You are on page 1of 8

MAKALAH :

PENINGKATAN KUALITAS PERAN DAN FUNGSI PENGAWASAN

ANGGOTA DPRD

A. Pengantar

KATA” pengawasan” sering disama artikan dengan kata “kontrol,

supervisi, monitoring atau auditing”. Dalam konteks pengawasan yang dilakukan oleh

DPRD, yang salah satu fungsinya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan

berbagai kebijakan publik di daerah yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif,

apakah kebijakan publik itu telah dijalankan sesuai dengan Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD), kata yang tepat untuk mewakili istilah “pengawasan”

adalah oversight, yang berarti pengamatan dan pengarahan terhadap sebuah

tindakan berdasarkan kerangka yang ditentukan.

Dalam kontek DPRD sebagai lembaga politik, fungsi pengawasan yang

dijalankan DPRD merupakan bentuk pengawasan politik yang lebih bersifat strategis

dan bukan pengawasan teknis administrasi. Hal inilah yang membedakan fungsi

pengawasan yang dilakukan oleh DPRD dengan lembaga lain seperti BPK,

Bawasda, Inspektorat Daerah dan lainnya. Fungsi pengawasan DPRD lebih bersifat

politis, yang parameternya adalah PKPD yang ditetapkan tiap tahun berdasarkan

Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan formalisasi

penjabaran visi dan misi atau janji politik kepala daerah dan wakil kepala daerah

ketika mereka berkampanye.


B. Dasar Hukum Pengawasan

Dasar hukum fungsi pengawasan DPRD yaitu Undang-Undang 22 tahun

2003 tentang Susduk MPR,DPD,DPR/D, Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengawasan menurut UU Susduk Pasal 77 UU nomor 22 tahun 2003

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan, bahwa

DPRD (sebagai sebuah lembaga, bukan anggota DPRD secara individual)

mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Selanjutnya dalam pasal 78

disebutkan, bahwa salah satu tugas dan wewenang DPRD (sebagai sebuah

lembaga, bukan anggota DPRD secara individual) adalah melaksanakan

pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Perundang-undangan

lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan Pemerintah daerah dalam

melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di

daerah.

Penekanan DPRD sebagai sebuah lembaga di sini sangat penting,

mengingat di dalam undang-undang ini tidak ada satu pasal maupun satu ayat pun

yang menyatakan bahwa anggota DPRD secara pribadi-pribadi mempunyai fungsi

dan kewenangan di bidang pengawasan. Sebagai anggota DPRD, mereka hanya

mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 80 huruf (a) sampai

dengan huruf (h), serta pasal 81 huruf (a) sampai dengan huruf (j).
Dari penjelasan pasal demi pasal serta ayat demi ayat tersebut di atas

dapat dipahami bahwa fungsi dan kewenangan pengawasan itu melekat pada DPRD

sebagai sebuah lembaga/institusi dan bukan pada anggota DPRD secara

perorangan. Artinya bila DPRD ingin menjalankan fungsi dan kewenangan di bidang

pengawasan, mestinya dilakukan melalui alat kelengkapan DPRD yang ada, baik

yang bersifat tetap seperti komisi-komisi dan panitia anggaran, maupun yang bersifat

sementara seperti panitia khusus (pansus), itupun sepanjang tatacara pelaksanaan

ketentuan (baik itu berupa penentuan agenda pengawasan, persiapan lembaga-

lembaga terkait, langkah-langkah pelaksanaan kegiatan penyusunan laporan,

rekomendasi, rumusan tindaklanjut dan lain-lainnya) diatur dalam Tata Tertib DPRD,

sebagaimana yang diamanatkan pasal 83 Undang-undang ini. Pengawasan yang tak

mengacu pada peraturan perundang-undangan serta prosedur yang telah dibakukan

oleh lembaga semisal Tata Tertib DPRD atau Keputusan DPRD lainnya, tidak akan

memberi hasil (baik berupa rekomendasi, koreksi, penghentian/pembatalan, dan

tindak lanjut secara hukum) yang efektif, dan tidak lebih hanya pendapat pribadi yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan.

Oleh karena itu rule of law maupun rule of game dalam melaksanakan

fungsi dan kewenangan di bidang pengawasan serta standar akuntabilitas yang buku

harus diutamakan untuk menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan. Tanpa

memperhatikan aspek-aspek tersebut, pengawasan DPRD mustahil mampu

memperbaiki kinerja pemerintah daerah, melainkan hanya sekedar sensasi dan

akrobat politik yang tidak menutup kemungkinan tergelincir ke dalam pembunuhan

karakter terhadap mitra yang menjadi obyek pengawasannya.


