You are on page 1of 15

Program Pascasarjana UPI YAI

Analisis Kinerja Sektor-Sektor Industri Pengolahan di Luar Minyak dan


Gas Dalam Menghadapi Globalisasi dan Meningkatkan Daya Saing

Oleh :
FARIDA1

ABSTRACT

The purposes of this study are to understand performance of manufacturing


industries in Indonesia and to select the priority of those industries to be developed.
Description analysis and the line of best fit projection analysis were applied. The results
showed that the development of manufacturing industries non oil and gas fluctuated over
the period of 2003 to 2007. Over the last five years to 2007, average manufacturing
industries non oil and gas contributed around 23.38 percent of total GDP. During 2007, the
highest contributor came from transportation, equipment and machinery sector and food,
beverage and tobacco sector consecutively supply around 6.7 percent and 6.5 percent of
total GDP. Meanwhile the industry sectors which experienced to have a strong growth
occurred in transportation, equipment and machinery sector and food, beverage and
tobacco sector which grew around 7.6 percent and 7.3 percent, respectively. Overall,
manufacturing industries absorb employee more than 12 million people or around 12.3
percent of total work force in Indonesia. In globalization era, competition increase among
the countries which reflected in international trade to grab the market. Competition is not
only in international market but also in domestic market; our products will compete with
imported ones. Recently, China products influx the local market with lower prices
compared the local products. Comparative advantages of China have larger number of
population and lower wages than those of Indonesia. Easier investment procedures in
China have already attracted more investors to come. However, Indonesia could have
good opportunities as well, because Indonesia also has large number of population and
availability of materials. The increasing of fuel prices might cause obstacle for
competitiveness.

1
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta

104 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

PENDAHULUAN

Sektor industri pengolahan merupakan sektor industri yang strategis karena bisa
berperan sebagai sektor industri hulu maupun sebagai sektor industri hilir bagi sektor-
sektor industri lainnya. Selain itu, sektor industri pengolahan merupakan penyumbang
terbesar bagi produk domestik bruto di Indonesia. Sehingga bisa dikatakan bahwa kinerja
industri pengolahan sebagai indikator penentu bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Pada tahun 2007, total sektor industri pengolahan menyumbangkan PDB sebesar 27,0
persen dari total PDB di Indonesia Rp 3.957,403 trilyun (current prices). Sedangkan sektor
industri pengolahan diluar minyak dan gas menghasilkan 22,0 persen dari total PDB
Indonesia. Kontribusi ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya yang menyumbang 22,8
persen dari total PDB tahun 2006.
Sektor industri pengolahan juga memegang peranan penting karena penyerapan
tenaga kerja yang luas. Sektor industri pengolahan mampu menyerap sekitar lebih dari 12
juta tenaga kerja atau sekitar 12,4 persen dari seluruh total tenaga kerja yang ada.
Meskipun jumlah penyerapan ini masih dibawah sektor industri lain seperti sektor
pertanian, perikanan dan perkebunan juga sektor industri perdagangan, retail, hotel dan
restauran dimana masing masing menyumbang 43,7 persen dan 19,9 persen (Data per
February 2007).
Perkembangan sektor industri pengolahan juga bisa tercermin dari nilai ekspor dan
impornya. Pada tahun 2007, Ekspor Indonesia mencapai US$ 114,1 milyar sedangkan nilai
impor sebesar US$ 74,4 milyar. Berarti selama tahun 2007, Indonesia mengalami surplus
perdagangan internasional senilai US$ 39,7 milyar. Dibandingkan dengan tahun 2006,
ekspor mengalami peningkatan sebesar 13,2 persen dari tahun sebelumnya dimana ekspor
mencapai US$ 100,79 milyar dan import mengalami kenaikan sebesar 21,8 percent. persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya US$ 61,1 milyar.
Sektor-sektor industri apa saja yang mengalami peningkatan maupun penurunan,
comparative advantage apa yang dimiliki yang dapat meningkatkan daya saing yang perlu
dikembangkan untuk meningkatkan daya saing di masa yang akan datang, dan kelemahan-
kelemahan apa saja di dalam sektor industri tersebut yang perlu diperbaiki. Sehingga
penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran maupun wawasan mengenai
kinerja sektor-sektor industri selama lima tahun yang lalu dan bagaimana prospeknya di
masa yang akan datang.

