You are on page 1of 14

Korupsi dan Perkembangannya

di Indonesia

PAPER
MATA KULIAH
PANCASILA

Disusun Oleh :

Dananto Suryo Bhawiko


NIM.42088001

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INFORMASI I-TECH


JAKARTA
2010
BAB I

PENGANTAR

Masalah korupsi yang melanda Indonesia termasuk yang paling parah di dunia.
Sebagaimana diungkapkan oleh berbagai survei yang dilakukan Transparansi International
(TI), posisi Indonesia dalam peringkat negara terkorup di Asia Pasifik senantiasa berada di
urutan teratas.

Korupsi, berasal dari kata Corruptio, corruptus (latin). Kemudian diturunkan ke


bahasa Inggris menjadi Corruption, corupt. Dan di Indonesiakan menjadi Korupsi. Menurut
beberapa sumber, Korup dan korupsi di definisikan sebagai berikut,

• Korup: busuk, palsu, suap (Kamus Besar Bahasa Indonesia) buruk, rusak;
Suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang atau barang milik perusahaan
atau negara.
• Korupsi: kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian
(Lexicon Webster Dictionary). Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau
perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
• Menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus
Hukum 2002).
• Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan dimaksud memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. (Undang-undang no. 20 tahun 2001)

Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham
menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan
pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada
dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem
politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan
keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di
Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris
dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan
wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai
tindak korupsi.

Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang
yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum.
Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan
yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh
rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.

Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam
konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin
adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang
dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau
raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau
keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada
di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan rakyatnya sendiri menganggap wajar jika seorang
raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.

Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan
pemisahan keuangan pribadi dan sebagain pejabat sangat penting, sebab seorang raja
tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja
adalah negara itu sendiri.

Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak
lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana
tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang
memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan
kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk
kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau
sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan
pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor
(domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan
tindak korupsi.
BAB II

ISI

Persoalan “korupsi” belakangan ini, telah menjadi materi perbincangan umum di


tengah masyarakat kita. Semakin meluasnya praktek korupsi, terutama dikalangan pejabat
pemerintahan, menjadikan masyarakat mencoba meraba-raba dan mencari akar persoalan
sesungguhnya, betulkah korupsi sudah menjadi budaya yang tidak mampu dihilangkan dalam
kehidupan sehari-hari?

Terlebih lagi, kasus-kasus korupsi yang menghambur-hamburkan uang Negara


tersebut, tidak mampu diselesaikan secara tuntas oleh aparatur hukum kita. Wajar saja
kemudian jika proses hukum yang cenderung lemah tersebut, semakin membuat masyarakat
kita tidak percaya dengan penegakan hukum terhadap praktek korupsi.. Jika kita merujuk
kepada kamus Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia, maka akan kita dapati arti
korupsi sebagai sesuatu yang busuk, buruk, bejat, dapat disogok, suka disuap. Jadi pada
mulanya, pengertian korupsi dalam delik, terbatas hanya kepada penyuapan saja, yang
kemudian menjadi luas dalam Encylopedia Amerikana, yang menyebutkan bahwa korupsi itu
bermacam-macam. Ada korupsi dalam bidang politik dan keuangan materiil.

Indonesia sendiri sejak tahun 1960 telah melakukan upaya pemberantasan korupsi
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada
tahun 1971, diterbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana
Korupsi, yang kemudian pada tahun 1999 diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hingga pada tahun 2006, Pemerintah juga telah meratifikasi kovenan internasional
tentang anti korupsi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
“United Nations Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003). Hal tersebut semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam
memberantas korupsi di Negara kita.

Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan
peraturan yang telah ada, cukup untuk memberantas praktek korupsi di Negara kita? Ataukah
ada permasalah lain yang perlu dijadikan focus dalam upaya pemberantasan korupsi? Tulisan
ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternative
analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai
akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.

Persoalan utama dari budaya korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita.
Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut
terasa sangat keliru, meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh
serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia.
Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi
rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia
menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde
Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu.
Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang
menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-
pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan
yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi,
meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu
(bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan
penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa
Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh
pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka
yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti
berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang
berani menyuaraknnya.
Korupsi dan Warisan Masa Lalu

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah


mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah
menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para
penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan
berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara.
Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya
penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya
dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?.
Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di
Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara
masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat
dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari
kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3
(tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti
sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah
masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan
Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik
kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita),
telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat
bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh
turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu
Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi
di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung
kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal
dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan
Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada
juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan
ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman
kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu
contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi
dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk
menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan
opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam
tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai
masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah
dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya
korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik
oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),
tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene
merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah
territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen
upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.

Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll,
sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-
cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut,
dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa
sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan
penjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian
dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang
dibangun oleh para penjajah.
Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan
dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri
lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang
terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).

Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern
seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta
lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang
bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan
tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola
kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi
terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki
peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat

Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat
Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan
serta harapan masyarakat (expectation) terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin
menurun, bahkan senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya
(polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat
birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu factor
mendasar penyelesaiaan sebuah kasus.

Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus


menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau pejabat pemerintahan daerah
yang harus menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus
mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk
membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan
korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-
aturan yang telampau birokratis.
Sejak periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla, program
pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya.
Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan bentuk penghargaan yang tinggi atas
upaya yang dilakukan tersebut. Namun patut kita catat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-
JK telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara
(semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus Al Amien Nur, serta
kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya
pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap (dari era
Soeharto sampai sekarang) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah
sedikitpun tersentuh oleh hukum. Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari
komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih,
bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa
dan Negara.

Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban
dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan
jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpa dukungan dari
masyarakatnya?
BAB III

ANALISA

Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan
hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya
pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye
peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam
menutup akar penyebabnya melalui ;

Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup


masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam
hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik
secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang.
Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk
mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam
pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan
kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi
dan politik.

Kedua, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk
menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah
sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak
jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya,
yang kelak akan diadopsinya oleh anak didik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
saja ; jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar, hingga cara mengajar
yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut tidak
mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup
masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur
tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.
Ketiga, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak
hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat, terutama dikalangan perangkat Criminal
Justice System (CJS), yang menjadi tumpuan utama dalam memberantas korupsi di Negara
kita. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien.
Kredibilitas aparatur hukum kita, dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak
berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus (equality of law). Kasus seorang
koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus
seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut
keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan
kasus korupsi secara efektif.

Ketiga, Penguatan sistem pada intitusi-institusi dalam rangka mempersempit ruang


gerak para oknum pelaku korup dan perubahan sistem penggajian secara nasional, tidak akan
berjalan efektif tanpa diikuti perubahan dan perbaikan pada tatanan hukum kita. Pasal-pasal
yang multi tafsir, pencemaran nama baik, dan asas praduga tak bersalah sudah sangat perlu
direvisi. Pelaporan harta kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjabat oleh KPK
merupakan langkah awal yang baik. Namun belum dilengkapi dengan regulasi
pendukung untuk menjerat si pejabat ke ranah hukum saat tambahan kekayaan yang
dilaporkan diketahui sangat bertolak belakang dengan gaji yang diterima. Akibatnya publik
hanya terbengong-bengong, kok mantan gubernur yang gajinya tidak sampai 30 juta/bulan
punya kekayaan puluhan milyar dan beberapa villa di puncak.
BAB IV

KESIMPULAN

Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada pembangunan,


tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang
tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat,
ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan. Korupsi merupakan suatu tindakan yang
merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek
normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran.

Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian


kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian
untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama
lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu
lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pemberantasan terhadap
wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ sakit kepala kok minum obat flu “.

Sebaiknya pemerintah lebih serius dalam menanggulagi masalah korupsi ini, karena
masalah ini sungguh merugikan masyarakat terutamanya dalam pembangunan dan ekonomi.
Dan bagi para pejabat-pejabat sebaiknya menahan diri untuk mengambil hak milik orang lain.
Sebab, jika kita mengambil hak milik orang lain, kita tak ada bedanya dengan orang yang tak
punya apa-apa.

Berkaitan dengan hal di atas, pembuktian terbalik adalah solusi yang paling tepat.
Sehingga setiap ada pejabat yang kekayaannya mencurigakan langsung berikan kesempatan
untuk membuktikan dari mana tambahan kekayaannya selama menjabat. Jika tidak dapat
membuktikan, langsung jebloskan ke penjara, sita hartanya dan sisakan dengan perhitungan
lama (tahun) menjabat kali 12 bulan kali sisa gaji tiap bulan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Definisi Korupsi

http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisi-korupsi/

[2] Memberantas Korupsi, Sesulit Merajut Benang Kusut?

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=16792

You might also like