You are on page 1of 98

SEJARAH DAN PERANAN NU DALAM PEROLEHAN SUARA

PPP PADA TAHUN 1973-1984 DI KABUPATEN PEMALANG

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Sejarah

Oleh:

MAOLANA SYARIF H
3101402021

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2007

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang

panitia ujian skripsi pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Subagyo, M. Pd. Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum.


NIP. 130818771 NIP. 131813677

Mengetahui,
Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Drs. Jayusman, M. Hum.


NIP. 131764053

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu

Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Penguji Skripsi

Drs. Ba’in, M. Hum.


NIP. 131876207

Anggota I Anggota II

Drs. Subagyo, M. Pd. Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum.


NIP. 130818771 NIP. 131813677

Mengetahui,

Dekan

Drs. Sunardi, M.M


NIP. 130367998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

keseluruhan, pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2007

Maolana Syarif H
NIM. 3101402021

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

“Keindahan hidup akan tercipta bila ada sebuah kejujuran, ketulusan kasih sayang dan hati

untuk mencapai ridhlo Sang Khaliq”

(Penulis)

“Hidup akan lebih bermakna ketika hati kita kaya akan rasa syukur atas segala rahmat dan

hidayahNya,,,”

(Penulis)

PERSEMBAHAN:

Abah dan umi tercinta yang selalu berdo’a, berusaha, dan tulus mencurahkan segala kasih

sayangnya serta kedua kakakku “mba’ dan Agus” yang selalu mendorong semangatku

Keponakan-keponakanku tersayang;Nauval, Zidane, dan Nana yang selalu mengisi hari-hari

dan setiap langkahku

“seseorang” yang paling kusayangi, thanks for all,,,

Teman-teman seperjuangan di wisma Musyafir, kapan kita bertemu lagi,,,

Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah’ 02

Almamaterku

v
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak terlepas dari bentuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan

hati penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmojo, M. Si, Rektor Universitas Negeri

Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menimba ilmu dengan segala kebijakannya.

2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang yang dengan kebijakannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik.

3. Drs. Jayusman, M. Hum, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang yang telah mengarahkan penulis dalam

melakukan studi.

4. Drs. Subagyo, M. Pd, Pembimbing I atas bimbingan, arahan, masukan , da

waktunya dalam membantu penyusunan skripsi ini hingga selesai.

vi
5. Drs. Ibnu Sodiq, M.Hum, Pembimbing II atas bimbingan, arahan,

masukan, dan waktunya dalam membantu penyusunan skripsi ini.

6. Drs. Ba’in, M.Hum, Penguji skripsi atas bimbingan, arahan, masukan, dan

waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Segenap Pengurus NU Pemalang periode 2006-2012 dan para sesepuh NU

di Kabupaten Pemalang yang telah membantu penulis dalam memberikan

informasi.

8. Abah dan Umi serta kakak-kakakku yang selalu memberi dorongan dan

semangat.

9. De’ Ipung, Damai, Judan, Ummu, Koko dan mimih tercinta, dan teman-

temanku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberi dorongan dan semangat pada penulis sehingga skripsi ini dapat

selesai.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelasaikan penulisan skripsi

ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan

penulisan selanjutnya. Akhir kata penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Semarang,

Penulis

vii
ABSTRAK

Maolana Syarif H. 2007. Sejarah dan Peranan NU Dalam Perolehan Suara PPP
Pada Tahun 1973-1984 di Kabupaten Pemalang. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu
Sosial. Universitas Negeri Semarang. 101 halaman.

Kata Kunci: Nahdlatul Ulama, Perolehan suara, Partai Persatuan


Pembangunan
Nahdlatul Ulama (NU) Pemalang pada tahun 1973-1984 berfusi bersama
unsur-unsur Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai
unsur yang palig dominan dalam fusi tersebut keberadaan NU sangat berpengaruh
terhadap setiap gerak PPP di Pemalang dan memberikan kontribusi yang tidak
sedikit, terutama peranannya dalam perolehan suara PPP di Pemalang.
Menghadapi Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 bersama unsur lain NU berusaha
untuk memenangkan PPP dengan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya.
Berkaitan dengan peranan NU tersebut diatas terutama pada masa bergabung di
dalam PPP dalam penelitian ini, muncul beberapa permasalahan, yaitu (1)
Bagaimana sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang dan
perkembangannya dalam politik (2) Bagaimana strategi yang dilakukan NU
Pemalang dalam memenangkan PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP (3)
Bagaimana hasil perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU berfusi di
dalam PPP. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui sejarah
dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang dan perkembangannya dalam
bidang politik.(2) Mengetahui strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam
memenangkan PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP. (3) Mengetahui hasil
perolehan suara PPP di Pemalang pada saat NU berfusi di dalam PPP.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut metode yang dipakai dalam
penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, yang meliputi empat tahap yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiogafi. Lingkup spasial dalam
penelitian ini adalah kabupaten Pemalang, sedangkan lingkup temporal penulis
mengambil tahun 1973-1984 karena pada tahun tersebut NU Pemalang bersama
unsur Islam lainnya melakukan fusi ke dalam PPP. Dengan berbagai strategi yang
dilakukan NU Pemalang berusaha untuk memperoleh suara PPP sebanyak-
banyaknya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa NU di Pemalang berdiri pada
tahun 1934 setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930
dilaksanakannya Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam
pendirian NU di Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH
Mursidi, KH Kholil, dan H Husni. Latar belakang berdirinya NU di Pemalang
adalah untuk mendukung berdirinya NU secara nasional. Dalam perjalanan
politiknya, NU pernah bergabung dalam MIAI, menjadi anggota istimewa
Masyumi, dan mendirikan Partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai
Persatuan Pembangunan, dan terakhir mendeklarasikan Partai Kebangkitan
Bangsa.

viii
Secara politis pada tahun 1973-1984 kekuatan NU tergabung dalam Partai
Persatuan Pembagunan (PPP). Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru
meyederhanakan partai menjadi dua partai dan satu golongan ini memaksa NU
Pemalang bersama Syarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, Parmusi (yang
kemudian berubah menjadi Muslimin Indonesia) untuk berfusi ke dalam PPP pada
tanggal 5 Januari 1973. Dalam upaya untuk memenangkan PPP di Pemalang, NU
melakukan berbagai strategi yaitu dengan mamanfaatkan keberadaan NU sebagai
organisasi massa yang memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik di
tingkat nasional maupun lokal yang dalam hal ini adalah Pemalang, mengerahkan
ulama-ulama NU Pemalang untuk terlibat langsung dalam proses kampanye yang
dilakukan di beberapa daerah di kaabupaten Pemalang, dalam kegiatan kampanye
PPP para ulama NU di Pemalang berusaha untuk memikat hati masyarakat agar
menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP dengan berbagai cara termasuk
menggunakan tema perjuangan Islam, dan melakukan kerjasama di berbagai
bidang dengan DPC PPP Pemalang.
Sebagai hasilnya PPP di Pemalang mampu menjadi kekuatan terbesar
kedua setelah Golkar dan menjadi tandingan Golkar yang cukup berarti dalam
Pemilihan Umum 1977 sampai pada Pemilu 1982. Hasil yang diperoleh PPP di
Pemalang diluar dugaan baik PPP sendiri maupun Golkar atau PDI. Walaupun
pada dasarnya angka suara yang diraih jauh berada di bawah Golkar, yaitu dengan
memperoleh suara sebanyak 138.251 (31,42 %) dengan mendapat 10 kursi pada
pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %) dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1982.
Secara umum perolehan suara PPP di Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 stabil
dan penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah kecamatan.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
PERNYATAAN................................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xiiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian........................................................................ 9
E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 9
F. Tinjauan Pustaka........................................................................... 11
G. Metode Penelitian ......................................................................... 18
H. Sistematika Skripsi ....................................................................... 22

BAB II SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BERDIRINYA NAHDLATUL


ULAMA DI PEMALANG
A. Latar Belakang Berdirinya NU di Indonesia............................... 23
B. NU Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan................................. 24
1. Paham Keagamaan NU......................................................... 30
2. Anggaran Dasar NU.............................................................. 32
3. Orientasi Gerakan NU........................................................... 33

x
C. Latar Belakang Berdirinya NU di Pemalang............................... 35
D. Kehidupan Politik NU ................................................................. 38
1. NU dan MIAI....................................................................... 39
2. NU dan Masyumi.................................................................. 41
3. NU Sebagai Partai Independen............................................. 42
4. NU Berfusi ke dalam PPP.................................................... 46

BAB III STRATEGI NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA


MEMENANGKAN PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DI
PEMALANG
A. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Pemalang ....................... 52
B. Kiprah Politik NU Pemalang di PPP.......................................... 54
C. Strategi NU Dalam Perolehan Suara PPP di Pemalang ............. 59
1. NU Sebagai Kekuatan Utama PPP........................................ 59
2. Hadirnya Figur Kyai Sebagai Pemimpin............................... 62
3. Tema Islam Sebagai Alat Perjuangan.................................... 66
4. Hubungan Kerjasama antara NU dengan PPP...................... 67

BAB IV HASIL PEROLEHAN SUARA PARTAI PERSATUAN


PEMBANGUNAN PADA PEMILU 1977 DAN 1982 DI PEMALANG
A. Pemilu 1977 dan 1982 di Pemalang............................................ 70
B. Perolehan Suara PPP di Pemalang .............................................. 73

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82

LAMPIRAN....................................................................................................... 84

xi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Perolehan Suara Pemilu 1977-1987 Kabupaten Pemalang

……………………………………………………………………….. 72

Tabel 2. Hasil Perolehan Suara PPP Kabupaten Pemalang Pada Pemilu 1977,

1982, dan 1987………………………………………………………. 73

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bapak KH. Asrori Saleh, B.A ......................................................... 84

Gambar 2. Bapak KH. Slamet Zaeny................................................................ 84

Gambar 3. Bapak KH. Noor Effendy................................................................ 85

Gambar 4. Bapak KH. Zainal Abidin Noory .................................................... 85

Gambar 5. Bapak KH. Asrori Saleh, BA Dalam Acara Rapat Bersama

Pengurus PPP dengan Muslimat NU Pemalang Pada Persiapan

Menghadapi Pemilu 1977................................................................ 86

Gambar 6. Bapak KH. Noor Effendy Pada Sebuah Rapat Muslimat NU

Pemalang dalam Mempersiapkan Kampanye 1977 ........................ 86

Gambar 7. Kantor Pengurus Cabang NU Pemalang pada Awal Berdirinya

NU di Pemalang Tahun 1934 di m Pelutan (Kota) ......................... 87

Gambar 8. Kantor Pengurus Cabang NU Pemalang Sekarang ......................... 87

Gambar 9. Lambang PPP setelah NU Keluar dari Fusi ....................................88

Gambar 10. Lambang PPP Pada saat NU masuk ke dalam Fusi ........................88

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peta Wilayah Kabupaten Pemalang Dalam Angka Tahun 1973-


1984................................................................................................. 89

Lampiran 2. Peta Perolehan Suara PPP Pemalang Pada Pemilu 1977 dan

1982................................................................................................. 90

Lampiran 3. Deklarasi PPP.................................................................................. 91

Lampiran 4. Data Informan ................................................................................. 92

Lampiran 5. Pedoman Wawancara ...................................................................... 96

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian......................................................................... 97

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) merupakan salah satu organisasi

keagamaan di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh

ulama yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah atas prakarsa KH Hasyim

Asy’ari, oleh pendirinya organisasi ini disingkat NU. NU didirikan sebagai

wadah untuk mempersatukan diri dan langkah didalam tugas memelihara,

melestarikan, mengemban, dan mengamalkan ajaran Islam yang mengikuti

salah satu empat mazhab dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat

bagi semesta alam (PBNU, 2000 : 21).

Khoiro Ummatin dalam tulisannya yang berjudul Perilaku Politik Kyai

menyebutkan bahwa latar belakang pendirian organisasi NU dapat dikaitkan

dengan peristiwa penting perkembangan modernisme Islam dan adanya tarik

menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika

gerakan Islam di tanah air (Ummatin, 2002 : 50). Gerakan pembaharuan

radikal yang dimotori Wahabi melahirkan kekhawatiran kalangan ulama

penganut Ahlussunah wal Jama’ah, karena wahabi tidak memberikan

kebebasan bagi masyarakat beribadah sesuai dengan tradisi atau ajaran dari

salah satu mazhab empat (Bruinessen, 1997 : 17). Berdirinya organisasi NU

juga berkaitan dengan kondisi gerakan sosial politik dan pembaharuan

1
2

keagamaan di Indonesia yang dipelopori organisasi-organisasi Islam lainnya

seperti al Irsyad dan Muhammadiyah (Ummatin, 2002 : 51).

Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan berlakunya

ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupan

didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan

Pancasila. Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya.

Di bidang keagamaan organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam

menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat dengan

melaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan

mencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan

Islam). Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, NU

mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta

pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusia

muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil,

berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Di bidang

sosial NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum di

segala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di dunia

dan dan keselamatan di akhirat. Di bidang ekonomi NU mengusahakan

terciptanya pembangunan ekonomi yang meliputi berbagai sektor dengan

mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.

Organisasi NU ini sejak awal diproklamirkan diposisikan sebagai

organisasi sosial keagamaan, namun dalam perjalanan sejarahnya hingga

sekarang NU tidak pernah terlepas dari persoalan politik praktis. Motivasi non
3

politis tidak dapat bertahan lama, bahkan secara jujur harus diakui kelahiran

NU itu merupakan langkah politis, baik untuk mempertahankan paham

keagamaan, sebagai bentuk reaksi terhadap gerakan reformasi, modernisasi,

terutama Muhammadiyah maupun untuk menumbuhkan nasionalisme umat

Islam (Shobron, 2003 : 47).

Dalam memahami keterkaitan NU dengan politik perlu dikemukakan

lebih dahulu pengertian politik yang dapat dijadikan pijakan untuk melihat

keterlibatan politik NU. Miriam Budiharjo mengatakan bahwa politik adalah

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau (negara) yang

menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut

tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi

seseorang (private goals) (Shobron, 2003 : 48).

Sudarno Shobron mengatakan bahwa politik adalah kekuasaan yang

digunakan untuk mempengaruhi hal-hal pokok yang berhubungan dengan

kegiatan-kegiatan pemerintah. Ruang lingkup politik tidak hanya menyangkut

berbagai hal seputar pemerintah, tetapi juga berkenaan dengan kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dan individu-individu.

Berbagai kegiatan tersebut merupakan cara bagi rakyat yang berada di luar

pemerintah untuk mempengaruhi proses politik dalam pemerintahan. Deliar

Noer menyebutkan bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang

berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi

dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan

masyarakat.
4

Dari beberapa definisi tersebut di atas bahwa ternyata pengertian politik

itu sangat luas dan komplek, semua kegiatan yang berhubungan dengan

negara, pemerintah, kekuasaan, kebijakan-kebijakan umum merupakan

kegiatan politik.

NU sebagai organisasi sosial sejak awal berhimpitan dengan pemerintah

dan state, baik pada masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, maupun

pada masa pasca orde baru yang sering disebut orde reformasi. Dalam

perjalanan politiknya, NU pernah bergabung dengan MIAI, menjadi anggota

istimewa Masyumi. Pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan

menjadikan dirinya sebagai partai Islam yang baru. Dasar pertimbangannya

adalah karena partai tersebut dianggap tidak lagi dapat menyalurkan aspirasi

politiknya. Sebagai partai yang baru, NU dengan cepat merebut banyak

pendukung. Dengan basis pendukung di pedesaan melalui jaringan Kyai dan

ulama tradisional dalam Pemilu pertama tahun 1955, tiga tahun setelah NU

berdiri, NU telah menempatkan diri sebagai partai Islam terbesar kedua

setelah Masyumi, dan ketiga secara nasional setelah PNI dan masyumi

(Mulkhan, 1989 : 115). Pemilu kedua tahun 1971 merupakan keikutsertaan

NU yang terakhir dalam kedudukannya sebagai partai, dimana pada pemilu ini

partai NU keluar sebagai pemenang pertama diantara sembilan kontestan

partai politik. Pemilu waktu itu diikuti 10 organisasi politik (sembilan parpol

dan satu Golkar). Dari ke-10 kontestan Pemilu Golkar yang untuk pertama

kalinya terjun dalam pemilu menjadi pemenang pertama (Sinansari, 1994 :

31).
5

Stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi yang

dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru, membawa pada pemikiran

restrukturisasi partai politik yaitu dengan melakukan penyederhanaan partai.

NU bersama Partai Syarekat Islam (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah

(Perti), dan Partai Muslimin Indonesia-Parmusi (yang kemudian berubah

menjadi Muslimin Indonesia-MI) pada tanggal 5 Januari 1973 difusikan dalam

satu wadah politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fusi

ini merupakan sejarah baru bagi NU dan partai Islam lainnya, karena

ketidakberdayaannya menghadapi kebijakan pemimpin Orde Baru. Soeharto

dengan kekuatan yang ada dalam genggamannya mengarahkan partai-partai

politik tidak lagi berorientasi pada ideologi, melainkan pada program kerja.

Orientasi ideologi dalam sejarahnya tidak pernah dapat menciptakan

kedamaian, baik internal maupun eksternal, melainkan selalu menimbulkan

konflik yang mengarah pada perpecahan (Shobron, 2003 : 95).

