You are on page 1of 23

SISTEM PENGUKURAN

DAN PENILAIAN KINERJA KARYAWAN

DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN KEWAJIBANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Terminologi kinerja menjadi sangat familiar dalam penyelenggaraan Manajemen
Pemerintahan di Indonesia saat ini, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Terlebih
sejak dikeluarkannya berbagai regulasi yang terkait dengan reformasi manajemen
pemerintahan yang antara lain ditandai dengan terbitnya Inpres 7/1999 (Revisi melalui SK
Kepala LAN No.239/IX/6/8/2003, 25 Maret 2003) tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah, PP 105/2000 (jo. PP 58/2005), UU No.17/2003, UU No. 25/2004, UU
No.32/2004, UU No.1/2005, UU No.15/2004, UU No. 33/2004, PP 3/2007 dan PP 6/2008.
Berbagai peraturan dan kebijakan pendukung lainnya, demikian juga telah banyak
diterbitkan, dalam upaya meningkatkan kinerja instansi pemerintah.
Salah satu fungsi manajemen adalah pengarahan. Pengarahan antara lain meliputi
bagaimana meningkatkan dan menilai kinerja pegawai ( karyawan ). Berbagai permasalahan
yang mengemuka sebagai penyebab penerapan manajemen kinerja, khususnya penilaian
kinerja di Indonesia berjalan lamban, antara lain; (a) legal yuridis yang ada (tumpang tindih,
disorientasi dan parsial) dalam manajemen kinerja di Indonesia; (b ) Manajemen kinerja dan
pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah,
seperti halnya dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan
monitoring dan audit ; (c) tidak terdapatnya manajemen kompensasi (mekanisme reward dan
punishment) yang merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen
publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur, dalam transisi
paradigma sumber daya manusia dari paradigma input ke dalam paradigma baru yang
mengukur kesuksesan kerja melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; (e) peran publik
masih lemah untuk “memaksa” Pemda mampu berlaku akuntabel dan transparan.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 1


1.2 Pembatasan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
a. Penilaian Kinerja
b. Konsep Profesionalisme Tenaga Kependidikan
c. Kompetensi Guru
d. Standar Kinerja

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

        Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan penulisan makalah

ini diarahkan untuk mengetahui :

a. Penilaian Kinerja
b. Konsep Profesionalisme Tenaga Kependidikan
c. Kompetensi Guru
d. Standar Kinerja

1.4  Sistematika Penulisan

        Klasifikasi sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

 Bab I : Pendahuluan, yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,

tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pembahasan, yang berisikan tentang penilaian kinerja, konsep profesionalisme

tenaga kependidikan, kompetensi guru, dan standar kinerja.

 Bab III : Penutup, berisikan tentang simpulan dan saran.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penilaian Kinerja

2.1.1 Definisi Penilaian Kinerja

Penilaian ialah penentuan derajat kualitas berdasarkan indikator yang ditetapkan


terhadap penyelenggara pekerjaan. Kinerja adalah performance atau unjuk kerja. Kinerja
dapat pula diartikan prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja (LAN, 1992).
Menurut August W. Smith, Kinerja adalah performance is output derives from processes,
human otherwise, artinya kinerja adalah hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia. Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu wujud perilaku seseorang
atau organisasi dengan orientasi prestasi. Kinerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: ability, capacity, held, incentive, environment dan validity (Noto Atmojo, 1992).
Adapun ukuran kinerja menurut T.R. Mitchell (1989) dapat dilihat dari lima hal,
yaitu:
1. Quality of work – kualitas hasil kerja
2. Promptness – ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan
3. Initiative – prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan
4. Capability – kemampuan menyelesaikan pekerjaan
5. Comunication – kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain.
Standar kinerja perlu dirumuskan untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penilaian,
yaitu membandingkan apa yang dicapai dengan apa yang diharapkan. Standar kinerja dapat
dijadikan patokan dalam mengadakan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah
dilaksanakan.
Menurut Ivancevich (1996), patokan tersebut meliputi: (1) hasil, mengacu pada
ukuran output utama organisasi; (2) efisiensi, mengacu pada penggunaan sumber daya langka
oleh organisasi; (3) kepuasan, mengacu pada keberhasilan organisasi dalam memenuhi
kebutuhan karyawan atau anggotanya; dan (4) keadaptasian, mengacu pada ukuran tanggapan
organisasi terhadap perubahan.
Penilaian kinerja merupakan alat yang berfaedah untuk mengevaluasi kerja para
karyawan dan mengembangkan / memotivasi kalangan pegawai. Akan tetapi, penilaian
kinerja juga dapat menjadi sumber kerisauan dan frustasi para manajer dan pegawai karena
ketidakpastian atau kurang objektif dalam penilaian. Penilaian kinerja berlangsung dalam

