You are on page 1of 9

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (Alternatif


Model Pengembangan Pembelajaran PAI di Sekolah)
Posted by deni saepul hayat under Pendidikan
Leave a Comment 

A. Pendahuluan

Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Salah salah satu ciri manusia berkualitas dalam rumusan UU No. 20 Tahun 2003 di atas adalah
mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salah
satu ciri kompetensi keluaran pendidikan nasional adalah ketangguhan dalam iman dan takwa
serta memiliki akhlak mulia.

Menurut Tafsir (2002), bagi umat Islam, dan khususnya dalam pendidikan Islam, kompetensi
iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya, dan
sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam,
kompetensi iman dan takwa (imtak) serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), juga akhlak
mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Jadi, dalam pandangan Islam, peran kekhalifahan manusia dapat direalisasikan melalui tiga hal,
yaitu:
1) landasan yang kuat berupa iman dan takwa
2) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
3) akhlak mulia

Dengan demikian, menurut Wahid (2007), dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak dan
iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, karena Alquran dan Assunah
sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum. Yang ada
dalam Alquran adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu umum merupakan
hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya.

Ilmu-ilmu tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT, karena sumber ilmu tersebut berupa
wahyu, alam jagat raya, manusia dengan perilakunya, alam pikiran, dan intusi batin seluruhnya
ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian para ilmuwan dalam berbagai
bidang keahlian tersebut sebenarnya bukanlah pencipta ilmu, tapi penemu ilmu, penciptanya
adalah Tuhan. Atas dasar paradigma tersebut, seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama
dan istilahnya, sedangkan hakikat dan substansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari
Tuhan. Atas dasar pandangan ini, maka tidak ada dikotomi yang mengistimewakan antara satu
ilmu dengan ilmu yang lainnya.

Dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun terjadi dalam dunia pendidikan.
Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dianggap sebagai representasi ilmu agama Islam,
sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu umum. Akibat dari itu semua
adalah adanya beban yang sangat berat bagi guru yang mengajar pelajaran pendidikan agama
Islam, yaitu seolah-olah sebagai penanggung jawab ketika terjadi hal-hal yang tidak sesuai
dengan doktrin agama.

Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut
ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa
pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum pada
semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama
merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan
Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.

Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islam
sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam
bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan
peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia. Dengan demikian materi
pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana
membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan
kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan
dalam posisi apapun mereka bekerja.
Maka saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para
guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat
memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka
untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.

Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan Agama
Islam adalah dengan Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL).
Sehubungan dengan hal tersebut maka makalah ini akan membahas pendekatan kontekstual
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sebagai salah satu alternatif model dalam
pengembangan pembelajaran PAI di sekolah.

B. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran PAI

Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, penguasaan guru akan materi dan pemahaman
mereka dalam memilih metode yang tepat untuk materi tersebut akan sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Salah satu metode yang saat ini dianggap tepat
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah melalui pendekatan kontekstual.
Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan kontekstual adalah pemahaman guru
untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang
ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru-guru PAI mengenai strategi ini. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah
dipahami dan diterapkan oleh para guru Pendidikan Agama Islam di dalam kelas secara
sederhana.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang
menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa
yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya.
Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan,
mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara
individu maupun kelompok (Badruzaman, 2006).

Jawahir (2005) mengemukakan bahwa guru PAI dapat menggunakan strategi pembelajaran
kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu: a) memberikan kegiatan
yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa; b) lebih mengaktifkan
siswa dan guru; c) mendorong berkembangnya kemampuan baru; d) menimbulkan jalinan
kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat.
Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan
ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.
Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam
mengimplementasikan pendekatan kontestual, menurut Humaidi (2006) adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran Berbasis Masalah

Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu fenomena, misalnya :
a) menyuruh siswa untuk menonton VCD tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi,
tentang Alam Akhirat, azab Ilahi , dan sebagainya; b) menyuruh siswa untuk melaksanakan
shaum pada hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di
masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin

Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan siswa untuk mencatat
permasalahan-permasalahan yang muncul, misalnya: a) setelah menonton VCD atau
mendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, siswa diharuskan membuat catatan tentang pengalaman
yang mereka alami, melalui diskusi dengan teman-temannya; b) setelah mengamati dan
melakukan aktivitas keagamaan siswa diwajibkan untuk mencatat permasalahan-permasalahan
yang muncul serta mereka dapat mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan
teman sekelasnya.

Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang siswa untuk berpikir
kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.

Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya,
membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.
2. Memanfaatkan Lingkungan Siswa untuk Memperoleh Pengalaman Belajar

Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
konteks lingkungan siswa, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti sholat
berjamaah, mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke
pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren tersebut. Siswa
diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan
mengenai materi yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang
harus dilakukan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan
materi pembelajaran.

3. Memberikan Aktivitas Kelompok

Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dengan membentuk
kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi kedalam beberapa kelompok yang heterogen.
Aktivitas pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat membangun
kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan oleh guru dalam mempraktekan metode ini adalah: 1) Mendatangkan ahli ke kelas,
misalnya Tokoh Agama, Santri atau Ulama dari pesantren, 2) Bekerja dengan kelas sederajat, 3)
Bekerja dengan kelas yang ada di atasnya.

4. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri

Melalui aktivitas ini, peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi
sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya,
siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi
pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman
pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang
cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat
melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Menyusun Refleksi

Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali
pengalaman yang baru mereka peroleh dari pelajaran tentang sholat berjama`ah, puasa senin-
kamis, membayar zakat, menyantuni fakir miskin, dan seterusnya.
Melalui perenungan ini, siswa dapat lebih menemukan kesadaran dalam dirinya sendiri tentang
makna ibadah yang mereka lakukan dalam hubungan mereka sebagai hamba Allah dan dalam
hubungan mereka sebagai makhluk sosial.

C. Penutup

Penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI sebagai alternatif model dalam
pengembangan pembelajaran PAI di sekolah, sesungguhnya merupakan upaya untuk lebih
meningkatkan peran pendidikan agama di sekolah dalam rangka membentuk peserta
Letak pentingnya penerapan pendekatan kontekstual sebagai dalam pembelajaran PAI
didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Mata pelajaran PAI merupakan salah satu mata pelajaran pokok dari sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaan peserta didik serta memiliki akhlak mulia dalam kehidupannya sehari-hari. Sejauh ini
para guru berpandangan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal, sehingga
pelajaran PAI cukup disampaikan dengan ceramah sehingga pembelajaran di kelas selalu
berpusat pada guru. Dengan pendekatan kontekstual diharapkan siswa bukan sekedar objek akan
tetapi mampu berperan sebagai subjek, dengan dorongan dari guru mereka diharapkan mampu
mengkonstruksi pelajaran dalam benak mereka sendiri, jadi siswa tidak hanya sekedar
menghapalkan fakta-fakta, akan tetapi mereka dituntut untuk mengalami dan akhirnya menjadi
tertarik untuk menerapkannya.

Kedua, Melalui pendekatan kontekstual diharapkan siswa dibawa ke dalam nuansa pembelajaran
yang di dalamnya dapat memberi pengalaman yang berarti melalui proses pembelajaran yang
berbasis masalah, penemuan (inquiri), independent learning, learning community, proses refleksi
, pemodelan sehingga dari proses tersebut diharapkan mereka dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agamanya.

Ketiga, Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai dengan tuntutan kurikulum 2006 harus
memenuhi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut harus
dikembangkan secara terpadu dalam setiap bidang kajian agama, seperti akidah, syariah dan
akhlak. Melalui pendekatan kontekstual yang dibangun dengan berbagai macam metode, guru
Agama Islam dapat memilih bagian mana yang cocok untuk aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor.

