You are on page 1of 9

TUGAS SOSIOLOGI PEDESAAN

“NEGARANISASI DESA”

Disusun Oleh :
ZAENUL MIZAN
F1A007023

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
PURWOKERTO
2010
PENDAHULUAN

Desa telah berubah secara drastic menyusul bangkitnya demokrasi dan otonomi di
Indonesia. Dulu desa adalah obyek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi dan
intruksi dari atas. Sekarang desa menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi dan
control bagi warga masyarakat (dalam Hans Antlov 1999). Ciri dari sebuah masyarakat
hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang
sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri. Dalam
konteks inilah desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri yang dalam bahasa lain
disebut dengan otonomi asli. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki
otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang
dimilikinya bukan pemberian dari pihak lain.
Secara historis desa adalah suatu entitas sosio-kultural yang sejak dulu telah
mengatur diri sendiri. Melalui desa inilah identitas lokal dapat diekpresikan dan sekaligus
kepentingan bersama dalam komunitasnya dikelola. Kita pun kemudian akan
membayangkan adanya otonomi desa desa dalam bentuk yang asli. Disisi lain, desa
dalam sejarahnya juga telah lama terbingkai dalam formasi Negara yang hierakis-
sentralistik. Sebagai sebuah komunitas local, desa kemudian menjadi ajang pertarungan
paling dekat antara Negara dan masyarakat. Intervensi Negara secara sistematik ke desa
telah membuat hilangnya otonomi asli desa sekaligus menghancurkan pengelolaan
pemerintah sendiri dan keragaman identitas lokal.
Kondisi zaman terus berubah, dan desa tidak selamanya terjebak dalam romantika
kehidupannya. Seiring dengan perubahan konfigurasi politik (liberalisasi politik
demokratisasi) pasca jatuhnya rezim Orde Baru telah membawa komunitas desa untuk
berpartisipasi dan mengambil peran penting dalam proses pembangunannya, sebuah
kemandirian desa. Apalagi ketika UU No.2 Tahun 1999 di keluarkan dan dipercaya tidak
hanya membuka ruang bagi otonomi daerah tetapi juga membuka ruang bagi otonomi
desa.
PEMBAHASAN

Desa Dan Otonomi Daerah

Desa dalam Otonomi Daerah Pembahasan tentang desa dan posisinya dalam
otonomi daerah akan difokuskan pada 3 kluster berikut, 1). desa sebagai unit
birokrasi/pemerintahan, 2). desa sebagai unit ekonomi, dan 3). desa sebagai unit sosial-
budaya. Desa sebagai unit birokasi/pemerintahan adalah posisi desa sebagai lembaga
yang menjadi garda depan pelayanan publik. Desa sebagai unit ekonomi berkaitan
dengan posisi kelembagaannya untuk menopang, merangsang, dan memfasilitasi aktivitas
berusaha warganya dalam lapangan pertanian, perdagangan dan kegiatan ekonomi
produktif lainnya. Sedangkan kluster ketiga, desa sebagai unit sosial-budaya adalah posisi
kelembagaan desa untuk mengelola konflik di satu sisi dan di sisi lain, memdorong dan
mempromosikan semangat kerjasama (gotong-royong) dan berkreasi warganya.
Menjadi sebuah persoalan yang kompleks ketika kerangka aturan yang dibuat negara
tidak mampu mengakomodasi posisi unik kelembagaan desa dalam ketiga kluster yang
telah dikemukakan sebelumnya. Kalaupun akomodatif, aturan itu tidak mampu menjadi
kerangka yang utuh sehingga desa mampu mengemban fungsi kelembagaannya secara
terintegratif baik sebagai unit ekonomi, politik/pemerintahan dan sosial-budaya.
Penguatan di satu kluster cenderung diikuti oleh pelemahan di kluster yang lain.