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 105
Program Pascasarjana UPI YAI

Berdasarkan BPS, dalam sektor industri pengolahan terbagi menjadi 9 sub sektor
industri pengolahan yang didalamnya terdapat lebih dari 100 industri. Sembilan sub sektor
industri pengolahan tersebut adalah sub sektor makanan, minuman dan tembakau, sub
sektor tekstil, pakaian, dan kulit, sub sektor kayu, bambu dan rotan, sub sektor kertas dan
produk kertas, sub sektor kimia dan bahan kimia, sub sektor barang galian diluar metalik,
sub sektor logam dasar, sub sektor produk mesin dan peralatan yang terbuat dari metal, dan
sub sektor pengolahan lain-lain

METODE PENELITIAN

Penelitian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik
(BPS), dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam industri pengolahan, yang diperoleh
melalui browsing internet, koran-koran, majalah, dan sumber-sumber lain. Penulisan dan
analisis dalam makalah ini bersifat umum (market research) yaitu memberikan informasi
secara garis besar dalam suatu industri, bukan marketing research dimana analisis yang
diberikan secara lebih mendetail tentang suatu industri. Tujuan dari penulisan makalah ini
untuk memberikan gambaran umum tentang sektor-sektor industri pengolahan yang ada di
Indonesia, dan diharapkan sebagai titik tolak untuk penelitian yang lebih mendalam dan
terperinci di masa yang akan datang baik oleh penulis sendiri maupun peneliti-peneliti
lainnya.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber, Penulis akan
menganalisis kinerja industri industri pengolahan kemudian membuat proyeksi kinerja
industri industri tersebut untuk lima tahun mendatang dengan menggunakan metode yang
paling sederhana dengan metode regresi linier (J. Fred weston and Thomas E. Copeland,
hal.323), sebagai berikut:

Y = ax + b
Slope a = n (Σxy) – (Σx)(Σy)
n(Σx²) – (Σx)²
Intercept b = Σy – a (Σx)
n

106 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

HASIL PEMBAHASAN
1. Sub Sektor Makanan, Minuman dan Tembakau
Dalam sub sektor ini terdapat sekitar 24 industri, yaitu 18 industri makanan, tiga
industri minuman, dan tiga industri produk tembakau. Pertumbuhan GDP sub sektor ini
dari tahun 2003 sampai tahun 2007 adalah sekitar 2,7 persen, 1,4 persen, 2,7 persen, 7,2
persen dan 7,2 persen. Selama lima tahun, rata-rata konstribusi sub sektor makanan,
minuman dan tembakau terhadap total PDB sebesar 7,1 persen.
Dari sub sektor makanan, untuk industri daging dan susu masih tergantung pada
impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan ekspor yang tidak signifikan pada
produk-produk tersebut. Import produk susu mengalami peningkatan yang besar dari Rp
2,3 trilyun pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp 5,28 trilyun pada tahun 2007.
Kebanyakan import berasal dari Australia dan New Zealand. Produksi daging dan susu di
Indonesia tidak cukup berkembang, sementara konsumsi daging dan susu meningkat
sekitar 10 persen. Hal ini menyebabkan harga susu melonjak tajam seiring dengan naiknya
harga minyak dunia, dan melemahnya nilai tukar rupiah. Untuk industri seafood,
Pertumbuhan industri cukup bagus karena jumlah dan pertumbuhan export yang besar
dalam produk-produk tersebut, khususnya udang beku. Estimasi total export mencapai Rp
13,1 trilyun pada tahun 2003 menjadi Rp 16,5 trilyun tahun 2007. Produk export utamanya
adalah udang beku dengan negara tujuan terbesar adalah Jepang, Amerika serikat dan
negara-negara Eropa. Prospek export untuk produk-produk tersebut sangat cerah karena
permintaan dunia yang meningkat. Akan tetapi, untuk industri ikan dalam kaleng, biaya
produksi meningkat seiring dengan meningkatnya harga aluminium dan melonjaknya
harga minyak. Permintaan dalam negeri berkurang karena menurunnya daya beli
masyarakat.
Untuk industri gula, Indonesia sebelumnya termasuk negara pengekspor gula.
Namun saat ini, ketergantungan impor gula sangat tinggi dan meningkat dari tahun ke
tahun. Impor meningkat tajam dari sekitar Rp 3 trilyun tahun 2003 menjadi Rp 5,5 trilyun
tahun 2007. Ilegal impor juga diperkirakan meningkat. Produksi gula menurun karena
mesin-mesin pabriknya sudah tua, sehingga memproduksi secara tidak efisien. Biaya
produksi tinggi sehingga harga gula menjadi mahal, sedang harga impor lebih murah. Pada
tahun 2007, produksi gula lokal mencapai 2,4 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 3,3
juta ton. Sehingga dibutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan lokalnya. Pemerintah
diharapkan bisa mengurangi impor illegal dan mendorong semakin luasnya perkebunan