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 3


waktu periode tertentu. Standar penilaian kinerja hendaknya berlandaskan pada persyaratan
kerja.
Ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu 1) kualitas pekerjaan,
meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran; 2) kuantitas pekerjaan,
meliputi: volume keluaran dan dan kontribusi; 3) supervisi, meliputi: saran, arahan, dan
perbaikan; 4) kehadiran, meliputi: regulasi, dapat dipercaya, dan ketepatan waktu; 5)
konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan, kerusakan, dan pemeliharaan peralatan.
Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:394) merupakan suatu sistem formal
yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Sedangkan Mejia, dkk (2004:222-223) mengungkapkan bahwa penilaian
kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari:
1. Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja yang berpengaruh terhadap
kesuksesan suatu organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil analisa
jabatan.
2. Pengukuran, merupakan inti dari proses sistem penilaian kinerja. Pihak manajemen
menentukan kinerja pegawai yang termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu
organisasi harus melakukan perbandingan dengan nilai-nilai standar atau
memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3. Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja. Pihak
manajemen harus berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan potensi pegawai di
organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian umpan balik dan
pembinaan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian penilaian kinerja, terdapat
benang merah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa penilaian kinerja
merupakan suatu sistem penilaian secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung
kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Proses penilaian
dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap standar yang telah ditetapkan
atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.

2.1.2 Prinsip Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja personil, wajib mempertimbangkan prinsip-pinsip dasar yang
melandasi dalam pelaksanaannya. Agar diperoleh hasil penilaian yang sesuai dengan tujuan
yang diharapkan, prinsip yang perlu dijadikan acuan dalam pelaksanaan penilaian kinerja ini
adalah :
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 4
1. ’Obyektif’, penilaian kinerja dilaksanakan dengan mengacu pada hal yang sebenarnya,
tidak mencari kesalahan, serta tidak dilandasi oleh perasaan suka atau tidak suka, tetapi
lebih mengarah kepada fakta yang ada tentang kapasitas personil.
2. ’Realistis’ , penilaian kinerja dapat dilaksanakan oleh semua unsur yang melaksanakan
penilaian sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
3. ’Tepat Waktu’, pelaksanaan penilaian personil mengacu pada prinsip tepat waktu, dan
dilaksanakan secara periodik sesuai periodisasi proses penilaian kinerja berlangsung.
4. ’Dapat Dipertangung Jawabkan’, sebagai upaya akuntabilitas, proses penilaian personil
berdasarkan kinerja yang sebenarnya, dan tidak terjadi manipulasi selama proses penilaian
berlangsung.
5. ’Terukur’, selama proses penilaian berlangsung mengacu pada instrumen yang telah
disusun dan ditentukan sebagai dasar dalam pelaksanaanya.
6. ’Terbuka’, hasil penilaian kinerja bersifat terbuka, ada peluang klarifikasi bagi personil
yang dinilai untuk menghindari subyektifitas penilai selama proses penilaian berlangsung.
7. ’Tidak diskriminatif’, selama proses penilaian berlangsung tidak diperkenankan adanya
diskriminasi (ras, suku, agama, perempuan dan laki-laki) antara evaluator dan personil
yang dinilai.

2.1.3 Fungsi Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu paling lambat setiap akhir
bulan Desember tahun bersangkutan. Adapun fungsi penilaian kinerja antara lain: 1)
meningkatkan objektivitas kinerja pegawai, 2) meningkatkan keefektifan kinerja pegawai,
meningkatkan kinerja pegawai, dan 3) mendapatkan bahan-bahan pertimbangan yang objektif
dalam pembinaan pegawai tersebut baik berdasarkan sistem karir maupun prestasi.
Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan
dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa
saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan
bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 5


5. Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi
karir yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja
kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang
informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya
manusia.
8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak
diskriminatif.
9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak
terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini
akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan
bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu
sendiri.