Posisi NU di PPP relatif cukup strategis dan kuat, bahkan sangat

dominan dan mewarnai kebijakan-kebijakan PPP, terutama bila berhadapan

dengan pemerintah. Dalam personalia pengurus, banyak unsur NU misalnya,

Rais’Am dan wakilnya, dipegang KH. Bisri Syamsuri dan KHM Dahlan.

Majelis Pertimbangan Pusat dipegang KH Masykur sebagai ketuanya, dan

Presiden Partai dipegang KH Idham Khalid. Ini menunjukkan bahwa peran

NU sangat strategis, namun peran para kyai tidak banyak beranjak, lebih

banyak yang duduk di Majelis Syuro (Sujuthi, 2001 : 100). Meskipun posisi

NU di PPP dan lembaga legislatif sangat kuat dan diperhitungkan, tetapi


6

dalam pembentukan Kabinet Pembangunan II tahun 1973 tidak seorang pun

dari NU yang masuk dalam kabinet. Jabatan Menteri Agama yang telah lama

dianggap sebagai “jatah” untuk NU, diberikan kepada Prof. Dr. HA Mukti Ali,

seorang “teknokrat agama” dari IAIN. Dalam Kabinet Pembangunan II ini dari

politisi non Golkar yang menjadi menteri hanya dua orang yaitu HMS

Mintareja sebagai Menteri Sosial dan Sunawar Sukowati sebagai Menteri

Negara-dua jabatan menteri yang tidak strategis (Sujuthi, 2001 : 100). Dari

kenyataan itu NU melihat bahwa untuk selanjutnya pemerintah Orde Baru

tidak akan memberi tempat bagi politisi non Golkar untuk duduk dalam

pemerintahan. Karena itu, satu-satunya alternatif adalah memperbanyak

anggota legislatif (DPR/MPR) agar dapat mempengaruhi proses pengambilan

keputusan politik. Untuk mencapai tujuan itu, tidak ada jalan lain kecuali

memperkuat dan membesarkan PPP, sehingga memperoleh kursi sebanyak-

banyaknya dalam Pemilu 1977, dan Pemilu-pemilu berikutnya.

Tahun-tahun pertama kelahiran PPP sebagai fusi partai-partai Islam telah

menunjukkan kekompakan yang sangat mengesankan. Dalam menghadapi

Pemilu 1977, PPP tampil dengan kompak, solid dan bersatu padu serta

mendapatkan dukungan yang amat luas di kalangan umat Islam. Dengan

membawa bendera Ka’bah para juru kampanye (jurkam) PPP membawakan

ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist-hadist Nabi agar memilih bahkan mewajibkan

umat Islam untuk memilih PPP. Satu-satunya partai Islam yang paling tepat

untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sebagai contoh, KH Bisri Syansuri

yang berfatwa bahwa memilih PPP pada Pemilu 1977 adalah “wajib”
7

hukumnya di mata Syari’at Islam. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk

memperoleh suara PPP sebanyak-banyaknya. Berbagai upaya dilakukan

sehingga pada Pemilu 1977 PPP memperoleh lima tambahan kursi di DPR,

menjadi 99 kursi dibandingkan 94 kursi pada Pemilu 1971 yang diperoleh

partai-partai Islam sebelum fusi (Sujuthi, 2001 : 103). Posisi fusi partai Islam

mampu memperoleh suara 29,9 % lebih besar daripada perolehan tahun 1971

(Mulkhan, 1989 : 134).

Peningkatan ini tentunya tidak terlepas dari peranan partai-partai Islam

yang tergabung dalam fusi, tidak terkecuali NU. NU memberikan kontribusi

yang tidak sedikit bagi perolehan suara PPP pada waktu itu, menimbang

bahwa NU sendiri merupakan organisasi yang mempunyai pengikut dalam

jumlah yang sangat besar baik di tingkat nasional maupun lokal. Dengan

masuknya NU kedalam fusi, secara formal terikat dengan PPP sehingga warga

NU menyalurkan aspirasi politiknya melalui PPP. Warga NU menyalurkan

aspirasinya kepada partai fusi ini sampai pada tahun 1984, dimana PBNU

mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan fusi partai, kebijakan ini

terkenal dengan nama kembali ke Khittah 1926. Dengan keluarnya NU dari

keanggotaan ini secara organisatoris NU tidak terikat dengan organisasi sosial

politik manapun, NU telah kembali pada jati dirinya sebagai lembaga sosial

keagamaan seperti pada awal pembentukannya.

Pemalang sebagai salah satu daerah basis NU di Jawa Tengah juga

berperan aktif dalam mengikuti Pemilu 1977 dan Pemilu-pemilu berikutnya.

NU kabupaten Pemalang telah berperan serta dalam upaya untuk


8

memenangkan PPP dalam Pemilu 1977 sampai pada tahun 1984. Berbagai

upaya yang dilakukan oleh NU Pemalang mampu membawa PPP menjadi

kekuatan terbesar kedua setelah Golkar di kabupaten Pemalang, yaitu dengan

memperoleh suara sebanyak 138.251 (31,42 %) dengan mendapat 10 kursi

pada pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %) dengan mendapat 10 kursi pada

pemilu 1982 (Badan Arsip daerah Pemalang).

Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas peneliti ingin meneliti

lebih mendalam tentang bagaimana NU kota Pemalang memberikan

kontribusinya dalam usaha untuk memenangkan PPP pada saat tergabung

dalam fusi bersama partai-partai Islam lainnya. Oleh karena itu peneliti

mengambil judul skripsi “Sejarah dan Peranan NU Dalam Perolehan

Suara PPP Pada Tahun 1973-1984 di Kabupaten Pemalang”.

B. Permasalahan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang

dan perkembangannya dalam politik?

2. Bagaimana strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan

PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP?

3. Bagaimana hasil perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU

berfusi di dalam PPP?


9

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sejarah dan latar belakang berdirinya NU di kota Pemalang

dan perkembangannya dalam bidang politik.

2. Mengetahui strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam memenangkan

PPP pada saat NU berfusi di dalam PPP.

3. Mengetahui hasil perolehan suara PPP pada saat NU berfusi didalam PPP.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperkaya khasanah penelitian sejarah lokal serta sumbangannya

terhadap sejarah nasional khususnya tentang peranan NU dalam dunia

politik dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian sejenis..

2. Dapat mengetahui perkembangan sejarah sosial politik di kota Pemalang.

3. Dapat menambah pengetahuan dan masukan dalam kehidupan berpolitik

bagi masyarakat luas sehingga bisa lebih arif dan bijaksana dalam

menghadapi masalah-masalah politik.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi

pembahasan pada pokok permasalahan saja. Ruang lingkup menentukan

konsep utama dari permasalahan sehingga masalah-masalah dalam penelitian


10

ini dapat dimengerti dengan mudah dan baik. Ruang lingkup penelitian sangat

penting dalam mendekatkan pada pokok permasalahan yang akan dibahas,

sehingga tidak terjadi kerancuan ataupun kesimpangsiuran dalam

menginterpretasikan hasil penelitian.

Ruang lingkup penelitian dimaksudkan sebagai penegasan mengenai

batasan-batasan objek penelitian yang mencakup lingkup wilayah (spatial

scope) dan lingkup waktu (temporal scope).

Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup wilayah (spatial scope)

adalah kota Pemalang. Kota Pemalang merupakan daerah yang terletak di

Jawa Tengah bagian pesisir utara. Sebelah barat berbatasan dengan kota

Tegal, sebelah timur berbatasan dengan kota Pekalongan, sebelah selatan

berbatasan dengan kota Purbalingga, dan sebelah utara berbatasan dengan

Laut Jawa. Pengambilan kota Pemalang sebagai objek penelitian karena kota

Pemalang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjadi salah satu

basis NU.

Sedangkan ruang lingkup waktu (temporal scope) adalah batasan waktu

terjadinya peristiwa sejarah yang menjadi objek penelitian. Yaitu tahun 1973,

dimana NU secara formal tergabung dalam fusi dengan partai-partai Islam

lainnya sampai tahun 1984 yaitu ketika NU secara formal keluar dari

keanggotaan fusi.
11

F. Tinjauan Pustaka

Dalam mengkaji tentang peranan NU pada perolehan suara PPP pada

tahun 1973-1984, peneliti menggunakan beberapa referensi yang dapat

dijadikan sebagai sumber pustaka dalam mengkaji permasalahan yang

dibahas. Beberapa buku yang peneliti gunakan antara lain:

Karya Dr. Martin Van Bruinessen yang berjudul NU; Tradisi, Relasi-

relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru yang diterbitkan oleh LKIS

Yogyakarta tahun 1994. dalam tulisannya, Bruinessen mengatakan bahwa NU

adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di

seluruh Dunia Muslim. NU adalah sebuah sebuah organisasi ulama

tradisionalis yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, organisasi non

pemerintah yang paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan

bawah. Ia mewakili paling tidak dua puluh juta muslim yang mesti tidak selalu

terdaftar sebagai anggota resmi namun mereka merasa terikat kepada NU

melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial.

Buku ini mengkaji lebih mendalam tentang perkembangan yang terjadi

pada NU di Indonesia baik di dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik

mulai sejak awal berdirinya NU bahkan jauh sebelum NU lahir sampai

perkembangan yang terjadi pada tahun 1980-an. Dalam bidang politik,

Bruinessen menyebutkan bahwa NU dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu

biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah, dan para

pemimpinnya seringkali dituduh sebagai orang-orang yang sangat oportunis.

Namun selama tahun 1970-an, ketika kebijakan-kebijakan khas Orde Baru


12

secara bertahap berjalan menurut arahnya sendiri, NU menjelma menjadi

pengkritik yang terus terang dan konsisten terhadap berbagai kebijakan

tersebut. Suara-suara protes terhadap berbagai ketetapan pemerintah yang

tidak populer yang terdengar di DPR ternyata berasal dari para utusan NU.

Dua kali utusan NU melanggar prinsip politik konsensual yang sangat

dijunjung tinggi dengan melakukan walk out dari DPR, tindakan tesebut tidak

hanya merupakan protes terhadap undang-undang yang sedang disidangkan

pada saat itu (salah satunya berkaitan dengan indroktinasi ideologi resmi,

Pancasila) tetapi juga menantang landasan pokok politik Orde Baru.

Penolakan NU inilah yang mendorong pemerintah pada awal 1980-an sangat

menuntut adanya kesepekatan ideologis yang lebih jauh lagi dan mewajibkan

semua organisasi kemasyarakatan dan partai politik menerima Pancasila

sebagai asas tunggal, dengan melepaskan semua asas lain, termasuk Islam. NU

merupakan organisasi sosial yang pertama kali menerima asas Pancasila.

Muktamar 1984 yang terkenal dengan nama Muktamar Situbondo melakukan

perubahan anggaran dasar sebagaimana yang diminta oleh pemerintah. Pada

saat itu juga NU menyatakan diri meninggalkan politik praktis dan kembali

pada jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan, langkah ini lebih

dikenal dengan kembali ke khittah 1926-sebuah keputusan yang umumnya

disebabkan oleh frustasi terhadap fraksi lain di PPP pada saat NU melakukan

fusi pada tahun 1973 (Bruinessen, 1994 : 5).

Buku yang memiliki jumlah halaman 311 ini merupakan kajian yang

sangat bermanfaat dalam memperoleh data tentang NU. Pembahasan tentang


13

NU dibahas lebih mendalam serta mudah dipahami isinya, karena disajikan

dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Dalam menulis

buku ini, Bruinessen langsung terjun kedalam aktifitas-aktifitas orang-orang

NU, ia mengadakan hubungan langsung dengan orang-orang NU sehingga

informasi yang didapat lebih mendalam.

Buku yang kedua adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam

Pentas Politik Nasional karya dari Sudarno Shobron yang diterbitkan oleh

Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammaditah Surakarta

tahun 2003. Dalam bukunya Shobron mengatakan bahwa Muhammadiyah dan

NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang penuh dengan dinamika

seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan

beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam persoalan politik misalnya, kedua

organisasi ini memiliki “langgam” sendiri dalam menyikapi sehingga kadang-

kadang terkesan kontradiksi.

Muhammadiyah dan NU sebagai lembaga sosial keagamaan, memiliki

keterkaitan dengan persoalan kebangsaan, maka kedua organisasi ini selalu

terlibat dalam masalah-masalah politik, baik dalam pergerakan nasional

maupun dalam partai politik. Di dalam buku ini membahas tentang perjalanan

kedua organisasi ini sebagai lembaga sosial keagamaan maupun lembaga

politik. Keterlibatan Muhammadiyah dan NU dalam politik dibahas pada bab

ketiga dengan judul “Muhammadiyah dan NU dalam Sejarah Politik Islam

Indonesia”. Dalam bab ini dibahas tentang Muhammadiyah dan Politik sejak

Belanda sampai Orde Baru, yakni hubungan Muhammadiyah dan MIAI,


14

Masyumi, Parmusi, diakhiri dengan lepasnya Muhammadiyah dari partai

politik. Tentang NU dan politik juga dibahas dalam bab ini yaitu tentang

keterlibatan NU dalam MIAI, Masyumi, NU menjadi partai politik yang

independent, serta NU pada saat berfusi dalam PPP, dan diakhiri dengan

kembalinya NU ke khittah 1926.

Buku ini sangat mendukung dalam membahas tentang peranan NU

dalam perolehan suara PPP pada saat berfusi dengan partai Islam lainnya.

Peneliti mengkaji secara terperinci tentang keterlibatan NU dalam pentas

politik nasional. Penyajiannya disertai dengan tabel-tabel sehingga dapat

mempermudah pembaca untuk lebih memahami isi dari buku ini. Pendekatan

yang digunakan dalam buku ini adalah historis (sejarah kritis), yakni berusaha

melihat sejarah masa lampau secara kritis, dari perspektif keagamaan dan

politik karena Muhammadiyah dan NU tidak terlepas dari paham keagamaan

yang dianut dan dikembangkan.

Buku lain yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian skripsi

ini adalah hasil karya dari M. Ali Haidar yang berjudul Nahdlatul Ulama dan

Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik yang diterbitkan oleh

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 1994. Buku ini mengkaji tentang

keterlibatan NU dalam bidang politik yang ditinjau dari perspektif fikih

(hukum Islam). Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan

hukum, sebab salah satu yang penting dalam hukum Islam mengharuskan

adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut. Atas dasar

konsep tersebut maka orientasi NU untuk memperjuangkan berlakunya hukum


15

Islam di tanah air tidak bisa dilepaskan dengan orientasi lembaga kekuasaan

politik, sebab dengan lembaga itu maka hukum Islam lebih dimungkinkan

dapat difungsikan. Dengan alasan konsep seperti inilah yang menjadi daya

tarik bagi NU untuk terjun dalam politik praktis (Haidar, 1998 : 98). Orientasi

politik NU dapat dilihat sejak NU terlibat dalam politik, baik pada waktu

kedudukannya sebagai organisasi sosial keagamaan maupun sebagai partai

politik.

Dalam bidang politik, NU turut serta memberi sumbangan bagi

pemecahan problematik yang dihadapi bangsa dan Negara. Terlebih-lebih

pendekatan keagamaan yang dilakukan telah mempersubur pengembangan

budaya Islam di tengah masyarakat. Menurut Haidar, banyak pemikir Barat

yang meneliti tentang NU, namun mereka belum maksimal kajiannya tentang

NU, misalnya Herbert Feith dan Lance Casues yang mencoba untuk merekam

pemikiran politik di Indonesia tetapi hanya memberi porsi yang sedikit

mengenai NU dan ternyata belum memahami pemikiran politik NU

dibandingkan dengan peran yang pernah dimainkannya. Buku ini berusaha

untuk mengisi kekosongan itu sebagai langkah awal untuk memberi gambaran

yang agak utuh mengenai NU khususnya dengan analisis menurut sumber-

sumber yang diacu oleh NU sendiri. Dengan pendekatan ini diharapkan agar

kita dapat memehami NU menurut visi NU sendiri.

Di dalam buku ini diuraikan tentang peristiwa-peristiwa sejarah politik

yang dilalui NU dan bagaimana NU memecahkan problematik yang terjadi,

khususnya dalam soal pembentukan kabinet. Konflik dengan Masyumi,


16

selama NU tergabung di dalamnya maupun sesudah NU keluar, pada saat

kedudukan NU sebagai partai politik maupun pada saat ketika tergabung

dalam fusi bersama partai Islam lainnya dalam PPP. Visi keagamaan NU juga

terlihat ketika NU menghadapi pemilihan umum dengan sikap yang lebih

toleran, akomodatif, dan rekonsiliatif. Dengan sikap-sikap politik NU itu tidak

lantas berhasil diperankan dengan baik. Kelemahan-kelemahan manajerial dan

organisasi seringkali mengesankan NU terbawa arus terus menerus tanpa

mampu mengubahnya menjadi terobosan yang menguntungkan. Buku ini juga

menguraikan tentang refleksi diri yang dilakukan NU terhadap eksistensi

politiknya. NU mengoreksi langkah yang selama ini dijalani untuk menjadi

jam’iyah sebagai organisasi non politik tahun 1983. Proses menuju arah ini

bukannya tanpa pergulatan internal yang menegangkan, karena begitu

kentalnya kehidupan politik sebelumnya. Di samping itu ketegangan juga

terjadi antar berbagai unsur, termasuk NU, yang berfusi kedalam PPP.

