You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam lingkungan sekolah, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah

menengah pertama (SMP) mengacu pada KTSP 2006 mencakup empat aspek

ketrampilan bahasa, yaitu keterampilan mendengarkan, membaca, berbicara dan

menulis. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang merupakan perangkat dan

perencana yang berorientasi pada pembelajaran berbasis kompetensi serta hasil

belajar yang harus dicapai siswa, penilaian kegiatan belajar mengajar dan

pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah

KTSP yang bertujuan pada pendidikan dasar yaitu meletakkan dasar kecerdasan,

pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan

mengikuti pendidikan lebih maju dan lebih termotivasi (Muslich 2007:29).

Sesuai dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia kelas

VII SMP mengenai isi dan bahan pengajaran, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi

yang digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin

disampaikan oleh guru kepada siswa, materi pengajaran bahasa dan sastra Indonesia

juga diarahkan dan dititikberatkan pada fungsi bahasa itu sendiri. Isi dan bahan juga

harus lebih menunjang pada pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut,

ruang lingkup mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga menyangkut segi

penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, mengerti, mengapresiasi sastra dan

kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia dengan benar. Sebagai bahan penelitian

1
yang sesuai dengan standar kompetensi yang ada di SMP kelas VII yaitu menulis

cerita secara sistematis.

Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan yang masih banyak

terdapat kendala dalam pengaplikasiannya. Buktinya siswa kelas VII SMP Negeri 2

Muara Batu kurang mampu dalam menulis cerita secara sistematis, seperti cerita

dongeng, serta rendahnya penguasaan bahasa tulis secara sempurna yang

mengkibatkan siswa tidak termotivasi dalam kegiatan proses belajar mengajar

terutama dalam menulis cerita khususnya dalam menulis cerita dongeng. Meraka

tidak mampu menggunakan kata-kata yang sesuai dengan ketentuan dalam ejaan

bahasa Indonesia dengan benar tanpa ada kesalahan.

Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang bersifat ekpresif dan

produktif. Terampil dalam menulis berarti terampil mengungkapkan gagasan secara

tertulis. Bentuk keterampilan menulis diantaranya mampu merangkai cerita menjadi

urutan yang menarik dan bisa diterima oleh khalayak ramai. Kemampuan siswa

dalam menulis dapat menjadi tolak ukur kemauan dalam menulis.

Menulis cerita merupakan kegiatan menuangkan gagasan / ide dalam sebuah

karangan secara tertulis untuk dapat dipahami oleh khalayak ramai. Dalam menulis

cerita sangat memerlukan kemampuan menguasai kosa-kata dan kelengkapan

kalimat agar tulisan yang ditulis dapat dipahami dengan tujuan cerita yang ditulis

bisa membuat pembaca merasa tertarik.

Menulis cerita secara sistematis membutuhkan pengetahuan dan penyerapan

terhadap kata-kata agar tarcipta sebuah tulisan yang memiliki keterkaitan (koherensi)

antara kalimat dengan kalimat, agar penyusunan cerita bisa menarik dan bisa

2
diterima oleh khalayak ramai. Ciri utama tulisan yang baik adalah tulisan yang

penggunaan poss dan fungsinya sesuai kaidah ejaan bahasa Indonesia Mulyono

(1988: 33) adalah aturan dalam penulisan.

Menulis cerita secara sistematis khususnya dalam menulis cerita dongeng

telah menggugah perhatian penulis untuk membahas secara rinci dan sistematis

tentang kemampuan dalam menulis. Untuk memperoleh informasi factual, penulis

akan mengadakan suatu penelitian dengan judul “Kemampuan Siswa Kelas VII SMP

Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara Dalam Menulis Cerita Secara

Sistematis”.

1.2 Rumusan Masalah

Terjadinya suatu penelitian karena masalah dan setiap masalah memerlukan

penyelesaian. Akan tetapi masalah yang akan dipecahkan haruslah terbatas ruang

lingkupnya. Dengan adanya pembatasan masalah ini akan memudahkan dalam

melaksanakan penelitian.

Sehubungan dengan uraian di atas yang menjadi masalah penelitian ini adalah

“apakah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara mampu

dalam menulis cerita secara sistematis?”

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam mencari sebuah permasalahan dalam penelitian mesti ada tujuan yang

konkrit, berikut ini penulis jabarkan baik tujuan secara umum maupun khusus:

3
1.3.1 Tujuan umum

Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi kalangan guru dan sosial, dengan

adanya metode seperti ini memudahkan orang dalam menguasai bahasa dengan benar

khususnya dalam menulis bahasa Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan

siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis

cerita secara sistematis.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoretis maupun

praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Untuk memberikan masukan bagi teori pembelajaran menulis dan dipahami

sebagai bahan penelitian lebih lanjut. Pemanfaatan media pembelajaran mendukung

pencapaian tujuan pembelajaran, khususnya pada pembelajaran menulis carita secara

sistematis.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru, siswa,

sekolah, dan peneliti.

Bagi guru, penelitian ini memberikan masukan pada guru terutama dalam

menulis cerrita yang tepat dan variatif bagi pembelajaran menulis. Selain itu, supaya

guru menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan tidak membosankan

ketika proses belajar mengajar berlangsung.

4
Manfaat penelitian ini bagi siswa yaitu dapat membantu siswa dalam

mengatasi kesulitan pembelajaran menulis cerita secara sistematis dan memotivasi

siswa untuk belajar.

Manfaat penelitian bagi sekolah yaitu sebagai referensi bagi sekolah tentang

pentingnya media pembelajaran. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi

masukan bagi sekolah agar sekolah menyediakan sarana dan prasarana yang dapat

mendukung proses pembelajaran yang bisa membuat siswa tertarik dalam belajar

bahasa Indonesia khususnya dalam menulis cerita secara sistematis.

Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi

penelitian lanjutan yang berhubungan dengan keaktifan siswa dan memberi masukan

jika kelak peneliti menjadi seorang pengajar supaya dapat menciptakan kegiatan

belajar mengajar yang menarik bagi siswa.

1.5 Anggapan Dasar Dan Hipotesis

1.5.1 Anggapan Dasar

Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis berlandaskan pada beberapa

anggapan dasar sebagai berikut:

1. Pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran wajib di

sekolah menengah pertama (SMP).

2. Menulis cerita secara sistematis merupakan lanjutan pelajaran bahasa

Indonesia.

3. Mampu tidaknya dalam menulis cerita secara sistematis.

5
1.5.2 Hipotesis

Hipotesi merupakan dugaan sementara dan akan terbukti setelah penelitian

dilakukan. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah kelas VII SMP Negeri 2

Muara Batu Kabupaten Aceh Utara belum mampu menulis cerita secara sistematis.

1.6 Defenisi Istilah

1. Kemampuan adalah tingkat penguasaan, tingkat kemahiran, kompetensi siswa

dalam menulis cerita.