2.1.4 Tantangan Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian
yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis
pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan
masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja,
promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut
Werther dan Davis (1996:348) adalah:
1. Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang
dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan
memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang
pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian;
2. Liniency and Severity Effect. Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa
mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai
yang baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai
cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai
sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk;

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 6


3. Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu
rendah kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai
yang rata-rata.
4. Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai
pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan
nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat
dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai cenderung menyukai
pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat
itulah yang mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik
dibanding yang lainnya;
5. First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai
berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam
penilaiannya hingga jangka waktu yang lama;
6. Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja
mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.
Penilaian kinerja harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang telah disepakati
bersama dalam standar kerja. Dalam menilai, hasilnya dikaitkan dengan input yang berada di
bawah wewenangnya, seperti: dana, sarana dan prasarana, metode kerja, dan sebagainya.
Tantangan utama di tingkat nasional di antaranya mencakup beberapa perspektif kebijakan
seperti; (a) kerangka hukum yang saling bertentangan atau tidak konsisten serta tumpang
tindih dan tidak adanya koordinasi antara kementerian yang terkait. (b) Manajemen kinerja
belum diinkoporasikan dalam fungsi manajemen pemerintahan secara terintegrasi, (c) Paket
reward & punishment kinerja lembaga dan kinerja perosnal belum diintegrasikan, (d) belum
adanya cetak biru dan kerangka kerja audit kinerja, sebagai bagian dari pelaksanaan UU 15
tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara.
Keterbatasan SDM merupakan perkara yang klasik. Bukan dari jumlah akan tetapi
dari sisi kompetensi teknis. Cara pandang karyawan belum berubah sebagaimana era orde
baru berkuasa dimana kesuksesan pelaksanaan program/kegiatan mengacu kepada
kemampuan menyerap anggaran (input oriented). Transformasi paradigma input based
menuju output based dan selanjutnya outcome oriented memerlukan skenario yang terarah
serta disertai alokasi sumberdaya APBD yang cukup dana berkesinambungan. Penguatan
sumberdaya manusia dengan proses pengukuran kinerja menjadi bagian yang paling serius
dan menantang.
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 7
Dukungan kualitas SDM yang kompeten tidak dapat ditawar lagi dalam penerapan
manajemen kinerja di daerah. Skenario peningkatan kapasitas SDM yang terencana
memerlukan kerja semua pihak baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah. DI tingkat
pusat lembaga-lembaga Diklat, LAN dan lembaga audit (internal maupun independen)
merupakan mitra strategis. Di sisi lain perguruan tinggi dan lembaga donor layak
dipertimbangkan oleh daerah sebagai partner penting. Sedangkan di tingkat pemerintah
daerah, proses penguatan kapasitas harus didukung oleh kecukupan alokasi anggaran serta
kesiapan sumber daya manusia yang memadai.