Pada tingkat tertentu, kebijakan desentralisasi sebagaimana berlaku sekarang,


alih-alih memberdayakan masyarakat, justru menciptakan desain kelembagaan yang
justru meminggirkan peran serta masyarakat dalam proses formulasi kebijakan. Agak
susah membayangkan 80% masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah pedesaan,
kadang-kadang terpencil, dan dengan latar belakang pendidikan yang seadanya dapat
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah daerah (baca: kabupaten/kota)
yang berkaitan langsung dengan kepentingan hidup mereka.
Desa sebagai unit birokrasi/pemerintahan

Salah satu tujuan utama desentralisasi adalah memberikan pelayanan publik yang
cepat, efisien, dan murah kepada masyarakat. Ketiganya hanya mungkin terlaksana jika
institusi penyedia jasa publik itu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas
dan dalam posisi yang langsung bisa diakses oleh masyarakat. Pemerintahan
kabupaten/kota boleh jadi memenuhi kriteria pertama tapi tidak untuk yang kedua. Di
Jawa mungkin bukan persoalan besar, tapi di luar Jawa seperti katakanlah Papua,
Kalimantan Tengah, Jambi dll, adalah hal lumrah bahwa sekedar mencapai ibukota
kabupaten/kota membutuhkan “perjuangan” tersendiri yang menguras tenaga dan biaya.
Ini artinya, sentralisasi pelayanan publik di pemerintahan kabupaten/kota tidak memenuhi
prinsip pelayanan publik yang cepat, efisien dan murah.

Regulasi otonomi daerah sekarang ini membawa ketidakjelasan ke atas (posisi


lembaga Propinsi) dan ke bawah (posisi lembaga kecamatan dan desa). Sebagaimana
walikota/bupati, kepala desa adalah posisi politis karena dia dipilih secara langsung oleh
warga dalam Pilkades. Dalam posisi semacam itu, ironisnya, pemerintahan desa tidak
dilengkapi sumber daya yang memadai untuk menjalankan peran pelayanan publik secara
maksimal kepada masyarakat. Sementara pemerintah pusat sudah dan terus-menerus
melakukan banyak hal untuk mensinkronkan koordinasi kerja antara kabupaten/kota
dengan dengan propinsi tapi belum banyak melakukan sesuatu untuk menata posisi
kelembagaan unit pemerintahan dibawahnya, yaitu kecamatan dan desa. Hal ini membuat
perangkat birokrasi kecamatan dan desa bekerja jauh dibawah kapasitas sesungguhnya
(under capacity) untuk memberikan pelayanan publik berkualitas kepada masyarakat.

Alih-alih menjadi garda depan pelayanan publik, dalam banyak kasus, aparat desa
dan kecamatan hanya diposisikan sebagai penghubung ke aparat di atasnya untuk
mengurus administratif “remeh-temeh” seperti membuat surat pengantar pembuatan
KTP/KK, surat jalan, surat keterangan miskin, dll. Ini menciptakan mata rantai birokrasi
pelayanan publik yang terlalu panjang dengan potensi moral hazard yang tinggi. Biaya
pembuatan KTP yang ditentukan Rp 1000,- misalnya, bisa menjadi 10 sampai 50 kali
lipat karena mata rantai yang terlalu panjang semacam ini. Menjadikan desa sebagai
garda depan pelayanan publik punya efek positif, baik kepada masyarakat sebagai
pengguna jasa publik dan kecamatan sebagai unit pemerintahan supra desa. Dalam logika
birokrasi, penguatan di bawah memerlukan penguatan serupa unit di atasnya. Dengan
sendirinya, ini juga akan mengurangi beban pemerintahan kabupaten/kota tanpa harus
mengurangi fungsinya sebagai penyedia jasa publik utama dalam otonomi daerah.

Desa sebagai Unit Ekonomi Pasal 199 ayat 4 UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemda mendefinisikan kawasan pedesaan adalah kawasan yang mengandalkan pada
pertanian dan kegiatan pengelolaan sumber daya alam lainnya sebagai aktivitas ekonomi
utama warganya. Definisi ini sebenarnya tidak lagi memadai untuk menggambarkan
secara akurat kondisi ekonomi riil wilayah pedesaan di Indonesia sekarang ini.
Sebenarnya akan lebih tepat menggambarkan wilayah pedesaan Indonesia sebagai
komunitas ekonomi campuran, dimana sektor pertanian meskipun tetap penting, tapi
perannya semakin tergeser oleh sektor ekonomi lain seperti perdagangan, kerajinan, dll.
Faktanya, meskipun 80% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, kurang dari separo
total penduduk yang menjadikan pertanian sebagai sumber pendapatan utama mereka.