2. Menulis adalah menempatkan simbol – simbol grafik yang menggambarkan suatu

bahasa yang dimengerti oleh seseorang, kemudian dapat dibaca oleh orang lain yang

memahami bahasa tersebut beserta simbol – simbol.

3. Cerita adalah karangan yang mengisahkan terjadinya suatu peristiwa, kejadian,

pengalaman, atau penderitaan seseorang, baik yang benar-benar terjadi atau hanya

bersifat khayalan.

4. Sistematis adalah segala usaha untuk meguraikan dan merumuskan sesuatu dalam

hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti

secara utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat

menyangkut obyeknya.

6
BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Pengertian Menulis

Menulis adalah menyampaikan ide atau gagasan dan pesan dengan

menggunakan lambang grafik (tulisan). Tulisan adalah suatu system komunikasi

manusia yang menggunakan tanda-tanda yang dapat dibaca atau dilihat dengan

nyata. Tarigan (dalam Agus Suriamiaharja, 1996 : 1), mengembangkan bahwa :

“Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang – lambang grafik yang

menggambarkan suatu bahasa yang dipakai oleh seseorang, sehinga orang lain dapat

membaca lambang – lambanga grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan

gambaran grafik tersebut “. Sedangkan Robert Lodo (dalam Suriamiaharja, 1996 : 1),

mengatakan bahwa : “Menulis adalah menempatkan simbol – simbol grafik yang

menggambarkan suatu bahasa yang dimengerti oleh seseorang, kemudian dapat

dibaca oleh orang lain yang memahami bahasa tersebut beserta simbol – simbol

grafiknya”.

Menulis merupakan suatu medium yang penting untuk ekspresi diri pribadi,

untuk berkomunikasi, dan untuk menemukan makna. Kebutuhan-kebutuhan tersebut

semakin bertambah oleh adanya perkembangan media baru untuk komunikasi massa.

Oleh karena itu, praktik latihan dan studi menulis tetap merupakan bagian yang

signifikan (penting) dari kurikulum sekolah dan menjadi bagian sentral dalam

pengajaran bahasa Indonesia.

Keterampilan menulis dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak

langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Selain itu, keterampilan

7
menulis tidak datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik

yang kontinyu dan teratur.

Menulis menurut Akhadiah, dkk. (1988:2) adalah kemampuan kompleks,

yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan. Dengan menulis, penulis

terdorong untuk terus belajar secara aktif. Penulis menjadi penemu sekaligus

pemecah masalah, bukan sekadar menjadi penyadap informasi dari orang lain.

Penulis akan lebih mudah memecahkan permasalahannya, yaitu menganalisisnya

secara tersurat dalam konteks yang lebih kongkret. Kegiatan menulis yang terencana

akan membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kemampuan

seseorang dalam melukiskan lambang – lambang grafik untuk menyampaikan ide

atau gagasan yang bisa dimengerti oleh orang lain. Menuangkan gagasan kedalam

tulisan memudahkan orang dalam memahami makna dari sebuah bahasa.

2.1.1 Tahap-Tahap Menulis

Kita dapat melakukan kegiatan penulisan itu sebagai satu kegiatan tunggal

jika yang ditulis ialah sebuah karangan yang sederhana, pendek, dan bahannya sudah

siap di kepala. Akan tetapi, sebenarnya kegiatan menulis itu adalah suatu proses,

yaitu proses penulisan. Ini berarti seorang penulis dalam melakukan kegiatannya

harus melalui beberapa tahap, yaitu tahap pramenulis, tahap penulisan, dan tahap

revisi. Ketiga tahap penulisan itu menunjukkan kegiatan utama yang berbeda

(Akhadiah 1986:1-3).

Akhadiah (1988:3-5) membagi tahap-tahap dalam menulis menjadi tiga

tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi.

8
2.1.1.1 Tahap Permulaan (Prapenulisan)

Tahap prapenulisan, ditentukan hal-hal pokok yang akan mengarahkan

penulis dalam seluruh kegiatan penulisan itu. Tahap ini merupakan tahap

perencanaan atau persiapan penulis dalam menulis dan mencakup beberapa langkah

kegiatan yaitu menentukan topik, membatasi topik, menentukan tujuan, menentukan

bahan, dan menyusun cerita.

a.Tahap Pemilihan dan Pembatasan Topik

Untuk menciptakan tulisan yang koheren dan kohesif, semua penulis harus

terlebih dahulu melalui tiga tahapan menulis yaitu, pra penulisan, penulisan dan

pasca penulisan. Sebelum mulai menulis cerita dongeng tugas seorang penulis adalah

menentukan topik dari permasalahan. Pemilihan tema adalah langkah awal yang

dilakukan penulis dalam pra penulisan. Tema adalah pokok pikiran pengarang yang

merupakan patok uraian dalam suatu tulisan. Untuk penulis pemula sebaiknya,

mencari tema yang paling di kuasai agar nantinya dalam proses penulisannya dapat

dengan mudah mengembangkan tulisannya. Topik untuk sebuah cerita dapat dicari

disekeliling lingkungan penulis. Hal ini karena topik dari sebuah harus merupakan

suatu fakta dan fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat serta membutuhkan

suatu penyelesaian. Dalam hal ini, Keraf (1994:111) mengemukakan bahwa syarat-

syarat yang harus dimiliki oleh sebuah topik adalah, 1) topik harus menarik, 2) topik

tidak terlalu luas, 3) topik harus dikuasai penulis.

1) Topik Harus Menarik

Topik yang dipilih penulis dalam menulis cerita dongeng harus menarik.

Artinya, setiap topik yang dipilih harus mempunyai daya tarik penulis. Daya tarik

9
penulis terhadap topik yang dipilih sangat menentukan keberlangsungan penulisan

dongeng yang akan ditulis. Apabila penulis cerita dongeng mempunyai daya tarik

terhadap topik yang yang diberikan oleh pengajar, akan memberi motivasi kepada

penulis dalam menentukan tahap selanjutnya. Selain itu, penulis juga dapat

melakukan berbagai usaha agar cerita dongeng yang ditulis membuahkan hasil yang

menarik. Efek lain yang timbul dari ketertarikan penulis terhadap cerita yang ditulis

adalah penulis mau membaca buku-buku atau media tulis lainnya yang berhubungan

dengan topik yang yang diberikan oleh pengajar.

Akan tatapi, jika topik yang diberikan oleh pengajar tidak punya daya pikat

penulis, maka cerita dongeng yang dibuat akan sia-sia dan isinya pun tidak menarik

untuk dibaca. Cerita dongeng yang telah dibuat dengan topik yang tidak menarik

akan membuat penulis merasa bosan. Apalagi setiap cerita ditulis pada dasarnya

selalu ditampilkan atau didiskkusikan. Jadi, jika topik yang diberikan tidak menarik

maka, masalah yang dianggap penting oleh pengajar tidak akan berlaku bagi penulis.

