Professional Documents
Culture Documents
1 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
2 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
3 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
4 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
5 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
6 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
7 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah,
Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo,
Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam
Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah;
luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah,
Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur
Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah,
Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari
Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh
Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok,
Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing
Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro
Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh
Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)
b. Rantau.
Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk
Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo,
Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu,
Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini
disebut sebagai ikue rantau.
Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak,
Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut
Minangkabau Timur yang terdiri dari;
a) Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo
(sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai
Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
b) Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)
c) Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang
Kampar)
d) Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto
Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)
8 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
e) NegeriSembilan
c. Pesisir
Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan;
Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman,
Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu,
Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh,
Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah,
Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.
SISTIM KEMASAYARAKATAN/KELARASAN
Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan
merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan
Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada
juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum
berdirinya kerajaan Pagaruyung.
Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah
tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan
instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut
terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja
Ibadat.
Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan,
tugas serta kedudukannya yang berbeda.
KEDUDUKAN/TEMPAT TINGGAL
Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur
Kudus.
9 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
1. Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau
Rajo
2. Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.
PERANGKAT RAJA
10 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini
berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari
lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat
raja.
SISTEM KELARASAN
Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan
bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai
pemersatu.
TEMPAT PERSIDANGAN
1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi
Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.
11 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung
3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh
dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih
4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan
Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.
5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan
Saruang
12 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
1
Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah
akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun
“batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang.
13 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
14 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
PENGHULU
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya
punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya. Perangkat itu
terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang
nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak
yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia
juga bergelar datuk.
16 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah
sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya.
Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah
sibaran dalam tingkat ke sekian.
17 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
18 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
19 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
20 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan
pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem
matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran
kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian
tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun
juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan
yang dianut suku atau kaum itu.
Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya
harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang
memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang
lain dengan alasan papun juga.
Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau
dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.
Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang
penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan
kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota
kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk)
dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini
merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di
atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada
perkauman yang batali darah.
b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak
pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk
menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini
hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan
mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini
hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak
21 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
22 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak
balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan.
Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi
dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri.
Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari
masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan
saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako
randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik
perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah
mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan
menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris
pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara
perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula
kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah
pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako
tinggi pula.
PERANAN LAKI-LAKI
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada
dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang
ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta
pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu
untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang
harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
1. SEBAGAI KEMENAKAN
23 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak
dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak
suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk
saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula
kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab
sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu
kaum.
3. SEBAGAI PENGHULU
24 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
25 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus
dijauhi.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana
yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
26 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
27 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang
mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum,
sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba
Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau
raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan
Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.
28 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
29 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
30 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka
secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan
terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-
lainnya sudah sama dengan yang lain.
Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu
berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang
memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang
memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar
kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja
menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum,
dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan
Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar
tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya
diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak
pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam
alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan
pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan
modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan
citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap
akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap
memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan
perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap
hal ini.
Yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari
segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara
berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang
dianutnya.
Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan
lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi
budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap
hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang,
dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan
Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh
31 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir
tetap akan berbeda.
KARAKTERISTIK PEREMPUAN MINANGKABAU
Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui
beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a)
tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam
berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat
memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai
risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung.
Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari tiga aspek saja;
1. Bahasa dan sastra
2. Kesejarahan
3. Sistim nilai.
Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan
legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk
tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba)
pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh
perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang
dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan
Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang
dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik
perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;
a. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua
itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)
b. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan
terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh
Simawang)
c. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan
segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)
Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola
pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan
menjadi lebih agresif;
32 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
33 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
(sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan
sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi
partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan).
Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan
tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan
laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya
atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang
bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh
politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam
mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam
kaba Lareh Simawang itu misalnya.
Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan
ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah
sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka
sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru.
Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal
dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit
mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan
prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta
pusaka.
Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan
apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami,
boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri
dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan.
Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan
segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang
tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka
dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak
mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.
Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang
adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada
suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang
telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang
terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau
34 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Tentang kecantikan.
Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada
kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada
sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan
cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika
dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam
masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat
dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau
contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan
dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya
dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak
menjadi lain pula.
Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada
disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah
kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang
ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong
salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo
surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau
pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang
dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang
menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.
35 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
36 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
37 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
KEKERABATAN
2
karik - ba'ik; dua-duanya dari kata Arab; karib - ba'id (dekat dan jauh), dalam hubungan
kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..
38 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
39 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan B akan
disebut ma ambiak induak bako.
Dapat juga diungkap bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab
perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan
sebagainya.
Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi
penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau
perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila
lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau.
Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam
lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang
tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan
keluarga mertuanya.
Di masa sebelum 50-an sangat banyak ditemukan perantau lelaki etnis
lain bahkan etnis Cina yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku
sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.
Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang,
secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan
diakui menjadi masyarakat Minangkabau.3 Demikian, bila Minangkabau dilihat
dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.
Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya
(adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara.
Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek -malam danga-dangakan
atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang.
Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar
tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan
rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya
jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum
kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman
sepergaulan pun.
Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan
anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.
3
Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis
di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur.
40 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al'Ashr : 3)
NILAI KEKERABATAN
4
DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.
41 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
N
tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena
adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran
Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si
anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena
diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya.
Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan
dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung
halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan
baralah.
Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang
Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang
tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut,
baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata
tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan
menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila
masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau
yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam
kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara
perempuannya.
Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa
kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam
sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di
dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka - sepandam sepekuburan)
atau yang sepesukuan (yang sepayung sepenghulu), yang se surau, se sasaran
maupun yang se korong se kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari
dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang - nan bakaratan,
basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak
kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main.
Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan
membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap
tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di
nagari mamaga nagari.
42 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
5
Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.
6
Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang pemuda Muhajirin
dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi semangat mendukung
kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.
43 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
7
Ibidem No. 1540.
8
"co kambiang mangawan" (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di manapun).
9
mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang semenda) di suatu
kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.
10
pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.
11
andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.
44 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka
yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu 13.
12
sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat tradisional;
13
Q.S. 8-al Anfal/25
14
Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini, semula adalah
konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon, sebelumnya di kutip dari Hukum-
Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.
45 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa
mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam
hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang
luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan
pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja
mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber
masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang
bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang
Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se
kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara
moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak
mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari
pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo
manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis
lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai
sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka
tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak tersebut". (HR Bukhari)15
Atau dalam formula Minang akan disebut: "nagari ka samo kito uni, jalan
ka samo kito tampuah ". Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-
masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak
dirugikan.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya
Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti
rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams
beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum
yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya
untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang,
15
Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn 'Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993 M; sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Pcnyebab Gagalnya Dakwah"; lihat jilid 1
halaman 30.
46 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang
secara keseluruhan.
16
Ibidem; lihat jilid 1 halaman23.
47 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
48 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Lalu ada lagi sebutan: kok indak ameh di pinggang –dunsanak jadi
urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya
bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah
saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri
melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu
ditempatkan pada posisi yang benar.
Secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja
dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat.
Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-
embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan
sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada
kemungkinan secara internal dan ekstemal.
Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka
yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah
dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum
boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya
ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif,
berhak menerima zakat sebagai fakir atau miskin.
Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang
kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat
adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim
supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi
pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya
Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya
kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan
menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan
dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali-
setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara
hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya,
bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang
digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang
tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.
Peluang
49 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
KESIMPULAN
50 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
ABS SBK MERUPAKAN BATU POJOK BANGUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU YANG (DULU
PERNAH) UNGGUL DAN TERCERAHKAN
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil
kesepakatan (Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19)
dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan
Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik
bersenjata yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak
itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi
emas” selama selama lebih satu abad berikutnya. Dalam periode keemasan
itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin,
baik dari kalangan alim ulama ”suluah bandang anak nagari” maupun
”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik) yang
berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional.
51 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
53 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
54 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Kekurangan utama (Peta yang tidak sama sebangun dengan Realitas) itu
melahirkan beberapa kekurangan. Kekurangan turunan pertama adalah Adat
Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan
Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta
yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai
adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan.
Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau
Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan
yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan
membawa kita ke mana-mana. Kekurangan selanjutnya, Adat yang menjadi
Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan
pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering
techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep
pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau
tidak dapat diterapkan. Singkat kata, akar segala kekurangan serta sebab-
musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta kurang-
kememadai-an itu adalah ketiadaan “hubungan satu-satu” antara
Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau Nan Bana, Nan Badiri
Sandirinyo itu.
55 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
satu atau sama sebangun dengan Realitas itu (“al-haqqu min amri Rabbika”,
Al Qur’an).
Al Quran adalah juga Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan
Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur
Kebenaram. (“hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan” Q.S 2,
Al-Baqarah Ayat 184).
56 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-
nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”
58 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang
sesungguhnya ada dalam Realitas.
Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan Ilmu hasil
pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja”
atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-
Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan
hawa nafsunya”.
Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan
keselamatan di alam semesta paling tidak dalam menjalani kehidupan di
Dunia ini? Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia tidak ditinggalkan di
dalam kebingungan. Diturunkanlah para Rasul dengan membawa Kitab Suci,
yang paling terakhir Al Qur’an sebagai Peta Realitas serta Petunjuk dan
Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari
Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram dalam menjalani hidup di
bumi yang fana ini.
Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan
karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini
berupa isme-isme karena mereka telah menuhankan diri dan nafsu mereka
sendiri. Kebanyakan manusia moderen telah menjauh dari agama langit,
bahkan dari agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan
kegiatan mereka.
Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di
abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK
sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan
kenyataan kehidupan sehari-hari. Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas
serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini
gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian
manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan
MASYARAKAT UNGGUL DAN TERCERAHKAN MAMPU MENCETAK SDM UNGGUL YANG
TERCERAHKAN YAITU PARA ULUL ALBAAB.