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 107
Program Pascasarjana UPI YAI

tebu untuk menjamin tersediannya bahan baku. Tingkat suku bunga yang rendah agar
produser mampu membeli mesin-mesin baru sehingga produktifitas meningkat.
Industri teh, di mana Indonesia termasuk negara penghasil teh nomer lima di dunia,
dan memasok sekitar 6 persen dari kebutuhan dunia. Tahun 2005, volume expor teh
Indonesia mencapai sekitar 102.200 ton dan menurun hingga 95.335 ton dan 90.490 ton
pada tahun 2006 dan tahun 2007. Penurunan expor teh Indonesia karena melimpahnya
pasokan di pasar internasional, kurangnya promosi dan pemasaran. Dibandingkan dengan
negara pengekspor teh lainnya, harga teh dari Indonesia adalah paling rendah. Sri Lanka
dan India bisa menjual dengan harga US$ 1,85 per kilo, sedangkan harga teh dari
Indonesia hanya US$ 1,40 per kg. Indonesia mengekspor teh dalam bentuk curah sehingga
harganya lebih murah, sedangkan India dan sri Lanka teh dalam kemasan sehingga
harganya lebih mahal. Sementara itu biaya produksi teh juga meningkat karena naiknya
harga minyak dan upah tenaga kerja. Total produksi teh Indonesia adalah sekitar 187.000
ton, sehingga ekpornya mencapai hampir 50 persen. Akan tetapi, kecenderungan ekpor
akan semakin menurun, kecuali Indonesia mampu meningkatkan produksi tanaman tehnya
dengan kualitas yang lebih bagus. Negara-negara pengekspor teh seperti Amerika dan
Inggris memperketat import dengan menerapkan stardar kualitas yang lebih bagus. Setali
tiga uang, kinerja industri kopi di Indonesia juga mengalami penurunan. Indonesia adalah
termasuk penghasil kopi nomer empat di dunia dengan total produksi mencapai 600.000
ton dan lebih dari 50 persen untuk ekspor. Namun demikian, harga kopi di Indonesia
adalah murah dikarenakan sebagian besar ekspor dalam bentuk curah dan jenis kopinya
adalah robusta yang harga per kg nya hanya US$ .60 sen. Sedangkan kebutuhan kopi di
pasar internasional adalah jenis Arabica yang harganya mencapai US$ 1.75 per kg.
Untuk industri minuman, baik minuman keras maupun soft drink, konsumsi dalam
negeri masih rendah dibandingkan dengan negara lain, misalnya Malaysia, Singapore dan
Philipina, namun tren konsumsi meningkat. Nilai export maupun impor masih rendah.
Harga dan rasa memegang peranan penting untuk keberhasilan penjualan. Masing-masing
segmen produk masih dikuasai oleh para pemain utama, misalnya untuk minuman
carbonate oleh Coca Cola, air mineral oleh Aqua, bir oleh bir bintang, minuman teh dalam
botol oleh sosro. Prospek industri masih cerah dan terbuka luas, karena jumlah penduduk
yang banyak. Pemain baru yang masuk pun menunjukkan peningkatan penjualan.
Persaingan akan semakin meningkat begitu pula impornya, karena untuk minuman ringan
tidak termasuk dalam pajak barang mewah.

108 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

Untuk industri rokok dan tembakau, produksi meningkat terus dengan rata-rata 7
persen setiap tahunnya. Jumlah penduduk yang besar dan kebiasaan merokok mendorong
peningkatan produksi setiap tahunnya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan penerimaan cukai
pemerintah yang mencapai Rp 43,8 trilyun tahun 2007, dibandingkan dengan tahun 2006
Rp 38,4 trilyun. Produsen besar masih menguasai pangsa pasar 80 persen untuk rokok
bermerek seperti Gudang Garam, Sampurna, Jarum dan Bentoel dengan rata-rata kapasitas
produksi mencapai lebih dari 90 persen. Sisanya dikuasai oleh industri-industri rumah
tangga dengan harga yang lebih murah, dengan target pasar luar jawa. Kesempatan masih
terbuka untuk rokok putih seiring dengan kesadaran konsumen untuk mengurangi kadar
nikotin, dimana saat ini masih dikuasai oleh sampurna (philip Morris) sekitar 40 persen.
Selama lima tahun terakhir, rokok putih belum meningkat secara pesat. Produksi rokok
putih hanya mencapai 10 persen dari total produksi rokok. Untuk lima tahun mendatang,
prospek industri rook dan tembakau masih cerah, karena pemerintah masih memprioritas
dalam penerimaan negara daripada kesadaran kesehatan untuk masyarakat, juga
penyerapan tenaga kerja yang luas. Export mencapai rata-rata Rp 2 trilyun setiap tahunnya,
dan impor yang kecil. Export masih terbuka untuk meningkat untuk rokok putih.
Demikian sekilas garis besar analisis kinerja industri industri makanan, minuman
dan rokok. Berdasarkan analisis trennya, penulis memperkirakan bahwa lima tahun
mendatang, Perkembangan PDB dan pertumbuhan sektor makanan, minuman dan
tembakau sebagai berikut.
(Dalam triyun rupiah, Harga Konstant)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
132,59 137,01 141,42 145,84 150,2 154,6
GDP 7 3 8 3 58 74
Pertumbuhan
GDP 7,2 8,68 10,16 11,64 13,12 14,6