2.1.5 Metode Penilaian Kinerja


Banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis
besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang
berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang
berorientasi ke masa depan), (Werther dan Davis, 1996:350).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas kinerja seseorang dari pekerjaan
yang telah dilakukannya. Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara
kuantitatif. Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga kadang-
kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain
itu, metode ini kadang-kadang sangat subyektif dan banyak biasnya.
Future based methods adalah penilaian kinerja dengan menilai seberapa besar potensi
pegawai dan mampu untuk menetapkan kinerja yang diharapkan pada masa datang. Metode
ini juga kadang-kadang masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih
digunakan sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari
metode ini adalah keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana
kinerja seseorang pada masa datang.
Pengkasifikasian pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan
klasifikasi yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur,
Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu: pendekatan
trait, pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan trait adalah pendekatan penilaian
kinerja yang lebih fokus pada orang. Pendekatan ini melakukan perankingan terhadap trait
atau karakteristik individu seperti inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan.
Pendekatan trait memiliki kelemahan karena ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan
perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan melakukan penilaian kinerja
berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja seseorang. Sedangkan pendekatan
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 8
hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau produk. Metode penilaian kinerja
yang menggunakan pendekatan hasil seperti metode management by objective (MBO),
(Kreitner dan Kinicki, 2000:303-304).
Metode-metode penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di
atas yang paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993:402-414) adalah:
Written Essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi
mengenai kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan
memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
Critical Incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator mencatat
mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad
behaviour) pegawai.
Graphic Rating Scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai
kinerja pegawai dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja
(performance factor ). Misalnya adalah dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab
pegawai. Skala yang digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah
yang terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, misalnya,
maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja
lainnya. Metode ini merupakan metode umum yang paling banyak digunakan oleh organisasi.
Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja
yaitu evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang
mencerminkan dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan
pelanggan. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia
diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang
kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan
seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat
kinerja yang diharapkan. Contoh di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap
dari pelanggan. Nilai 7 dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan
bantuan. Dengan mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam
penilaian.
Multiperson Comparison, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai
dibandingkan dengan rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna
untuk menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
Management By Objectives. Metode ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu
pegawai dinilai berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 9
sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan
disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer.
Secara umum metode penilaian kinerja juga bisa dikelompokkan menjadi sembilan,
antara lain:
1. Penilaian Skala Grafik (Graphic Rating Scale)
Penilain Skala Grafik, meliputi: (1) penilaian berdasarkan daftar skala yang
menggambarkan sejumlah ciri-ciri tingkatan kinerja pegawai pada suatu organisasi, (2)
cara penilaian praktis dan dapat menilai banyak aspek, (3) tersedia kolom untuk
komentar, saran, dan catatan, dan (4) dipakai sebagian besar organisasi.
2. Alternatif Perangkingan ( Alternation Ranking)
Alternatif Perangkingan, meliputi: (1) penilaian dengan merangking calon pegawai atau
pegawai dari yang paling baik ke yang paling buruk untuk satu atau lebih ciri kinerja/
spesifikasi tugas, (2) praktis, (3) menghabiskan waktu jika yang dibandingkan banyak,
(4) tidak ada kolom nilai dan detail komentar, (5) cocok untuk melengkapi metode
penilaian yang lain, dan (6) tidak memberikan detail penilaian aspek/ ciri tugas tertentu.
3. Komparasi Pasangan ( Pairet Comparation )
Komparasi pasangan meliputi: (1) menilai kinerja calon pegawai atau pegawai dengan
cara mempetakan perbandingan satu dengan lainnya sehingga dapat diketahui karyawan
yang lebih baik dari pasangannya, (2) satu karyawan diberi pasangan dan dibandingkan
dengan karyawan lainnya, dan (3) pegawai yang paling banyak mendapatkan tanda +
adalah pegawai yang paling baik kinerjanya.
4. Pemaksaan Distribusi Kurva Normal ( Forced Distribution)
Pemaksaan distribusi kurva normal meliputi : (1) menilai calon pegawai atau pegawai
berdasarkan pola bahwa hasilnya harus berdistribusi normal, (2) dipakai sebagai
pendekatan dalam menentukan penggolongan insentif dan bimbingan, dan (3) ada
kelompok staf dengan kinerja dibawah standar kinerja.
5. Pencatatan Kejadian Kritis ( Critical Incident )
Pencatatan kejadian kritis meliputi : (1) penilaian kinerja dengan selalu mencatat
peristiwa kritis, (2) kelemahannya, pengevaluasi arsip sehingga tidak hanya menilai atas
dasar fakta yang baru terjadi saja, (3) sebaiknya dipakai untuk melengkapi metode
penilaian lain, misalnya metode komparasi, dan (4) jika dipakai sendiri, tidak tepat untuk
mengkomparasikan dengan staf lain, sehingga tidak tepat juga untuk penentuan gaji.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 10


6. Formulir Naratif ( Narative Form )
Formulir naratif meliputi: (1) peniaian kinerja pegawai dibandingkan dengan standar
kinerja, dan (2) rangkuman penilaian diakhiri dengan memfokuskan pada pemecahan
masalah.
7. Pertautan Standar Tingkah Laku ( Behaviorally Anchored Rating Scales = BARS )
Pertautan standar tingkah laku meliputi: (1) penilaian calon pegawai atau pegawai
dengan mengkombinasikan kelebihan dari narative form, critical insidens dan
perangkingan dengan mengacu pada contoh tingkah laku spesifik (Behavior) yang baik
maupun yang jelek, dan (2) metode ini lebih lengkap atau lebih baik dari yang
sebelumnya, hanya lebih lama / sulit dibuat.
8. Manajemen Berdasarkan Sasaran ( Management By Objektive)
Manajemen berdasarkan sasaran meliputi: (1) tentukan sasaran organisasi, harus
Specific, Measurable, Attainable, Realistic, and Time-bounding (SMART), (2) tentukan
sasaran organisasi, (3) tentukan kontribusi calon pegawai atau pegawai selaras dengan
sasaran departemen, (4) tentukan secara rinci sasaran individual karyawan jangka
pendek, (5) ukur dan reviu kinerja pegawai, dan (6) beri umpan balik setiap periode
pengukuran.
9. Evaluasi 360 Derajat
Dengan metode ini diperoleh umpan balik ganda yang tidak hanya dari atasan langsung,
tetapi juga dari rekan sejawat dan pelanggan. Sumber data dari (1) survei kepuasan
pelanggan internal, (2) survei kepuasan pelanggan eksternal, dan (3) evaluasi diri sendiri.