Keraf (1994:111) mengemukakan “topik yang menarik perhatian penulis

akan berusaha secara terus-menerus mencari data-data untuk memecahkan masalah

yang dihadapinya. Penulis akan didorong secara terus menerus agar dapat

menjelaskan itu sebaik-baiknya. Sebaliknya suatu topik yang sama sekali tidak

disenangi malahan akan menimbulkan kekesalan bila terdapat hambatan-hambatan.

Penulis tidak akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan data dan fakta untuk

memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi penulis”.

10
2) Topik Tidak Terlalu Luas

Memilih topik untuk sebuah cerita sangat sukar dilakukan oleh seorang

penulis, terutama penulis pemula. Hal ini disebabkan keringnya pengetahuan yang

dimiliki oleh seorang penulis terhadap penulisan cerita. Pemilihan topik yang

diberikan oleh pengajar untuk penulis pemula jangan terlalu luas. Karena dengan

topik yang luas mereka beranggapan akan membuat cerita yang ditulis akan

berantakan, karena ketika penulis dihadapkan pada pembahasan mengenai topik yang

dipih akan muncul kesulitan. Kesulitan yang dihadapi adalah pada saat penulis

memulai menulis cerita dengan topik yang telah diberikan oleh pengajar. Biasanya

penulis seperti ini tidak apa, dimana, kapan sebenarnya harus dimulai penulisan

tersebut. Namun, intinya setiap penulis yakin pada topik yang telah dipilih itu sempit.

Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah pembatasan topik yang telah dipilih

jangan terlalu luas.

Cara-cara membatasi sebuah topik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan.

Pertama, tempatkan tempat yang ingin dibatasi dalam satu kedudukan yang tepat.

Selanjutnya, ajukan pertanyaan-pertanyaan secara terperinci terhadap kedudukan

topik tersebut kepada penulis.

3) Topik Harus Dikuasai Penulis

Dalam menulis cerita dongeng setiap topik yang diberikan oleh pengajar,

hendaknya harus dikuasai penulis. Artinya, penulis mengetahui dan menguasai topik

yang telah diberikan. Selain itu, masalah yang ada dalam topik juga harus diketahui

penulis minimal 30 % dari masalah yang ada. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa topik yang diberikan harus dekat dengan seorang penulis cerita. Apabila topik

11
yang telah dipilih betuk-betul telah dikuasai penulis, maka penulisan cerita dan hasil

ceritanya pun dapat dinikmati oleh pembaca dengan mudah.

b. Perumusan Judul Cerita dongeng

Dalam hal ini, Sabarti Alhadiah, dkk. (1991:47) mengemukakan syarat-syarat

yang harus diperhatikan dalam menulis cerita dongeng, perumusan judul adalah

sesuai dengan topik, singkat, bentuk frasa, dan lugas. Setiap perumusan judul cerita

harus diupayakan sesingkat mungkin. Yang perlu diperhatikan adalah pilihlah bentuk

yang pendek dari kemungkinan yang ada dalam topik. Selain itu, yang harus

dihindari kata-kata yang tidak berfungsi dalam judul. Bentuk kata tersebut dapat

berupa bentuk-bentuk kata-kata yang mengandung pleonastis (kata-kata yang

berlebihan).

2.1.1.2 Tahap Penulisan

Tahap penulisan, dilakukan apa yang telah ditentukan itu yaitu

mengembangkan gagasan dalam kalimat-kalimat, satuan paragraf, sehingga

selesailah buram (draft) yang pertama. Pada tahap ini, kita membahas setiap butir

topik yang ada di dalam kerangka yang disusun dengan menggunakan bahan-bahan

yang sudah diklasifikasikan menurut keperluan sendiri.

Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai

berikut:

a. Membuat draft kasar

b. Lebih menekankan isi daripada tata tulis

12
2.1.1.3 Tahap Revisi

Tahap revisi, dilakukan kegiatan membaca dan menilai kembali apa yang

sudah ditulis, memperbaiki, mengubah, bahkan jika perlu memperluas tulisan yang

telah ditulis. Pada tahap ini, penulis harus memeriksa secara menyeluruh mengenai

logika, sistematika, ejaan, tanda baca, pilihan kata, kalimat, paragraf, dan

sebagainya.

Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan cerita

dongeng adalah sebagai berikut:

a. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)

b. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman

sekelompok atau sekelas

c. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik

dari pengajar maupun teman.

d. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya,

sehingga menghasilkan draft akhir.

Dari pendapat di atas dapat diambil simpulan bahwa tahap-tahap menulis

mencakup tiga tahap, yaitu tahap pramenulis yang merupakan tahap perencanaan

atau persiapan menulis, tahap penulisan yang membahas topik yang telah disusun,

dan tahap revisi untuk menilai kembali apa yang sudah ditulis.

2.2 Pengertian Cerita Dongeng

Cerita dongeng, merupakan suatu kisah yang di angkat dari pemikiran fiktif

dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang

mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng

13
juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi, dari pemikiran seseorang yang

kemudian di ceritakan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.

Cerita dongeng adalah karangan yang mengisahkan terjadinya suatu

peristiwa, kejadian, pengalaman, atau penderitaan seseorang, baik yang benar-benar

terjadi atau hanya bersifat khayalan. cerita adalah narasi pribadi setiap orang suka

menjadi bagian dari suatu peristiwa, bagian dari satu cerita, dan menjadi bagian dari

sebuah cerita adalah hakikat cerita. Otak manusia juga disebut sebagai alat narasi

yang bergerak dalam dunia cerita. Semua pengetahuan yang disimpan dalam otak

dan bagaimana akhirnya setiap orang dapat mengingadan mengenal dunia adalah

karena keadaan cerita itu. Kalau semua pengetahuan itu tidak disimpan dalam bentuk

cerita, tak akan bisa diingat. Itulah sebabnya segala yang disimpan dalam bentuk

cerita jauh lebih bermanfaat dan bermakna daripada segala yang dijejalkan ke dalam

otak hanya dalam bentuk fakta-fakta atau sekuen-sekuen yang sulit dicari antar

hubungannya.

Sarumpaet (2002) mengemukakan bahwa sastra anak, termasuk di dalamnya

cerita anak / dongeng adalah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai

kehidupan anak dan sekeliling yang mempengaruhi anak, dan tulisan itu hanyalah

dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa. Menurut

Endraswara (2002:115) sastra anak di dalamnya termasuk cerita anak pada dasarnya

merupakan “wajah sastra” yang fokus utamanya demi perkembangan anak. Di

dalamnya mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak,

melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak. Dalam

hal ini patut ditegaskan bahwa sastra anak tak harus semua tokohnya seorang anak.