Di dalam buku NU, Gusdurisme dan Politik Kiai tulisan DR. Faisal

Ismail, MA. pada salah satu artikelnya yang berjudul Dilema Politik Islam:

Idealisme Versus Realisme diuraikan tentang perkembangan politik umat

Islam ditinjau dari perspektif idealisme dan kenyataan yang terjadi pada

pergerakan politik umat Islam. Idealisme politik Islam terwujud Partai

Masyumi dibentuk di Yogyakarta pada tanggal 8 November 1945. Para tokoh

Muslim yang mewakili berbagai organisasi Islam (seperti Muhammadiyah,

NU, Sarekat Islam dan Perti) dalam kongresnya sepakat untuk menjadikan

Masyumi sebagai satu-satunya partai dalam menyalurkan aspirasi politik umat


17

Islam. Cita-cita dan idealisme politik Islam diharapkan dapat disalurkan dan

diperjuangkan oleh para pemimpin Islam dan umatnya lewat Masyumi dalam

menghadapi Pemilu yang akan diselenggarakan tahun 1955. Akan tetapi

sebelum Pemilu 1955 dilaksanakan, idealisme politik Islam pecah berkeping-

keping. Perceraian politik Islam di tubuh Masyumi terjadi akibat konflik

internal yang sulit teratasi. Sarekat Islam keluar dari Masyumi tahun 1947 dan

disusul oleh NU pada tahun 1952. keduanya mendeklarasikan sebagai partai

politik sendiri. Pertikaian Islam berlanjut dengan hengkangnya Perti dan

organisasi-organisasi Islam yang lain dari Masyumi, kondisi semacam ini

berpengaruh terhadap perolehan suara dari partai-partai Islam, yaitu 45 % (jadi

masih kurang dari 50 apalagi 70 persen), cita-cita dan idealisme politik Islam

tidak mungkin dicapai secara maksimal oleh partai-partai Islam dalam

perjuangan konstitusionalnya di Majelis Konstituante (1956-1959). Di

samping itu dilihat dari sudut realisme politik, orang-orang Islam tidak selalu

menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai-partai berbasis Islam dalam

pemilu 55 (Ismail, 1999 : 121).

Kebijakan restrukturisasi politik yang diterapkan Orde Baru memaksa

partai-partai Islam melakukan fusi kedalam PPP. Oleh karena fusi ini tidak

datang dari arus bawah dan tidak terjadi berdasarkan kesadaran yang bersifat

alamiah-batiniah, PPP selalu mengalami dilema politik yang terus berlanjut

sehingga fusinya tidak pernah tuntas.

Unsur-unsur kelompok politik yang ada di tubuh PPP kerap kali

menguat dengan kepentingan politiknya sendiri. Hal ini sering terjadi antara
18

Muslimin Indonesia dan NU sehingga terjadi sering terjadi konflik politik di

tubuh PPP. Ketua umum PPP J. Naro pernah mencoret sederet nama calon

dari tokoh-tokoh NU yang diajukan untuk duduk di DPR (Pemilu 1982)

karena tokoh-tokoh tersebut dipandang sebagai penganut garis keras, dan

menggantinya dengan tokoh-tokoh pilihannya sendiri.

Melihat kenyataan semacam itu, NU melakukan aksi penggembosan

terhadap PPP sehingga perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987 menurun

secara drastis. Ini menunjukkan bahwa idealisme politik Islam di tubuh PPP

hampir, atau bahkan tidak ada. PPP dihadapkan pada realisme politik yang

ditandai oleh perselisihan dan perpecahan politik karena kepentingan-

kepentingan politik dari unsur-unsur politik dalam partai itu.

Dalam Pemilu 1982, misalnya, PPP masih sempat meraup suara

sebanyak 27,78 persen (94 kursi). Namun pada Pemilu 1987, PPP hanya

meraih suara sebanyak 18,8 persen (61 kursi) yang berarti kehilangan

sebanyak 33 kursi dibandingkan dengan perolehan suara dalam Pemilu 82.

Dari sini dapat dilihat bahwa keberadaan NU dalam PPP sangat berpengaruh

terhadap perolehan suara PPP itu sendiri.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.

Dengan metode sejarah, peneliti berusaha menguji dan menganalisa kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau. Oleh sebab itu, penelitian ini akan

peneliti tempuh dengan melakukan prosedur penelitian sejarah menurut Louist


19

Gottschalk (1975 : 32) yang terdiri dari empat langkah bagian yang saling

berurutan, sehingga yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan.

Adapun keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Heuristik (Pencarian sumber)

Heuristik merupakan kegiatan untuk mencari atau menghimpun data

dan sumber-sumber sejarah atau bahan untuk bukti sejarah, seperti:

dokumen, arsip, naskah, surat kabar maupun buku-buku referensi lain

yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

Pada tahap heuristik ini peneliti mencari literatur-literatur kepustakaan

yaitu buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sumber-

sumber yang diperoleh dengan riset kepustakaan berguna sebagai bahan

pembanding, pelengkap, dan penganalisa guna memperdalam

permasalahan yang dibahas. Dalam penelitian ini peneliti mendapat

literatur-literatur tersebut dari perpustakaan-perpustakaan diantaranya

adalah perpustakaan jurusan Sejarah UNNES, perpustakaan pusat

UNNES, perpustakaan wilayah propinsi Jawa Tengah dan perpustakaan

daerah Pemalang.

Dalam mengumpulkan data yang berupa sumber-sumber sejarah,

peneliti juga melakukan kegiatan wawancara, terutama dengan saksi

sejarah yang mengetahui dan terlibat langsung dalam sejarah ke NU-an

yaitu para sesepuh atau tokoh NU, dan tokoh masyarakat di Pemalang.

Wawancara dilakukan dengan tokoh yang terkait dengan sejarah politik

dan ke NU-an di Pemalang pada tahun 1973-1984 antara lain dengan


20

Bapak H Asrori Saleh, BA, Bapak KH. Slamet Zaeny, Bapak Zaenal

Abidin Noory, KH. Bapak KH. Noor Effendy, dan tokoh-tokoh lainnya.

Peneliti mengalami kesulitan pada saat wawancara karena para informan

sudah lanjut usia sehingga mengakibatkan wawancara agak terhambat

dengan keterbatasan daya ingat dan kesulitan yang lain adalah waktu yang

terbatas dalam mengadakan wawancara karena kesehatan para informan

yang telah menurun. Peneliti juga mengalami kesulitan dalam menemui

para informan karena ada sebagian informan yang masih aktif dalam

kegiatan ke NU-an disamping itu peneliti juga melakukan kajian terhadap

sumber-sumber sejarah yang ada, hal ini dimaksudkan untuk mencari

jejak-jejak sejarah. Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang dikaji,

antara lain kondisi sosial politik masyarakat Pemalang pada tahun 1973-

1984 melalui studi terhadap dokumen, arsip, naskah, foto dan lain

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat.

2. Kritik Sumber

Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melihat

kembali apakah sumber itu sesuai atau tidak, apakah sumber itu asli atau

turunan. Kritik sumber itu merupakan penerapan dari sejumlah aturan-

aturan atau prinsip-prinsip untuk menguji kebenaran atau keaslian dari

sumber-sumber sejarah. Kritik sumber yang digunakan adalah kritik intern

dan kritik ekstern. Dalam kritik intern yang peneliti lakukan adalah dengan

mengadakan penilaian berdasarkan sumber itu sendiri, mambandingkan

kesaksian dari berbagai sumber. Sedangkan dalam kritik ekstern yang


21

peneliti lakukan adalah dengan melihat kembali beberapa sumber

misalnya dokumen apakah asli atau tidak, misalnya dengan melihat jenis

kata.

3. Interpretasi

Interpretasi merupakan usaha untuk mewujudkan rangkaian data-data

yang mempunyai kesesuaian satu sama lain dan bermakna (Widja, 1989 :

13). Interpretasi ini dilakukan untuk menentukan makna yang saling

berhubungan antara data-data yang diperoleh, seperti yang dikemukakan

oleh I Gde Widja tersebut.

Pada tahap ini data yang diperoleh diseleksi, dimana peneliti

berusaha menentukan data mana yang harus ditinggalkan dalam penelitian

sejarah dan dipilih data mana yang relevan atau tidak. Faktor-faktor

sejarah yang telah melalui tahap kritik sumber dihubungkan atau saling

dikaitkan sehingga pada akhirnya akan menjadi suatu rangkaian yang

bermakna.

4. Historiografi (Penelitian Sejarah)

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode penelitian

sejarah, dimana peneliti sudah menyusun ide-ide tentang hubungan satu

fakta dengan fakta yang lain melalui tahap interpretasi maka langkah akhir

dari penelitian ini adalah penelitian sejarah. Bentuk dari rekaman dan

peninggalan masa lampau ini akan disusun secara sistematis dengan topik

yang jelas sehingga akan mudah untuk dimengerti dan dengan tujuan agar

pembaca dapat mudah memahaminya.


22

H. Sistematika Skripsi

Secara garis besar sistematika skripsi adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, permasalahan,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian, dan sistematika skripsi.

BAB II Membahas tantang Sejarah dan Latar belakang Berdirinya NU di

Indonesia dan Pemalang meliputi sejarah dan latar belakang berdirinya NU di

kota Pemalang dan peranannya dalam bidang politik.

BAB III Membahas tentang Strategi yang dilakukan NU Pemalang dalam

perolehan suara PPP di kota Pemalang pada saat NU tergabung dalam fusi.

BAB IV Menjelaskan tentang analisa hasil Pemilu PPP di kota Pemalang pada

saat NU melakukan fusi maupun sesudah keluar dari fusi.

BAB V Penutup meliputi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dibahas

dalam bab sebelumnya. Bagian akhir berisi tentang daftar pustaka dan

lampiran-lampiran.
BAB II

SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BERIDIRINYA

NAHDLATUL ULAMA DI PEMALANG

A. Latar belakang berdirinya NU di Indonesia

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami

bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah

menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat

bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul

1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan

memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap

penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,

muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial

keagamaan di Indonesia yang pembentukannya merupakan kelanjutan

perjuangan kalangan pesantren dalam melawan kolonialisme di Indonesia. NU

didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama

tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi ini

berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Kalangan pesantren

yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional

tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan

(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan

Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan

23
24

pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan

kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum

saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian

rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain

tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang

berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota

(www.wikipedia.org).

Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke-

20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul

Wahab dengan ajarannya yang terkenal “Aliran Wahabi”, yakni berubahnya

sistem pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah

pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta

berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja

Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud ini

berkuasa, ia melakukan gerakan-gerakan modernisme Islam secara radikal

terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk

adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap kuburan empat imam

(Sayafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang terletak di sekitar Ka’bah. Selain

itu reaksi para ulama penganut Ahlussunah wal Jama’ah terhadap

pemerintahan kaum Wahabi saat itu, adalah karena dikahawatirkan kaum

Wahabi tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan ibadah

sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 :

2).
25

Gerakan itu diwariskan oleh seseorang yang bernama Abd Al-Wahab

(1073-1787), yang berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam, karena ia

menganggapnya bahwa ajaran Sufisme telah menciptakan kemerosotan di

kalangan umat Islam, telah menyelewengkan ajaran Islam, termasuk

serangannya terhadap ajaran-ajaran dari empat imam mazhab. Menurut

kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah

ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist, seperti masalah taqlid

dan ijtihad, ziarah kuburan, bacaan barzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah

yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang telah

meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap

tingkat masalah keimanan dan masalah-masalah keduniaan. Sebagai akibatnya

umat Islam menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia

Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme.

Gerakan Wahabi dapat bertahan, berkembang dan merasuki ideologi

kenegaraan, bahkan kemudian memenangkan percaturan politik di Timur

Tengah, dengan tokoh penyebar misi gerakan itu yang terkenal pada akhir

abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Muhammad Abduh. Ajaran

Wahabiyah melalui tokoh tersebut cukup berpengaruh di kalangan orang-

orang Indonesia yang berkesempatan belajar Islam di Timur Tengah, ditambah

dengan pengaruh kemenangan golongan Wahabiyah di bawah kepemimpinan

Raja Sa’ud di Arab Saudi (Laode, 1996 : 3). Deliar Noer, misalnya mencatat

paling tidak ada tujuh orang penyebar Islam ternama dari Sumatera Barat yang

terpengaruh kuat dengan ajaran-ajaran modernisme Islam ala Wahabiyah dan


26

Muhammad Abduh yang hidup di penghujung abad ke-19 dan pada awa abad

ke-20, yaitu Syaikh Muhammad Khatib, Syaikh Taher Djalaludin, Syaikh

Muhammad Djamil Djambek, Abdul Karim Amirullah, Haji Abdullah Ahmad,

Syaikh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai Al-Junusi, dimana mereka

melakukan syiar Islam baik secara langsung maupun melalui pertemuan tatap

muka, lembaga-lembaga pendidikan, maupun secara tidak langsung melalui

tulisan mereka di dalam majalah. Sehingga di daerah itu terjadi ketegangan

antara kalangan penganut penganut Islam tradisional atau kalangan pesantren

dan kalangan tokoh-tokoh adat dengan kalangan pembaharu.

Sementara itu di Pulau Jawa, pada awal abad ke-20 mulai pula terjadi

ketegangan karena munculnya gerakan Islam pembaharu yang bisa disebut

sebagai perpanjangan gerakan Wahabiyah dari Timur Tengah. Adalah

organisasi Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18

November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, dimana ia didorong oleh kalangan

murid-muridnya untuk mendirikan organisasi lembaga pendidikan permanen

dalam rangka menyebarkan misi pembaruannya itu, yang merupakan

organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial dalam rangka

pembaruan Islam.

Pada dekade yang sama di awal abad ke-20, muncul pula organisasi-

organisasi yang berorientasi politis, yaitu Budi Utomo (BU) dan Syarekat

Islam (SI). Dua organisasi ini sama-sama menentang pemerintahan kolonial,

hanya saja berbeda orientasi. Kalau Budi Utomo bersifat nasionalis dan

menentang Belanda karena pemerintahan orang asing (penolakan terhadap


27

orang-orang asing), maka Syarekat Islam menentang Belanda karena dianggap

sebagai pemerintahan orang-orang kafir (penolakan terhadap agama yang

dianut oleh para aktor pemerintahannya). Tetapi walaupun para fungsionaris

kedua organisasi itu sama-sama Islam, namun mereka terdiri dari kalangan

modernis atau pembaru (khususnya Budi Utomo).

Pandangan kaum modernisme Islam nampaknya lebih akomodatif

terhadap modernisasi yang berkembang pesat di Barat, apalagi kalangan

penggeraknya, selain yang terpengaruh langsung dengan ajaran Wahabi, juga

adalah kalangan intelektual beragama Islam yang ditempah dalam system

pendidikan ala Barat. Sehingga kecuali menentang tradisi kalangan

tradisionalis, juga merubah atau memperbarui metodologi pendidikan bagi

orang-orang Islam. Walupun begitu nilai-nilai moral Islam tetap dipegang

teguh, sementara misi terhadap revitalisasi Islam yang bisa menjadi dinamis

dan mampu bersaing dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan modern

tanpa menghilangkan moral dan sandaran-sandaran agama masa lalunya.

Gelombang reformisme pada awal abad ke-20 ini dicatat sebagai mewakili

perkembangan intelektual Islam Islam Indonesia tahap pertama.

Perkembangan berbagai organisasi Islam yang berideologi pembaruan itu,

tampaknya dianggap oleh NU secara khusus sebagai suatu ancaman akan

eksistensi model pendidikan yang dilakukan melalui pondok-pondok dan

pesantren-pesantren, dan atau secara umum mengancam eksistensi gerakan

penganut salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 6).


28

Meskipun terdapat kerjasama antara tokoh-tokoh Islam dalam suatu

organisasi yang bernama Kongres Al Islam tetapi tampaknya wadah para

ulama tokoh Islam baik dari kalangan tradisi maupun pembaru ini tak mampu

mengakomodasi kepentingan semua kalangan, karena didominasi oleh

kalangan pembaru. Misalnya pada saat memenuhi undangan Raja Ibnu Sa’ud

menghadiri Kongres Al Islam di Mekkah, dengan melalui Kongres Al Islam

keempat di Yogyakarta pada tanggal 21-27 Agustus 1925 telah diputuskan

delegasi yang hadir yaitu H. O. S Tjokroaminoto (dari Syarekat Islam) dan

KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah). Ini menimbulkan kekecewaan dari

kalangan tradisi yang berdampak pada beberapa tindakan yang dilakukan oleh

kalangan tradisi dalam rangka mempertahankan dan mempertahankan yang

mereka anut (penganut salah satu dari empat mazhab). Salah satunya kalangan

tradisi mengambil inisiatif untuk membangun kelompok yang bertugas khusus

untuk berkunjung di Arab Saudi menemui Raja Sa’ud, penguasa Arab

(Mekkah dan Madina, penganut aliran Wahabi) dalam rangka menyampaikan

paling tidak dua masalah penting. Pertama, himbauan umat Islam Indonesia

(khususnya penganut Ahlusunnah wal Jama’ah atau penganut dari salah satu

empat mazhab) agar memberi kebebasan beribadah kepada masyarakat Arab

penganut faham yang sama. Kedua, tidak melarang orang-orang Islam yang

berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta para

sahabatnya, terutama yang mengandung sejarah Islam (Laode, 1996 : 8).