Menggunakan analisis regresi linier, PDB sektor makanan, minuman dan tembakau
diperkirakan total pertumbuhan 16,67 persen dari Rp 132,5 trilyun pada tahun 2007
menjadi Rp 154,6 trilyun pada tahun 2012.

2. Sub Sektor Tekstil, Pakaian dan Kulit


Industri yang terlibat dalam sub sektor ini ada sekitar 14 industri. Indonesia pernah
mengalami kejayaan dalam sektor ini. Namun demikian selama lima tahun terakhir, tingkat
pertumbuhan semakin menurun dan tingkat kontribusi industri terhadap PDB juga

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 109
Program Pascasarjana UPI YAI

menurun tajam. Jika pada tahun 2003 tingkat pertumbuhan PDB dari sektor ini masih
sekitar 6,2 persen, maka pada tahun 2007 diperkirakan hanya tumbuh sekitar 1,2 persen.
Banyak perusahaan tekstil mengurangi produksinya dan jumlah tenaga kerja, karena
naiknya biaya produksi dan bahan baku, sedangkan daya beli masyarakat semakin
menurun, sehingga masyarakat menunda pengeluaran untuk produk ini. Produktifitas
kurang optimal karena mesin-mesin tekstil sudah tua. Import barang jadi, khususnya dari
China, meningkat tajam karena harga yang jauh lebih murah. Meski produksi tekstil secara
keseluruhan menurun, export masih menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir.
Hal ini didorong oleh berkurangnya quoto export Cina dan Vietnam ke negara Amerika
dan negara-negara Eropa juga berkembangnya negara tujuan export ke Brazil dan Emirat
arab. Pada tahun 2003, total export untuk tekstil, pakaian, kulit dan alas kaki sekitar US$
8,7 milyar, dan meningkat pada tahun 2007 mencapai lebih dari US$ 10 milyar, hampir 10
persen dari total export Indonesia. Tarif pajak yang dikenakan untuk Indonesia oleh negara
pengimpor lebih rendah daripada yang diperoleh China dan Vietnam, karena adanya tarif
anti dumping. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap praktek pengapalan
ilegal , dimana barang China diekspor dengan dokumen asal Indonesia. Kredit lunak
diperlukan untuk pembelian mesin-mesin baru. Larangan export kulit mentah diterapkan
sejak tahun 2006, dapat membantu ketersediaan bahan baku untuk sepatu, dimana kualitas
sepatu dari Indonesia lebih bagus. Pameran dan promosi perlu ditingkatkan sehingga
ekspor bisa terus meningkat karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.
Perkiraan sumbangan GDP dari sektor tekstil untuk lima tahun kedepan adalah
sebagai berikut.
(Dalam Trilyun rupiah, harga konstan)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP 56,341 57,449 58,557 59,666 60,774 61,882
Pertumbuhan industri tekstil, produk tekstil dan kulit meningkat dari Rp 56,3
trilyun pada tahun 2007 menjadi Rp 61,88 trilyun tahun 2012 atau total pertumbuhan
sebesar 9,8 persen.

3. Sub Sektor Kayu, Bambu, dan rotan


Untuk industri-industri kayu, pertumbuhan PDB nya menurun. Jika pada tahun
2003, PDB dari kayu tumbuh 1,2 persen, mulai tahun 2004 turun 2,1 persen, tahun 2005
turun 0,9 persen, tahun 2006 turun 0,7 persen dan tahun 2007 diperkirakan turun 0,4
persen. Seiring dengan turunnya produksi, maka export juga mengalami penurunan. Export