14
Rampan (dalam Subyantoro 2006) mendefinisikan cerita anak-anak sebagai cerita

sederhana yang kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang

baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet, sehingga komunikatif. Akan tetapi

cerita anak-anak justru ditulis oleh orang dewasa dan dikonsumsi oleh anak-anak

(Sugihastuti 1996:69). Cerita anak-anak adalah media seni yang mempunyai ciri-ciri

tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Tidak seorang pengarang cerita anak-

anak yang mengabaikan dunia anak-anak. Dunia anak-anak tidak dapat diremehkan

dalam proses kreatifnya. Maka dari itu, cerita anak-anak dicipta oleh orang dewasa

seolah-olah merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-idiom bahasa anak-anak.

Nurgiyantoro (2001) menyebutkan ada dua kategori teks kesastraan dan juga

dua disiplin keilmuan yang tidak selalu sama, yaitu sastra dewasa (adult literature)

dan sastra anak (children literature). Lebih lanjut Nurgiyantoro menyebutkan jika

selama ini sastra anak terkesan diabaikan. Namun kini sastra anak dipandang

memiliki kontribusi perkembangan kepribadian dan atau pembentuk karakter anak.

Sastra anak diyakini mampu sebagai salah satu faktor yang dapat dimanfaatkan

“untuk mendidik” anak lewat bacaan dan tulisan.

Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan cerita anak adalah cerita

sederhana yang ditulis untuk anak, berbicara mengenai kehidupan anak dan

sekeliling yang mempengaruhi anak, di dalamnya mencerminkan liku-liku kehidupan

yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan

pemikiran-pemikiran anak.

15
2.3 Teknik Menulis Cerita

Teknik menulis dongeng adalah cara atau metode yang digunakan secara

beraturan (sistematis) dalam bahasa istilah menulis cerita secara sistematis. Menulis

cerita berdasarkan peristiwa / cerita yang telah terjadi kemudian cerita tersebut

dituangkan kembali secara sistematis, sehingga cerita tersebut menjadi sebuah

karangan yang mudah dimengerti oleh orang lain Tarigan (dalam Agus

Suriamiaharja, 1996: 1).

Sebagai mana dikemukakan oleh The Liang Gie ( 1992 : 18 ), bahwa :

“Untuk dapat menyampaikan gagasan dan fakta secara lincah dan kuat, seseorang

perlu memiliki pembendaharaan kata yang memadai, terampil menyusun kata – kata

menjadai beraneka kalimat yang jelas, dan mahir memakai bahasa secara efektif”.

Menurut pengertianya, “menulis cerita adalah keseluruhan rangkaian kegiatan

seseorang mengumpulkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis

kepada pembaca untuk dipahami”. ( The Liang Gie, 1992 : 17 ). Dalam proses

menulis cerita setiap ide perlu dilibatkan pada suatu kata, kata – kata dirangkai

menjadi sebuah kalimat membentuk paragraf, dan paragraf – paragraf akhirnya

mewujudkan sebuah cerita. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

menulis cerita adalah kegiatan mengarang yang tersusun dengan teratur (sistematis)

dari kata, kalimat, sampai paragraf yang saling berhubungan dan merupakan

kesatuan yang utuh, dengan maksud menceritakan kejadiaan atau peristiwa,

mempercakapkan sesuatu, dan tujuan lainya.

16
2.3.1 Unsur Menulis Cerita

Berbicara mengenai cerita baik yang berupa cerita pendek maupun panjang,

maka kita harus berbicara mengenai beberapa hal atau masalah disekitar cerita . The

Liang Gie (1992 : 17) mengemukakan ada 4 (empat) unsur dalam menulis cerita

yaitu sebagai berikut :

1. Gagasan ( Idea )

Yaitu topik berikut tema yang diungkapkan secara tertulis.

2 Tuturan ( Discourse )

Yaitu bentuk pengungkapan gagasan sehingga dapat dipahami pembaca. Ada

empat bentuk mengarang :

a. Pencarian (Narration )

Bentuk pengungkapan yang menyampaikan sesuatu peristiwa / pengalaman .

b. Pelukisan ( Description )

Bentuk pengungkapan yang menggambarkan pengindraan, perasaan

mengarang tentang macam – macam hal yang berada dalam susunan ruang

( misalnya : pemandangan indah, lagu merdu, dll )

c. Pemaparan ( Exposition )

Bentuk pengungkapan yang meyajikan secara fakta – fakta yang bermaksud

memeberi penjelasan kepada pembaca mengenai suatu ide, persoalan, proses

atau peralatan.

d. Perbincangan ( Argumentation )

Bentuk pengungkapan dengan maksud menyalin pembaca agar mengubah

pikiran, pendapat, atau sikapnya sesuai dengan yang dihadapi pengrang.

17
3. Tatanan ( Organization )

Yaitu tertib pengaturan dan peyusunan gagasan mengindahkan berbagai asas,

aturan, dan teknik sampai merencanakan rangka dan langkah .

4. Wahana (Meduim )

Ialah sarana penghantar gagasan berupa bahasa tulis yang terutama

menyangkut kosa kata, gramatika ( tata bahasa ), dan terotika ( seni memekai bahasa

secara efektif ).

2.3.2 Unsur Cerita Dongeng

Di dalam cerita terdapat ide, tujuan, imajinasi bahasa, dan gaya bahasa

(Majid 2001:4). Unsur-unsur tersebut berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak.

Sarumpaet (2002) menyebutkan bahwa cerita anak memiliki kekuatan yang hebat.

Cerita dongeng memiliki tempat yang signifikan dalam perkembangan bahasa dan

keterampilan literernya, juga perkembangan psikologis dan emosinya. Cerita

dongeng yang menarik dapat membantu memberikan ide dan membangkitkan

asosiasi anak didik pada pengalaman mereka. Seperti dikemukakan Hurlock (dalam

Subyantoro 2006) bahwa pada masa usia sekolah, anak menyukai cerita tentang hal-

hal yang nyata atau sebaliknya. Dengan kata lain, mereka lebih menyukai cerita-

cerita yang nyata dengan dibumbui sedikit khayal, dari pada yang tidak terjadi

sebenarnya atau tentang sesuatu yang jauh di luar jangkauan pengalamannya,

sehingga tidak dapat mereka pahami.

2.3.2.1 Struktur Alur

Istilah alur atau plot berasal dari bahasa Prancis ‘intrigue’ yang berarti jalinan

peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu (Sudjiman 1991:29-30).

18
Alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam

cerita (Siti Sundari dalam Fanani 2000:93). Luxemburg (1989:120) mendefinisikan

alur sebagai konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan

kronologis saling berkaitan yang dialami oleh pelaku. Menurut Stanton (dalam

Nurgiyantoro 2002:113) alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang

dihubungkan sebagai suatu relasi sebab akibat. Hal itu berarti bahwa titik tolak alur

didasarkan pada sebab akibat. Peristiwa-peristiwa yang ada tetapi tidak disusun

berdasarkan sebab akibat tidak dapat disebut alur, tetapi struktur penceritaan

(Atmazaki dalam Septiningsih 1998:4). Ahli teori sastra yang lain, yaitu Foster

(dalam Nurgiyantoro 2002:113) menekankan bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa

cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas atau hubungan

sebab akibat.