Perjuangan itu memang berhasil yang ditandai dengan adanya kebijakan baru

Raja Sa’ud tentang kedua himbauan tersebut ditambah dengan upaya


29

memberikan pelayanan kepada jamaah haji dari Indonesia. Kelompok ini

semula merupakan Komite Hijaz, yang sesuai dengan kesepakatan awal

memang akan berakhir namun bisa juga dianggap sebagai cikal bakal

terbentuknya NU di Indonesia (Laode, 1996 : 9). Komite Hijaz ini dibentuk di

rumah Kiai Wahab Chasbullah di Surabaya pada 31 Januari 1926, ia

merupakan juru bicara kalangan tradisi yang paling vokal pada Kongres Al

Islam. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan

megubah diri menjadi sebuah organisasi dan menggunakan nama Nahdlatoel

‘Oelama. Pada tahun-tahun awal berdirinya, pertimbangan mengenai status

Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya (Bruinessen,

1994 : 34).

Pembentukan NU merupakan reaksi satu sisi terhadap berbagai

aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah dan kelompok modernis

moderat yang aktif dalam gerakan politik, Syarekat Islam (SI), sisi lain

terhadap perkembangan politik dan paham keagamaan internasional (Shobron,

2003 : 38). Muhammadiyah yang dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1912

dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah di

Indonesia. Muhammadiyah sangat menekankan kegiatannya pada kepada

pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-sekolah

bergaya Eropa, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan, namun ia juga

merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan akidah.

Muhammadiyah bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta

berbagai prakteknya dan menentang otoritas ulama tradisional. Syarekat Islam


30

didirikan pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan-

kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina.

Pada awal 1920-an, sayap paling radikal dari Syarekat Islam memisahkan diri

dan bergabung dengan partai Komunis. Sebagai organisasi modern yang

dipimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili

kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, Syarekat Islam merupakan

ancaman serius terhadap posisi para pemimpin tradisional umat, Kyai

(Bruinessen, 1994 : 18).

B. NU sebagai Organisasi Sosial Keagamaan

1. Paham Keagamaan NU

Sejak awal berdirinya, NU telah menentukan pilihan paham

keagamaan yang akan dianut, dikembangkan, dan dijadikan sebagai

rujukan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Paham

keagamaannya adalah Ahlussunah wal Jama’ah, dapat diartikan “para

pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ ulama”. Kata Ahlussunah wal

Jama’ah berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata ahlu berarti

keluarga, sunnah artinya jalan, tabiat, perilaku, dan jama’ah berarti

sekumpulan. Kemudian dipandang dari istilah adalah kaum yang

menganut jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat-

sahabatnya. Jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat-

sahabatnya masih terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur,

kemudian dikumpulkan dan dirumuskan oleh Syeih Abu Hasan Al-


31

Asy’ari. Hasil rumusan tersebut berupa ketauhidan, yang dijadikan

pedoman bagi kaum Ahlussunah wal Jama’ah.sehingga wajar kaum

Ahlussunah wal Jama’ah disebut juga kaum Asy’ariyah. Dalam bidang

fiqih kaum Ahlussunah wal Jama’ah menganut salah satu mazhab empat,

yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali (Darojat, 2006 : 15). Bertolak

dari berbagai pengertian diatas, maka pengertian Ahlussunah wal Jama’ah

adalah golongan umat Islam yang dalam bidang tauhid mengikuti ajaran

Imam Al-Asy’ari, sedangkan dalam bidang fiqih mengikuti salah satu

mazhab empat.

Dalam kata pengantar Anggaran Dasar NU tahun 1947. KH. Hasyim

Asy’ari menegaskan paham keagamaan NU, yaitu:

“Wahai para ulama dan para sahabat sekalian yang takut kepada Allah dari golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah, yah! Dari golongan yang menganut mazhab imam yang
empat. Engkau sekalian orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari
orang-orang yang hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya dengan tidak gegabah
dengan memilih seorang guru dan dengan penuh ketelitian pula kalian memandang
seorang guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka oleh karena
menuntut ilmu pengetahuan dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang
memegang kunci bahkan juga menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh
karenanya, apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya, maka
barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan pencuri”
(Shobron, 2003 : 53).

Pengantar dari KH. Hasyim Asy’ari itu dijadikan landasan bagi NU

untuk menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, pada suatu sisi, sisi lain

pengantar diatas juga menjelaskan alur transformasi keilmuan di

lingkungan NU. Sosok guru atau Kyai diibaratkan sebuah pintu sekaligus

kunci dari pintu itu sehingga kalau seorang akan mencari ilmu harus

melalui pintu, yaitu Kyai.


32

Paham yang dianut NU inilah yang menjadi dasar bagi setiap

langkah kalangan ulama tradisional. Namun paham Ahlussunah wal

Jama’ah yang dianut NU ini berbeda dengan paham kelompok modernis

yang juga mengaku penganut Ahl al sunnah wa al-jama’ah. Perbedaannya

terletak pada beberapa hal, antara lain kalangan tradisional dalam bidang

hukum-hukum Islam menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat

sedangkan kalangan modernis tidak mengikuti ajaran-ajaran imam

mazhab. Dalam memahami Islam kalangan modernis langsung langsung

bersumber pada Al Qur’an dan hadis yang sahih, ijma dan qiyas tidak

dijadikan sebagai sumber ajaran. Sedangkan bagi kalangan tradisionalis

penganut Imam mazhab, ijma’ dan qiyas dijadikan sebagai sumber ajaran

Islam (Shobron, 2003 : 54).

2. Anggaran Dasar NU

Anggaran dasar formal NU yang pertama dibuat pada Muktamarnya

yang ketiga pada tahun 1928. Anggaran dasar ini dibuat dengan tujuan

mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda yang pembuatannya

sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Atas dasar anggaran

dasar ini, NU diberi status berbadan hukum pada Februari 1930

(Bruinessen, 1994 : 42).

Anggaran dasar ini tidak menyebutkan dengan sangat eksplisit

bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam

Ahlussunah wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum

pembaharu dan modernis. Sebagai contoh dalam pasal 2 anggaran dasar


33

NU disebutkan bahwa “Adapun maksud perkumpulan ini yaitu:

Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya imam ampat,

yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyj-Syafi’i, Imam Malik bin Anas,

Imam Abu Hanifah An-Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan

mengerjdakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan Agama Islam”

(Bruinessen : 1994 : 44).

Dalam pasal 2 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa sikap

berpegang teguh kepada salah satu dari emat mazhab merupakan ciri yang

secara tegas membedakan kaum tradisionalis dengan kaum pembaharu.

Dapat dikatakan bahwa anggaran dasar NU menekankan pada upaya

melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek

keagamaan kaum pembaharu. Namun dalam prakteknya anggaran dasar

NU ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap semua

pendirian kaum pembaharu dan modernis. Sebagai contoh di dalam

angaran dasar NU disebutkan bahwa masyarakat NU didorong malakukan

pembaruan di bidang pendidikan yang coraknya tidak jauh berbeda dari

kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh kaum pembaharu dan modernis.

Madrasah, yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada

waktu itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan

merupakan pembaruan penting dari pesantren tradisional.

3. Orientasi Gerakan NU

Tujuan didirikannya NU adalah untuk memeperjuangkan berlakunya

ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah


34

kehidupan didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berasaskan Pancasila. Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi,

kiprahnya dibidang pendidikan melalui pondok-pondok, pesantren-

pesantren, madrasah-madrasah tetap digalakkan. Misi utamanya adalah

mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah

satu dari empat mazhab. NU yang semula berkedudukan di Surabaya, pada

awalnya hanya memiliki pendukung atau jama’ah dari Jawa dan Madura.

Tapi tampaknya NU berupaya memperoleh simpati dari masyarakat Islam,

yang memang sempat diraihnya setelah perjuangannya melalui Komite

Hijaz berhasil ditanggapi secara positif oleh Raja Sa’ud.

Orientasi gerakan NU pada tahap perkembangannya tidak hanya

terbatas pada bidang pendidikan kemasyarakatan dan politik saja,

melainkan sudah mulai berusaha mengembangkan kegiatan di bidang

ekonomi. Secara formal organisatoris program di bidang ekonomi pertama

kali diputuskan pada tahun 1930 dengan mendirikan Lajnah Waqfiyah

(panitia wakaf) pada setiap cabang NU untuk bertugas mengurus masalah

wakaf, dimana kegiatan berorientasi profit, tetapi keuntungannya adalah

dalam rangka mendukung kegiatan sosial keagamaan (Laode, 1996 : 12).

Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya. Di

bidang keagamaan organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran

Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat dengan

melaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan

mencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah


35

(persaudaraan Islam). Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan,

NU mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan

pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam

untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur,

berpengetahuan luas, terampil, berkepribadian, serta berguna bagi agama,

bangsa, dan negara. Di bidang sosial NU mengusahakan terwujudnya

keadilan sosial dan keadilan hukum di segala lapangan bagi seluruh rakyat

untuk menuju kesejahteraan umat di dunia dan keselamatan di akhirat. Di

bidang ekonomi NU mengusahakan terciptanya pembangunan ekonomi

yang meliputi berbagai sektor dengan mengutamakan tumbuh dan

berkembangnya koperasi.

C. Latar Belakang Berdirinya NU di Pemalang

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU di Pemalang tidak bisa

terlepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU secara nasional.

Pendirian NU di Pemalang tidak bersamaan dengan berdirinya NU di tingkat

nasional, yaitu tanggal 31 Januari 1926. Ini terjadi karena meskipun sudah

banyak tokoh dan para ulama menyatakan masuk kedalam NU akan tetapi

pada tahun 1926 mereka belum mengetahui anggaran dasar NU sebagai

pedoman untuk melangkah kedepan, sehingga aktifitas NU pada waktu itu

belum sesuai yang diharapkan. NU di Pemalang berdiri pada tahun 1934

setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya

Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU


36

di Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH

Kholil, dan H Husni (Wawancara dengan Bapak KH Noor Effendy, 20 April

2007).

Kepengurusan NU di Pemalang pada awal berdirinya sebagian besar

terdiri dari para tokoh pendirinya dan masih bersifat sederhana. Sebagai ketua

dipilih H Ma’ful dan Suriahnya Kyai Suyad dengan sekretariat pengurus NU

Pemalang bertempat di Pelutan (Pemalang kota). Semua gerak dan langkah

NU pada waktu itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, yaitu masih dalam

cengkraman penjajah. Namun garis pokok perjuangan tetap bersifat non

koperatif.

Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk mendukung

berdirinya NU secara nasional. Hal ini diawali dengan adanya surat dari KH

Hayim Asy’ari yang disampaikan oleh para tokoh ulama di Pemalang

diantaranya Kyai Abdul Hamid mengenai gagasan mendirikan NU yang isinya

tentang permintaan agar Kyai Abdul Hamid membantunya untuk mendirikan

serta mengembangkan organisasi NU di wilayah Kabupaten Pemalang.

Dengan harapan agar NU mampu mengakomodasi semua aspirasi masyarakat

yang paham Ahlusunnah wal Jama’ah Dengan adanya hubungan batin yang

erat antara Kyai dan pondok pesantren dapat mempercepat pendirian NU di

Pemalang, tokoh-tokoh ulama di Pemalang merasa terpanggil untuk turut

mendirikan dan mengembangkan NU (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal

Abidin Noory, 20 April 2007).


37

Kehadiran NU di Pemalang ternyata mendapat sambutan positif oleh

masyarakat Pemalang. Organisasi NU dapat dengan mudah dikenal oleh

masyarakat pada umumnya dan dijadikan sebagai alat perjuangan bagi warga

NU khusunya. Ini terjadi karena faktor besarnya karisma para ulama yang

mendirikan dan didorong oleh kondisi sebagian besar masyarakat Pemalang

yang telah menerima dan menganut ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.

Terbentuknya NU di Pemalang dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan

ajaran Islam pengaruh mazhab Ahlussunah wal Jam’ah yang bertujuan untuk

menjawab tuduhan atas perilaku Bid’ah dari kalangan modern (Wawancara

dengan Bapak KH Slamet Zaeny, 20 April 2007).

Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi, langkah utama yang

dilakukan adalah berusaha untuk mengembangkan pendidikan agama Islam

terutama melalui pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah.

Misi utamanya adalah mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam

yang menganut salah satu dari empat mazhab. Kehadiran NU di Pemalang

dijadikan sebagai media untuk menegakkan ajaran Islam Ahlussunah wal

Jama’ah dalam kehidupan masyarakat Pemalang pada umumnya. Dengan

bantuan para ulama NU Pemalang NU mengalami perkembangan yang cukup

pesat terutama ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952. dengan

kharisma yang dimilik oleh ulama NU, masyarakat Pemalang mengikuti apa

yang diajarkan oleh para ulama, termasuk ajakan untuk menegakkan ajaran

Ahlussunah wal Jama’ah.


38

D. Kehidupan Politik NU di Pemalang

Dalam perjalanan sejarahnya, meskipun NU semula didirikan sebagai

lembaga sosial keagamaan, NU tidak pernah terlepas dari persoalan politik

praktis. Motivasi non politis tidak dapat bertahan lama, bahkan secara jujur

harus diakui bahwa kelahiran NU itu merupakan langkah politis, baik untuk

mempertahankan paham keagamaan, sebagai bentuk reaksi terhadap gerakan

reformasi, modernisasi, terutama Muhammadiyah dan Sarekat Islam, maupun

untuk menumbuhkan nasionalisme umat Islam (Sobron, 2003 : 47).

NU sebagai organisasi sosial sejak awal berhimpitan dengan

pemerintah dan negara, baik pada masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde

Baru, maupun pada masa reformasi. Dalam perjalanan politiknya NU pernah

bergabung dengan MIAI, menjadi anggota istimewa Masyumi, mendirikan

partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan,

dan terakhir mendeklarasikan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa.

Sejak awal berdirinya, NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis,

namun ini hanya bertahan kurang lebih 11 tahun (1926-1937). Sebab setelah

tahun 1937, NU terus terlibat dalam pendirian partai politik Islam, bahkan ikut

terjun didalamnya sampai mendirikan partai politik sendiri. Keterlibatan NU

dalam politik ini membawa keuntungan bagi NU cabang Pemalang, yaitu

masyarakat lebih mengenal apa yang diperjuangkan NU dan keberadaan NU

sendiri di lingkungan Masyarakat Pemalang pada umumnya (Wawancara

dengan Bapak Noor Effendy, 20 April 2007).


39

Keterlibatan NU dalam politik di Pemalang sama seperti halnya seperti

yang terjadi di tingkat nasional yaitu mengalami pasang surut baik pada saat

NU tergabung bersama organisasi sosial politik lainnya maupun pada saat NU

menjadi partai politik sendiri. Sejak awal berdirinya NU di Pemalang

berfungsi sebagai lembaga sosial keagamaan namun dalam perkembangannya

NU pernah bergabung ke dalam MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) pada

tahun 1937, bergabung ke dalam Masyumi pada tahun 1945, menjadi partai

politik sendiri pada tahun 1952, menjadi anggota fusi bersama partai Islam

dalam PPP pada tahun 1973-1984 dan yang terakhir pada masa reformasi

dimana NU membidani lahirnya PKB tahun 1998. Hingga sampai sekarang

NU masih berhubungan baik dengan DPC PKB Pemalang, namun hubungan

ini bukan didasarkan pada hubungan organisatoris kedua lembaga melainkan

hanya didasarkan pada hubungan secara batin dan sosiologis para pengurus

dan tokoh NU Pemalang saja, sehingga terkesan ada hubungan organisatoris

antara NU dengan DPC PKB (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin

Noory, 20 April 2007).

1. NU dan MIAI

MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) didirikan di Surabaya pada

tanggal 21 September 1937 atas prakarsa ulama-ulama dari

Muhammadiyah, NU dan Sarekat Islam, yaitu KH. Mas Mansur

(Muhammadiyah), KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Chasbullah

(NU), dan W. Wondoamiseno (Sarekat Islam). Tujuan didirikannya MIAI


40

adalah sebagai wadah pemersatu umat Islam, sekaligus sebagai wadah

perjuangan politik (Sobron, 2003 : 83).

MIAI pada masa Belanda ini dapat mengadakan tiga kali kongres,

yaitu tahun 1938, 1939, dan 1941. topik yang dibicarakan dalam kongres

pada umumnya adalah tentang masalah-masalah agama dalam pengertian

yang ketat, tetapi pada tahun-tahun terakhir pembahasannya meluas ke

masalah-masalah politik. Perjuangan politik MIAI dilakukan semata-mata

dengan tujuan untuk menegakkan ajaran agama Islam di Indonesia pada

masa pemerintahan Belanda.

Perjuangan di bidang politik masih dilakukan sejak jaman Jepang.

MIAI yang sempat vakum, diperbolehkan hidup kembali oleh Jepang,

sesuai dengan strategi politik Jepang yang merangkul kekuatan-kekuatan

islam melalui ulama atau kyai. Pada tahun 1944 Jepang mengembangkan

latihan militer khusus untuk guru-guru agama dan kyai, hal ini dilakukan

dengan tujuan menambah wawasan tentang situasi dunia dan

meningkatkan semangat peserta untuk memberikan dukungan yang

sebesar-besarnya kepada pemerintah yang pada waktu itu adalah Jepang.