110 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

yang signifikan berasal dari plywood, dimana pada tahun 2002 export mencapai US$ 1,7
milyar dan menurun menjadi US$ 1,45 milyar tahun 2007. Negara tujuan yang utama
adalah Jepang, Amerika Serikat, Korea, China, Saudi Arabia dan Taiwan. Produksi
plywood mengalami penurunan karena mismanagement dalam pengelolaan hutan, kondisi
industri hilirnya yang lesu, seperti properti, kondisi sosial politic, maraknya plywood asal
China yang murah di pasar lokal, meningkatnya penetrasi pasar plywood Malaysia di
Jepang, padahal bahan bakunya berasal dari Indonesia baik secara legal maupun illegal,
sehingga export Indonesia ke Jepan semakin menurun. Jika pada tahun 2002, exspor ke
Jepang mencapai US$ 1,2 milyar, maka pada tahun 2007 hanya US$ 0,7 milyar. Selain itu
kondisi mesin yang sudah perlu diupgrade, juga menjadikan produksi kurang efisien.
Produk export kayu lainnya adalah furniture dan lainnya mencapai lebih dari US$ 1,7
milyar pada tahun 2007. Namun demikian, volumenya semakin menurun dari tahun ke
tahun. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar, namun ekspor barang jadi, Malaysia lebih
unggul kualitas dan harga. Rotan banyak terdapat di Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan
perajin furniture berada di pulau Jawa. Sehingga biaya transportasi lebih mahal
dibandingkan dengan dijual mentah langsung ke Malaysia. Sering terjadi kelangkaan
bahan baku rotan bagi perajin. Untuk pasar Amerika Serikat masih tujuan utama, namun
market sharenya tergeser oleh China dan Vietnam.
Perkembangan sektor kayu dalam konstribusinya terhadap PDB Indonesia di masa
yang akan datang diperkirakan sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP 19,698 19,455 19,212 18,969 18,726 18,483

4. Sub Sektor Kertas dan Produk Kertas


Sektor industri kertas dan produk kertas menghasilkan PDB sekitar Rp 24,4 trilyun
(constant price) atau sekitar 1,3 persen dari total PDB Indonesia. Pertumbuhan industri ini
pada tahun 2003 sebesar 8,4 persen, tahun 2004 sekitar 7,6 persen, tahun 2005 yaitu 2,4
persen dan tahun 2006 dan 2007 diperkirakan 2,1 persen dan 2,0 persen. Trend
pertumbuhan semakin menurun selama lima tahun terakhir, padahal Indonesia masuk 10
besar sebagai produsen kertas dan produk kertas di dunia. Baik export maupun impor
mengalami kenaikan. Export tahun 2003 sebesar US$ 2,8 milyar menjadi US$ 3,5 milyar
tahun 2007. Sedangkan import senilai US$ 1,0 milyar tahun 2003 menjadi US$ 1,4 milyar
pada tahun 2007. Tujuan utama ekspor adalah China, Australia, Malaysia, Korea dan

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 111
Program Pascasarjana UPI YAI

Taiwan. Sedangkan import berasal dari Canada, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Swedia,
dan Brazil. Selama lima tahun terakhir, tidak ada investor baru yang besar masuk dalam
industri ini, hanya perusahaan-perusahan menengah dan kecil, baik dalam segmen
percetakan ataupun daur ulang. Pangsa pasar untuk industri ini masih dikuasai oleh
pemain-pemain besar atau bersifat oligopoli. Sembilan puluh persen adalah perusahaan
swasta dan 10 persen adalah milik negara.
Meskipun konsumsi dalam negeri meningkat dari 5,3 juta ton tahun 2003 menjadi
sekitar 5,5 juta ton tahun 2007, tetapi tingkat konsumsi kertas per kapita di Indonesia
masih rendah rata-rata 25 kg, dibandingkan dengan Thailand (35kg), Malaysia (106 kg),
Singapore (180 kg).
Perkembangan sektor kertas lima tahun mendatang adalah.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP 25,551 26,422 27,292 28,162 29,032 29,902
Berdasarkan analisa regresi linier, sektor ini akan tumbuh sebesar 17,2 persen dari
tahun 2007 sampai dengan tahun 2012.

5. Sub Sektor Produk Kimia dan Bahan-bahan Kimia


Sektor ini terdiri dari banyak industri, dari industri kimia dasar organik dan non
organik, industri pupuk, pestisida, resin dan plastik, cat, sabun, kosmetik, tinta, karet dan
lainnya yang berbahan baku kimia. Tingkat ketergantungan terhadap bahan baku import
sangat tinggi, sehingga sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar rupiah dan harga
minyak. Total sektor ini menyumbang Rp 61,9 trilyun (constant prices) atau sekitar 3,3
persen dari total PDB. Sedangkan tingkat pertumbuhan industri selama lima tahun terakhir
rata-rata 8 persen. Pertumbuhan sektor ini didorong oleh permintaan di industri hilir yang
hampir semua industri membutuhkan bahan baku dari produk-produk ini, sehingga
pertumbuhan ekonomi sangat mempengaruhi permintaan terhadap produk-produk tersebut.
Untuk industri kimia dasar non organik dan organik, impor lebih besar daripada ekspor.
Pada tahun 2003, import kimia non organik mencapai US$ 416 juta menjadi US$ 660 juta
pada tahun 2006, sedangkan pada periode yang sama, export senilai US$ 260 juta menjadi
US$ 481 juta. Untuk industri kimia dasar organik, import meningkat dari US$ 1,99 milyar
tahun 2003 menjadi US$ 3,1 milyar di tahun 2006. Sedangkan periode yang sama, ekspor
meningkat dari US$ 1,21 milyar menjadi US$ 1,8 milyar. Beberapa investor asing masuk
dalam industri ini. Kepemilikan perusahaan oleh investor asing lebih dari 50 persen