Eksistensi alur ditentukan oleh tiga unsur utama dalam pengembangan sebuah

alur cerita, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa merupakan peralihan dari

suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg 1989:40). Dalam sebuah cerita

terdapat banyak peristiwa walaupun tidak semua peristiwa itu berfungsi sebagai

pendukung alur.

Dilihat dari perannya dalam penyajian cerita, peristiwa dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu:

a. Peristiwa fungsional, yaitu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan alur.

Kehadiran peristiwa tersebut merupakan suatu keharusan. Apabila sejumlah

peristiwa fungsional ditanggalkan, maka akan mengurangi tingkat logika cerita.

19
b. Peristiwa kaitan, yaitu peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa fungsional

dalam pengurutan penyajian cerita. Kehadiran peristiwa kaitan kurang

mempengaruhi pengembangan alur, sehingga seandainya ditanggalkan pun tidak

akan mempengaruhi logika cerita.

c. Peristiwa acuan, yaitu peristiwa yang mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya

perwatakan atau suasana yang dialami tokoh. Terkadang peristiwa acuan berfungsi

untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi melalui isyarat.

Peristiwa dan konflik mempunyai kaitan erat, bahkan pada hakikatnya

konflik merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menyebabkan

konflik. Sebaliknya, dengan munculnya konflik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat

bermunculan. Konflik mengarah pada suatu sifat yang dialami tokoh cerita. Konflik

adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang

seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Warren

1995:285).

Pada dasarnya kekuatan sebuah cerita terdapat pada bagaimana seorang

pengarang membawa pembacanya mengikuti timbulnya konflik, memuncaknya

konflik, dan berakhirnya konflik. Timbulnya konflik atau terbinanya alur sering

berhubungan erat dengan unsur watak atau tema, bahkan juga berkaitan dengan

setting. Konflik dalam cerita mungkin terjadi karena watak seseorang yang

sedemikian rupa sehingga menimbulkan persoalan pada orang lain ataupun

lingkungannya.

Dalam cerita konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan

antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah faktor

20
pelawannya atau tokoh lawan protagonis. Antagonis tidak perlu berupa manusia atau

makhluk hidup lain, tetapi bisa tertentu, misalnya alam, Tuhan, kaidah moral, kaidah

sosial, dirinya sendiri, dan sebagainya (Sumardjo 1991:49).

Konflik yang mencapai intensitas tertinggi disebut klimaks (Nurgiyantoro

2002:123). Sedangkan Stanton (dalam Nurgiyantoro 2002:127- 129) mengatakan

bahwa klimaks merupakan titik pertemuan antara dua atau lebih hal yang

dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan atau konflik yang terjadi

akan diselesaikan. Klimaks dalam sebuah cerita akan terdapat pada konflik utama

dengan tokoh-tokoh utama cerita. Tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat

perbedaan pendapat ketika merumuskan klimaks sebuah cerita.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah

keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita.

2.3.2.2 Tahapan Alur

Ada bebera pendapat yang berbeda mengenai tahapan alur pada suatu

karangan, yaitu pendapat Aristoteles, Tasrif, Montage dan Henshaw, serta Loban

dkk.

a. Menurut Aristoteles

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur atau plot cerita, Aristoteles

mengatakan bahwa sebuah plot harus terdiri dari tahap awal (beginning), tahap

tengah (middle), dan tahap akhir (end) (Abrams dalam Nurgiyantoro 2002:142).

1) Tahap awal

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Dalam

tahap ini terdapat penunjukkan dan pengenalan latar atau setting serta pengenalan

21
tokohnya. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi atau

penjelasan yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

2) Tahap tengah

Tahap tengah dalam sebuah cerita disebut juga tahap pertikaian, yakni

menampilkan pertentangan atau konflik. Selain itu, dalam tahap tengah ini klimaks

ditampilkan, yaitu ketika konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi. Singkatnya

pada bagian inilah pembaca dapat memperoleh cerita.

3) Tahap akhir

Tahap akhir sebuah cerita disebut pula sebagai tahap peleraian, yakni

menampilkan adegan tertentu akibat klimaks. Pada bagian ini, pembaca dapat

mengetahui akhir dari sebuah cerita. Berdasarkan teori klasik Aristoteles,

penyelesaian cerita dibedakan dalam dua macam kemungkinan, yaitu kebahagiaan

(happy end) dan kesedihan (sad end).

Nurgiyantoro (2002:147-148) mengelompokkan penyelesaian dalam dua

kategori, yaitu penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup

menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita dongeng yang sesuai dengan tuntutan

logika cerita yang dikembangkan. Dengan kata lain, bahwa penulis lah yang

menentukan akhir cerita, sedangkan penyelesaian terbuka adalah penyelesaian yang

ditentukan oleh pembaca dengan mengimajinasikan, memikirkan ataupun

mengkreasikannya sesuai dengan harapan.

22
b. Menurut Tasrif

Tasrif (dalam Nurgiyantoro 2002:149-150) membagi alur dalam lima tahap,

yaitu:

1) Tahap penyituasian (situation), yakni tahap pengenalan situasi latar dan tokoh-

tokoh cerita. Tahap tersebut berfungsi sebagai landasan cerita yang dikisahkan pada

tahap berikutnya.

2) Tahap pemunculan konflik (generating circumtances), yakni tahap awal

munculnya konflik atau masalah.

3) Tahap peningkatan konflik (rising action), tahap yang menunjukkan bahwa

intensitas konflik makin tinggi dan peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti

cerita semakin menegangkan.

4) Tahap klimaks (climax), tahap yang menampilkan konflik pada tingkat intensitas

tertinggi. Pertentangan-pertentangan antar tokoh yang berperan sebagai pelaku atau

penderita konflik mencapai puncaknya.

5) Tahap penyelesaian, yakni tahap akhir dari sebuah cerita. Konflik-konflik yang

terjadi mendapatkan penyelesaian dan jalan keluar.

2.3.2.3 Jenis-jenis Alur

Pembagian alur didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah,

kepadatan, dan isi (Nurgiyantoro 2002:153-163).

a. Berdasarkan kriteria urutan waktu

Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam cerita dongeng yang bersangkutan. Berdasarkan kriteria ini, alur

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

23
1) Alur lurus atau progresif

Apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau runtut.

Cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),

tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Alur progresif

biasanya menunjukkan kesederhanaan dalam penceritaan, tidak berbelit-belit, dan

mudah diikuti.

2) Alur sorot balik atau flash-back

Disebut juga alur regresif, yakni urutan kejadian yang dikisahkan dalam

sebua cerita tidak bersifat kronologis. Cerita dimungkinkan dimulai dari tahap tengah

atau akhir baru kemudian tahap awal cerita.