Berbagai kasus yang terjadi di lingkungan DPRD belakangan ini, bahkan

ramai dibicarakan beberapa media mengindikasikan bahwa kredibilitas DPRD

sebagai lembaga pengawasan politik diragukan, bahkan sering diabaikan oleh mitra

kerja utamanya yaitu Pemerintah Daerah, karena alat kelengkapan dewan dan para

anggota secara perorangan telah mencoba untuk menjabarkan fungsi pengawasan

sesuai dengan warna dan selera politik masing-masing, yang pada akhirnya fungsi

pengawasan seringkali menjadi alat politik kepentingan dari pelaku politik tertentu,

dan tidak menjadi alat penyempurnaan kinerja politik yang akuntabel.

C. Kondisi dan Fungsi Pengawasan DPRD Saat ini.

Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi utama, selain fungsi

legislasi dan anggaran. Peraturan undang-undang yang mengatur tentang fungsi

pengawasan, dianggap masih bersifat global dan tidak bisa dijadikan panduan.

Fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah agar tercipta check and balance

antara eksekutif dan legislatif yang lebih proporsional. Namun kondisi fungsi

pengawasan DPRD saat ini mengalami penurunan, dalam workshop yang dilakukan

oleh KPK ada beberapa variabel yang mempengaruhi terjadinya hal tersebut antara

lain : Pengawasan digunakan sebagai sarana politik, Pengawasan belum

memberikan kontribusi yang optimal pada pengelolaan pemerintahan daerah,

pengelolaan pengawasan belum efektif, Tersumbatnya partisipasi masyarakat dalam

pengawasan, dan terjebak pada pengawasan yang bersifat teknis fungsionalis.


D. Memperkuat Fungsi Pengawasan DPRD.

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga DPRD memang unik,

hal ini berbeda dengan dua fungsi lainnya, yaitu fungsi legislasi dan anggaran.

Kedua fungsi terakhir ini telah memiliki pedoman dan prosedur baku yang diatur

dengan peraturan perundang-undangan. Dalam bidang legislasi misalnya, terdapat

UU No.10 tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dalam bidang anggaran terdapat Peraturan Pemerintahan (PP) nomor 58

tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri

nomor 13 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan nomor 59 tahun 2007

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan bahkan Menteri Dalam

Negeri tiap tahun mengeluarkan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD.

Namun dalam bidang pengawasan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah

daerah, UU Susduk menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD agar tata cara

pelaksanaan dan ketentuan fungsi pengawasan diatur dalam Tata Tertib DPRD.

Meskipun terdapat PP nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Pemerintahan Daerah, namun PP ini juga tidak memberi pedoman

yang jelas. Bahkan pengawasan yang dilakukan DPRD dalam PP ini hanya

disebukan dalam pasar 43, “DPRD sesuai dengan fungsinya dapat melakukan

pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di dalam wilayah

kerjanya sesuai dengan perundang-undangan”.

Oleh karena itu, langkah yang paling mendasar untuk menguatkan fungsi

pengawasan adalah: pertama, merumuskan batasan tentang lingkup kerja dan

prioritas pengawasan. Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam


pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra

pengawasannya. Dengan memiliki dan memahami standar akuntabilitas yang baku,

DPRD akan dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan

terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya dan Ketiga, rumusan

standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan

berhasil, gagal atau menyimpang dari RKPD yang telah ditetapkan; dan keempat,

merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada

tingkat kebijakan, proyek, atau kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan

dalam Tata Tertib DPRD, sehingga alat kelengkapan dewan yang akan melakukan

fungsi pengawasan punya satu pemahaman meskipun berasal dari fraksi yang

berbeda-beda.

E. Penutup

Sebagai penutup tulisan ini, perlu dikemukakan di sini, bahwa semenjak

diberlakukannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana

kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat, terdapat

perubahan fundamental dalam hal hubungan kerja antara Pemerintah Daerah dan

DPRD. Sebagai mitra kerja DPRD, Kepala Daerah tidak lagi bertanggung jawab

kepada DPRD, melainkan hanya sebatas menyampaikan Laporan Keterangan

Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD yang berupa progress report kinerja

pemerintah daerah selama satu tahun anggaran. Oleh karena itu, pengawasan yang

dilakukan oleh DPRD tidak lagi dalam kapasitas untuk menerima atau menolak, dan

oleh karenanya, memposisikan Pemerintah Daerah dan DPRD pada dua kutub yang
berlawanan: antara utara -  selatan serta timur - barat adalah sebuah tindakan yang

tidak tepat dalam kontek otonomi daerah, karena kedua lembaga publik ini

merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.


DAFTAR PUSTAKA

You might also like