumbuhan
populasi manusia, peningkatan konsumsi manusia serta pelepasan karbon akibat perubahan
fungsi hutan menjadikan komposisi gas di atmosfer kian tidak berimbang; menjadikan beban
atmosfer dalam menampung emisi hasil aktivitas manusia kian menggelembung; dan
menjadikan perkiraan naiknya temperatur Bumi antara 2-4oC, perubahan iklim, kerentanan
kepunahan spesies serta
perubahan sistem Bumi
lainnya kian mendekati
kenyataan harian
manusia.
Namun yang patut diperhitungkan kembali adalah perhitungan pada grafik tersebut hanya
berdasarkan akumulasi pelepasan emisi karbon akibat penggunaan energi. Padahal ada faktor
lain yang kini kian diperhitungkan atas kontribusinya bagi akumulasi emisi di atmosfer, yaitu
Land-use, Land use Change and Forestry (LULUCF), di mana Armely Meiviana et.al. (2004:8)
dalam Bumi Makin Panas mencatat bahwa aktivitas perubahan tata guna lahan dan hutan di
Indonesia telah berkontribusi sebesar 64% bagi akumulasi emisi negara ini setiap tahunnya.
Dan Indonesia bersama beberapa negara lainnya merupakan negara-negara terdepan dalam
pelepasan karbon berdasarkan perhitungan aktivitas LULUCF.
4
Memahami atas peliknya tekanan terhadap Bumi, isu pengadaan energi serta rantai isu
turunannya, maka seperti yang telah saya kemukakan di awal bahwa sebenarnya telah
banyak para pemerhati lingkungan hidup—baik sebagai akademisi, peneliti, penggiat ornop
maupun perangkat pemerintah dan perusahaan—yang dengan segenap upayanya
mencurahkan pemikiran maupun sumberdaya yang dimiliki untuk turut berkontribusi demi
memastikan tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan; demi tercapainya kondisi carbon
neutral, kemampuan sumberdaya alam dalam keadaan eco-credit, dan bahkan kesetaraan atas
akses sumberdaya alam (eco-justice).
Tidak ketinggalan dari kalangan industri—entitas sosial yang paling dituding atas terciptanya
deekosistem dan dehumanisasi belakangan ini—yang kini—walau masih secara perlahan—
5
juga turut untuk menangani isu pemanasan global. Memahami bahwa perubahan iklim dan
menurunnya deposit energi fosil merupakan dampak atas operasionalnya, maka untuk
beberapa perusahaan energi yang progresif, inovasi atas pengadaan energi alternatif mereka
pahami sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap Bumi dan terhadap generasi saat ini
maupun generasi masa depan—serupa dengan
pemahaman corporate social responsibility arus utama
yang mendefinisikan CSR sebagai komitmen
perusahaan dalam mengelola dampak operasionalnya
terutama dampak inti operasional perusahaan (...the
way company manages its overall impacts through core
business operations and investments, Nelson (2008:2))—
bukan sekadar strategi CSR filantropi, gloosy bahkan
berindikasi terciptanya praktik greenwash.
Kampanye atas penggunaan sumberdaya terbarukan ini pula yang terus dipromosikan oleh
berbagai pihak di negeri ini kepada para pemangku kepentingan dalam pengadaan energi
Indonesia. Potensi energi surya, mikrohidro, air, ombak, biodiesel hingga potensi energi panas
bumi rasanya dapat kita panen dalam jumlah yang signifikan sebagai alternatif pengadaan
energi bangsa ini. Sudah mahfum dikenal bahwa Indonesia adalah hotspot bagi
keanekaragaman potensi energi selain energi konvensional yang kita sandarkan selama ini.
Dan bila menilik ragam publikasi saat ini ada kecenderungan bahwa dalam kerangka tri-sector
partnership pemerintah Indonesia bersama dengan pelaku industri dan entitas masyarakat
sipil memang tengah berupaya mengembangkan pemanfaatan ragam sumberdaya terbarukan
itu. Departemen ESDM (2008) dalam publikasinya Indonesia’s Renewable Energy Potential
menyatakan bahwa dalam bauran energi primer nasional hingga 2025 berdasarkan Peraturan
Presiden No.5/2006 telah memberikan ruang pasokan bagi sumberdaya terbarukan sebesar
17% dari akumulasi pengadaan energi nasional, atau terjadi peningkatan sekitar 12% lebih
dari ketetapan strategi energi nasional sebelumnya.