Latihan militer juga dilakukan oleh kalangan pemuda atau santri, yaitu

dengan mendirikan Hizbullah yang merupakan organisasi khusus pemuda

Islam.

Untuk menggembleng tokoh dan ulama-ulama Islam agar menjadi

prajurit yang tangguh dan mampu memimpin Bangsa untuk berperang

melawan dan mengusir penjajah, maka pada tanggal 28 Februari 1945


41

diselenggarakan latihan Kemiliteran yang dipusatkan di Cibarusa Bogor,

dibawah pimpinan seorag perwira Inteligen Jepang bernama Yanagawa

dibantu Syudanco-syudanco PETA dimana pembukaannya disaksikan oleh

KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdulkahar Mudzakir. Dalam hal ini ulama

Pemalang mengirim H. Busaeri dan Ahmad Chaeron Hadipranoto untuk

mengikuti latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor selama 4 bulan,

sedangkan Noor Effendy dan Makkawi dikirim latihan ke DAIDAN

Pekalongan selama 2 bulan dimana pelatihnya terdiri dari syudanco-

syudanco PETA (Wawancara dengan Bapak Noor Effendy, 20 April

2007).

2. NU dan Masyumi

Kongres umat Islam se-Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945

yang berlangsung di gedung Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta telah

melahirkan berdirinya partai Islam Masyumi. Pembentukan partai ini

mendapat dukungan besar dari para ulama dan tokoh kelompok

tradisionalis dan modernis. Dukungan yang terbesar diberikan oleh

Muhammadiyah, NU, dan PSII. Dalam kongres itu menghasilkan dua

keputusan penting, selain menyepakati pendirian Masyumi, juga

memposisikan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat

Islam di Indonesia. Posisi dan keinginan Masyumi menjadi satu-satunya

partai politik Islam di Indonesia tidak bertahan lama, karena di dalam

tubuh partai itu terjadi perpecahan, yang ditandai dengan keluarnya PSII
42

pada tahun 1947. Pertentangan juga terjadi antara NU dengan

Muhammadiyah yang menjadi salah satu penyebab NU dari Masyumi.

Keluarnya NU dari Masyumi disebabkan oleh: (1) keinginan NU

sendiri untuk mandiri dalam berpolitik; (2) Masyumi didominasi oleh

kelompok modernis; dan (3) perbedaan visi karena tradisi berpolitik yang

dikembangkan kelompok tradisonalis dengan modernis; (4) NU dalam

Masyumi tidak pernah menduduki posisi strategis (Shobron, 2003 : 88).

Dalam politik terdapat istilah “tidak ada kawan atau teman dan

musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri”.

Kalau kepentingannya terakomodasi akan terus memberikan dukungan,

tetapi kalau kepentingannya ternyata tidak terakomodasi dukungannya

akan dicabut. Karena sering terjadi konflik kepentingan dalam tubuh

partai, maka NU keluar dari Masyumi pada 8 April 1952 dan mendirikan

partai sendiri yang diberi nama sesuai dengan nama jam’iyahnya, yaitu

Partai Nahdlatul Ulama (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin

Noory, 20 April 2007).

Kiprah politik NU di dalam Masyumi tidak bertahan lama, konflik

antara Muhammadiyah dan NU merupakan salah satu bentuk konflik

antara dua aliran, yakni tradisonalis dan modernis. Ibarat sebuah sayap,

tradisionalis sayap kanan, modernis sayap kiri. Untuk mencapai tujuan

yang diharapkan yaitu Masyumi dapat dijadikan sebagai satu-satunya

Partai yang mewakili umat islam, kedua sayap tersebut harus berkibar

sesuai dengan irama dan fungsinya masing-masing, kalau salah satu


43

sayapnya patah, maka terbangnya akan miring dan membutuhkan waktu

yang lama untuk mencapai tujuan itu.

3. NU Sebagai Partai Independen

Dengan bermodal jumlah massa yang cukup besar, NU berusaha

untuk memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya dalam pemilihan

umum. Pemilihan umum pertama tahun 1955 sebagai wujud konkret bagi

kekuatan NU dan dapat dikatakan sebagai pukulan yang besar bagi

Masyumi. Pada pemilu tahun 1955, NU menempatkan diri pada urutan

ketiga perolehan suara dari 29 partai yang memperoleh kursi di DPR. Di

Pemalang pada pemilu yang pertama ini juga mampu menempatkan NU

pada tiga besar kekuatan politik. Yaitu dengan mendapatkan 10 kursi di

tingkat kabupaten, hal ini terjadi karena NU dan PSII akur, sehingga

banyak suara PSII yang memilih partai NU (Wawancara dengan Bapak

KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).

Keberhasilan NU menjadi empat besar dipengaruhi oleh dukungan

basis massa pesantren dan kyai. Selain itu juga didukung oleh tema-tema

kampanye, misalnya; siapa yang memilih NU akan masuk syurga, NU

partainya santri dan kyai, Masyumi terlibat dalam pemberontakan DI/TII.

Tema-tema ini memberikan andil perolehan suara NU pada waktu itu,

karena disampaikan oleh juru kampanye yang sebagian besar adalah

kalangan ulama atau kyai, sementara ucapan kyai adalah “kebenaran”,

sehingga masyarakat pedesaan dan kalangan pesantren mengikuti apa kata

kyainya.
44

Keberhasilan NU dalam menempatkan diri dalam empat kelompok

besar, mengantarkan NU masuk ke lingkaran eksekutif dalam bentuk

koalisi pemerintahan baru. NU memperoleh empat jabatan kementrian,

yaitu Mr. Sunarjo (Menteri Dalam Negeri), Mr. Burhanudin (Menteri

Perekonomian), KH. Fatah Yasin (Menteri Sosial), KH. M. Ilyas (Menteri

Agama)sedangkan KH. Idham Chalid menduduki jabatan Wakil Perdana

Menteri II (Shobron, 2003 : 91).

Pada Pemilihan Umum yang kedua diselenggarakan tahun 1971. NU

masih menunjukkan sebagai partai besar dengan menduduki peringkat

kedua setelah Golkar dan diatas Parmusi di tingkat nasional. Golkar

memperoleh suara 62,8 %, NU mendapatkan 18,6 %, dan Parmusi 7,37 %.

Sedangkan partai Islam dan partai lainnya memperoleh suara tidak lebih

dari 7 % dari keseluruhan jumlah pemilih. Sebagai contoh PNI hanya

memperoleh 3.793.266 atau sekitar 6,94 % suara, PSII memperoleh

1.308.237 atau sekitar 2,39 %, Parkindo 745.359 suara atau 1,34 %, dan

Perti 381.309 yaitu 0,70 % saja (Shobron, 2003 : 93).

Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwa walaupun NU menempati

urutan kedua, namun terpaut cukup besar dibandingkan dengan Golkar,

selisih 169 kursi. Kondisi semacam ini sangat menguntungkan bagi Golkar

yang nantinya dijadikan sebagai alat kekuasaan bagi Orde Baru untuk

menerapkan kebijaksanaannya politiknya yang berorientasi kepada

pembangunan ekonomi dan dapat dengan mudah untuk mempertahankan

kekuasaannya.
45

Sedangkan di tingkat lokal terutama di Pemalang perolehan suara

NU di tingkat kabupaten (DPRD II) juga menempatkan NU sebagai

kekuatan politik terbesar kedua setelah Golkar. Yaitu dengan memperoleh

12 kursi, sedangkan Golkar mendapat 13 kursi (Badan Arsip daerah

Pemalang tahun 1991).

4. NU Berfusi ke dalam PPP

Upaya restrukturisasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde

Baru pada awal kelahirannya menjadi faktor pendorong utama

pembentukan PPP. Hal ini dianggap sebagai perubahan politik di tingkat

nasional. Pengalaman traumatik dengan kehidupan kepartaian pada sistem-

sistem politik sebelumnya, dan obsesi terhadap suatu sistem politik yang

dapat menjamin perbaikan ekonomi adalah bagian dari tuntutan perubahan

itu. Untuk merealisasikan tujuan itu, pemerintah Orde Baru berupaya

menerapkan kebijaksanaan ganda. Pertama, melakukan stabilisasi dan

pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Kedua,

sekaligus mendukung yang pertama lalu melakukan penataan politik

dengan harapan terbentuknya suatu sistem politik yang kondusif bagi

pilihan kebijakan ekonomi (Haris, 1991 : 34).

Selama diberlakukannya sistem politik Demokrasi Parlementer,

kehidupan politik di tanah air yang didominasi oleh partai-partai dengan

ideologi yang berbeda-beda menghasilkan konflik dan ketidakstabilan

politik yang berkepanjangan. Hal ini yang mendasari langkah pemerintah

Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya. Penataan politik yang


46

dilakukan oleh Presiden Soeharto pada pemerintahannya adalah

menyederhanakan struktur kepartaian, baik dari segi jumlah, pola

dukungan, basis massa, maupun aliran serta ideologi yang dianut oleh

partai-partai. Sehingga pemerintah Orde baru dituntut untuk menciptakan

suatu sistem politik yang relatif bebas dari pengaruh partai, berikut

ideologi yang dibawanya. Menurut pemerintah Orde Baru tampaknya

berlaku pandangan bahwa jumlah partai dan jumlah ideologi yang

dibawanya identik dengan jumlah konflik dan ketidakstabilan politik yang

dihasilkannya. Sedangkan kestabilan ekonomi bergantung pada kestabilan

perpolitikan nasional. Pertumbuhan ekonomi dianggap dapat dicapai

dengan mengeliminasikan kemungkinan konflik yang muncul dan

kestabilan politik itu sendiri.

Dalam hal mencapai maksud tersebut pemerintah Orde Baru

setidaknya melakukan empat upaya. Pertama, menciptakan

pengelompokan politik yang baru di DPR. Hal itu yang akan mengatasi

dominasi partai-partai, dan dapat menjadi “perpanjangan tangan”

pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru memperkuat

organisasi Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), yang

semula dibentuk atas prakarsa Angkatan Darat untuk menampung aspirasi

golongan fungsional dan kekaryaan. Kedua, membangun suatu birokrasi

yang bebas dari pengaruh partai politik (parpol) sehingga program

pembangunan yang yang dicanangkan pemerintah dapat terlaksana dengan

baik. Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, lalu pemerintah menciptakan


47

“jarak” antara partai dengan birokrasi. Selain itu, juga membiarkan

kerjasama yang erat antara birokrasi dengan Golkar. Ketiga, mendorong

pembentukan kelompok kepentingan korporatis yang bertujuan ganda.

Upaya ini untuk mengeliminasikan konflik-konflik sosial yang muncul

dari perbedaan kepentingan. Kecuali itu, sebagai upaya dimaksudkan

untuk mengambil alih peran artikulatif dari partai-partai politik. Keempat,

menyederhanakan jumlah partai dan ideologi yang dianut sehingga konflik

dan ketidakstabilan diharapkan akan berkurang (Haris, 1991 : 35).

Makna yang tersurat dari uraian di atas adalah feomena partai dan

ideologi yang dibawa serta mencerminkan “fenomena kepolitikan lama”,

yang akan menjadi arus pinggir dari tatanan politik yang baru. Selain itu,

menurut pemerintah Orde Baru partai dengan basis ideologis hanya

menghasilkan pertentangan-pertentangan sehingga cenderung dianggap

sebagai “masa lalu yang buruk”. Oleh karena itu, partai-partai dengan

basis ideologis perlu “dikuburkan” karena dianggap tidak sesuai lagi

dengan kecenderungan Orde Baru yang berorientasi kepada program. Ini

terlihat pada penolakan terhadap upaya rehabilitasi Masyumi yang

dilakukan oleh kalangan reformis Islam, dan hanya mengizinkan

pembentukan Parmusi dengan susunan kepemimpinan yang sebagian

ditentukan oleh pemerintah. Penggarapan dan pelumpuhan atas partai-

partai juga tampak ketika pada 1969 Mendagri Amirmachmud

mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 1969, yang populer

dengan sebutan “Permen 12”. Ketentuan itu dimaksudkan untuk


48

memurnikan Golkar di DPRD Tingkat I dan II. Selanjutnya, menyusul

Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1970 yang mewajibkan atas

pegawai negeri hanya memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah.

Dalam upaya pelumpuhan terhadap partai-partai ideologis pemerintah

Orde Baru juga membentuk wadah tunggal Korps Pegawai Negeri

(Korpri) bagi seluruh negeri. Tujuan pembetukan Korpri untuk menggiring

pegawai negeri dan keluarganya agar memberikan suara bagi Golkar

(Haris, 1991 : 35).

Di kalangan partai-partai Islam, “pembersihan” terhadap para politisi

yang berhaluan keras berlangsung di dalam tubuh Parmusi dan PSII.

Pemerintah menolak kehadiran kembali tokoh-tokoh Masyumi di dalam

kepemimpinan Parmusi, yaitu Muhammad Roem yang terpilih dalam

Muktamar I Parmusi di Malang. Pemerintah hanya merestui Parmusi di

bawah H.M.S. Mintareja, yang dianggap lebih moderat. Setelah Pemilu

1971, “pembersihan” dialami pula oleh PSII yang menyelenggarakan

muktamar di Majalaya, Jawa Barat, dan memilih pemimpin seperti Ch.

Ibrahim, presiden Lajnah Tanfidziah, H. Wartomo Dwidjojuwono, Sekjen,

dan H. Bustaman SH, ketua Dewan Pusat. Akan tetapi mereka dianggap

berhaluan keras dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Ini menjadi

alasan bagi pemerintah untuk melakukan “pembersihan” bagi politisi-

politisi yang berhaluan pada ideologis. Partai-partai yang mengalami

“pembersihan” semacam inilah yang pada awal 1973 bergabung kepada

PPP (Haris, 1991 : 36).


49

Hasil Pemilu 1971 secara mutlak dimenangkan oleh Golkar.

Kemenangan dengan perolehan suara 62,8 persen bukan saja mempertebal

keyakinan pemerintah terhadap upaya restrukturisasi politik yang

dilakukannya, tetapi juga kian menipisnya kepercayaan diri di kalangan

partai terhadap kemampuan mereka untuk lebih lama

mempertahankannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila gagasan

penyederhanaan partai yang mejadi komitmen pemerintah Orde baru tidak

dapat ditolak oleh kalangan partai, termasuk partai-partai Islam, seperti

NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Pada Pemilu 1971 mereka secara total hanya

memperoleh 27,1 persen, dan pada akhirnya menandatangani deklarasi

pembentukan PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi itu dilakukan

oleh tokoh-tokoh dari beberapa partai Islam antara lain; K.H. Dr. Idham

Chalid (NU), H.M.S. Mintaredja S.H.(Parmusi), H. Anwar Tjokro

Aminoto (PSII), Rusli Khalil (Perti), dan K.H. Masykur (Ketua Kelompok

Pembangunan di Fraksi DPR).

Proses pendeklarasian PPP juga menyebar ke beberapa daerah di

Indonesia terutama bagi daerah yang memiliki basis massa NU. Pemalang

sebagai salah satu daerah yang berbasis massa NU juga tidak terkecuali.

Para ulama NU dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang berasal dari organisasi

sosial politik lainnya seperti Muhammadiyah, PSII, Perti juga

mendeklarasikan PPP di Pemalang sehari setelah pendeklarsian PPP di

tingkat pusat. Pada awal pembentukannya DPC PPP Pemalang dibawah

pimpinan H Solikhin Kohar yang berasal dari NU, kepemimpinannya


50

berlangsung sampai pada tahun 1982. Pada tahun 1982 sampai 1992 DPC

PPP juga dipimpin oleh tokoh dari NU yaitu KH Asrori Saleh, BA (yang

mengalami dua masa periode kepemimpinan).

Penyatuan partai-partai Islam ke dalam PPP sebetulnya merupakan

upaya dari pemerintah atau Golkar yang merugikan partai-partai Islam

sendiri. Sebab sejarah keberadaan partai-partai Islam, sejak semula hanya

bersifat organisasi sosial keagamaan seperti halnya NU, Muhammadiyah,

Syarekat Islam, Perti selalu diwarnai dengan ketegangan diantara tokoh-

tokohnya. Ini artinya usaha pemerintah dalam menyatukan partai dibalik

obsesinya untuk menyederhanakan pembinaan, sebenarnya sudah

mengabaikan latar belakang sejarah organisasi dengan latar belakang

“ideologi gerakan” yang berbeda. Memang organisasi Islam itu pernah

bersatu, seperti halnya pada masa penjajahan Belanda dengan didirikannya

MIAI, Masyumi pada zaman Jepang. Namun stabilitas organisasi itu

hanya bersifat sementara, pada saat mereka sama-sama merasakan

tantangan dari luar yang harus dihadapi dengan kesatuan islam. Namun

setelah berjalan beberapa lama, benih-benih konflik lama kembali muncul

menjadi pemicu konflik. Salah satu penyebab timbulnya konflik itu adalah

mempertahankan ideologi gerakan (defensif), dan perebutan status dan

kekuasaan di dalam organisasi pemersatu. Dengan demikian, yang semula

diharapkan menjadi pemersatu, kemudian menjadi wadah dimana tokoh-

tokohnya memperuncing konflik. Sebagai jawaban dari munculnya

berbagai konflik yang terjadi di dalam tubuh PPP, beberapa unsur


51

melpaskan diri dari ikata politik yang ada seperti yang terjadi pada NU

yang keluar dari keanggotaan fusi pada tahun 1984. Dapat dikatakan

bahwa penyatuan partai-partai Islam ke dalam satu partai (PPP)

merupakan strategi pemerintah dan Golkar untuk melanggengkan konflik

internal, yang secara politis tidak menguntungkan untuk merebut simpati

dari luar (massa pendukung), sehingga pada saat yang bersamaan simpati

massa akan lari ke Golkar dengan kepemimpinan yang matang dan kondisi

internal organisasi yang stabil (Wawancara dengan Bapak KH Slamet

Zaeny, 20 April 2007).