112 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

sehingga tingkat globalisasi dari sektor ini cukup tinggi. Kebutuhan modal sangat besar
dibandingkan dengan kebutuhan tenaga kerjanya, sehingga sektor ini bersifat capital
intensive. Produksi dalam negeri untuk industri yang dikenal dengan petrochemical ini
masih lebih rendah dengan tingkat konsumsi dalam negeri,misalnya untuk produk etylene,
hanya Chandra Asri satu satunya produser dengan kapasitas produksi sebesar 550.000 ton,
sedangkan konsumsi dalam negeri mencapai 900.000 ton. Begitu juga dengan produk-
produk seperti polyethylene, methanol dan lainnya. Selama lima tahun terakhir beberapa
investor asing masuk dalam industri ini. Industri petrochemical sangatlah penting, karena
produk-produk tersebut sebagai bahan baku untuk industri lainnya. Investor asing sangat
diperlukan untuk berinvestasi dalam sektor ini karena keterbatasan dana oleh investor
lokal.
Untuk industri pupuk dan pestisida, export mencapai sekitar Rp 1,5 trilyun pada
tahun 2007. Sejak tahun 2005, produksi semakin menurun karena kelangkaan gas dalam
negeri dan naiknya minyak dunia, mengakibatkan harga pupuk melonjak tajam. Selain
disebabkan juga oleh distribusi yang tidak lancar. Industri ini perlu campur tangan
pemerintah dalam hal peraturan pasokan gas, karena mahalnya harga pupuk menyebabkan
hasil pertanian berkurang dan stabilitas pangan terganggu.
Industri lain dalam sektor ini yang menghasilkan export yang besar adalah industri
karet, dimana pertumbuhan produksi tetap tinggi, yang didorong oleh meningkatnya
permintaan otomotif di Indonesia. Produksi ban Indonesia memiliki standar kualitas yang
bagus yang diterima oleh negara-negara Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Produksi ban
roda empat tahun 2007 mencapai 50 juta dan expor mencapai US$ 898,1 juta yang tersebar
ke lebih dari 150 negara tujuan.
Perkembangan sektor ini lima tahun mendatang diperkirakan sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP 66,590 70,650 74,710 78,769 82,829 8,6889

6. Sub Sektor Produk Pertambangan di luar Logam


Produk yang dihasilkan dalam sektor ini berupa produk gelas, porcelin, semen,
asbes dan sejenisnya. Industri semen menentukan perkembangan industri hilirnya seperti
sektor konstruksi. Ketersediaan semen dengan harga yang terjangkau akan mempercepat

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 113
Program Pascasarjana UPI YAI

proses pembangunan baik konstruksi, gedung, maupun infrastructur sepeti jalan, bandara
dan lainnya. Pada saat ini hanya ada 9 perusahaan yang memproduksi semen dengan total
produksi mencapai 40 juta ton. Sedangkan konsumsi dalam negeri hanya sekitar 34 juta,
sehingga terjadi surplus dan diekspor. Namun demikian harga semen diluar negeri murah
sehingga kurang menarik dibandingkan dengan dalam negeri. Meskipun terjadi surplus,
sering terjadi kelangkaan semen karena ulah para spekulator. Harga semen di dalam negeri
sangat sensitive dengan harga minyak dan gas. Saat ini, industri bersifat oligopoli karena
industri ini capital intensive sehingga barrier entri nya tinggi, hanya investor yang
bermodal besar yang mampu. Saat ini Semen Gresik Group menguasai pangsa pasar 45
persen, Indocement 30 persen, Holcim Indonesia 15 persen dan sisanya 10 persen oleh
Semen Andalas, Semen Baturaja, Semen Bosowa, dan Semen Kupang.