Melalui penerapan model ini, diharapkan dapat membantu para guru agama dalam mengarahkan
peserta didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan yang
kuat yang dihiasi dengan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Badruzaman, Ahmad. 2006. Strategi dan Pendekatan dalam Pembelajaran. Ar Ruuz, Yogyakarta.
Humaidi, M.K. 2006. Model-Model Pembelajaran Kreatif. Rosdakarya, Bandung.
Jawahir, Mochamad. 2005. Teknik dan Strategi Pembelajaran. Cendekia Press, Bandung.
Tafsir, Ahmad. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Rosdakarya, Bandung.
Wahid, Abdul. 2007. Pengajaran Terpadu PAI dengan Pelajaran Umum. Pikiran Rakyat 1 Mei
2007 kolom Forum Guru.
Proses Interaksi Siswa dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Saat ini bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada era globalisasi bidang kapital, budaya, etika
maupun moral. Era globalisasi merupakan era pasar bebas sekaligus persaingan bebas dalam
produk material dan jasa. Kalau dulu, untuk membangun basis ekonomi masyarakat
mengandalkan money capital (modal uang), selanjutnya berevolusi pada human capital, yakni
SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat mengerjakan tugas secara
profesional, serta berperilaku dan berpribadi mandiri. Dalam perkembangan selanjutnya kedua
capital tersebut kini masih dianggap kurang memadai. Justeru masyarakat yang mau membangun
basis ekonomi yang kuat sangat membutuhkan social-capital yang kokoh. Inti dari social capital
adalah trust (sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya (Muhaimin,
2003).

Pendidikan agama wajib diberikan di sekolah mulai tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi. Pendidikan agama di sekolah, di satu sisi terbukti efektif melahirkan manusia-manusia
yang taat beribadah, tetapi di sisi lain masih terdapat kelemahan dalam membentuk manusia
bermoral dan amanah. Salah satu kelemahan pembelajaran pendidikan agama adalah kurang
efektifnya metode pembelajaran sehingga kurang berhasil dalam membentuk sikap, prilaku, dan
pembiasaan beragama. Indikatornya antara lain (1) rendahnya minat dan kemauan untuk belajar
agama, (2) rendahnya kesadaran mengamalkan ibadah, (3) rendahnya kemampuan baca tulis al-
Quran, (4) berprilaku bertentangan dengan ajaran agama yang dianut seperti melakukan tindak
kriminal, anarkhis, premanisme, perkelahian antar pelajar, konsumsi minuman keras, narkoba,
dan lain-lain. Bahkan terjadinya krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia
sesungguhnya berpangkal pada krisis akhlak atau moral. Krisis ini oleh sementara pihak
dianggap sebagai kegagalan pendidikan agama. Padahal menurut Ardhana (1985) Indonesia
merupakan salah satu negara yang menaruh perhatian besar terhadap masalah pendidikan moral.
Dan Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk
moral/ akhlak yang mulia (Athiyah, 1974).

Menurut Dimyati (2001) problem yang dihadapi dalam pembelajaran pendidikan agama antara
lain berkaitan dengan (1) pendidik (guru pendidikan agama) yang melakukan pendidikan agama
dengan tujuan mempertinggi tingkat rana kognitif, afektif, dan psikomotor siswa,(2) materi
pendidikan agama berisi ajaran agama, nilai, dan perilaku agamis, (3) media massa yang
mengintervensi pesan berupa tawaran benda, perilaku, norma, nilai, ide, serta simbol masyarakat
industri (masyarakat modern), (4) siswa yang sedang berada dalam tahap berpikir perkembangan
moral, atau kepercayaan tertentu, (5) evaluasi pendidikan agama, dan (6) hasil belajar
pendidikan agama yang dibedakan dampak pengajaran dan dampak pengiring. Ajaran agama
bersifat dogma yang diterima berdsarkan keimanan seseorang, seperti dalam pendidikan agama
Islam, diajarkan untuk melakasanakn lima rukun Islam (syahadat, sholat, puasa, zakat, haji bagi
yang mampu). Menurut Dimyati (2002) kebenaran agama bersifat universal, transendent,
imanen, dan mutlak. Namun dalam proses pembelajaran, strategi yang dikembangkan dalam
pengenalan, penerimaan dan penanaman  ajaran agama tidak harus diberikan secara doktriner,
melainkan harus dikembangkan dan diperhatikan pengalaman belajar yang dapat menumbuh
kembangkan keutuhan subjek didik.