3) Alur campuran

Apabila dalam sebuah cerita dongeng terdapat dua macam alur, yaitu

progresif-regresif. Kedua alur tersebut digunakan secara bergantian. Menurut

Suharianto (2005:19) kedua alur yang digunakan dijalin dalam kesatuan yang padu

sehingga tidak menimbulkan kesan adanya sebuah cerita atau peristiwa yang terpisah

baik waktu maupun kejadiannya.

b. Berdasarkan kriteria urutan jumlah

Berdasarkan kriteria urutan jumlah, alur dibedakan menjadi dua macam,

yaitu:

1) Alur Tunggal

Alur tunggal yakni cerita dikembangkan dengan menampilkan tokoh utama

protagonis sebagai hero atau pahlawan. Pada umumnya cerita mengenai perjalanan

hidup tokoh tersebut lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya.

24
Namun tidak menutup kemungkinan dalam cerita tersebut ditampilkan tokoh lain

beserta konfliknya sepanjang masih berkaitan dengan tokoh utama.

2) Alur Sub-subplot

Apabila sebuah cerita yang memiliki lebih dari satu alur. Dengan kata lain,

dalam cerita terdapat beberapa tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup,

permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Fungsi dari sub-subplot sendiri adalah

untuk memperjelas dan memperluas pandangan terhadap alur utama.

c. Berdasarkan kriteria urutan kepadatan

Berdasarkan kriteria kepadatan, alur dibedakan menjadi :

1) Alur Padat

Dalam alur padat, cerita disajikan secara cepat, hubungan antar peristiwa

terjalin secara erat. Apabila kehilangan salah satu bagian atau adegannya, maka

pembaca akan kehilangan cerita. Suharianto (2005:19) berpendapat bahwa suatu

cerita dikatakan beralur padat apabila dalam cerita tersebut hanya terdapat alur

perkembangan cerita yang hanya berpusat pada satu tokoh cerita.

2) Alur Longgar

Yakni pergantian peristiwa demi peristiwa berlangsung lambat dan hubungan

antar peristiwa tidak erat. Suatu cerita yang beralur longgar adalah apabila dalam

cerita tersebut selain terdapat perkembangan cerita yang berkisar pada tokoh utama

juga memuat perkembangan cerita tokoh lain (Suharianto 2005:19).

d. Berdasarkan kriteria urutan isi

Friedman (dalam Nurgiyantoro 2002:162) membedakan alur dalam jenis ini

menjadi tiga, yaitu:

25
1) Alur Peruntungan, berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib atau

peruntungan yang menimpa tokoh utama cerita. Peruntungan tersebut dapat berupa

peruntungan baik dan buruk.

2) Alur Tokohan, menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh. Atau dengan kata

lain tokoh menjadi fokus perhatian,

3) Alur Pemikiran, mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,

keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan hal lain yang menjadi masalah

dalam hidup.

2.4 Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Cerita

Pelaksanaan pembelajaran menulis cerita pada sekolah tingkat pertama

mengacu pada kurikulum dan silabus pembelajaran KTSP 2006. Adapun silabus

kurikulum untuk kelas VII adalah sebagai berikut:

2.4.1 Tujuan Pembelajaran Menulis Cerita

Pembelajaran menulis cerita mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan

tujuan umum.

Adapun tujuan khusus meliputi:

1. Siswa dapat menyebutkan sistematis cerita

2. Siswa mampu menguraikan isi cerita dengan judul cerita yang telah diberikan

3. Mampu menulis cerita dengan sistematis

Tujuan umum dalam pembelajaran menulis cerita antara lain:

1. Siswa dapat memahami sistematika cerita dengan baik

2. Mampu meng identifikasi masalah cerita dengan isi

3. Dapat berpikir dengan kreatif melalui pembelajaran menulis cerita.

26
Dalam mengaplikasi tujuan khusus dan tujuan umum diperlukan suatu

tindakan yang komprehensif terutama tenaga pendidik khususnya guru mata

pelajaran bahasa Indonesia. Agar tujuan pembelajaran bisa tercapai secara efektif

guru harus mempersiapkan atau merancang bahan pembelajaran yang baik dan

berorentasi pada siswa.

2.4.2 Materi Pembelajaran Cerita

Pemilihan materi pembelajaran sangat berpengaruh kepada hasil belajar

siswa. Oleh karena itu, Soetjipto dan Rafles (2004:155) mengumukakan pengayaan

bahan kajian dapat dilakukan oleh guru bidang studi adalah “guru merupakan orang

yang paling mengetahui apakah materi pelajaran itu cukup untuk kepentingan siswa

maupun kepentingan masyarakat. Pengetahuan guru ini diperoleh dengan mengikuti

perkembangan bidang studi yang diajarkan.”

Dari pendapat diatas, jelas bahwa pemilihan materi pembelajaran harus

releven dengan kehidupan siswa, dan lingkungan sekolah. Pemilihan materi seperti

ini dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa semakin tajam. Kedekatan matri

pembelajaran dengan siswa juga memudahkan guru dalam member dorongan dan

motivasi siswa. Metode seperti ini akan melahirkan generasi-generasi yang mencintai

daerahnya, karena secara tidak disadari mereka sudah mengetahui tentang keadaan,

peristiwa yang aktual di daerahnya melalui penyajian sebuah cerita.

Untuk mendung hak ini dalam pemilihan mateeri pembelajaran menulis cerita

guru dapat menyunting materi ajar yang brupa peristiwa- peristiwa yang actual yang

ada dalam kehidupan masyarakat. Pemilihan materi ajar yang berhubungan dengan

lingkungan dan masyarakat harus mengacu pada kurikulum yang mengacu yaitu

27
KTSP 2006. Standar kompetensi dan sandar kompetensi dan kompetensi dasar yang

ada dalam kurikulum adalah milik nasional sedangkan inndikator dan materi

pembelajaran diberikan kepada guru untuk menambah dan mengurangi sesuai

dengan lingkungan sekolah dan keadaan siswa, yang terpenting adalah tujuan

pembelajaran atau indikator bisa tercapai yang cakupannya meliputi:

1) siswa mampu menulis cerita secara sistematis;

2) siswa mampu menulis cerita

3) siswa mampu mengaitkan judul cerita dengan isi cerita.

2.4.3 Penilaian Hasil Pembelajaran Menulis Cerita

Dimensi penilaian proses belajar mengajar berkenaan dengan komponen yang

berbentuk proses belajar dan keterkaitan atau hubungan dengan komponen-

komponen tersebut nana sudjana (1980:56). Komponen pengajaran sebagai dimensi

penilaian mencakup:

1) tujuan pengajara dan tujuan intruksional

2) bahan ajar

3) kondisi siswa dan kegiatan bahan ajarnya.

4) kondisi guru dan kegiatan mengajarnya.

