You are on page 1of 64

Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Draft : Subangan Pikiran untuk Kompilasi ABSSBK, oleh BuyaHMA;-.[…]

MINANGKABAU DAN SISTIM


KEKERABATAN
Hubungan Kekeluargaan Minangkabau,
bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan
bernasab ke ayah
Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO


1. Asal usul manusia Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau


dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan
masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya
Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya
tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya
Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku
bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan
penduduk sendiri.
Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa
lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut
juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang
cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri
Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak
mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku
bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala
aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber
yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber
dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting,

1 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan,


namun dapat pula saling melengkapi.
Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari
ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan
otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti,
batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis
lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk
sedikit.
Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda
(Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde,
yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan,
catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda,
atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan
menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di
wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk
dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo
masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-
orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum.
Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan
penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian,
bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan
penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan
penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat
sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.
Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari
rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan
bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau
tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah
nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-
bukti prasasti.
Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak
menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya

2 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang


diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak
kemenakan.

Minangkabau menurut sejarah


Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau,
dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada
umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau
zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan
Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah
Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum
Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang
punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini
sebagai tambo.
Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya
mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad
pertama Masehi.
Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda.
Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi
pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini
kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima
sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu
berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para
ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga
yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi
Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian
diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul
kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama
Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini
merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian
dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu
dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan
bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan

3 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan


banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung,
seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.

Minangkabau menurut tambo


Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang
Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah
Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti
penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu
kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja
pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2)
Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber
inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem
matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke
Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar
Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di
benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara
tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan
kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke
Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan
pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang
Mualim, Kambiang Hutan.
Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap
luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data,
Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk
lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang
penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan
Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan
pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo
Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga
orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun
kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri
kelarasan Bodi Caniago.

4 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di


Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di
Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah
dan terus ke Pagaruyung.
Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.
Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan
dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung,
semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang,
karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan
Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga
hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham
antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem
pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan,
Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal
telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo
Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih
Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai
variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat
sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah
satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya
tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai
terbentuknya kerajaan Pagaruyung.

ASAL KATA MINANGKABAU

5 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian


kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang
asal kata Minangkabau.
a. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari
kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah
daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar
Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang
didirikan abad ke 12.
b. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang
Khabu yang artinya tanah asal.
c. Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga
Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.
d. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata
Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.
e. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang
Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-
sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).
Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu
adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh
orang Minangkabau.
Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau.
Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara
Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.

WILAYAH ASAL MINANGKABAU

6 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di


atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;
1. Pengertian budaya
2. Pengertian geografis
Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah
yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu
bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.
Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang
Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka
gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie,
sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak
Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.
Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi.
Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja
tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang
disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu
melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua
pendapat itu ada benarnya.
Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti
yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan
pesisir.
a. Darek
Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar
gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan
sekitar gunung Sago. Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak; (1) Luhak
Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo
banyak, (2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo
karuah, ikannyo lia, (3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan
bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah;
Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik,
Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih,

7 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah,
Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo,
Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam
Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah;
luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah,
Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur
Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah,
Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari
Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh
Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok,
Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing
Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro
Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh
Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)
b. Rantau.
Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk
Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo,
Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu,
Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini
disebut sebagai ikue rantau.
Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak,
Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut
Minangkabau Timur yang terdiri dari;
a) Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo
(sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai
Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
b) Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)
c) Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang
Kampar)
d) Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto
Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)

8 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

e) NegeriSembilan

c. Pesisir
Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan;
Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman,
Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu,
Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh,
Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah,
Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.

SISTIM KEMASAYARAKATAN/KELARASAN
Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan
merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan
Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada
juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum
berdirinya kerajaan Pagaruyung.

Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat


Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi
bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi
rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam
Minangkabau.

Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah
tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan
instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut
terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja
Ibadat.

Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan,
tugas serta kedudukannya yang berbeda.

KEDUDUKAN/TEMPAT TINGGAL

Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur
Kudus.

9 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Daerah-daerah rantau barat dan timur merupakan daerah yang berada


langsung di bawah raja, dengan mengangkat “urang gadang” atau “rajo
kaciak” pada setiap daerah. Mereka setiap tahun menyerahkan “ameh
manah” kepada raja.

Daerah-daerah yang langsung berada di bawah pengawasan raja


Daerah-daerah rantau tersebut adalah:

Rantau pantai timur


1. Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan)
disebut juga Rantau Tuan Gadih.
2. Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari
Cati Nan Batigo.
3. Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga
Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu
4. Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar)
5. Negeri Sembilan

Rantau pantai barat:

1. Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau
Rajo
2. Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

PERANGKAT RAJA

Basa Ampek Balai

Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh 4 orang menterinya


yang disebut Basa Ampek Balai dan seorang Panglima Perang, Tuan Gadang
Batipuh.

Datuk Nan Batujuh

Di daerah kedudukan (tempat raja menetap/tinggal), setiap raja mempunyai


perangkat penghulu tersendiri untuk mengurus masalah masalah daerah
kedudukan dan kerumah tangga. Datuk Nan Batujuh, yang mengurus segala
hal tentang wilayah raja (Pagaruyung). Datuk Nan Barampek di Balai Janggo
yang mengurus segala hal tentang kerumahtanggaan.

10 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini
berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari
lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat
raja.

Datuk-datuk tepatan raja pada wilayah atau nagari-nagari tertentu ada


datuk-datuk yang ditunjuk untuk perpanjangan tangan raja, tempat tepatan
raja.

SISTEM KELARASAN

1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin


oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai
Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di
atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip
pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.

2. Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin


oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di
Limo Kaum.

Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut;


duduak samo randah tagak samo tinggi.

Kedudukan raja terhadap kedua kelarasan

Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan
bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai
pemersatu.

TEMPAT PERSIDANGAN

1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi
Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.

11 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung
3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh
dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih
4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan
Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.
5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan
Saruang

LAREH NAN DUO


Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan
Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang
dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk
Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang.
Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto
Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga
Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah
dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem
yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah
berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih
Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego
adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Di dalam tambo disebutkan;
Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.

Di dalam mamangan lain dikatakan:


Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak
Malu nan alun kababagi.

