You are on page 1of 11

c   


 

   c
 



     
  



A. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Moneter (Monetary Policy)

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar
dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar
dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta
terjadinya peningkatan output keseimbangan.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu:

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam
rangka menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam
rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight
money policu)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu
antara lain :

1.› Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)


Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual
atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah
jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila
ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga
pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah
SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat
Berharga Pasar Uang.
2.› Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat
bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan
uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah,
pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat
bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3.› Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan
jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk
menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4.› Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan
jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau
perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk
mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke
bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

B. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar,
namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan
erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh
pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat
dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan
menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1.› Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif


Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar
dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat
baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2.› Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih
besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika
perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk
menurunkan tekanan permintaan.
3.› Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar
dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian
anggaran serta meningkatkan disiplin.

› ›
     !"

Perekonomian Indonesia sampai dengan September 2009 menunjukkan perbaikan seiring dengan terus
berlangsungnya pemulihan perekonomian global. Perbaikan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat
dan Jepang, terus berlanjut. Sementara perekonomian Eropa, yang pada bulan lalu masih menunjukkan
penurunan, mulai beranjak tumbuh positif. Perbaikan ekonomi yang paling signifikan terjadi di Cina,
yang pertumbuhannya didorong oleh stimulus fiskal yang besar dan peningkatan kredit perbankan.
Pertumbuhan ekonomi Cina telah membawa dampak yang positif dengan membaiknya ekspor dari
negara-negara kawasan, termasuk Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, proyeksi pertumbuhan
ekonomi dunia di tahun 2009 diperkirakan akan lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Meski
membaik, masih tingginya tingkat pengangguran dan risiko kesinambungan fiskal di Amerika Serikat
dan Eropa menjadi catatan dalam menyikapi perkembangan tersebut.

Pemulihan ekonomi global yang berlanjut mendorong perbaikan risiko dan likuiditas pasar keuangan
global yang berimbas pada masuknya arus modal asing. Optimisme di pasar keuangan global tercermin
pada membaiknya persepsi risiko mendorong turunnya intensitas keketatan likuiditas di pasar uang. Di
sektor perbankan global, persepsi risiko juga masih berada dalam tren menurun. Perkembangan positif
di pasar keuangan negara maju tersebut berimbas pada pasar keuangan di Asia. Hal itu memicu aliran
masuk modal asing ke pasar keuangan regional, termasuk Indonesia. Indeks harga di berbagai bursa
saham regional meningkat. Selain itu, nilai tukar negara-negara di kawasan mencatat penguatan
sebagai imbas dari arus masuk modal asing.

Di dalam negeri, kinerja perekonomian Indonesia terus menunjukkan tanda-tanda perbaikan sehingga
pertumbuhan ekonomi Triwulan III-2009 berpotensi lebih baik dari yang diperkirakan semula sebesar
3,9%. Dari sisi konsumsi, berbagai indikator terkini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi
masyarakat masih kuat. Sementara tingkat penjualan barang eceran dan barang tahan lama (durables)
meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Tingkat keyakinan konsumen akan membaiknya
perekonomian juga menjadi faktor yang menjadikan pertumbuhan konsumsi masih menguat. Hal ini
didukung pula oleh ketersediaan pembiayaan dari perbankan. Sementara itu, kegiatan investasi di
Indonesia belum menunjukkan perbaikan signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi permintaan
domestik maupun eksternal yang masih relatif lemah. Di sisi eksternal, membaiknya perekonomian di
Cina dan India, telah mendorong perbaikan kegiatan ekspor. Dengan demikian, ekspor berpotensi
tumbuh lebih baik dari perkiraan. Mencermati perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi selama
triwulan III-2009 berpotensi sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

Di sisi harga, inflasi selama Agustus 2009 mencatat peningkatan sesuai pola musiman terkait dengan
aktivitas Ramadhan, namun inflasi inti masih dalam tren menurun. Seiring dengan kegiatan di bulan
Ramadhan, terjadi peningkatan harga bahan makanan. Hal ini menyebabkan inflasi kelompok
makanan bergejolak (volatile food) mencatat peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara
itu, inflasi inti masih dalam tren menurun, didukung oleh penguatan nilai tukar, rendahnya tekanan
imported inflation, serta menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Lebih lanjut, inflasi kelompok
harga barang yang ditentukan Pemerintah (administered prices) juga minimal. Dengan perkembangan
tersebut, laju inflasi selama Agustus 2009 sebesar 0,56% (mtm) atau 2,75% (yoy). Secara tahunan laju
inflasi diperkirakan masih berada pada tren menurun.