5) alat dan sumber belajar yang digunakan.

6) tehnik dan cara penilaian.

Penilaian hasil pembelajaran terhadap kemampuan menulis cerita dilakukan

sebelum dan sesudah proses berangsung. Sebelum proses berlangsung mengkaji

kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa dalam menulis cerita. Pertanyaan yang

dijawab oleh siswa secara spontan harus diberi nilai oleh guru berupa nilai kognitif.

28
Setelah proses pembelajaran berlangsung guru memberikan evaluasi yaitu berupa

jenis tagihan:

1) Tugas kelompok

2) tugas individu dan

3) ulangan.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Untuk memecahkan masalah yang ada, dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan

uraian atau gambaran mengenai fenomena atau gejala sosial yang diteliti dengan

menskripsikan nilai variabel baik suatu variabel atau lebih berdasarkan dari indikator

yang diteliti tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel yang

diteliti, iskandar (2008:61).

Berkkaitan dengan penelitian ini, metode deskriptif dengan pendekatan

kuatitatif yang bertujuan menggambarkan suatu keadaan pada kondisi aktual. Data

yang dideskripsikan ini adalah kemampuan siswa VII SMP Negeri 2 Muara Batu

dalam menulis cerita secara sistematis.

3.2 Populasi Dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi menurut sugiyono (Dwiloka, 2005:47) adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas subyek/objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentuyang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik simpulannya. Adapun

populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu yang

tersebar dalam 3 kelas paraler dengan jumlah siswa secara keseluruhan 120 orang.

30
3.2.2 Sampel Penelitian

Menurut sugiyono (Iskandar, 2008:60) sampel adalah bagian dalam jumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang diterapkan dalam

penelitian ini adalah 30% dari jumlah populasi, berarti 30/100 x 120 = 36 orang

siswa. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random. Dalam hal ini, sesuai

dengan pendapat nasution (1996: 101) mengatakan bahwa tidak ada aturan yang

tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi

yang tersedia. Juga tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud sampel yang

besar dan yang kecil.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Data dikumpulkan dengan

menggunakan teknik tes. Tes yang dilakukan adalah tes menulis bertujuan

mengetahui kemampuan siswa dalam menulis cerita secara sistematis. Sebelum

diberikan tes pada siswa yang dijadikan sampel penelitian diberikan pengarahan

terlebih dahulu tentang petunjuk dalam menulis cerita dongeng.

Langkah-langkah pelaksanaan tes adalah sebagai berikut.

1. Masing-masing siswa yang telah telah dipilih secara acak diberikan satu buah

judul cerita dongeng yang telah di ajarkan kemudian siswa diminta untuk

menulis cerita dongeng dengan benar.

2. Siswa diminta untuk menulis cerita dongeng secara sistematis.

31
3. Setelah itu, hasil tes tersebut dikumpulkan.

4. Hasil tes dikumpulkan, dianalisis, dan diberi nilai bobot sesuai dengan nilai

aspek-aspek yang dinilai. Bobot nilai maksimal tiap aspek diberikan

didasarkan pada tingkat kesukaran menyerap informasi. Bobot nilai yang

dimaksud dapat dilihat seperti dirinci dalam tabel 3.1 dibawah ini.

tabel 3.1 aspek penilaian dan bobot.

No Aspek Bobot Nilai Maksiamal


1 Penyusunan cerita dongeng 35
2 Mengurutkan sistematika cerita dongeng 30
3 Mengaitkan isi dengan judul cerita 35
Jumlah bobot 100

3.4 Tehnik Analisis Data

Setelah data hasil tes diperoleh selanjutnya diolah dengan menghitung nilai

kemampuan rata-rata (mean). Langkah-langkah penghitungan nilai kemampuan rata-

rata tersebut adalah sebagai berikut.

 Mengurutkan nilai kemampuan tiap responden dari nilai tertinggi kenilai

Terendah.

 Menentukan range (Rg), yaitu nilai tertinggi (H) dikurangi nilai terendah (L)

ditambah 1 dengan rumus Rg = H – L + 1.

 Menetapkan jumlah kelompok nilai (K) dengan rumus

K = 1 + 3, 3 log N

 Menentukan interval kelas (I) dengan rumus I = Rg


K
 Membuat tabel distribusi frekuensi dengan jumlah kelompok nilai dan

interval kelas yang telah ditetapkan.

32
 Memasukkan nilai urutan kedalam tabel distribusi frekuensi.

 Menghitung nilai kemampuan rata-rata dengan menggunakan rumus

M = FX (Sudijono, 1996:38)
N
Keterangan: M = Nilai kemampuan rata-rata
Fx = Hasil perkalian frekuensi dengan nilai tengah
F = Frekuensi tiap kelompok nilai
X = Nilai tengah
N = Jumlah sampel

 Mengklasifikasikan nilai kemampuan rata-rata dengan kategori penilaian

yang ditetapkan oleh depdiknas (2005:38) berikut ini.

Nilai 86 sampai dengan 100 dinyatakan sangat baik (A)


Nilai 76 sampai dengan 85 dinyatakan baik (B)
Nilai 66 sampai dengan 75 dinyatakan cukup (C)
Nialai 56 sampai dengan 65 dinyatakan kurang (K)
Nilai lebih kecil dari 55 dinyatakan jelek.

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

Penelitian dilaksanakan pada kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten

Aceh Utara. Pengumpulan data dimulai pada tanggal 4 Agustus 2010. Data yang

diperoleh adalah hasil ujian kemampuan siswa dalam menulis cerita dongeng secara

sistematis meliput, kemampuan menulis cerita berdasarkan judul yang diberikan,

kemampuan mengurutkan sistematika cerita, dan kemampuan mengaitkan isi dengan

judul cerita.

Nilai hasil tes kemampuan siswa dalam menulis cerita dari 36 responden

ditabulasikan secara acak sebagai berikut.

55 45 50 65 70 55 60 65 75

50 45 65 65 55 60 55 60 50

35 45 55 35 55 40 55 45 60

55 40 60 60 75 50 50 40 35

1. Mengurutkan nilai data nilai hasil tes dari nilai tertinggi ke nilai terendah. Urutan

nilai tersebut adalah sebagai berikut.

75 75 70 65 65 65 65 60 60

60 60 60 60 55 55 55 55 55

55 55 55 50 50 50 50 50 45

45 45 45 40 40 40 35 35 35

34
2. Menentukan range (Rg) dengan rumus yang ditetapkan. Berarti besarnya range

adalah.

Rg = h-L+1

Rg = 75-35+1

Rg = 40+1

Rg = 41

3. Menetapkan jumlah kelompok nilai (K) dengan rumus yang telah ditetapkan.

Berarti, jumlah kelompok nilainya adalah.

K= 1+3,3 log n

K= 1+3,3 log 36

K=1+4,856

K=5,856 dibulatkan 6

4. Menentukan interval kelas (I) dengan rumus yang telah ditetapkan. Dengan

demikian besarnya interval kelas (I) adalah sebagai berikut.