A. KELARASAN KOTO PILIANG

12 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah


Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini
dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
1. Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
2. Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
3. Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
4. Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang
Koto Piliang
(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek
Balai)
5. Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto
Piliang
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-
masalahdaerah kedudukannya.
Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah
tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9
datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll).
Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah
tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan
sebagainya. Misalnya;
a) Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu
b) Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan
c) Indomo untuk daerah pesisir barat utara.
d) Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap
basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.1

LANGGAM NAN TUJUAH (7 daerah istimewa)

1
Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah
akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun
“batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang.

13 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang


dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja.
Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai.
Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri
dan sampai sekarang masih dijalankan.
Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar
kebesarannya masing-masing:
1. Pamuncak Koto Piliang
Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
2. Gajah Tongga Koto Piliang
Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak
3. Camin Taruih Koto Piliang
Daerahnya Singkarak & Saningbaka
4. Cumati Koto Piliang
Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
5. Perdamaian Koto Piliang
Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
6. Harimau Campo Koto Piliang
Daerahnya Batipuh 10 Koto
7. Pasak kungkuang Koto Piliang
Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan

SISTEM YANG DIPAKAI DALAM KELARASAN KOTO PILIANG


Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak
buliah dibandiang. Maksudnya; segala keputusan datang dari raja. Raja
yang menentukan.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan
kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai,
diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan
keagamaan kepada Rajo Ibadat.
Bila kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam.
Rajo Alamlah yang memutuskan.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut;
kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka
Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.

14 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

KELARASAN BODI CANIAGO


Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di
Limo Kaum.
Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk
nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan,
karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih
berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti).
Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan
Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek,
lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak
buleknyo)
a. Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
b. Tanjung Sungayang
c. Tanjuang Alam
d. Tanjuang Barulak
e. Lubuk Sikarah
f. Lubuk Sipunai
g. Lubuk Simawang
SISTEM YANG DIPAKAI DALAM KELARASAN BODI CANIAGO
Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari
bawah.
Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak
buliah dikadang. Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang
kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan
diuji kebenarannya.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan
kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum. Karena itu dalam kelarasan ini
hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak,
mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana
badiri sandirinyo.

LAREH NAN PANJANG


Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo. Selain itu pula, ada satu lembaga
lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan
Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan
antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk
Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau
15 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya. Di dalam pepatah adat


disebutkan:
Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah
Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Di ateh, 7 Koto Di bawah,
batasan wilayahnya disebutkan Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka
Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.
8 Koto Di ateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang,
Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.
7 Koto Di bawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan,
Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.
Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu.
Kemudian disusul dengan adanya Datuk Bandaro Hitam yang juga punya
fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah
Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya).

PENGHULU
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya
punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya. Perangkat itu
terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang
nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak
yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia
juga bergelar datuk.

Nama Gelar Penghulu.


Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro
misalnya. Datuk Bandaro.
Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata,
untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk
Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk
Bandaro Hitam.
Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan
memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka

16 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah
sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya.
Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah
sibaran dalam tingkat ke sekian.

SISTIM KEKELUARGAAN MATRILINEAL


Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan
ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan
dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen
dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-
nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu,
waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-
cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”,
tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah
istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya
dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

17 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau


sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha
menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme
penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan
seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak
berkemanakan sangatlah penting.
Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai
faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem
matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.
Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan
peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat
dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan
dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan
dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas
dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti
dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau
terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak
dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak
menjalankan sistem matrilineal tersebut.
Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati
dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun
begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada
hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu
sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem
tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau
memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk
menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah
gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.
Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta
menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako
tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako
randah”.

18 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat,


pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya
amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam
penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak
diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di
dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui
sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban
perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam
kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan,
sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan
Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi
atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak
memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan
gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang
sesungguhnya diperlukan perempuan.
Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara
laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar
sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan
sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan
kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem
patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan
yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi
telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live,
kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.
Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya,
kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil
pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh
kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya
kepada anak perempuannya.

19 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak


perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam
disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat
dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota
di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan
meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak
yang berubah.
Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang
akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri.
Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada
beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan
sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum
bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang
yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi
berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya
orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh
aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;

A. PENGATURAN HARTA PUSAKA

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo


pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara
material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik
yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau

20 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan
pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem
matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran
kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian
tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun
juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan
yang dianut suku atau kaum itu.
Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya
harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang
memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang
lain dengan alasan papun juga.
Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau
dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.
Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem
pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang
penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan
kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota
kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk)
dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini
merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di
atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada
perkauman yang batali darah.
b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak
pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk
menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini
hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan
mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini
hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak

21 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si


penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh
bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar
yang berdasarkan batali adat.
c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang
dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini
bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam
kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh
pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan
terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan
karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya
dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa,
yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka
gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem
matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang
dan lainnya.
Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.
Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-
anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.
Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.
Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata
kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam
konteks yang sama. Hak dan milik.
Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik
pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan
diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.
Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan
garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat

22 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak
balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan.
Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi
dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri.
Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari
masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan
saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako
randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik
perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah
mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan
menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris
pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara
perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula
kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah
pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako
tinggi pula.

PERANAN LAKI-LAKI
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada
dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang
ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta
pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu
untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang
harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
1. SEBAGAI KEMENAKAN

Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau


dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang
kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan
yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya
dan semua anggota keluarga kaumnya.

23 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia


selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat
dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah
sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri
maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan
pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako
dan pusako dari mamaknya.
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila
kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).
Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam
pewarisan sako dan pusako kaum.
2. SEBAGAI MAMAK

Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak
dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak
suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk
saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula
kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab
sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu
kaum.
3. SEBAGAI PENGHULU

Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu.


Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang
penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian
harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar
kaumnya untuk kepentingan kaumnya.