Sebagai nilai, pendidikan agama akan mempelajari, mencari, menemukan, mengkonstruk,


mencontohkan/ memodelkan, memilih, menetapkan, menginternaslisi dan mengamalakan nilai-
nilai yang mengacu pada ajaran agama. Menurut Bertens nilai merupakan sesuatu yang menarik
bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan
diinginkan; sesuatu yang baik. Sedangkan Max Scheler menyatakan bahwa  nilai merupakan
suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lain. Nilai tersusun secara
hierarkis, dari yang rendah hingga yang paling luhur: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai
kejiwaan, dan nilai kerohanian. Nilai-nilai itu adalah anugerah Tuhan, bukan buatan manusia.
Manusia hanya dapat menemukan, memahami, menghayati, dan mewujudkan dalam tindakan
nyata.

Sebagai konsekuensi dari pemikiran di atas, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat
memberdayakan dan mengaktifkan belajar siswa serta kajian materi pendidikan agama yang
fungsional dan  secara langsung sesuai dengan ajaran agama, nilai, dan perilaku beragama terkait
dengan situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu model tersebut adalah
dengan dikembangkannya model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran pendidikan
agama.

Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi
menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang

Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil

Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi
anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata
guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual

Oleh karena itu Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning merupakan
konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan  antara  pengetahuan  yang dimiliki dengan pene-rapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Siswa mem-peroleh    pengetahuan    dan   ketrampilan   tersebut   dari 
konteks  yang terbatas,  sedikit demi  sedikit  melalui proses   mengkonstruksi sendiri sebagai
bekal untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya  di masyarakat.

I.2 Fokus Penelitian

Dari latar belakang masalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah mendasar dalam
pelaksanaan Pendidikan Agama Islam lebih terletak pada aspek metodologi, terutama yang
mampu mengubah pengetahuan agama diinternalisasikan dalam diri peserta didik, serta
mempunyai relevansi dan kontekstual dengan nilai-nilai yang hidup dalam keseharian serta 
perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat

Berlatar belakang pada masalah dasar tersebut, maka penelitian ini bertujuan menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik pembelajaran PAI di SMA?


2. Bagaimana proses penerapan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) dalam penbelajaran PAI di SMA?
3. Bagaimana metode CTL dalam pembelajaran PAI di SMA yang berorientasi pada
pendekatan kontekstual yang dikaitkan dengan budaya masyarakat, sosial, ekonomi, dan
kondisi lainya dalam  kehidupan sehari-hari untuk memecahkan kendala pembelajaran
pendidikan agama dalam meningkatkan keimanan, moral/ akhlak, dan pengamalan
ibadah siswa?

I. 3  Tujuan Penelitian

Dalam rangka dilakukan penelitian ini akan mengetahui lingkup penelitian sebagaimana
disajikan dalam ruang lingkup penelitian. Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut di
atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui strategi pembelajaran, CTL berisi tentang metode-metode yang dapat


membantu siswa lebih aktif sebagai pembelajar untuk merefleksi pengalaman-
pengalamannya.
2. Mengetahui model penilaian pendidikan agama sebagai bagian utuh dari belajar agama
dengan penilaian sebenarnya (autenthic assessment) terhadap hasil belajar pengetahuan,
sikap dan pengamalan terhadap ajaran, nilai dan perilaku beragama.

I.4  Manfaat Penelitian

Penelitian ini antara lain bermanfaat untuk memperkenalkan model-model pembelajaran PAI
dengan pendekatan CTL yang bisa dikembangkan di SMA sebagai suatu kekayaan dalam bidang
metodologi pembelajaran. Satu pendekatan CTL ternyata bisa dikembangkan lagi dalam konteks
karakteristik PAI di SMA dan lingkungan yang mengitarinya (interaksi sosial keluarga maupun
masyarakat).
Selain itu, penelitian ini juga berguna untuk mengembangkan keilmuan metodologi
pembelajaran, serta proses interaksi siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam bidang
pendidikan agama. Dalam kenyataannya seringkali terjadi bahwa inovasi  di bidang metodologi
pembelajaran, seperti CTL,  sebagai temuan baru yang berasal dari luar hanya diadopsi begitu
saja dan digeneralisir untuk bisa diterapkan oleh semua guru dalam semua bidang studi, tanpa
daya kritisisme yang memadai.  Padahal setiap bidang studi, termasuk gurunya dan suasana
sekolah yang mengitarinya memiliki karakteristik tersendiri. Melalui penelitian ini, diharapkan
akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut dalam konteks pengembangan
metodologi pembelajaran PAI

You might also like