Desa juga merupakan sebuah komunitas lokal dimana aktivitas transaksi barang
dan jasa terjadi secara intens antar warganya, baik dalam pengertian ekonomi modern
dengan uang sebagai alat tukar utama, maupun tradisional dengan tenaga dan pertukaran
komoditi langsung (barter) sebagai alat utama transaksi. Lembaga desa di Jawa maupun
lembaga lain yang serupa di luar Jawa (Nagari di Sumbar, Gampong di Aceh, atau
Lembang di Sulsel) secara kelembagaan turut berperan penting dalam menopang dan
menjaga aktivitas ekonomi warganya, misalnya dalam menyelesaikan perselisihan
perjanjian dagang, hutang-piutang, dan lainnya.

Dalam konteks desa, mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi dengan


melibatkan sesepuh desa jauh lebih disukai dari pada membawanya ke institusi hukum
modern seperti kepolisian atau pengadilan. Dengan biaya yang sangat murah – dalam
banyak kasus bahkan gratis – secara kelembagaan, desa mengisi celah yang tidak bisa
diisi oleh institusi negara modern seperti kepolisian dan pengadilan untuk menegakkan
“kontrak” dan memastikan aktivitas ekonomi warganya berjalan dengan baik.

Desa punya potensi kelembagaan untuk dikembangkan sebagai agen


pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pada masa Orba, hal ini pernah dilakukan melalui
program pemberdayaan ekonomi seperti BUUD/KUD, Bimas, KUT, dll. Semua program
ini mengandalkan kelembagaan desa untuk eksekusinya. Cerita keberhasilan swasembada
beras pada dekade 80-an tidak bisa dipisahkan dari kemampuan Orba untuk memobilisir
potensi kelembagaan desa untuk mendukung program modernisasi pertanian ala green
revolution. Jika program top-down semacam itu saja berhasil, tentulah program-program
yang sifatnya bottom-up akan punya tingkat keberhasilan yang jauh lebih besar dengan
efek kesejahteraan yang lebih nyata.

Desa sebagai Unit Sosial-Budaya Desa secara kelembagaan juga punya fungsi
penting dalam ranah sosial-budaya. Ini ada kaitannya dengan karakter relasi sosial
pedesaan yang bersifat tatap muka (direct relationship). Ini adalah kelebihan sekaligus
kelemahan utama kelembagaan desa karena hubungan langsung lebih sering melibatkan
emosi dari pada pertimbangan rasional. Untuk desa yang sekaligus merupakan komunitas
adat dan keagamaan, hubungan emosional antar warganya sangat kondusif bagi mediasi
konflik sekaligus mempromosikan kerja-sama antar warganya. Fabrik sosial semacam
inilah yang membuat desa-desa di Jawa digambarkan secara ideal sebagai komunitas
komunal yang mempromosikan nilai-nilai kegotong-royongan dan kerja sama antar
warga.