Tabel Kelebihan dan Kelemahan Metode Penilaian Kinerja

Metode Kelebihan Kelemahan


Grafic 1. Praktis. 1. Standar tidak jelas.
Rating 2. Menggunakan skala kuantitatif 2. Hallo Error dapat terjadi.
Scale untuk setiap evaluasi.
Alternation 1. Praktis, tetapi masih praktis Dapat diprotes yang dinilai jika
Ranking Grafic Rating Scale. faktanya baik semua.
2. Terhindar dari sentral tendensi.
Forced Menghasilkan kelompok sangat Hasil evaluasi tergantung kecermatan
Distribution baik, sedang, dan kurang baik. menentukan titik batas antara
kelompok.
Critical 1. Menegaskan yang berprestasi Sulit merangking kinerja antar yang

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 11


Incidents dengan yang tidak berprestasi. dinilai.
2. Mendorong evaluator menilai
bawahan terus menerus.
Narrative Memungkinkan informasi yang 1. Sulit merangking kinerja antar
lengkap yang dinilai.
2. Bila tidak direncanakan sering
tidak terarah.
BARS 1. Adanya pertautan behavior 1. Sulit membuatnya
memungkinkan evaluasi lebih 2. Perlu keahlian khusus
teliti.
2. Lebih teliti.
3. Standar kinerja jelas.
4. Umpan balik lebih fokus.
5. Ranah evaluasi lengkap.
6. Lebih valid dan reliabel.
MBO Terarah pada sasaran Menghabiskan banyak waktu
Behavior 1. Efektif. Menghabiskan banyak waktu
2. Memberi bimbingan dengan
masukan spesifik.
3. Validitas tinggi
4. Reliabilitas tinggi
Hasil 1. Objektif. Penilaian difokuskan hanya pada
2. Indikator kinerja kualitatif. kinerja yang dirumuskan saja.
3. Diterima semua pihak.
4. Terkait sasaran kinerja.
TQM 1. Orientasi kooperatif. 1. Sulit
2. Kombinasi atribut dan hasil 2. Sulit menentukan pelatihan.

Setiap metode di atas memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak
baik bagi organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis
metode saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan
lingkup organisasinya.
2.2 Konsep Profesionalisme Tenaga Kependidikan

Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan
kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang (Kusnandar, 2007:46).

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 12


Selanjutnya Profesionalisme menurut Mohamad Surya (2007:214) adalah sebutan yang
mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota asuatu profesi untuk
senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalanya.
Sementara Sudarwan Danin (2002:23) mendefinisikan bahwa profesionalisme adalah
komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan
terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala
(2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai
komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”.
Kesimpulannya, profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu
profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar
kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan profesionalisme tenaga kependidikan
harus ada pihak yang berperan dalam peningkatan mutu tersebut. Dan yang berperan dalam
peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan adalah kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan di sekolah yang bersama-sama komite sekolah memiliki tanggung jawab terhadap
perkembangan sekolah.
Upaya meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan tidak akan terwujud tanpa
adanya motivasi dan kesadaran dalam diri tenaga kependidikan serta semangat mengabdi
yang akan melahirkan visi kelembagaan maupun kemampuan konsepsional yang jelas. Tanpa
adanya kesadaran dan motivasi semangat mengabdi, semua usaha yang dilakukan untuk
meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan tidak akan maksimal.
Profesionalitas seorang guru tercermin dalam kegiatan pembelajaran yang
dikelolanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya kegiatan pembelajaran masih
bersifat konvensional, atau masih berpusat pada guru (teacher centered), kurang mendorong
siswa mengembangkan potensi, dan cenderung lebih menekankan pada penyampaian materi
pelajaran (subject matters oriented).
Kegiatan pembelajaran ternyata tidak semuanya dilakukan secara konvensional,
karena beberapa guru telah melakukan pembelajaran sesuai kaidah PAIKEM. Hal ini ditandai
dengan adanya penerapan berbagai metode pembelajaran, pemanfaatan berbagai sumber
belajar termasuk lingkungan, dan menekankan pada keaktifan siswa untuk belajar serta
mengembangkan berbagai potensi. Guru yang melaksanakan pembelajaran seperti ini
memiliki prinsip, bahwa dalam proses pembelajaran bukanlah hanya menyampaikan materi
pelajaran, melainkan mendorong siswa untuk belajar mempelajari segala sesuatu sesuai
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 13
dengan minat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa para guru yang melaksanakan
pembelajaran seperti ini merasa tidak takut menghadapi ujian nasional (UN), karena siswa
merasa siap diuji oleh siapapun dan dengan cara apapun.
Temuan lain berkenaan dengan tingkat efektivitas pembelajaran yang ternyata tidak
terkait langsung dengan ketersediaan atau kelengkapan media pembelajaran. Sekolah yang
telah memiliki sarana dan media yang lengkap, belum memanfaatkan secara efektif; dan
pembelajaran yang dilaksanakan masih konvensional sehingga peralatan masih terbatas
sebagai alat peraga. Sebaliknya, sekolah yang tidak didukung peralatan dan media
pembelajaran yang memadai telah mampu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kaidah
PAIKEM.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat
penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dewasa ini
keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan
pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Mutu Sember Daya Manusia (SDM)
berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan
kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam
pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan
prasarana serta biaya memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut
yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu
menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tantangan kependidikan
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan
untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang
profesional. Tenaga kependidkan mempunyai peran yang sangat strategis dalam
pembentukan pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga
kependidikan yang profesional akan melaksanakan tugasnya secara profesional sehingga
menghasilkan tamatan yang lebih bermutu.
Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa
adanya upaya untuk meningkatkannya. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan
pengembangan profesionalisme yang membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai
peran penting, yakni kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 14
sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program
pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan
kepemimpinan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan. Kepala sekolah merupakan
seorang pejabat profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber
organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini pengembangan profesionalisme
tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah
memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya berhenti
pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan
baik sehingga profesionalisme guru akan terwujud.
Tenaga kependidikan profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar,
dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan
yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Profesionalisme tenaga
kependidikan secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan.
Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai
dengan kendala sumber daya dan lingkungan.
Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah.
Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa.
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi
yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya.

