Professional Documents
Culture Documents
Daerah (LKPD)
DKI Jakarta Tahun 2004
Pendahuluan
Sejak adanya reformasi penataan pemerintahan dari sistem sentralisasi menuju
desentralisasi yang diawali dengan terbitnya UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 2 yang berbunyi :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masingmasing mempunyai
pemerintahan daerah.
(2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah,
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah
Dengan kata lain pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.
Hal ini mengungkapkan bahwa sesungguhnya konsep nilai kebebasan telah menyentuh
pada aspek kehidupan manusia yang paling mendasar. Hal ini dibuktikan melalui:
1. Adanya kemitraan yang sejajar antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah.
Melalui kemitraan ini, maka proses pembangunan dapat dilaksanakan dengan rencana
yang lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat dan menciptakan pertanggungjawaban yang
transparan. Hal ini ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 3 ayat 1 yang
berbunyi :
a. Pemerintahan daerah Propinsi yang terdiri atas Pemerintah daerah propinsi dan
DPRD propinsi.
b. Pemerintahan daerah Kabupaten/ Kota yang terdiri atas Pemerintah daerah
Kabupaten/ Kota dan DPRD Kabupaten/ Kota.
3. Letak otonomi berada pada Kabupaten/ Kota bukan Propinsi kecuali Propinsi DKI Jakarta.
Hal ini dimaksudkan agar pembangunan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan serta diimbangi dengan kemampuan daerah masing-masing. Dengan dasar
pembangunan daerah yang seperti itu, maka hasil pembangunan dapat lebih dirasakan
dan dipelihara dengan penuh tanggung jawab.
Untuk menjalankan pembangunan daerah tersebut, UU No 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara telah juga memberikan otonomi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 diatur hal-hal yang menjadi hak daerah khusunya dalam pasal
21 menyatakan :
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan
Otonomi di bidang keuangan daerah ini antara lain adalah melalui transfer pembiayaan dari
pusat ke daerah melalui dana perimbangan yang diatur dalam UU tersendiri yaitu UU No 25
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 33 Tahun 2004. Dengan demikian,
otonomi daerah tidaklah hanya memberikan kewenangan atas pelaksanaan pembangunan
tetapi juga dibarengi dengan kewenangan untuk mengelola keuangannya. Dengan
kebebasan melalui otonomi tersebut, diharapkan hasil pembangunan dapat dirasakan oleh
rakyat Indonesia secara merata dan adil. Untuk itu, peran kepala daerah menjadi sangat
strategis dan signifikan. Signifikansi peran tersebut harus dibarengi dengan kemampuan
kepala daerah sebagai pemimpin sekaligus sebagai manajer dalam pengelolaan daerah.
Namun kemampuan tersebut tidak akan berarti apabila kepala daerah tidak memiliki
kemauan untuk menciptakan Good Governance di lingkungan pemerintahannya.
Pada LKPD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2004, pemerintah daerah baru dapat menyelesaikan
3 Jenis Laporan Keuangan yaitu Laporan Realisasi APBD, Neraca, dan Laporan Arus Kas.
Sedangkan Catatan atas Laporan Keuangan baru dapat dilaksanakan oleh Pemda pada LKPD
TA 2006.
Uraian secara ringkas mengenai hasil pemeriksaan atas Laporan Realisasi APBD, Neraca dan
Laporan Arus Kas adalah sebagai berikut :
Dalam penyajian laporan realisasi APBD, pendapatan, belanja, dan pembiayaan diakui
berdasarkan basis kas, yaitu pada saat kas diterima atau dikeluarkan dari Kas Umum
Daerah (KUD). Sedangkan penyajian Neraca, aset, kewajiban, dan akuitas dana diakui
berdasarkan basis akrual, yaitu pada saat diperolehnya hak atas aset dan timbulnya
kewajiban tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dikeluarkan dari
KUD.
Berbeda halnya dengan akuntansi untuk sektor privat, akuntansi sektor publik tidak
memasukkan basis akuntansi sebagai asumsi dasar, akan tetapi memasukkan sebagai
prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan. Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan
keuangan pemerintah adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan
pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk pengakuan aset
kewajiban dan ekuitas dalam neraca.
Analisis LKPD
Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang terkandung dalam laporan keuangan
suatu instansi, maka perlu dilakukan analisis. Dengan melakukan analisis akan diketahui
kontribusi dan sumbangan masing-masing komposisi perkiraan terhadap kualitas laporan
keuangan. Menurut Wild, Subramanyam dan Halsey (2003), beberapa teknik yang sering
digunakan yaitu: (1) comparative financial statement analysis, (2)common-size financial
statement analysis, (3) ratios analysis, (4)cash flow analysis and (5)valuation.