Membaiknya perekonomian global dan kawasan telah memberikan dampak positif pada membaiknya
kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Perkembangan ekonomi global yang kondusif, terutama
kondisi perekonomian negara mitra dagang, mendukung perbaikan kinerja ekspor. Membaiknya
ekspor tersebut diperkirakan mampu mengimbangi peningkatan impor yang terjadi sejalan dengan
mulai bergeraknya ekonomi domestik. Selain itu, membaiknya kinerja ekspor pada Triwulan III-2009,
diperkirakan akan terus didukung oleh perkembangan harga di pasar internasional. Di sisi neraca
modal dan finansial (TMF), aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio masih terus berlanjut
seiring dengan kondusifnya kondisi pasar keuangan global, serta persepsi positif terhadap ekonomi
domestik. Dengan berbagai perkembangan tersebut, cadangan devisa sampai akhir Agustus 2009
mencapai 57,9 miliar dollar AS sebelum memasukkan alokasi Special Drawing Right (SDR) IMF, atau
setara dengan 5,67 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Aliran masuk modal asing mendorong penguatan nilai tukar Rupiah. Aliran modal asing terus
berlangsung ke pasar domestik dan mendukung pasokan valuta asing di pasar uang. Aliran modal
asing ke Indonesia didukung oleh optimisme akan pemulihan ekonomi global dan domestik, imbal
hasil rupiah yang tetap menarik, dan persepsi risiko yang membaik. Hal ini telah meningkatkan minat
dari para pemilik modal terhadap aset di pasar keuangan domestik. Selama Agustus 2009 nilai tukar
rupiah secara rata-rata terapresiasi sebesar 1,32% menjadi Rp. 9.966 per dolar AS. Rupiah bergerak
cukup stabil sebagaimana tercermin pada penurunan volatilitas dari 0,6% pada Juli 2009 menjadi
0,46%. Bank Indonesia memandang bahwa apresiasi rupiah tersebut masih mendukung daya saing
produk ekspor Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya.

Di sektor keuangan domestik, perbaikan kinerja terus ditunjukkan oleh pasar keuangan domestik. Di
pasar saham, minat beli investor di bursa meningkat tinggi didukung oleh kondisi fundamental
ekonomi domestik yang baik, terutama realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari perkiraan,
serta kinerja perusahaan publik pada semester I-2009 yang menunjukkan perkembangan positif. Di
pasar uang, kondisi likuiditas di pasar uang antar bank masih cenderung longgar. Hal ini tercermin
pada volume transaksi di pasar uang yang mencatat peningkatan. Suku bunga PUAB overnight
menurun dari bulan sebelumnya, sejalan dengan arah pergerakan BI Rate. Di pasar obligasi, yield SUN
meningkat, yang antara lain disebabkan oleh pelepasan aset oleh beberapa investor asing sebagai
akibat aksi profit taking seiring dengan peningkatan yield di periode sebelumnya dan kecenderungan
nilai tukar yang menguat.

Di sektor perbankan, transmisi kebijakan moneter di pasar keuangan cenderung semakin baik.
Penurunan BI Rate sebesar 300 bps sejak Desember 2008 terus diikuti oleh penurunan suku bunga.
Hingga Juli 2009, suku bunga dasar pinjaman perbankan mencatat penurunan sebesar 108 bps, suku
bunga kredit modal kerja (KMK) turun sebesar 85 bps, kredit investasi (KI) turun sebesar 83 bps,
sementara kredit konsumsi masih mencatat kenaikan 53 bps. Penyaluran kredit perbankan juga mulai
menunjukkan perbaikan. Hingga Juli 2009 kredit perbankan telah tercatat tumbuh positif, yaitu sebesar
1,2% (ytd) mencapai jumlah Rp 15,9 triliun.