BAB III

STRATEGI NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA MEMENANGKAN

PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DI PEMALANG

A. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Pemalang

Kehidupan politik di Pemalang pada tahun 1973-1984 pada umumnya

masih cukup dikatakan stabil dalam arti kata tidak sampai mempengaruhi

jalannya roda pemerintahan, peredaran perekonomian, perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan maupun terhadap sendi-sendi kehidupan

masyarakat pada umumnya. Aspirasi politik masyarakat tersalurkan melalui

partai politik yang ada yaitu Golongan Karya (Golkar) yang sebagian besar

terdiri dari mereka yang bekerja di bidang pemerintahan, Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) yang sebagian besar terdiri dari kalangan agamis, dan

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sebagian besar berasal dari kalangan

Nasionalis. Persaingan antara kekuatan politik satu dengan yang lain terlihat

dinamis, tidak terjadi ketegangan-ketegangan yang bersifat fisik. Namun

kehidupan partai politik dalam proses kiprah perjuangannya juga pernah

mengalami pasang surut. Misalnya pada saat selesainya Pemilu 1977, yaitu

pada awal tahun 1978 partai-partai politik di Pemalang mengalami sedikit

kendala dalam upaya untuk memperjuangkan aspirasi politik pendukungnya.

Hal tersebut terjadi akibat logis dari suatu langkah kearah konsolidasi dalam

tubuh mereka masing-masing, namun demikian kondisi semacam ini masih

dalam batas-batas pada tubuh pimpinannya yang belum menjalar pada

52
53

masyarakat pada umumnya, pengikut atau pendukung-pendukungnya pada

khususnya.

Dalam kepengurusan Golkar di Kabupaten Pemalang setelah

meninggalnya Soetopo sebagai ketua Golkar wilayah Pemalang mengalami

kekosongan dalam kepemimpinan yang cukup lama. Keadaan semacam ini

memaksa Golkar untuk melakukan aktivitas keluar, salah satunya dengan

membentuk kepengurusan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)

dan Majelis Da’wah Indonesia (MDI).

Dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak bulan

Maret 1978 terjadi keretakan diantara sesama tokoh-tokoh mereka. Keretakan

itu diawali adanya keinginan tokoh muda dari unsur NU untuk meduduki

jabatan atau kedudukan fungsionaris. Hal tersebut semula ditimbulkan oleh

kurang adanya rasa kepercayaan antar tokoh, dan berakhir dengan usul

penarikan kembali KH. Asrori Saleh, BA dari keanggotaan DPRD Kabupaten

Pemalang.

Sedangkan dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Kabupaten Pemalang tidak terlepas dari kemelut yang terjadi di kepengurusan

tingkat nasional, yaitu adanya kepengurusan kembar antara Toni

Brotoharyanto Cs yang mendapatkan SK No. 79/IN/Org/DPP/XII/1977 dari

pengurus pusat PDI pada tanggal 27 Desember 1977 dengan Soeharsono yang

berdasarkan SK No. 89/IN/A/III/DPP/1978 dari pengurus pusat PDI tanggal

18 Agustus 1978. Kemelut kepengurusan kembar ini berkembang terus

sampai akhirnya kedua tokoh PDI ini membuat pernyataan bersama dan
54

menyerahkan permasalahannya kepada DPD PDI Jawa Tengah. Sehingga

pada tanggal 10 Juli 1978 DPP PDI Jawa Tengah mengeluarkan SK Nomor:

058/DPD/SK/Sek/VII/78, yang isinya tentang penyusunan pengurus

sementara untuk melaksanakan Konferensi Cabang dan selanjutnya pemilihan

pengurus baru. Dengan keluarnya Surat Keputusan ini, pihak Toni

Brotoharyanto megajak kepada Soeharsono agar segera dilaksanakannya

Konferensi Cabang namun upaya itu ditolak (Arsip Kabupaten Pemalang,

1978 : 5 ).

Kemelut yang terjadi di dalam tubuh parpol tidak mempengaruhi

aktivitas masyarakat secara umum sehingga tidak menimbulkan permasalahan

dapat mengganggu jalannya proses demokrasi. Dalam bidang pemerintahan,

pembangunan, maupun usaha peningkatan pelayanan terhadap masyarakat

dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan-hambatan yang cukup

berarti.

B. Kiprah Politik NU Pemalang di PPP

Sebagai sebuah kelompok sosial politik, umur NU terhitung tua dalam

sejarah politik Indonesia. Organisasi yang berhaluan Islam Ahlussunah wal

Jama’ah ini resmi menjadi partai politik pada tahun 1952 dan merupakan

organisasi massa yang sangat kuat dan berakar pada masyarakat pedesaan di

Jawa dan beberapa tempat di luar Jawa. Keberadaan NU di Pemalang semakin

dikenal oleh masyarakat pada umumnya setelah NU terjun dalam politik yaitu
55

tahun 1952, dimana kekuatan politik NU berasal hampir dari seluruh wilayah

Kabupaten Pemalang, terutama di daerah pedesaan.

Sejak awal berdirinya NU di Pemalang, yaitu tahun 1934, kepengurusan

NU masih bersifat sederhana dan orientasi gerakan NU waktu itu hanya

bergerak di bidang sosial dan keagamaan, meskipun ada sebagian kecil

pengurus NU yang terlibat dalam politik praktis, terutama pada masa

Masyumi. Namun setelah NU menjadi partai politik tahun 1952, arah

perjuangan NU juga merambah ke masalah-masalah politik. Sebagian besar

pengurus NU di Pemalang terlibat langsung dalam politik praktis, baik itu

mewakili individu maupun organisasi (Wawancara dengan Bapak Noor

Effendy, 20 April 2007).

Keterlibatan NU Pemalang dalam politik terus berlangsung sampai

bahkan sekarang ini, meskipun sudah ada keputusan Muktamar NU untuk

lepas dari kehidupan politik dan kembali menjadi lembaga sosial keagamaan.

Dalam perjalanan politiknya, NU Pemalang pernah Bergabung dengan MIAI

dan Masyumi, serta menjadi partai politik sendiri pada tahun 1952.

Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru meyederhanakan partai menjadi

dua partai dan satu golongan ini memaksa NU Pemalang bersama Syarekat

Islam Indonesia (PSII), Perti, Parmusi (yang kemudian berubah menjadi

Muslimin Indonesia) untuk berfusi ke dalam PPP pada tanggal 5 Januari 1973.

posisi NU di dalam kepengurusan PPP relatif cukup strategis, ini disebabkan

oleh banyaknya Kyai NU yang menempati posisi-posisi penting dalam

kepengurusan NU Pemalang seperti KH. Solikhin Kohar sebagai Ketua


56

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP, dan KH. Asrosri Saleh sebagai Wakil

Ketua DPC PPP Pemalang, bahkan dapat dikatakan hampir sebagian besar

pengurus PPP waktu itu berasal dari kalangan NU. Dengan komposisi yang

paling dominan dalam kepengurusan PPP, posisi NU sangat kuat dan

mewarnai kebijakan-kebijakan PPP. Ulama-ulama NU, baik yang berada

dalam kepengurusan PPP maupun di luar pengurus saling bekerjasama dalam

rangka memenangkan PPP.

Sikap kritis NU yang ditunjukkan pada Pemilu 1971 sangat

mempengaruhi perilaku dan sikap politik PPP dalam menghadapi persoalan

penting seperti Rancangan-rancangan Ketetapan (Rantap) yang dibahas dalam

Sidang Umum MPR 1973 dan kebijakan Flaoting mass (pengapungan massa)

yang dipandang merugikannya, mengingat massa pendukungnya

pendukungnya banyak berada di pedesaan. Hal yang sangat menarik pada

awal berdirinya PPP adalah mengenai RUU Perkawinan yang diajukan

pemerintah ke DPR tanggal 3 Juli 1973 (kurang lebih tujuh bulan setelah

berdirinya PPP). Karena RUU ini dinilai bertentangan dengan ajaran Islam,

PPP mengadakan reaksi yang keras dan menolak RUU tersebut, didukung

oleh demontrasi para pelajar dan mahasiswa Islam ke gedung DPR RI.

Akhirnya pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar,

dan RUU itu kemudian disahkan menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan (Sujuthi, 2001 : 100).

Sikap kritis ini juga ditunjukkan oleh NU Pemalang dan DPC PPP

Pemalang, yang juga menolak kebijaksanaan pemerintah mengenai RUU


57

Perkawinan. Para ulama dan masyarakat NU, yang sebagian besar juga

merupakan pendukung PPP sangat kompak dalam menentang kebijaksanaan

pemerintah itu dengan melakukan aksi protes kepada pemerintah kabupaten

melalui jalur demontrasi dan diplomasi ke DPRD setelah pemerintah pusat

mengajukan RUU ini ke DPR RI. Hal ini dapat disebut sebagai salah satu

wujud kerjasama yang baik antara NU, masyarakat NU, dan PPP dalam

menentang kebijaksanaan pemerintah (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh,

20 April 2007).

Kiprah politik NU di PPP berakhir sampai tahun 1984 yang dikenal

dengan kembali ke Khittah 1962 dimana NU kembali sepenuhnya menjadi

organisasi sosial keagamaan. Meskipun pemikiran-pemikiran NU pada awal-

awal berdirinya lebih banyak mewarnai keputusan PPP, terutama bila

berhadapan dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Floating mass dan

soal RUU Perkawinan PPP cukup kritis menghadapi kebijakan-kebijakan

lembaga ekskutif yang merugikan partai khususnya dan umat Islam pada

umumnya namun tidak berarti bisa terhindar dari konflik internal. Konflik

yang timbul antara lain disebabkan oleh adanya ketidakpuasan dari NU

mengenai kepemimpinan PPP, Kyai NU tidak banyak beranjak dari posisinya

sebagai Majelis Syura, ekskutif partai diduduki oleh tokoh MI, HMS.

Mintaredja. Ketidakpuasan ini didasari oleh hasil yang tidak seimbang

mengingat NU merupakan komposisi yang dominan di PPP yaitu dengan

memiliki basis massa yang kuat. Kalau pada Pemilu 1971 NU mendapatkan

58 kursi, pada Pemilu 1977 (setelah fusi menjadi PPP) mendapatkan 56 kursi,
58

dan tahun 1982 mendapatkan 45 kursi, disisi lain MI mengalami kenaikan dari

24 kursi pada tahun 1971 menjadi 25 kursi pada tahun 1977, naik lagi pada

Pemilu 1982 menjadi 34 kursi (Shobron, 2003 : 96).

Ketidakpuasan NU ditambah lagi oleh sikap MI melalui J. Naro yang

melakukan ”de-NU-nisasi” dalam penyusunan Daftar Calon Sementara

(DCS), yang menempatkan kyai NU pada urutan nomor bawah, misalnya KH.

Yusuf Hasyim, KH. Syaefudin Zuhri, Mahbub Junaidi, KH. Masykur, KH.

ImronRosyadi, Rahmat Mulyomiseno. Komposisi yang diusulkan Naro adalah

NU = 49 kursi, MI = 30 kursi, SI = 15 kursi, dan Perti = 5 kursi. Tetapi

kenyataannya berbeda, akibat dari sikap MI ini menjadikan sebab

kemerosotan peolehan suara pada Pemilu 1982, karena PPP kehilangan 5

kursi, sedangkan NU ternyata dikurangi 9 kursi, dengan komposisi menjadi

NU = 40, MI = 28, SI = 11, dan Peti 6 kursi (Shobron 2003 : 96).

Ketidakpuasan demi ketidakpuasan yang dialami NU dalam bidang

politik memberi pemikiran-pemikiran bagi NU untuk kembali ke Khittah

1926. Pemikiran ini mendapat tanggapan serius dalam Musyawarah Nasional

(Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, 18-21 Desember 1983, dengan

dihasilkannya dua keputusan yakni: (1) pemulihan Khittah 1926, dan (2)

pemantapan Pancasila sebagai Asas Tunggal. Hasil Munas ini dikuatkan

dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang menghasilkan

keputusan bahwa NU menyatakan keluar dari PPP. Ini adalah pernyataan

kedua bagi NU dalam panggung politik, setelah pernyataannya keluar dari


59

Masyumi. Hanya saja sewaktu keluar dari Masyumi NU mendirikan partai

politik sendiri, paling tidak sampai masa akhir Orde Baru.

C. Strategi NU Dalam Perolehan Suara PPP di Pemalang

1. NU Sebagai Kekuatan Utama PPP

Secara nasional masyarakat NU diperkirakan mencapai lebih dari

40 juta jiwa yang sebagian besar tinggal di pulau Jawa, mereka sebagian

besar adalah rakyat jelata, baik di kota maupun desa. Dalam kehidupan

sehari-harinya mereka sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.

Pada umumnya mereka memiliki ikatan yang cukup kuat dengan dunia

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU

(www. wikipedia.org).

Tahun 1973-1984 penduduk Kabupaten Pemalang berjumlah

sekitar 810.000 jiwa termasuk Warga Negara Asing (Arsip Kabupaten

Pemalang, 1973 : 3), sebagian besar memeluk agama Islam sehingga

dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Pemalang tercermin ajaran-

ajaran Islam. Pemeluk Islam yang taat pada ajarannya disebut golongan

santri, santri sendiri artinya pelajar Al Quran, mereka ini yang tinggal di

kampung Kauman yang terletak di sebelah timur alun-alun Pemalang.

Disamping golongan santri terdapat juga golongan abangan, yaitu mereka

yang dalam menjalankan ajaran agama Islam juga masih menjalankan

kepercayaan nenek moyang. Kebanyakan mereka bermukim di pedesaan

Pemalang. Islam yang berkembang di Pemalang sebagian besar menganut


60

ajaran Ahlussunah wal jama’ah sehingga Pemalang sebagian besar

penduduknya sebagai jama’ah NU. Pemalang sebagai bagian dari jawa

Tengah juga merupakan salah satu basis NU. Jumlah masyarakat NU pada

tahun 1973-1984 mencapai 80% dari jumlah keseluruhan umat Islam di

Pemalang, mereka tersebar di seluruh wilayah baik kota maupun desa.

Mereka yang tinggal di pedesaan sebagian besar bermata pencaharian di

bidang pertanian sedangkan mereka yang tinggal di perkotaan lebih

beragam mata pencahariannya, misalnya di bidang pemerintahan,

perekonomian dan perindustrian (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh,

20 April 2007).

Secara historis-sosiologis, pesantren pada umumnya menjadi basis

dan konsentrasi NU. Paham Ahlusunnah wal Jama’ah yang diformalkan

sebagai paham keagamaan NU sebenarnya bersumber dari tradisi

pesantren. Hal ini secara mudah dapat dimengerti karena para pendiri NU

berasal dari pesantren. Terdapat jalinan hubungan kultural, edukasional,

emosional dan spiritual-keagamaan yang sangat signifikan antara

pesantren dan NU tidak mudah dipisahkan. Dengan adanya ikatan

teologis-idelogis-keagamaan yang mewujud dalam kristalisasi paham

Ahlusunnah wal Jama’ah semakin memperkuat ikatan hubungan antara

pesantren dan NU. Dalam kaitannya dengan politik, basis kekuatan NU

itu berawal dan berpangkal dari pesantren-pesantren di Indonesia. Dilihat

dari perspektif ilmu komunikasi, pesantren berperan secara signifikan

sebagai jaringan komunikasi politik bagi NU (Faisal Isma’il, 2004 : 46).

Pesantren sebagai jaringan komunikasi politik masih bisa dikendalikan

oleh NU, ini terjadi karena adanya ikatan batin yang kuat antara NU
61

dengan kyai-kyai di pesantren, mereka dipersatukan oleh ikatan ajaran

Islam ala Ahlusunnah wal Jama’ah. NU dapat melakukan komunikasi

politik dengan mudah dan lancar sehingga dengan mudah pula dapat

memobilisasi para simpatisan dan para pendukungnya untuk memilih atau

memberikan suara mereka kepada PPP. Besarnya jumlah pendukung baik

dari masyarakat maupun kalangan pesantren serta kuatnya peranan ulama

atau kyai merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan

politik PPP di Pemalang.

Sebagai organisasi yang berbasis massa, peranan NU dalam

perolehan suara PPP terlihat dari jumlah jamaah NU (termasuk dari

pesantren-pesantren sebagai basis kekuatannya) yang hampir tersebar

merata di setiap daerah di Pemalang. Sebagai organisasi yang memiliki

massa yang besar, NU mampu memberikan sumbangan yang besar bagi

perolehan suara PPP. NU menarik massa pengikut yang sebagian besar

berasal dari keluarga-keluarga para ulama, santrinya dan masyarakat

umum. Penyebaran kekuatan politik NU hampir merata di seluruh

wilayah kabupaten Pemalang baik di pedesaan maupun perkotaan. Karena

sebagian besar para pendukung PPP berasal dari NU dan terdapat

keterikatan yang erat antara kedua lembaga ini maka pada saat itu muncul

anggapan bahwa membicarakan NU sama dengan membicarakan PPP

Dengan panutan para ulama mereka berbondong-bondong untuk

memberikan aspirasi politiknya kepada PPP pada saat Pemilu, terutama

pada Pemilu tahun 1977 dan 1982.