Dari segi belanja daerah, total belanja Daerah mencapai Rp 11.493.096.001.503,00. Jumlah
tersebut selanjutnya digunakan untuk belanja administrasi umum sebesar Rp
4.003.959.184.828,00 atau sebesar 34,83%, dan belanja operasi pemeliharaan (kegiatan
non investasi) sebesar Rp 3.912.349.306.820,00 atau sebesar 34,04%, belanja modal
sebesar Rp. 2.872.245.236.698,00 atau sebesar 24,99%, belanja bagi hasil & bantuan
keuangan sebesar Rp. 686.625.365.524,00 atau sebesar 5,97%, dan belanja tidak tersangka
sebesar Rp. 17.916.907.633,00 atau sebesar 0,17 %, Berdasarkan analisis belanja daerah
ternyata 34,83 % digunakan untuk belanja administrasi umum 34,04 % digunakan untuk
belanja operasi pemeliharaan dan sisanya untuk belanja lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar untuk biaya pegawai / personalia.
Dengan kata lain, pengeluaran untuk gaji, honor, dan tunjangan mengambil persentase
terbesar dari belanja daerah di mana sulit membedakan dan menjelaskan terhadap
perbedaan jenis tunjangan padahal objeknya tetap sama, yakni pegawai.
Sedangkan total debt to equity pemerintah daerah untuk tahun 2004 sebesar 0,0041 %
artinya setiap Rp 1 ekuitas dana pemerintah dapat menanggung utang sebesar Rp 0,0041
(5) Valuation.
Penilaian merupakan proses yang sangat penting dari berbagai jenis usaha dan analisis
laporan keuangan. Penilaian umumnya mengacu pada estimasi nilai intrinsik atau nilai
saham suatu perusahaan. Dasar penilaiannya menggunakan teori present value. Teori ini
menetapkan nilai dari utang atau modal adalah setara dengan jumlah seluruh penerimaan
dari modal yang di-discounted ke nilai sekarang dengan tingkat suku bunga tertentu. Teori
present value menggunakan konsep time value of money yang menetapkan nilai waktu
sekarang lebih besar dibandingkan dengan yang akan datang. Mengingat analisis laporan
keuangan dengan melakukan penilaian atas nilai instrinsik dan nilai buku dari saham suatu
entitas, maka analisis ini tidak bisa diterapkan mengingat ekuitas yang dimiliki pemerintah
berbeda dengan ekuitas yang ada pada perusahaan swasta.
Kesimpulan
Upaya pemerintah untuk melakukan reformasi dalam otonomi daerah khususnya di bidang
keuangan daerah telah berhasil dilakukan. Hal ini bisa dilihat dari telah diterbitkannya dan
dipublikasikannya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, walapun menurut hasil audit yang
dilakukan, BPKRI masih memberikan pendapat ”wajar dengan pengecualian”. Artinya
Laporan Keuangan Provinsi DKI JakartaTA 2004 telah disajikan secara wajar untuk semua hal
yang material sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang ditetapkan di dalam berbagai peraturan
perundangan yang berlaku kecuali akibat atas hal-hal salah saji yang material yang terdiri
dari salah saji karena belum disajikan meliputi seluruh transaksi yang ada pada pada tiga
akun yaitu Piutang Lain-lain-Piutang TP/TGR, AktivaTetap-Bangunan Monumen dan Aktiva
Lain-lain- Bangunan dalam Pengerjaan, karena adanya kelebihan pembayaran kepada pihak
ketiga dan tidak diselesaikannya pelaksanaan pembangunan fisik pekerjaan sesuai
perjanjian pekerjaan, dan salah saji karena disajikan tidak sesuai kebijakan akuntansi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu pada akun Penyertaan Modal Saham.
Namun harus disadari bahwa opini bukanlah satu-satunya output dalam pemeriksaan atas
LKPD. Output tersebut merupakan output utama disamping output yang diperoleh sebagai
ekses dari aktivitas pemeriksaan yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan.
Sehingga dalam pemeriksaan atas LKPD dimungkinkan BPK menghasilkan laporan hasil
pemeriksaan tentang sistem pengendalian intern dan laporan hasil pemeriksaan kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditemukan dalam kerangka
pemeriksaan laporan keuangan. Tiga produk inilah yang akan disampaikan kepada lembaga
perwakilan sesuai kewenangannya dan kepala daerah untuk ditindaklanjuti. Laporan hasil
pemeriksaan kepatuhan maupun pengendalian intern pada pemeriksaan keuangan secara
prinsip pengungkapannya adalah tidak berbeda dengan pengungkapan temuan pada
pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Temuan tersebut pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi temuan yang berindikasi kerugian negara, temuan yang
mengungkapkan kekurangan penerimaan, temuan yang bersifat administratif, temuan yang
mengungkapkan ketaatan dan ketertiban, serta temuan- temuan dalam kelompok
kehematan dan efisiensi. Satu hal yang perlu ditekankan bahwa tidak semua temuan yang
mengungkapkan kerugian negara adalah temuan yang mengandung unsur tindak pidana
korupsi (TPK).
Pemeriksaan yang dilakukan BPK akan bermanfaat apabila rekomendasi tersebut dapat
menciptakan pengeloaan keuangan yang transparan dan akuntable di pemerintahan. Hal ini
dapat terjadi apabila pemerintah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Dengan tindak
lanjut tersebut diharapkan pengelolaan pemerintahan yang baik (Good Governance) tidak
hanya menjadi tataran teori saja.