Dengan optimisme akan perbaikan ekonomi yang semakin tinggi, penyaluran kredit diperkirakan terus
meningkat seiring dengan semakin berkurangnya ketidakpastian perekonomian di sektor riil.
Komitmen sejumlah bank untuk menurunkan suku bunga deposito diperkirakan akan semakin
mendorong penurunan suku bunga kredit dan penyaluran kredit perbankan. Bank Indonesia akan terus
memantau pelaksanaan dari komitmen tersebut dan juga akan menempuh langkah-langkah lanjutan
untuk meningkatkan efisiensi perbankan sehingga dapat mendorong penurunan suku bunga kredit
lebih lanjut.

Di bidang operasi moneter, untuk memastikan ketersediaan likuiditas perbankan dan mengantisipasi
meningkatnya kebutuhan likuiditas perbankan seiring dengan membaiknya prospek penyaluran kredit,
maka terhitung mulai Senin 7 September 2009, Bank Indonesia menyediakan transaksi REPO dengan
tenor 3 bulan disamping yang sudah tersedia saat ini.

Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil. Hal itu diindikasikan oleh masih
terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per Juli 2009 sebesar 17,0%. Sementara itu rasio gross Non
Performing Loan (NPL) tetap terkendali di bawah 5% dengan rasio net di bawah 2%. Likuiditas
Perbankan, termasuk likuiditas dalam pasar uang antar bank makin membaik dan pertumbuhan Dana
Pihak Ketiga (DPK) meningkat.

Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas, Rapat Dewan Gubernur


Bank Indonesia pada 3 September 2009 memutuskan untuk mempertahankan BI rate tetap sebesar
6,5%. Dewan Gubernur memandang bahwa pelonggaran moneter sejak Desember 2008 melalui
penurunan suku bunga BI Rate sebesar 300 bps menjadi 6,5% cukup kondusif bagi proses pemulihan
perekonomian dan intermediasi perbankan. Tingkat BI Rate 6,50% tersebut juga dipandang konsisten
dengan pencapaian sasaran inflasi pada tahun 2010 sebesar 5% ± 1%.



   #
 
  
 

Pengaruh kebijakan moneter terhadap output dan harga merupakan perdebatan yang
panjang baik berkaitan segi teoritis maupun empiris. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan
aliran pemikiran ekonomi dari mulai clasical, neo-clasical, neo-clasical synthesis, new clasical
dan new keynesian.

Dalam pandangan Klasik bahwa uang hanya berpengaruh terhadap harga dan tidak
terhadap output. Dengan mengunakan analisa general ekulibrium yang memasukan uang ke
dalam model menghasilkan money neutrality yang menunjukan uang tidak berpengaruh terhadap
keseimbangan pasar.

Di sisi lain, pandangan Keynesian bahwa uang berpengaruh terhadap harga dan output
karena adanya rigiditas harga dan penganguran tak sukarela (involuntary unemployment).
Pandangan tersebut dimodelkan dengan IS-LM untuk keseimbangan pasar uang dan pasar barang
(aggregate demand) serta dan adanya disekuilibrium pasar tenaga kerja pada sektor perusahaan
(aggregate supply). Pada tahun 1960-an terjadi konsensus pandangan bahwa uang dapat
mempengaruhi output dan harga dalam jangka pendek yang disebut sebagai Neoclasical
Synthesis. Pada kurun waktu tersebut struktur labor market digantikan dengan Phillip curve
untuk mengekspresikan aggregate supply.

Dalam model Neoclassical Synthesis menjelaskan terjadinya rigiditas harga dan upah
karena adanya asumsi perilaku perusahaan dalam menentukan harga yaitu secara mark-up dari
upah. Oleh karena itu, walaupun real wage adalah flexible, namun karena pricing behaviour
dilakukan secara mark-up maka terjadi rigiditas harga dan upah sehingga money supply
berpengaruh terhadap real output dan harga.