24 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat


menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi
(maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di
dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari

4. PERANAN DI LUAR KAUM

Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau


penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia
mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum
isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum
istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu
sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk
perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda).
Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa
kategori;
a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut
memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan
kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu
persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai
seorang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum
istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau
mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak
dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya
memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-
persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando
apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit

25 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus
dijauhi.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana
yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak

Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;


Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo

KAUM DAN PESUKUAN


Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis
matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut.
Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari
satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik.
Maksudnya berasal dari nenek yang sama.
Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek.
Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum.
Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku.
Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.
Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam
sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena,
dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar.
Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago.
Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat
setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.
Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang,
Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo,
Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu,
Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa,
Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.

26 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut


urang nan ampek suku.
Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi
ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang
dimasukkan ke sana.
Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah,
keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka,
boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan
sapayuang. Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama,
disebut sahindu. Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial
masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya,
terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur
yang umumnya dipakai oleh setiap suku;
(1) STRUKTUR DI DALAM KAUM

Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;


a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut
Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin
setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum
kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang
mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada
beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk.
Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga,
berstatus sebagai mamak biasa.
Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.

(2) STRUKTUR DALAM KAITANNYA DENGAN SUKU LAIN.

Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku


harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan

27 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan


anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan
tersebut.
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak
bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak
ayah.
Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah.
Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah
kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan
dan pasumandan.
Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari
rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka
pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami.
Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum
rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang
anggota rumah gadang B.

c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang
mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum,
sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba
Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau
raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan
Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.

28 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang


sebagai perempuan utama.

Bundo kanduang sebagai perempuan utama


Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih
hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau
niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.
Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai
kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau
ibu penghulu itu betul.
Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu
kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila
dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan
perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan
utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau
lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

PEREMPUAN MINANGKABAU DI MASA DEPAN

Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan


menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat
Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke
depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat
tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan
kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan
Minangkabau dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra.
Sedikit sekali didapatkan informasi lain selain kedua sumber tersebut.
Dalam masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-
novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari
ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif
perempuan Minangkabau di masa depan.

29 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan


perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri
sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern.
Ketika itu tidak dipakai kata emansipasi, persamaan hak, jender
sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat.
Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah
menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah.
Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang.
Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan
ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai
kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja.
Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya,
sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri.
Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali
sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal,
langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan
anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan
modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba.
Hal sedemikian itu, memberikan arti bahwa masyarakat Minangkabau,
terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi
modern sebelum kata modern itu ada.
Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah,
kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat
meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari
kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada
perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan
Jepang.
Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak
ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka
dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan
dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-
pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern,
perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku
lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu

30 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka
secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan
terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-
lainnya sudah sama dengan yang lain.
Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu
berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang
memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang
memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar
kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja
menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum,
dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan
Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar
tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya
diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak
pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam
alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan
pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan
modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan
citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap
akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap
memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan
perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap
hal ini.
Yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari
segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara
berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang
dianutnya.
Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan
lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi
budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap
hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang,
dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan
Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh

31 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir
tetap akan berbeda.
KARAKTERISTIK PEREMPUAN MINANGKABAU
Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui
beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a)
tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam
berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat
memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai
risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung.
Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari tiga aspek saja;
1. Bahasa dan sastra
2. Kesejarahan
3. Sistim nilai.
Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan
legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk
tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba)
pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh
perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang
dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan
Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang
dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik
perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;
a. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua
itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)
b. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan
terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh
Simawang)
c. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan
segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)
Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola
pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan
menjadi lebih agresif;

32 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

1. Menjaga kehormatan keluarga.


2. Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.
3. Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern
Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang
dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis
Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar
Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada
Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari
hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh
tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum
perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi.
Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola
pikir perempuan Minangkabau;
a. Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan
martabat negerinya.
b. Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai
tokoh pendidikan dan tokoh politik.
c. Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan
Soenting Melayoe)
Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah
terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik)
sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya.
Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada
suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas
terhadap putusan-putusan yang akan diambil.
Tantangan ke depan
Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa
dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan
Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme,
rendah diri atau penghambaan.
Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang
mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum

33 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

(sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan
sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi
partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan).
Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan
tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan
laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya
atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang
bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh
politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam
mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam
kaba Lareh Simawang itu misalnya.
Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan
ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah
sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka
sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru.
Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal
dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit
mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan
prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta
pusaka.
Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan
apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami,
boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri
dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan.
Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan
segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang
tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka
dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak
mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.
Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang
adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada
suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang
telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang
terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau

34 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri,


perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi.

SUMBANG BAGI PEREMPUAN MINANGKABAU


Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak
sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku
dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan
Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak
bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu
dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam
masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam

kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.

Tentang kecantikan.
Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada
kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada
sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan
cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika
dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam
masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat
dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau
contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan
dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya
dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak
menjadi lain pula.
Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada
disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah
kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang
ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong
salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo
surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau
pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang
dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang
menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.

35 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif


sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum
tertentu.
Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau
tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi
sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan
kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama
dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman.

Tentang Penampilan Diri


Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-
tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan
yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi
ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah.
Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai
dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam
aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang
memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar
kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar
dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain.
Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya
di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama
selama ini tidak demikian. Penampilan diri seorang perempuan Minang
umumnya sangat menentukan dalam aktivitasnya. Semua aktivitas tersebut
tidak ada kaitannya dengan kecantikan.
Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara yang hanya untuk
tampil begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan
aktivitas tersebut. Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan
menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga.
Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak
pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab,
perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara
yang umum sifatnya.

36 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu


saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan
rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang
sesuai dengan adat Minangkabau.
Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang
itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang
dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah
dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron
atau bakuan dalam adat.
Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari.
Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah
memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan.

Hal-hal yang ideal


Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam
kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak
cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama.
Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang
lebih utama terletak jiwa atau pribadi.
Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak
dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat
mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan
tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial.
Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan
itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng.
Sumbang.
Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan
akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan
diri sendiri. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri
seseorang.
Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap
kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.

37 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan


Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana
keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada
dalam sebuah nagari.