Pemerintah juga telah menetapkan target pengadaan energi terbarukan itu atas seluruh
potensi yang mampu didukung bumi Nusantara ini, seperti yang saya urai dalam tabel berikut
6
ini. Dalam catatannya, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa diperlukan dana segar
senilai USD 13,197 juta guna berinvestasi dalam pengembangan energi terbarukan itu hingga
2025 (ESDM: 2008).
Tabel 2. Sumberdaya Energi Terbarukan di Indonesia: Total Potensi dan Target Realisasinya
Dan bila memungkinkan pemerintah Indonesia mampu memberikan kejutan bagi para
pemerhati lingkungan dan energi dengan kinerja pemerintah yang ternyata mampu menjadi
motor penggerak dalam meningkatkan pasokan energi terbarukan melebihi batasan 17% dan
di sisi lain mampu menurunkan ketergantungan pasokan energi tak terbarukan menjadi di
bawah 83% sebelum tahun 2025. Kiranya apresiasi tinggi dari pemerhati lingkungan akan
layak disematkan kepada pemerintah Indonesia apabila kemungkinan itu mampu terealisasi.
Karena dengan kian mengembangkan sumberdaya terbarukan berikut dengan praktik
pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan, maka menjadi sinyalemen kuat bahwa
pemerintah Indonesia juga turut berperan aktif dalam menurunkan akumulasi angka emisi
negeri ini pada atmosfer Bumi—seperti yang telah tekun diseriusi oleh beberapa negara
progresif lainnya.
Sebagai bahan pertimbangan, menyerah dan hanya bersandar pada skenario IPCC A1B dan
B2 seperti pada ilustrasi grafik di atas berarti memberi peluang besar bagi terciptanya
konsentrasi CO2 di lapisan atmosfer hingga mencapai 700-1000 ppm. Artinya dalam tingkat
konsentrasi karbon dioksida seperti itu maka besar kemungkinan bila terjadi kenaikan suhu
global sebesar 2-4oC dan akan diikuti dengan dampak global seperti anomali iklim dalam
tingkatan ekstrem, ancaman kepunahan bagi ekosistem yang sensitif terhadap perubahan
suhu secara drastis, maupun fenomena naiknya tingkat permukaan laut. Tidak berhenti di
situ saja. Dalam tingkat konsentrasi CO2 pada 700-1000 ppm itu pula maka peluang kenaikan
suhu global dapat berkembang sebesar 4-6oC. Bila kenaikan suhu itu benar terjadi, maka
besar kemungkinan bahwa kita akan menjadi saksi dari perubahan iklim secara masif dan
drastis maupun perubahan pola aliran samudera juga secara masif dan drastis (WBCSD
(2004:5), Facts and Trends to 2050, Energy and Climate Change).
Atau secara arif kita kian serius menggeluti peta jalan yang telah direkomendasikan oleh
banyak pihak; efisiensi energi terutama dalam proses industri, transportasi, dan bangunan;
pertumbuhan yang pesat dalam penggunaan sumberdaya terbarukan yang memang
terhampar di muka Bumi; maupun upaya-upaya untuk kian memperluas kemampuan Bumi
dalam menyerap karbon dan segera melepas oksigen seperti yang telah dilakukan ekosistem
selama ini.
Dengan begitu maka diharapankan bahwa manusia kian menghormati eksistensi Bumi
berikut dengan kesatuan ekosistemnya, terciptanya perhitungan yang memadai antara target
produksi dengan daya dukung sumberdaya alam, kian berkurangnya gaya konsumtif
8
manusia, peningkatan investasi manusia terhadap lingkungan hidup maupun diberikannya
ruang waktu bagi alam untuk memulihkan diri dan pada akhirnya kembali memberikan daya
dukungnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Selamat Hari Bumi..! Semoga kita masih dapat merayakan Hari Bumi di 2030 maupun 2050
ke depan.
--<-@ @->--