Nilai ekpektasi agen ekonomi untuk menyikapi ketidakpastian yang akan datang sangat
mempengaruhi dalam makroekonomi. Dua hipotesis ekpektasi yang penting dalam ekonomi
adalah adaptive expectation dan rational expectation. Milton Freidman (1957) memperkenalkan
adaptive expectation yaitu bahwa ekpektasi agen ekonomi dibentuk oleh observasi inflasi saat
ini. Fenomena Phillip curve ditantang oleh Friedman yang mengemukakan argumen bahwa
hanya unanticipated inflation saja yang berpengaruh terhadap unemployment. Ekonom ini
menekankan pentingnya ekpektasi pada aggregate supply sehingga memperbaiki Philip curve
menjadi expectation-augmented Phillip curve.

Pada tahun 70-an merupakan periode yang sulit bagi Keynesian. Lucas (1976) dan
Sargent-Wallace(1975) memperkenalkan rational expectation yang mengasumsikan agen
ekonomi mengunakan semua informasi yang relevan untuk membentuk ekpektasi atau
memperkirakan variabel ekononmi yang akan datang. Oleh karena kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal mempengaruhi inflasi, maka ekpektasi inflasi juga bergantung pada efek
kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, perubahan dalam kebijakan moneter dan fiskal akan
mempengaruhi perubahan ekpektasi agen ekonomi. Sehingga, evaluasi kebijakan tersebut harus
mempertimbangkan efek dari ekpektasi agen ekonomi.

Lucas(1976) mengkritik bahwa hasil estimasi parameter dari model ekonometrik tidak
stabil karena jika terjadi perubahan perilaku policy maker maka ekpektasi private agent juga
akan berubah sehingga akan mempengaruhi parameter model ekonometrik tersebut. Kritik ini
mempengaruhi dua aspek, yaitu merevisi model makroekonomi dengan memasukkan unsur
rational expectation serta memperkuat model makroekonomi dengan landasan mikroekonomi.

Pada tahun 80-an pemikiran classical sangat dominan. Dalam paradigma New Clasical,
Kydland Prescott (1982) memperkenalkan real business cycle theory (RBC) yang diawali
dengan asumsi mikroekonomi preferensi konsumsi rumah tangga, fungsi produksi perusahaan
dan struktur pasar. Dengan optimalisasi intertemporal konsumsi rumah tangga dan perusahaan
serta pasar adalah kompetitif maka diperoleh solusi dynamic general equilibrium model. Mereka
berhasil membuat replikasi data USA. Model RBC mengsumsikan bahwa output selalu dalam
natural level dan semua fluktuasi output adalah pergerakan dari natural level dari output itu
sendiri. Penyebab fluktuasi output tersebut menurut Prescott adalah adanya perubahan atau shock
dalam teknologi. Demikian pula, dalam model RBC perubahan money supply tidak berdampak
pada output.

Setelah dekade 80-an penelitian tentang RBC berkembang dengan berbagai model. Debat
tentang technogy shock memberikan inspirasi peneliti untuk mengembangkan berbagai model
dengan memasukan berbagai aspek antara lain; oil shock, fiscal shock, monetary model, serta
multiple equilibrium model (Rebelo, 2005).

Penelitian terkini tentang model RBC berkaitan dengan kebijakan moneter yaitu dengan
memasukkan unsur nominal rigidity wage and price pada model, sehingga perubahan dalam
money supply dapat mempengaruhi output. Model ini dikenal sebagai model Dynamic Stocastics
General Equlibrium (DSGE). Beberapa peneliti Christiano, Eichenbaum and Evans (2003),
Woodford (2003), Smets and Wouters (2004) and Laxton and Pesenti (2003) membangun dan
mengestimasi model DSGE yang berbasis RBC dengan nominal rigidities pada upah dan harga
termasuk asumsi imperfect competition pada pasar labor market dan product market.