KEKERABATAN

K ekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf, ra


dan ba; qaruba, qurbaan - wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan
makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya.
Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam
pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum
kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba 'ik2 (jauah - dakek; jauh dekat)
ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .
Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba 'id dipakai
dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk
ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako,
anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) - bako-baki. Bila orang Minang
berada di rantau —jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba'id diperluas

2
karik - ba'ik; dua-duanya dari kata Arab; karib - ba'id (dekat dan jauh), dalam hubungan
kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..

38 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama


Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya.
Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan
terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di ungkap dalam
hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang
matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang
terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan
terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan
seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari
malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah
ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok
mancari indu, jauah mancari suku.
Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab
perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut
induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang.
Sebagai contoh tiga keluarga A, B dan C adalah berkerabat karena
sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan
matrilineal.
Anak-anak kelompok keluarga B adalah anak pisang dari kelompok
keluarga A disebabkan terjadinya garis perkawinan antara perempuan
keluarga B dengan lelaki dari kelompok keluarga A.
Perempuan dalam kelompok keluarga A dari sisi pandang kelompok B
akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai
andan sumandan, karena anak lelaki mereka bersemenda ke kaum itu.
Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak
bako oleh anak-anak dari perempuan kelompok A dan juga akan disebut
sebagai anak pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan warga
kelompok B.
Perkawinan antara lelaki ke perempuan dari kedua kelompok A dan B ini
satu ketika akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka
menikah dengan kemenakan-kemenakan ayahnya sendiri. Dari sisi pihak
perempuan A dan B yang sudah terikat pernikahan timbal balik ini akan
disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi
hubungan lelaki kelompok A yang menikah dengan perempuan kelompok B

39 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan B akan
disebut ma ambiak induak bako.
Dapat juga diungkap bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab
perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan
sebagainya.
Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi
penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau
perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila
lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau.
Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam
lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang
tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan
keluarga mertuanya.
Di masa sebelum 50-an sangat banyak ditemukan perantau lelaki etnis
lain bahkan etnis Cina yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku
sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.
Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang,
secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan
diakui menjadi masyarakat Minangkabau.3 Demikian, bila Minangkabau dilihat
dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.
Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya
(adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara.
Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek -malam danga-dangakan
atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang.
Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar
tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan
rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya
jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum
kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman
sepergaulan pun.
Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan
anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.
3
Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan Menkop serta A.A. Navis
di mata masyarakat Minangkabau sebagai sudah membaur.

40 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi


antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an;
lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan.
Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan
dalam Islam,

               
     
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al'Ashr : 3)

Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling


tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.
Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi - nan tuo
dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat
kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik.
Sseperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. "Bukanlah dari golongan kami,
mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh
berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran ". (HR Turmudzi dan Ahmad).4

NILAI KEKERABATAN

4
DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.

41 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan

N
tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena
adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran
Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si
anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena
diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya.
Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan
dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung
halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan
baralah.
Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang
Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang
tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut,
baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata
tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan
menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila
masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau
yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam
kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara
perempuannya.
Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa
kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam
sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di
dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka - sepandam sepekuburan)
atau yang sepesukuan (yang sepayung sepenghulu), yang se surau, se sasaran
maupun yang se korong se kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari
dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang - nan bakaratan,
basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak
kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main.
Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan
membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap
tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di
nagari mamaga nagari.

42 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan


kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah
menurut ukuran umum.
Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba
kampuang atau cakak banyak ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan
sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk
memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak
mangato - adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi
Kitabullah.
Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.: "Bantulah saudaramu
yang menganiaya maupun yang teraniaya"; Ditanyakan: "Wahai Rasulullah, aku
-bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang
menganiaya ? ". Rasul menjelaskan: "Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya,
demikianlah bentukpertolongan kepadanya ".5

Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung


menyangkut masalah. Sabda Nabi saw. "Tidak mengapa (saling bersorak, tapi)
seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang
dianiaya". Dengan uraian penjelasan "Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia
dianiaya bantulah dia".6

Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku


mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam
masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara.
Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak
memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak
famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu
memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan
memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan.
Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika
mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan
berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari,
bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa
saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah

5
Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.
6
Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang pemuda Muhajirin
dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi semangat mendukung
kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.

43 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada


(tangan / kekuasaan) nya.7 termasuk dalam pengertian ini.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang
Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian
-yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga
di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan.
Budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan
binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan "co kambiang mangawan"8 terhadap
lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan
disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan
anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk
mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan 'rang
semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah9 nya secara kias, bila anak-
anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu
mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak
mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam
korong orang).
Nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium
(pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l: di cancang pua10 - ta garik andilau11;
(di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau).
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-
sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat
kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak
pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh
malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila
digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka
dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran.

7
Ibidem No. 1540.
8
"co kambiang mangawan" (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di manapun).
9
mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang semenda) di suatu
kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.
10
pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.
11
andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.

44 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau


menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika
sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang
Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera
Baratnya.
Ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan
harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di
perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang
menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan
menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara
sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber
gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka - si cerek12 ta bao
rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional
(melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk
jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa
mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu.
Perlu diungkap, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan
Firman Allah Swt:

            
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka
yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu 13.

Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak)


kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan
pencegahan secara langsung.
Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana14 yang berlaku di
Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak

12
sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat tradisional;
13
Q.S. 8-al Anfal/25
14
Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini, semula adalah
konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon, sebelumnya di kutip dari Hukum-
Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.

45 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa
mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam
hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang
luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan
pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja
mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber
masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang
bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang
Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se
kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara
moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak
mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari
pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo
manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis
lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai
sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka
tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak tersebut". (HR Bukhari)15

Atau dalam formula Minang akan disebut: "nagari ka samo kito uni, jalan
ka samo kito tampuah ". Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-
masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak
dirugikan.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya
Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti
rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams
beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum
yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya
untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang,

15
Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn 'Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993 M; sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Pcnyebab Gagalnya Dakwah"; lihat jilid 1
halaman 30.