7. Sub Sektor Industri Baja


Industri-industri yang masuk dalam sektor ini adalah industri besi dan baja, dan
industri logam bukan besi, seperti aluminium, kuningan, tembaga dan lainnya, juga
industri yang menghasilkan produk- produk turunannya. Pertumbuhan sektor ini
mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Untuk industri baja, produksi
mengalami penurunan yang signifikan dari 1.821 juta ton menjadi 1.744 juta ton (4%),
pipa dari 779.181 ton menjadi 642.832 ton (21,2%), lembaran baja menurun 14,5% dari
835.493 ton menjadi 729.670 ton. Penurunan produksi tersebut akibat turunnya produksi
HRC di pabrik Krakatau, sebagai produsen baja terbesar di Indonesia. Tarif masuk impor
untuk baja rendah, berkisar 0 sampai 5 persen berdasarkan free trade agreement. Sehingga
pada saat produksi dalam negeri menurun, baja dari China membanjiri pasar dengan harga
yang jauh lebih murah. Sebaliknya, biaya produksi baja dalam negeri semakin mahal
seiring dengan naiknya harga minyak dan gas. Kebutuhan meningkat seiring dengan
pertumbuhan di industri otomotif, konstruksi pabrik-pabrik dan gedung. Untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, maka import meningkat tajam, yaitu mencapai US$ 3,78 milyar
pada tahun 2007.
Sebaliknya untuk industri logam bukan besi dan baja, menunjukkan produksi yang
meningkat akibat permintaan dari industri hilir. Export meningkat tajam dari US$ 955 juta
pada tahun 2003 menjadi US$ 2,69 milyar tahun 2006. Sedangkan import juga meningkat
dari US$ 188,8 juta menjadi US$ 473,5 juta pada periode yang sama.

114 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

8. Sub Sektor Produk-Produk yang Terbuat dari Logam


Misalnya industri-industri yang menghasilkan mesin-mesin dan peralatan, maupun
industri yang meghasilkan alat transportasi. Kinerja industri-industri yang termasuk dalam
sektor ini mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 8,9 persen tahun 2003, tahun
2004 tumbuh 17,7 persen, tahun 2005 sebesar 12,4 persen dan 7,5 persen pada tahun 2006.
Tahun 2007, diperkirakan naik 7,3 persen. Sektor ini menghasilkan PDB terbesar sektor
manufacturing yaitu Rp 147 trilyun atau sekitar 8 persen dari total PDB Indonesia.
Terdapat 27 jenis industri dalam sektor ini. Secara garis besar permintaan terhadap mesin-
mesin untuk pertanian, untuk industri kayu, permintaan dalam negeri meningkat tajam,
sehingga kebutuhan importnya juga meningkat. Tetapi untuk alat-alat pertanian terbuat
dari logam dan bukan mesin, ekspor lebih besar daripada importnya. Permintaan mesin
berat untuk kehutan, pertambangan, konstruksi masih tergantung pada import. Import
industri ini mencapai lebih dari US$ 2 milyar, sedangkan importnya hanya US$ 0,5
milyar. Seiring dengan meningkatnya permintaan, produksi dalam negeri untuk alat-alat
berat juga meningkat. Pemain utama dari industri ini adalah Komatsu, Caterpillars dan
Hexindo. Tahun 2006, produksi dalam negeri mencapai lebih dari 4,500 unit.
Untuk industri barang-barang elektronik seperti TV, audio, telephone, alat-alat
listrik rumah tangga adalah export oriented, selain itu permintaan dalam negeri meningkat
seiring dengan jumlah penduduk, gaya hidup dan tingkat pendapatan. Namun pasar lokal
juga dipenuhi barang-barang import dari China, Korea dan Thailand. Meskipun kualitas
barang untuk produk Jepang lebih bagus, tapi harga yang rendah dari China mampu
merebut pasar meski market sharenya masih terbatas. Untuk produk elektronik seperti TV,
radio, monitor, export lebih dari Rp 35 trilyun.
Untuk industri transportasi, terbagi menjadi industri kapal dan komponennya,
industri rel kereta api, industri kendaraan bermotor roda empat dan dua, industri pesawat
dan industri trasportasi laiinya. Kondisi industri perkapalan di Indonesia menunjukkan
kinerja yang bagus. Pelaku utamanya adalah PT PAL, dimana permintaan berasal dari luar
negeri selain juga dalam negeri. Permintaan berasal dari German, Italia, Turki, Singapore,
Australia, Belanda dan lainnya. Industri ini capital intensive karena membutuhkan modal
yang besar sehingga investor asing diharapkan untuk masuk dalam industri ini. Indonesia
sebagai negara kelautan juga membutuhkan banyak kapal, sehingga import terhadap kapal
juga meningkat. Tahun 2006 dan 2007, import meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 115
Program Pascasarjana UPI YAI