Arus utama lainnya adalah New Keynesian merupakan perbaikan dari Neo-clasical
synthesis dengan memasukan aspek rational expectation serta memperkuat landasan
mikroekonomi. Namun demikian, ekonom Keynesian masih tetap mempercayai adanya
imperfect market dan nominal rigidity dapat mengakibatkan fluktuasi (deviasi) output dari
natural output. Fischer (1977) dan Taylor (1980) berpendapat bahwa terjadinya nominal rigity
disebabkan adanya staggering of wage and price dicisions oleh perusahaan-perusahaan. Adanya
Staggering dalam upah dan harga tersebut mengakibatkan penyesuaian price level secara
perlahan-lahan sehingga perubahan dalam aggregate demand berdampak pada fluktuasi output.
Dalam sintesa New Keynesian, para ekonom [Gali dan Gertler (1999) dan Gali et al.
(2001); Roberts (2001); Fuhrer (1997); Linde (2005)] telah mempelajari bagaimana membangun
model yang sederhana, saling terkait, dan struktural yang dapat menjelaskan mekanisme
transmisi moneter khususnya transmisi melalui interest rate dan pengaruhnya terhadap inflasi
dan output. Model tersebut dikenal sebagai model New Keynesian Small Macroeconomics
(NKSM) dengan pendekatan dynamic stochastic general equlibrium yang mengandung aspek
ekpektasi dan juga solid dengan landasan mikroekonomi. Model sederhana tersebut mengandung
aggregate demand, price-setting (Phillips) curve, dan fungsi reaksi dari suatu kebijakan suku
bunga terhadap output dan inflasi. Model ini mewujudkan prinsip dasar dari peran bijakan
moneter melalui instrumen suku bunga nominal untuk stabilisasi inflasi.
Secara teknis model DSGE mempunyai kelemahan dalam hal teknik calibrasi yang sulit
untuk menciptakan replikasi data yang sesuai dengan data aktual, namun keunggulannya bahwa
parameter model DSGE merupakan ³deep parameter´ (parameter untuk variabel yang lebih
mikro). Sedangkan NKSM mempunyai keunggulan dapat menjelaskan kondisi perekonomian
yang lebih sederhana, namun kelemahannya adalah sulit untuk mendapatkan hubungan antar
variabel yang signifikan karena adanya unobserved variabel atau korelasi serial.

  


$  

 
 %


Pemerintah sangat berkepentingan agar seluruh kebijakan BI difokuskan untuk membantu


menyukseskan target-target pemerintah, baik menyangkut pertumbuhan ekonomi, investasi,
pergerakan sektor riil, serta sasaran strategis lainnya. Di lain sisi, di Departemen Keuangan, Sri
Mulyani juga tinggal melanjutkan reformasi yang sudah cukup sukses dijalankan. Sri Mulyani
telah merintis reformasi birokrasi dengan perbaikan kesejahteraan yang memadai. Dia berhasil
mengamankan APBN. Berbagai efisiensi telah dilakukan. Sri Mulyani dikenal tegas dalam
memangkas berbagai usulan anggaran kementerian/lembaga yang kurang rasional.

Sementara itu, posisi dirjen pajak ke depan makin strategis. Pajak masih menjadi jantung
penerimaan negara. Dari target penerimaan negara Rp 986 triliun dalam APBN 2009, pajak
harus memberikan kontribusi Rp 648 triliun atau 66%. Reformasi pajak yang sukses ditempuh
oleh Darmin harus diteruskan. Program ekstensifikasi dan intensifikasi harus makin
dioptimalkan. Masih banyak masyarakat yang belum memiliki NPWP, meski saat ini telah
tercatat 11 juta NPWP pribadi dan hampir 2 juta pemegang NPWP badan.

Selain itu, masih banyak wajib pajak yang belum membayar pajak secara benar. Terutama wajib
pajak kakap atau orang kaya. Ditjen Pajak selama ini mengakui banyak wajib pajak besar yang
belum jujur dalam membayar pajak. Kepatuhan mereka dalam membayar pajak harus digenjot.
Ditjen Pajak juga perlu mengejar para pejabat dan mantan pejabat yang diduga belum taat
membayar pajak. Tantangan lain adalah mendongkrak tax ratio yang tergolong paling rendah di
kawasan regional.

Pada akhirnya, poros segitiga Thamrin (BI), Lapangan Banteng (Depkeu), dan Gatot Subroto
(Ditjen Pajak) menjadi penentu dalam gerak perekonomian lima tahun ke depan. Sinergi ketiga
institusi strategis ini akan kuat dan saling mendukung, dengan catatan para pimpinannya berada
dalam satu orkestra yang harmonis dan kompak.
›

You might also like