2.3 Kompetensi Guru


Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Menurut
Lefrancois, kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu, yang dihasilkan dari
proses belajar. Selama proses belajar stimulus akan bergabung dengan isi memori dan
menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk melakukan sesuatu. Apabila individu
sukses mempelajari cara melakukan satu pekerjaaan yang kompleks dari sebelumnya, maka
pada diri individu tersebut pasti sudah terjadi perubahan kompetensi. Perubahan kompetensi
tidak akan tampak apabila selanjutnya tidak ada kepentingan atau kesempatan untuk
melakukannya. Kinerja guru mempunyai spesifikasi / kriteria tertentu. Kinerja guru dapat
dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi / kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap guru.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 15


Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Dijelaskan bahwa
Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu: (1)
kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional. Keempat kompetensi
tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.
1. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan
karakteristik siswa dilihat dari berbagai aspek seperti moral, emosional, dan intelektual. Hal
tersebut berimplikasi bahwa seorang guru harus mampu menguasai teori belajar dan prinsip-
prinsip belajar, karena siswa memiliki karakter, sifat, dan interest yang berbeda.
Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum, seorang guru harus mampu
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan masing-masing dan disesuaikan
dengan kebutuhan lokal. Guru harus mampu mengoptimalkan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan kemampuannya di kelas, dan harus mampu melakukan kegiatan penilaian
terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan aspek-aspek yang diamati,
yaitu:
a. Penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional dan intelektual.
b. Penguasaan terhadap teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
c. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang
diampu.
d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan
kegiatan pengembangan yang mendidik.
f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimiliki.
g. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
h. Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan hasil penilaian
dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
i. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Pelaksanaan tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan
tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi kualitas masa depan
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 16
bangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya
harus tetap tegar dalam melaksakan tugas sebagai seorang guru.
Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang melalui proses
pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai
dengan tata nilai yang dianggap baik dan berlaku dalam masyarakat. Tata nilai termasuk
norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi perilaku etik siswa sebagai
pribadi dan sebagai anggota masyarakat.
Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap
mental, watak dan kepribadian siswa yang kuat. Guru dituntut harus mampu membelajarkan
siswanya tentang disiplin diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar
bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib, dan belajar bagaimana harus berbuat.
Semuanya itu akan berhasil apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya. Guru harus mempunyai kemampuan yang berkaitan dengan kemantapan dan
integritas kepribadian seorang guru.
Aspek-aspek yang diamati adalah:
a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta
didik dan masyarakat.
c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
d. Menunjukan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa
percaya diri.
e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

3. Kompetensi Sosial
Guru di mata masyarakat dan siswa merupakan panutan yang perlu dicontoh dan
merupkan suritauladan dalam kehidupan sehari-hari. Guru perlu memiliki kemampuan sosial
dengan masyakat, dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran yang efektif. Kemampuan
sosial meliputi kemampuan guru dalam berkomunikasi, bekerja sama, bergaul simpatik, dan
mempunyai jiwa yang menyenangkan.

Kriteria kinerja guru yang harus dilakukan adalah:


a. Bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras,
kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 17


b. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
c. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki
keragaman sosial budaya.
d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan
atau bentuk lain.

4. Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk
mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru
dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran.
Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi pelajaran yang disajikan.
Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari informasi melalui berbagai
sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti
perkembangan dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan.
Kompetensi atau kemampuan kepribadian yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru
berkenaan dengan aspek:
a. Dalam menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas sebagai sumber
materi yang tidak pernah kering dalam mengelola proses pembelajaran. Kegiatan
mengajarnya harus disambut oleh siswa sebagai suatu seni pengelolaan proses
pembelajaran yang diperoleh melalui latihan, pengalaman, dan kemauan belajar yang tidak
pernah putus.
b. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, keaktifan siswa harus selalu diciptakan dengan
menggunakan metode dan strategi mengajar yang tepat. Guru menciptakan suasana yang
dapat mendorong siswa untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen, serta
menemukan fakta dan konsep yang benar. Guru harus melakukan kegiatan pembelajaran
menggunakan multimedia, sehingga terjadi suasana belajar sambil bekerja, belajar sambil
mendengar, dan belajar sambil bermain, sesuai konteks materinya.
c. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip
didaktik metodik sebagai ilmu keguruan. Misalnya bagaimana menerapkan prinsip
apersepsi, perhatian, kerja kelompok, korelasi dan prinsip-prinsip lainnya.
d. Dalam pelaksanaan evaluasi, secara teori dan praktik, guru harus dapat melaksanakan
sesuai dengan tujuan yang ingin diukurnya. Jenis tes yang digunakan untuk mengukur

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 18


hasil belajar harus benar dan tepat. Diharapkan pula guru dapat menyusun butir secara
benar, agar tes yang digunakan dapat memotivasi siswa belajar.
Kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses pembelajaran dapat diamati dari
aspek-aspek:
a. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu.
b. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran/ bidang
pengembangan yang diampu.
c. Mengembangkan materi pelajaran yang diampu secara kreatif.
d. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri

2.4 Standar Kinerja

Penilaian kinerja yang adil membutuhkan standar / patokan yang dapat digunakan
sebagai perbandingan terhadap kinerja antar karyawan. Menurut Simamora (2004), semakin
jelas standar kinerjanya, makin akurat tingkat penilaian kinerjanya. Masalahnya, baik para
penyelia maupun karyawan tidak seluruhnya mengerti apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Karena bisa jadi, standar kinerja tersebut belum pernah disusun. Oleh karena itu, langkah
pertama adalah meninjau standar kinerja yang ada dan menyusun standar yang baru jika
diperlukan. Banyak hal yang dapat diukur untuk menentukan kinerja. Banyak literatur,
menyebutkan bahwa kinerja merupakan keterkaitan unsur motivasi, kemampuan individu,
serta faktor organisasi, yang menghasilkan perilaku.
Perilaku (behavior) merupakan proses / cara seseorang mengerjakan sesuatu. Perilaku
merupakan sebuah unsur yang menjadi pusat perbedaan manusia antar individu. Dapat
dibayangkan, tanpa perilaku dalam pekerjaan pasti tidak akan ada produksi yang dihasilkan.
Perilaku merupakan kata kunci, sebab dalam pekerjaan sangat banyak perilaku yang muncul
yang menyebabkan sebuah hasil tertentu. Perilaku dapat diobservasi yang memungkinkan
kita dapat membetulkan, menjumlah, dan menilai dan selanjutnya kita dapat mengelolanya.
Apa yang akan terjadi, jika seorang manajer menaruh perhatiannya hanya pada
pengelolaan hasil saja? Tidak akan efektif, karena perilaku merupakan bagian dari
keseluruhan proses, dan hasil itu adalah keluaran dari perilaku.
Perilaku yang tepat akan membuahkan hasil yang merefleksikan gabungan upaya banyak
Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 19
individu. Perilaku mencerminkan usaha seseorang untuk melakukan sesuatu. Sementara itu,
karakteristik individu menunjukkan penyebab perilaku.
Minimal sebuah standar kinerja, harus berisi dua jenis informasi dasar tentang apa
yang harus dilakukan dan seberapa baik harus melakukannya. Standar kinerja merupakan
identifikasi tugas pekerjaan, kewajiban, dan elemen kritis yang menggambarkan apa yang
harus dilakukan. Standar kinerja terfokus pada seberapa baik tugas akan dilaksanakan.
Agar berdaya guna, setiap standar/kriteria harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga
manajer dan bawahan atau kelompok kerja mengetahui apa yang diharapkan dan apakah telah
tercapai atau tidak. Standar haruslah dinyatakan secara tertulis dalam upaya menggambarkan
kinerja yang sungguh-sungguh memuaskan untuk tugas yang kritis maupun yang tidak kritis.
Tugas pekerjaan dan standar kinerja saling berkaitan sehingga dapat dikembangkan
pada waktu yang bersamaan. Apapun metode analisis pekerjaan yang digunakan haruslah
memperhitungkan aspek kuantitatif kinerja. Lebih lanjut, setiap standar harus menunjuk pada
aspek spesifik pekerjaan. Tampaknya lebih mudah mengukur kinerja terhadap standar yang
dapat digambarkan dalam istilah kuantitatif. Meskipun demikian, pekerjaan manajerial
memiliki sebuah komponen tambahan yaitu hasil yang merefleksikan kinerja manajer itu
sendiri dan hasil lainnya mencerminkan kinerja unit organisasi yang menjadi tanggung jawab
manajer bersangkutan.
Penilaian kinerja sangat membutuhkan standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur
atau patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus
berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan
terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini.
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang
baik dan benar yaitu validity, agreement, realism, dan objectivity.
1. Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai.
Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau
relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
2. Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh
semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di
atas.
3. Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para
pegawai, dan sesuai dengan kemampuan pegawai.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 20


4. Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan
keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk
dipengaruhi oleh bias -bias penilai

Standar Kinerja Guru


Berkenaan dengan standar kinerja guru, Piet A. Sahertian dalam Kusmianto (1997: 49)
menyampaikan bahwa standar kinerja guru itu berhubungan dengan kualitas guru dalam
menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswa secara individual, (2) persiapan dan
perencanaan pembelajaran, (3) pendayagunaan media pembelajaran, (4) melibatkan siswa
dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan yang aktif dari guru.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 21


Ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu 1) kualitas pekerjaan,
meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran; 2) kuantitas pekerjaan,
meliputi: volume keluaran dan dan kontribusi; 3) supervisi, meliputi: saran, arahan, dan
perbaikan; 4) kehadiran, meliputi: regulasi, dapat dipercaya, dan ketepatan waktu; 5)
konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan, kerusakan, dan pemeliharaan peralatan.
Tantangan utama penilaian kinerja di tingkat nasional di antaranya mencakup beberapa
perspektif kebijakan seperti; (a) kerangka hukum yang saling bertentangan atau tidak
konsisten. (b) Manajemen kinerja belum diinkoporasikan dalam fungsi manajemen
pemerintahan secara terintegrasi, (c) Paket reward & punishment kinerja lembaga dan kinerja
personal belum diintegrasikan, (d) belum adanya cetak biru dan kerangka kerja audit kinerja.
Keterbatasan SDM merupakan perkara yang klasik. Bukan dari jumlah akan tetapi dari
sisi kompetensi teknis. Dukungan kualitas SDM yang kompeten tidak dapat ditawar lagi
dalam penerapan manajemen kinerja.
Berkenaan dengan standar kinerja guru Piet A. Sahertian dalam Kusmianto (1997: 49)
menyampaikan bahwa standar kinerja guru itu berhubungan dengan kualitas guru dalam
menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswa secara individual, (2) persiapan dan
perencanaan pembelajaran, (3) pendayagunaan media pembelajaran, (4) melibatkan siswa
dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan yang aktif dari guru.

3.1 Saran

1. Penilaian kinerja harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang telah disepakati bersama
dalam standar kerja.
2. Agar berdaya guna, setiap standar/kriteria harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga
manajer dan bawahan atau kelompok kerja mengetahui apa yang diharapkan dan apakah
telah tercapai atau tidak.
3. Tenaga kependidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan
pengetahuan, keterampilan, dan karakter peserta didik. Semoga sukses.

DAFTAR PUSTAKA

Anatan, Lina dan Ellitan, Lena. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Bisnis

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 22


Modern. Bandung: Alfabeta
Atmodiwirio, Soebagio. 1991. Kepemimpinan Kepala Sekolah . Semarang : Adhi Waskita.
Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manjemen Sumber Daya Manusia Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara
Irianto, Jusuf. 2001. Tema-Tema Pokok Sumber Daya Manusia. Jakarta: Insan Cendikia
Kartono, Kartini .2009. Pemimpin dan Kepemimpinan . Jakarta : Rajawali Pers.
Mangkunegara, Anwar . 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung :
Remaja Rosdakarya
Prabu, Anwar . 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sastradipoera, Komarudin. 2001. Asas-Asas Manajemen Perkantoran. Bandung: Kappa
Sigma
Simamora, Henry. 2004. Manjemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE YKPN
Sondang, P. Siagian Prof. Dr. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Pustaka
Raya.
Steers, M Richard. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Usman, Husaini Prof. Dr. 2008. Manajemen: Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Wahjosumidjo. 1995. Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sistem Pengukuran dan Penilaian Kinerja 23

You might also like