Di masyarakat pedesaan, relasi langsung (face to face relationship) dan semangat


gotong-royong ini menyediakan ruang perlindungan yang relatif aman bagi kalangan
miskin dalam menghidupi dirinya. Namun demikian, berkembangnya aktivitas ekonomi
pasar dan kemajuan pendidikan secara pelan namun pasti sedang dan akan terus-menerus
mengikis peran tradisional desa sebagai unit sosial-budaya ini. Dua proses ini anehnya
menghasilkan paradoks dalam identifikasi diri warganya. Di satu sisi, secara personal
seorang warga desa punya kesempatan semakin terbuka untuk membangun relasi yang
jauh melampaui batas-batas desa. Secara sosial, ironisnya, mereka masih memerlukan
komunitas komunal itu untuk mengkompensasi alienasi yang mereka hadapi dalam
aktivitas ekonomi supra desa. Dalam konteks yang lebih besar, proses pelemahan
lembaga desa ini juga disumbang oleh proses negaranisasi yang intensif dilakukan Orba
melalui jaringan territorial militer (Babinsa) dan depolitisasi pedesaan (floating mass
policy). Kasus-kasus konflik komunal antar warga dengan mengeksploitasi isu SARA
(Poso, Maluku, dll) dan antara warga dengan pemerintah desa (misal: demonstrasi
menuntut mundurnya kepala desa/perangkat desa karena tuduhan korupsi, dll)
sebagaimana yang jamak pasca tumbangnya Orba oleh karenanya bisa dijelaskan sebagai
akibat langsung dari pelemahan/pembusukan kelembagaan baik pada tingkat lokal (desa
dan komunitas lokal sebangsanya) dan nasional (sistem otoriter Orba).

PENUTUP

Pada tingkat tertentu, desain otonomi daerah sekarang ini tidak banyak membawa
perubahan berarti bagi posisi kelembagaan desa dalam ketiga kluster yang telah
dikemukakan sebelumnya. Sebagaimana mana Orde Baru, rezim demokratis sekarang
inipun masih cenderung menganggap desa lebih sebagai objek dari pada subjek yang
berdaya untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.

Dalam posisi sebagai objek itu, desa dan perangkatnya bisa memegang berbagai
peran sekaligus. Kadang dia menjadi debt collector untuk memungut PBB. Waktu lain
dia menjadi kasir dalam pembagian subsidi langsung tunai PKPS BBM dan beras murah.
Adakalanya dia menjadi mandor untuk mengawasi proyek pembangunan jalan. Dia bisa
juga menjadi tukang catat dalam sensus kependudukan. Kali lain dia menjadi makelar
untuk warga yang malas mengurus sendiri pembuatan KTP/Kartu Keluarga/Akta
Kelahiran, tentu saja dengan imbalan sejumlah uang. Dari begitu banyak peran yang
mereka emban, satu hal yang pasti, desa tidak pernah diberi kesempatan untuk
menentukan prioritas menurut permusyawaratan dari bawah. Kecuali dalam proyek-
proyek yang sifatnya temporal, desa belum diberikan peran kelembagaan
birokratik/pemerintahan (penyedia jasa publik), ekonomi dan sosial budaya yang bersifat
permanen sesuai dengan kapasitasnya. Keputusan pemerintah memberikan tunjangan
jabatan kepada kepala desa dan kebijakan pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS
adalah sebuah awal yang baik. Tapi itu saja belum cukup. Kebijakan ini harus dibarengi
dengan transfer sumber daya yang memadai bagi desa untuk dapat berperan optimal
dalam pemberdayaan masyarakatnya, baik secara sosial ekonomi maupun sosial budaya.

Sebuah alokasi dana desa khusus dari APBN/APBD bisa menjadi model yang
layak dipertimbangkan. Alokasi ini tidaklah dalam bentuk ad hoc dan terpisah-pisah
(misal: model PKPS BBM yang dikendalikan berbagai departemen) sebagaimana
berlangsung sekarang, tapi bersifat alokasi tahunan. Alokasi dana ini didasarkan pada
kriteria baku dan target jelas yang disesuaikan dengan karakteristik sosial, geografis,
kultural, dan ekonomi desa yang bersangkutan dan sesuai dengan aspirasi demokratis dari
bawah. Selama desa dan perangkat kelembagaanya hanya menjadi “pelengkap penderita”
dalam otonomi daerah, maka selama itu pula potensi bagi timbulnya “letupan”
sebagaimana yang terjadi dalam kasus demonstrasi Parade Nusantara di Jakarta beberapa
waktu lalu sangat mungkin muncul kembali ke permukaan di saat yang akan dating.
REFERENSI

Hans Antlov dalam tulisannya, “Karangan Hukum Pemerintahan Desa: Menurut UU


No.22 Tahun 1999. Jurnal Forum Inovasi, Maret-Mei 2003.

Sajogjo, Pudjiwati Sajogyo. 2007. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

You might also like