Siapakah manusia unggul yang tercerahkan itu. Barangkali konsep yang
menyamai serta t digali dari Al-Qur’an adalah para “Ulul Albaab”. Dalam
Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194 , disebutkan sebagai berikut
) اّلذِينَ َي ْذكُرُونَ اللّ َه ِقيَامًا َو ُقعُودًا وَعَلَى190( ب ِ ختِلَافِ الّليْلِ وَال ّنهَارِ لَآيَاتٍ ِلأُولِي الَْأ ْلبَاْ سمَاوَاتِ وَالَْأرْضِ وَا ّ خلْقِ ال َ ن فِي ّ ِإ
)191(
َْرّبنَا ِإّنكَ مَن ب النّا ِرَ عذَاَ س ْبحَا َنكَ َف ِقنَا
ُ ت َهذَا بَاطِلًا َ ت وَالَْأرْضِ َرّبنَا مَا خَلَ ْق ِ سمَاوَاّ خلْقِ ال َ ن فِي َ جنُو ِبهِمْ َو َيتَ َفكّرُو
ُ
)192(
ن آ ِمنُوا بِ َرّبكُ ْم فَآ َمنّا َرّبنَاْ َس ِم ْعنَا مُنَا ِديًا ُينَادِي لِ ْلإِيمَانِ أ
َ َرّبنَا ِإّننَا خلِ النّا َر َف َقدْ َأخْ َز ْيتَهُ َومَا لِلظّاِلمِينَ مِنْ َأنْصَا ٍر ِ ْتُد
59 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
)193(
سِلكَ َولَا تُخْ ِزنَا يَوْمَ ا ْل ِقيَامَةِ ِإّنكَ لَا
ُ ُع ْدتَنَا عَلَى ر
َ ََرّبنَا وَآ ِتنَا مَا و سّيئَا ِتنَا َوتَ َو ّفنَا مَعَ الَْأبْرَا ِر
َ عنّا
َ غفِرْ َلنَا ُذنُوبَنَا َو َكفّ ْرْ فَا
194(
ُ ِ)تُخْل
ف ا ْلمِيعَا َد
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(3:190).(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(3:191).Ya Tuhan kami,
sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka
sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada seorang penolong pun bagi
orang-orang yang zalim.(3:192).Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-
dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan
wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(3:193)Ya Tuhan kami,
berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan
rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat.
Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."(3:194)
Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan
tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang
lain di luar dirinya. Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna
yang berada disebalik tanda itu.
Misalnya, kalau kita memperhatikan bahwa bulan menyajikan berbagai
bentuk di langit pada malam hari – mulai dari garis lengkung putih
berangsur jadi bulan sabit, akhirnya jadi bulan purnama untuk kembali lagi
mengecil – kita sebagai makhluk yang memiliki keingin-tahuan yang besar
akan bertanya:”Kenapa demikian? Apa yang membuatnya demikian?
Bagaimana prosesnya?”. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir
yang terarah.
Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan
perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan”
yang dipikirkan. Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh
“ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara
meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan
maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.
Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di
dalam dirinya zikir dan fikir menyatu. Zikir disini bukan sekadar mengingat
Allah s.w.t dengan segala Asmaul-Husna-Nya, tapi harus dipahami lebih luas
sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan
segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk
Ciptaan-Nya.
60 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran
Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan
diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama
(Uswatun Hasanah).
Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan
serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman
kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah.
Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan
sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat
Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul
albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat.
Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako
“Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari,
Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.
Wallahu’alaam bissawaab
Hanya dari Allah berasal semua kebenaran
61 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Sarana
Pengungkapan Tata-cara •Adat istiadat
•Musyawarah Muapakaik
Pergaulan
•Sistim kekeluargaan
Masyarakat •Matrilinial
•Pangulu
•Mamak, Tungganai,
Benda &
Seni Musik/ •Pidato Adaik
Bahasa Seni Tari/ Bangunan •Komunikasi informal
(Rumah Bagonjong) •Komunikasi non-verbal
Seni Beladir
Direkam lewat
Kato Pusako
Sastera
Lisan
Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan
memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan
Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru. Dari
pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri
manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau. Konsep dasar
Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) kemudian menjadi kesadaran
kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan
masyarakat Minangkabau. Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama
serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan
yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.
Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa,
terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki
tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama
Hindu/Budha). Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun
yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako.
Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-
pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato
Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll.
62 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana
Adat) memengaurhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal
sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.
ALLAH S.W.T
ABS-SBK SEBAGAI
PANDANGAN DUNIA &
Memengaruhi
PANDANGAN HIDUP
Ibadah Mahdah
Di Masjid/Surau
Sarana
Pengungkapan Tata-cara •Musyawarah/mupakaik
•Adat istiadat
Pergaulan
•Sistim kekeluargaan
Masyarakat •Matrilinial
•Pangulu
•Mamak, Tungganai,
Benda &
Seni Musik/ •Pidato Adaik
Bahasa Bangunan •Komunikasi informal
Seni Tari/
(Rumah Bagonjong) •Komunikasi non-verbal
Seni Beladir
Direkam lewat
Kato Pusako
Sastera
Lisan
63 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan
ABS-SBK sekarang menjadi konsep dasar Adat (Adat Nan Sabana Adat)
diungkapkan, antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako.
ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat.
64 H Mas’oed Abidin