Secara politis, selain dari unsur-unsur kekuatan Islam lainnya

hampir seluruh masyarakat NU di Pemalang menyalurkan aspirasinya

kepada PPP, mereka pada waktu itu menyebut PPP sebagai ”ingon-ingon
62

NU”. Mereka sangat kompak dan solid dalam upaya untuk memenangkan

PPP, yaitu dengan menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Dengan

komposisi yang paling dominan dalam PPP maka suara NU sangat

diperhitungkan dalam setiap gerak politik PPP dan di lingkungan legislatif

NU mampu berpengaruh terhadap setiap keputusan internal fraksi

Persatuan Pembangunan. Sebagai contoh dalam pemilihan Bupati tahun

1978, dimana Bupati yang terpilih berasal dari kalangan NU yaitu Slamet

Daryanto. Ini didasarkan pada jumlah unsur NU yang lebih dominan

dalam fraksi Persatuan Pembangunan yaitu bila dibandingkan dengan

unsur lainnya 80:20 (Wawancara dengan KH. Asrori Saleh, 20 April

2007).

2. Hadirnya Figur Kyai Sebagai Pemimpin

Selama NU berada di PPP, sepak terjang NU memang sangat

menggigit. Bersama anggota dari unsur lain, tahap awal keberadaan PPP

telah mengagetkan pemerintah yang ditunjukkan dengan melancarkan

kritik tentang RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tahun

1973. Langkah ini merupakan salah satu bentuk penentangan terbesar

terhadap pemerintah yang dilakukan oleh PPP, ini diperkuat lagi oleh

dukungan yang berasal dari kalangan masyarakat luar dengan adanya

demontrasi-demontrasi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun

masyarakat umum, yang membuat pihak pemerintah mengalah dan

merevisi RUU itu. RUU itu dianggap sangat sekuler bahkan bertentangan
63

dengan ajaran Islam, dimana berupaya mengeluarkan perkawinan dari

pengadilan agama ke kantor catatan sipil.

Sikap PPP memang tidak selalu akomodatif terhadap gagasan-

gagasan yang ditelorkan oleh kepemimpinan Golkar. Pada Sidang Umum

MPR tahun 1978, misalnya, fraksi PPP yang dimotori oleh unsur NU (KH.

Yusuf Hasyim, dkk) mengambil sikap “walk out” dari sidang karena

ketidaksetujuannya dengan Rancangan Ketetapan (Rantap) tentang P-4,

yang di dalamnya memasukkan materi aliran kepercayaan. Namun

tindakan PPP ini tidak merubah sikap pemerintah atau fraksi-fraksi lain,

karena rancangan ketetapan itu tetap disahkan, ini berarti PPP atau aspirasi

Islam terkalahkan oleh kekuatan priyayi dan abangan sebagai kelompok

sekuler yang mendominasi Golkar, ABRI, dan PDI (Shobron, 2003 : 44).

Dari beberapa peristiwa diatas dapat diakui bahwa NU memegang

peranan penting dalam PPP. Selain itu NU sebagai organisasi yang

mempunyai massa terbesar tentunya juga mempunyai andil yang cukup

besar di dalam perolehan suara PPP.

Peranan NU dalam PPP terlihat pada hadirnya figur kyai sebagai

pemimpin organisasi ke dalam masyarakat dengan menimbang bahwa kyai

memegang peranan sentral dalam NU. Sesuai dengan namanya, NU adalah

suatu organisasi yang menghimpun para kyai atau ulama, mereka

mempunyai kedudukan atau posisi yang strategis di tubuh NU. Mereka

dipilih dan ditempatkan di jajaran Dewan Konsultatif (Syuriyah) yang

mengawal dan mengendalikan NU agar tetap berjalan sesuai dengan garis


64

besar kebijakan yang dibuatnya. Sejauh menyangkut persoalan politik,

para kyai inilah yang telah “berjasa” kepada NU dalam setiap Pemilu yang

diselenggarakan. Sehingga masyarakat bisa lebih menerima keberadaan

PPP, apalagi didasari dengan figur kyai sebagai salah satu figur

kharismatik di mata masyarakat. Tradisi yang sangat ditekankan dalam

paham keagamaan dalam arti pengetahuan dan ajaran-ajaran agama sebisa

mungkin diperoleh dari warisan turun-temurun kaum ulama atau kyai

sebagai pewaris Nabi-tidak saja menjadi sumber pengikat “emosi-religius”

bagi kalangan bawah, tetapi juga kalangan NU yang relatif telah megalami

dan menyerap berbagai kebudayaan luar ke dalam dirinya. Tradisi dan

kepatuhan yang hampir-hampir tanpa syarat terhadap kaum ulama ini

sangat besar pengaruhnya terhadap penampilan politik anggota-anggota

NU. Tradisi dan kharisma para kyai ini pulalah yang menyebabkan

besarnya jumlah suara yang mampu yang mampu dikumpulkan PPP.

Dengan dukungan para kyai atau ulama, NU mampu membawa

PPP menjadi besar baik di Pemalang maupun di Indonesia, bahkan NU

dapat disebut sebagai “pondok besar” yang mempunyai pengikut yang

hampir menyebar ke seluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali Kabupaten

Pemalang. Distribusi geografis para pendukung ini terlihat dari jumlah

pimpinan ranting PPP di Pemalang yang hampir rata-rata dari unsur NU.

Seperti misalnya KH. Tosim Hanafi (Pemalang), KH. Asrori Saleh

(Taman), KH. Mas’ud (Moga), dan Kyai Chambali (Ampel Gading), serta

ulama-ulama NU lainnya. Sebagian besar ulama-ulama NU tersebut


65

biasanya memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik dari

kalangan pesantren (santri) maupun masyarakat umum (Wawancara

dengan Bapak KH Slamet Zaeny, 20 April 2007).

Keterlibatan ulama-ulama NU dalam berbagai persoalan, termasuk

persoalan politik dapat mencapai posisi strategis, karena adanya tiga pilar

penting yang menjadi penopang, yaitu potensi internal ulama (kemampuan

dan garis keturunan), kuatnya jaringan sosial organisasi NU dan jaringan

sosial yang dibangun tradisi pesantren (Ummatin, 2002 : 116).

Keterlibatan ulama-ulama di Pemalang ini tidak hanya terbatas

dalam perkembangan keagamaan, sosial, dan kultural saja, diluar itu para

ulama juga ikut terlibat dalam perkembangan proses politik, terutama

kaitannya dengan PPP. Mereka secara langsung terlibat dalam proses

kampanye dalam rangka untuk memenangkan PPP. Di dalam kampanye,

para juru kampanye (Jurkam) bahkan membawakan ayat-ayat Al Qur’an

dan Hadist-hadist Nabi agar memilih bahkan mewajibkan umat Islam

untuk memilih PPP: satu-satunya partai Islam yang paling tepat untuk

menyalurkan aspirasi politiknya.

Melalui fatwa-fatwa politik mereka dapat meyakinkan jama’ah NU

sehingga para jama’ah secara meyakinkan pula mengikuti fatwa politik

para ulama. Dalam upaya memenangkan PPP ada beberapa ulama NU di

Pemalang dalam proses kampanye mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh

KH. Bisri Syansuri (Rais Aam PPP) yang isinya mewajibkan kepada

seluruh umat Islam, khusunya seluruh warga PPP, untuk memilih PPP
66

dalam Pemilu. Fatwa itu menyerukan secara tegas bahwa barangsiapa

yang tidak mencoblos PPP karena takut kehilangan kedudukan, jabatan,

gaji, atau mata pencaharian, atau karena alasan-alasan lain, maka ia

termasuk orang yang meninggalkan hukum Allah.

Fenomena semacam ini merupakan suatu proses politik dimana

apabila para ulama telah memutuskan untuk menyalurkan aspirasi

politiknya ke OPP tertentu, maka bisa dipastikan para jamaahnya

(keluarga ulama, santri dan komunitas di lingkungannya) juga akan

menyalurkan aspirasi politik mereka ke OPP pilihan ulama tersebut

(Ismail Faisal, 1999 : 29).

3. Tema Islam Sebagai Alat Perjuangan

Menghadapi Pemilu 1977 dan 1982, agama (Islam) memiliki

beberapa peran penting dalam perjuangan PPP. Pertama ia telah

memberikan landasan identifikasi diri bagi PPP. Kedua, ia telah pula

berfungsi sebagai tema sentral perjuangan PPP. Ketiga, dalam masa

Pemilihan Umum, ia bukan saja berfungsi sebagai “pengikat” massa

secara emosi keagamaan, tetapi juga telah menjadi alat untuk memberikan

legitimasi keagamaan bagi kemenangan PPP (Prisma, 1981 : 36).

Dalam upaya untuk memenangkan PPP, NU Pemalang melakukan

beberapa strategi, antara lain dengan mengerahkan ulama-ulama NU untuk

melakukan da’wah. Dengan melalui kegiatan pengajian, para ulama NU

melakukan da’wah ke berbagai daerah yang di dalamnya juga

mambicarakan tentang masalah politik yaitu dengan mengajak jama’ah


67

NU untuk berbondong-bondong memilih PPP sebagai satu-satunya partai

Islam. Ini menunjukkan bahwa fungsi ulama sebagai pemimpin agama

telah dicampuri dengan kepentingan politik. Pengajian ini dilakukan secara

rutin sehingga masyarakat bisa mengenal lebih dekat bagaimana

perjuangan NU dalam upaya memenangkan PPP. Pemanfaatan dari segi

agama juga terlihat dalam kampanye dengan tujuan untuk memikat massa

di berbagai wilayah kecamatan. Bahkan ada pelaksanaan kampanye PPP

yang dilakukan di berbagai wilayah kecamatan selalu dimulai dengan

pembacaan ayat suci Al Qur’an, setelah pembacaan ayat suci Al Qur’an

lalu dilanjutkan dengan nyanyian kasidah seperti yang terjadi di Jombang,

Jawa Timur. Bentuk lain penciptaan suasana itu terlihat ketika ada

beberapa jurkam yang mengucapkan yel-yel “Allahu Akbar”.

4. Hubungan Kerjasama antara NU dengan PPP

Keterikatan yang erat antara PPP dengan NU melahirkan kerjasama

yang baik antara kedua lembaga ini, kerjasama ini tidak hanya terlihat

dalam bidang politik tetapi terlihat juga dalam bidang agama yang

kaitannya untuk menegakkan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah dalam

kehidupan sehari-hari. Hubungan ini didasarkan pada kesamaan tujuan

bersama yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir

batin dan demokratis yang diridloi oleh Allah SWT spirituil dan materiil

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Atas dasar itulah berarti secara formal PPP tidak

berhadapan dengan negara kendati Islam dipakai sebagai azas atau

ideologi (Syamsudin Haris, 1991 : 12).


68

NU Pemalang juga melakukan kerjasama dengan DPC PPP di

berbagai bidang terutama yang berkaitan dengan kepentingan politik.

Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk adanya kegiatan rutin pertemuan

antara pengurus NU dengan DPC PPP yang di dalamnya membahas

tentang kebutuhan masing-masing organisasi. Hubungan kerjasama ini

menggambarkan adanya hubungan yang sangat dekat antara sikap politik

organisasi NU dengan DPC PPP Pemalang. Karena terlalu dekatnya

hubungan antara NU dengan DPC PPP Pemalang, interaksi sosial politik

keduanya sama-sama memberi sumbangan positif secara timbal balik

(Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).

Kerjasama antara NU dengan DPC PPP Pemalang terlihat dalam

berbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan pengembangan

organisasi. Misalnya yang berkaitan dengan konsolidasi dan

pengembangan partai. Dalam upaya pengembangan PPP dan NU ini

menekankan pada konsolidasi organisasi yang meliputi antara lain:

1. Rekrutmen anggota dan pembinaan keanggotaan

Memasyarakatkan pentingnya pendaftaran anggota kepada masyarakat

umum khususnya kepada jama’ah NU, memelihara daftar anggota,

serta memantapkan keanggotaan Partai yang bersifat perorangan.

Memantapkan kebersamaan, kesetiaan, dan persaudaraan di antara

anggota, pimpinan dan kader Partai.

2. Usaha pengadaan sarana, prasarana, dan penertiban administrasi


69

Mengusahakan agar pimpinan partai di semua tingkatan mengusahakan

kelengkapan organisasi, antara lain: kantor sekretariat, alat-alat

administrasi perkantoran, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk

kelancaran tugas-tugas organisasi ataupun Partai.

3. Pengembangan organisasi dan kelembagaan

NU dan PPP akan terus meningkatkan dan memantapkan mekanisme

kerja kepemimpinan organisasi di setiap tingkatan dengan prinsip

kekeluargaan. Pengembangan organisasi juga dilakukan dengan

melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja pembinaan kader Partai

yang sebagian besar berasal dari NU (Arsip sekretariat DPC PPP

Pemalang tahun 1991).

Langkah politis yang dilakukan oleh NU Pemalang tersebut diatas

menunjukkan bahwa jumlah pengikut yang besar dan kemampuan ulama

dalam memimpin masyarakat baik dalam masalah keagamaan maupun sosial

sangat berperan dalam setiap langkah PPP di pentas perpolitikan baik tingkat

nasional maupun lokal yang dalam hal ini adalah Pemalang. Hadirnya figur

kyai yang didasari dengan ilmu keagamaan dan kharisma dapat mempermudah

untuk mengajak warga atau jama’ah NU untuk menyalurkan aspirasi

politiknya ke PPP, dengan menggunakan berbagai dalih termasuk dalih agama

diharapkan mampu meggiring sebanyak-banyaknya suara jama’ah NU

maupun masyarakat umum untuk memilih PPP pada Pemilu tahun 1977 dan

1982. Dengan kata lain agama memainkan peranan penting dalam upaya untuk

perolehan suara sebanyak-banyaknya.


BAB IV

HASIL PEROLEHAN SUARA PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN

PADA PEMILU 1977 DAN 1982 DI PEMALANG

A. Pemilu 1977 dan 1982 di Pemalang

Pemilu 1977 merupakan Pemilu yang pertama setelah fusi partai-partai

Islam ke dalam PPP. Pada saat itu PPP tampil atraktif dengan membawa

bendera Ka’bah untuk memenangkan Pemilu. Dengan semangat dan

kekompakan yang terjalin di antara unsur-unsur Islam yang tergabung di

dalamnya PPP berusaha tampil kritis terhadap Pemerintah. Pada saat yang

sama upaya sekularisasi politik mulai dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru

secara terus menerus. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila R. William

Liddle melukiskan susasan Pemilu 1977 sebagai pertarungan dua kekuatan,

“The Goverment versus Islam” (Haris, 1991 : 1).

PPP berjuang sekeras mungkin untuk memenangkan Pemilu dengan

berbagai strategi politik yang dilakukan. Guna memanfaatkan emosi pemeluk

Islam, PPP tampil dengan isu-isu agama. Terutama terlihat dari munculnya

lambang Ka’bah sebagai lambang partai dan fatwa KH. Bisri Syansuri, PPP

tampil sepenuhnya sebagai partai Islam. Segenap kekuatan telah dikerahkan,

bahkan seruan “Allahu Akbar” (Tuhan Maha Besar) telah bergema di mana-

mana selama kampanye.

70
71

Bersama unsur lain yang tergabung di dalam PPP, NU Pemalang

bekerjasama dan tampil kompak serta solid dalam rangka memenangkan PPP,

dengan harapan PPP mampu mewakili aspirasi umat Islam seutuhnya dan

menjadi satu-satunya tempat untuk menyalurkan aspirasi mereka. Disamping

itu PPP juga dapat dijadikan sebagai media untuk mencapai cita-cita politik

umat Islam dan media untuk menciptakan suatu masyarakat madani yang adil

dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pemilu 1982 merupakan Pemilu kedua pada Pemerintahan Orde baru,

dimana PPP masih menjadi rival berat bagi Golkar. Dengan kekuatan yang

tergabung di dalamnya PPP mampu menjadi kekuatan terbesar kedua setelah

Golkar. Pemilu ini sekaligus merupakan keikutsertaan NU dalam politik

praktis karena setelah tahun 1984 NU menyatakan diri keluar dari

keanggotaan fusi PPP. Sedangkan Pemilu 1987 merupakan Pemilu dimana

NU tidak lagi masuk ke dalam fusi bersama partai Islam lainnya di PPP. Pada

pemilu 1987 perolehan suara PPP mengalami penurunan yang sangat drastis

ini disebabkan oleh keluarnya NU dari keanggotaan fusi. Hal ini merupakan

fenomena yang wajar dalam politik, mengingat NU merupakan komposisi

yang paling dominan dalam PPP (Wawancara dengan Bapak KH. Zaenal

Abidin Noory, 20 April 2007).

Perolehan suara pada Pemilu 1977, Pemilu 1982 dan Pemilu 1987 di

Pemalang dapat dilihat lebih jelas sebagai berikut:


72

Tabel 1.

Jumlah Perolehan Suara Pemilu 1977-1987 Kabupaten Pemalang

Pemilu PPP Golkar PDI

1977 132.251 202.351 86.215

1982 148.650 203.226 47.948

1987 119.714 332.658 72.184

(Sumber: Badan Arsip Daerah Kabupaten Pemalang, 1991).