46 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang
secara keseluruhan.

ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG


1 . Ancaman Dan Tantangan.
ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara
orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut
budaya - adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa
ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-
manenggang. Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal
oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional.
Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta
pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri)
bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada
kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang
dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan
diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan,
juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan
tersebut.
Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo
dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita
ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau. Dan
nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran
Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat.
Hadits Nabi saw menyebutkan, “Barang siapa yang memisahkan dirinya dari
jama'ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari
lehernya. (HR Bukhari)16.

Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat


Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah
dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari
pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang
dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila
terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh
karena hubungan adat akan dicabut.

16
Ibidem; lihat jilid 1 halaman23.

47 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha)


tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan
bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non
agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur
tradisional kekeluargaan orang Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang
tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas
bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil
pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris
terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya.
Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya
pun mengalami perubahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam
kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya,
tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya.
Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis
terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan
(sertifikat) atas nama mereka masing-masing.
Perubahan-perubahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi
beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak,
terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan
memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi,
sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu
dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan
kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun
masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila
turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa
pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-
sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak
surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang
oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan
bantuan pada kaum.
Bila kita melihat perjalanan hukum, telah berkali-kali kasus perkawinan dari
mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling), meskipun
kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak melarang perkawinan
demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini
diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang
dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.

48 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Lalu ada lagi sebutan: kok indak ameh di pinggang –dunsanak jadi
urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya
bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah
saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri
melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu
ditempatkan pada posisi yang benar.
Secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja
dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat.
Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-
embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan
sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada
kemungkinan secara internal dan ekstemal.
Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka
yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah
dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum
boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya
ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif,
berhak menerima zakat sebagai fakir atau miskin.
Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang
kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat
adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim
supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi
pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya
Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya
kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan
menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan
dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali-
setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara
hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya,
bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang
digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang
tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.

Peluang

49 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa


nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup
sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba
taratak ba koto asiang - ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu
kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya
menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik - sa iriang padijo Siangan,
sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi
dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas..
Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan.
Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami
betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan,
ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.

KESIMPULAN

A dapun kesimpulan dari pendapat yang dikemukakan di atas, bahwa yang


disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak,
pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya -
adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita
pelihara dengan revisi penyesuaian di sana-sini (usang-usang di barui,
lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada
generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu
dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.
Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-
tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga
disebut khalifah.
Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang
dibentuk.
Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi
penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah
tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri
mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:
Hendaklah takut pada azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang
seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan
yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan
politik.

50 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

ADAT BASANDI SYARAK (ABS), SYARAK BASANDI KITABULLAH (SBK)


Mambangkik Batang Tarandam ABS-BSK Nan Batujuan Supayo Anak
Nagari Minang Naknyo Jadi Pandai Manapiak Mato Padang, Indak
Takuik Manantang Matoari, Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di
Akhiraik Beko Masuak Sarugo
(Membangkitkan Kembali Kesadaran Kolektif Akan Nilai dan Norma Dasar
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Untuk Membangun Manusia
dan Masyarakat Minangkabau Yang Unggul Dan Tercerahkan)

Setitik Sumbangan Pikiran:

ABS SBK MERUPAKAN BATU POJOK BANGUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU YANG (DULU
PERNAH) UNGGUL DAN TERCERAHKAN
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil
kesepakatan (Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19)
dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan
Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik
bersenjata yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak
itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi
emas” selama selama lebih satu abad berikutnya. Dalam periode keemasan
itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin,
baik dari kalangan alim ulama ”suluah bandang anak nagari” maupun
”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik) yang
berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional.

51 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Mereka merupakan ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa


Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa
ini di pertengahan abad 20. Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang
dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah
tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau telah membuat
”Urang Awak” terwakili-lebih (”over-represented”) di dalam kancah
perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia ini. (Alhamdulillah,
Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak
piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and
economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah
menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bandang”) bangsa Indonesia ini.
ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial
budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan
tercerahkan. ABS-SBK dapat diibaratkan ”Surau Kito” tempat pembinaan
”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik
batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak
manantang mato ari, jo nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik
beko masuak Sarugo ”.
Namun, ”kutiko jalan lah di ubah urang lalu” dan ”lupo kacang di
kuliknyo”, maka robohlah ”Surau Kito”. Dan beginilah sekarang nasib atau
bagian peran yang berada di tangan etnis Minangkabau yaitu hanyalah
sekadar ”nan sayuik-sayuik sampai” atau nyaris tak terdengar. Baa ko kini
Baliau Angku Pangulu? Baa ko kini Buya kami? Baa ko kini Cadiak Pandai
kami?

MASYARAKAT MADANI MINANGKABAU ADALAH MASYARAKAT YANG BERADAT DAN BERADAB


Kegiatan hidup masyarakat dipengaruhi oleh berbagai lingkungan
tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling
mendasar adalah ”meta-environmental system” yaitu tatanan nilai dan
norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup
(PDPH). PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa
sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini
merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan
berbagai lembaga formal maupun informal.
Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-
batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi
”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat
aturan main dalam menata kehidupan bersama. (“humanly devised
constraints on actions; rules of the game.”). PDPH merupakan pedoman
52 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat


di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. PDPH
memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan
ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam
menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya
pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan
pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.

PDPH masyarakat Minangkabau yang dahulu itu (1800-1950) melahirkan


angkatan-angkatan “generasi emas” adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). ABS-SBK adalah PDPH yang menata seluruh
kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang
sesungguhnya.
Meta-environment yang dibentuk ABS-SBK sebagai PDPH membentuk
lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan
“macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat
nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk
kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau. Dengan demikian setiap dan
masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada
tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat
mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah
manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan. Maka
dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950)
merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.

MASYARAKAT BER-ADAT YANG BERADAB HANYA MUNGKIN JIKA DILANDASI KITABULLAH


Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para
filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan
Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau)
meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman
yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta
dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah
menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana”. Konsep ”Adaik
basandi ka mupakaik, mupakaik basandi ka alua, alua basandi ka patuik,
patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan
bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat
Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana,
Nan Badiri Sandirinyo” .