sebelumnya. Yang biasanya import dibawah nilai US$ 300 juta, maka pada tahun 2006,
import mencapai lebih dari US$ 1,2 milyar.
Selama tahun 2007, dalam industri kendaraan roda empat, penjualan mencapai
434.449 unit, naik dibandingkan tahun 2006 yang mengalami penurunan dibandingkan
2005 hanya 318.904 unit karena melonjaknya harga minyak pada akhir tahun 2005. Astra
menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen. Pada tahun 2004 dan 2005 produksi kendaraan
roda empat mencapai 483.295 dan 534.000 units, naik dari tahun 2003 yang hanya 354.333
unit. Sehingga selama lima tahun terakhir kinerja industri kendaraan roda empat bagus
dengan meningkatnya produksi seiring dengan meningkatnya permintaan dalam negeri.
Impor lebih besar daripada export yang hanya mencapai sekitar Rp 15 trilyun, dengan
komoditas utamanya adalah sparepart dan accessories sekitar 68 persen dari total ekspor.
Tujuan utama ekspor adalah Jepang (22,38%), Thailand (14,38%), Amerika Serikat
(13,65%), Malaysia (10,6%), China (7,33%). Impor mencapai Rp 21,7 trilyun pada tahun
2007, dengan komoditas utamanya juga sparepart dan accessories. Import berasal dari
Jepang (52,26%), Thailand (20,09%), Australia (5,04%).
Sedangkan untuk penjualan kendaraan roda dua, penjualan mencapai 4,98 juta unit
tetapi masih rendah dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 5,1 juta unit. Pangsa pasar
masih dikuasai oleh Astra Honda around 50 persen. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi
sebagai alasan tumbuhnya industri ini. Rendahnya pajak impor juga menyebabkan semakin
maraknya motor asal China di dalam negeri.
Proyeksi pertumbuhan PDB sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
GDP 1487,303 1898,976 2310,649 2722,322 3133,995 3545,669
Total pertumbuhan sampai tahun 2012 adalah 138,3 persen.

9. Sub Sektor Industri Pengolahan Lain-lain


Pertumbuhan GDP pada industri-industri dalam sektor ini meningkat meskipun
menunjukkan tren yang menurun. Yang termasuk dalam sektor ini adalah industri
perhiasan, industri alat musik dan permainan, alat-alat lukis dan lainnya. Tingkat
pendapatan masyarakat sangat menentukan permintaan dalam industri ini. Ekspor
perhiasan untuk permata, mas dan perhiasan lainnya melonjak. Alat-alat musik buatan
Indonesia seperti gitar diekspor denga kualitas yang lebih bagus dari negara lainnya.
Sehingga pangsa pasar untuk alat-alat musik di luar negeri cukup bagus.

116 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi


Analisis Kinerja Sektor-sektor Industri Pengolahan Di Luar Minyak Dan Gas Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Meningkatkan Daya Saing

KESIMPULAN
Secara keseluruhan kinerja industri-industri sektor pengolahan belum mengalami
recovery. Bahkan beberapa sektor yang sebelumnya menjadi andalan bagi pertumbuhan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, kinerjanya semakin memburuk dengan produksi
dan ekspornya semakin menurun. Seperi contoh, sektor tekstil yang sebelumnya
penyumbang devisa besar, kini semakin menurun. Di pasar lokal pun, produk tersebut
bersaing ketat dengan produk China yang harganya jauh lebih murah. Penyumbang
terbesar dalam sektor pengolahan terhadap PDB adalah sektor mesin dan makanan. Namun
pertumbuhan dalam sektor makanan sangat volatile atau naik turun.
Pemerintah perlu campur tangan dalam perkembangan industri-industri, khususnya
industri yang padat karya. Dengan terserapnya tenaga kerja maka pendapatan masyarakat
juga akan meningkat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Stimulus pajak dan pinjaman lunak diharapkan untuk menggairahkan investasi atau
pembelian mesin. Promosi dan pemasaran perlu ditingkatkan untuk menggaet pasar ekspor.
Dari kinerja sektor industri pengolahan yang diamati selama lima tahun,
pertumbuhan belum cukup signifikan. Indonesia membutuhkan waktu yang lama dari
keterpurukannya sejak krisis ekonomi yang menghantam Indonesia tahun 1997, yaitu
sekitar 10 tahun sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2007, Statistik Industri Besar dan Sedang. Badan Pusat
Statistik, Jakarta
Badan Pusat Statistik (BPS). 2007, Export dan Import. Badan Pusat Statistik, Jakarta
J. Fred Weston and Thomas. E. Copeland, 1995, Manajemen Keuangan, Jilid 1, Jakarta

The 1st Annual Graduate Student Research And Creativity Symposium 117
Program Pascasarjana UPI YAI

Koran Kompas, Jakarta Post, Internet browsing.

118 Indonesia Recovery : Tantangan Pembangunan Ekonomi

You might also like