Dari tabel 1 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa pada Pemilu tahun

1977 PPP mampu menjadi kekuatan terbesar kedua setelah Golkar yaitu

dengan memperoleh suara 132.251 suara atau 31,42 % dari jumlah

keseluruhan. Pada perolehan suara Pemilu 1982 PPP masih menjadi rival bagi

Golkar dengan memperoleh suara 148.650 atau 30,98 % dari jumlah

keseluruhan. Namun pada Pemilu 1987 perolehan suara PPP di Kabupaten

Pemalang mengalami penurunan yang sangat drastis, ini disebabkan karena

NU menyatakan diri untuk keluar dari keanggotaan fusi, yang terkenal dengan

sebutan kembali ke Khittah 1926I. Langkah NU ini disebabkan oleh salah

satunya adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan pusat dibawah

pimpinan DJ Naro sehingga tokoh-tokoh NU melakukan aksi penggembosan

suara PPP di tingkat nasional pada Pemilu 1987. Aksi ini mempengaruhi

perolehan suara PPP di tingkat lokal, termasuk dalam hal ini adalah Pemalang.

Warga NU bebas menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik atau

organisasi sosial politik manapun (PPP, Golkar, atau PDI).


73

B. Perolehan Suara PPP Di Pemalang

Kiprah politik NU selama di PPP telah memberikan kontribusi yang

besar terhadap gerak politik PPP di Pemalang terutama kaitannya dengan

kedudukan NU sebagai organisasi yang berbasis massa sehingga keberadaan

NU berpengaruh terhadap perolehan suara di Kabupaten Pemalang. Dengan

berbagai strategi yang dilakukan oleh NU Pemalang termasuk di dalamnya

dengan mengerahkan ulama-ulama NU untuk terlibat langsung dalam proses

kampanye PPP di seluruh wilayah Kabupaten Pemalang, serta strategi lainnya

yang dilakukan untuk memenangkan PPP mampu menjadikan PPP menjadi

kekuatan terbesar kedua setelah Golkar.

Perolehan suara PPP pada Pemilu 1977 dan 1982 di kabupaten Pemalang

menunjukkan bahwa PPP mampu menjadi rival bagi Golkar. Penyebaran

perolehan suara PPP hampir merata di semua wilayah kecamatan. Pada setiap

kecamatan terdapat persaingan dalam perolehan suara antara PPP dengan

Golkar. Bahkan pada saat itu Pemilu di Pemalang dikatakan sebagai

pertempuran tunggal antara PPP dengan Golkar. Namun demikian Partai lain

yaitu PDI, meskipun perolehan suaranya merupakan jumlah yang terkecil

namun keberadaannya diakui oleh masyarakat secara umum termasuk bagi

warga NU. Perolehan suara PDI di beberapa daerah kecamatan sangat minim,

tetapi juga ada beberapa daerah dengan perolehan suara PDI yang besar.

Hasil perolehan suara PPP di kabupaten Pemalang dapat dilihat lebih

jelas pada tabel berikut ini:


74

Tabel 2.

Hasil perolehan Suara PPP Kabupaten Pemalang

Pada Pemilu 1977, 1982, dan 1987

No. Kecamatan Pemilu


1977 1982 1987
1. Pemalang 20.115 22.199 18.814

2. Taman 16.660 18.463 16.871

3. Petarukan 16.185 16.362 14.444

4. Ampelgading 5.650 6.232 4.817

5. Comal 10.101 11.611 8.443

6. Ulujami 9.013 9.354 6.100

7. Bodeh 4.228 5.228 4.214

8. Bantarbolang 8.293 10.364 9.356

9. Randudongkal 12.143 13.803 9.630

10. Moga 17.763 20.742 15.212

11. Belik 4.965 6.168 4.296

12. Watukumpul 5.149 5.793 6.093

13. Pulosari 847 990 1.051

Jumlah 131.172 147.829 119.341

(Sumber: Sekretariat DPC PPP Kabupaten Pemalang).

Dari tabel tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa perolehan suara PPP di

Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 cukup stabil dan penyebarannya hampir

merata di seluruh wilayah kecamatan. Dari ke 13 wilayah kecamatan yang

terdapat di Pemalang, hanya sebagian kecil saja yang perolehan suaranya

minim. Sebagai contoh di Kecamatan Pulosari, PPP hanya memperoleh 847


75

suara. Ini terjadi karena kondisi geografis yang kurang mendukung, yaitu

wilayah ini merupakan salah satu daerah yang terpencil yaitu terletak di

bagian Pemalang paling ujung selatan yang berbatasan dengan Kabupaten

Purbalingga. Letak dan kondisi alam yang sulit dijangkau dapat mempersulit

proses pelaksanaan sosialisasi dan kampanye PPP. Faktor lain yang

menentukan dalam perolehan suara PPP di Pemalang selain faktor geografis

juga dipengaruhi oleh adanya pergeseran perilaku politik kyai NU.

Menjelang Pemilu 1977 dan 1982, solidaritas dan supremasi kekuatan

para kyai dan ulama NU mulai goyah. Dalam periode ini dilaporkan ada

beberapa kyai NU sudah menyeberang ke Golkar karena pertimbangan dan

godaan politik. Hal ini merupakan fenomena yang wajar-wajar saja dalam

kehidupan politik, karena kyai dan ulama itu adalah juga manusia biasa yang

mempunyai kecenderungan, minat dan suka berpolitik. Disamping karena

terdorong oleh godaan-godaan politik untuk bergabung dengan Golkar, kyai-

kyai NU terkesan tidak “kerasan”untuk selalu mendukung PPP karena faktor

ketersisihan unsur-unsur NU oleh unsur lain dalam partai tersebut. Ini

menyebabkan beberapa kyai NU mencari saluran politik baru yang mereka

rasakan lebih leluasa dan lebih segar dalam Golkar yang terkenal memiliki

program-program yang lebih menarik di bidang pembangunan, ekonomi, dan

sosial, sosial dan politik. Salah seorang kyai NU yang dikenal sebagai perintis

dan pelopor untuk bergabung dengan Golkar adalah Kyai Musta’in Ramli, dari

Jombang, Jawa Timur. Langkah kyai Musta’in Ramli ini pada gilirannya

diikuti oleh kyai-kyai NU lainnya yang menyebabkan sayap kekuatan Golkar


76

semakin kuat. Sebagai contoh di Pemalang juga terdapat kyai NU yang

mengikuti langkah kyai Musta’in Ramli yaitu kyai Masy’ari dari

Bantarbolang. Sebagai seorang kyai yang berpengaruh di lingkungan dimana

ia tinggal, tentunya langkah yang dilakukannya itu dapat dengan mudah

diikuti oleh pengikutnya baik dari keluarga, santrinya, maupun masyarakat

umum (Wawancara dengan KH Asrori Saleh, 20 April 2007).

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pergeseran perilaku kyai-

kyai NU yang terjadi di lingkup nasional maupun daerah dapat mempengaruhi

perolehan suara PPP. Apabila seorang kyai telah memutuskan untuk

menyalurkan aspirasi politiknya ke OPP tertentu, maka bisa dipastikan para

jamaahnya (keluarga ulama, santri dan komunitas di lingkungannya) juga akan

menyalurkan aspirasi politik mereka ke OPP pilihan ulama tersebut. Langkah

politik yang dilakukan oleh kyai Masy’ari ini merupakan fenomena politik

yang wajar-wajar saja sebagai seorang individu. Namun kalau dilihat dari

kedudukannya di mata masyarakat tentunya akan berdampak lain. Masyarakat

akan mengikuti apa yang dilakukan oleh panutannya itu, sehingga secara tidak

langsung dapat mempengaruhi perolehan PPP.

Adanya berbagai macam konflik internal di tubuh PPP juga

mempengaruhi gerak politik Partai. Keretakan yang terjadi di antara sesama

tokoh di tubuh PPP Pemalang yang terjadi pada bulan Maret 1978 secara tidak

langsung mempengaruhi kekompakan unsur-unsur yang tergabung di dalam

fusi. Hal tersebut merupakan akibat logis dari suatu langkah kearah

konsolidasi dalam tubuh Partai, namun demikian konflik internal itu masih
77

dalam batas-batas pada tubuh pimpinannya yang belum menjalar pada

masyarakat pada umumnya, pengikut atau pendukung-pendukungnya pada

khususnya.

Pemilu 1987 PPP mengalami kemerosotan suara hampir di semua

wilayah kecamatan di Pemalang. Perolehan suara itu merupakan kemerosotan

terbesar yang di alami PPP, ini disebabkan karena adanya berbagai masalah

intern partai seperti misalnya ketidakpuasan NU atas kepemimpinan J Naro,

sehingga bayak kalangan ulama NU maupun warga NU yang menyalurkan

aspirasi politiknya ke Golkar dan PDI, hal ini diawali dengan adanya

Muktamar NU pada akhir 1984 di Situbondo NU menyatakan kembali

menjadi organisasi sosial keagamaan atau kembali ke Khittah 1926. Para

ulama dan tokoh-tokoh NU setelah melakukan koreksi, introspeksi dan

refleksi terhadap perjalanan NU selama ini, terutama pergumulan NU dalam

bidang politik praktis dan setelah dievaluasi untung-ruginya, akhirnya sampai

pada kesimpulan bahwa NU harus kembali ke jati dirinya, kembali menjadi

organisasi sosial keagamaan seperti pada saat berdirinya pada tahun 1926.

Dengan kembalinya NU ke Khittah 1926 secara politis NU tidak terikat

dengan semua organisasi politik manapun.

Keputusan itu secara tegas berarti menyatakan NU keluar dari PPP. Ini

merupakan pernyataan kedua bagi NU dalam panggung politik, setelah

pernyataannya keluar dari Masyumi. Hanya saja, sewaktu keluar dari

Masyumi NU mendirikan partai politik sendiri, sementara setelah keluar dari

PPP NU tidak mendirikan partai politik sendiri. Kiprah politik NU secara

organisatoris sudah akan terputus. Dalam hal ini NU memberi kebebasan


78

sepenuhnya anggota dan tokoh NU untuk menentukan pilihan politiknya

sendiri, tanpa perlu mengaitkannya dengan NU. Namun tidak menutup

kemungkinan bagi kyai-kyai NU tetap berkhidmat di PPP. Semenjak

kembalinya NU ke Khittah 1926 aspirasi politik NU disalurkan ke partai

politik yang ada, baik di Golkar, PPP, dan PDI.

Kembalinya NU ke Khittah 1926, ada harapan baru bagi generasi muda

NU yang akan melihat NU dalam wajah baru, yakni wajah sosial keagamaan,

tidak lagi berwajah politik sebagaimana yang selama ini ditampilkan. Dengan

wajah baru diharapkan NU mempunyai waktu yang cukup untuk

memperhatikan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan.

Sebagai unsur pendukung PPP yang terbesar, NU mempunyai pengaruh

paling kuat dalam perolehan suara PPP. Dengan kembalinya NU ke Khittah

1926 berarti bahwa NU kembali kepada eksistensinya sebagai organisasi

sosial keagamaan, dan melepaskan ikatan politiknya dengan partai politik

manapun, termasuk PPP sendiri. Hubungan NU Pemalang dengan DPC PPP

Pemalang secara politis menjadi tidak komunikatif lagi. Langkah NU ini

membawa dampak besar terhadap perolehan suara PPP di Pemalang.

Perolehan suara PPP di beberapa wilayah kecamatan megalami penurunan

yang drastis. Alasan mengapa NU menyatakan keluar dari partai ini karena

tidak lain adanya kekecewaan terhadap perimbangan kursi unsur dalam DCS

yang diajukan oleh Naro pada Pemilu 1982, dan tergesernya orang-orang NU

dalam kepengurusan partai di tingkat pusat. Disamping itu terjadinya konflik

dan kemelut internal yang terjadi di tubuh partai (Wawancara dengan Bapak

KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).


79
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan permasalahan, hasil penelitian, dan pembahasan tentang

Peranan NU Pemalang dalam perolehan suara PPP (Suatu Kajian Historis Tahun

1973-1984), maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan

di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh

sejumlah ulama tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi

ini berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Pembentukan NU

merupakan reaksi dari ulama tradisional dalam menjawab tuduhan yang datang

dari kalangan pembaharu atau modernis. Kalangan Pembaharu atau modernis

beranggapan bahwa ajaran Islam yang terdapat di Indonesia telah manyimpang

dari sumber utama Al Qur’an dan Hadist dan menyatakan bahwa belajar agama

Islam, tidak seharusnya bersumber dari kitab-kitab imam mazhab, tetapi

hendaklah dilihat dari sumber aslinya Al Qur’an dan Hadist. Sementara kalangan

tradisional mempertahankan metode mazhab dalam memahami ajaran Islam,

bahkan mengikuti salah satu dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan

Hambali) adalah wajib. Melalui NU, kalangan tradisional berusaha untuk

menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah

dan menganut salah satu dari empat mazhab. NU di Pemalang berdiri pada tahun

1934 setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya

Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU di

79
80

Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH

Kholil, dan H Husni. Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk

mendukung berdirinya NU secara nasional. Dalam perjalanan politiknya, NU

pernah bergabung dalam MIAI, menjadi anggota istimewa Masyumi, dan

mendirikan Partai politik NU sendiri, bergabung dengan Partai Persatuan

Pembangunan, dan terakhir mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa. Secara

politis pada tahun 1973-1984 kekuatan NU tergabung dalam Partai Persatuan

Pembagunan (PPP). Kebijaksanaan pemerintah Orde Baru meyederhanakan partai

menjadi dua partai dan satu golongan ini memaksa NU Pemalang bersama

Syarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Muslimin Indonesia (MI) untuk

berfusi ke dalam PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Menghadapi Pemilu 1977 dan

1982 bersama unsur lainnya NU berusaha untuk memenangkan PPP.

Strategi yang dilakukan NU untuk memenangkan PPP di Pemalang, yaitu

dengan mamanfaatkan keberadaan NU sebagai organisasi massa yang memiliki

pengikut yang jumlahnya tidak sedikit baik di tingkat nasional maupun lokal yang

dalam hal ini adalah Pemalang, mengerahkan ulama-ulama NU Pemalang untuk

terlibat langsung dalam proses kampanye yang dilakukan di beberapa daerah di

kabupaten Pemalang, dalam kegiatan kampanye PPP para ulama NU di Pemalang

berusaha untuk memikat hati masyarakat agar menyalurkan aspirasi politiknya ke

PPP dengan berbagai cara termasuk menggunakan tema perjuangan Islam, dan

melakukan kerjasama di berbagai bidang antara NU dengan DPC PPP Pemalang.

Sebagai hasilnya perolehan suara PPP di Pemalang mampu menjadikan

PPP sebagai kekuatan terbesar kedua setelah Golkar dan menjadi tandingan
81

Golkar yang cukup berarti dalam Pemilihan Umum 1977 sampai pada Pemilu

1982. Hasil yang diperoleh PPP di Pemalang diluar dugaan baik PPP sendiri

maupun Golkar atau PDI. Walaupun pada dasarnya angka suara yang diraih jauh

berada di bawah Golkar, yaitu dengan memperoleh suara sebanyak 138.251

(31,42 %) dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1977 dan 148,650 (30,98 %)

dengan mendapat 10 kursi pada pemilu 1982. Secara umum perolehan suara PPP

di Pemalang pada Pemilu 1977 dan 1982 stabil dan penyebarannya hampir merata

di seluruh wilayah kecamatan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Badan Pusat Statistik. Kabupaten Pemalang Tahun 1970.

Badan Pusat Statistik. Kabupaten Pemalang Tahun 1980.

Budiharjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Darojat, Aliyud. 2006. Kenahdlatul Ulamaan. Semarang: CV. Widya Karya.

Ecip, Sinansari S. 1994. NU; Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah dan Pengantar Metode Sejarah,


Terjemahan Nugroho Notosutanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.

Haidar, Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Haris, Syamsudin.1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia


Widiasarana.

Ida, Laode. 1996. Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

--------------- 2004. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta:


Departemen Agama

Mulkhan, Munir Abdul. 1989. Perubahan Perilaku dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987; Dalam Perspektif Sosiolog. Jakarta: Rajawali.

Noer, Deliar. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali.

Rahardjo, Dawam, M. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun Dari


Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyaratakat (P3M).

Shobron, Sudarno. 2003. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Dalam Pentas


Politik Nasional. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat Qadariyah wa Nasyabandiyah Jombang;
Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Galang
Printika.

Ummatin, Khoiro. 2002. Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Van Bruinessen, Martin. 1994. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian


Wacana Baru. Yogyakarta: LKIS.

Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbud.

ARSIP:

1. Naskah Pidato Sambutan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pemalang


dalam rangka Kunjungan Kerja Anggota-Anggota DPR RI Komisi APBN
di Pemalang tanggal 29-30 Juli 1973.
2. Laporan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pemalang dalam rangka Rapat
Kerja para Bupati/Walikota Kepala dati II se-wilayah Kerja Pembantu
Gubernur Kepala Dati I Jateng di Pekalongan tanggal 26 September.
3. Perkembangan potensi Golkar pada Pemilu 1971-1987 di Kabupaten Dati
II Pemalang.

INTERNET:

http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama/30 Februari 2007.

http://www.ppp.or.id/Sejarah PPP/30 Februari 2007.

You might also like