53 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang


dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”)
yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih,
mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato
Pusako. Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-
hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang
bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta
Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.

Sangat sedikit catatan sejarah dengan bukti asli/otentik tentang


bagaimana sesungguhnya bentuk dan keberhasilan masyarakat
Minangkabau di dalam menjalankan Adat yang bersendikan Nan Bana itu.
Sejarah yang dekat (dua tiga abad yang silam) menunjukkan bahwa di
dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Minangkabau banyak ditemukan
praktek-praktek yang kontra produktif bagi perkembangan masyarakat
seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain. Sejarah sebelum ABS-SBK
juga belum mencatatkan peran signifikan tokoh-tokoh berasal budaya
Minangkabau yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.

Sebaliknya, sesudah ABS-SBK, terjadi semacam lompatan kuantum


(”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-
kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul
menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kawasan ini.
Bagaimana gejala itu bisa diterangkan?. Masyarakat Minangkabau pra-ABS-
SBK adalah Masyarakat Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri
Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur
kebahasaan, hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-
hari tergantung kepada sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan
satu-satu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas
yang sebenarnya (Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu).
Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian
masyarakat menunjukkan bahwa ada kekurangan serta kelemahan dari Adat
Minangkakau Sebagai Peta Realitas serta Petunjuk Jalan Kehidupan
Bermasyarakat itu. Kekurangan utama yang menjadi akar dari segenap
kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas
itu yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana, Nan
Badiri Sandirinyo itu.

54 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Kekurangan utama (Peta yang tidak sama sebangun dengan Realitas) itu
melahirkan beberapa kekurangan. Kekurangan turunan pertama adalah Adat
Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan
Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta
yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai
adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan.
Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau
Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan
yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan
membawa kita ke mana-mana. Kekurangan selanjutnya, Adat yang menjadi
Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan
pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering
techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep
pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau
tidak dapat diterapkan. Singkat kata, akar segala kekurangan serta sebab-
musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta kurang-
kememadai-an itu adalah ketiadaan “hubungan satu-satu” antara
Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau Nan Bana, Nan Badiri
Sandirinyo itu.

Peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik


Marapalam dapat diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo,
pinang nan kambali ka tampuaknyo”. Dari Adat yang pada akhirnya
bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, disepakati
menjadi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK).
Ketika Adat hanya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo,
ada yang kurang dan hilang dalam tali hubungan keduanya, yaitu
antara Adat sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dengan Nan
Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu yang kita urai-jelaskan tadi.
Dengan diproklamasikannya Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak
Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai
Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan kembali dengan
Nan Bana, Nan Sabana-bana Nan Bana, Nan Sabana-bana Badiri
Sandirinyo.

Kitabullah adalah Al-Quran. Al Qur’an mengurai-jelaskan segala sesuatu


“tafshiila li kulli sya’iin” (Surat 12, Yusuf, ayat 111), atau dengan perkataan
lain “Peta Realitas Lewat Kebahasaan” yang pasti memiliki hubungan satu-

55 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

satu atau sama sebangun dengan Realitas itu (“al-haqqu min amri Rabbika”,
Al Qur’an).
Al Quran adalah juga Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan
Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur
Kebenaram. (“hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan” Q.S 2,
Al-Baqarah Ayat 184).

Penerapan Al-Qur’an yang merupakan Ajaran Allah menurut Teladan Nabi


Muhammad s.a.w. (atau Sunnah Rasulullah) telah mentransformasikan
masyarakat Jahiliyah empat belas abad yang lalu menjadi Pembawa Obor
Peradaban. Selama tidak kurang tujuh dari abad, kebudayaan dan
peradaban yang ditegakkan atas Ajaran Al Quran telah mendominasi Dunia
Beradab.
Kekalahan dan keterpinggiran yang terjadi sampai hari disebabkan
berbagai faktor yang utamanya karena meninggalkan ke dua panduan hidup
itu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. (Taraktu fi kuum amraiin, Al Quran wa
sunnaturarasuul,....... al hadith, ).
Itu pulalah yang tampaknya terjadi dengan Masyarakat Minangkabau
ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”. Walau berada
dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan,
yaitu zaman kolonialisme dan perjuangan melawan penjajahan, budaya
Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan
lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang
menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.
Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah
memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota
masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya
sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul
dan tercerahkan.

KRISIS BUDAYA MINANGKABAU MERUPAKAN MINIATUR DARI KRISIS PERADABAN MANUSIA


ABAD MUTAKKHIR
Budaya Minangkabau memang mengalami krisis, karena lebih dari
setengah abad terakhir ini tidak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki
peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional apatah
lagi di tataran kawasan dan tataran global. Budaya Minangkabau selama
setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial

56 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat


unggul dan tercerahkan.

Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau


menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf atau
Millennium ke Tiga ini. Salah satu isu yang menjadi kehebohan Dunia akhir-
akhir ini adalah isu Perubahan Iklim (“Climate Change”).
Perubahan Iklim telah dirasakan sebagai ancaman serius bagi
keberlangsungan / keberlanjutan keberadaan Umat Manusia di bumi yang
hanya satu ini. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia
yang memengaruhi lingkungan sedemikian rupa sehingga mengurangi daya-
dukungya sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan manusia.

Kemajuan ilmu yang dapat dianggap sebagai “Peta Alam Terkembang”


telah menambah pemahaman manusia akan bagaimana bekerjanya alam
semesta ini, sehingga “manusia mampu menguasai alam”. Penerapan ilmu
dalam berbagai teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk
memanfaatkan alam sesuai berbagai keinginan manusia.
Terjadinya Perubahan Iklim menunjukkan bahwa “penguasaan manusia
terhadap alam lingkungan” telah menyebabkan perubahan yang tidak dapat
balik (“irreversible”) terhadap alam itu sendiri. Dan ternyata, Perubahan
Iklim sangat mungkin mengancam keberadaan manusia di muka bumi ini.

Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab.