I=R
K
I = 41
6
I = 6,83 dibulatkan 7

5. Membuat tabel distribusi frequensi dengan jumlah kelompok kelas dan


interval yang telah ditetapkan.

35
Tabel 2 distribusi frequensi

No Interval F X F.X

1 69-75 3 72 216

2 62-68 4 65 260

3 55-61 14 58 812

4 48-54 5 51 255

5 41-47 7 44 308

6 34-40 3 37 111

Jumlah n = 36 ∑F =327 ∑F.X = 1962

6. Menghitung nilai kemampuan rata-rata (Mean) dengan menggunakan rumus yang

telah ditetapkan yaitu:

M = F.X
N
M = 1962
36
M = 54, 4

3.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ternyata sebagian besar siswa memiliki

kemampuan yang sangat terbatas dalam menulis cerita secara sistematis. Dari data

terdapat 36,11% siswa rendahnya kemampuan menulis cerita yang dimiliki siswa.

Berdasarkan hasil yang diperoleh tentang kemampuan siswa dalam menulis cerita

terlihat bahwa kelompok yang mempunyai frekuensi terbanyak adalah pada interval

69-75 dengan jumlah frekuensi relatif (13,18%). Apabila subjek penelitian dibedakan

menjadi dua berdasarkan jumlah skor tertinggi dengan skor terendah kemudian

36
dibagi dua, maka siswa yang memiliki kemampuan menulis cerita dengan kategori

tinggi sebanyak 5 siswa atau 13,18% dan siswa yang memiliki kemampuan menulis

cerita dengan kategori rendah sebanyak 18 siswa atau 41,55%. Apabila dibedakan

menjadi tiga berdasarkan skor ideal maka sebaran data untuk tiap-tiap kategori dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 26:Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Menulis cerita

Interval Kategori X Fr%


69-75 ke atas Tinggi 75 13,18
55,61-62-68 Sedang 35 36,11
34,40- 48-58 ke bawah Rendah 54,5 41,55

Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa siswa yang memiliki kemampuan

menulis cerita dengan kategori tinggi adalah 75 (13,18%), siswa yang tergolong

mempunyai kemampuan menulis cerita sedang adalah 35 (36,11%), sementara siswa

yang tergolong rendah kemampuan menulis cerita adalah 54,5 (41,55%) . Maka dari

itu, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menulis cerita berada pada

kategori jelek,yaitu. 54,5 (41,55%) pada interval 34,40- 48-58.

Hasil ini membuktikan bahwa kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 2

Muara Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis cerita secara sistematis sangat

tidak memuaskan. Dengan melihat data persentase indikator kemampuan menulis

cerita dapat diketahui bahwa siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu memiliki

kemampuan menulis cerita yang sangat rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan

melihat hasil tulisan yang telah dikerjakan siswa dalam proses belajar mengajar.

37
.Dengan demikian, nilai rata-rata kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 2

Muara Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis cerita secara sistematis adalah 54,

5. Berdasarkan perhitungan nilai pada tabel distribusi frequensi di atas, dapat

diketahui, nilai tertinggi yang diperoleh responden adalah 75, dan nilai terendah 35

range (Rg), dan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 54,5. Ini berarti, kemampuan

siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis

cerita secara sistematis berada pada klasifikasi nilai jelek yaitu kurang dari 55.

Klasifikasi nilai rata-rata kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu

Kabupaten Aceh Utara dalam menulis cerita secara sistematis tingkat jelek.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan tidak ada responden yang

mendapat nilai dengan klasifikasi baik, 3 orang (5 %) responden yang mendapat nilai

dengan klasifikasi cukup. Responden yang mendapat dengan klasifikasi kurang

adalah 18 orang (50%), 15 orang berada pada klasifikasi nilai jelek (45 %). Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa VII SMP Negeri 2 Muara

Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis cerita secara sistematis dapat

dikategorikan jelek.

4.3 Pembuktian Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data

tes dan mengacu pada kriteria penilaian (dalam bab III) maka dapat disimpulkan

bahwa kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh

Utara dalam menulis cerita secara sistematis dapat dikategorikan jelek dan berada

pada klasifikasi nilai kurang dari 55. Nilai rata-rata terdapat kemampuan tersebut

ketika diklasifikasikan dengan kriteria penilaian menurut depdiknas (2005:38) berada

38
pada klasifikasi nilai kurang dari 55 dinyatakan jelek. Klasifikasi nilai tersebut

berada pada empat tingkat dibawah nilai sangat baik atau nilai yang diharapkan. Hal

ini membuktikan bahwa hipotesis penilaian “kemampuan siswa kelas VII SMP

Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara dalam menulis cerita secara sistematis

berada pada tingkat kurang”. Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan siswa kelas

VII SMP Negeri 2 Muara Batu dalam menulis cerita secara sistematis berada pada

tingkat jelek. Dengan demikian hipotesis penelitian ini diterima kebenarannya.

39
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Cerita dongeng, merupakan suatu kisah yang di angkat dari pemikiran fiktif

dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang

mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng

juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi, dari pemikiran seseorang yang

kemudian di ceritakan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.

Kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh

Utara dalam menulis cerita secara sistematis dikategorikan sangat jelek dengan nilai

rata-rata yang diperoleh sebesar 54,5. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran menulis cerita secara sistematis di SMP Negeri 2

Muara Batu Kabupaten Aceh Utara belum berjalan secara maksimal.

5.2 Saran-Saran

Untuk mendukung keberhasilan pembelajaran menulis cerita pada SMP

Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara, guru hendaknya lebih proaktif dalam

memperhatikan pembelajaran pada aspek menulis. Dengan pengajaran yang menitik

beratkan pada aspek menulis secara sempurna berarti siswa lebih mudah dalam

menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan.

Untuk membudayakan budaya tulis dikalangan siswa dituntut adanya kerja

sama yang baik antara pihak sekolah dan guru yang mengajar bahasa Indonesia di

SMP Negeri 2 Muara Batu Kabupaen Aceh Utara. Berdasarkan penelitian ini, dapat

40
disarankan kepada siswa agar menentukan tema dan kerangka karangan terlebih

dahulu jika ditugaskan menulis karangan tanpa tema. Kepada Guru Bahasa

Indonesia, disarankan agar lebih intensif lagi membelajarkan teknik menulis cerita

dongeng kepada siswa. Kepada peneliti lanjutan, disarankan untuk mengadakan

penelitian terhadap kemampuan menulis cerita dongeng dengan variasi metode atau

rumusan masalah yang berbeda. Kepada pembaca, penelitian ini dapat digunakan

oleh pembaca khususnya mahasiswa sebagai informasi tentang kemampuan menulis

cerita dongeng berbahasa Indonesia siswa kelas VII Program Studi Bahasa SMP

Negeri 2 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.

41

You might also like