Kemungkinan pertama, mungkin Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang tidak
mampu memperkirakan terlebih dahulu apa yang sekarang telah menjadi
Perubahan Iklim yang tidak dapat balik itu. Dengan perkataan lain Ilmu
sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas
Di Alam Nyata. (Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah dimana “ignora
mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu
atau memiliki ilmu tentang itu.
Kemungkinan kedua, para ilmuwan telah “lebih dahulu memahami apa
yang bakal terjadi”, namun tidak memiliki ilmu yang dapat diterapkan
untuk merubah perilaku manusia dan masyarakat. Jadi, Peta Ilmuwan
tentang Manusia dan Masyarakat tidak sama dengan Realitas Di Dalam Diri
Manusia Dan Masyarakat. Singkat kata, apa yang ada dalam benak
manusia moderen (baik ilmu maupun isme-isme) yang menjadi
57 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

kesadaran kolektif yang secara keseluruhan membentuk Pandangan


Dunia dan Pandang Hidup (PDPH) mereka ternyata tidak sama sebangun
dengan Realitas. Dengan begitu, ketika PDHP itu menjadi acuan perilaku
serta kegiatan perorangan dan bersama-sama, tentu saja dan pasti telah
membawa kepada bencana, antara lain, berupa Perubahan Iklim yang
kemungkinan besar tidak dapat balik itu.
Manusia moderen sangat berbangga dengan berbagai isme-isme yang
dikembangkannya serta meyakini kebenarannya di dalam memahami
manusia serta mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat.
Kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain telah menjadi semacam berhala
yang dipuja serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat di kebanyakan
belahan Dunia. Hasil penerapan isme-isme itulah yang sekarang memicu
berbagai krisis global di Millennium atau Alaf Ketiga ini.
Jika kita merujuk kepada Kitabullah, yaitu Al-Qur’an, kita akan
menemukan gejala dan sebab-sebab dari Perubahan Iklim yang mendera
Umat Manusia. Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan: “.....Telah menyebar
kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia” .
Perilaku manusia-lah penyebab semua kerusakan itu.
Dan penyebab perilaku merusak manusia ialah penyembahan berhala,
berupa ilmu ataupun isme-isme yang ternyata tidak memiliki
hubungan satu-satu dengan kenyataan di alam semesta termasuk
di dalam diri manusia dan masyarakat. Salah satau ayat dalam Al-
Qur’an Surat 12, Yusuf , Ayat 40, sebagai berikut

        
                 
               
       
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-
nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”

Keyakinan, yang tidak berdasar, akan kebenaran isme-isme itulah yang


dapat digolongkan sebagai berhala berupa semacam pemujaan oleh
manusia moderen. Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menguji

58 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang
sesungguhnya ada dalam Realitas.
Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan Ilmu hasil
pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja”
atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-
Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan
hawa nafsunya”.
Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan
keselamatan di alam semesta paling tidak dalam menjalani kehidupan di
Dunia ini? Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia tidak ditinggalkan di
dalam kebingungan. Diturunkanlah para Rasul dengan membawa Kitab Suci,
yang paling terakhir Al Qur’an sebagai Peta Realitas serta Petunjuk dan
Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari
Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram dalam menjalani hidup di
bumi yang fana ini.
Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan
karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini
berupa isme-isme karena mereka telah menuhankan diri dan nafsu mereka
sendiri. Kebanyakan manusia moderen telah menjauh dari agama langit,
bahkan dari agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan
kegiatan mereka.
Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di
abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK
sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan
kenyataan kehidupan sehari-hari. Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas
serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini
gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian
manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan
MASYARAKAT UNGGUL DAN TERCERAHKAN MAMPU MENCETAK SDM UNGGUL YANG
TERCERAHKAN YAITU PARA ULUL ALBAAB.
Siapakah manusia unggul yang tercerahkan itu. Barangkali konsep yang
menyamai serta t digali dari Al-Qur’an adalah para “Ulul Albaab”. Dalam
Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194 , disebutkan sebagai berikut
‫) اّلذِينَ َي ْذكُرُونَ اللّ َه ِقيَامًا َو ُقعُودًا وَعَلَى‬190( ‫ب‬ ِ ‫ختِلَافِ الّليْلِ وَال ّنهَارِ لَآيَاتٍ ِلأُولِي الَْأ ْلبَا‬ْ ‫سمَاوَاتِ وَالَْأرْضِ وَا‬ ّ ‫خلْقِ ال‬ َ ‫ن فِي‬ ّ ِ‫إ‬
)191(
ْ‫َرّبنَا ِإّنكَ مَن‬ ‫ب النّا ِر‬َ ‫عذَا‬َ ‫س ْبحَا َنكَ َف ِقنَا‬
ُ ‫ت َهذَا بَاطِلًا‬ َ ‫ت وَالَْأرْضِ َرّبنَا مَا خَلَ ْق‬ ِ ‫سمَاوَا‬ّ ‫خلْقِ ال‬ َ ‫ن فِي‬ َ ‫جنُو ِبهِمْ َو َيتَ َفكّرُو‬
ُ
)192(
‫ن آ ِمنُوا بِ َرّبكُ ْم فَآ َمنّا َرّبنَا‬ْ َ‫س ِم ْعنَا مُنَا ِديًا ُينَادِي لِ ْلإِيمَانِ أ‬
َ ‫َرّبنَا ِإّننَا‬ ‫خلِ النّا َر َف َقدْ َأخْ َز ْيتَهُ َومَا لِلظّاِلمِينَ مِنْ َأنْصَا ٍر‬ ِ ْ‫تُد‬

59 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

)193(
‫سِلكَ َولَا تُخْ ِزنَا يَوْمَ ا ْل ِقيَامَةِ ِإّنكَ لَا‬
ُ ُ‫ع ْدتَنَا عَلَى ر‬
َ َ‫َرّبنَا وَآ ِتنَا مَا و‬ ‫سّيئَا ِتنَا َوتَ َو ّفنَا مَعَ الَْأبْرَا ِر‬
َ ‫عنّا‬
َ ‫غفِرْ َلنَا ُذنُوبَنَا َو َكفّ ْر‬ْ ‫فَا‬
194(
ُ ِ‫)تُخْل‬
‫ف ا ْلمِيعَا َد‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(3:190).(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(3:191).Ya Tuhan kami,
sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka
sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada seorang penolong pun bagi
orang-orang yang zalim.(3:192).Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-
dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan
wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(3:193)Ya Tuhan kami,
berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan
rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat.
Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."(3:194)

Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan
tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang
lain di luar dirinya. Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna
yang berada disebalik tanda itu.
Misalnya, kalau kita memperhatikan bahwa bulan menyajikan berbagai
bentuk di langit pada malam hari – mulai dari garis lengkung putih
berangsur jadi bulan sabit, akhirnya jadi bulan purnama untuk kembali lagi
mengecil – kita sebagai makhluk yang memiliki keingin-tahuan yang besar
akan bertanya:”Kenapa demikian? Apa yang membuatnya demikian?
Bagaimana prosesnya?”. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir
yang terarah.
Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan
perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan”
yang dipikirkan. Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh
“ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara
meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan
maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.
Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di
dalam dirinya zikir dan fikir menyatu. Zikir disini bukan sekadar mengingat
Allah s.w.t dengan segala Asmaul-Husna-Nya, tapi harus dipahami lebih luas
sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan
segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk
Ciptaan-Nya.

60 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran
Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan
diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama
(Uswatun Hasanah).
Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan
serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman
kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah.
Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan
sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat
Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul
albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat.
Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako
“Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari,
Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.

Wallahu’alaam bissawaab
Hanya dari Allah berasal semua kebenaran

GAMBARAN BUDAYA MINANGKABAU


SEBELUM DAN SESUDAH ABS-SBK

Usulan bagi Satu Pendekatan

Sebelum peristiwa Piagam Sumpah SatieBukik Marapalam, budaya


Minangkabau dapat digambarkan lewat diagram di bawah ini.

61 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

GAMBARAN BUDAYA MINANG KETIKA ADAT BERSUMBER DARI


NAN BANA, NAN BADIRI SANDIRINYO (SEBELUM ABS-SBK)
NAN-BANA,
NAN BADIRI
SANDIRINYO •Nan Rancak dan Nan Elok
•Tanah Ulayat
ALAM •Harta milik kaum
TAKAMBANG •Hukum/Cupak
Sikap Umum
•Tigo Tungku Sajarangan
Animis, Hindu, •Balai Adat
Budha Filsafah berdasar •Taratak, Nagari
Dilestarikan lewat logika

Adat Nan Sabana Adat


(Pandangan Dunia & Memengaruhi
Praktek-2 Pandangan Hidup)
penyembahan

Sarana
Pengungkapan Tata-cara •Adat istiadat
•Musyawarah Muapakaik
Pergaulan
•Sistim kekeluargaan
Masyarakat •Matrilinial
•Pangulu
•Mamak, Tungganai,
Benda &
Seni Musik/ •Pidato Adaik
Bahasa Seni Tari/ Bangunan •Komunikasi informal
(Rumah Bagonjong) •Komunikasi non-verbal
Seni Beladir
Direkam lewat

Kato Pusako

Sastera
Lisan

Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan
memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan
Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru. Dari
pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri
manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau. Konsep dasar
Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) kemudian menjadi kesadaran
kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan
masyarakat Minangkabau. Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama
serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan
yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.

Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa,
terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki
tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama
Hindu/Budha). Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun
yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako.
Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-
pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato
Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll.

62 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

PDPH Masyarakat Minangkabau juga diungkapkan seni musik (saluang,


rabab), seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang), dan seni bela diri
(silek dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu,
mawara dll), bangunan (rumah bagonjong)
serta artefak lain-lain mengungkapkan wakil fisik dari konsep PDPH Adat
Minangkabau. sehingga masing-masing menjadi lambang dengan berbagai
makna.

Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana
Adat) memengaurhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal
sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.

Peristiwa yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam telah


merubah konstruksi gagasan dasar dan penerapannya dalam Adat
Minangkabau. Tampaknya dahulu itu tekah terjadi asimilasi (atau
pemesraan) yang cukup padu antara Islam dengan Kitabullah serta Adat Nan
Sabana Adat (Konsep Dasar Adat sebagai PDPH) yang selanjutnya
memengaruhi Adat Nan Taradat dan Adat Istiadat.

GAMBARAN BUDAYA MINANG BERDASAR SUMPAH SATIE ABS-SBK

ALLAH S.W.T

•Nan Rancak dan Nan Elok


•Tanah Ulayat
Peta Alam Semest KITABULLAH
(Al-Qu’an & ALAM SEMESTA •Harta milik kaum
&Petunjuk/Pedoman
Sikap Umum •Hukum/Cupak
Hidup Manusia Sunnah Rasul
•Tigo Tungku Sajarangan
•Balai Adat
•Musajik/Surau
Dilestarikan lewat
•Taratak, Nagari

ABS-SBK SEBAGAI
PANDANGAN DUNIA &
Memengaruhi
PANDANGAN HIDUP
Ibadah Mahdah
Di Masjid/Surau

Sarana
Pengungkapan Tata-cara •Musyawarah/mupakaik
•Adat istiadat
Pergaulan
•Sistim kekeluargaan
Masyarakat •Matrilinial
•Pangulu
•Mamak, Tungganai,
Benda &
Seni Musik/ •Pidato Adaik
Bahasa Bangunan •Komunikasi informal
Seni Tari/
(Rumah Bagonjong) •Komunikasi non-verbal
Seni Beladir
Direkam lewat

Kato Pusako

Sastera
Lisan

63 H Mas’oed Abidin
Minangkabau dan Sistim Kekerabatan

ABS-SBK sekarang menjadi konsep dasar Adat (Adat Nan Sabana Adat)
diungkapkan, antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako.
ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat.

Barangkali langkah yang perlu kita lalui adalah:


1) Kompilasi
2) Kategorisasi
3) Kajian:
1. Tema
2. Aspek kehidupan perorangan
3. Aspek-aspek kehidupan masyarakat
4. Simpulan: Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup Dasar
Masyarakat
(Bagaimana Adat Minangkabau menyatu-padukan aplikasinya
dengan Kitabullah atau bagaimana Islam diamalkan dalam konteks
budaya Minangkabau)
H Mas’oed Abidin, Padang , 7 April 2008

64 H Mas’oed Abidin

You might also like